Anda di halaman 1dari 19

REAKSI KUSTA

I. PENDAHULUAN
Penyakit kusta atau yang biasa disebut juga Morbus Hansen merupakan
salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat
kompleks.1,2Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya
ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer
sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorious bagian
atas, kemudia dapat ke orgain lain kecuali susunan saraf pusat.3 Kusta memiliki
tiga gambaran klinis khas yang disebut cardinal sign yaitu adanya lesi yang mati
rasa, kerusakan saraf tepi, dan adaya bakteri basil tahan asam.11 Bila tidak
ditangani, kusta dapat sangat progresif menyebabkan kerusakan pada kulit,
saraf - saraf, anggota gerak dan mata.4
Reaksi kusta adalah episode akut penyakit kusta dengan gejala konstitusi,
aktivasi, dan atau timbulnya efloresensi baru di kulit pada perjalanan penyakit ini
yang sebenarnya sangat kronis.5Reaksi kusta pada penderita kusta merupakan
fenomena imunologi yang dapat terjadi sebelum, saat, dan setelah pengobatan
lengkap multi-drug treatment (MDT). Terdapat 2 jenis reaksi kusta, yaitu reaksi
tipe 1 atau reaksi reversal dan tipe 2 atau eritema nodosum leprosum (ENL).
Kedua jenis reaksi kusta ini dapat terjadi terpisah, tetapi dapat timbul pada
pasien yang sama di saat berbeda. Fenomena Lucio sering dianggap sebagai
reaksi kusta tipe 3 atau dikenal sebagai reaksi kusta sangat berat.6

II. EPIDEMIOLOGI
Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus
terdapat didaerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindahan
penduduk maka penyakit ini bisa menyerang dimana saja. Kasus baru kusta di
dunia sampai dengan tahun 2011 diperkirakan berjumlah 219.075 kasus. Asia
Tenggara menduduki peringkat pertama sebanyak 160.132 kasus diikuti
regional Amerika (36.832 kasus), regional Afrika (12.673 kasus), dan sisanya
berada di regional lain di dunia. Indonesia saat ini merupakan salah satu
negara penyumbang penyakit kusta terbesar didunia.

1
Penderita kusta di Indonesia tercatat sebanyak 19.805 penderita pada
tahun 2011 dan menduduki ranking ketiga jumlah penderita terbanyak setelah
India dan Brazil berdasarkan cacatan WHO. Angka penemuan kasus baru
kusta di Indonesia selama periode 2008-2013 merupakan yang terendah pada
tahun 2013 yaitu sebesar 0.68 per 10.000 penduduk, namun belum mencapai
terget kurang dari 0.5 per 10.000 penduduk, sedangkan angka prevalensi kusta
berkisar antara 0.79 hingga 0.96 per 10.000 dan telah mencapai target kurang
dari 1 per 10.000 penduduk. Kasus baru kusta dilaporkan pada tahun 2013
sebesar 16.856, lebih rendah dibandingkan tahun 2012 yang sebesar 18.994
kasus, 83.4% kasus diantaranya merupaka tipe multibasiler.2
Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel
rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum
dapat banyak mengandung M.leprae yang berasal dari traktus respiratorius
atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat
menyerang semua umur, anak – anak lebih rentan dari pada orang dewasa. Di
Indonesia penderita anak – anak di bawah umur 14 tahun di dapatkan ±
11.39%, tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi
terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun.3
Prevalensi reaksi tipe 1 bervariasi antara 8%-33% dari seluruh pasien
kusta, umumnya terjadi kusta tipe borderline. Sebuah penelitian retrospektif di
Divisi Kusta URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo tahun
2007 – 2009 memperoleh data bahwa reaksi tipe 1 sejumlah 15,7 % dari
seluruh pasien kusta baru. Distribusi terbesar pada tipe multibasiler (MB) yaitu
52,9% terutama pada tipe Boderline (BB) sebesar 33,7 %. Jenis kelamin pasien
reaksi tipe 1 terbanyak adalah laki – laki sebesar 41,2 % dan kelompok usia
terbanyak adalah usia diatas 14 tahun sebesar 50,4%.7

III. ETIOLOGI
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh
G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai serkarang belum juga
dapat dibiakkan dalam media artifisial.

2
M.leprae berbentuk kuman dengan ukuran 3-8𝜇m x 0.5𝜇m, tahan asam
dan alkohol serta positif-Gram, tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan
tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu
dinamakan sebagai basil “tahan asam”.3 Mikobakterterium ini adalah kuman
aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang, dikelilingi oleh membran sel
lilin yang merupakan ciri dari spesies Mycobacterium. Mycobacterium leprae
belum dapat dikultur pada laboratorium. Kuman ini menular kepada manusia
melalui kontak langsung dengan penderita (keduanya harus ada lesi baik
mikroskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan
berulang-ulang) dan melalui pernapasan, bakteri kusta ini mengalami proses
perkembangbiakan dalam waktu 2-3 minggu, pertahanan bakteri ini dalam
tubuh manusia mampu bertahan 9 hari di luar tubuh manusia kemudian kuman
membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-rata dua hingga
lima tahun bahkan juga dapat memakan waktu lebih dari 5 tahun.4

IV. ETIOPATOGENESIS
M.leprae adalah bakteri tahan asam dan alkohol, basil gram positif
intraseluler obligat yang menunjukkan tropisme untuk sel-sel sistem
retikuloendotelial dan sistem saraf perifer (terutama sel Schwann);
mikobakterium ini adalah satu-satunya dengan karakterisitik ini
Terdapat 2 jenis reaksi kusta, yaitu reaksi tipe 1 atau reaksi reversal dan
tipe 2 atau eritema nodosum leprosum (ENL). Kedua jenis reaksi kusta ini dapat
terjadi terpisah, tetapi dapat timbul pada pasien yang sama di saat berbeda.
Fenomena Lucio sering dianggap sebagai reaksi kusta tipe 3 atau dikenal
sebagai reaksi kusta sangat berat.6 Faktor pencetus reaksi kusta antara lain
adalah penderita dalam kondisi stres fisik, kehamilan, sesudah melahirkan,
sesudah mendapat imunisasi, penyakit malaria, kecacingan, karies gigi,
penderita stres mental dan efek pemakaian obat untuk kekebalan tubuh. 17

A. Reaksi kusta tipe 1 / reversal


Reaksi tipe 1 disebabkan oleh peningkatan respons imun seluler. Reaksi
kusta tipe 1 merupakan delayed hypersensitivity reaction seperti halnya reaksi
hipersensitivitas tipe IV di saraf dan kulit.

3
Antigen produk basil yang telah mati akan bereaksi dengan limfosit T
disertai perubahan imunitas seluler yang cepat. Pada dasarnya reaksi ini terjadi
akibat perubahan keseimbangan antara cell mediated immunity(CMI) dan basil.
Infeksi Mycobacterium leprae dapat memicu ekspresi MHC kelas II pada
permukaan sel. Hal ini akan memicu limfosit CD4 membunuh sel terinfeksi
dengan mediasi sitokin, seperti TNF, pada dasarnya reaksi tipe 1 terjadi akibat
perubahan keseimbangan antara imunitas dan basil; hasilnya dapat terjadi
upgrading/reversal, jika terjadi peningkatan respons CMI terhadap antigen
M.leprae dan mengarah ke bentuk klinis tuberkuloid, ataupun down grading jika
terjadi penurunan respons CMI terhadap antigen M.leprae dan menuju bentuk
klinis lepromatosa. Reaksi tipe 1 ini diartikan reaksi reversal karena paling
sering dijumpai terutama pada kasus-kasus yang mendapatkan pengobatan,
sedangkan down grading reaction lebih jarang dijumpai karena berjalan lebih
lambat dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak mendapat
pengobatan.6,7 Reaksi ini dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti)
sehingga disebut juga sebagai reaksi borderline.8

B. Reaksi kusta tipe 2 / ENL


ENL terutama timbul pada saat tipe lepromatosa polar dan dapat pula
pada BL, bearti makin tinggi tingkat multibasilarnya makin besar kemungkinan
timbulnya ENL.3Reaksi tipe 2 atau ENL terjadi pada pasien tipe
Mb(lepromatous leprosy dan borderline lepromatous). Merupakan reaksi
humoral berupa reaksi antigen (M.leprae) dan antibodi pasien yang akan
mengaktifkan sistem komplemen sehingga terbentuk kompleks imun.
Kompleks imun tersebut akan menimbulkan respon inflamasi dan akan
terdegradasi dalam beberapa hari. Karena beredar dalam sirkulasi darah
kompleks imun tersebut dapat mengendap ke berbagai organ.3
Secara imunopatologis, ENL termasuk respons imun humoral, berupa
fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M.leprae + antibodi
(IgM, IgG) + komplemen -> kompleks imun. Tampaknya reaksi ini analog
dengan reaksi fenomena unik, tidak dapat disamakan begitu saja dengan
penyakit lain. Dengan terbentuknya kompleks imun ini, maka ENL termasuk di
dalam golongan penyakit kompleks imun, oleh karena salah satu protein
M.leprae bersifat antigenik, maka antibodi dapat terbentuk.
4
Ternyata bahwa kadar imunoglobulin penderita kusta lepromatosa lebih
tinggi dari pada tipe tuberkuloid. Hal ini terjadi karena pada tipe lepromatosa
jumlah kuman jauh lebih banyak dari pada tiber tuberkuloid. ENL lebih banyak
terjadi saat pengobatan. Hal ini dapat terjadi karena banyak kuman kusta yang
mati dan hancur, berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan
antibodi, serta mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus
beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai
organ.3

V. GEJALA KLINIS
Bila kuman M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul
gejela klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis
bergantung pada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. Bila SIS baik akan
tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah
memberikan gambaran lepromatosa. Ridley dan Jopling memperkenalkan
istilah spektrum determinate pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe
atau bentuk, yaitu : TT (tuberkuloid polar, bentuk yang stabil), LL (lepromatosa
polar, bentuk yang stabil), Ti (tuberkuloid indefinite), BT(boderline tuberkuloid),
BB (mid boderline),BL(boderline lepromatous), Li(lepromatosa indefinite).3

A. Gejala Klinis pada Tipe ENL


Pada tipe ENL pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus
eritema, dan jika nodus pecah menimbulkan ulkus dan nyeri dengan tempat
predileksi di lengan, tungkai dan dinding perut. Bila mengenai organ lain dapat
menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis,
orkitis, dan nefritis akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai gejala
konstitusi dari ringan sampai berat. Gejala konstitusional berupa demam,
menggigil, mual, nyeri sendi, sakit pada otot dan saraf. 1,3,9

5
Gambar 1. Gejala Klinis ENL pada lengan
Sumber : Vionni, Arifputra J, Arifputra Y,2016. Reaksi Kusta. 43(7): 501-46

Neuritis dapat ringan sampai parah, dan biasanya bersifat


menghancurkan, terutama jika melibatkan beberapa saraf, contohnya,
umumnya pada LL, dan BL, kerusakan serabut saraf nyeri tipe C
mengakibatkan persepsi nyeri yang berkurang dan pada kasus yang berat
akan menyebabkan hilangnya sensasi nyeri yang bersifat protektif. Dapat
disebut sebagai “stocking glove pattern of sensory impairment”. Hilangnya
fungsi motorik dengan keterlibatan saraf disertai hilangnya sensasi dapat
terjadi pada lengan dan kaki bagian distal.3,8
Perlu ditegaskan bahwa pada ENL tidak terjadi perubahan tipe. Lain
halnya dengan reaksi reversal yang hanya dapat terjadi pada tipe boderline (Li,
BL, BB, BT, Ti), sehingga dapat disebut reaksi boderline. Yang memegang
peranan utama dalam hal ini adalah SIS, yaitu terjadi peningkatan mendadak
SIS. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara mendadak.3,8

6
Tabel 2. Perbedaan reaksi berat dan ringan pada reaksi kusta tipe 2

Sumber : Vionni, Arifputra J, Arifputra Y,2016. Reaksi Kusta. 43(7): 501-46

B. Gejala Klinis Reaksi Reversal


Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi
yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang
relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi
makin eritematosa, lesi makula/ bercak menjadi infiltrat/plakat, lesi plakat
menjadi lebih infiltratif, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi
bertambah luas. Adanya gejala neuritis akut penting diperhatikan, karena
sangat menentukan pemberian pengobatan kortikosteroid, sebab tanpa gejala
neuritis akut pemberian kortikosteroid adalah fakultatif.1,3,8

Gambar 2. Gejala klinis reaksi kusta tipe reversal pada lengan dan dinding perut
Sumber : Vionni, Arifputra J, Arifputra Y,2016. Reaksi Kusta. 43(7): 501-46

7
Reaksi ini lebih banyak terjadi pada pasien yang berada di spektrum
border line(borderline lepromatous, borderline-borderline dan boderline
tuberculoid), karena tipe boderline ini merupakan tipe tidak stabil. Faktor yang
berperan penting adalah sistem imunologis selular. Reaksi tipe ini terutama
terjadi selama pengobatan karena adanya peningkatan hebat respons imun
selular secara tiba-tiba, mengakibatkan terjadinya respons inflamasi pada
jaringan saraf dapat mengakibatkan kerusakan dan kecacatan.1,3,9Kadang
dapat terjadi gangguan keadaan umum, seperti demam dan lain -lain. Kalau
diperhatikan kembali reaksi ENL dan reversal secara klinis, ENL dengan lesi
eritema nodosum sedangkan reversal tanpa nodus, sehingga disebut reaksi
lepra nodular, sedangkan reaksi reversal adalah reaksi non-nodular. Hal ini
penting membantu menegakkan diagnosis reaksi atas dasar lesi, ada atau
tidak adanya nodus. Kalau ada berarti reaksi nodular atau ENL, jika tidak ada
bearti reaksi non-nodular atau reaksi reversal atau reaksi boderline.1,3
Tabel 1. Perbedaan reaksi ringan dan berat pada reaksi kusta tipe 1

Sumber : Vionni, Arifputra J, Arifputra Y,2016. Reaksi Kusta. 43(7): 501-46


C. Fenomena lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi
pada kusta tipe lepromatosa non-nodular difus. Kusta tipe ini terutama
ditemukan di Meksiko dan Amerika Tengah, namun dapat juga dijumpai di
negeri lain dengan prevalensi rendah. Gambaran klinis dapat berupa plak atau
infiltrat difus, berwarna merah muda kebiruan, bentuk tak teratur dan terasa
nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh yang
kemudian mengalami infark yang dapat disertai atau tanpa bula.13

8
Lesi yang berat tampak lebih eritematosa, disertai purpura, dan bula,
kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat
menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut. Gambaran histopatologik
menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis pembuluh darah
superfisial, edema, dan profliferasi endotelial pembuluh darah lebih dalam.
Didapatkan banyak basil M.leparae di endotel kapiler. Walaupun tidak
ditemukan infiltrat polimorfonuklear seperti pada ENL namun dengan
imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam
dinding pembuluh darah. Titer kompleks imun yang beredar dan krioglobulin
sangat tinggi pada semua penderita.3,13

Gambar 3. Gejala klinis fenomena lucio pada tungkai


Sumber : Vionni, Arifputra J, Arifputra Y,2016. Reaksi Kusta. 43(7): 501-46

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Pemeriksaan Histopatologik
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada
yang mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel alveolar
dari paru, sel glia dari otak, dan yang dari kulit disebut histiosit. Salah satu tugas
makrofag adalah melakukan fagositosis. Kalau ada kuman (M.leprae) masuk,
akibatnya akan bergantung pada Sistem Imunitas Seluler (SIS) orang itu.
Apabila SIS-nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M.leprae.
Datangnya histoisit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik
dengan adanya faktor kemotaktik. Pada penderita dengan SIS rendah atau
lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M.leprae yang sudah ada di
dalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow
atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyerbar luasan.3

9
Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subdermal (subepidermal
clear zone), yaitu suatu daerah langsung dibawah epidermis yang jaringannya
tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak kuman. Pada tipe
borderline, terdapat campuran unsur-unsur tersebut.3,12

Gambar 4. Histopatologi ( tanda panah menunjukkan tuberkel/ granuloma )


Sumber : Yahya YF. 2011. Dermatitis Ekfoliatif sebagai Manifestasi Reaksi Lepra; 1-11

Gambar 5. Histopatologi ( tanda panah menunjukkan sel virchow)


Sumber : Yahya YF. 2011. Dermatitis Ekfoliatif sebagai Manifestasi Reaksi Lepra; 1-11

10
B. Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi
pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. antibodi yang terbentuk
dapat bersifat spesifik terhadap M.leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-
1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi yang
tidak spesifik antara lain antibodi anti-liproarabinomanan (LAM), yang juga
dihasilkan oleh kuman M.tuberculosis
Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosis
kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Di
samping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak
didapati lesi kulit, misalnya pada narakontak serumah. Macam – macam
pemeriksaan serologik kusta ialah
1. Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)
Uji MLPA adalah pemeriksaan aglutinasi partikel gelatin
menggunakan partikel gelatin dengan trisakarida. Pemeriksaan
MLPA, menggunakan serum pasien, memerlukan waktu 2 jam bila
inkubasi dilakukan pada suhu ruangan atau 1 jam bila diinkubasi
pada suhu 370C setelah pencampuran partikel gelatin dan serum
pasien. Uji MLPA merupakan uji yang mudah digunakan khususnya
di daerah endemis, dengan sensitivitas dan spesifisitas setara
dengan uji ELISA . Uji MLPA bersifat kualitatif, namun dapat
dilanjurkan sampai pada penentuan titer antibodi (semi-kuantitatif).
Pada uji kualitatif, hasil positif bila terjad aglutinasi sampai sumur
ketiga. Pada uji semi-kuantitatif, hasil positif dinyatakan dengan titer
1:32, 1:64, 1:128, dan seterusnya, yang menyatakan derajat
kepositivan pada pengenceran serum. Semakin besar pengenceran
bearti semakin tinggi kadar antibodi tersebut dalam darah.16
2. Uji ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)
Uji ELISA adalah uji laboratoris yang memerlukan peralatan
khusus serta keterampilan tinggi. Uji ELISA merupakan metode
kuantifikasi antigen di atas permukaan solid menggunakan antibodi
spesifik dengan pasangan enzim kovalennya.

11
Pada penyakit kusta, uji ELISA dapat digunakan untuk mengukur
titer antibodi terhadap M.leprae, misalnya antibodi anti PGL-1 dan
antibodi anti protein 35kD. Kelas antibodi yang diperiksa juga
ditentukan, mislanya IgM anti PGL-1 dan IgG anti PGL-1. Untuk
antibodi anti PGL-1 biasanya IgM lebih dominan dibandingkan
dengan IgG, sedangkan antibodi terhadap protein biasanya
didominasi oleh IgG. Untuk menentukan nilai ambang batas hasil uji
ELISA ini, biasanya ditentukan setelah mengetahui keseteraan
individu yang menderita kusta dan yang tidak. Namun untuk daerah
endemis kusta, banyak orang sehat juga menunjukkan titer antibodi
anti PGL-1 yang cukup tinggi, sehingga penentuan nilai ambang
menjadi bervariasi di tempat yang berbeda. Di daerah Jawa Timur,
nilai ambang untuk antibodi IgM anti PGL-1 sekitar 600u/mL atau
setara titer 1/128 pada uji MLPA. Bila digunakan untuk memantau
hasil pengobatan, dapat dilakukan secara berkala setiap tiga bulan.16
3. ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick)
Uji ML dipstick merupakan pemeriksaan yang mudah untuk
mendeteksi antibodi IgM PGL-1 M. leprae dengan sensitivitas yang
hampir sama dengan uji ELISA, namun tidak memerlukan berbagai
peralatan serta ketrampilan khusus. Hasil uji ML dipstick terdiri atas
dua pita horizontal. Satu pita di bawah mengandung epitop
imunodominan M.leprae yang spesifik, yaitu PGL-1 dan pita kedua
berada diatas sebagai kontrol. Pengukuran ini menunjukkan ikatan
antara antibodi IgM M.leprae yang spesifik terhadap antigen M.
leprae. Ikatan antibodi IgM dapat dideteksi secara spesifik dengan
anti human dye conjugated. Dipstick yang mengandung antigen
dicelupkan dalam serum yang diencerkan 1:50 dan di campur
dengan reagen, selanjutnya diinkubasi selama 3 jam. Pewarnaan
pada pita antigen menunjukkan antibodi IgM spesifik terhadap
M.leprae. Pita kontrol digunakan untuk melihat integritas reagen.16
4. ML flow test (Mycobacterium leprae flow test)3
Uji ML flow adalah pemeriksaan yang mudah untuk mendeteksi
antibodi IgM anti PGL-1 M.leprae. uji ML flow merupakan
pemeriksaan imunokromatografi yang terdiri atas strip nitroselulosa.
12
Pada salah satu ujung strip terdapat bagian yang terbuat dari
serat wool mengandung antibodi anti human IgM yang dilabel
dengan koloid emas kering, dan di sisi lainnya terdiri atas bagian
yang berfungsi untuk absorpsi. Bahan yang digunakan sebagai
sampel adalah darah atau serum. Apabila ditemukan antibodi IgM
spesifik, maka akan terjadi ikatan dan tampak garis kemerahan.16

VII. DIAGNOSIS
Secara inspeksi penyakit kusta mirip dengan penyakit lainnya, ada
tidaknya anastesi sangat banyak membantu penentuan diagnosis, meskipun
tidak selalu jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum
terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan kalau masih belum jelas
dengan kedua cara tersebut barulah pengujian terhadap rasa suhu, yaitu panas
dan dingin dengan menggunakan 2 tabung reaksi. Gejala klinis untuk reaksi
reversal umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif
atau timbul lesi baru dalam waktu relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi
menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula/ bercak
menjadi infiltrat/plakat, lesi plakat menjadi lebih infiltratif, lesi infiltrat makin
infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas. Pada tipe ENL pada kulit akan
timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan jika nodus pecah
menimbulkan ulkus dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan, tungkai dan
dinding perut.3

VIII. DIAGNOSIS BANDING


A. Relaps
Untuk kusta PB, reaksi reversal seringkali dikelirukan sebagai relaps.
Reaksi relaps ini merupakan diagnosis banding dari reaksi kusta tipe 1
atau reversal. Kebanyakan pasien yang dicatat sebagai relaps
sebenarnya adalah reaksi reversal terlambat (late reversal reaction). Ini
disebabkan karena tidak adanya standard baku (gold standard) sebagai
pembanding oleh karena hasil pemeriksaan BTA-nya sejak awal negatif.

13
Pada pasien MB, reaksi reversal kadang masih juga dikelirukan
dengan relaps, tetapi kemungkinan untuk mengkonfirmasi relaps secara
bakteriologi lebih memungkinkan, melalui kerokan jaringan kulit yang
menunjukkan peningkatan indeks bakteri dan atau indeks morfologi
yang positif atau dengan inokulasi ke telapak kaki tikus putih (athymic
nude mice). Tetapi tidak semua pasien mempunyai data awal
pemeriksaan kerokan jaringan kulit tersebut untuk dapat
dibandingkan.1Lesi kulit berbentuk plakat merah pada urtikaria akut,
erisipelas, selulitis, erupsi obat dan gigitan serangga
B. Eritema nodosum
Eritema nodosum merupakan diagnosis banding reaksi kusta tipe 2 atau
ENL. Eritema nodosum yang disebabkan antara lain oleh tuberculosis,
infeksi stretokokus, dan obat. Eritema nodosum adalah gangguan pada
lemak subkutan yang terasa sakit, merupakan jenis yang aling umum dari
panniculitis.15 kelainan kulit berupa nodus-nodus indolen terutama pada
ekstremitas bagian ekstensor. Diatasnya terdapat eritema. Langkah yang
perlu dilakukan termasuk uji tuberkulin kulit, radiografi dada, dan analisis
bakteri tahan asam. Banyak penyakit yang juga dapat memberi gambaran
klinis sebagai E.N., yang sering: lepra sebagai eritema nodusum leprosum,
reaksi id karena Streptococcus B Hemolyticus, alergi obat secara sistemik,
dan demam reumatik.14Pada kusta tipe borderline-lepromatous dapat
ditemukan kedua reaksi (reaksi tipe 1 dan 2) pada pasien yang sama.1
IX. PENATALAKSANAAN
A. Terapi sistemik
1. DDS
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah
DDS (diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin, dan rifampisin.
Pengertian relaps atau kambuh pada kusta ada 2 kemungkinan, yaitu
relaps sensitif (persisten) dan relaps resisten. Pada relaps sensitif
penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan
waktu yang ditentukan. Secara klinis, bakterioskopik, histopatologik
dapat dinyatakan penyakit tiba-tiba aktif kembali dengan timbulnya lesi
baru dan bakterioskopik positif kembali.

14
Pada relaps resisten penyakit kambuh setelah menyelesaikan
pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan, tetapi tidak dapat
diobati dengan obat yang sama. Resisten hanya terjadi pada kusta
multibasilar, tetapi tidak pada pausibasilar.3
2. Prednison (untuk reaksi tipe 1 dan 2)
Obat ini digunakan untuk penanganan / pengobatan reaksi. Untuk
reasksi, prednison diberikan dalam dosis tunggal pagi hari sesudah makan,
kecuali jika keadaan terpaksa dapat diberikan secra dosis bagi,misalnya
2x4 tablet/hari.
2 minggu pertama 40 mg/hari (1x8 tab) pagi hari sesudah makan
2 minggu kedua 30 mg/hari (1x6 tab) pagi hari sesudah makan
2 minggu ketiga 20 mg/hari (1x4 tab) pagi hari sesudah makan
2 minggu keempat 15 mg/hari (1x3 tab) pagi hari sesudah makan
2 minggu kelima 10 mg/hari (1x2 tab) pagi hari sesudah makan
2 minggu keenam 5mg/hari (1x1 tab) pagi hari sesudah makan
3. Lampren (untuk reaksi tipe 2 )
Obat ini digunakan untuk penanganan / pengobatan reaksi ENL yang
berulang (steroid dependent)
Lampren lepas diberikan pada penderita ENL berat, berulang (setelah
terjadi≥ 2 episode), sehingga terdepat ketergantungan terhadapat steroid.
Lampren diberikan dalam dosis tunggal, pagi hari sesudah makan, kecuali
jika keadaan terpaksa diberikan secara dosis terbagi, misalnya 3 x 1
tablet/hari atau 2x1 tab/hari.
300 mg/hari atau 3x 100 mg selama 2 bulan
200 mg/hari atau 2x 100 mg selama 2 bulan
100 mg/hari selama 2 bulan
4.Thalidomid ( untuk reaksi tipe 2)
Thalidomid dalam sejarah menimbulkan efek teratogenik berupa
fokomelia, jarang ditemukan di indonesia. Efek terapi thalidomid pada ENL
diperkirakan berhubungan dengan stimulasi imun sementara, obat ini bisa
mempromosikan imunoregulator secara aktif. Obat ini tersedia dalam
bentuk kapsul 50 mg. mengingat efek teratogeniknya, obat ini tidak
dipergunakan dalam program di Indonesia.5
5.Antipiretik dan analgetik parasetamol atau metampiron 4 x 500 mg9
15
B. Terapi topikal
Diajurkan melakukan cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai
dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka, atau ulkus, jika terdapat keluhan
ini dapat dilakukan kompres. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan
diminyaki agar tidak kering dan pecah.
X. PROGNOSIS
Pada penyakit lepra yang tidak diatasi, pasien yang akan sembuh
dengan sendirinya adalah yang memiliki TT, atau pasien BT yang meningkat
menjadi TT. Jika tidak, penyakit akan semakin menyebar dengan morbidity
yang disebabkan oleh cedera syaraf dan keadaan reaksional. BT, BB, BL, dan
LLs mungkin terjadi peningkatan, BT, BB dan BL mungkin akan menurun, dan
BL, LLs, dan LLP, memungkinkan terjadinya perkembangan ENL. 10
Pengobatan banyak menangkap aktivitas penyakit, akan tetapi S-GPSI
mungkin akan meningkat. neuritis perifer yang baru mulai dapat memperbaiki
dengan pengobatan kortikosteroid. Sama seperti pengidap polio yang telah
sembuh, keterlambatan kemampuan sensorik terkadang terlihat dan ini sulit
untuk dipahami dan susah diubah. 10

XI. KOMPLIKASI
Sebelum memulai penanganan reaksi, terlebih dulu lakukan identifikasi tipe
reaksi yang dialami serta derajat reaksinya. Hal ini da[pat dinilai dari hasil
kesimpulan pemeriksaan pada formulir pencatatan pencegahan cacat (POD),
seperti:1
1. Adanya lagoftalmos baru terjadi dalam 6 bulan terakhir
2. Adanya nyeri raba saraf tepi
3. Adanya kekuatan otot berkurang dalam 6 bulan terakhir
4. Adanya rasa raba berkurang dalam 6 bulan terakhir
5. Adanya bercak pecah atau nodul pecah
6. Adanya bercak aktif (meradang) di atas lokasi saraf tepi
Bila terdapat salah satu dari gejala diatas berarti ada reaksi berat dan perlu
diberikan obat anti reaksi

16
XII. EDUKASI
Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana,
misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai
sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas, dan
memakai kacamata untuk melindungi matanya .

XIII. KESIMPULAN
Reaksi kusta terbagi menjadi 2 reaksi, yaitu reaksi tipe ENL dan reaksi
tipe reversal . Gejala klinis untuk reaksi reversal umumnya sebagian atau
seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif atau timbul lesi baru dalam waktu
relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi
makin eritematosa, lesi makula/ bercak menjadi infiltrat/plakat, lesi plakat
menjadi lebih infiltratif, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi
bertambah luas. Pada tipe ENL pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa
nodus eritema, dan jika nodus pecah menimbulkan ulkus dan nyeri dengan
tempat predileksi di lengan, tungkai dan dinding perut. Diagnosis untuk reaksi
kusta ini berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang. Terapi yang
dapat digunakan untuk pengobatan reaksi kusta tipe ENL adalah kortikosteroid.
Dapat ditambahkan obat analgetik-antipiretik juga sesuai dengan gejala klinis.
Terapi untuk tipe reversal perlu diperhatikan apakah disertai dengan neuritis
atau tidak. Sebab jika tidak disertai dengan neuritis akut tidak perlu pengobatan
tambahan. Jika ada neuritis akut dapat ditambahkan kortikosteroid.

17
Daftar Pustaka

1. Kemenkes RI. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit


Kusta.2012. Jakarta. Hal: 1-116
2. Rukua MS, Martini S, Notobroto HB, 2015. Pengembangan Indeks Prediktif
Kejadian Default Pengobatan Kusta Tipe MB di Kabupaten Sampang. Jurnal
Berkala Epidemiologi. 3(3):387-399
3. Wisnu IM, Daili ESS, Menaldi SL.Kusta. Dalam: Menaldi SLSW,editor.Ilmu
Penyakit Kulit dan kelamin edisi ke 7. Jakarta: FKUI; 2018 h.87-102
4. Kemenkes RI. Info DATIN Kusta. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2015.
5. Ramaswari NPAY,2015. Masalah Reaksi Reversal dan Eritema Nodosum
Leprosum pada Penyakit Kusta.42(9):654-7
6. Vionni, Arifputra J, Arifputra Y,2016. Reaksi Kusta. 43(7): 501-4
7. Pratamasari MA, Listiawan MY, 2015. Studi Retrospektif: Reaksi Kusta Tipe 1.
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 27(2):137-43
8. Widasmara D. Penyakit Kusta Sebuah Perspektif Klinis. Malang: UB
press;2018
9. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 3. Jakarta:EGC;2014
10. Amado, A.,Sood, A., Taylor, J.S. 2012. Irritant contact dermatitis. Dalam:
Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell, D.J., Wolff, K.

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York:Mc Graw Hill
co., pp. 499-506.
11. Nabila AQ, Nurainiwati SA, Handaja D, 2012. Profil Penderita Penyakit Kusta
di Rumah Sakit Kusta Kediri Periode Januari 2010 sampai Desember
2010.8(2);70-7
12. Yahya YF. 2011. Dermatitis Ekfoliatif sebagai Manifestasi Reaksi Lepra; 1-11
13. Prada P, Rosandi R, Daili ESS, Sirait SP, Rihatmadja R, Marissa M, Hasanah
AU. Gambaran Klinis dan Histopatologi Fenomena Lucio.2016. 43(4);147-152
14. William D, Timothy G, Dirk. Andrew’s Diseases of The Skin. 11th ed. USA:
Elsevier; 2011.
15. Lima HR, Ribeiro C, etc. Erythema Nodosum Caused By Mycobacterium
tuberculosis in HTLV-1 Infected Patients
16. Siskawati Y, Agustin T, Zubier F. 2014. Kusta Subklinis : Beberapa
Pemeriksaan Serologis dan Kemoprofilaksis. 4(92): 79-84

18
17. Ditjen PPM & PL Dep. Kes. RI, buku Pedoman Nasional Pemberantasan
Penyakit Kusta, Cetakan XVIII, jakarta, 2006 ; 4-138.

19

Anda mungkin juga menyukai