TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kusta
leprae (M. leprae) yang bersifat tahan asam dan gram positif. M. leprae merupakan
parasit obligat intrasellular dan terutama berada pada makrofag (Remme, et al, 2006).
Penyakit kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebabnya adalah M.
leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu
kulit dan ukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain
2.1.2. Etiologi
Rees (1994) dalam Djuanda, dkk (1997), Mycobacterium leprae atau basil
Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana dari
Norwegia GH Armauer Hansen pada tahun 1873. Basil ini bersifat tahan asam,
berbentuk batang, dengan ukuran 1-8 mikron (µ), biasanya berkelompok dan ada
yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan
tidak dapat dikultur dalam media buatan. Basil ini juga dapat menyebabkan infeksi
xvi
Susanto, dkk (2013), M. Leprae mempunyai ukuran panjang 2-7 mikrometer
dan lebar 0,3-0,4 mikrometer. M. Leprae mempunyai dinding sel yang banyak
mengandung lemak dan lapisan lilin, sehingga mengakibatkan bakteri ini tahan asam.
12
Penentuan M. Leprae tahan asam atau tidak, dengan cara pewarnaan teknik iehl-
Neelsen dengan menggunakan larotan Karbol Fuhsi, asam alkohol, dan Metilen Blue.
2.1.3. Patogenesis
penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet
pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan pada mukosa nasal. Pengaruh M. Leprae
hidup M. Leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, sifat
Sampai saat ini hanya manusia satu-satunya yang dianggap sebagai sumber
penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse dan pada
telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar tymus (Athymic nude mouse).
Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga
bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. Leprae yang utuh (hidup) keluar dari
tubuh penderita dan masuk kedalam tubuh orang lain. Belum diketahui secara pasti
bagaimana cara penularan penyakit kusta. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi
dengan cara kontak yang lama dengan penderita. Penderita yang sudah minum obat
sesuai regimen WHO tidak menjadi sumber penularan kepada orang lain (Depkes RI,
2007).
xvi
M. Leprae sebenarnya mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah,
sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan
gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat
infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang
yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat
disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat
dikemukakan oleh Sehgal (2006) diantaranya adalah melalui kontak langsung dengan
penderita kusta, sekret pernapasan yang terinfeksi, melalui bersin, dan juga dapat
pada tubuh seseorang sangat bergantung pada tinggi rendahnya sistem imun seluler
(cellular mediated immune) seseorang. Penyakit kusta akan menjadi tuberkolid ketika
1. Diagnosa
Penyakit kusta adalah penyakit menular, menahun dan disebebkan oleh kuman
kusta (mycobacterium leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh
lainnya kecuali susunan saraf pusat. Atas dasar definisi tersebut maka untuk
saraf tepi dan kelainan – kelainan yang tampak pada kulit (Depkes RI, 2007).
xvi
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang memerlukan waktu cukup lama
untuk menularkannya kepada orang lain. Jadi, penyakit kusta atau penderita kusta
tidak perlu ditakuti, diasingkan, atau dikucilkan. Penyakit menyerang kulit dan saraf,
tetapi bisa timbul di seluruh badan, lengan, paha, kaki, dan lain-lain. Bila penderita
kusta ditemukan tanda-tandanya sedini mungkin, segera obati dengan teratur agar
dapat sembuh dengan baik dan tidak timbul cacat. Penyebab kusta adalah kuman
kusta. Kuman kusta tidak dapat dilihat dengan mata biasa, tetapi harus menggunakan
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi
1. Adanya bakteri tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (BTA positif).
tanda-tanda utama di atas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat di diagnosis
xvi
dengan pemeriksaan klinis. Namun demikian pada penderita yang meragukan dapat
dilakukan pemeriksaan kerokan kulit. Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua
perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap
2. Kulit mengkilap
1. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka
diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopis
memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan histopatologik 10-14 hari.
xvi
Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (mitsuda) untuk mementukan
penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu. Tujuan
tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai kerentanan orang tersebut. Bentuk
tipe klinis bergantung pada sistem imunitas selular (SIS) penderita. Bila SIS baik
akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan
gambaran lepromatosa.
Menurut Agusni & Menaldi (2003), klasifikasi penyakit kusta terdiri dari
internasional) tahun 1953 dan klasifikasi WHO pada tahun 1981. Ridley dan Jopling
memperkenalkan istilah spektrum pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe
a. Indeterminate (I)
b. Tuberkuloid (T)
c. Borderline (B)
xvi
d. Lepramatosa (L)
WHO pada tahun 1982, kusta dibagi menjadi multibasiler (MB) dan
pausibasilar (PB). Yang termasuk dalam tipe multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB
pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan
pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+. Untuk kepentingan
pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang dimaksud dengan kusta
PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu
tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan kedalam kusta MB. Sedangkan
kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau adapun klasifikasi
Menurut Depkes RI (2012) pada tahun 1982 jenis klasifikasi World Health
Organization (WHO) yang dipakai oleh petugas kesehatan diseluruh Indonesia untuk
menentukan tipe penderita kusta yaitu tipe paucibacilar dan multibacilar. Pedoman
Tanda Utama PB MB
Bercak kusta Jumlah 1 s/d 5 Jumlah > 5
Penebalan saraf tepi yang disertai Hanya satu saraf Lebih dari satu saraf
dengan gangguan fungsi (gangguan
fungsi bisa berupa kurang/mati rasa
atau kelemahan otot yang dipersarafi
oleh saraf yang bersangkutan).
xvi
Sediaan apusan BTA negatif BTA positif
Sumber : Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta (Depkes RI, 2012)
Tabel 2.2. Tanda Lain yang Dapat Dipertimbangkan dalam Penentuan
Klasifikasi Penyakit Kusta
xvi
2.1.6. Epidemiologi Kusta
kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan
dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama,
kejadian kusta lepromatosa lebih banyak pada etnik China dibandingkan etnik
Melayu atau India (Depkes RI, 2012). Pada ras kulit hitam insidens bentuk
tuberkuloid lebih tinggi. Pada kulit putih lebih cenderung tipe lepromatosa (Siregar,
2005).
Faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta, hal ini terbukti
kejadian kusta sangat cepat menurun bahkan hilang. Kasus kusta yang masuk dari
negara lain ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial ekonominya tinggi
berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden karena pada saat
timbulnya penyakit sangat sulit diketahui. Dengan kata lain kejadian penyakit sering
xvi
terkait pada umur saat ditemukan daripada saat timbulnya penyakit. Pada penyakit
kronik seperti kusta, angka prevalensi penyakit berdasarkan kelompok umur tidak
diketahui terjadi pada semua usia berkisar antara bayi sampai usia lanjut (3 minggu
sampai lebih dari 70 tahun). Namun yang terbanyak adalah pada usia muda dan
produktif (Depkes RI, 2012). Kelompok umur terbanyak adalah 25-35 tahun,
kusta pada perempuan kemungkinan karena faktor lingkungan dan sosial budaya.
kusta yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 33 orang (66,0%) dan yang berjenis
Jumlah kasus baru kusta di dunia pada tahun 2011 adalah sekitar 219.075
penderita. Dari jumlah tersebut paling banyak terdapat di regional asia tenggara
xvi
(160.132) diikuti regional Amerika (36.832), regional Afrika (12.673), dan sisanya
Tabel 2.3. Situasi Kusta Menurut Regional WHO pada Awal Tahun 2012
(di Luar Regional Eropa)
berdasarkan penemuan kasus baru dan prevalensi seperti terlihat dalam tabel di
bawah ini.
Tabel 2.4. Situasi Kusta Menurut Regional Asia Tenggara pada Awal
Tahun 2012
xvi
Sumber : Depkes RI (2012)
kasus baru penyakit kusta tahun 2011 adalah 20,023 (rate: 8,3/100.000). Provinsi
Aceh menempati urutan ke sebelas dari 22 provinsi dengan CDR > 10/100.000 atau
kasus baru > 1000, jumlah penderita baru 592 (13,0%) (Depkes RI, 2012).
Penemuan kasus baru pada 17 negara yang melaporkan 1000 atau lebih kasus
baru selama tahun 2011. Tujuh belas negara ini mempunyai kontribusi 94% dari
seluruh kasus baru di dunia. Secara global terjadi penurunan penemuan kasus baru,
Tabel 2.5. Penemuan Kasus Baru pada 17 Negara yang Melaporkan > 1000
Kasus Selama Tahun 2011 Dibandingkan dengan Tahun 2004
sampai dengan 2011
xvi
Sumber : Depkes RI (2012)
Dalam dua belas tahun terakhir (2000-2011), situasi penyakit kusta di
Indonesia tidak mengalami perubahan. hal ini ditunjukkan dari data pada tabel berikut
Penyebab penyakit kusta M. Leprae untuk pertama kali ditemukan oleh G.H.
Armauer Hansen pada tahun 1873. M. Leprae hidup intaseluler dan mempunyai
afinitas yang besar pada sel saraf (schwan cell) dan sel dari sistem Retikula
Endotelial. Waktu pembelahannya sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh
manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dari sekret nasal dapat bertahan sampai 9
hari. Pertumbuhan optimal in vivo kuman kusta pada tikus pada suhu 27°-30° C
xvi
B. Faktor Host
Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan
penderita, hal ini disebabkan karena adanya imunitas. M. Leprae termasuk kuman
obligat intraseluler dan sistem kekebelan yang efektif adalah sistem kekebalan
seluler. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan serta faktor infeksi
dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta. Dari studi
berkembang setelah infeksi. Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta,
hanya sebagian kecil yang dapat ditulari (5%). Dari 5% yang tertular tersebut, sekitar
70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang menjadi sakit (Depkes RI, 2007).
sebagian besar penderita kusta berasal dari golongan ekonomi lemah. Penyakit kusta
apabila tidak ditangani dengan cermat dapat menyebabkan cacat, dan keadaan ini
beresiko terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang
buruk seperti lingkungan tempat tinggal yang tidak memadai, air yang tidak bersih,
asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat
xvi
2.1.8. Pencegahan Penyakit Kusta
a. Penyuluhan kesehatan
Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena
penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena berada disekitar atau dekat
dengan penderita seperti keluarga penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan
b. Pemberian imunisasi
Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta
perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian dua kali dapat
xvi
(Depkes RI, 2006).
bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian MDT pada
penderita kusta terutama pada tipe MB karena tipe tersebut merupakan sumber
mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah mengalami
b. Rehabilitasi kusta
diri secara maksimal atas usaha untuk mempersiapkan penderita cacat secara
xvi
fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai
kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006). Rehabilitasi terhadap penderita
kusta meliputi :
terjadinya kontraktur.
Kemoterapi kusta dimulai tahun 1949 dengan dapson (DDS) sebagai obat
tunggal (monoterapi DDS). DDS harus diminum selama 3-5 tahun untuk PB,
DDS adalah terjadinya resistensi, timbulnya kuman persisters serta terjadinya pasien
defaulter. Pada tahun 1964 ditemukan resistensi terhadap dds. Oleh sebab itu pada
tahun 1982 WHO merekomendasikan pengobatan kusta dengan MDT untuk tipe PB
xvi
Depkes RI (2007), MDT dua atau lebih obat anti kusta, yang salah satunya
harus terdiri dari atas rifampisin sebagai anti kusta yang sifatnya bakterisid kuat
dengan obat anti kusta lain yang bisa bersifat bakteriostatik. Berikut ini merupakan
1. Penderita baru yaitu mereka dengan tanda kusta yang belum pernah mendapat
pengobatan MDT.
b. Masuk kembali setelah default adalah penderita yang datang kembali setelah
catatan pengobatan yang telah diterima hingga saat tersebut, penderita ini
Depkes RI (2012), MDT tersedia dalam bentuk blister. Ada empat macam
a. DDS (dapson)
xvi
b. Lampren (B663) juga disebut klofaimin
gangguan gastrointestinal.
c. Rifampisin
1) Sediaan berbentuk kapsul 150 mg, 300 mg, 450 mg dan 600 mg
3) Cara pemberian secara oral, diminum setengah jam sebelum makan, agar
Obat neurotropik seperti vitamin B1, B6, dan B12 dapat diberikan.
sebagai berikut:
a. Dewasa
xvi
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan.
a. Dewasa
a) 1 tablet lampren 50 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18
bulan.
2) I tablet dapson/DDS 50 mg
1) 1 tablet dapson/DDS 50 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan.
xvi
2) 3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)
3) 1 tablet dapson/DDS 50 mg
2) 1 tablet dapson/DDS 50 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18
bulan.
Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk blister. Dosis
3. Lampren : 1 mg/kgBB
Sebagai pedoman praktis untuk dosis MDT bagi pasien kusta digunakan tebel
sebagai berikut:
Tabel 2.7. Pedoman Praktis untuk Dosis MDT Bagi Pasien Kusta Tipe PB
10-15
Jenis Obat < 5 Tahun 5-9 Tahun > 15 Tahun Keterangan
Tahun
Rifampisin Berdasarkan 300 450 600 mg/bln Minum di depan
berat badan* mg/bln mg/bln petugas
DDS 25 mg/bln 50 mg/bln 100 mg/bln Minum di depan
petugas
25 mg/hari 25 mg/hari 100 mg/hari Minum di
rumah
Sumber : Depkes RI (2012)
* Sesuaikan dosis bagi anak-anak yang lebih kecil dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25
xvi
Tabel 2.8. Pedoman Praktis untuk Dosis MDT bagi Pasien Kusta Tipe MB
10-15
Jenis Obat < 5 Tahun 5-9 Tahun > 15 Tahun Keterangan
Tahun
Rifampisin Berdasarkan 300 450 600 mg/bln
Minum di depan
berat badan* mg/bln mg/bln petugas
DDS 25 mg/bln 50 mg/bln
100 mg/bln Minum di depan
petugas
25 mg/bln 50 mg/bln 100 mg/hari Minum di
rumah
Lampren 100 150 300 mg/bln Minum di depan
mg/bln mg/bln petugas
50 mg 2x 50 mg 50 mg per Minum di
seminggu setiap 2 hari rumah
hari
Sumber : Depkes RI (2012)
* Sesuaikan dosis bagi anak-anak yang lebih kecil dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25
mg/hari dan rifampisin 300 mg/bulan (diawasi), lampren 100 mg/bulan (diawasi).
dengan aturan maka dinyatakan RFT tanpa diperlukan pemeriksaan laboratium yang
artinya dianggap sudah sebuh. Petugas harus memberikan keterangan tentang arti dan
maksud RFT kepada penderita bahwa tipe PB pengobatan 6 dosis selesai dalam
waktu 6-9 bulan langsung dinyatakan sembuh untuk tipe MB pengobatan 12 dosis
selesai dalam waktu 12-18 bulandinyatakan sembuh atau RFT. Walaupun sudah
sembuh petugas tetap meyakinkan penderita bahwa bercak yang akan ada akan
berangsur hilang dan menjelaskan cara mencengah terjadinya luka jadi terjadi
kecacatan yaitu dengan memelihara tangan dan kaki dengan baik dan bila penderita
xvi
melihat bercak kulit yang baru atau tanda – tanda baru mereka harus datang kembali
2.1.10.1. Pengertian
psikologis. Adapun stimulus eksternal segala macam reaksi seseorang akibat faktor
Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada kegiatan organisme tersebut
dipengaruhi baik oleh faktor genetik keturunan dan lingkungan. Secara umum dapat
dikatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan itu merupakan penentu dari perilaku
makhluk hidup termasuk termasuk perilaku perilaku manusia. Hereditas atau faktor
keturunan adalah konsepsi dasar atau modal untuk perkembangan perilaku makhluk
hidup itu untuk selajutnya. Sedangkan lingkungan adalah kondisi atau lahan untuk
(Notoadmojo, 2010).
xvi
2.1.10.2. Prosedur Pembentukan Perilaku
Seperti telah disebutkan di atas bagian besar perilaku manusia adalah operant
respons. Untuk itu untuk membentuk jenis respons atau perilaku ini perlu diciptakan
adanya suatu kondisi tertentu yang disebut operant conditioning ini menurut Skiner
reinforcer berupa hadiah – hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan dibentuk.
tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya
komponen tersebut.
telah tersusun itu. Apabila komponen pertama telah dilakukan, maka hadiahnya
diberikan hal ini akan mengakibatkan komponen atau perilaku tindakan tersebut
cenderung akan sering dilakukan kalau perilaku ini sudah terbentuk kemudian
xvi
2.1.10.3. Bentuk perilaku
suatu respons organisme atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar
1. Bentuk pasif adalah respons internal, yaitu yang terjadi di dalam diri manusia
dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh rang lain, misalnya berpikir
tanggapan atau sikap batin dan pengetahuan. Misalnya seorang ibu tahu bahwa
imunisasi itu dapat mencegah suatu penyakit tertentu, meskipun ibu tersebut
sendiri tidak ikut keluarga berencana. Dari kedua contoh tersebut terlihat bahwa
si ibu telah tahu gunanya imunisasi dan contoh kedua orang tersebut telah
mereka sendiri belum melakukan secara konkret terhadap kedua hal tersebut.
Oleh sebab itu perilaku mereka ini masih terselubung (covert behavior).
2. Bentuk aktif, yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung,
oleh karena itu perilaku mereka sudah tampak dalam bentuk tindakan nyata,
respon seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan
penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan. Respon atau reaksi
xvi
manusia, baik bersifat pasif maupun aktif. Sedangkan stimulus atau rangsangan
terdiri dari 4 unsur pokok, yakni sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan
berespon baik secara pasif (mengetahui, bersikap, dan mempersepsi penyakit dan
rasa sakit yang ada pada dirinya dan diluar dirinya, maupun aktif (tindakan) yang
dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut. Perilaku terhadap sakit
dan penyakit ini dengan sendirinya sesuai dengan tingkat pencegahan penyakit,
yakni:
xvi
kesehatan setelah sembuh dari penyakit. Misalnya melakukan diet, mematuhi
tradisional.
pengetahuan, persepsi, sikap dan praktik kita terhadap makanan serta unsur-unsur
c. Perilaku sehubungan dengan limbah, baik limbah padat maupun limbah cair.
sebagainya.
xvi
2.1.10.5. Perilaku Kepatuhan Berobat Penderita Kusta
yang dapat membunuh kuman kusta, dengan demikian pengobatan akan memutuskan
atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pengobatan
penderita kusta ditujukan untuk mematikan kuman kusta sehingga tidak berdaya
merusak jaringan tubuh dan tanda-tanda penyakit jadi kurang aktip sampai akhirnya
hilang. Dengan hancurnya kuman maka sumber penularan dari penderita terutama
tipe MB ke orang lain terputus. Penderita yang sudah dalam keadaan cacat permanen,
pengobatan hanya dapat mencegah cacat lebih lanjut (Depkes RI, 2007).
Dalam hal pengobatan pada penderita penyakit kusta, adalah tujuan yang
harus dicapai untuk menyembuhkan penderita kusta dan mencegah timbulnya cacat.
Pada penderita tipe pausi basiler yang berobat dini dan teratur akan cepat sembuh
tanpa menimbulkan cacat. Akan tetapi bagi penderita yang sudah dalam keadaan
cacat permanen pengobatan hanya dapat mencegah cacat yang lebih lanjut. Bila
penderita kusta tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta dapat menjadi
aktip kembali, sehingga timbul gejala-gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat
mata rantai penularan dari penderita kusta terutama tipe yang menular kepada orang
lain. Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikan kuman kusta sehingga
xvi
tidak berdaya merusak jaringan tubuh, dan tanda-tanda penyakit menjadi kurang aktif
dan akhirnya hilang. Dengan hancurnya kuman maka sumber penularan dari
penderita terutama tipe MB keorang lain terputus. Pada tahun 1997 WHO
memperkenalkan pengobatan kombinasi yang terdiri paling tidak dua obat anti kusta
yang efektif. Sayangnya anjuran ini tidak diikuti dilapangan dengan beberapa alasan.
Oleh karena itu pada tahun 1981 WHO Study Group on Chemotherapy of Leprosy
Sejak januari 1982, pengobatan kusta di Indonesia mengikuti keputusan WHO yaitu
dengan pengobatan kombinasi DDS, lampren dan rifampisin (Kemenkes RI, 2011).
aturan pemberian obat. Klien kusta dalam mentaati pemberian obat kusta berkaitan
dengan waktu minum obat dan dampak positif pengobatan kusta yang diterimanya.
Pengobatan untuk tipe PB diberikan secara teratur dalam waktu 6 bulan. Jika
pengobatan tidak teratur maka 6 bulan regimen bulanan MDT maka harus
diselesaikan dalam waktu 9 bulan. Pengobatan untuk tipe MB diberikan secara teratur
selama 12 bulan. Jika pengobatan tidak teratur maka 12 bulan regimen bulanan MDT
Treatmen). RFT dapat dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa harus pemeriksaan
xvi
(Pausibasilar) yang telah mendapat pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9
(multibasiler) yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam waktu
12-18 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laborotarium. Jika seorang
pasien PB tidak mengambil atau minum obatnya lebih dari 3 bulan dan pasien MB
lebih dari 6 bulan secara komulatif (tidak mungkin baginya untuk menyelesaikan
pengobatan sesuai waktu yang ditetapkan), maka penderita kusta dikatakan default
Multi Drug Therapy (MDT), yaitu kombinasi dua atau lebih obat anti kusta, yang
salah satunya terdiri atas Rifampisin sebagai anti kusta yang sifatnya bakterisid kuat
dengan obat anti kusta lain yang bisa bersifat bakteriosttik. Pelaksanaan monitoring
dan evaluasi pengobatan dilakukan oleh petugas kesehatan dengan memonitor tanggal
pengambilan obat, jika terlambat petugas harus melacak penderita tersebut, dan
melakukan pengamatan pemberian obat untuk tipe PB 6 dosis (bilster) dalam jangka
waktu 6-9 bulan, dan untuk penderita MB dengan 12 dosis dalam jangka waktu 12-18
bulan dan jika penderita sudah minum obat sesuai anjuran, maka dinyatakan Relase
kusta sebesar 32,31% dan yang teratur berobat sebesar 67,69% dari 208 responden
kusta di Majelengka. Hal ini berhubungan dengan pengetahuan, sikap klien, peran
xvi
klien dalam berobat kusta. Penelitian yang dilakukan oleh Hutabarat (2008),
pasien kusta yang patuh berobat sebesar 60,7% dan sebesar 39,3% tidak patuh
berobat. Hal ini berhubungan dengan faktor usia, jenis kelamin, pendidikan,
lama berobat, efek samping obat, cacat kusta terhadap kepatuhan berobat pada
penderita kusta
faktor yang berasal dari dalam dan dari luar individu itu sendiri faktor–faktor tersebut
antara lain; susunan saraf pusat persepsi sikap emosi, proses belajar lingkungan dan
dua yakni, faktor-faktor intern dan ekstern. Faktor intern mencakup: pengetahuan
kecerdasan, persepsi, emosi, sikap, dan sebagainya yang berfungsi untuk mengelolah
rangsangan dari luar. Sedangkan faktor ekstern meliputi lingkungan sekitar, baik
fisik maupun non fisik seperti: iklim, manusia, sosial–ekonomi, kebudayaan dan
sebagainya. Setiap individu sejak lahir terkait dalam suatu kelompokan terutama
Oleh karena pada setiap kelompok senatiasa berlaku aturan–aturan dan norma–norma
xvi
sosial tertentu, maka perilaku tiap individu anggota kelompok berlangsung dalam
suatu jaringan normatif. Demikian pula perilaku individu tersebut terhadap masalah–
penilaian individu atau mungkin dibantu oleh orang lain terhadap gangguan tersebut.
(Notoadmojo, 2010).
teratur, antara lain seperti pengetahuan dan sikap penderita maupun keluarganya.
Faktor sosial ekonomi juga sangat berpengaruh, karena penyakit ini menular biasanya
penderita merasa malu untuk pergi berobat disamping banyak yang menganggap
bahwa biaya berobat itu mahal, serta masih banyak faktor lain seperti dukungan sosial
xvi
keterjangkauan jarak dan peran petugas dalam proses pengobatan serta dalam
sebagainya.
perilaku petugas atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari
perilaku masyarakat.
kusta adalah:
a. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
xvi
telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
b. Sikap
terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung
dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang
xvi
2,76. Hasil penelitian Fajar (2002) di Kabupaten Gresik pada penderita kusta
kesembuhan.
c. Kepercayaan
Orang percaya bahwa dokter pasti dapat menyembuhkan penyakitnya. Hal ini
(Notoadmojo, 2010).
Hal ini dimaksudkan bahwa orang percaya kepada sesuatu dapat disebabkan
ada seseorang yang memberitahukan bahwa disana ada dukun x yang bisa
xvi
mengobati berbagai macam penyakit, maka orang tersebut pergi ke dukun
pendirian tanpa menunjukkan sikop pro atau anti. Menurut Krech dkk dalam
Sarwono (1997) kepercayaan dapat tumbuh jika orang berulang – ulang kali
akan penyakitnya dan keluarga mereka percaya bahwa penyakit kusta itu
tindakan artinya bahwa faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau
fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan. Dimana lingkungan yang jenuh atau
kepatuhan.
xvi
pedesaan dipengaruhi oleh keterjangkauan dengan fasilitas kesehatan. Hal ini
menunjukkan pada penderita kusta yang jarak tempat tinggalnya jauh, tidak
terjangkau dari segi transportasi dan dana mempunyai kecendrungan untuk tidak
a. Wilayah sangat dekat, jika masuk dalam wilayah dengan jarak 0-1000 meter
dari fasilitas pelayanan kesehatan dan jarak 0-200 meter dari jalan.
b. Wilayah dekat, jika masuk dalam wilayah dengan jarak 1001-2000 meter
dari fasilitas pelayanan kesehatan dan jarak 0-200 meter dari jalan, atau jika
masuk dalam wilayah dengan jarak 0-1000 meter dari fasilitas pelayanan
c. Wilayah sedang, jika masuk dalam wilayah dengan jarak 2001-3000 meter
atau lebih dari fasilitas pelayanan kesehatan dan jarak 0-200 meter dari jalan,
atau jika masuk dalam wilayah dengan jarak 1001-2000 meter dari fasilitas
pelayanan kesehatan dan jarak 201-500 meter dari jalan, atau jika masuk
dalam wilayah dengan jarak 0-1000 meter dari fasilitas pelayanan kesehatan
d. Wilayah jauh, jika masuk dalam wilayah dengan jarak 2001-3000 meter atau
lebih dari fasilitas pelayanan kesehatan dan jarak 201-500 meter dari jalan,
xvi
atau jika masuk dalam wilayah dengan jarak 1001-2000 meter dari fasilitas
pelayanan kesehatan dan jarak 501-1000 meter atau lebih dari jalan.
e. Wilayah sangat jauh, jika masuk dalam wilayah dengan jarak 2001-3000
meter atau lebih dari fasilitas pelayanan kesehatan dan jarak 501-1000 meter
wilayah jangkauan:
a. Dukungan keluarga
xvi
mendapat perhatian dan dukungan dari keluarga akan lebih patuh terhadap
2008).
yang hidup di lingkungan yang bersifat supportif kondisi kesehatan jiwa lebih
baik daripada mereka yang hidup tidak adanya dukungan dari keluarga sosial
Jenis dukungan keluarga terdiri dari empat jenis atau dimensi dukungan
1) Dukungan emosional
Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan
xvi
perasaan individu dan perbandingan positif penderita Kusta dengan yang
lain seperti misalnya orang-orang yang kurang mampu atau lebih buruk
keadaannya.
3) Dukungan instrumental
mengalami stres.
4) Dukungan informatif
dengan nilai p value (0,001) dan nilai OR (6,909). Sementara hasil penelitian
xvi
b. Dukungan petugas kesehatan
(1994).
penderita kusta dengan nilai p value (0,0001) dan nilai OR (3,143). Dari hasil
obat.
masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis
tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan
xvi
kronik progresif, mula-mula menyerang saraf tepi, dan kemudian terdapat manifestasi
kulit. Penyakit kusta disebabkan oleh mycobacterium leprae, basil tahan asam.
kuman kusta, dengan demikian pengobatan akan memutuskan mata rantai penularan,
bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobtan. Pengobatan penderita kusta
ditujukan untuk mematikan kuman kusta sehingga tidak berdaya merusak jaringan
tubuh dan tanda-tanda penyakit jadi kurang aktip sampai akhirnya hilang. Dengan
hancurnya kuman maka sumber penularan dari penderita terutama tipe MB ke orang
lain terputus. Penderita yang sudah dalam keadaan cacat permanen, pengobatan
hanya dapat mencegah cacat lebih lanjut. Bila penderita kusta tidak minum obat
secara teratur, maka kuman kusta dapat menjadi aktip kembali, sehingga timbul
gejala-gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat memperburuk keadaan. Di sinilah
Treatmen). RFT dapat dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa harus pemeriksaan
(Pausibasilar) yang telah mendapat pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9
(multibasiler) yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam waktu
12-18 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laborotarium. Jika seorang
pasien PB tidak mengambil atau minum obatnya lebih dari 3 bulan dan pasien MB
xvi
lebih dari 6 bulan secara komulatif (tidak mungkin baginya untuk menyelesaikan
pengobatan sesuai waktu yang ditetapkan), maka penderita kusta dikatakan default
teratur, antara lain seperti pengetahuan dan sikap penderita maupun keluarganya.
Faktor sosial ekonomi juga sangat berpengaruh, karena penyakit ini menular biasanya
penderita merasa malu untuk pergi berobat disamping banyak yang menganggap
bahwa biaya berobat itu mahal, serta masih banyak faktor lain seperti dukungan sosial
keterjangkauan jarak dan peran petugas dalam proses pengobatan serta dalam
sebesar 32,31% sehingga RFT hanya sebesar 67,69%. Penelitian dilakukan ini
dengan desain cross sectional dan menggunakan data primer. Responden berjumlah
208 orang yang merupakan seluruh populasi yang memenuhi kriteria sampel. Hasil
pengetahuan penderita kusta (OR: 2,62, 95%CI : 1,44 - 4,76), sikap (OR 2,76,
95%C1 : 1,51 -5,05), ketersediaan obat di puskesmas (OR : 3,34, 95%CI : 1,64 -
6,80), dan peran petugas kesehatan (OR : 2,91, 95%CI : 1,60 - 5,31) dengan
xvi
ketidakteraturan berobat penderita kusta. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya
penderita kusta.
sebagainya.
perilaku petugas atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari
perilaku masyarakat.
xvi
Kerangka teori berdasarkan Green L.W and Ottoson (2005) adalah sebagai
berikut:
Predisposisi
Pengetahuan Genetika dan
Sikap Biologi Manusia
Keyakinan
Nilai Budaya
Persepsi
Reinforcing (pendorong)
Pendidikan Kesehatan Pengaruh dari orang tua, Tingkah Laku
Media Massa guru, pengusaha, dan
Advokasi Gaya Hidup
rekan-rekan, dan lain-lain
Pelatihan
Ekosistem
Enabling (pendukung)
Kebijakan Ketersediaan
Sumber informasi Lingkungan
Peraturan
Organisasi Aksesibilitas
Keterampilan
Gambar 2.1 Kerangka Teori Menurut Green. L.W and Ottoson, J.M (2005)
Precede-Proceed Model-JASP
Keterangan :
Perilaku manusia.
xvi
2.3. Kerangka Konsep
adalah:
Predisposing factors :
- Pengetahuan
- Sikap
- Kepercayaan
Prilaku Kepatuhan
Enabling factors : Minum Obat Penderita
- Keterjangkauan ke pelayanan Kusta :
kesehatan - Patuh
- Tidak Patuh
Reinforcing factors :
- Dukungan Keluarga
- Dukungan petugas kesehatan
xvi