Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Morbus Hansen (kusta/ lepra) adalah penyakit granulomatosa kronis yang

disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. M.

leprae menyerang saraf perifer, kulit, dan jaringan tubuh lainnya, kecuali susunan saraf

pusat. Kusta masih terdapat di daerah tropis dan sub-tropis. Di seluruh dunia 249.007

kasus baru terdaftar pada tahun 2008 dengan India mendaftarkan 134.184 kasus. Di

Indonesia sendiri tercatat 33.739 orang penderita kusta. Indonesia merupakan Negara

ketiga terbanyak penderitanya setelah India dan Brasil dengan prevalensi 1,7 per 10.000

penduduk. Cara penularan penyakit ini belum diketahui secara pasti namun hanya

berdasarkan anggapan klasik yaitu kontak langsung antar kulit yang lama dan secara

inhalasi. Kusta mempengaruhi saraf perifer menyebabkan pembesaran, kehilangan

sensori dan kelemahan motorik, dan serat saraf di kulit menyebabkan hilangnya sensasi

di area kulit yang terkena. Infeksi M. leprae diobati dengan Multi Drug Therapy (MDT)

dan semua pasien menerima terapi baik ganda atau tiga obat sampai 12 bulan. MDT

sangat efektif dengan tingkat kekambuhan 1 %. Kerusakan saraf baru diobati dengan

terapi steroid, tetapi hanya sekitar 50 % dari pasien akan mengalami perbaikan dalam

fungsi saraf setelah pengobatan dengan steroid. Permasalahan kusta juga dipengaruhi

oleh episode lanjut dari peradangan yang mempengaruhi kulit dan saraf. Ini mungkin

merupakan reaksi tipe 1 yang terkait dengan jenis hipersensitivitas tertunda (delayed)

yang menyebabkan peradangan yang mempengaruhi kulit dan saraf. Tipe 2 atau eritema

nodosum leprosum (ENL) merupakan reaksi yang berhubungan dengan deposisi

kompleks imun dan peradangan sistemik yang terlihat dengan adanya keterlibatan kulit,

1
saraf, mata, tulang, dan testis. Laporan ini mempresentasikan kasus Morbus Hansen

(kusta/ lepra).

2
BAB II

Tinjauan Pustaka

A. Definisi Lepra (Morbus Hansen)

Lepra (Morbus Hansen, kusta) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang

disebabkan oleh M. leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai

afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian

dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1,3 Lepra merupakan infeksi bakteri

granulomatosa kronis, terutama mempengaruhi kulit dan saraf perifer yang disebabkan

oleh M. leprae.

B. Epidemiologi Lepra

Lepra dapat terjadi dimanapun seperti di Asia, Afrika, Amerika latin, daerah

tropis dan subtropis serta masyarakat dengan sosioekonomi yang rendah. Tingkat

endemisitaspenyakitlepraterjadi di 15 negaradengan 83% ditemukan di India, Brazil,

danBirmania.1,9 Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2011 tercatat

226.626 kasus baru lepra dan meningkat pada tahun 2012 menjadi 232.857 kasus.

Tahun 2012 jumlah kasus baru di Indonesia sejumlah 18.994 kasus, sedangkan di Jawa

Tengah pada tahun 2012 dilaporkan terdapat kasus baru tipe Multibasilar (MB)

sebanyak 1.308 kasus dan pada lepra tipe Pausibasilar (PB) sebanyak 211 kasus dengan

Newly Case Detection Rate (NCDR) sebesar 4,57 per 100.000 penduduk.

Indonesia berhasil mencapai eliminasi lepra pada tahun 2000 di 19 provinsi dan

sekitar 300 kabupaten/kota. Eliminasi dilakukan dengan menurunkan angka kesakitan

lebih kecil dari 1 per 10.000 penduduk dan lebih dari 10 juta penderita telah

disembuhkan dan lebih dari 1juta penderita telah diselamatkan dari kecacatan.

Prevalensi penderita lepra di Indonesia turun sebesar 81% dari 107.271 pada tahun 1990

3
menjadi 21.026 pada tahun 2009. Hal itu dicapai setelah dilakukan program rehabilitasi

melalui operasi, rekonstruksi, protesa dan pembentukan kelompok perawatan diri.

Lepra merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat

menyebabkan ulserasi, mutilasi dan deformitas. Penderita lepra bukan hanya menderita

penyakitnya tetapi juga pengucilan dari masyarakat sekitar. Hal ini akibat kerusakan

saraf besar yang ireversibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik serta dengan

adanya kerusakan yang berulang pada daerah anestesia yang disertai paralisis dan atrofi

otot.

C. Etiologi Lepra

Kuman penyebab lepra adalah M. leprae yang ditemukan oleh G.A. Hansen

pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam

media artifisial. Mycobacterium leprae berbentuk pleomorf lurus, batang panjang, sisi

pararel dengan kedua ujung bulat dengan ukuran 3-8 μm x 0,5μm. Basil ini berbentuk

gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora dapat tersebar atau dalam berbagai

ukuran bentuk kelompok, termasuk massa irreguler besar yang disebut globi. Dengan

mikroskop elektron, M. leprae terlihat mempunyai dinding yang terdiri dari dua lapisan

yaitu lapisan peptidoglikan padat pada bagian dalam dan lapisan transparan

lipopolisakarida dan kompleks protein lipopolisakarida pada bagian luar. Dinding

polisakarida ini adalah suatu arabinogalaktan yang diesterifikasi oleh asam mikolik

dengan ketebalan 2 nm. Peptidoglikan terlihat mempunyai sifat spesifik pada M. lepra,

yaitu adanya asam amino glisin, sedangkan pada bakteri lain mengandung alanin.

Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit meliputi bangsa atau ras,

sosioekonomi, kebersihan dan keturunan. Pada ras kulit hitam insiden bentuk

tuberkuloid lebih tinggi, sedangkan pada kulit putih cenderung tipe lepramatosa.

Banyak terjadi pada negaranegara berkembang dan golongan sosioekonomi rendah dan

4
lingkungan yang kurang memenuhi kebersihan. Faktor genetik berperan penting dalam

penularan penyakit lepra. Penyakit ini tidak diturunkan pada bayi yang dikandung ibu

lepra.

D. Patogenesis Lepra

Mycobacterium leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah

karena penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan

gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat

infeksi dengan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang

menggugah reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri

atau progresif. Oleh karena itu penyakit lepra dapat disebut sebagai penyebab

imunologik. Kelompok umur terbanyak terkena lepra adalah usia 25-35 tahun.

Onset lepra adalah membahayakan yang dapat mempengaruhi saraf, kulit dan

mata. Hal ini juga dapat mempengaruhi mukosa (mulut, hidung dan faring), testis,

ginjal, otot-otot halus, sistem retikuloendotel dan endotelium pembuluh darah.Basil

masuk kedalam tubuh biasanya melalui sistem pernafasan, memiliki patogenisitas

rendah dan hanya sebagian kecil orang yang terinfeksi menimbulkan tanda-tanda

penyakit. Masa inkubasi M. leprae biasanya 3-5 tahun. Setelah memasuki tubuh basil

bermigrasi kearah jaringan saraf dan masuk kedalam sel Schwann. Bakteri juga dapat

ditemukan dalam makrofag, sel-sel otot dan sel-sel endotel pembuluh darah. Setelah

memasuki sel Schwann atau makrofag, keadaan bakteri tergantung pada perlawanan

dari individu yang terinfeksi. Basil mulai berkembangbiak perlahan (sekitar 12-14 hari

untuk satu bakteri membagi menjadi dua) dalam sel, dapat dibebaskan dari sel-sel

hancur dan memasuki sel terpengaruh lainnya. Basil berkembang biak, peningkatan

beban bakteri dalam tubuh dan infeksi diakui oleh sistem imunologi serta limfosit dan

histiosit (makrofag) menyerang jaringan terinfeksi. Pada tahap ini manifestasi klinis

5
mungkin muncul sebagai keterlibatan saraf disertai dengan penurunan sensasi dan atau

skin patch. Apabila tidak didiagnosis dan diobati pada tahap awal, keadaan lebih lanjut

akan ditentukan oleh kekuatan respon imun pasien. Sitem Imun Seluler (SIS)

memberikan perlindungan terhadap penderita lepra. Ketika SIS spesifik efektif dalam

mengontrol infeksi dalam tubuh, lesi akan menghilang secara spontan atau

menimbulkan lepra dengan tipe Pausibasilar (PB). Apabila SIS rendah, infeksi

menyebar tidak terkendali dan menimbulkan lepra dengan tipe Multibasilar (MB).

Kadang-kadang respon imun tiba-tiba berubah baik setelah pengobatan atau karena

status imunologi yang menghasilkan peradangan kulit dan atau saraf dan jaringan lain

yang disebut reaksi lepra (tipe 1 dan 2).

E. Klasifikasi Lepra

Menurut Kongres Internasional Madrid (1953), lepra dibagi atas tipe

Indeterminan(I), tipe Tuberculoid (T), tipe Lepromatosa dan tipeBorderline (B). Ridley

Jopling (1960) membagi lepra kedalam berbagai tipe yaituIndeterminan (I),

Tuberculoid polar (TT), Borderline Tuberculoid (BT), Mid Borderline (BB),

Borderline Lepromatous (BL), dan Lepromatosa polar (LL).

Tipe I tidak termasuk dalam spektrum. Tipe TT adalah tipe tuberculoid polar

yaitu tuberculoid 100% yang merupakan tipe stabil sehingga tidak mungkin berubah

tipe. Begitu juga dengan tipe LL yang merupakan tipe lepromatosa polar, yaitu

lepramatosa 100% , mempunyai sifat stabil dan tidak mungkin berubah lagi. BB

merupakan tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberculoid dan 50% lepromatosa.

Pada tipe BT lebih banyak tuberculoid, sedangkan pada tipe BL lebih banyak

lepromatosa. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil yang berarti bahwa dapat

dengan bebas beralih tipe, baik ke arah tipe TT maupun tipe LL.1 Menurut WHO pada

6
1981, lepra dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe Multibasilar (MB) dan tipe Pausibasilar

(PB).1

1. Lepra tipe PB ditemukan pada seseorang dengan SIS baik. Pada tipe ini berarti

mengandung sedikit kuman yaitu tipe TT, tipe BT dan tipe I. Pada klasifikasi

Ridley-Jopling dengan Indeks Bakteri (IB) kurang dari 2+.

2. Lepra tipe MB ditemukan pada seseorang dengan SIS yang rendah. Pada tipe ini

berarti bahwa mengandung banyak kuman yaitu tipe LL, tipe BL dan tipe BB. Pada

klasifikasi Ridley-Jopling dengan Indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+.

Berkaitan dengan kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi

perubahan yaitu lepra PB adalah lepra dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan

jaringan kulit, yaitu tipe I, tipe TT dan tipe BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling.

Apabila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif maka akan dimasukkan kedalam

lepra tipe MB. Sedangkan lepra tipe MB adalah semua penderita lepra tipe BB, tipe

BL dan tipe LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus diobati

dengan regimen MDT (Multi Drug Therapy)-MB.1

F. Manifestasi Klinis Lepra

Tanda dan gejala penyakit lepra tergantung pada beberapa hal yaitu multiplikasi

dan diseminasi kuman M. leprae, respon imun penderita terhadap kuman M. leprae

serta komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.11

Karakteristik klinis kerusakan saraf tepi:1,4

1. Pada tipe tuberculoid yaitu awitan dini berkembang dengan cepat, saraf yang

terlibat terbatas (sesuai jumlah lesi), dan terjadi penebalan saraf yang

menyebabkan gangguan motorik, sensorik dan otonom.

2. Pada tipe lepromatosa yaitu terjadi kerusakan saraf tersebar, perlahan tetapi

progresif, beberapa tahun kemudian terjadi hipoestesi (bagian-bagian dingin

7
pada tubuh), simetris pada tangan dan kaki yang disebutglove dan stocking

anaesthesia terjadi penebalan saraf menyebabkan gangguan motorik, sensorik

dan otonom dan ada keadaan akut apabila terjadi reaksi tipe 2.

3. Tipe borderline merupakan campuran dari kedua tipe (tipe tuberculoid dan tipe

lepromatosa.

Tabel 2.1Gambaran klinis, bakteriologis dan imunologis lepra tipe MB.1

Sifat Lepramatosa Borderline Mid


(LL) Lepromatosa Borderline
(BL) (BB)
Lesi
- Bentuk Makula Makula Plakat
Infiltrat difus Plakat Dome-shaped
Papul Papul (kubah)
Nodus Punched-out
- Jumlah Tidak terhitung, Sukar Dapat
praktis tidakada dihitung, dihitung, kulit
kulit sehat masih ada sehat jelas ada
kulit seha
- Distribusi Simetris Hampir Asimetris
simetris
Agak
- Permukaan Halus berkilat Halus berkilat kasar,
agak berilat
- Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
- Anestesia Tidak ada Tidak jelas Lebih jelas
sampai tidak
jelas
BTA
- Lesi kulit Banyak (ada Banyak Agak banyak
globus)
- Sekret Banyak (ada Biasanya Negatif
hidung globus) negatif
Tes lepromin Negatif Negatif Biasanya
negatif

8
Tabel 2.2.Gambaran klinis, bakteriologis dan imunologis lepra tipe PB.1

Sifat Tuberkuloid Borderline Intermedinate (I)

(TT) Tuberkuloid (BT)

Lesi

- Bentuk Makula saja, Makula dibatasi Hanya makula

makula infiltrat, infiiltrat saja

dibatasi

infiltrat

- Jumlah Satu, dapat Beberapa atau satu Satu atau beberapa

beberapa dengan satelit

- Distribusi asimetris Masih simetris variasi

- Permukaan Kering Kering bersisik Halus, agak berkilat

bersisik

- Batas jelas jelas Dapat jelas, atau tidak

jelas

-Anestesia jelas jelas Tidak ada sampai

tidak jelas

BTA

- Lesi kulit Hampir Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif

selalu negatif

- Tes Lepromin Positif kuat Positif lemah Dapat positif lemah

3+ atau negatif

9
G. Reaksi Lepra

Reaksi lepra adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit

yang kronik disebabkan karena sistem kekebalan tubuh yang menyerang kuman M.

leprae. Penderia lepra dapat mengalami reaksi hampir setiap saat yaitu sebelum

pengobatan, saat diagnosis ditegakkan, selama pengobatan maupun setelah pengobatan

selesai. Sebagian besar reaksi terjadi dalam satu tahun setelah diagnosis. Pada penderita

tipe MB, reaksi dapat timbul setiap saat selama pengobatan bahkan sampai dengan

beberapa tahun setelah pengobatan.1,15

Berikut ini adalah tanda-tanda terjadinya reaksi lepra:1,4

1. Pada kulit: peradangan bercak kulit

2. Pada saraf: rasa sakit atau nyeri tekan pada saraf, timbul kehilangan rasa raba

baru dan timbul kelemahan otot baru

3. Pada mata: rasa sakit atau kemerahan pada mata, timbu penurunan daya

penglihatan yang baru, timbul kelemahan otot-otot penutup mata yang baru

Reaksi lepra dapat digolongkan menjadi dua kategori yaitu:

1. Reaksi tipe 1 disebut juga reaksi reversal.

Reaksi tipe 1 ini disebabkan peningkatan aktivitas sistem kekebalan tubuh

dalam melawan basil lepra atau bahkan sisa basil yang mati. Peningkatan

aktivitas ini menyebabkan terjadi peradangan setiap terdapat basil lepra pada

tubuh, terutama kulit dan saraf. Penderita lepra dengan tipe MB maupun PB

dapat mengalami reaksi tipe 1. Sekitar seperempat dari seluruh penderita lepra

kemungkinan akan mengalami reaksi tipe 1.4

Reaksi tipe 1 paling sering terjadi dalam enam bulan setelah mulai minum

obat. Beberapa penderita mengalami reaksi tipe 1 sebelum mulai berobat

dimana belum terdiagnosis. Reaksi merupakan tanda penyakit yang sering

10
muncul pertama yang menyebabkan penderita datang untuk berobat. Sebagian

kecil penderita mengalami reaksi lebih lambat, baik selama masa pengobatan

maupun sesudahnya.15

2. Reaksi tipe 2 disebut juga reaksi Erythema Nodusum Leprosum (ENL).

Reaksi tipe 2 ini terjadi apabila basil leprae dalam jumlah besar terbunuh

dan secara bertahap dipecah. Protein dari basil yang mati mencetuskan reaksi

alergi. Reaksi tipe 2 akan mengenai seluruh tubuh dan menyebabkan gejala

sistemikkarena protein ini terdapat dialiran pembuluh darah.4

Erythema nodusum leprosumhanya terjadi pada penderita tipe MB,

terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada tipe BL, serta

pada ENL tidak terjadi perubahan tipe, berarti bahwa semakin tinggi tingkat

multibasilarnya semakin besar kemungkinan timbulnya ENL. Secara

imunopatologis, ENL termasuk respon imun humoral, berupa fenomena

kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. leprae, antibodi (IgM, IgG) dan

komplemen, maka ENL termasuk didalam golongan penyakit kompleks imun,

karena salah satu protein M. leprae bersifat antigenik maka antibodi dapat

terbentuk. Kadar imunoglobulin penderita lepra lepromatosa lebih tinggi

daripada tipe tuberculoid. Hal ini terjadi oleh karena tipe lepromatosa jumlah

kuman jauh lebih banyak daripada tipe tuberculoid. ENL lebih sering terjadi

pada masa pengobatan. Hal ini dapat terjadi karena banyak kuman lepra yang

mati dan hancur, berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan

antibodi, serta mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus

beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ.1

Tabel 2.3Perbedaan reaksi tipe 1 dan tipe 2.1

11
R eak s i ti p e
No Gejala /tanda 1 Reaksi tipe 2
Kea daan
1 umum Umumnya baik, Ringa n sa mpai
demam ringa n berat diserta i
(sub febris) atau kelemahan umum
tanpa demam dan demam tinggi
2 Pera danga n di kulit Bercak kulit la ma Timbul nodul
menjadi leb i h kemera han, lunak
dan nyeri
mera dang tekan.
Bia sany
(merah), d ap at a pada
timbul b erc a k lenga n dan
baru tungkai. Nodul
dapat pecah
(ulsera si
)
3 Sara f Sering terj ad i , Da pat terjadi
umumnya b eru p a
nyer
i tekan sa raf
dan atau
ga ngguan fungsi
sara f
4 Pera danga n pada Hampir tidak ada Terjadi pada
orga n la in mata, k el en j ar
geta h bening,
sendi, ginjal,
testis, dll
Bia sany
5 Waktu timbul Bia sanya segera a sa at
setela h pengobatan
p en g o b at a
n
6 Tipe lepra Da pat terjadi pada Hanya pada lepra
lepra tipe PB tipe MB
maupun
MB

Tabel 2.4 Perbedaan reaksi ringan dan berat pada reaksi lepra tipe 1

12
dan tipe 2.1

No Gejala/tanda Reaksi tipe 1 R eaksi tipe 2


Ringan Berat Ringan Berat
1 Kulit Bercak: Bercak: Nodul: Nodul:
merah, merah, merah, merah, panas,
tebal, tebal, panas, nyeri yang
panas, panas, nyeri nyeri bertambah
parah
nyeri* yang sampai
bertambah pecah
parah
sampai
pecah
Nyeri
2 Saraf tepi pada Nyeri pada Nyeri Nyeri pada
perabaan: perabaan: pada perabaan: (+)
(-) (+) perabaan:
(-)
Gangguan Gangguan Gangguan Gangguan
fungsi: (-) fungsi: (+) fungsi: (-) fungsi: (+)
3 Keadaan Demam: (-) Demam: ± Demam: Demam: (+)
umum ±
4 Gangguan - - - Terjadi
pada organ perdanngan
la in pada:
Mata:
Iridocyclitis
Test is:
epididimoorc
hitis
Ginjal :
nephritis
Kelenjar
limfe:
limfadenitis
Gangguan
pada tulang,
hidung dan
tenggorokan

H. Deformitas atau Kecacatan

Deformitas atau kecacatan lepra sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi

menjadi deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer terjadi sebagai akibat

langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae yang

mendesak dan merusak jaringan disekitarnya yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius

atas, tulang-tulang jari dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat adanya

deformitas primer terutama kerusakan saraf (sensorik, motorik dan otonom) antara lain

kontraktur sendi, mutilasi tangan dan kaki.1

13
Gejala-gejala kerusakan saraf:1

1. Nervus Ulnaris akan terjadi anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis,

clawing kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot

lubrikalis medial.

2. Nervus Medianus terjadi anestesia pada ujung jari sebagian anterior ibu jari, jari

telunjuk dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, jari telunjuk dan

jari tengah, ibu jari kontraktur dan atrofi otot tenar dan kedua otot lubrikalis lateral.

3. Nervus Radialis terjadi anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk,

tangan gantung (wrist drop), dan tidak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangn.

4. Nervus Poplitea laterallis dapat terjadi anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan

dorsum pedis, kaki gantung (foot drop), dan kelemahan otot peroneus.

5. Nervus Tibialis posterior terjadi anestesia telapak kaki, claw toes, dan paralisis otot

intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis.

6. Nervus Fasialis yaitu cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus,

cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan

kegagalan mengatubkan bibir.

7. Nervus Trigeminus terjadi anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata, atrofi

otot tenar dan kedua otot lubrikalis lateral.

Kerusakan mata pada lepra juga dapat terjadi secara primer dan sekunder. Primer

mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata serta dapat mendesak jaringan mata

lainnya. Kerusakan sekunder disebabkan oleh rusaknya N. Fasialis yang dapat membuat

paralisis N. Orbicularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya yang mengakibatkan

lagoftalmus, selanjutnya menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara

sendiri-sendiri atau bergabung yang akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.1,4

14
Infiltrasi granuloma kedalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar

palit, dan folikel rambutmenyebabkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa

dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan infiltrasi

granuloma pada tubulus seminiferus testis.1

Kecacatan akibat kerusakan saraf tepi dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu:

1. terjadi kelainan pada saraf, berbentuk penebalan saraf, nyeri tanpa gangguan fungsi

gerak namun telah terjadi gangguan sensorik,

2. terjadi kerusakan pada saraf, timbul paralisis tidak lengkap atau paralisis awal,

termasuk pada otot kelopak mata, otot jari tangan dan otot kaki. Pada stadium ini masih

dapat terjadi pemulihan dan kekuatan otot. Bila berlanjut dapat terjadi luka (di mata,

tangan dan kaki) dan kekakuan sendi,

3. terjadi penghancuran saraf serta kelumpuhan menetap. Pada stadium ini dapat terjadi

infeksi yang progesif dengan kerusakan tulang dan kehilangan penglihatan.4

Derajat kecacatan pada lepra terbagi atas tiga tingkatan yaitu:

1. Kecacatan tingkat 0 berarti tidak ada cacat.1

2. Kecacatan tingkat 1 adalah cacat yang disebabkan oleh kerusakan saraf sensoris

yang tidak terlihat seperti hilangnya rasa raba pada kornea mata, telapak tangan dan

telapak kaki. Gangguan fungsi sensoris pada mata tidak diperiksa dilapangan oleh

karena itu tidak ada cacat tingkat 1 pada mata. Kecacatan tingkat 1 pada telapak kaki

beresiko terjadinya ulkus plantaris, namun dengan perawatan diri secara rutin hal ini

dapat dicegah. Mati rasa pada bercak bukan merupakan kecacatan tingkat 1 karena

bukan disebabkan oleh kerusakan saraf perifer utama, tetapi rusaknya saraf lokal

kecil pada kulit.1

3. Kecacatan tingkat 2 berarti cacat atau kerusakan yang terlihat. Pada mata yaitu

terjadi ketidakmampuan menutup mata dengan rapat (lagoftalmus), kemerahan yang

15
jelas pada mata(terjadi pada ulserasi kornea atau uveitis), gangguan penglihatan

berat atau kebutaan.Sedangkan pada tangan dan kaki dapat terjadi luka dan ulkus di

telapak serta deformitas yang disebabkan oleh kelumpuhan otot (kaki semper atau

jari kontraktur) dan atau hilangnya jaringan (atrofi) atau reabsorbsi parsial dari jar-

jari.1,4,

I. Diagnosis Lepra

Diagnosis penyakit lepra didasarkan oleh gambaran klinis, bakterioskopis,

histopatologis dan serologis. Diantara pemeriksaan tersebut, diagnosis secara klinis

adalah yangterpenting dan paling sederhana dilakukan. Hasil bakterioskopis

memerlukan waktu paling sedikit (15-30 menit), sedangkan pemeriksaan histopatologi

memerlukan waktu 10-14 hari. Tes lepromin (Mitsuda)juga dapat dilakukan untuk

membantu penentuan tipe yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu.

Penentuan tipe lepra perlu dilakukan supaya dapat menetapkan terapi yang sesuai.1

Karena pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di lapangan,

pada tahun 1995 WHO lebih menyederhanakan klasifikasi klinis lepra berdasarkan

penghitungan lesi kulit dan saraf yang terkena. Pada tahun 1997, diagnosis klinis lepra

berdasarkan tiga tanda kardinal yang dikeluarkan oleh “WHO’s Committe on Leprosy”

yaitu lesi pada kulit berupa hipopigmentasi atau eritema yang mati rasa, penebalan saraf

tepi, serta pada pemeriksaan skin smear atau basil pada pengamatan biopsi

positif.1,9Seseorang dikatakan sebagai penderita lepra apabila terdapat satu atau lebih

dari tanda-tanda terssebut.

Tabel 2.5 Diagnosis klinis, klasifikasi dan penanganan lepra menurut

“WHO’s Cardinal Sign” (1997) .

16
Cardinal sign Klasifikasi
Hipopigmentasi atau eritema
dengan Pausibasilar (1-5 lesi kulit)
disertai kehilangan sensasi
Penebalan saraf perifer Multibasilar ( 6 atau lebih lesi kulit)
Hasil positif dalam pemeriksaan
skin
smear atau biopsi

Pada diagnosis secara klinis dan secara histopatologik ada kemungkinan

terdapat persamaan maupun perbedaan tipe. Diagnosis klinis harus didasarkan

hasil pemeriksaan seluruh tubuh penderita, sebab ada kemungkinan diagnosis

klinis di wajah berbeda dengan tubuh, lengan, tungkai dan sebagainya. Bahkan

pada satu lesi (kelainan kulit) dapat berbeda tipe dengan lesi lainnya. Begitu

pula dasar diagnosis histopatologik tergantung pada beberapa tempat dan dari

mana biopsi tersebut diambil. Diagnosis klinis dimulai dengan inspeksi, palpasi

lalu dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan alat sederhana berupa jarum,

kapas, tabung reaksi masing-masing dengan air panas dan air dingin, pensil

tinda dan sebagainya.1,4

Ada tidaknya anestesia sangat banyak membantu penentuan diagnosis.

Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, dan

kapas terhadap rasa raba. Apabila belum jelas dapat dilakukan dengan

pengujian terhadap rasa suhu yaitu panas dan dingin menggunakan dua tabung

reaksi. Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom perhatikan ada

tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas ataupun tidak, yang dipertegas

dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya

dimulai dari tengah lesi kearah kulit normal. Bila ada gangguan, goresan pada

kulit normal akan lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian tengah lesi.

17
Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi. Gangguan fungsi

motoris diperiksa dengan Voluntary Muscle Test (VMT).1,4

Saraf perifer yang perlu diperhatikan adalah mengenai pembesaran,

konsistensi, ada tidaknya nyeri spontan dan atau nyeri tekan. Hanya beberapa

saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa yaitu N. Fasialis, N. Aurikularis

magnus, N. Radialis, N. Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea lateralis, dan N.

Tibialis posterior.1

J. Penunjang Diagnosis Lepra

1. Pemeriksaan bakterioskopik

Skin smear atau kerokan kulit adalah pemeriksaan sediaan yang diperoleh

melalui irisan dan kerokan kecil pada kulit yang kemudian diberi pewarnaan

tahan asam untuk melihat M. leprae. Pemeriksaan ini digunakan untuk

membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat

dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang

diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA) yaitu dengan

menggunakan Ziehl-Neelsen. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita

bukan berarti orang tersebut tidak mengandung kuman M. leprae. 1

Pertama harus ditentukan lesi kulit yang diharapkan paling padat oleh

kuman, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil.

Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk pemeriksaan rutin sebaiknya

minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain

yang paling aktif yaitu yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan

kedua cuping telinga tersebut tanpa melihat ada tidaknya lesi di tempat tersebut,

karena pada tempat tersebut mengandung kuman paling banyak.1

18
Mycobacterium leprae tergolong BTA tampak merah pada sediaan.

Dibedakan atas batang utuh (solid), batang terputus (fragmented) dan butiran

(granular). Bentuk solid adalah kuman hidup, sedangkan pada bentuk

fragmented dan granular adalah kuman mati. Kuman dalam bentuk hidup lebih

berbahaya karena dapat berkembang biak dandapat menularkan ke orang lain.1

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non-solid pada sebuah

sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan rentang nilai dari 0

sampai 6+ menurut Ridley. Interpretasi hasil adalah sebagai berikut:1

a) 0 apabila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP).

b) 1+ apabila 1-10 BTA dalam 100 LP

c) 2+ apabila 1-10 BTA dalam 10 LP

d) 3+ apabila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP

e) 4+ apabila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP

f) 5+ apabila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

g) 6+ apabila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

Indeks bakteri seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat

sediaan. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya

dengan minyak emersi pada pembesaran lensa objektif 100 kali.1

Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk soliddibandingkan

dengan jumlah solid dan non-solid yang berguna untuk mengetahui daya

penularan kuman dan untuk menilai hasil pengobatan dan membantu

menentukan resistensi terhadap obat.1,4

2. Pemeriksaan histopatologi

Pemeriksaan histopatologi pada penyakit lepra dilakukan untuk memastikan

gambaran klinik, misalnya lepra Indeterminate atau penentuan klasifikasi lepra.

19
Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Gambaran

histopatologi tipe tuberculoid adalah tuberkel dengan kerusakan saraf lebih

nyata, tidak terdapat kuman atau hanya sedikit dan non-solid. Pada tipe

lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone) yaitu

suatu daerah langsung dibawah epidermis yang jaringannya tidak patologik.

Didapati sel Virchow dengan banyak kuman. Terdapat campuran unsur-unsur

tersebut pada tipe Borderline.1,4

3. Pemeriksaan serologis

Pada pemeriksaan serologis lepra didasarkan atas terbentuknya antibodi

tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat

bersifat spesifik dan tidak spesifik. Antibodi yang spesifik terhadap M.

lepraeyaitu antibodi antiphenolic glycolipid-1(PGL 1) dan antibodi antiprotein

16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi

anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M.

tuberculosis.1

Pemeriksaan serologis ini dapat membantu diagnosis lepra yang meragukan

karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Selain itu dapat juga

membantu menentukan lepra subklinis, karena tidak terdapat lesi kulit,

misalnya pada kontak serumah. Macam-macam pemeriksaan serologik lepra

adalah uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA

(Enzym Linked Immuno-sorbent Assay), ML dipstick test (Mycobacterium

leprae dipstick), dan ML flow test (Mycobacterium leprae flow test).1

K. Penatalaksanaan Lepra

Obat-obatan yang digunakan dalam World Health Organization- Multydrug

Therapy (WHO-MDT) adalah kombinasi rifampisin, klofazimin dan dapson untuk

20
penderita lepra tipe MB serta rifampisin dan dapson untuk penderita lepra tipe PB.

Rifampisin ini adalah obat anti lepra yang paling penting dan termasuk dalam

perawatan kedua jenis lepra. Pengobatan lepra dengan hanya satu obat antilepra akan

selalu menghasilkan mengembangan resistensi obat, pengobatan dengan dapson atau

obat antilepra lain yang digunakan sebagai monoterapi dianggap tidak etis.1

Adanya MDT adalah sebagai usaha untuk mencegah dan mengobati resistensi,

memperpendek masa pengobatan, dan mempercepat pemutusan mata rantai penularan.

Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan efek terapeutik obat, efek samping

obat, ketersediaan obat, harga obat, dan kemungkinan penerapannya.1

Prosedur pemberian MDT adalah sebagai berikut:

1. MDT untuk lepra tipe MB

Pada dewasa diberikan selama 12 bulan yaitu rifampisin 600 mg setiap

bulan, klofamizin 300 mg setiap bulan dan 50 mg setiap hari, dan dapsone 100

mg setiap hari. Sedangkan pada anak-anak, diberikan selama 12 bulan dengan

kombinasi rifampisin 450 mg setiap bulan, klofamizin 150 mg setiap bulan dan

50 mg setiap hari, serta dapsone 50 mg setiap hari. 1

2. MDT untuk lepra tipe PB

Pada dewasa diberikan selama 6 bulan dengan kombinasi rifampisin 600

mg setiap bulan dan dapsone 100 mg setiap bulan. Pada anak-anak diberikan

selama 6 bulan dengan kombinasi rifampisin 450 mg setiap bulan dan dapsone

50 mg setiap bulan.4

Sedangkan pada anak-anak dengan usia dibawah 10 tahun, diberikan

kombinasi rifampisin 10 mg/kg berat badan setiap bulan, klofamizin 1 mg/kg

berat badan diberikan pada pergantian hari, tergantung dosis, dan dapsone 2

mg/kg berat badan setiap hari.4

21
Untuk pengobatan timbulnya reaksi lepra adalah sebagai berikut:

1. Pengobatan reaksi reversal (tipe 1)

Pengobatan tambahan diberikan apabila disertai neuritis akut, obat pilihan

pertama adalahkorikosteroid. Biasanya diberikan prednison 40 mg/hari

kemudian diturunkan perlahan. Pengobatan harus secepatnya dan dengan dosis

yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara menndadak.

Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Apabila

diperlukan dapat diberikan analgetik dan sedativa.1

2. Pengobatan reaksi ENL (tipe 2)

Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid antara lain

prednison dengan dosis yang disesuaikan berat ringannya reaksi, biasanya

diberikan dengan dosis 15-30 mg/hari. Dosis diturunkan secara bertahap sampai

berhenti sama sekali sesuai perbaikan reaksi. Apabila diperlukan dapat

ditambahkan analgetik-antipiretik dan sedativa. Ada kemungkinan timbul

ketergantungan terhadap kortikosteroid, ENL akan timbul apabila obat tersebut

dihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu sehingga penderita harus

mendapatkan kortikosteroid secara terus-menerus.1

Penderita lepra dengan diagnosis terlambat dan tidak mendapat MDT

mempunyai risiko tinggi terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita dengan reaksi

lepra terutama reaksi reversal lesi kulit multipel dan dengan saraf yang membesar atau

nyeri juga memiliki risiko tersebut.1

Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan

berkurangnya kekuatan otot. Keluhan yang timbul berupa nyeri saraf atau luka yang

tidak sakit, lepuh kulit atau hanya berbentuk daerah yang kehilangan sensibilitasnya,

22
serta adanya kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya memasang kancing

baju, memegang benda kecil atau kesulitanberjalan.1

Pencegahan kecacatan yang terbaik atau prevention of disability (POD) adalah

dengan melaksanakan diagnosis dini lepra, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan

tepat, mengenali gejala dan tanda reaksi lepra yang disertai gangguan saraf serta

memulai pengobatan dengan kortikosteroid secepatnya. Memberikan edukasi pada

pasien tentang perawatan misalnya memakai kacamata, merawat kulit supaya tidak

kering dan lainnya apabila terdapat gangguan sensibilitas.1

BAB III

LAPORAN KASUS

23
A. Identitas Pasien :

1. Nama : Tn. R.A

2. Umur : 19 tahun

3. Alamat :Abepura,

4. Pekerjaan :Mahasiswa

5. No. RM :088688.

6. Tanggal Berobat :6 Desember 2017

B. Keluhan Utama Keluhan Utama

Pasien datang dengan keluhan bercak putih di badan

C. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan bercak putih di badan pada perut, dada,

punggung, tangan, kaki dan wajah sejak 1 tahun yang lalu. Bercak awal muncul

pertama kali pada bagian punggung kemudian menyebar. Dari hasil anamnesis

didapatkan bercak yang terasa tebal, tidak ada gatal, tidak ada nyeri, tidak ada

kesemutan pada telapak tangan dan kaki, dan badan pasien tidak panas..

D. Riwayat Pengobatan

Riwayat pengobatan terdahulu pasien di puskesmas oleh dokter diberi obat

tetapi pasien lupa nama obatnya, dan diberi pengantar periksa darah ke LABKESDA,

pasien menyampaikan jika hasilnya dokter mengatakan alergi biasa.

E. Riwayat Alergi

Tidak ada riwayat alergi baik obat maupun makanan.

F. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit dalam keluarga disangkal,. Tidak ditemukan adanya penyakit penyerta.

G. Pemeriksaan Fisik

24
Status internus pasien dalam batas normal. status lokalis kelainan pada mukosa badan,

bagian perut, dada, punggung, lengan, kaki dan wajah terdapat makula Hipopigmentasi,

bentuk oval, batas tidak tegas, ukuran milier sampai lentikular, bentuk lesi teratur dan

tidak teratur. Lokasi universalis. Tidak terdapat erosi pada mukosa. Pada rambut tidak

terjadi alopesia. Pembesaran kelenjar limfe dan pembesaran saraf tidak ada. Pemeriksaan

sensibilitas pada lesi raba, nyeri normal, terdapat anestesi perabaan pada regio punggung

menggunakan kapas.

Gambar l. lesi pada punggung

gambar 2. Bercak pada dada dan perut

25
gambar 3 .gejala -gejala pembesaran

gambar 4 .gejala -gejala penurunan fungsi saraf N. radialis

Diagnosis Banding : tinea versikolor, pitiriasis rosea, pitiriasis alba, dan psoriasis.

Pemeriksaan Penunjang : BTA MH dan Kerokan KOH

Diagnosa kerja : Morbus Hansen + Tinea Corporis

26
BAB IV

PEMBAHASAN

Kusta, juga dikenal sebagai Morbus Hansen, adalah penyakit infeksi kronis

yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae di mana kerentanan terhadap mikobakteri

27
dan manifestasi klinis dikaitkan dengan respon imun host. Meskipun prevalensi kusta

telah menurun secara dramatis, tingginya jumlah kasus baru menunjukkan transmisi

aktif. Kusta adalah salah satu penyebab paling umum dari neuropati perifer

nontraumatic di seluruh dunia. Proporsi pasien dengan cacat dipengaruhi oleh jenis

kusta dan keterlambatan diagnosis.

Kusta merupakan penyakit yang utamanya menyerang kulit dan sistem saraf

perifer. Namun terkadang dapat mengenai mata, tulang, kelenjar getah bening, struktur

hidung, dan testis juga mungkin terlibat. Manifestasi klinis penyakit itu dibagi menjadi

dua, tuberkuloid (TT) atau pausibasiler (PB) dan lepromatosa (LL) atau multibasiler

(MB), dengan beberapa bentuk peralihan ( indeterminate [I] , tuberkuloid borderline

[BT] , mid borderline [BB] , dan borderline lepromatosa [BL] ). Klasifikasi WHO

ditentukan oleh jumlah basil yang ditemukan dari pemeriksaan slit skin smear. Secara

klinis, pasien dengan kusta lepromatosa memiliki jumlah BTA yang tinggi pada

spesimen biopsi kulit (multibasiler) ; beberapa lesi kulit terdiri dari makula, papula,

plak, atau nodul, dan saraf perifer menebal dengan anestesi dan akhirnya dapat

mengembangkan keratitis, uveitis, kehilangan rambut alis, ulserasi hidung, kerusakan

tulang, kulit menyerupai lilin karena infiltrasi oleh makrofag, limfosit, dan sel plasma.

Pasien dengan kusta tuberkuloid (TT dan BT) memiliki jumlah BTA yang rendah

(pausibasiler) pada spesimen biopsi kulit, dengan lesi kulit anestesi tunggal dengan atau

tanpa saraf perifer yang menebal.

Pada kasus, keluhan bercak putih pada bada, dada, punggung, tangan, kaki dan

wajah sejak 1 tahun. Dari hasil anamnesis didapatkan bercak yang terasa tebal, tidak

ada gatal, tidak ada nyeri, ada kesemutan pada tangan dan kaki, dan badan pasien tidak

panas. Riwayat pengobatan terdahulu pasien berobat kepuskesmas. Status internus

pasien dalam batas normal. Status venerologi lokalisasi kelainan pada mukosa badan,

28
punggung, dada, lengan, kaki, wajah. Pada eflorisensi terlihat makula hipopigmentasi,

bentuk oval. Punched – out lesion (+). Diagnosis bandingnya adalah tinea versikolor,

pitiriasis rosea, pitiriasis alba, dan psoriasis.

Berdasarkan lesi yang terlihat pada wajah dan tubuh pasien, didapatkan

efloresensi berupa makula hipopigmentasi, berbentuk oval, punched-out lesion (+).

Pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan neurologis yang mendukung

untuk gejala klinis morbus hansen yaitu pemeriksaan pembesaran saraf-saraf perifer,

kekuatan motorik dan pemeriksaan sensorik. Dari hasil yang didapatkan, tidak terdapat

adanya pembesaran saraf-saraf perifer, dan kelemahan kekuatan motorik pada pasien.

Dilakuan juga pemeriksaan rangsang raba,dan nyeri. Penemuan klinis ini mengarah

pada diagnosis morbus hansen. Pemeriksaan penunjang lain yang dilakukan adalah

pemeriksaan slit skin smear untuk memastikan diagnosis kerja morbus hansen dan

pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH untuk dapat memastikan atau menyingkirkan

diagnosis banding. Pada pasien ini didapatkan hasil pemeriksaan KOH dan BTA MH

di dapatkan hasil BTA tahan asam bentuk globi (+1), fragmen (+1), solid (+2) dan

spora > 30 / LP, hifa 2-4/LP. Maka diagnosa kerja yang di dapat adalah Morbus Hansen

dengan Pitiriasis versikolor atau tinea versikolor yaitu kelainan kulit yang umum, jinak,

infeksi jamur superfisial yang biasanya ditandai dengan makula hipopigmentasi atau

hiperpigmentasi di dada dan punggung. Kadang penderita dapat merasakan gatal yang

ringan. Diagnosisnya dapat dikuatkan dengan hasil pemeriksaan KOH yang didapat.

Maka dapat disingkirkan beberapa diagnosis yaitu :

1. Pitiriasis rosea, merupakan penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya,

dimulai dengan sebulah lesi inisal (herald patch) berbentuk eritema dan skuama

halus, yang kemudian diikuti oleh lesi yang lebih kecil di badan, lengan dan

29
paha atas yang membentuk lesi sejajar dengan kostae, hingga membentuk

pohon cemara terbalik. Pada pasien ini tidak didapatkan bentuk lesi tersebut.

2. Pitiriasis alba umumnya asimptomatis, tetapi mungkin saja sedikit gatal. Pasien

mungkin memiliki riwayat keluarga atau pasien seperti sakit asma, demam

karena

alergi atau eksema dalam area yang sesuai ciri khas dermatitis atopik. Pitiriasis

alba ditandai dengan hipopigmentasi, bulat sampai oval, bercak makula di

daerah muka, lengan bagian atas, leher, atau bahu. Kaki dan tangan lebih sedikit

terkena. Pada sekitar setengah dari semua pasien, luka terbatas di daerah wajah.

3. Pada psoriasis keluhan penderita biasanya sedikit gatal dan panas di samping

kosmetik. Lesi kulit yang pertama kali timbul biasanya pada tempat-tempat

yang mudah terkena trauma antara lain : siku, lutut, sakrum, kepala dan genitalia,

berupa makula eritematus dengan batas jelas, tertutup skuama tebal dan

transparan yang lepas pada bagian tepi dan lekat di bagian tengah.

Pengobatan MDT untuk multibasiler adalah dengan diberikan 12 strip obat,

dimana setiap strip dihabiskan dalam 28 hari. Walaupun demikian, 12 strip tersebut

dapat dihabiskan dalam kurun waktu maksimal 18 bulan. Menurut program WHO yaitu

dilakukan pengobatan MH-tipe MB dengan menggunakan blister, yaitu, hari pertama

dengan dapson 100 mg, rifampisin 600 mg, dan klofazimin 300 mg. Pada hari pertama,

pasien harus meminum obat langsung didepan petugas kesehatan. Sedangkan pada hari

selanjutnya, diberikan klofazimin 50 mg, dan dapson 100 mg, setiap hari dari hari ke-2

hingga hari ke-28, diminum sekali sehari pada waktu dan jam yang sama. Pasien harus

datang untuk mengambil obat baru setiap hari ke-29 dan mendapatkan paket blister

30
yang sama. Pengobatan ini harus terus diulang hingga 12 bulan minimal dan maksimal

18 bulan.

Setiap hari pertama untuk tiap bulannya, pasien terus dilakukan pemeriksaan

neurologis ulang, disamping itu juga dilakukan pemeriksaan mata, pemeriksaan efek

samping obat dan resistensi obat serta pemeriksaan reaksi kusta. Selain itu dilakukan

pemeriksaan bakterioskopis setiap 3 bulan sampai selesai pengobatan dengan

memperhatikan indeks bakteri dan indeks morfologis untuk mengetahui kemungkinan

resistensi. Setelah selesai pengobatan dilanjutkan masa Release From Treatment (RFT)

selama 5 tahun dengan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan pengobatan setiap tahun.

BAB V

PENUTUP

1. KESIMPULAN

31
Pada pria berumur 19 tahun dengan keluhan bercak putih pada badan, dada, tangan,

kaki dan wajah sejak 1 tahun sesuai dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang dapat diagnosis sebagai Morbus Hansen tipe (LL). Pasien

mendapatkan terapi medikamentosa berupa MDT MB paket I, vitamin B1, B6, B12 dan

untuk tinea vesicolor pasien mendapatkan terapi folcanox 100 mg caps 1x1,

Neurosanbe 1x1.

2. Saran

Masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan kasus ini dikarenakan diharapkan

penulis mampu menggali lagi hal-hal yang berkaitan dengan kasus morbus hansen.

DAFTAR PUSTAKA

32
1. Djuanda A, Kosasih A, Wiryadi, et al. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin : Edisi 7. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2015. hal. 73-83

2. RSCM. Panduan Pelayanan Medis Departemen Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta :
RSCM, 2007. Halaman 147. (download pdf.)

3. Ida ayu devi, IGK Darmada . Morbus Hansen. Denpasar : Bagian/SMF Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, 2015.

4. Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran .Jilid I edisi ke IV . Jakarta : Media


Aesculapius.2014

33

Anda mungkin juga menyukai