PENDAHULUAN
leprae menyerang saraf perifer, kulit, dan jaringan tubuh lainnya, kecuali susunan saraf
pusat. Kusta masih terdapat di daerah tropis dan sub-tropis. Di seluruh dunia 249.007
kasus baru terdaftar pada tahun 2008 dengan India mendaftarkan 134.184 kasus. Di
Indonesia sendiri tercatat 33.739 orang penderita kusta. Indonesia merupakan Negara
ketiga terbanyak penderitanya setelah India dan Brasil dengan prevalensi 1,7 per 10.000
penduduk. Cara penularan penyakit ini belum diketahui secara pasti namun hanya
berdasarkan anggapan klasik yaitu kontak langsung antar kulit yang lama dan secara
sensori dan kelemahan motorik, dan serat saraf di kulit menyebabkan hilangnya sensasi
di area kulit yang terkena. Infeksi M. leprae diobati dengan Multi Drug Therapy (MDT)
dan semua pasien menerima terapi baik ganda atau tiga obat sampai 12 bulan. MDT
sangat efektif dengan tingkat kekambuhan 1 %. Kerusakan saraf baru diobati dengan
terapi steroid, tetapi hanya sekitar 50 % dari pasien akan mengalami perbaikan dalam
fungsi saraf setelah pengobatan dengan steroid. Permasalahan kusta juga dipengaruhi
oleh episode lanjut dari peradangan yang mempengaruhi kulit dan saraf. Ini mungkin
merupakan reaksi tipe 1 yang terkait dengan jenis hipersensitivitas tertunda (delayed)
yang menyebabkan peradangan yang mempengaruhi kulit dan saraf. Tipe 2 atau eritema
kompleks imun dan peradangan sistemik yang terlihat dengan adanya keterlibatan kulit,
1
saraf, mata, tulang, dan testis. Laporan ini mempresentasikan kasus Morbus Hansen
(kusta/ lepra).
2
BAB II
Tinjauan Pustaka
Lepra (Morbus Hansen, kusta) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang
disebabkan oleh M. leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1,3 Lepra merupakan infeksi bakteri
granulomatosa kronis, terutama mempengaruhi kulit dan saraf perifer yang disebabkan
oleh M. leprae.
B. Epidemiologi Lepra
Lepra dapat terjadi dimanapun seperti di Asia, Afrika, Amerika latin, daerah
tropis dan subtropis serta masyarakat dengan sosioekonomi yang rendah. Tingkat
danBirmania.1,9 Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2011 tercatat
226.626 kasus baru lepra dan meningkat pada tahun 2012 menjadi 232.857 kasus.
Tahun 2012 jumlah kasus baru di Indonesia sejumlah 18.994 kasus, sedangkan di Jawa
Tengah pada tahun 2012 dilaporkan terdapat kasus baru tipe Multibasilar (MB)
sebanyak 1.308 kasus dan pada lepra tipe Pausibasilar (PB) sebanyak 211 kasus dengan
Newly Case Detection Rate (NCDR) sebesar 4,57 per 100.000 penduduk.
Indonesia berhasil mencapai eliminasi lepra pada tahun 2000 di 19 provinsi dan
lebih kecil dari 1 per 10.000 penduduk dan lebih dari 10 juta penderita telah
disembuhkan dan lebih dari 1juta penderita telah diselamatkan dari kecacatan.
Prevalensi penderita lepra di Indonesia turun sebesar 81% dari 107.271 pada tahun 1990
3
menjadi 21.026 pada tahun 2009. Hal itu dicapai setelah dilakukan program rehabilitasi
Lepra merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat
menyebabkan ulserasi, mutilasi dan deformitas. Penderita lepra bukan hanya menderita
penyakitnya tetapi juga pengucilan dari masyarakat sekitar. Hal ini akibat kerusakan
saraf besar yang ireversibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik serta dengan
adanya kerusakan yang berulang pada daerah anestesia yang disertai paralisis dan atrofi
otot.
C. Etiologi Lepra
Kuman penyebab lepra adalah M. leprae yang ditemukan oleh G.A. Hansen
pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam
media artifisial. Mycobacterium leprae berbentuk pleomorf lurus, batang panjang, sisi
pararel dengan kedua ujung bulat dengan ukuran 3-8 μm x 0,5μm. Basil ini berbentuk
gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora dapat tersebar atau dalam berbagai
ukuran bentuk kelompok, termasuk massa irreguler besar yang disebut globi. Dengan
mikroskop elektron, M. leprae terlihat mempunyai dinding yang terdiri dari dua lapisan
yaitu lapisan peptidoglikan padat pada bagian dalam dan lapisan transparan
polisakarida ini adalah suatu arabinogalaktan yang diesterifikasi oleh asam mikolik
dengan ketebalan 2 nm. Peptidoglikan terlihat mempunyai sifat spesifik pada M. lepra,
yaitu adanya asam amino glisin, sedangkan pada bakteri lain mengandung alanin.
sosioekonomi, kebersihan dan keturunan. Pada ras kulit hitam insiden bentuk
tuberkuloid lebih tinggi, sedangkan pada kulit putih cenderung tipe lepramatosa.
Banyak terjadi pada negaranegara berkembang dan golongan sosioekonomi rendah dan
4
lingkungan yang kurang memenuhi kebersihan. Faktor genetik berperan penting dalam
penularan penyakit lepra. Penyakit ini tidak diturunkan pada bayi yang dikandung ibu
lepra.
D. Patogenesis Lepra
karena penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan
gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat
infeksi dengan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang
menggugah reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri
atau progresif. Oleh karena itu penyakit lepra dapat disebut sebagai penyebab
imunologik. Kelompok umur terbanyak terkena lepra adalah usia 25-35 tahun.
Onset lepra adalah membahayakan yang dapat mempengaruhi saraf, kulit dan
mata. Hal ini juga dapat mempengaruhi mukosa (mulut, hidung dan faring), testis,
rendah dan hanya sebagian kecil orang yang terinfeksi menimbulkan tanda-tanda
penyakit. Masa inkubasi M. leprae biasanya 3-5 tahun. Setelah memasuki tubuh basil
bermigrasi kearah jaringan saraf dan masuk kedalam sel Schwann. Bakteri juga dapat
ditemukan dalam makrofag, sel-sel otot dan sel-sel endotel pembuluh darah. Setelah
memasuki sel Schwann atau makrofag, keadaan bakteri tergantung pada perlawanan
dari individu yang terinfeksi. Basil mulai berkembangbiak perlahan (sekitar 12-14 hari
untuk satu bakteri membagi menjadi dua) dalam sel, dapat dibebaskan dari sel-sel
hancur dan memasuki sel terpengaruh lainnya. Basil berkembang biak, peningkatan
beban bakteri dalam tubuh dan infeksi diakui oleh sistem imunologi serta limfosit dan
histiosit (makrofag) menyerang jaringan terinfeksi. Pada tahap ini manifestasi klinis
5
mungkin muncul sebagai keterlibatan saraf disertai dengan penurunan sensasi dan atau
skin patch. Apabila tidak didiagnosis dan diobati pada tahap awal, keadaan lebih lanjut
akan ditentukan oleh kekuatan respon imun pasien. Sitem Imun Seluler (SIS)
memberikan perlindungan terhadap penderita lepra. Ketika SIS spesifik efektif dalam
mengontrol infeksi dalam tubuh, lesi akan menghilang secara spontan atau
menimbulkan lepra dengan tipe Pausibasilar (PB). Apabila SIS rendah, infeksi
menyebar tidak terkendali dan menimbulkan lepra dengan tipe Multibasilar (MB).
Kadang-kadang respon imun tiba-tiba berubah baik setelah pengobatan atau karena
status imunologi yang menghasilkan peradangan kulit dan atau saraf dan jaringan lain
E. Klasifikasi Lepra
Indeterminan(I), tipe Tuberculoid (T), tipe Lepromatosa dan tipeBorderline (B). Ridley
Tipe I tidak termasuk dalam spektrum. Tipe TT adalah tipe tuberculoid polar
yaitu tuberculoid 100% yang merupakan tipe stabil sehingga tidak mungkin berubah
tipe. Begitu juga dengan tipe LL yang merupakan tipe lepromatosa polar, yaitu
lepramatosa 100% , mempunyai sifat stabil dan tidak mungkin berubah lagi. BB
merupakan tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberculoid dan 50% lepromatosa.
Pada tipe BT lebih banyak tuberculoid, sedangkan pada tipe BL lebih banyak
lepromatosa. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil yang berarti bahwa dapat
dengan bebas beralih tipe, baik ke arah tipe TT maupun tipe LL.1 Menurut WHO pada
6
1981, lepra dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe Multibasilar (MB) dan tipe Pausibasilar
(PB).1
1. Lepra tipe PB ditemukan pada seseorang dengan SIS baik. Pada tipe ini berarti
mengandung sedikit kuman yaitu tipe TT, tipe BT dan tipe I. Pada klasifikasi
2. Lepra tipe MB ditemukan pada seseorang dengan SIS yang rendah. Pada tipe ini
berarti bahwa mengandung banyak kuman yaitu tipe LL, tipe BL dan tipe BB. Pada
perubahan yaitu lepra PB adalah lepra dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan
jaringan kulit, yaitu tipe I, tipe TT dan tipe BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling.
Apabila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif maka akan dimasukkan kedalam
lepra tipe MB. Sedangkan lepra tipe MB adalah semua penderita lepra tipe BB, tipe
BL dan tipe LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus diobati
Tanda dan gejala penyakit lepra tergantung pada beberapa hal yaitu multiplikasi
dan diseminasi kuman M. leprae, respon imun penderita terhadap kuman M. leprae
1. Pada tipe tuberculoid yaitu awitan dini berkembang dengan cepat, saraf yang
terlibat terbatas (sesuai jumlah lesi), dan terjadi penebalan saraf yang
2. Pada tipe lepromatosa yaitu terjadi kerusakan saraf tersebar, perlahan tetapi
7
pada tubuh), simetris pada tangan dan kaki yang disebutglove dan stocking
dan otonom dan ada keadaan akut apabila terjadi reaksi tipe 2.
3. Tipe borderline merupakan campuran dari kedua tipe (tipe tuberculoid dan tipe
lepromatosa.
8
Tabel 2.2.Gambaran klinis, bakteriologis dan imunologis lepra tipe PB.1
Lesi
dibatasi
infiltrat
bersisik
jelas
tidak jelas
BTA
selalu negatif
3+ atau negatif
9
G. Reaksi Lepra
Reaksi lepra adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit
yang kronik disebabkan karena sistem kekebalan tubuh yang menyerang kuman M.
leprae. Penderia lepra dapat mengalami reaksi hampir setiap saat yaitu sebelum
selesai. Sebagian besar reaksi terjadi dalam satu tahun setelah diagnosis. Pada penderita
tipe MB, reaksi dapat timbul setiap saat selama pengobatan bahkan sampai dengan
2. Pada saraf: rasa sakit atau nyeri tekan pada saraf, timbul kehilangan rasa raba
3. Pada mata: rasa sakit atau kemerahan pada mata, timbu penurunan daya
penglihatan yang baru, timbul kelemahan otot-otot penutup mata yang baru
dalam melawan basil lepra atau bahkan sisa basil yang mati. Peningkatan
aktivitas ini menyebabkan terjadi peradangan setiap terdapat basil lepra pada
tubuh, terutama kulit dan saraf. Penderita lepra dengan tipe MB maupun PB
dapat mengalami reaksi tipe 1. Sekitar seperempat dari seluruh penderita lepra
Reaksi tipe 1 paling sering terjadi dalam enam bulan setelah mulai minum
10
muncul pertama yang menyebabkan penderita datang untuk berobat. Sebagian
kecil penderita mengalami reaksi lebih lambat, baik selama masa pengobatan
maupun sesudahnya.15
Reaksi tipe 2 ini terjadi apabila basil leprae dalam jumlah besar terbunuh
dan secara bertahap dipecah. Protein dari basil yang mati mencetuskan reaksi
alergi. Reaksi tipe 2 akan mengenai seluruh tubuh dan menyebabkan gejala
terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada tipe BL, serta
pada ENL tidak terjadi perubahan tipe, berarti bahwa semakin tinggi tingkat
kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. leprae, antibodi (IgM, IgG) dan
karena salah satu protein M. leprae bersifat antigenik maka antibodi dapat
daripada tipe tuberculoid. Hal ini terjadi oleh karena tipe lepromatosa jumlah
kuman jauh lebih banyak daripada tipe tuberculoid. ENL lebih sering terjadi
pada masa pengobatan. Hal ini dapat terjadi karena banyak kuman lepra yang
mati dan hancur, berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan
beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ.1
11
R eak s i ti p e
No Gejala /tanda 1 Reaksi tipe 2
Kea daan
1 umum Umumnya baik, Ringa n sa mpai
demam ringa n berat diserta i
(sub febris) atau kelemahan umum
tanpa demam dan demam tinggi
2 Pera danga n di kulit Bercak kulit la ma Timbul nodul
menjadi leb i h kemera han, lunak
dan nyeri
mera dang tekan.
Bia sany
(merah), d ap at a pada
timbul b erc a k lenga n dan
baru tungkai. Nodul
dapat pecah
(ulsera si
)
3 Sara f Sering terj ad i , Da pat terjadi
umumnya b eru p a
nyer
i tekan sa raf
dan atau
ga ngguan fungsi
sara f
4 Pera danga n pada Hampir tidak ada Terjadi pada
orga n la in mata, k el en j ar
geta h bening,
sendi, ginjal,
testis, dll
Bia sany
5 Waktu timbul Bia sanya segera a sa at
setela h pengobatan
p en g o b at a
n
6 Tipe lepra Da pat terjadi pada Hanya pada lepra
lepra tipe PB tipe MB
maupun
MB
Tabel 2.4 Perbedaan reaksi ringan dan berat pada reaksi lepra tipe 1
12
dan tipe 2.1
menjadi deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer terjadi sebagai akibat
langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae yang
mendesak dan merusak jaringan disekitarnya yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius
atas, tulang-tulang jari dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat adanya
deformitas primer terutama kerusakan saraf (sensorik, motorik dan otonom) antara lain
13
Gejala-gejala kerusakan saraf:1
1. Nervus Ulnaris akan terjadi anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis,
clawing kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot
lubrikalis medial.
2. Nervus Medianus terjadi anestesia pada ujung jari sebagian anterior ibu jari, jari
telunjuk dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, jari telunjuk dan
jari tengah, ibu jari kontraktur dan atrofi otot tenar dan kedua otot lubrikalis lateral.
3. Nervus Radialis terjadi anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk,
tangan gantung (wrist drop), dan tidak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangn.
4. Nervus Poplitea laterallis dapat terjadi anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan
dorsum pedis, kaki gantung (foot drop), dan kelemahan otot peroneus.
5. Nervus Tibialis posterior terjadi anestesia telapak kaki, claw toes, dan paralisis otot
cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan
7. Nervus Trigeminus terjadi anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata, atrofi
Kerusakan mata pada lepra juga dapat terjadi secara primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata serta dapat mendesak jaringan mata
lainnya. Kerusakan sekunder disebabkan oleh rusaknya N. Fasialis yang dapat membuat
14
Infiltrasi granuloma kedalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar
palit, dan folikel rambutmenyebabkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa
Kecacatan akibat kerusakan saraf tepi dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu:
1. terjadi kelainan pada saraf, berbentuk penebalan saraf, nyeri tanpa gangguan fungsi
2. terjadi kerusakan pada saraf, timbul paralisis tidak lengkap atau paralisis awal,
termasuk pada otot kelopak mata, otot jari tangan dan otot kaki. Pada stadium ini masih
dapat terjadi pemulihan dan kekuatan otot. Bila berlanjut dapat terjadi luka (di mata,
3. terjadi penghancuran saraf serta kelumpuhan menetap. Pada stadium ini dapat terjadi
2. Kecacatan tingkat 1 adalah cacat yang disebabkan oleh kerusakan saraf sensoris
yang tidak terlihat seperti hilangnya rasa raba pada kornea mata, telapak tangan dan
telapak kaki. Gangguan fungsi sensoris pada mata tidak diperiksa dilapangan oleh
karena itu tidak ada cacat tingkat 1 pada mata. Kecacatan tingkat 1 pada telapak kaki
beresiko terjadinya ulkus plantaris, namun dengan perawatan diri secara rutin hal ini
dapat dicegah. Mati rasa pada bercak bukan merupakan kecacatan tingkat 1 karena
bukan disebabkan oleh kerusakan saraf perifer utama, tetapi rusaknya saraf lokal
3. Kecacatan tingkat 2 berarti cacat atau kerusakan yang terlihat. Pada mata yaitu
15
jelas pada mata(terjadi pada ulserasi kornea atau uveitis), gangguan penglihatan
berat atau kebutaan.Sedangkan pada tangan dan kaki dapat terjadi luka dan ulkus di
telapak serta deformitas yang disebabkan oleh kelumpuhan otot (kaki semper atau
jari kontraktur) dan atau hilangnya jaringan (atrofi) atau reabsorbsi parsial dari jar-
jari.1,4,
I. Diagnosis Lepra
memerlukan waktu 10-14 hari. Tes lepromin (Mitsuda)juga dapat dilakukan untuk
membantu penentuan tipe yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu.
Penentuan tipe lepra perlu dilakukan supaya dapat menetapkan terapi yang sesuai.1
pada tahun 1995 WHO lebih menyederhanakan klasifikasi klinis lepra berdasarkan
penghitungan lesi kulit dan saraf yang terkena. Pada tahun 1997, diagnosis klinis lepra
berdasarkan tiga tanda kardinal yang dikeluarkan oleh “WHO’s Committe on Leprosy”
yaitu lesi pada kulit berupa hipopigmentasi atau eritema yang mati rasa, penebalan saraf
tepi, serta pada pemeriksaan skin smear atau basil pada pengamatan biopsi
positif.1,9Seseorang dikatakan sebagai penderita lepra apabila terdapat satu atau lebih
16
Cardinal sign Klasifikasi
Hipopigmentasi atau eritema
dengan Pausibasilar (1-5 lesi kulit)
disertai kehilangan sensasi
Penebalan saraf perifer Multibasilar ( 6 atau lebih lesi kulit)
Hasil positif dalam pemeriksaan
skin
smear atau biopsi
klinis di wajah berbeda dengan tubuh, lengan, tungkai dan sebagainya. Bahkan
pada satu lesi (kelainan kulit) dapat berbeda tipe dengan lesi lainnya. Begitu
pula dasar diagnosis histopatologik tergantung pada beberapa tempat dan dari
mana biopsi tersebut diambil. Diagnosis klinis dimulai dengan inspeksi, palpasi
kapas, tabung reaksi masing-masing dengan air panas dan air dingin, pensil
Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, dan
kapas terhadap rasa raba. Apabila belum jelas dapat dilakukan dengan
pengujian terhadap rasa suhu yaitu panas dan dingin menggunakan dua tabung
reaksi. Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom perhatikan ada
tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas ataupun tidak, yang dipertegas
dimulai dari tengah lesi kearah kulit normal. Bila ada gangguan, goresan pada
kulit normal akan lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian tengah lesi.
17
Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi. Gangguan fungsi
konsistensi, ada tidaknya nyeri spontan dan atau nyeri tekan. Hanya beberapa
saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa yaitu N. Fasialis, N. Aurikularis
Tibialis posterior.1
1. Pemeriksaan bakterioskopik
Skin smear atau kerokan kulit adalah pemeriksaan sediaan yang diperoleh
melalui irisan dan kerokan kecil pada kulit yang kemudian diberi pewarnaan
dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang
diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA) yaitu dengan
Pertama harus ditentukan lesi kulit yang diharapkan paling padat oleh
kuman, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil.
Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk pemeriksaan rutin sebaiknya
minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain
yang paling aktif yaitu yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan
kedua cuping telinga tersebut tanpa melihat ada tidaknya lesi di tempat tersebut,
18
Mycobacterium leprae tergolong BTA tampak merah pada sediaan.
Dibedakan atas batang utuh (solid), batang terputus (fragmented) dan butiran
fragmented dan granular adalah kuman mati. Kuman dalam bentuk hidup lebih
sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan rentang nilai dari 0
dengan jumlah solid dan non-solid yang berguna untuk mengetahui daya
2. Pemeriksaan histopatologi
19
Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Gambaran
nyata, tidak terdapat kuman atau hanya sedikit dan non-solid. Pada tipe
3. Pemeriksaan serologis
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat
16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi
tuberculosis.1
karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Selain itu dapat juga
K. Penatalaksanaan Lepra
20
penderita lepra tipe MB serta rifampisin dan dapson untuk penderita lepra tipe PB.
Rifampisin ini adalah obat anti lepra yang paling penting dan termasuk dalam
perawatan kedua jenis lepra. Pengobatan lepra dengan hanya satu obat antilepra akan
obat antilepra lain yang digunakan sebagai monoterapi dianggap tidak etis.1
Adanya MDT adalah sebagai usaha untuk mencegah dan mengobati resistensi,
Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan efek terapeutik obat, efek samping
bulan, klofamizin 300 mg setiap bulan dan 50 mg setiap hari, dan dapsone 100
kombinasi rifampisin 450 mg setiap bulan, klofamizin 150 mg setiap bulan dan
mg setiap bulan dan dapsone 100 mg setiap bulan. Pada anak-anak diberikan
selama 6 bulan dengan kombinasi rifampisin 450 mg setiap bulan dan dapsone
50 mg setiap bulan.4
berat badan diberikan pada pergantian hari, tergantung dosis, dan dapsone 2
21
Untuk pengobatan timbulnya reaksi lepra adalah sebagai berikut:
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid antara lain
diberikan dengan dosis 15-30 mg/hari. Dosis diturunkan secara bertahap sampai
mempunyai risiko tinggi terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita dengan reaksi
lepra terutama reaksi reversal lesi kulit multipel dan dengan saraf yang membesar atau
berkurangnya kekuatan otot. Keluhan yang timbul berupa nyeri saraf atau luka yang
tidak sakit, lepuh kulit atau hanya berbentuk daerah yang kehilangan sensibilitasnya,
22
serta adanya kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya memasang kancing
dengan melaksanakan diagnosis dini lepra, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan
tepat, mengenali gejala dan tanda reaksi lepra yang disertai gangguan saraf serta
pasien tentang perawatan misalnya memakai kacamata, merawat kulit supaya tidak
BAB III
LAPORAN KASUS
23
A. Identitas Pasien :
2. Umur : 19 tahun
3. Alamat :Abepura,
4. Pekerjaan :Mahasiswa
5. No. RM :088688.
Pasien datang dengan keluhan bercak putih di badan pada perut, dada,
punggung, tangan, kaki dan wajah sejak 1 tahun yang lalu. Bercak awal muncul
pertama kali pada bagian punggung kemudian menyebar. Dari hasil anamnesis
didapatkan bercak yang terasa tebal, tidak ada gatal, tidak ada nyeri, tidak ada
kesemutan pada telapak tangan dan kaki, dan badan pasien tidak panas..
D. Riwayat Pengobatan
tetapi pasien lupa nama obatnya, dan diberi pengantar periksa darah ke LABKESDA,
E. Riwayat Alergi
Riwayat penyakit dalam keluarga disangkal,. Tidak ditemukan adanya penyakit penyerta.
G. Pemeriksaan Fisik
24
Status internus pasien dalam batas normal. status lokalis kelainan pada mukosa badan,
bagian perut, dada, punggung, lengan, kaki dan wajah terdapat makula Hipopigmentasi,
bentuk oval, batas tidak tegas, ukuran milier sampai lentikular, bentuk lesi teratur dan
tidak teratur. Lokasi universalis. Tidak terdapat erosi pada mukosa. Pada rambut tidak
terjadi alopesia. Pembesaran kelenjar limfe dan pembesaran saraf tidak ada. Pemeriksaan
sensibilitas pada lesi raba, nyeri normal, terdapat anestesi perabaan pada regio punggung
menggunakan kapas.
25
gambar 3 .gejala -gejala pembesaran
Diagnosis Banding : tinea versikolor, pitiriasis rosea, pitiriasis alba, dan psoriasis.
26
BAB IV
PEMBAHASAN
Kusta, juga dikenal sebagai Morbus Hansen, adalah penyakit infeksi kronis
27
dan manifestasi klinis dikaitkan dengan respon imun host. Meskipun prevalensi kusta
telah menurun secara dramatis, tingginya jumlah kasus baru menunjukkan transmisi
aktif. Kusta adalah salah satu penyebab paling umum dari neuropati perifer
nontraumatic di seluruh dunia. Proporsi pasien dengan cacat dipengaruhi oleh jenis
Kusta merupakan penyakit yang utamanya menyerang kulit dan sistem saraf
perifer. Namun terkadang dapat mengenai mata, tulang, kelenjar getah bening, struktur
hidung, dan testis juga mungkin terlibat. Manifestasi klinis penyakit itu dibagi menjadi
dua, tuberkuloid (TT) atau pausibasiler (PB) dan lepromatosa (LL) atau multibasiler
[BT] , mid borderline [BB] , dan borderline lepromatosa [BL] ). Klasifikasi WHO
ditentukan oleh jumlah basil yang ditemukan dari pemeriksaan slit skin smear. Secara
klinis, pasien dengan kusta lepromatosa memiliki jumlah BTA yang tinggi pada
spesimen biopsi kulit (multibasiler) ; beberapa lesi kulit terdiri dari makula, papula,
plak, atau nodul, dan saraf perifer menebal dengan anestesi dan akhirnya dapat
tulang, kulit menyerupai lilin karena infiltrasi oleh makrofag, limfosit, dan sel plasma.
Pasien dengan kusta tuberkuloid (TT dan BT) memiliki jumlah BTA yang rendah
(pausibasiler) pada spesimen biopsi kulit, dengan lesi kulit anestesi tunggal dengan atau
Pada kasus, keluhan bercak putih pada bada, dada, punggung, tangan, kaki dan
wajah sejak 1 tahun. Dari hasil anamnesis didapatkan bercak yang terasa tebal, tidak
ada gatal, tidak ada nyeri, ada kesemutan pada tangan dan kaki, dan badan pasien tidak
pasien dalam batas normal. Status venerologi lokalisasi kelainan pada mukosa badan,
28
punggung, dada, lengan, kaki, wajah. Pada eflorisensi terlihat makula hipopigmentasi,
bentuk oval. Punched – out lesion (+). Diagnosis bandingnya adalah tinea versikolor,
Berdasarkan lesi yang terlihat pada wajah dan tubuh pasien, didapatkan
untuk gejala klinis morbus hansen yaitu pemeriksaan pembesaran saraf-saraf perifer,
kekuatan motorik dan pemeriksaan sensorik. Dari hasil yang didapatkan, tidak terdapat
adanya pembesaran saraf-saraf perifer, dan kelemahan kekuatan motorik pada pasien.
Dilakuan juga pemeriksaan rangsang raba,dan nyeri. Penemuan klinis ini mengarah
pada diagnosis morbus hansen. Pemeriksaan penunjang lain yang dilakukan adalah
pemeriksaan slit skin smear untuk memastikan diagnosis kerja morbus hansen dan
pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH untuk dapat memastikan atau menyingkirkan
diagnosis banding. Pada pasien ini didapatkan hasil pemeriksaan KOH dan BTA MH
di dapatkan hasil BTA tahan asam bentuk globi (+1), fragmen (+1), solid (+2) dan
spora > 30 / LP, hifa 2-4/LP. Maka diagnosa kerja yang di dapat adalah Morbus Hansen
dengan Pitiriasis versikolor atau tinea versikolor yaitu kelainan kulit yang umum, jinak,
infeksi jamur superfisial yang biasanya ditandai dengan makula hipopigmentasi atau
hiperpigmentasi di dada dan punggung. Kadang penderita dapat merasakan gatal yang
ringan. Diagnosisnya dapat dikuatkan dengan hasil pemeriksaan KOH yang didapat.
dimulai dengan sebulah lesi inisal (herald patch) berbentuk eritema dan skuama
halus, yang kemudian diikuti oleh lesi yang lebih kecil di badan, lengan dan
29
paha atas yang membentuk lesi sejajar dengan kostae, hingga membentuk
pohon cemara terbalik. Pada pasien ini tidak didapatkan bentuk lesi tersebut.
2. Pitiriasis alba umumnya asimptomatis, tetapi mungkin saja sedikit gatal. Pasien
mungkin memiliki riwayat keluarga atau pasien seperti sakit asma, demam
karena
alergi atau eksema dalam area yang sesuai ciri khas dermatitis atopik. Pitiriasis
daerah muka, lengan bagian atas, leher, atau bahu. Kaki dan tangan lebih sedikit
terkena. Pada sekitar setengah dari semua pasien, luka terbatas di daerah wajah.
3. Pada psoriasis keluhan penderita biasanya sedikit gatal dan panas di samping
kosmetik. Lesi kulit yang pertama kali timbul biasanya pada tempat-tempat
yang mudah terkena trauma antara lain : siku, lutut, sakrum, kepala dan genitalia,
berupa makula eritematus dengan batas jelas, tertutup skuama tebal dan
transparan yang lepas pada bagian tepi dan lekat di bagian tengah.
dimana setiap strip dihabiskan dalam 28 hari. Walaupun demikian, 12 strip tersebut
dapat dihabiskan dalam kurun waktu maksimal 18 bulan. Menurut program WHO yaitu
dengan dapson 100 mg, rifampisin 600 mg, dan klofazimin 300 mg. Pada hari pertama,
pasien harus meminum obat langsung didepan petugas kesehatan. Sedangkan pada hari
selanjutnya, diberikan klofazimin 50 mg, dan dapson 100 mg, setiap hari dari hari ke-2
hingga hari ke-28, diminum sekali sehari pada waktu dan jam yang sama. Pasien harus
datang untuk mengambil obat baru setiap hari ke-29 dan mendapatkan paket blister
30
yang sama. Pengobatan ini harus terus diulang hingga 12 bulan minimal dan maksimal
18 bulan.
Setiap hari pertama untuk tiap bulannya, pasien terus dilakukan pemeriksaan
neurologis ulang, disamping itu juga dilakukan pemeriksaan mata, pemeriksaan efek
samping obat dan resistensi obat serta pemeriksaan reaksi kusta. Selain itu dilakukan
resistensi. Setelah selesai pengobatan dilanjutkan masa Release From Treatment (RFT)
selama 5 tahun dengan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan pengobatan setiap tahun.
BAB V
PENUTUP
1. KESIMPULAN
31
Pada pria berumur 19 tahun dengan keluhan bercak putih pada badan, dada, tangan,
kaki dan wajah sejak 1 tahun sesuai dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang dapat diagnosis sebagai Morbus Hansen tipe (LL). Pasien
mendapatkan terapi medikamentosa berupa MDT MB paket I, vitamin B1, B6, B12 dan
untuk tinea vesicolor pasien mendapatkan terapi folcanox 100 mg caps 1x1,
Neurosanbe 1x1.
2. Saran
Masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan kasus ini dikarenakan diharapkan
penulis mampu menggali lagi hal-hal yang berkaitan dengan kasus morbus hansen.
DAFTAR PUSTAKA
32
1. Djuanda A, Kosasih A, Wiryadi, et al. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin : Edisi 7. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2015. hal. 73-83
2. RSCM. Panduan Pelayanan Medis Departemen Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta :
RSCM, 2007. Halaman 147. (download pdf.)
3. Ida ayu devi, IGK Darmada . Morbus Hansen. Denpasar : Bagian/SMF Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, 2015.
33