Anda di halaman 1dari 18

BAB I PENDAHULUAN

Penyakit Kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang syaraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikoloendotel, mata, otot, tulang dan testis.1 Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana saja. Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat.2 Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks yang bukan hanya pada segi medis, juga meluas hingga masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional.2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 DEFINISI Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudain daoat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1 Sinonim: Lepra, Morbus Hansen.1

2.2 ETIOLOGI Penyebab penyakit kusta yaitu Mycobacterium leprae dimana untuk pertama kali ditemukan oleh G.H Armauer Hansen pada tahun 1873.2 Kuman ini hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (sel Schwann) dan sel dari sistem retikuloendotelial.2 Kuman ini bersifat obligat intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berbentuk basil Gram positif dengan ukuran 3 8 m x 0,5 m, bersifat tahan asam dan alkohol.4 Mycobacterium leprae dapat bereproduksi maksimal pada suhu 27C 30C, tidak dapat dikultur secara in vitro, menginfeksi kulit dan sistem saraf kutan. Tumbuh dengan baik pada jaringan yang lebih dingin (kulit, sistem saraf perifer, hidung, cuping telinga, anterior chamber of eye, saluran napas atas, kaki dan testis) dan tidak mengenai area yang hangat (aksila, inguinal, kepala, garis tengah punggung).3

2.3 EPIDEMIOLOGI Diperkirakan jumlah penderita baru kusta di dunia pada tahun 2005 adalah sekitar 296.499. Dari jumlah tersebut paling banyak terdapat di regional Asia Tenggara (201.635) diikuti regional Afrika (42.814), Amerika (41.780) dan sisanya berada di regional lain di dunia.2 Pada pertengahan tahun 2000, jumlah penderita kusta terdaftar di Indonesia sebanyak 20.7042 orang, banyak ditemukan di Jawa Timur, Jaa Barat, Sulawesi Selaran, dan Irian Jaya.1,4

Kusta lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita, dengan perbandingan 2:1, dengan insidensi usia puncak 10-20 tahun dan 30-50 tahun, jarang terjadi pada bayi. Faktor predisposisinya adalah penduduk pada area yang endemik, memiliki kerentanan lepra dalam darah, kemiskinan (malnutrisi), dan kontak dengan affected armadillos.3 Tabel 2.1 Situasi kusta menurut regional WHO pada awal tahun 2006 (diluar regional eropa) Kasus baru dilaporkan Regional WHO Prevalensi awal 2006 selama tahun 2005 Afrika 40.830 42.814 Amerika Asia Tenggara Mediteran Timur Pasifik Barat Total 32.904 133.422 4.024 8.646 219.826 41.780 201.635 3.133 7.137 296.499

Sumber: Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Depkes RI 2006

2.4 KLASIFIKASI Klasifikasi Madrid (1953): Inderteminate (I) Tuberkuloid (T) Borderline Dimorphous (B) Lepromatosa (L) Klasifikasi Ridley-Jopling (1962): Tuberkuloid (TT) Borderline tuberculoid (BT) Mid-borderline (BB) Borderline lepromatous (BL) Lepromatosa (L) Klasifikasi WHO (1981) dan modifikasi WHO (1988):

i.

Pausibasilar (PB) Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT menurut criteria Ridley dan

Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi madrid. ii. Multibasilar (MB) Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian besar BT menurut criteria Ridley dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif. Untuk pasien yang sedang dalam pengobatan harus diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Bila pada mulanya didiagnosis tipe MB, tetapi diobati sebagai MB apapun hasi pemeriksaan BTA-nya saat ini. 2. Bila awalnya di diagnosis tipe PB, harus dibuat klasifikasi baru berdasarkan gambaran klinis dan hasil BTA saat ini.5

2.5 PATOGENESIS Meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering adalah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh M. leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang.5 Sebagai proteksi awal sebelum bakteri masuk ke dalam kulit, terutama kompartemen imunologik bakteri tersebut harus melewati beberapa sawar, salah satunya adalah berbagai mekanisme non-spesifik seperti sistem fagositosis yang diperankan terutama oleh sel makrofag. Bakteri yang ditangkap oleh akan melalui beberapa proses yang bertujuan untuk mengeliminasi bakteri, sehingga pada 95% individu yang terinfeksi oleh M. leprae tidak menimbulkan gejala klinis atau minimal hanya subklinis saja. Setelah berbagai sawar nonspesifik tersebut gagal, maka barulah akan bekerja mekanisme imunitas spesifik, melalui aktivasi sel-sel imunokompeten oleh stimulasi antigan M. leprae.6

Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas yang kemudian dapat merusak jaringan. Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua kuman difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebahan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya.5

Gambar 2.1 Prinsip mekanisme imunitas non spesifik dan spesifik7

Gambar 2.2 Imunitas selular dan humoral pada respon imun spesifik7
5

Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae, disamping itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.5

Gambar 2.3 Mekanisme delayed type hypersensitivity yang diduga berkaitan dengan adanya lesi pada kulit sebagai reaksi terhadap lepromin7

2.6 GAMBARAN KLINIS Gambaran klinis penyakit kkusta pada seorang pasien mencerminkan tingkat kekebalan selular pasien tersebut. Adapun klasifikasi yang banyak dalam bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan. 1. Tipe tuberkuloid (TT) Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat

bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respons imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.

Gambar 2.4 Lesi Tuberculoid leprosy, soliter, anesthetic, annular3 2. Tipe borderline tuberculoid (BT) Lesi pada tipe ini menyerupai TT, yakni berupa makula atau plak yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.

Gambar 2.5 Borderline Tuberculoid Leprosy, gambaran anular inkomplit dengan papul satelit3 3. Tipe mid borderline (BB) Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk macula infiltratif. Permukaan lesi dapat berkilap,

batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk ataupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini. 4. Tipe borderline lepromatous (BL) Secara klasik lesi dimulai dengan macula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Walaupun masih kecil, papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodus nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan pinggir dalam infiltrate lebih jelas dibandingkan dengan pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punched-out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada tempat predileksi.

Gambar 2.6 Lesi Kulit pada Borderline Lepromatous3 5. Tipe lepromatosa (LL) Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritamatosa, berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga; sedang di badan mengenai badan yang dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung membentuk fasies leonine yang dapat disertai madarosis, iritis dan keratitis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.
8

Kerusakan saraf yang luas menyebabkan stocking and glove anaesthesia. Bila penyakit ini menjadi progresif, muncul macula dan papul baru, sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.5

Gambar 2.7 Lesi Kulit pada Lepromatous Leprosy3 Gambaran klinis organ tubuh lain yang dapat diserang5 Mata Hidung : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan. : epistaksis, hidung pelana.

Tulang dan sendi : absorbs, mutilasi, arthritis. Lidah Larings Testis Kelenjar limfe Rambut Ginjal : ulkus, nodus. : suara parau. : epididimis akut, orkitis, atrofi. : limfadenitis. : alopesia, madarosis. : glomerulonefritis, amiloidosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial. Predileksi lesi kulit5 Bagian tubuh yang relatif lebih dingin, misalnya pada muka, hidung, telinga, anggota tbuh, dan bagian tubuh yang terbuka.5

Predileksi kerusakan saraf tepi5 N. fasialis N. trigeminus N. radialis N. ulnaris sebagian jari IV N. medianus : anestesi dan paresis/paralisis otot jari tangan I, II, III dan : lagoftalmos, mulut mencong : anestesi kornea : tangan lunglai (drop wrist) : anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari V dan

sebagian jari IV. Kerusakan N. ulnaris dan N. Medianus menyebabkan jari kiting (claw toes) dan tangan cakar (claw hand) N. peroneus komunis : kaki simper (drop foot) N. tibialis posterior : mati rasa telapak kaki dan jari kiting (claw toes) Tanda penyakit kusta masih aktif5 Kulit nodus. Saraf : nyeri, gangguan fungsi bertambah, jumlah saraf yang terkena : lesi membesar, jumlah bertambah, ulserasi, eritematosa, infiltrate atau

bertambah Tanda sisa penyakit kusta5 Kulit Saraf : atrofi, keriput, non-repigmentasi dan bulu hilang : mati rasa persisten, paralisis, kontraktur dan atrofi otot

2.7 DIAGNOSIS Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau Cardinal sign, yaitu: 1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa 2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis prifer). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa: a. Gangguan fungsi sensoris : mati rasa b. Gangguan fungsi motoris : kelemahan kelumpuhan (paralise) otot (parese) atau

10

c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak-retak 3. Adanya bakteri tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (BTA positif). Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan 1 tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.2,5

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL NEELSON. Pertama tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP). 1+ 2+ 3+ 4+ 5+ 6+ Bila 1 10 BTA dalam 100 LP Bila 1 10 BTA dalam 10 LP Bila 1 10 BTA rata-rata dalam 1 LP Bila 11 100 BTA rata-rata dalam 1 LP Bila 101 1000BTA rata-rata dalam 1 LP Bila> 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan non solid. IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid

11

Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan. Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkeloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur unsur tersebut. Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M. leprae sebagai tempat berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. Pemeriksaan serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick, PCR. Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi Fernandez) atau 3 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritemayang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada tuberkulosis.1

2.9 PENATALAKSANAAN Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah memutus rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, dan mencegah timbulnya cacat. Untuk mencapai tujuan itu sampai sekarang strategi pokok yang dilakukan masih berdasarkan atas deteksi dini dan penobatan penderita, yang tampaknya masih merupakan dua hal yang penting meskipun nantinya vaksin kusta yang efektif telah tersedia.

12

Pada tahun 1981 WHO merekomendasikan penggunaan Multi Drug Therapy (MDI), yaitu pengobatan baku terhadap pasien dengan kusta multibasil dan pasien dengan kusta paucibasil. Regimen ini diharapkan efektif, dapat digunakan secara luas dan diterima oleh semua pasien; sampai saat ini telah diterima sebagai pengobatan standar untuk penyakit kusta.1

Program MDT Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika kelompok studi kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan rejimen kombinasi yang selanjutnya dikenal sebagai rejimen MDT-WHO. Rejimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat dapson, rifampisin dan klofasimin. Selain untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, penggunaan MDT dimaksudkan juga untuk mengurangi ketidaktaatan penderita dan menurnkan angka putus-obat (drop out rate) yang cukup tinggi pada masa monoterapi dapson. Disamping itu diharapkan juga MDT dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.1 Obat dalam rejimen MDT-WHO a. Dapson (DDS, 4,4 diamino-difenil-sulfon). Obat ini bersifat tidak seperti pada kuman lain, dapson bekerja sebagai antimetabolit PABA. b. Rifampisin. Rifampisin merupakan obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta, dan bersifat bakterisidal kuat pada dosis lazim. Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan secara ireversibel. c. Klofazimin. Obat ini merupakan turunan zat warna iminofenazin dan mempunyai efek bakteriostatik setara dengan dapson. Bekerjanya diduga melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Disamping itu obat ini juga mempunyai efek antiinflamasi sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta, kekurangan obat ini adalah harganya mahal, serta menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah pada ketaatan berobat penderita. d. Etinamid dan protionamid. Kedua obat ini merupakan obat tuberkulosis dan hanya sedikit dipakai pada pengobatan kusta.

13

Selain penggunaan Dapson (DDS), pengobatan penderita kusta dapat menggunakan Lamprine (B663), Rifampisin, Prednison, Sulfat Feros dan vitamin A (untuk menyehatkan kulit yarlg bersisik). Regimen Pengobatan Kusta (WHO/DEPKES RI), PBdean lesi tunggal diberikan ROM (Rifampisin Ofloksasin Minosiklin). Pemberian obat sekali saja langsung RFT. Obat diminum di depan petugas. Anak-anak dan ibu hamil tidak diberikan ROM. Bila obat belum tersedia di Puskesmas, dapat diobati dengan pengobatan PB lesi (2-5). Rifampisin Dewasa 70kg) Anak (5-14 thn) 300 mg 200 mg 50 mg (50- 600 mg Ofloksasin 400 mg Minosiklin 100 mg

Lesi PB 2-5, lama pengobatan adalah 6-9 bulan. Setelah minum 6 dosis maka dinyakatan Release From Treatment (RFT). Rifampisin Dewasa Anak-anak (10-14 tahun) 600 mg/bulan 300 mg/bulan Dapson 100 mg/hari 50 mg/hari

Untuk MB, pengobatan 12 dosis yang diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT. Pemantauan selama2 tahun untuk PB dan 5 tahun untuk MB.1

Pengobatan Kusta dengan Penyulit Jika MDT-WHO tidak dapat dilakkan karena suatu alasan, WHO mempunyai regiment untuk situasi khusus, yaitu: a. Jika tidak dapat diobati dengan rifampisin Lama Pengobatan 6 bulan pertama Obat Klofazimin Ofloksasin Minosiklin 8 bulan berikutnya Klofazimin Dosis 50 mg tiap hari 400 mg tiap hari 100 mg tiap hari 50 mg tiap hari

14

Ofloksasin atau Minosiklin b. Jika pasien MB menolak klofazimin

400 mg tiap hari

100 mg tiap hari

Diberikan ofloksasin 400 mg/hari selama 12 bulan atau minosiklin 100 mg/hari slama 12 bulan. Alternatif lain adalah rifampisin 600 mg/bulan selama 24 bulan, ofloksasin 400 mg.bulan selama 24 bula dan minosiklin 10 mg/bulan selama 24 bulan. c. Jika pasien tidak dapat diobat dengan DDS Diberikan regimen pengganti selama 6 bulan: Rifampisin Dewasa 600 mg/bulan Klofamizin 50 mg/hari dan 300 mg/bulan Anak-anak 450 mg/bulan 50 mg/hari dan 150 mg/bulan

Pengobatan ENL ENL diobati dengan tablet kotikosteroid. Pilihn yang sering digunakan ialah prednison dengan dosis 15-30 mg/hari lalu diturunkan bertahap. Dapat juga menggunakan kofazimin 200-300 mg/hari naun khasiatnya lebih lambat dari pada kortikosteroid.

Pengobatan Reversal Hanya diobati jika menyebabkan neuritis akut. Obat yang digunakan biasanya kortikosteroid dengan pilihan prednison dengan dosis 40-60 mg/hari lalu diturunkan bertahap. Dapat di berikan analgesik dan sedatif.

2.10 KOMPLIKASI Lepra merupakan penyebab kecacatan tangan yang paling sering. Trauma dan infeksi kronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari ataupun ekstremitas bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan. Fenomena Lucio yang
15

ditandai dengan artritis, terbatas pada pasien lepromatosus difus, infiltratif dan non noduler. Kasus yang lainnya adalah vaskulitis nekrotikus dan menyebabkan tingginya mortalitas.1

2.11 PROGNOSIS Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit. Kesembuhan bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terkadang asien dapat mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun.4

16

BAB III SIMPULAN


Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Penyebab kusta adalah kuman mycobacterium leprae Klasifikasi bentuk-bentuk penyakit kusta yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan yaitu tipe tuberkoloid (TT), tipe borderline tubercoloid (BT), Tipe mid borderline (BB), Tipe borderline lepromatosa, tipe lepromatosa (LL). Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (tanda utama) Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika kelompok studi kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan rejimen kombinasi yang selanjutnya dikenal sebagai rejimen MDT-WHO.

17

DAFTAR PUSTAKA
1. Kosasih, A., I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Lima. 2009. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. h 73-88. 2. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Cetakan XVIII. 2006. Jakarta: Depkes RI. 3. Wolff, Klaus, Johnson, Richard A. Johnson, Dick Suurmond. Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 5th ed. 2007. USA: McGraw-Hil. p 665-671 4. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7th ed. 2008. USA: McGraw Hill. p 17889-1796 5. Amirudin, M. Dali, Zainal Hakim dan Emil Darwis. Diagnosis Penyakit Kusta. h12-31 6. Sudigdo, Adi. Imunologi Penyakit Kusta dalam Imunodermatologi Bagi Pemula. 2000. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. h 62-67 7. Kumar, Abbas, Fausto. Robbins and Cotrans Pathologic Basic of Disease. 7th Edition. 2006. USA: McGraw Hill.

18

Anda mungkin juga menyukai