Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN PENDAHULUAN & ASUHAN

KEPERAWATAN PADA TN. W 49 TAHUN DENGAN


DIAGNOSA MORBUS HANSEN DI RUANG VIP RSUD
KOTA BANDUNG
Untuk memenuhi tugas CBL (Case Based Learning) Keperawatan Medikal Bedah II

Program Studi Sarjana Keperawatan

Dosen Pembimbing:
Ns. Nina Gartika, M. Kep

disusun oleh:
Lulu Lutfiah
302017043

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


UNIVERISTAS ‘AISYIYAH BANDUNG
BANDUNG
2021
A. Defenisi Penyakit Kusta (Morbus Hansen)
Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan
gejaejala kulit secara umum. Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus
Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman. Kusta adalah penyakit
yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae. Kusta menyerang berbagai
bagian tubuh diantaranya saraf dan kulit. Penyakit ini adalah tipe penyakit
granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernafasan atas dan lesi
pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta
dapat sangat progresif menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota
gerak dan mata. (Kemenkes RI, 2015).
Kusta merupakan penyakit kulit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium Leprae. Kusta dikenal dengan “The Great Imitator Disease”
karena penyakit ini seringkali tidak disadari karena memiliki gejala yang hampir
mirip dengan penyakit kulit lainnya. Hal ini juga disebabkan oleh bakteri kusta
sendiri mengalami proses pembelahan yang cukup lama yaitu 2–3 minggu dan
memiliki masa inkubasi 2–5 tahun bahkan lebih. (Kemenkes RI, 2018).
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular dan bersifat kronik.
Penyakit ini disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang bersifat
intraseluler obligat dan terjadi pada kulit dan saraf tepi. Penyakit ini mempunyai
afinitas utama pada saraf tepi/perifer, kemudian kulit, dan dapat mengenai organ
tubuh lain seperti mata, mukosa saluran napas atas, otot, tulang dan testis.
(Kemenkes RI, 2015).
B. Klasifikasi Penyakit Kusta
Menurut Sjamsoe (2015), Sistem pengklasifikasian kusta ini dibagi menjadi
tiga jenis, yakni kusta tuberkuloid, lepromatosa, dan garis batas. Pengelompokan
kusta berikut ditentukan dari respons kekebalan seseorang terhadap penyakit.
Berikut perbedaan diantara ketiganya, yaitu:
1. Kusta tuberkuloid. Seseorang yang mengidap kusta jenis ini memiliki respon
imun yang baik dan infeksi hanya menimbulkan beberapa lesi. Kusta jenis ini
masih tergolong ringan dan tidak mudah menular.
2. Kusta lepromatosa. Berbeda dengan kusta tuberkuloid, kusta lepromatosa
membuat imunitas pengidapnya kian memburuk. Jenis ini memengaruhi kulit,
saraf, dan organ-organ lainnya. Kusta lepromatosa ditandai dengan lesi yang
semakin luas bahkan lesi membentuk nodul atau benjolan besar. Selain itu,
jenis kusta harus lebih diwaspadai karena mudah menular.
3. Kusta garis batas. Sedangkan kusta garis batas, adalah tipe perpaduan antara
kusta tuberkuloid dan lepromatosa.
Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan
gambaran klinis, bakteriologik, histo patologik dan status imun penderita menjadi:
1. Kusta tuberkuloid. Jenis ini ditandai dengan bentuk lesi yang datar dan
beberapa diantaranya berukuran besar serta mati rasa akibat memengaruhi
saraf. Menurut klasifikasi Ridley-Jopling, kusta jenis ini masih dapat sembuh
sendirinya, bertahan, dan mungkin berkembang ke bentuk yang lebih parah.
2. Kusta tuberkuloid borderline. Lesi kusta jenis ini mirip dengan tuberkuloid,
tetapi jumlahnya lebih banyak. Selain itu, kusta jenis ini mulai memengaruhi
banyak titik saraf. Kusta tuberkuloid borderline tidak dapat sembuh dengan
sendirinya namun bisa mereda ke bentuk kusta tuberkuloid. Namun, kusta ini
pastinya dapat bertahan atau berkembang ke bentuk yang lebih parah.
3. Plak kusta kemerahan borderline. Jenis ini sudah menimbulkan mati rasa di
banyak area tubuh bahkan menyebabkan pembengkakan pada kelenjar getah
bening. Kusta jenis ini dapat mereda menjadi tipe tuberkuloid borderline atau
berkembang menjadi tipe yang lebih serius.
4. Kusta lepromatosa borderline. Ini ditandai dengan banyak lesi, termasuk lesi
datar, Benjolan atau nodul dan plak juga semakin banyak serta menimbulkan
mati rasa. Kusta ini bisa mereda ke bentuk sebelumnya, yakni plak kusta
kemerahan borderline atau malah lebih parah.
5. Kusta lepromatosa. Kusta lepromatosa adalah bentuk terparah karena lesi
sudah muncul semakin banyak dan disertai dengan bakteri. Kusta ini juga
telah memengaruhi saraf lebih serius, sehingga rambut pengidapnya mulai
rontok dan tungkai melemah. Kusta lepromatosa harus segera diobati karena
jenis ini akan terus memburuk.
Menurut WHO (2015), WHO atau Organisasi Kesehatan Dunia
membagi kusta berdasarkan jenis dan jumlah area kulit yang terkena. Jenis kusta
menurut WHO dibagi menjadi dua kelompok, yaitu paucibacillary dan
multibacillary: perbedaan keduanya, yaitu:
1. Paucibacillary. Kusta paucibacillary ditandai dengan munculnya lima titik
lesi atau lebih sedikit lesi dan tidak ada bakteri yang terdeteksi dalam sampel
kulit.
2. Multibacillary. Kusta yang masuk kategori multibacillary apabila timbul
lebih dari lima lesi dan biopsi kulit didiagnosis mengandung bakteri.
C. Etiologi Penyakit Kusta
Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Leprae.
Mycobacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora berbentuk
batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies
Mycobacterium. Kuman berukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2 – 0,5 micro
biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan
bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif. Bakteri kusta banyak terdapat pada
kulit tangan, daun telinga dan daun mukosa. Bakteri ini mengalami proses
pembelahan cukup lama antara 12-21 hari. Kuman ini masuk ke dalam tubuh,
setelah itu menuju sel pada saraf tepi. Di dalam sel, kuman berkembang biak, sel
tersebut pecah dan kemudian menginfeksi sel yang lain atau ke kulit. Daya tahan
hidup kuman kusta mencapai 9 hari diluar tubuh manusia. Kusta memiliki masa
inkubasi 2-5 tahun bahkan juga dapat memakan waktu lebih dari 5 tahun
(Darmaputra, 2018).
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu
ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain:
1. Faktor sumber penularan
Sumber penularan adalah penderita kusta tipe Multi basiler (MB) penderita
MB inipun tidak akan menularkan kusta, apabila berobat secara teratur.
2. Faktor kuman kusta
Kuman kusta dapat tumbuh dan hidup diluar tubuh manusia antara 1-9 hari
tergantung pada suhu atau cuaca, dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh
(solid) saja yang dapat menimbulkan penularan.
3. Faktor daya tahan tubuh
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%) dari hasil
penelitian menunjukan gambaran sebagai berikut:
Dari 100 orang yang terpapar, 95 orang yang tidak menjadi sakit, 3 orang
sembuh sendiri tanpa obat dan 2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi
memperhitungkan pengaruh pengobatan (Depkes RI,2017).
D. Cara Penularan Penyakit Kusta
Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi menurut sebagian besar
ahli melalui saluran pernapasan dan kulit (kontak langsung yang lama dan erat).
Kuman mencapai permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar keringat, dan
melalui air susu ibu (Rismawati, 2013).
Cara masuknya bakteri Mycobacterium Leprae ke dalam tubuh manusia.
Ada beberapa cara yaitu:
1. Penularan melalui kontak
Kontak yang lama merupakan penyebab utama terjadinya penularan.
Kuman kusta dapat masuk melalui kulit, terutama bila ada luka. Penderita
kusta yang berada pada stadium reaktif dapat menularkan penyakit melalui
kontak erat dalam waktu lama.
2. Penularan melalui inhalasi
Kulit dan saluran pernafasan merupakan jalan masuknya
kumanMycobacterium leprae ke dalam tubuhmanusia. Terhirupnya tetestetes
atau debu yang mengandung kuman Mycobacterium leprae jugadianggap
sebagai jalan masuk yang paling sedarhana dan paling mungkin ke dalam
tubuh orang yang berhubungan dengan penyakit kusta.
3. Host
Tingkat penularan kusta di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi,
dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di
dalam rumahnya. Hal yang perlu diketahui tentang host atau penjamu
meliputi karakteristik berupa gizi atau daya tahan tubuh, pertahanan tubuh,
kebersihan pribadi, gejala dan tanda penyakit dan pengobatan (Rismawati,
2013).
E. Manifestasi Klinis
Tanda gejala tahap awal yang muncul adalah berupa kelainan warna kulit.
Biasanya terjadi hipopigmentasi, hiperpigmentasi dan eritematosa. Gejala-gejala
yang tampak dari penderita digunakan untuk menegakkan diagnosa. Menurut
WHO, kriteria untuk penegakan diagnosis kusta ada tiga, yaitu:
1. Lesi kulit yang berupa bercak hipopigmentasi atau lesi kulit kemerahan
dengan berkurangnya sensasi berbatas tegas
2. Adanya keterlibatan syaraf perifer, seperti tampak pada penebalan berbatas
tegas dengan hilangnya sensasi.
3. Ditemukan basil tahan asam (BTA) di lapisan kulit.
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau
tipe dari penyakit tersebut yaitu:
1. Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/ tubuh manusia.
2. Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin
melebar dan banyak.
3. Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis
magnus serta peroneus.
4. Kelenjar keringat kurang bekerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat.
5. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada kulit
6. Alis rambut rontok
Untuk gejala-gejala umum yang timbul pada kusta, penderita biasanya
merasakan beberapa reaksi, seperti:
1. Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil.
2. Anoreksia
3. Nausea, kadang-kadang disertai vomitus.
4. Cephalgia
5. Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis 6. Kadang-kadang
disertai dengan Nephrosia, Nepritis dan
7. hepatospleenomegali.
8. Neuritis (Hadi, 2017).
F. Patofisiologi
1. Kuman Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh melalui saluran
pernafasan dan kulit yang tidak utuh. Sumber penularan adalah penderita
kusta yang banyak mengandung kuman (tipe multibasiler) yang belum
diobati. Kuman masuk ke dalam tubuh menuju tempat predileksinya yaitu
saraf tepi. Saat Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan
penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respons tubuh setelah
masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas pasien.
Mycobacterium leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih
dingin yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Derajat penyakit
tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respons imun pada tiap
pasien berbeda.
2. M. leprae mempunyai patogenisitas dan daya invasi yang rendah. Bakteri ini
masuk ke dalam tubuh biasanya melalui sistem pernafasan. Patogenisitas
yang rendah menyebabkan hanya sebagian kecil orang yang terinfeksi yang
menimbulkan tanda-tanda penyakit. Setelah memasuki tubuh, bakteri
bermigrasi ke jaringan saraf dan masuk ke dalam sel Schwann. Bakteri juga
dapat ditemukan dalam makrofag, sel-sel otot, dan sel-sel endotel pembuluh
darah. Setelah memasuki sel Schwann atau makrofag, keadaan bakteri
tergantung pada perlawanan dari individu yang terinfeksi. Peningkatan
jumlah bakteri dalam tubuh dan infeksi akan memicu sistem imun berupa
limfosit dan histiosit (makrofag) untuk menyerang jaringan yang terinfeksi.
Pada tahap ini, manifestasi klinis mungkin muncul sebagai keterlibatan saraf
disertai dengan penurunan sensasi. Apabila tidak didiagnosis dan diobati pada
tahap awal, keadaan lebih lanjut akan ditentukan oleh kekuatan respon imun
pasien.
Sistem imun seluler (SIS) memberikan perlindungan terhadap penderita kusta.
Ketika SIS spesifik efektif dalam mengontrol infeksi dalam tubuh, lesi akan
menghilang secara spontan atau menimbulkan kusta dengan tipe pausibasiler
(PB). Apabila SIS rendah, infeksi menyebar tidak terkendali dan menimbulkan
kusta dengan tipe multibasiler (MB). Dalam perjalanan kronis penyakit dapat
timbul peningkatan respon imun secara tiba-tiba karena efek pengobatan atau
perubahan status imunitas sehingga menghasilkan peradangan kulit dan atau saraf
serta jaringan lainnya. Hal ini disebut sebagai reaksi kusta (tipe 1 dan 2)
(Darmaputra, 2018).
G. Pathway

Mycobacterium Leprae

Droplet infection /
kontak dengan kulit

Masuk pemb.darah dermis &


sel saraf schwan

Sist.Imun Sel

Fagositosis

Pembentukan tuberkel

Pause basiler Morbus Hensen (kusta) Multi basiler

Menyerang kulit & saraf tepi


H. Komplikasi
Komplikasi kusta tergantung seberapa cepat penyakit ini didiagnosis dan
diobati secara efektif. Sangat sedikitkomplikasi terjadi jika penyakit ini diobati
cukup awal, tapi berikut ini adalah daftar komplikasi yang dapat terjadi ketika
diagnosis dan pengobatan baik ditunda atau mulai terlambat dalam proses
penyakit:
1. Kehilangan sensori (biasanya dimulai pada ekstremitas)
2. Kerusakan saraf permanen (biasanya di kaki)
3. Kelemahan otot
4. Cacat progresif (misalnya, alis hilang, cacat jari-jari kaki, dan hidung).
Selain itu kehilangan sensori menyebabkan orang untuk melukai bagian
tubuh tanpa individu menyadari bahwa ada cedera, hal ini dapat menyebabkan
masalah tambahan seperti infeksi dan penyembuhan luka yang buruk (Gunawan,
2018).
I. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan bakteriologis
untuk mengetahui apakah ada basil tahan asam (BTA) pada kerokan kulit atau
tidak. Pemeriksaan bakteriologis dapat dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat
pertama seperti Puskesmas. Pengambilan sampel kerokan kulit untuk
pemeriksaan bakteriologis bisa dilakukan pada cuping telinga atau lesi kulit yang
paling aktif (lesi kulit yang meninggi dan berwarna kemerahan). Sampel kerokan
kulit dapat diambil dari 2 sampai 3 tempat yang berbeda. Pemeriksaan ini dapat
membantu menentukan klasifikasi pada pasien lepra baru, membantu menilai
hasil pengobatan, serta sebagai evaluasi pada pasien relapse. Sampel akan
dilakukan pewarnaan dengan teknik Ziehl-Nielsen. BTA akan terlihat seperti
bentukan batang panjang dengan kedua ujungnya membulat serta berwarna
merah. Hasil pembacaan bakteriologis akan ditulis dalam bentuk indeks bakteri.
Indeks Bakteri (IB) Merupakan ukuran semikumulatif kepadatan BTA dalam
sediaan apus. IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil
pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:
0 : bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1 : bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
2 : bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
3 : bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
4 : bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
5 : bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
6 : bila> 1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
Indeks morfologi (IM) merupakan presentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh
BTA, IM diguakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil
pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat. (Devita, 2018).
J. Penatalaksanaan
1. Pengobatan
Pengobatan klien kusta dengan Multi Drug Therapy (MDT) tujuannya yaitu
untuk memutus rantai penularan, pencegahan, resistensi obat, mengurangi
masa pengobatan, meningkatkan dalam keteraturan pengobatan. Serta
mencegah timbulnya kecacatan karena kusta. Dengan matinya bakteri kusta
karena pengobatan MDT maka sumber penularan dari klien kusta ke orang
lain dapat diputus, namun kecacatan yang diakibatkan oleh kusta sebelum
pengobatan tidak dapat diperbaiki dengan MDT (Kemenkes RI,2012). Multi
Drug Therapy adalah kombinasi pengobatan dari dua atau lebih obat anti-
kusta, salah satunya adalah Rimpapisin yang bersifat bakterisida kuat,
sedangkan obat yang lain berupa obat anti-kusta yang bersifat bakteriostatik.
Pengobatan MDT untuk klien kusta di Indonesia disesuaikan dengan
rekomendasi WHO, meliputi:
a. Pasien dengan pausbasiler (PB)
Pengobatan bulanan: hari petama obat diminum didepan petugas
1) Kapsul rifampisin 300mg
2) 1 tablet dapson/DDS 100mg
b. Pengobatan harian: hari 2-28
1) 1 tablet dapson/DDS 100mg
2) Satu bulan diberikan 1 blister, diperlukan 6 blister yang minum selama 9
bulan
c. Pasien dengan multybasiler (MB)
Pengobatan bulanan: hari pertama diminum didepan petugas
1) Kapsul rifampisin 300mg
2) Tablet lapren 100mg
3) 1 tablet dapson/DDS 100mg
d. Pengobatan hari ke 2-28
1) 1 tablet lapten 50mg
2) 1 tablet dapson 100mg
Satu bulan diberikan 1 blister diperlukan 12 blister yang harus diminum selama
12-18 bulan
e. Dosis MDT PBA untuk anak (usia 10-15 tahun)
Pengobatan bulanan: hari pertama diminum didepan petugas
1) Kapsul rifampisin 150mg
2) 1 tablet dapson/DDS 50mg Pengobatan harian ke 2-28
1) Tablet dapson/DDS 50mg
2) Satu bulan diberikan 1 blister, diperlukan 6 blister yang harus diminum
setiap selama 9 bulan
f. Dosis MDT MB untuk anak (usia 0-15 tahun)
Pengobatan bulanan: hari pertama diminum didepan petugas
1) kapsul rifampisin 150mg
2) tablet dapson/DDS 100mg
g. Pengobatan hari ke 2-28
1) 1 tablet lapten 50mg
2) 1 tablet dapson 50mg
Satu bulan diberikan 1 blister diperlukan 12 blister yang harus dikonsumsi
selama 12-18 bulan.
2. Rehabilitasi
Kegiatan rehabilitasi klien kusta meliputi medis, okupasi, kejiwaan dan
sosial. Tindakan medis untuk kecacatan yang dialami klien kusta yaitu
dengan tindakan operasi dan fisioterapi yang bertujuan untuk
memperbaiki fungsi organ yang mengalami kerusakan. Lapangan
pekerjaan dapat diberikan untuk klien kusta yang sesuai dengan cacat
tubuh yang diderita. Tetapi kejiwaan berupa konseling dapat dilakukan
secepat mungkin pada klien kusta, lingkungan keluarga dan masyarakat.
KASUS 4

Tn. W, 49 tahun, berobat ke RSUD Kota Bandung dengan keluhan muncul bercak baal
berwarna putih kehitaman dan bersisik yang menyebar pada hampir seluruh tubuh yang
didirasakan sejak 4 bulan sebelum masuk rumah sakit. Sejak 2 bulan sebelum masuk
rumah sakit pasien sulit makan sehingga badan terasa lemas.
Pasien mengatakan tidak ada kesulitan dalam, mengancing baju, ke kamar mandi, makan
dan lain-lain meskipun badan terasa lemah untuk melakukan aktivitas, tetapi saat
menggunakan sendal jepit sering terlepas. 4 hari sebelum masuk RS kondisi pasien
memburuk. Badan pasien terasa sangat lemas sehingga tidak mampu melakukan aktivitas
sehari-hari secara mandiri. Oleh karena itu keluarga pasien membawa pasien ke
Puskesmas kemudian di rujuk ke rumah sakit.
Awalnya keluhan pertama kali muncul pada 2 tahun yang lalu berupa bercak berbentuk
bulat, berwarna sedikit kemerahan di wajah. Bercak yang muncul tidak gatal, panas
ataupun baal. Namun seiring dengan perjalanan penyakit pasien merasa kedua telapak
kaki mulai terasa baal, memakai sendal sering terlepas. 1 bulan kemudian keluhan
semakin bertambah parah sehingga pasien di bawa ke RSHS dan di diagnosis kusta serta
mendapatkan pengobatan untuk penyakit kusta.
Pasien menjalani pengobatan selama 8 bulan, setelah meminum obat tersebut pasien
mengalami perbaikan, bercak pada wajah dan seluruh badan mulai membaik tetapi baal
pada kedua telapak kaki tetap ada.
Pasien mengalami putus obat selama 18 bulan dan tidak mengkonsumsi obat apapun
kemudian 4 bulan sebelum masuk rumah sakit muncul bercak baal berwarna putih dan
bersisik yang menyebar pada hampir seluruh tubuh. Pasien merasakan baal pada kedua
kaki dan tangan.
Hasil pemeriksaan fisik kesadaran kompos mentis, tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 84
x/menit, suhu 36,7 C, dan pernapasan 22 x/menit. Sklera ikterik (+/+), konjuntiva
anemis (+/+), pada supersilia terdapat madarosis (+/+), pada auricula infiltrat eritematosa
(+/+). Pemeriksaan thorax didapatkan normothorax, simetris, abdomen datar. Pada
pemeriksaan ekstremitas atas didapatkan atrofi otot-otot intrinsik pada kanan dan kiri.
Pada ekstremitas inferior terdapat atrofi pada otot-otot intrinsik disertai anestesi pada
kanan dan kiri. Pemeriksaan sensoris pada wajah tidak terdapat perbedaan pada wajah
bagian kanan maupun kiri. Terdapat pembesaran pada nervus auricularis magnus kanan
dan kiri yang disertai dengan nyeri tekan, pembesaran nervus peroneus communis kanan
dan kiri yang disertai dengan nyeri tekan. Sistem integument pada regio generalisata
terdapat macula hingga plak hipopigmentasi hiperpigmentasi ukuran plakat multipel
difus dengan skuama (Gambar).
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hemoglobin 2,9 gr/dl, leukosit 15.500/ L,
trombosit 665.000/ L, SGOT 50U/L, SGPT 19 U/L, ureum 55 mg/dL, kreatinin 1,20
mg/dL. Pemeriksaan Bakterioskopik pada cuping telinga kanan BTA +1, cuping telinga
kiri BTA +1, lesi aktif pada jari tangan kanan BTA +1, lesi aktif pada jari tangan kiri
BTA+1, lesi aktif pada tungkai kanan bawah BTA +1, lesi aktif pada tungkai kiri bawah
BTA +1.
Diagnosis pasien ini adalah Morbus Hansen tipe lepromatosa dengan neuritis akut dan
cacat derajat dua. Penatalaksanaan berupa pemberian Multidrug Therapy (MDT) tipe
multibasilar selama 12-18 bulan. MDT-MB terdiri dari obat yaitu hari 1 rifamfisin 600
mg/bulan, klofazimin 300 mg/bulan dan dapson 100 mg/bulan. Selanjutnya hari 2-28 obat
berisi klofazimin 50 mg/hari dan dapson 100 mg/hari. Selain itu pasien juga diberikan
metilprednisolon 32 mg/hari dengan dosis 2 kali sehari dan vitamin B1, B6 dan B12 1
kali sehari. Pada pasien juga diberikan antibiotik berupa ceftriaxone intravena 1g/12 jam
dan transfusi Packed Red Cell (PRC) sebanyak 1400 ml
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. W 49 TAHUN DENGAN MASALAH MORBUS
HANSEN DI RUANG VIP RSUD KOTA BANDUNG

A. PENGKAJIAN 1. Identitas Klien


a. Nama : Tn. W
b. Umur : 49 tahun
c. Suku/ bangsa : Sunda
d. Status perkawinan : Menikah
e. Agama : Islam
f. Pendidikan : SMA
g. Alamat : Jl. Batununggal
h. Tanggal masuk rumah sakit : Selasa, 19 januari 2021
2. Identitas Penanggung Jawab

a. Nama : Ny. T
b. Alamat : Jl. Batununggal
c. Hubungan dengan klien : Istri
d. No tlpn : 082222******
3. Riwayat Kesehatan Klien a. Keluhan Utama
Keluhan muncul bercak baal berwarna putih kehitaman dan bersisik yang
menyebar pada hampir seluruh tubuh
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Tn. W, 49 tahun, berobat ke RSUD Kota Bandung dengan keluhan muncul
bercak baal berwarna putih kehitaman dan bersisik yang menyebar pada hampir
seluruh tubuh, Badan pasien terasa sangat lemas sehingga tidak mampu
melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri. Oleh karena itu keluarga pasien
membawa pasien ke Puskesmas kemudian di rujuk ke rumah sakit.

c. Riwayat Kesehatan Dahulu


Awalnya keluhan pertama kali muncul pada 2 tahun yang lalu berupa
bercak berbentuk bulat, berwarna sedikit kemerahan di wajah. Bercak yang
muncul tidak gatal, panas ataupun baal. Namun seiring dengan perjalanan
penyakit pasien merasa kedua telapak kaki mulai terasa baal, memakai sendal
sering terlepas. 1 bulan kemudian keluhan semakin bertambah parah sehingga
pasien di bawa ke RSHS dan di diagnosis kusta serta mendapatkan pengobatan
untuk penyakit kusta.
Pasien menjalani pengobatan selama 8 bulan, setelah meminum obat
tersebut pasien mengalami perbaikan, bercak pada wajah dan seluruh badan mulai
membaik tetapi baal pada kedua telapak kaki tetap ada.
Pasien mengalami putus obat selama 18 bulan dan tidak mengkonsumsi
obat apapun kemudian 4 bulan sebelum masuk rumah sakit muncul bercak baal
berwarna putih dan bersisik yang menyebar pada hampir seluruh tubuh. Pasien
merasakan baal pada kedua kaki dan tangan. muncul bercak baal berwarna putih
kehitaman dan bersisik yang menyebar pada hampir seluruh tubuh yang dirasakan
sejak 4 bulan sebelum masuk rumah sakit.
Sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien sulit makan sehingga
badan terasa lemas. Pasien mengatakan tidak ada kesulitan dalam, mengancing
baju, ke kamar mandi, makan dan lain-lain meskipun badan terasa lemah untuk
melakukan aktivitas, tetapi saat menggunakan sendal jepit sering terlepas. 4 hari
sebelum masuk RS kondisi pasien memburuk. Badan pasien terasa sangat lemas
sehingga tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri. Oleh
karena itu keluarga pasien membawa pasien ke Puskesmas kemudian di rujuk ke
rumah sakit.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Pasien tidak memiliki penyakit turunan
“Munculkan Genogram jika ada terkait penyakit keturunan”
4. Riwayat Psikososial Spiritual 1)
Data Psikologis
1) Status Emosi
Data yang harus ditambahkan kaji apakah perasaan emosi yang dirasakan klien
2) Konsep Diri
a) Gambaran Diri: tidak terkaji namun yang harus dikaji yaitu tentang
pandangan klien terhadap kondisi tubuhnya saat ini.
b) Harga Diri: tidak terkaji, namun yang harus dikaji yaitu tentang harga
dirinya terhadap kondisinya.
c) Peran diri: tidak terkaji, yang harus dikaji yaitu sebagai apa peran di
keluarganya klien tersebut.
d) Identitas diri: pasien seorang laki laki yang berusia 49 tahun
e) Ideal diri: tidak terkaji, yang harus dikaji yaitu harapan klien untuk
kedepannya.
3) Data Sosial
Kaji hubungan pasien dengan keluarga dan masyarakat sekitar
4) Data Spiritual
a) Praktik ibadah saat di rumah
Pasien rajin beribadah ketika sehat dan sering ke mesjid mengikuti
sholat berjamaan serta kegiatan rohani lainnya.
b) Praktik ibadah saat di rumah sakit kaji bagaimana cara klien melaksanakan
ibadahnya pada saat dirumah sakit
5. Riwayat ADL (Activity Daily Living)
No Kebiasaan di rumah di rumah sakit
1 Nutrisi Tidak Terkaji Tidak Terkaji
Makan
Jenis

• Frekuensi
• Porsi
• Keluhan

Minum Tidak Terkaji Tidak Terkaji


• Jenis
• Frekuensi
• Jumlah (cc)
• Keluhan

2 Eliminasi Tidak Terkaji Tidak Terkaji


BAB
• Frekuensi
• Warna
• Konsistensi
• Keluhan

BAK Tidak Terkaji Tidak Terkaji


• Frekuensi
• Warna
• Jumlah (cc)
• Keluhan
3 Istirahat dan tidur Tidak Terkaji Tidak Terkaji
• Waktu tidur o
Malam, pukul o
Siang, pukul
• Lamanya
• Keluhan
4 Kebiasaan diri Tidak Terkaji Tidak Terkaji
• Mandi
• Perawatan kuku

Perawatan gigi
Perawatan rambut
Ketergantungan
Keluhan/gangguan

6. Pemeriksaan Fisik a. Tanda-Tanda Vital (TTV)


1) TD (Tekanan Darah) : 110/80 mmHg
2) N (Nadi) : 84 x/menit
3) RR (Respiration Rate) : 22 x/menit
4) S (Suhu) : 36,7oC

b. Pemeriksaan Antropometri
1) BB (berat badan) : Tidak terkaji
2) TB (tinggi badan) : Tidak terkaji
3) BMI (Body Max Index) : Tidak terkaji
4) LLA (Lingkar : Tidak terkaji
Lengan
Atas)
c. Pengkajian Persistem
a. Sistem Pernafasan
RR 22x/menit (kaji adanya adanya cuping hidung, pengembangan dada,
mukosa hidung. Palpasi dilakukan vocal premitus getaran antara dinding
dada kanan dan kiri sama. Auskultasi suara napas pasien.)
b. Sistem Kardiovaskular
TD: 110/80 mmHg, N: 84 x/menit, konjungtiva anemis (+/+) (Kaji adanya
peningkatan JVP, suara bunyi jantung S1, S2, S3, S4, ada tidaknya
kardiomegaly pada pasien)
c. Sistem Pencernaan
Tidak terkaji (kaji adanya adapun yang perlu dikaji meliputi; ada tidaknya
penurunan nafsu makan, inspeksi abdomen, mukosa bibir, palpasi dan
palpasi abdomen pada ke empat kuadran, auskultasi suara
BU)

d. Sistem Endokrin
Data yang harus ditambahkan seperti kaji apakah klien suka berkeringat
dimalam hari atau tisak, kaji adanya pembengkakan kelejar limfe dan
tiroid, auskultasi suara bruit di leher.
e. Sistem Perkemihan
Data yag harus ditambahkan yaitu tidak ada gangguan nyeri buang air
kecil harus dikaji pakai kateter/diapers, lihat area genital dan orofisium
uretra externa, warna urin, jumlah urin, karakteristi urin, adanya nyeri
tekan, teraba distensi kandung kemih/tidak, palpasi ginjal)
f. Sistem Persarafan
1. Kesadaran dan orientasi : compos mentis
2. Nilai GCS : 15 (E4M6V5)
3. Memori : Tidak terkaji
4. Tes fungsi saraf otak
1. Nervus Olfaktori (N.I)
Fungsi: Sebagai sensorik, untuk penciuman
2. Nervus Optikus (N.II)
Fungsi: supersilia terdapat madarosis (+/+), Sklera ikterik (+/+).
3. Nervus Okulomotoris (N.III)
Fungsi: saraf motorik, untuk mengangkat kelopak mata ke atas,
kontriksi pupil, dan sebagian gerakan ekstraokuler
4. Nervus Trochlearis (N.IV)
Fungsi: Saraf motorik, gerakan mata kebawah dan kedalam
5. Nervus Trigeminus (N.V)
Fungsi: Saraf motorik, untuk gerakan mengunyah, sensai wajah, lidah
dan gigi, refleks kornea dan refleks kedip
6. Nervuus Abdusen (N.VI)
Fungsi: Saraf motorik, deviasi mata ke lateral
7. Nervus Fasialis (N.VII)
Fungsi: Saraf motorik, untuk ekspresi wajah
8. Nervus Verstibulocohlearis (N.VIII)
Fungsi: Saraf sensorik, untuk pendengaran dan keseimbangan
9. Nervus Glosofaringeus (N.IX)
Fungsi: Saraf dan motorik, untuk sensari rasa
10. Nervus Vagus (N.X)
Fungsi: Saraf sensorik dan motorik refleks muntah dan menelan
11. Nervus Asesoris (N.XI)
Fungsi: Saraf motorik, untuk menggerakan sendi bahu dan siku nyeri
12. Nervus Hipoglosus (N.XII)
Fungsi: Saraf motorik, untuk gerakan lidah
g. Sistem muskuloskeletal
Pasien merasakan baal pada kedua kaki dan tangan. didapatkan atrofi otot-
otot intrinsik pada kanan dan kiri. Pada ekstremitas inferior terdapat atrofi
pada otot-otot intrinsik disertai anestesi pada kanan dan kiri.
h. Sistem Integumen
Auricula infiltrat eritematosa (+/+). Muncul bercak baal berwarna putih
kehitaman dan bersisik yang menyebar pada hampir seluruh tubuh, pada
regio generalisata terdapat macula hingga plak hipopigmentasi
hiperpigmentasi ukuran plakat multipel difus dengan skuama, cuping
telinga kanan BTA +1, cuping telinga kiri BTA +1, lesi aktif pada jari
tangan kanan BTA +1, lesi aktif pada jari tangan kiri BTA+1, lesi aktif
pada tungkai kanan bawah BTA +1, lesi aktif pada tungkai kiri bawah
BTA +1.
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Thorax
Kesan: didapatkan normothorax, simetris, abdomen datar.

b. Pemeriksaan Laboratorium
Jenis Hasil Rujukan Interpretasi
Pemeriksaan
Hemoglobin 2,9 gr/dl 13,0 – 16,0 g/dL Rendah

Leukosit 15.500/ L 3.500 – 10.500 /uL Tinggi


Trombosit 665.000/ L 150.000-400.000 Tinggi
SGOT 50U/L 5-40/ L Tinggi
SGPT 19 U/L 7-56 / L Normal
Ureum 55 mg/dL 8-24 mg/dl Tinggi
Kreatinin 1,20 mg/dL 0,6-1,2 mg/dl Tinggi

c. Pemeriksaan Bakterioskopik
JENIS PEMERIKSAAN HASIL
pada cuping telinga kanan BTA +1
cuping telinga kiri BTA +1
lesi aktif pada jari tangan kanan BTA +1
lesi aktif pada jari tangan kiri BTA+1
lesi aktif pada tungkai kanan bawah BTA +1
lesi aktif pada tungkai kiri bawah. BTA +1

d. Program Terapi
Nama Obat Dosis dan Indikasi
Lama
pemberian

Multidrug Therapy 12-18 bulan MDT adalah kombinasi dua atau lebih obat
(MDT) tipe antilepra dimana salah satunya adalah rifampicin
multibasilar yang merupakan obat bakterisidal kuat. Obat
antilepra selain rifampicin bersifat bakteriostatik
yaitu menghambat pertumbuhan bakteri.
Pengobatan MDT tidak mengobati kecacatan yang
sudah terjadi. Pengobatan MDT bertujuan untuk
memutuskan rantai penularan, mencegah
terjadinya cacat atau mencegah kecacatan
bertambah parah, memperpendek masa
pengobatan, mencegah terjadinya resistensi
kuman serta meningkatkan keteraturan berobat.
rifamfisin 600 RIFAMTIBI 600 MG merupakan obat dengan
mg/bulan
kandungan bahan
aktif rifampicin 450 mg. Rifampicin adalah
antibiotik golongan inhibitor sintesis RNA,
sehingga akan menyebabkan penghambatan
pembentukan protein pada bakteri. Rifamtibi
mengandung rifampisin yang dapat di gunakan
untuk pengobatan tubercolosis (TB) dan juga
lepra.

klofazimin 300 untuk lepra multibasiler, Clofazimine juga


mg/bulan digunakan sebagai salah satu terapi lini kedua pada
pengobatan tuberkulosis, khususnya pada TB
MDR.

dapson 100 digunakan untuk menangani beberapa penyakit,


mg/bulan seperti kusta, dermatitis herpetiformis (infeksi
kulit yang ditandai dengan gatal-gatal pada kulit
akibat intoleransi zat gluten), dan jerawat. Selain
itu, obat ini juga diberikan kepada orang dengan
HIV/AIDS untuk mencegah dan mengatasi infeksi
pneumonia Pneumocystis jiroveci.

Selanjutnya hari 2-28 50 mg/hari digunakan untuk mengobati kusta alias lepra
obat berisi klofazimin
(Hansen’s disease). Obat ini kadang-kadang
diberikan bersamaan dengan obat lain. Ketika
mengobati luka dari kusta, obat ini dapat diberikan
dengan obat lain seperti sejenis obat kortison.
dapson 100 mg/hari. digunakan untuk menangani beberapa penyakit,
seperti kusta, dermatitis herpetiformis (infeksi
kulit yang ditandai dengan gatal-gatal pada kulit
akibat intoleransi zat gluten), dan jerawat. Selain
itu, obat ini juga diberikan kepada orang dengan
HIV/AIDS untuk mencegah dan mengatasi infeksi
pneumonia Pneumocystis jiroveci.

metilprednisolon 32 mg/hari obat yang termasuk dalam golongan


kortikosteroid, Golongan obat ini merupakan obat
dengan dosis
yang meredakan peradangan. Methylprednisolone
2 kali sehari di gunakan dalam penanganan penyakit paru
obstruksi kronik, croup, radang sendi, lupus,
psoriasis, colitis ulcerosa, lalergi, gangguan fungsi
kelenjar endokrin, gangguan lain pada kulit, mata,
paru, lambung, sistem saraf dan juga sel darah.

vitamin B1 sekali/hari vitamin yang berperan dalam penggunaan


karbohidrat menjadi sumber energi bagi tubuh.
Tiamin juga membantu menjaga fungsi saraf agar
tetap baik. digunakan untuk mengatasi kekurangan
vitamin B1 pada penderita kecanduan alkohol,
penyakit beri-beri, sindrom sindrom Wernicke-
Korsakoff, pengguna rutin obat furosemide,
penderita HIV/AIDS, gagal jantung, sirosis,
malabsorbsi, orang yang menjalani operasi
bariatrik, atau menjalani hemodialisis.
Vitamin B6 sekali/hari untuk menjaga kesehatan otak dan sistem
saraf.Vitamin B6 untuk tubuh adalah untuk bisa
membantu penyerapan Vitamin B12 yang
dilakukan oleh tubuh.

Vitamin B12 sekali/hari Untuk orang yang menderita gangguan


pencernaan, kanker, infeksi HIV, atau malnutrisi,
yang bermanfaat untuk pembentukan protein, sel
darah, dan jaringan.

ceftriaxone intravena digunakan untuk mengatasi berbagai infeksi


1g/12 jam bakteri yang terjadi pada tubuh. menghambat
pertumbuhan bakteri atau membunuh bakteri.

transfusi Packed Red sebanyak pemakaian PRC untuk pasien anemia yang tidak
disertai penurunan volume darah, misalnya pasien
Cell (PRC) 1400 ml
dengan anemia hemolitik, leukemia akut,
leukemia kronik, penyakit keganasan, talasemia,
gagal ginjal kronis.

1. Analisa Data
No Data Subjektif Etiologi Masalah

DO: Mycobacterium Gangguan


1. Pada auricula infiltrat Integritas Kulit
Leprae
eritematosa (+/+).
2. Pada pemeriksaan regio Droplet infection
generalisata terdapat macula atau kontak dg kulit
hingga plak hipopigmentasi
hiperpigmentasi ukuran plakat Masuk kedalam
multipel difus dengan skuama.
DS: pem. darah dermis &
1. Pasien mengeluh karena sel saraf Schwan
muncul bercak baal berwarna
putih kehitaman dan bersisik Sistem imun seluler
yang menyebar pada hampir meningkat
seluruh tubuh.
2. Pasien mengeluh sulit makan Makrofag aktif
sehingga badan terasa lemas
fagositosis

pembentukan sel
epitel dan tuberkel

Morbus Hansen
(Kusta)

Multi baseler (MB)

Gangguan saraf tepi

Penurunan Kelenjar
minyak & aliran
darah

Kulit kering, bersisik

penurunan fungsi
barier kulit

Gangguan
Integritas Kulit
DO: M. Leprae Intoleransi
1. pemeriksaan ekstremitas atas Penularan (droplet Aktivitas

didapatkan atrofi otot infection atau


intrinsik pada kanan dan kiri. kontak dengan kulit
2. Pada ekstremitas inferior
terdapat atrofi pada otot-otot Masuk dalam

intrinsik disertai anestesi pembuluh darah

pada kanan dan kiri.


Sistem imun seluler
3. Terdapat pembesaran pada
nervus auricularis magnus
Makrofag akif
kanan dan kiri yang disertai
dengan nyeri tekan
sitokin dan
4. pembesaran nervus peroneus
GF (Growht Factor)
communis kanan dan kiri
yang disertai dengan nyeri
merusak saraf
tekan.
5. Sistem integument pada regio
generalisata terdapat macula fibrous
hingga plak
hipopigmentasihiperpigment penebalan saraf tepi
(sensorik, motorik
asi ukuran plakat multipel
dan otonom)
difus dengan skuama
6. lesi aktif pada jari tangan
kanan BTA +1 terjadi luka pada

7. lesi aktif pada jari tangan kiri tangan/kaki,

BTA+1
selanjutnya akan
8. lesi aktif pada tungkai kanan
mati rasa
bawah BTA +1

lemah/lumpuh otot
9. lesi aktif pada tungkai kiri kaki atau tangan
bawah BTA +1.
Intoleransi
DS : Aktifitas

1. Badan pasien terasa sangat


lemas sehingga tidak mampu
melakukan aktivitas sehari-
hari secara mandiri
2. pasien merasa kedua telapak
kaki mulai terasa baal,
memakai sendal sering
terlepas

DO: Morbus Hansen Ketidakpatuhan


1. Muncul bercak berwarna Pengobatan
(Kusta)
putih dan bersisik
yang menyebar pada
bercak berbentuk
hampir seluruh tubuh.
bulat, berwarna
sedikit kemerahan di
DS:
wajah
1. Pasien mengalami putus obat
selama 18 bulan dan tidak
mengkonsumsi obat apapun mengkonsumsi obat
kemudian 4 bulan sebelum masuk kusta (Rifampisin,
rumah sakit muncul bercak baal klofazimin, dapson)
berwarna putih dan bersisik yang
menyebar pada hampir seluruh Keluhan berkurang
tubuh. Pasien merasakan baal pada dan tidak
kedua kaki dan tangan. melanjutkan
pengobatan selama
18 bulan

4 bulan SMRS
merasa baal dan
bercak berwarna
putih dan bersisik
kembali muncul

Ketidakpatuhan
pengobatan

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN BERDASARKAN PRIORITAS


1. Gangguan Integritas kulit b.d penyakit kusta
2. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan fisik
3. Ketidakpatuhan b.d menghentikan pengobatan.
3. Rencana Tindakan Keperawatan
Nama Pasien : Tn.W Ruangan : VIP
No. Medrek : 1234567 Diagnosa Medis: Morbus Hansen
No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
Keperawatan
1 Gg. Integritas kulit b.d Setelah dilakukan tindakan Perawatan Integritas Kulit Observasi
Penyakit kusta 3x24 jam mulai tercapai Observasi:
1. Pengkajian yang tepat terhadap luka
ditandai adanya proses penyembuham luka: 1. Identifikasi penyebab gangguan
akan membantu menentukkan tindakan
bercak kemerahan 1. Bercak kemerahan integritas kulit (mis. Perubahan
selanjutnya.
dan kulit bersisik. berkurang sirkulasi, perubahan status nutrisi,
2. Berkurangnya kulit penurunan kelembaban, suhu Terapeutik:
lingkungan ekstrem, penurunan 1. Mencegah terjadinya decubitus.
yang bersisik
mobilitas. 2. Untuk mengangkat kotoran,
3. Adanya jaringan kemudian menjaga kelembaban
granulasi. menggunAkan balutan kassa lembab
Terapeutik: dengan kompres
1. Ubah posisi tiap 2 jam sekali
2. Melakukan perawatan luka
dengan kompres Magnesium sulfat, gliserin
magnesium sulfat, gliserin ethacridine dan aquades.
ethacridine dan 3. Untuk menghindari terjadinya
aquades resiko infeksi pada luka pasien
(msga)
3. Pertahankan teknik steril saat
melakukan perawatan luka Edukasi:
1. Penyembuhan luka secara normal
memerlukan nutrisi yang tepat,
Edukasi: karena proses fisiologi penyembuhan
1. Anjurkan meningkatkan luka bergantung pada tersedianya
protein, vitamin (terutama vitamin A
asupan nutrisi dengan
dan C) dan mineral. Kolagen adalah
mengkonsumsi diet tinggi protein yang terbentuk dari asam
amino yang diperoleh fibroblas dari
protein dan vitamin A dan
protein yang dimakan. Vitamin C
C dibutuhkan untuk mensintesis
kolagen. Mengkonsumsi
2. Edukasi kepada keluarga
2. Supaya keluarga pasein mengetahui
pasien mengenai cara perawatan luka
perawatan luka dengan
kompres dengan
magnesium sulfat, gliserin,
ethacridine, dan aquades
(msga)
Kolaborasi: makanan tinggi protein sangat
1. Pemberian vitamin B1 dan b12 dianjurkan dalam penyembuhan luka
karena akan mempercepat proses
pertumbuhan jaringan.

Kolaborasi:
1.Berfungsi untuk pembentukan jaringan
baru dan granula
2. Intoleransi Setelah dilakukan tindakan Manajemen Energi Observasi:
aktivitas b. d 3x24 jam Observasi: 1. Untuk mengetahui apa saja gangguan
kelemahan fisik Intoleransi aktivitas pasien 1. Identifikasi gangguan tubuh yang dapan mempengaruhi tubuh
dapat teratasi, dengan fungsi yang mengakibatkan pasien sehingga mengakibatkan
kriteria hasil: kelelahan kelelahan
1. Klien dapat melakukan 2. Monitor kelelahan fisik dan 2. Agar tubuh tubuh tidak terlalu banyak
aktivitasnya emosional melakukan aktivitas
2. Pola tidur pasien 3. Monitor pola dan jam 3. Untuk membatu pola tidur yang teratur
teratasi dengan baik tidur agar tubuh menjadi lebih sehat
4. Monitor lokasi dan 4. Untuk mengetahui lokasi mana saja
3. Telapak kaki tidak baal ketidak nyamanan selama yang membuat pasien ridak nyaman
4. Ekstremitas bisa melakukan aktivitas dalam melakukan aktivitas
berfungsi seperti
semestinya Traupetik:
Traupetik:
1. Sediakan lingkungan yang
1. Agar pasien dapat beristirahat dengan
nyaman dan rendah stimulus
cukup dan dapat mengatur
(cahaya, suara, kunjungan)
emosionalnya
2. Lakukan latihan rentang gerak
2. Untuk membantu agar ekstremitas
pasif atau aktif
tidak mengalami kelumpuhan
3. Berikan aktivitas distraksi yang
permanen
menenangkan
3. Untuk membantu agar pasien lebih
4. Fasilitasi duduk disisi tempat
tenang dalam mengatur keseimbangan
tidur, jika tidak dapat
tubuhnya
berpindah atau berjalan
4. Agar fungsi tubuh tidak terganggu
Edukasi: Edukasi:
1. Anjurkan tirah baring 1. Agar pasien tidak terlalu kelelahan
2. Anjurkan melakukan dalam beraktivitas
aktifitas secara bertahap 2. Agar pasien tidak terlalu kelelahan
3. Ajarkan strategi koping untuk dalam beraktivitas
mengurangi kelelahan 3. Agar pasien mengetahui strategi
koping apa saja untuk mengurangi
Kolaborasi: kelelahannya

1. Kolaborasikan dengan
ahli gizi Kolaborasi:
2. Kolaborasikan dengan dokter 1. Adar gizi pasien terpenuhi sehingga
dengan pemberian vitamin B1 dapat membentuk energi untuk pasien
2. Vitamin yang berperan dalam
penggunaan karbohidrat menjadi
sumber energi bagi tubuh. Tiamin juga
membantu menjaga fungsi saraf agar
tetap baik.
3. Ketidakpatuhan Setelah dilakukan tindakan Dukungan Kepatuhan Program Observasi:
b.d Menghentikan Pengobatan 1. Untuk mengetahui seberapa patuh
3x24 jam defisit nutrisi
Observasi:
pengobatan pasien dapat teratasi, pasien dalam menjalani pengobatannya
1. Identifikasi kepatuhan
dengan kriteria hasil: Trapeutik:
menjalani program
1. Pasien patuh dalam 1. Agar pasien dapat mengiingat dalam
pengabatan
pengobatanya program pengobatannya
2. Pasien mendapatkan 2. Agar keluaga pasien juga terlibat dalam
Terapeutik:
support system dari membantu kesembuhan pasien
1. Buat komitmen menjalani
keluarga dalam 3. Untuk dapat dilaporkan hasil
program pengobatan dengan
pengobatannya perkembangan dalam pengobatan
pasien
3. Pasien mengetahui pasien
jadwal pengobatan 2. Buat jadwal pendampingan
4. Agar hal-hal yang menghambat
apa saja yang harus keluarga untuk bergantian
dilakukan program pengobatan pasien dapat
menemani pasien selama
diatasi
menjalani program pengobatan,
5. Agar keluarga ikut serta dalam
jika perlu
kesembuhan pasien
3. Dokurnentasikan aktivitas
selama menjalani proses
pengobatan
4. Diskusikan hal-hal yang dapat Edukasi:
mendukung atau menghambat 1. Agar pasien tahu program apa saja
berjalannya program yang harus dijalani
pengobatan 2. Agar pasien mengetahui dampak apa
5. Libatkan keluarga untuk saja jika tidak melakukan program
mendukung program pengobatan yang benar
pengobatan yang dijalani 3. Agar keluarga dapat terlibat dalam
pengobatan pasien
4. Agar tahu program apa saja yang harus
Edukasi:
1. Informasikan program
pengobatan yang harus
dljalani
2. Informasikan manfaat yang
akan diperoleh jika teratur
menjalani program
pengobatan
3. Anjurkan keluarga
untuk mendampingi dan dilakukan dalam pengobatannya
merawat pasien selama
menjalani program pengobatan
4. Anjurkan pasien dan keluarga
melakukan konsultasi ke
pelayanan kesehatan terdekat,
jika perlu
4. Implementasi dan Evaluasi
Nama Pasien: Tn. W Ruangan : VIP
No. Medrek : 1234567 Diagnosa Medis: Morbus Hansen

Hari/ DX Waktu Implementasi dan Catatan Perkembangan Evaluasi Paraf


Tanggal
Senin, I 08.00 1. Melakukan Observasi TTV, Diagnose 1
18-01- pemeriksaan fisik. Di dapatkan hasil S: klien mengeluh gatal dan terdapat
21 tekanan darah 120/80 mmHg, nadi bercak kemerahan pada seluruh tubuh
90x/menit, respirasi 24 x/menit, dan dan kulit bersisik.
suhu badan 36,7°C. pada regio O: observasi TTV TD : 120/80 mmHg,
N : 90x/mnit, R: 24x/mnit, S: 36,7C,
generalisata terdapat macula hingga pada regio generalisata terdapat macula
plak hipopigmentasi hiperpigmentasi hingga plak
hipopigmentasihiperpigmentasi ukuran
ukuran plakat multipel difus dengan
plakat multipel difus dengan skuama.
skuama A: Gangguan Integritas Kulit belum
08.30
2. Mengatur posisi pasien : supaya tidak
terjadi decubitus
3. Melakukan perawatan luka dengan teratasi dilihat dari adanya macula
kompres magnesium sulfat, gliserin hingga plak hipopigmentasi
II 09.00 ethacridine dan aquades (msga) hiperpigmentasi ukuran plakat multipel
10.30 4. Melakukan tirah baring difus dengan skuama
5. Lakukan latihan rentang gerak pasif P: lanjutkan Intervensi:
I 12.00 atau aktif 1. Perawatan luka dengan kompres
6. Mengobservasi TTV DO: 130/90 magnesium sulfat, gliserin
mmHg, nadi 85x/menit, respirasi 23 ethacridine dan aquades (msga)
12.30 x/menit, dan suhu badan 36,5°C 2. Asupan nutrisi adekuat
7. Mengkaji pola nutrisi dan menjelaskan 3. Melakukan tirah baring
pentingnya nutrisi adekuat untuk
14.30
mempercepat proses penyembuhan Diagnose 2
luka DO: klien tampak lemah, hb 10,3 S: Klien mengeluh lemas, kaki baal
g/dl, DS: keluarga pasien mengatakan O: -
makanan dari rumah sakit hanya habis A: Intoleransi aktifitas
17.00
½ porsi P: Lanjutkan Intervensi:
8. Melakukan perawatan luka dengan 1. Melakukan tirah baring.
mengoleskan krim dan minyak jaitun 2. Latihan rentang gerak
pada kulit yg bersisik. DO: bercak
kemerahan, kulit bersisik sedikit
17.30 berkurang.
9. Melakukan tirah baring
18.00 10. Pemberian natrium fusidat krim
mengoleskan pada luka
11. Observasi TTV, DO: 130/90 mmHg,
19.30 nadi 82x/menit, respirasi 23 x/menit,
23.00 dan suhu badan 36,5°C
12. Melakukan tirah baring
13. Pemberian natrium fusidat krim
mengoleskan pada luka dan minyak
jaitun pada kulit yg bersisik.
Selasa , I 08.00 1. Melakukan Observasi TTV, Diagnose 1
19-01- pemeriksaan fisik. Di dapatkan hasil S: Klien mengeluh masih gatal dan
21 tekanan darah 120/80 mmHg, nadi terdapat bercak kemerahan pada
90x/menit, respirasi 24 x/menit, dan seluruh tubuh dan kulit bersisik.
suhu badan 36,7°C. O: -
08.30 2. Pada regio generalisata terdapat macula A: Gangguan Integritas Kulit P:
hingga plak Lanjutkan Intervensi:
hipopigmentasihiperpigmentasi ukuran 1. Perawatan luka
plakat multipel difus dengan skuama 2. Pemberian minyak jaitun
09.00
3. Melakukan perawatan luka dengan mengoleskan pada luka

mengoleskan miyak jaitun pada kulit yg 3. Asupan nutrisi adekuat


bersisik.
II 10.30
4. Mengatur posisi pasien : supaya tidak . Diagnose 2
S: Klien mengeluh lemas, kaki baal
11.00 terjadi decubitus
O: -
11.30 5. Melakukan tirah baring
A: Intoleransi aktifitas
6. Lakukan latihan rentang gerak pasif
P: Lanjutkan Intervensi:
I 12.30 atau aktif
1. Melakukan tirah baring.
7. Mengobservasi TTV, DO: 130/90
mmHg, nadi 85x/menit, respirasi 23 2. Latihan rentang gerak
x/menit, dan suhu badan 36,5°C
13.00 8. Mengkaji pola nutrisi dan menjelaskan
pentingnya nutrisi adekuat untuk
mempercepat proses penyembuhan
luka DO: klien tampak lemah, hb 10,3
g/dl , DS: keluarga pasien mengatakan
makanan dari rumah sakit hanya habis
½ porsi
14.30
9. Melakukan perawatan kulit dengan
mengoleskan krim dan minyak jaitun
pada kulit yg bersisik. DO: bercak
kemerahan, kulit bersisik sedikit
berkurang.
17.00
10. Pemberian natrium fusidat krim

18.00 mengoleskan pada luka


11. Observasi TTV, DO: 130/90 mmHg,
nadi 82x/menit, respirasi 23 x/menit,
19.00 dan suhu badan 36,5°C
12. Pemberian natrium fusidat krim
mengoleskan pada luka dan minyak
jaitun pada kulit yg bersisik.
Rabu, I 08.00 1. Melakukan Observasi TTV, Diagnose 1
20-01- pemeriksaan fisik. Di dapatkan hasil S: Klien mengatakan sudah tidak gatal
21 tekanan darah 120/80 mmHg, nadi dan bercak kemerahan memudar pada
90x/menit, respirasi 24 x/menit, dan seluruh tubuh tetapi kulit masih
suhu badan 36,7°C. bersisik.
09.00 2. Melakukan Pemberian obat : Vitamin O: -
B1, Vitamin B6 dan Vitamin B12 1 A: Gangguan Integritas Kulit P:
kali sehari Lanjutkan Intervensi:
II 10.00
3. Mengatur posisi pasien : supaya tidak 1. Perawatan luka
terjadi decubitus 2. Pemberian minyak jaitun
10.30
4. Melakukan tirah baring mengoleskan pada luka
11.00
5. Lakukan latihan rentang gerak pasif 3. Asupan nutrisi adekuat
atau aktif
13.00
I 6. Mengobservasi TTV dan asupan . Diagnose 2
nutrisi, DO: 130/90 mmHg, nadi S: Klien mengatakan tidak merasa
85x/menit, respirasi 23 x/menit, dan
suhu badan 36,5°C. DS: pasien lemas, kaki masih baal
mengatkan masih mengeluh lemas O: -
namun rasa sedikit berkurang setelah
A: Intoleransi aktifitas
pemberian vitamin.
P: Lanjutkan Intervensi:
3. Melakukan tirah baring.
14.00 7. Mengkaji statusnutrisi, menganjurkan Latihan rentang gerak
sering makan dengan porsi sedikit tapi
sering. DS: pasien merasakan lemasnya
berkurang.
16.00 8. Menganjurkan pada keluarga pasien
untuk memberi makan tinggi protein
dan makan buah-buahan.
17.00
9. Observasi TTV dan tingkat nyeri, DO:
130/90 mmHg, nadi 82x/menit,
respirasi 23 x/menit, dan suhu badan
36,5°C. DS: pasien mengatakan masih
mengeluh lemas namun rasa sedikit
berkurang setelah pemberian vitamin
17.30
18.00 10. Menganjurkan sering minum
11. Pemberian obat: rifamfisin 600
mg/bulan, klofazimin 300 mg/bulan,
metilprednisolon 32 mg/hari.
Kamis, I 08.00 1. Melakukan Observasi TTV, pemeriksaan Diagnose 1
21-01- fisik. Di dapatkan hasil tekanan darah S: Klien mengatakan kulit masih
21 120/80 mmHg, nadi 90x/menit, respirasi 24 bersisik.
x/menit, dan suhu badan 36,7°C. O: -
08.30 2. Pada regio generalisata terdapat macula A: Gangguan Integritas Kulit
hingga plak hipopigmentasihiperpigmentasi P: Lanjutkan Intervensi:
ukuran plakat multipel difus dengan 1. Perawatan luka
skuama 2. Pemberian minyak jaitun
09.00 mengoleskan pada luka
3. Mengatur posisi pasien: supaya tidak terjadi
decubitus
09.30
4. Melakukan perawatan luka dengan Diagnose 2

mengoleskan miyak jaitun pada kulit yg S: Klien mengatakan kaki sudah tidak

bersisik. baal lagi


II 12.00
5. Melakukan tirah baring O:
12.30
6. Lakukan gerak rentang aktif atau pasif A: Intoleransi aktifitas
I 13.00
7. Mengobservasi TTV, DO: 130/90 mmHg, P: Hentikan Intervensi

nadi 85x/menit, respirasi 23 x/menit, dan


13.30 suhu badan 36,5°C
8. Mengkaji pola nutrisi dan menjelaskan
pentingnya nutrisi adekuat untuk
mempercepat proses penyembuhan luka.
DO: klien tampak lemah, hb 10,3 g/dl , DS:
keluarga pasien mengatakan makanan dari
rumah sakit hanya habis ½ porsi
16.30 9. Melakukan perawatan kulit dengan
mengoleskan krim dan minyak jaitun pada
kulit yg bersisik. DO: bercak kemerahan,
kulit bersisik sedikit berkurang.
17.00
10. Pemberian natrium fusidat krim
mengoleskan pada luka
17.30
11. Observasi TTV. DO: 130/90 mmHg, nadi
82x/menit, respirasi 23 x/menit, dan suhu
badan 36,5°C
17.30
12. Pemberian natrium fusidat krim
mengoleskan pada luka dan minyak jaitun
18.00 pada kulit yg bersisik.
RESUME ANALISIS TINDAKAN KEPERAWATAN

Nama Prosedur : Perawatan Luka

Tujuan Tindakan : Untuk merawat luka ulkus plantar komplikata untuk


meminimalkan terjadinya komplikasi

Indikasi Pasien yang membutuhkan tindakan : Pasien Dengan Luka Ulkus

Kegiatan Rasional Waktu Pemberian

Perawatan luka pada kusta Perawatanya dengan Untuk mengganti balutan


kronik atau komplikasi membersihkan, membuang
perawatan luka pada kusta
jaringan mati, menipiskan
penebalan kulit, dan itu diganti sesering
memberikan kompres.
mungkin atau bisa 1 hari
Tepi ulkus yang menjorok
dan kallus yang keras sekali karena untuk
dipotong untuk membantu
meminimalisir jangan
proses epitelisai dan
mengurangi tekanan sampai pembalut menjadi
didaerah luka. Jaringan
basah oleh transudat.
nekrotik diangkat,
dibersihkan dengan larutan Karena apabila balutannya
salin atau hydrogen
tidak sering diganti maka
peroksida, dan ditutup
dengan balut steril sebelum akan menimbulkan luka
penggunaan alat ortotik.
lagi yang terbentuk akibat
Rumah Sakit Kusta (RSK)
Sitanala menggunakan adanya tekanan
cairan MSG untuk kompres
berkepanjangan pada kulit
yang terdiri dari 1/3 bagian
magnesium sulfat dan 2/3 atau tonjolan tulang. /
bagian gliserin.
penimbunan cairan dalam
rongga serosa. Tekanan ini
Berikan antibiotik, menyebabkan gangguan
Antibiotik sistemik aliran darah, sehingga
diberikan secepatnya.
memberikan antibiotik pasokan oksigen dan
metronidazole oral 3 x 400 nutrisi ke kulit menjadi
mg selama satu minggu,
dan gel metronidazole 1% terganggu sehingga untuk
2 x sehari untuk penyembuhan lukanya
mengeliminasi bakteri
anaerob setelah akan lebih lama, yang
debridement luka pada nantinya akan
pasien lepra yang
mengalami ulkus berbau menimbulkan resiko
busuk yang tidak resfonsif
infeksi pada pasien. oleh
dengan berbagaib
antibiotik sistemik maupun karena itu harus mengganti
topikal setelah tiga minggu
balutan seseting mungkin
didapatkan hasil yang
memuaskan, yaitu bau atau minumal 1 hari sekali.
busuk menghilang dan
ulkus cepat menyembuh.
Evaluasi lainnya
berdasarkan penampilan
ulkus dan bau yang timbul.

Persiapan:

a. Alat
1. Sarung tangan
bersih 1 pasang
2. Kasa lembab
secukupnya
3. salin atau hydrogen
peroksida,
4. magnesium sulfat
5. gliserin
6. Kassa kering
7. Bengkok
8. Tempat sampah
(kantonh kresek
bersih)
9. Barrac scort dan
masker
10. Perlak kecil beralas
Langkah kerja:

Pra Interaksi:

1. Mengecek
dokumentasi/ data
klien, keadaan
umum
1. umum
2. Melakukan cuci
tangan 6 langkah
3. Mempersiapkan
alat perawatan luka
4. Pastikan tindakan
yang diberikan
sesuai indikasi
Tahap Orientasi:

1. Memberikan salam
kepada pasien
2. Identifikasi
kembali nama
pasien untuk
memastikan
tindakan dilakukan
pada orang yang
tepat
3. Memperkenalkan
diri
4. Jelaskan prosedur
dan tujuan
5. Menanyakan
persetujuan dan
kesiapan klien
dilakukan
perawatan luka
kusta
6. Berikan privasi
pasien dengan
menutup tirai
Tahap Kerja:

1. Cuci tangan 6
langkah
2. Lafazkan
basmallah
3. Pakai barrac scort
dan masker
4. Gunakan sarung
tangan
5. Atur posisi pasien
dengan aman dan
nyaman
6. Pasang perlak kecil
dan alas
7. Simpan kantonf
kresek dibawah
8. Dekatkan bengkok
ke dekat pasien,
9. membersihkan,
membuang
jaringan mati,
10. menipiskan
penebalan kulit,
11. setelah itu
memberikan
kompres.
12. Tepi ulkus yang
menjorok dan
kallus yang keras
dipotong untuk
membantu proses
epitelisai dan
mengurangi
tekanan
DAFTAR PUSTAKA

Hadi, Irfan. Kumalasari, Meilina. 2017. Kusta stadium subklinis faktor resiko
dan permasalahannya. Surabaya.
Mulyadi, Dkk. 2017. Upaya penderita kusta dalam mencegah peningkatan
derajat kecacatan. Vol.4. No.3. Malang: Jurnal Ners dan Kebidanan.
Kemenkes RI. 2015. Kusta. Jakarta.
Dermaputra, Gusti. Ganeswari, Putu. 2018. Peran sitokin dalam kerusakan saraf
pada penyakit kusta: Tinjauan Pustaka. Vol.9. No.3. Bali: Intisari Sains
Medis.
Gunawan, Hendra. Achdiat, Pati. 2018. Tingkat pengetahuan penyakit kusta dan
komplikasinya. Vol.7. No.2. Bandung: Jurnal Aplikasi Ipteks untuk
masyarakat.
Devita, Arleen. 2018. Peran pemeriksaan Laboratorium dalam penegakan
diagnosis penyakit kusta. Jakarta.
Sjamsoe, D. Emmi, S. 2015. Kusta, Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Andriany, Alia. Marlina. 2016. Pemberian formulasi magnesium sulfat,
gliserin
ethacridine dan aquades (MSGA) terhadap penyembuhan karakteristik
luka ulkus plantar komplikata pada penderita kusta di Unit Luka RS
dr.Tadjuddin Chalid. Vol.01. No.01. Makassar: JIKKHC.

Anda mungkin juga menyukai