Anda di halaman 1dari 25

A.

DEFINISI

Penyakit kusta (Morbus hansen) adalah suatu penyakit infeksi menahun akibat
bakteri tahan asam yaitu Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang saraf tepi
dan secara sekunder menyerang kulit serta organ lainnya(WHO, 2010; Noto &
Schreuder, 2010). Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang dapat menimbulkan
masalah kecacatan (Susanto, 2006). Masalah yang timbul tidak hanya pada masalah
kesehatan fisik saja, tetapi juga masalah psikologis, ekonomi dan sosial bagi
penderitanya(Amiruddin, 2006).

Berdasarkan pada pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyakit kusta


adalahpenyakit kulit menahun yang disebabkan oleh bakteri tahan asam Mycobacterium
leprae yang awalnya menyerang saraf tepi, kemudian dapat menyebar menyerang organ
lain, seperti kulit, selaput mukosa, testis dan mata serta jika tidak diobati dengan tepat
akan menimbulkan kecacatan fisik pada penderita.

B. KLASIFIKASI ILMIAH
Kingdom : Bacteria
Filum : Actinobacteria
Ordo : Actinomycetales
Subordo : Corynebacterineae
Famili : Mycobacteriaceae
Genus : Mycobacterium
Spesies : M. Leprae

C. KLASIFIKASI PENYAKIT
Terdapat banyak jenis klasifikasi penyakit kusta diantaranya adalah klasifikasi
Madrid, klasifikasi Ridley-Jopling, klasifikasi India dan klasifikasi menurut WHO.
A. Klasifikasi Internasional: klasifikasi Madrid (1953).
Pada klasifikasi ini penyakit kusta dibagi atas Indeterminate (I), Tuberculoid
(T), Borderline-Dimorphous (B), Lepromatous (L). Klasifikasi ini merupakan
klasifikasi paling sederhana berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan
bakteriologis, dan pemeriksaan histopatologi, sesuai rekomendasi dari International
Leprosy Association di Madrid tahun 1953.

B. Klasifikasi Ridley-Jopling (1966)


Pada klasifikasi ini penyakit kusta adalah suatu spektrum klinis mulai dari daya
kekebalan tubuhnya rendah pada suatu sisi sampai mereka yang memiliki
kekebalan yang tinggi terhadap M.leprae di sisi yang lainnya. Kekebalan seluler
(cell mediated imunity = CMI) seseorang yang akan menentukan apakah dia akan
menderita kusta apabila individu tersebut mendapat infeksi M.leprae dan tipe kusta
yang akan dideritanya pada spektrum penyakit kusta. Sistem klasifikasi ini banyak
digunakan pada penelitian penyakit kusta, karena bisa menjelaskan hubungan
antara interaksi kuman dengan respon imunologi seseorang, terutama respon imun
seluler spesifik.
Kelima tipe kusta menurut Ridley-Jopling adalah tipe Lepromatous (LL), tipe
Borderline Lepromatous (BL), tipe Mid Borderline (BB), tipe Borderline
Tuberculoid (BT), dan tipe Tuberculoid (T).

Klasifikasi Ridley- Jopling :


1) Penyakit Kusta Indeterminate
Lesi kulit terdiri dari suatu makula yang pipih dan tunggal, biasanya
sedikit hipopigmentasi ataupun sedikit erythematose, sedikit oval ataupun
bulat dalam hal bentuk. Permukaannya rata dan licin, tidak di temukan
tanda-tanda ataupun perubahan tekstur kulit. Pemeriksaan Basil Tahan
Asam (BTA) pada umumnya negatif atau sedikit positif.

2) Penyakit Kusta Tipe Tubercoloid


Jenis Lesi ini pada umumnya bersifat stabil, lesi pada umumnya
berwarna kemerah-merahan dan kecoklat-coklatan ataupun mengalami
hipopigmentasi berbentuk oval atau bulat, berbatas tegas dari kulit yang
normal di sekitarnya.
3) Penyakit Kusta Tipe Bordeline
Tipe ini sangat labil (tidak stabil), lesi-lesi kulit pada umumnya
sukkulent atau eras, pleimorfik menebal secara seragam (uniform) atau pun
dengan suatu daerah penyambuhan sentral.

4) Penyakit Kusta Tipe Bordeline Tuberculoid (BT)


Lesi kulit dapat ditentukan dari beberapa sampai banyak berwarna
kemerah–merahan sampai kecoklat-coklatan atau hypochronik, dan ada lesi-
lesi yang tersendiri yang dapat meninggi batasnya tampak dengan nyata
apabila dibandingkan dengan kulit yang sehat di sekelilingnya. Syaraf–
syaraf tepi kadang dapat terus menebal, dengan hasil pemeriksaan BTA
positif yang ringan.

5) Penyakit Kusta Tipe Bordeline Lepramatouse (BL)


Lesi kulit bentuknya berbagai ragam, bervariasi dalam hal ukuran,
menebal atau mengalami infitrasi, berwarna kemerahmerahan ataupun
kecoklatan, sering banyak dan meluas. Hasil pemeriksaan BTA adalah
positif.

6) Penyakit Kusta Tipe Lepramatouse (LL)


Pada tipe penyakit kusta Lepramatouse yang sub polar, lesilesi kulit
sangat menyerupai lesi-lesi penyakit kusta Lepramatouse yang polar, namun
masih dijumpai sejumlah kecil sisa lesi-lesi dari kusta yang asimetrik, juga
kerusakan syaraf (tepi yang asimetrik dengan pembesaran syaraf dapat pula
diperlihatkan pada tipe kusta ini.

D. ETIOLOGI
Penyakit kusta disebabkan oleh M .leprae yang ditemukan oleh G.H. Armauer
Hansen tahun 1873 di Norwegia. Basil ini bersifat tahan asam, bentuk pleomorf lurus,
batang ramping dan sisanya berbentuk paralel dengan kedua ujung-ujungnya bulat
dengan ukuran panjang 1-8 um dan diameter 0,25-0,3 um. Basil ini menyerupai kuman
berbentuk batang yang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora. Dengan
pewarnaan Ziehl-Nielsen basil yang hidup dapat berbentuk batang yang utuh, berwarna
merah terang, dengan ujung bulat (solid), sedang basil yang mati bentuknya terpecah-
pecah (fragmented) atau granular. Basil ini hidup dalam sel terutama jaringan yang
bersuhu rendah dan tidak dapat dikultur dalam media buatan (in vitro).

E. EPIDEMIOLOGI

Kusta terdapat dimana-mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah


tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Makin rendah
sosial ekonomi makin berat penyakitnya. (Kokasih dalam Djuanda, 2008)

Menurut Amirudin dalam Harahap (2000), Sebenarnya kapan penyakit kusta ini
mulai bertumbuh tidak dapat diketahui dengan pasti, tetapi ada yang berpendapat
penyakit ini berasal dari Asia Tengah kemudian menyebar ke Mesir, Eropa, Afrika dan
Amerika.

Sumber penularan adalah kuman kusta utuh (solid) yang berasal dari pasien kusta
tipe MB (Multi basiler) yang belum diobati atau tidak teratur berobat (Mansjoer dkk,
2000). Penyakit ini menyerang segala umur namun jarang sekali pada anak dibawah usia
3 tahun. Hal ini diduga berkaitan dengan masa inkubasi yang cukup lama. Namun
meskipun sebagian besar penduduk di daerah endemik lepra pernah terinfeksi M. Leprae
tidak semua akan terserang penyakit ini karena kekebalan alamiah terhadap kuman
tersebut. Diperkirakan sekitar 15% dari populasi didaerah endemis kekebalan tubuhnya
tidak cukup untuk membunuh kuman yang masuk dan kemungkinan suatu saat bisa
terserang penyakit ini (Edington dalam Lenna, 2004).

Menurut Entjang (2003), masa inkubasinya antara beberapa bulan sampai


beberapa tahun. Seseorang bisa saja mendapatkan penularan pada masa kanak-kanak,
tetapi gejala penyakitnya baru muncul setelah dewasa.
Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu
ditakuti. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, antara lain sumber penularan, kuman
kusta, daya tahan tubuh, sosial ekonomi dan iklim (Mansjoer dkk, 2000).

F. PATOGENESIS
Kuman Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan
(SelSchwan) dan kulit yang tidak utuh. Sumber penularan adalah penderita kusta yang
banyak mengandung kuman (tipe multibasiler) yang belumdiobati. Kuman masuk ke
dalam tubuh menuju tempat predileksinya yaitu saraftepi. Saat Mycobacterium leprae
masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakitkusta bergantung pada kerentanan
seseorang. Respons tubuh setelah masa tunasdilampaui tergantung pada derajat sistem
imunitas selular (cellular mediatedimmune) pasien, bila sistem imunitas selular tinggi,
penyakit berkembang kearahtuberkuloid dan bila rendah, berkembang kearah
lepromatosa.
Mycobacteriumleprae berprediksi di daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah
akral denganvaskularisasi yang sedikit. Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan
derajat infeksi karena respons imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis
lebihsebanding dengan tingkat reaksi selular dari pada intensitas infeksi. Oleh karenaitu
penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik (Arif Mansjoer,2000)

G. CARA PENULARAN
Cara penularan penyakit kusta belum di ketahui dengan jelas. Penularan dapat
terjadi di dalam rumah tangga maupun kontak/hubungan dekat dalam waktu yang lama.
Basil di keluarkan melalui lendir hidung pada penderita kusta tipe lepramatouse yang
tidak di obati dan basil terbukti dapat hidup selama 7 hari pada lendir hidung yang kering.
Ulkus kulit pada penderita kusta lepramatouse dapat menjadi sumber penyebar basil.
Organisme kemungkinan masuk melalui saluran pernapasan atas dan juga melalu kulit
yang terluka. Pada kasus anak-anak dibawah umur satu tahun, penularannya diduga
melalui plasenta.
Mycobacterium leprae keluar dari tumbuh manusia melalui kulit dan mukosa
hidung. Pada kasus lepramatouse menunjukkan adanya sejumlah organisme di dermis
kulit dan di buktikan bahwa organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit.
Walaupun terdapat laporan bahwa di temukannya bakteri tahan asam di epitel.17 Hal ini
membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar
keringat. Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepramatouse antara 10.000
hingga 10.000.000 bakteri. Sebagian besar pasien lepramatouse memperlihatkan adanya
bakteri di sekret hidung mereka dan mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien
lepramatouse dapat memproduksi 10.000.000 organisme perhari.
Penyakit kusta dapat di tularkan dari penderita kusta tipe Multi Basiler (MB)
kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Timbulnya penyakit kusta bagi
seseorang tidak mudah dan tidak perlu ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain
adalah penderita kusta tipe MB. Penderita Multi Basiler (MB) tidak akan menularkan
kusta apabila berobat teratur

H. FAKTOR PENYEBAB PENYAKIT KUSTA


1. Agent
Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh
lainnya kecuali susunan saraf pusat. Kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh
bakteri M. leprae yang menyerang kulit, saraf tepi di tangan maupun kaki, dan selaput
lendir pada hidung, tenggorokan dan mata.
Kuman ini satu genus dengan kuman TB dimana di luar tubuh manusia, kuman kusta
hidup baik pada lingkungan yang lembab akan tetapi tidak tahan terhadap sinar
matahari. Kuman kusta dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab, gelap
tanpa sinar matahari sampai bertahun-tahun lamanya. Kuman Tuberculosis dan leprae
jika terkena cahaya matahari akan mati dalam waktu 2 jam, selain itu. Seperti halnya
bakteri lain pada umumnya, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan
kelembaban yang tinggi. Air membentuk lebih dari 80% volume sel bakteri dan
merupakan hal esensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri.
Kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri
patogen termasuk yang memiliki rentang suhu yang disukai, merupakan bakteri
mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25-400C, tetapi akan tumbuh secara
optimal pada suhu 31-370C.
Pengetahuan mengenai sifat-sifat agent sangat penting untuk pencegahan dan
penanggulangan penyakit, sifat-sifat tersebut termasuk ukuran, kemampuan
berkembangbiak, kematian agent atau daya tahan terhadap pemanasan atau
pendinginan.

2. Host
Manusia merupakan reservoir untuk penularan kuman seperti Mycobacterium
tuberculosis dan morbus Hansen, kuman tersebut dapat menularkan pada 10-15
orang. Menurut penelitian pusat ekologi kesehatan (1991), tingkat penularan kusta di
lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat
menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya. Di dalam rumah dengan ventilasi
baik, kuman ini dapat hilang terbawa angin dan akan lebih baik jika ventilasi
ruangannya menggunakan pembersih udara yang bisa menangkap kuman. Hal yang
perlu diketahui tentang host atau penjamu meliputi karakteristik, gizi atau daya tahan
tubuh, pertahanan tubuh, hygiene pribadi, gejala dan tanda penyakit dan pengobatan.
Karakteristik host dapat dibedakan antara lain : umur, jenis kelamin, pekerjaan ,
keturunan, pekejaan, ras dan gaya hidup.

3. Environment
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host baik benda mati,
benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat interaksi
semua elemen-elemen termasuk host yang lain. Lingkungan terdiri dari lingkungan
fisik dan non fisik, lingkungan fisik terdiri dari : keadaan geografis (dataran tinggi
atau rendah, persawahan dan lain-lain), kelembaban udara, suhu, lingkungan tempat
tinggal. Adapun lingkungan non fisik meliputi : sosial (pendidikan, pekerjaan),
budaya (adat, kebiasaan turun temurun), ekonomi (kebijakan mikro dan local) dan
politik (suksesi kepemimpinan yang mempengaruhi kebijakan pencegahan dan
penanggulangan suatu penyakit).
Menurut APHA (American public helath Assosiation), lingkungan rumah
yang sehat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Memenuhi kebutuhan fisiologis;
i. Suhu ruangan, yaitu dalam pembuatan rumah harus diusahakan agar
kontruksinya sedemikian rupa sehingga suhu ruangan tidak berubah banyak
dan agar kelembaban udara dapat dijaga jangan sampai terlalu tinggi dan
terlalu rendah. Untuk ini harus diusahakan agar perbedaan suhu antara dinding,
lantai, atap dan permukaan jendela tidak terlalu banyak.
ii. Harus cukup mendapatkan pencahayaan baik siang maupun malam. Suatu
ruangan mendapat penerangan pagi dan siang hari yang cukup yaitu jika luas
ventilasi minimal 10% dari jumlah luas lantai.
iii. Ruangan harus segar dan tidak berbau, untuk ini diperlukan ventilasi yang
cukup untuk proses pergantian udara.
iv. Harus cukup mempunyai isolasi suara sehingga tenang dan tidak terganggu
oleh suara-suara yang berasal dari dalam maupun dari luar rumah.
v. Harus ada variasi ruangan, misalnya ruangan untuk anak-anak bermain,
ruangan makan, ruang tidur, dan lain-lain.
vi. Jumlah kamar tidur dan pengaturannya disesuaikan dengan umur dan jenis
kelaminnya. Ukuran ruang tidur anak yang berumur kurang dari lima tahun
minimal 4,5 m3, artinya dalam suatu ruangan anak yang berumur lima tahun ke
bawah diberi kebebasan menggunakan volume ruangan 4,5 m3 (1,5 x 1 x 3 m3)
dan di atas lima tahun menggunakan ruangan 9 m3 (3 x 1 x 3 m3).

b. Perlindungan terhadap penularan penyakit;


i. Harus ada sumber air yang memenuhi syarat, baik secara kualitas maupun
kuantitas, sehingga selain kebutuhan untuk makan dan minum terpenuhi, juga
cukup tersedia air untuk memelihara kebesihan rumah, pakaian dan
penghuninya.
ii. Harus ada tempat penyimpanan sampah dan WC yang baik dan memenuhi
syarat, juga air pembuangan harus bisa dialirkan dengan baik.
iii. Pembuangan kotoran manusia dan limbah harus memenuhi syarat kesehatan,
yaitu harus dapat mencegah agar limbah tidak meresap dan mengkontaminasi
permukaan sumber air bersih.
iv. Tempat memasak dan tempat makan hendaknya bebas dari pencemaran dan
gangguan binatang serangga dan debu.
v. Harus ada pencegahan agar vektor penyakit tidak bisa hidup dan
berkembangbiak di dalam rumah, jadi rumah dalam kontruksinya harus rat
proof, fly fight, mosquito fight.
vi. Harus ada ruangan udara (air space) yang cukup.
vii. Luas kamar tidur minimal 9 m3 per orang dan tinggi langit-langit minimal 2,75
meter. Faktor lingkungan memegang peranan yang penting dalam penularan
penyakit kusta, terutama pada pemenuhan physiologis rumah, sebab sinar ultra
violet yang terdapat pada sinar matahari dapat membunuh kuman kusta, selain
itu sinar matahari juga dapat mengurangi kelembaban yang berlebihan,
sehingga dapat mencegah berkembangnya kuman kusta dalam rumah, oleh
karenanya suatu rumah sangat perlu adanya pencahayaan langsung yang cukup
dari sinar matahari.

I. FAKTOR RISIKO
1. Umur
Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun demikian jarang dijumpai
pada umur yang sangat muda. Frekuensi terbanyak adalah pada umur 15-29 tahun.
Pada beberapa penelitian dilaporkan bahwa prevalensi kusta meningkat sampai usia
20 tahun, kemudian mendatar antara 20-50 tahun dan setelah itu menurun. Kejadian
kusta lebih sering terjadi pada penderita orang tua dibandingkan pada anak-anak
dan dewasa muda. terjadinya kecacatan kusta pada usia yang lebih tua tergantung
pada kondisi fisik seseorang (daya tahan tubuh), terjadinya penurunan berbagai
fungsi organ tubuh yang akan mempermudah kelompok usia tua jatuh dalam
kondisi yang lebih parah dengan penyakit yang cenderung bersifat progresif dan
irreversible.
2. Jenis Kelamin
Penyakit kusta dapat menyerang semua orang. Laki-laki lebih banyak
terkena dibandingkan wanita. Perbandingan 2 : 1, walaupun ada beberapa daerah
yang menunjukkan insiden ini hampir sama, bahkan ada daerah yang
menunjukkan penderita wanita lebih banyak.
3. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan dianggap sebagai salah satu unsur yang ikut
menentukan pengalaman dan pengetahuan seseorang, baik dalam ilmu
pengetahuan maupun kehidupan sosial.
4. Jenis lantai
Lantai merupakan dinding penutup ruangan bagian bawah, kontruksi
lantai rumah harus kedap air dan selalu kering agar mudah dibersihkan dari
kotoran dan debu. Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap
terhadap air seperti tegel, semen, keramik. Lantai yang tidak memenuhi syarat
dapat dijadikan tempat hidup dan perkembangbiakan kuman dan vektor penyakit.
Selain itu dapat menyebabkan meningkatnya kelembaban dalam ruangan.28
5. Faktor Imunitas
Pada individu dengan respon imunitas selular baik akan menjadi kusta
tuberkuloid, sedang bila respon imunitas jelek menjadi kusta lepromatosa. Respon
imunitas selular meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, tetapi pada usia
tertentu akan mengalami penurunan. Respon imun tersebut tidak berbeda antara
laki-laki dan wanita.
6. Faktor Kuman Kusta
Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman-kuman kusta yang masih
utuh kemungkinan dapat menimbulkan penularan, sedangkan bentuk yang tidak
utuh tidak menular. Suatu kenyataan kuman bentuk utuh yang keluar dari tubuh
yang sakit tidak banyak. Juga faktor lamanya kuman kusta di luar badan manusia
memegang peranan pula dalam hal penularan ini, yaitu bila kuman keluar dari
badan penderita maka kuman dapat bertahan 1-2 hari dan ada pula yang
berpendapat 7 hari, hal ini tergantung dari suhu/cuaca di luar, maka panas cuaca
di luar makin cepat kuman kusta akan mati.
7. Kelembaban
Kelembaban sangat penting untuk pertumbuhan kuman penyebab
penyakit. Kelembaban yang tinggi dapat menjadi tempat yang disukai oleh kuman
untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya.29 Secara umum penilaian
kelembaban dalam rumah dengan menggunakan hygrometer. Menurut indikator
pengawasan perumahan, kelembaban udara yang memenuhi syarat kesehatan
dalam rumah adalah 40-70% dan kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat
kesehatan adalah <40% atau >70%. Komponen rumah harus memenuhi
persyaratan fisik dan biologis agar aman bagi penguhinya, salah satunya adalah
lantai harus kedap air. Jenis lantai tanah menyebabkan kondisi rumah menjadi
lembab yang memungkinkan segala bakteri berkembangbiak. Hal ini
menyebabkan kondisi ketahanan tubuh menjadi lebih buruk, sehingga dapat
menyebabkan gangguan atau penyakit terhadap penghuninya dan memudahkan
seseorang terinfeksi penyakit.30 Kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan
membran mukosa hidung menjadi kering sehingga kurang efektif dalam
menghadang mikro organism.Kelembaban unutk Mycobactrium leprae dapat
hidup dalam secret hidung yang dikeringkan pada temperature kamar 36,70C
dengan kelembaban 77,6%.30 Mycobacterium leprae hidup diluar hospes dengan
temperature dan kelembaban yang bervariasi. Mycobacterium leprae dapat
bertahan hidup 7-9 hari pada kelembaban 70,9%. Sedangkan pada temperatur
kamar dibuktikan dapat bertahan hidup sampai 46 hari.
8. Ventilasi
Ventelasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang
menyenangkan dan menyehatkan manusia. Berdasarkan kejadiannya, maka
ventelasi dapat dibagi ke dalam dua jenis yaitu:
a. Ventilasi alam.
Ventilasi alam berdasarkan pada tiga kekuatan, yaitu: daya difusi dari
gas-gas, gerakan angin dan gerakan massa di udara karena perubahan
temperatur. Ventilasi alam ini mengandalkan pergerakan udara bebas (angin).
temperatur udara dan kelembabannya. Selain melalui jendela, pintu dan
lubang angin, maka ventilasi pun dapat diperoleh dari pergerakan udara
sebagai hasil sifat porous dinding ruangan, atap dan lantai.
b. Ventilasi buatan.
Pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi buatan dengan
menggunakan alat mekanis maupun elektrik. Alat-alat tersebut diantaranya
adalah kipas angin, exhauster dan AC (Air Conditioner).
Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan
akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Ventilasi rumah mempunyai
banyak fungsi yaitu:
1) Menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetep segar / bersih, ini berarti
keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut
tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen
di dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi
penghuni rumah akan meningkat. Disamping itu tidak cukupnya ventilasi
akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena
terjadinya proses penguapan cairan dari kulit.
2) Membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri
pathogen karena terjadinya aliran udarayang terus-menerus
sehingga bakteri yang terbawa udara akan selalu mengalir.
3) Menjaga agar ruangan rumah selalu tetap di dalam kelembaban
yang optimum.
Tersedianya udara segar dalam rumah atau ruangan amat
dibutuhkan manusia. Suatu ruangan yang tidak mempunyai
ventilasi yang baik akan menyebabkan kadar oksigen yang kurang,
kadar karbondioksida meningkat, ruangan akan berbau dan
kelembaban udara akan meningkat.
Menurut indicator penghawaan rumah, luas ventilasi yang
memenuhi syarat kesehatan adalah ≥10% luas lantai rumah dan
luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah <
10%luas lantai rumah (Depkes RI, 2005). Menurut Lubis (1989),
luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan
mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran aliran udara dan
sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman
kusta yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap
bersama udara pernafasan.
9. Suhu
Rumah atau bangunan yang sehat haruslah mempunyai suhu yang diatur
sedemikian rupa sehingga suhu badan dapat dipertahankan. Jadi suhu dalam
ruangan harus dapat diciptakan rupa sehingga tubuh tidak terlalu banyak
kehilangan panas atau sebaliknya tubuh tidak sampai kepanasan.
10. Kepadatan hunian
Kuman M.lepra sebagai penyebab penyakit kusta merupakan kuman yang
hidup dengan baik di suhu 27-300C. Maka jika suhu di suatu rumah tidak
memenuhi suhu normal (18-200C), rumah atau ruangan tersebut berpotensi untuk
menularkan penyakit menular, seperti kusta. Ketidakseimbangan antara luas
rumah dengan jumlah penghuni akanmenyebabkan suhu didalam rumah menjadi
tinggi dan hal ini dapat mempercepat penularan kusta. Tidak padat hunian
(memenuhi syarat ) adalah jika luas >9 m2 per orang dan padat penghuni jika luas
< 9 m2 per orang.
11. Riwayat Kontak dengan penderita
Riwayat kontak adalah riwayat seseorang yang berhubungan dengan
penderita kusta baik serumah maupun tidak. Sumber penularan kusta adalah kusta
utuh yang berasal dari penderita kusta, jadi penularan kusta lebih mudah terjadi
jika kontak dengan penderita kusta langsung.
Jumlah kontak serumah pada penderita lepramatouse sebesar 4 kali lebih
banyak yang kemudian menderita kusta disbanding dengan tiap tuberkuloid
dengan adanya hal tersebut dapat dipastikan bahwa kontak serumah merupakan
kelompok yang paling terancam (high risk) untuk menderita penyakit kusta.
12. Lama kontak
Lama kontak adalah jumlah waktu kontak dengan penderita kusta.
Penyakit kusta menular melalui kontak yang lama (2-5 tahun). penyakit kusta
mempunyai masa inkubasi 2-5 tahun.
13. Personal hygiene
Personal hygiene (kebersihan perorangan) merupakan tindakan
pencegahan yang menyangkut tanggung jawab individu untuk meningkatkan
kesehatan serta membatasi penyebaran penyakit menular. Pencegahan penyakit
kusta dapat dilakukan dengan meningkatkan personal hygiene, diantaranya
pemeliharaan kulit, pemeliharaan rambut dan pemeliharaan kuku.

J. TANDA DAN GEJALA KLINIS


Gejala-gejala klinis kusta meliputi :
1. Kehilangan perasaan
Kehilangan perasaan baik total maupun partial terhadap rasa sakit atau suhu,
tanpa menifestasi pada kulit. selain pada penyakit lepra dapat terjadi pada penyakit-
penyakit dari sistem saraf pusat atau tepi. Jika inimenunjukan gejala-gejala
neurologis, sebaiknya dievakuasi oleh seseorang neurolog yang berkompeten.
2. Hipopigmentasi
Hipopigmentasi terdapat pada anak-anak dengan riwayat keluarga positif
menderita lepra suatu waktu dapat dikacaukan dengan lesi-lesi karena fungsi,
bakteri, alergi, dan kelainan-kelainan kongenital.
3. Impetigo furfurace
Terutama terdapat pada wajah atau pada sebagian dari tumbuh, dan terutama
pada anak-anak disebabkan oleh sterpyococus, dan mempunyai gambaran yang
khas, berupa makula.
4. Nevus anemicus
Dapat terlihat pada waktu lahir atau tampak pada usia yang lebih tua. Lesi-
lesi terlihat bulat, atau geometris dan ukuran bertambah besar sejalan dengan
bertambahnya usia penderita. Lesi tersebut tidak bersisik, tidak gatal, dan tidak
anestetik, dan kerokan pada kulit memberi hasil yang negative.
5. Depigmentasi (leukoderma atau vitiligo)
Leukoderma dapat merupakan keadaan sekunder dari penyakit kulit yang
lebih dulu, sedangkan vitiligo merupakan suatu penyakit primer yang disebabkan
karena ketidakmampuan untuk membentuk melanin. Kedua penyakit tersebut tidak
anestetik, dan pemeriksaan laborat menunjukkan penemuan-penemuan yang
negative.
6. Tinea sirsinata
Merupakan lesi bulat dan eritermatosa dengan atau tanpa cekungan atau tepi
yang infiltratif sering diduga lesi leprae khususnya jenis tuberkuloid. Tinea sirsinata
disebabkan karena suatu jamur dermatofit yang biasanya ditandai dengan sisik –
sisik atau dibatasi vesikel – vesikel.
7. Erythema multiforme
Tipe ini merupakan suatu keadaan kulit yang akut yang menunjukkan
pruritus atau lebih sakit dari anestetik bercak – bercak infiltrate terutama terdapat
bilateral.
8. Dermatorniositis
Mulai muncul di wajah seperti udema, tetapi kelainan ini segera diikuti
dengan nyeri otot khususnya pada daerah dada dan pelvic, kemudian berkembang
menjadi atrofi.
9. Periarteritis nodosa
Ditandai adanya nodul-nodul sepanjang rute arteri yang mirip dengan
Eritema Nodosum Leprosum sebab keduanya ada rasa sakit dan timbul secara
berkelompok. Eritema Nodosum Leprosum terdapat pada beberapa penderita
dengan penyakit leprae lepromatosa yang sebelumnya sudah ada infiltrasi yang
menyeluruh atau oleh adanya nodul-nodul.

Berdasarkan tingkat keparahan gejala, kusta dikelompokkan menjadi enam jenis, yaitu:

1. Intermediate leprosy.
Jenis kusta ini ditandai dengan beberapa lesi datar yang kadang sembuh
dengan sendirinya, namun dapat berkembang menjadi jenis kusta yang lebih
parah.
2. Tuberculoid leprosy.
Jenis kusta ini ditandai dengan beberapa lesi datar yang di antaranya
berukuran besar dan mati rasa. Selain itu, beberapa saraf juga dapat terkena.
Tuberculoid leprosy dapat sembuh dengan sendirinya, namun bisa berlangsung
cukup lama atau bahkan berkembang menjadi jenis kusta yang lebih parah.
3. Borderline tuberculoid leprosy.
Lesi yang muncul pada kusta jenis ini serupa dengan lesi yang ada pada
tuberculoid leprosy, namun berukuran lebih kecil dan lebih banyak. Kusta jenis
borderline tuberculoid leprosy dapat bertahan lama atau berubah menjadi jenis
tuberculoid, bahkan berisiko menjadi jenis kusta yang lebih parah lagi.
Pembesaran saraf yang terjadi pada jenis ini hanya minimal.
4. Mid-borderline leprosy.
Jenis kusta ini ditandai dengan plak kemerahan, kadar mati rasa sedang,
serta membengkaknya kelenjar getah bening. Mid-borderline leprosy dapat
sembuh, bertahan, atau berkembang menjadi jenis kusta yang lebih parah.
5. Borderline lepromatous leprosy.
Jenis kusta ini ditandai dengan lesi yang berjumlah banyak (termasuk lesi
datar), benjolan, plak, nodul, dan terkadang mati rasa. Sama seperti mid-
borderline leprosy, borderline lepromatous leprosy dapat sembuh, bertahan, atau
berkembang menjadi jenis kusta yang lebih parah.
6. Lepromatous leprosy.
Ini merupakan jenis kusta paling parah yang ditandai dengan lesi yang
mengandung bakteri dan berjumlah banyak, rambut rontok, gangguan saraf,
anggota badan melemah, serta tubuh yang berubah bentuk. Kerusakan yang
terjadi pada lepromatous leprosy tidak dapat kembali seperti semula.

K. KOMPLIKASI
Risiko komplikasi kusta dapat terjadi tergantung dari seberapa cepat penyakit tersebut
didiagnosis dan diobati secara efektif. Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi jika
kusta terlambat diobati adalah:
1. Kebutaan atau glaukoma
2. Kerusakan wajah, termasuk pembengkakan permanen dan benjolan
3. Disfungsi ereksi dan kemandulan pada pria
4. Gagal ginjal
5. Kelemahan otot yang mengarah ke bentuk tangan seperti cakar, karena kerusakan
saraf di tangan atau ketidakmampuan untuk melenturkan kaki
6. Kerusakan permanen pada bagian dalam hidung, yang dapat menyebabkan mimisan
dan, hidung tersumbat kronis
7. Kerusakan permanen pada saraf di luar otak dan sumsum tulang belakang, termasuk
di lengan, kaki, dan kaki
8. Kerusakan saraf dapat menyebabkan hilangnya sensasi perasa. Seseorang yang
mengalami kerusakan saraf yang berhubungan dengan kusta mungkin tidak
merasakan sakit ketika tangan atau kaki dipotong, dibakar, atau terluka.
9. Cacat progresif, seperti kehilangan alis, cacat pada jari kaki, tangan, dan hidung.

L. DIAGNOSIS

Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta didasarkan pada penemuan gejala-


gejala utama atau “Cardinal signs”, yaitu :

1. Lesi kulit yang mati rasa

Kelainan kulit dapat berupa bercak keputih-putihan (hipopigmentsi) atau


kemerahan (eritematous) yang mati rasa.

2. Penebalan saraf yang disertai dengan gangguan fungsi

Penebalan gangguan fungsi saraf yang terjadi merupakan akibat dari


peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer) dan tergantung area yang dilayani oleh
saraf tersebut, dan dapa berupa :

a. Gangguan fungsi sensorik : mati rasa/ kurang rasa


b. Gangguan fungsi motorik : paresis atau paralysis
c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema.

3. Basil tahan asam (BTA)


Bahan pemeriksaan diambil dari kerokan kulit (skin smear) pada cuping telinga
serta bagian aktif suatu lesi kulit. Bila pada kulit atau saraf seseorang ditemukan
kelainan yang tidak khas untuk penyakit kulit lain dan menurut pengalaman
kemungkinan besar mengarah ke kusta, maka kita dapat menetapkan seseorang
tersebut sebagai suspek kusta.

Untuk menegakkan diagnosis kusta, diperlukan paling sedikit satu tanda utama.
Tanpa tanda utama, seseorang hanya boleh ditetapkan sebagai tersangka (suspek)
kusta. Pemeriksaan apusan kulit (skin smear) beberapa tahun terakhir tidak diwajibkan
dalam program nasional untuk penegakan diagnosis kusta. Tetapi saat ini program
nasional mengambil kebijakan untuk mengaktifkan kembali pemeriksaan skin smear.
Pemeriksaan skin smear banyak berguna untuk mempercepat penegakan diagnosis
karena sekitar 7-10% penderita yang datang dengan lesi PB yang meragukan
merupakan kasus MB yang dini. Bila pemeriksaan bakteriologis tersebut juga tidak
ditemukan BTA, maka tersangka perlu diamati dan diperiksa ulang 3-6 bulan
kemudian atau dirujuk ke dokter spesialis kulit hingga diagnosa dapat ditegakan atau
disingkirkan (Ditjen PPM dan PL 2007 dalam Olii, 2009).

Diagnosis banding penyakit kulit yang jarang ditemukan:

a. Frambusia (Yaws)
Lesi berupa beberapa benjolan (nodul) yang berkelompok di tungkai, berwarna
merah, permukaan kasar dan terdapat krusta berwarna kuning. Kadang-kadang
berulserasi dan sembuh membentuk parut atrofi berwarna agak putih. Gambar
wajah tampak lesi atrofi, hipopigmentasi, dan kadang-kadang sensasi terhadap
rasa raba dan nyeri agak terganggu.
b. Granuloma Multiforme :
Penyakit ini pada beberapa tingkatan sangat menyerupai kusta. Pertama kali
ditemukan dan terutama ditempat lain di dunia. Penyebabnya masih belum
diketahui, kemungkinan merupakan satu varian dari granuloma anulare. Tahap
awal ditandai oleh adanya gatal (tidak terjadi pada kusta). Lesi menghilang sendiri
cepat atau lambat dan tidak ada respon terhadap pengobatan apapun. Fungsi
sensasi, pengeluaran keringat dan saraf perifer normal.
c. Pellagra
Bercak dapat menyerupai kusta tipe PB yang sedang mengalami reaksi. Lesi khas,
simetris, tanpa keluhan dan seringkali dihubungkan dengan malnutrisi,
alkoholisme dan kemiskinan. Fungsi sensasi pengeluaran keringat dan saraf
perifer normal. Lesi tersebut (serta keadaan umum pasien) memberikan respon
cepat dengan pemberian asam nikotinat (McDougall dan Yuasa, 2005),

M. JENIS CACAT
Berdasarkan Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta yang
dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Nasional, cacat akibat penyakit ini terbagi
menjadi dua, yaitu:

a. Cacat primer
Cacat primer adalah jenis cacat yang disebabkan langsung oleh infeksi bakteri
M. leprae dalam tubuh. Cacat jenis ini menyebabkan penderitanya mengalami mata
rasa, kulit kering dan bersisik serta claw hand alias tangan dan jari-jari membengkok.
Pada cacat primer, kemunculan bercak kulit yang mirip panu biasanya terjadi
secara cepat dalam waktu yang relatif singkat. Bercak ini lama-lama menjadi
meradang, membengkak, dan disertai dengan gejala demam. Selain itu, bisul yang
muncul sebagai salah satu tanda dari gejala lepra bisa pecah dan berkembang menjadi
borok. Kelemahan otot dan sensasi kulit mati rasa (kebas/ baal) biasanya terjadi dalam
kurun waktu enam bulan terakhir semenjak paparan infeksi awal.
Bila Anda mengalami gejala-gejala di atas, segera periksa ke dokter untuk
mendapatkan perawatan terbaik.

b. Cacat sekunder
Cacat sekunder adalah perkembangan dari cacat primer, terutama yang
diakibatkan oleh kerusakan saraf. Kerusakan saraf ini dapat menyebabkan bisul ulkus
(luka terbuka di kulit alias borok) dan keterbatasan gerak sendi. Hal ini terjadi
sebagai akibat kerusakan fungsional pada persendian dan jaringan lunak di sekitar
area yang terinfeksi.
Kecacatan pada tahap ini terjadi melalui dua proses, yaitu:
 Adanya aliran langsung bakteri M.leprae ke susunan saraf tepi dan organ tertentu
 Melalui reaksi lepra
Jika bakteri sudah masuk ke dalam saraf, maka fungsi saraf lambat laun
akan berkurang bahkan hilang. Secara umum, saraf berfungsi sebagai sensorik,
motorik, dan otonom. Kelainan yang terjadi akibat infeksi kulit satu ini bisa
menimbulkan gangguan pada masing-masing saraf atau kombinasi di antara
ketiganya.
Berikut beberapa gangguan atau kelainan pada masing-masing saraf
akibat penyakit lepra:

a. Gangguan saraf motorik.


Saraf motorik berfungsi memberikan kekuatan pada otot. Gangguan
atau kelainan pada saraf motorik bisa berupa kelumpuhan pada tangan dan kaki,
jari-jari tangan maupun kaki membengkok, serta mata tidak bisa berkedip. Jika
infeksi terjadi pada bagian mata, maka penderita bisa mengalami kebutaan.
b. Gangguan saraf sensorik.
Saraf sensorik bertugas untuk memberi sensasi dalam meraba,
merasakan nyeri, dan merasakan suhu. Gangguan pada saraf sensorik dapat
mengakibatkan tangan dan kaki mati rasa serta refleks kedip berkurang.
c. Gangguan saraf otonom.
Saraf otonom bertanggung jawab atas kelenjar keringat dan minyak di
dalam tubuh. Gangguan pada bagian saraf ini mengakibatkan kekeringan dan
keretakan pada kulit akibat adanya kerusakan pada kelenjar minyak dan aliran
darah.

N. TINGKAT KEPARAHAN CACAT KUSTA


Selain dibedakan berdasarkan jenisnya, penyakit ini juga bisa dibedakan dari
tingkat keparahan cacat yang terjadi. Tiap organ yang terpengaruh infeksi penyakit ini
(umumnya mata, tangan, dan kaki) ada tingkat cacatnya tersendiri.
Adapun tingkat cacat penyakit lepra menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) yaitu:
1. Tingkat 0.
Pada tingkat ini organ seperti mata, tangan, dan kaki masih berfungsi secara normal
karena belum/ tidak mengalami kelainan apa pun.
2. Tingkat 1.
Kerusakan pada kornea mata umumnya sudah terjadi. Umumnya sudah terjadi
gangguan ketajaman penglihatan tetapi tidak dalam tahap yang parah. Penderita
masih dapat melihat sesuatu dari jarak 6 meter. Kelemahan otot dan mati rasa pada
tangan dan kaki sudah mulai terasa.
3. Tingkat 2.
Pada tingkat ini kelopak mata tidak dapat menutup dengan sempurna. Penglihatan
sudah sangat terganggu karena biasanya pasien dengan tingkatan ini tidak lagi
mampu melihat sesuatu dari jarak 6 meter atau lebih. Kemudian terjadi juga
kecacatan pada tangan dan kaki seperti luka terbuka dan jari membengkok permanen.

O. PENCEGAHAN PRIMER
Adalah Upaya pencegahan yg dilakukan saat proses penyakit belum mulai (pada periode
pre-patogenesis) dengan tujuan agar tidak terjadi proses penyakit.Tujuannya mengurangi
insiden penyakit dengan cara mengendalikan penyebab penyakit dan faktor
risikonya.Upaya yang dilakukan adalah untuk memutus mata rantai infeksi “agent –
host - environment”. Terdiri dari:
a. Health promotion (promosi kesehatan)
b. Specific protection (perlindungan khusus)
Kegiatan yang dilakukan dalam upaya tersebut adalah:
a. Health promotion (promosi kesehatan)
 Pendidikan kesehatan, penyuluhan
 Pemberian gizi yang cukup sesuai dengan perkembangan
 Penyediaan perumahan yg sehat
 Konseling perkawinan
 Genetika
 Pemeriksaan kesehatan berkala
b. Specific protection (perlindungan khusus )
 Menjaga kebersihan perorangan
 Melakukan imunisai
 Menjaga sanitasi lingkungan
 Perlindungan terhadap zat yang dapat menimbulkan kanker
 Menghindari zat-zat alergenik

P. PENCEGAHAN SEKUNDER
1. Lepra tipe PB

Jenis dan obat untuk orang dewasa

Pengobatan bulanan : Hari pertama (diminum didepan petugas)

a. 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg)


b. 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)

Pengobatan hari ke 2-28 (dibawa pulang)

a. 1 tablet dapson (DDS 100 mg) 1 Blister untuk 1 bulan

Lama pengobatan : 6 Blister diminum selama 6-9 bulan

2. Lepra tipe MB

Jenis dan dosis untuk orang dewasa :

Pengobatan Bulanan : Hari pertama (Dosis diminum di depan petugas)

a. 2 kapsul Rifampisin 300 mg (600 mg)

b. 3 kapsul Lampren 100 mg (300 mg)

c. 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)

Pengobatan Bulanan : Hari ke 2-28

a. 1 tablet Lampren 50 mg
b. 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)

1 blister untuk 1 bulan

Lama Pengobatan : 12 Blister diminum selama 12-18 bulan

Dosis bagi anak berusia dibawah 5 tahun disesuaikan dengan berat badan

a. Rifampisin : 10-15 mg/ kg BB

b. DDS : 1-2 mg/ kg BB

c. Clofazimin : 1 mg/ kg BB

Q. PENCEGAHAN TERSIER

Adalah Pencegahan yang dilakukan saat proses penyakit sudah lanjut(akhir


periode patogenesis) dengan tujuan untuk mencegah cacat dan mengembalikan
penderita ke status sehat. Tujuannya menurunkan kelemahan dankecacatan,
memperkecil penderitaan dan membantu penderita-penderita untukmelakukan
penyesuaian terhadap kondisi yang tidak dapat diobati lagi. Terdiri dari:

a. Disability limitation
b. Rehabilitation

Kegiatan yang dilakukan dalam upaya tersebut adalah :

a. Disability limitation
 Penyempurnaan dan intensifikasi pengobatan lanjutan agar tidak terjadi
komplikasi.
 Pencegahan terhadap komplikasi maupun cacat setelah sembuh.
 Perbaikan fasilitas kesehatan sebagai penunjang untuk pengobatan dan
perawatan yang lebih intensif.
 Mengusahakan pengurangan beban beban non medis ( sosial ) pada
penderita untuk memungkinkan meneruskan pengobatan dan
perawatannya.
b. Rehabilitasi
 Penyediaan fasilitas untuk pelatihan sampai fungsi tubuh dapat
dimanfaatkan sebaik-baiknya
 Penyuluhan dan usaha usaha kelanjutan yang harus tetap dilakukan
seseorang setelah ia sembuh.
 Peningkatan terapi kerja untuk memungkinkan pengembangank
ehidupan sosial setelah ia sembuh.
 Mengusahakan suatu perkampungan rehabilitasi sosial.
 Penyadaran masyarakat untuk menerima mereka dalam fase
rehabilitasi.
 Mengembangkan lembaga-lembaga rehabilitasi
DAFTAR PUSTAKA

Ibrahim, Angga Maulana. 2016. Mengenal Kusta Alias Lepra, Penyakit yang Sering Telat
Dideteksi. https://hellosehat.com/pusat-kesehatan/dermatologi/lepra-kusta-
adalah-infeksi-kulit/. Diakses pada 13 September 2019.

Siti, Hamidah. 2019. Kusta terbaru. https://www.academia.edu/6883485/Kusta_terbaru.


Diakses pada 13 September 2019.

___. ___. BAB II Penyakit kusta. http://repository.unimus.ac.id/2243/2/BAB%20I.pdf.


Diakses pada 13 September 2019.

Suardi, S. 2012. Penyakit Kusta. http://eprints.undip.ac.id/42543/2/BAB_II.pdf . Diakses


pada 13 September 2019.

Anda mungkin juga menyukai