Anda di halaman 1dari 35

9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PENYAKIT KUSTA
1. Pengertian Kusta
Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni Kustha berarti kumpulan
gejala gejala kulit secara umum. Kusta adalah penyakit kronik yang
pertama kali menyerang susunan saraf perifer, selanjutnya dapat
menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernapasan bagian atas,
kemudian dapat keorgan lain kecuali susunan saraf pusat (Kosasih, 2007).

2. Etiologi
Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae, yang ditemukan oleh
warganegara Norwegia, G.A Armauer Hansen pada tahun 1873 dan
sampai sekarang belum dapat dibiakkan dalam media buatan. Kuman
Mycobacterium leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um X 0,5 Um,
tahan asam dan alkohol serta bersifat Gram positif. Mycobacterium leprae
hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf
(Schwan cell) dan sistem retikulo endotelial. (Kosasih, 2007).

3. Epidemiologi Penyakit Kusta


Cara penularan yang pasti belum diketahui, berdasarkan anggapan klasik
yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapa
kedua ialah secara inhalasi, sebab mycobacterium Leprae masih dapat
hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunasnya sangat bervariasi,
antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa tahun rata-rata 3-5
tahun (Kosasih, 2007).

Kusta terdapat dimana-mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin,


daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat sosial ekonomi rendah, selain
penyakit menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi,
10

mutilasi dan deformitas. Penderita kusta bukan menderita penyakitnya


saja, tetapi juga karena dikucilkan masyarakat sekitarnya, hal ini
diakibatkan kerusakan saraf besar yang irreversible diwajah dan
ekstremitas, motorik dan sensoris, serta dengan adanya kerusakan yang
berulang-ulang pada daerah yang anastetik disertai paralisis dan atropi
otot (Kosasih, 2007).

4. Patogenesis
Setelah Mycobacterium leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan
penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang, respon tubuh
setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas
seluler (celuler mediated immune) pasien, kalau sistem imunitas seluler
tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkoloid dan bila rendah
berkembang kearah leprometosa. Mycobacterium leprae berpredileksi
didaerah-daerah yang relatif lebih dingin yaitu daerah akral dengan
vaskularisasi yang sedikit. Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan
derajat infeksi karena respons imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis
lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler daripada intensitas infeksi.
Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut penyakit imunologik
(Kosasih, 2007).

5. Diagnosis Kusta
Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada gambaran klinis, bakteriologis
dan histopatologis. Dari ketiga diagnosis klinis merupakan yang terpenting
dan paling sederhana (Kosasih, 2007). Sebelum diagnosis klinis
ditegakkan, harus dilakukan anamnesa, pemeriksaan klinik (pemeriksaan
kulit, pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya). Untuk menetapkan diagnosis
klinis penyakit kusta harus ada minimal satu tanda utama atau cardinal
sign. Tanda utama tersebut yaitu :
11

a. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa


Kelainan dapat berbentuk bercak keputihan (hipopigmentasi) atau
kemerah-merahan (eritematosa) yang mati rasa (anestesi)
b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf akibat
peradangan saraf (neuritis perifer) , bisa berupa :
1) Gangguan fungsi sensoris (mati rasa)
2) Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot, kelumpuhan
3) Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak
c. Adanya kuman tahan asam di dalam pemeriksaan kerokan jaringan
kulit (BTA positif).

Seorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari


tanda-tanda utama diatas. Pada dasarnya sebagian besar kasus dapat
didiagnosis dengan pemeriksaan klinis. Namun demikian pada kasus yang
meragukan dapat dilakukan pemeriksaan kerokan kulit. Apabila hanya
ditemukan cardinal sign kedua perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta,
juga masih ragu orang tersebut dianggap sebagai kasus yang dicurigai
(Departemen Kesehatan, 2006).

6. Klasifikasi Kusta
Untuk menentukan klasifikasi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
seperti manifestasi klinis yang berhubungan dengan morfologi manifestasi
klinis, neorologis, pemeriksaan bakteriologis dari apusan lesi kulit, reaksi
imonologis, dan gambaran histopatologi.
a. Klasifikasi yang dipakai pada penelitian terbanyak adalah klasifikasi
Ridley dan Jopling. Klasifikasi ini berdasarkan gambaran klinis,
bakteriologis, histology dan mempunyai korelasi dengan tingkat
imonologi, yaitu membagi penyakit kusta dalam 5 tipe :
1) Tipe Tuberkuloid (TT)
TT Adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%,
merupakan tipe yang stabil tidak mungkin berubah tipe.
12

2) Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)


Tipe campuran antara tuberkuloid dan leprometosa, dimana lebih
banyak tuberkuloidnya.
3) Tipe Borderline (BB)
Tipe campuran yang terdiri 50% tubekuloidnya dan 50 %
leprometosanya.
4) Tipe Borderline Lepramatous (BL)
Tipe campuran, dimana leprometosanya lebih banyak disbanding
tuberkuloidnya.
5) Tipe Lepramatous (LL)
LL adalah tipe lepramatosa polar, yakni lepramatosa 100% juga
merupakan tipe yang stabil yang tidak mungkin berubah lagi.

b. Menurut Depkes (2006), dalam pemakaian obat kombinasi untuk


pemberantasan penyakit kusta, maka WHO mengelompokkan penyakit
kusta ada 2 kelompok yakni :
1) Tipe Pausi Basiler (PB) berarti sedikit mengandung basil terdiri
atas indeterminate (I), Tuberculoid (TT), Borderline Tuberkuloid
(BT), pemeriksaan Bakteri Tahan Asam BTA (-)
2) Tipe Multi Basiler (MB) berarti banyak mengandung banyak basil
yaitu terdiri dari tipe Bordiline (BB), Borderline Lepramatosa
(BL), Lepramatous (LL), Pemeriksaan Bakteri Tahan Asam BTA
(+)

7. Cacat Akibat Kusta


Cacat pada penyakit kusta dapat timbul primer dan sekunder. Cacat primer
disebabkan langsung oleh aktifitas penyakitnya sendiri yang meliputi
kerusakan akibat respon jaringan terhadap kuman penyebab, sedangkan
cacat sekunder adalah cacat yang tidak langsung disebabkan oleh
penyakitnya sendiri tetapi diakibatkan oleh adanya anastesi akibat
kerusakan saraf sensoris, yang pada dasarnya karena hilangnya rasa nyeri
13

dan rasa suhu, maka penderita gagal menghindar dari trauma terutama
pada tangan dan kaki (Amiruddin, 2001).

Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau Prevention Of


Disalibities (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta,
pemberian obat MDT (Mulptiple Drug Therapy) yang cepat dan tepat.
Mengenali gejala dan tanda reaksi kusta disertai gangguan saraf serta
memulai pengobatan kostikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat
gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya
memakai sepatu untuk melindungi kaki yang terkena, memakai sarung
tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas, dan memakai
kacamata untuk melindungi matanya, selain itu diajarkan perawatan kulit
sehari-hari (Kosasih, 2007).

8. Masalah-masalah yang ditimbulkan akibat penyakit kusta


Seseorang yang merasakan dirinya menderita penyakit kusta akan
mengalami trauma psikis, sebagai akibat dari trauma psikis ini, si
penderita akan :
a. Dengan segera mencari pertolongan pengobatan.
b. Mengulur-ulur waktu karena ketidaktahuan atau malu bahwa dia atau
keluarga menderita penyakit kusta.
c. Menyembunyikan (mengasingkan) diri dari masyarakat sekeliling.
Oleh karena berbagai masalah, pada akhirnya penderita bersifat masa
bodoh terhadap penyakitnya, sebagai akibat dari hal-hal tersebut diatas
timbullah berbagai masalah, antara lain :
1) Masalah terhadap diri penderita kusta
Pada umumnya penderita kusta merasa rendah diri, merasa tekan
batin, takut terhadap penyakitnya dan terjadinya kecacatan, takut
menghadapi keluarga dan masyarakat karena sikap penerimaan
mereka yang kurang wajar. Segan berobat karena malu, apatis,
14

karena kecacatan tidak dapat mandiri sehingga beban bagi orang


lain (jadi pengemis, gelandangan dsb).
2) Masalah terhadap keluarga
Keluarga menjadi panik, berubah mencari pertolongan termasuk
dukun dan pengobatan tradisional, keluarga merasa takut
diasingkan oleh masyarakat sekitarnya, berusaha menyembunyikan
penderita agar tidak diketahui masyarakat sekitarnya, dan
mengasingkan penderita dari keluarga karena takut ketularan.
3) Masalah terhadap masyarakat
Pada umumnya masyarakat mengenal penyakit kusta dari tradisi
kebudayaan dan agama, sehingga pendapat tentang kusta
merupakan penyakit yang sangat menular, tidak dapat diobati,
penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis dan menyebabkan
kecacatan. Sebagai akibat kurangnya pengetahuan/informasi
tentang penyakit kusta, maka penderita sulit untuk diterima di
tengah-tengah masyarakat, masyarakat menjauhi keluarga dari
penderita, merasa takut dan menyingkirkannya. Masyarakat
mendorong agar penderita dan keluarganya diasingkan
(Missiophie, 2009).

B. Interaksi Sosial
1. Pengertian

Interaksi sosial merupakan suatu hubungan-hubungan social yang dinamis


menyangkut hubungan antara orang-perorangan, antara kelompok-
kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok
manusia. (Soekanto, 2010). Proses sosial adalah cara-cara berhubungan
yang dapat dilihat apabila para individu dan kelompok-kelompok saling
bertemu menentukan system serta bentuk hubungan tersebut atau apa
yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan
goyahnya cara-cara hidup yang telah ada. Atau dengan perkataan lain,
15

proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal balik antara pelbagai segi
kehidupan bersama (Soekanto, 2010). Interaksi sosial adalah hubungan
antara individu dengan individu yang lain, individu satu dapat
mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya, jadi terdapat hubungan
yang saling timbal balik (Walgito, 2003).

2. Syarat-syarat Terjadinya Interaksi Sosial


Interaksi sosial dapat terjadi bila antara dua individu atau kelompok
terdapat kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial merupakan tahap
pertama dari terjadinya hubungan social Komunikasi merupakan
penyampaian suatu informasi dan pemberian tafsiran dan reaksi terhadap
informasi yang disampaikan. Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin
terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat (Soekanto, 2010) yaitu: adanya
kontak sosial, dan adanya komunikasi.

a. Kontak Sosial
Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk (Soekanto, 2010)
yaitu sebagai berikut :
1) Antara orang perorangan
Kontak sosial ini adalah apabila anak kecil mempelajari kebiasaan-
kebiasaan dalam keluarganya. Proses demikian terjadi melalui
komunikasi, yaitu suatu proses dimana anggota masyarakat yang
baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat di mana
dia menjadi anggota.
2) Antara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia atau
sebaliknya
Kontak sosial ini misalnya adalah apabila seseorang merasakna
bahwa tindakan-tindakannya berlawanan dengan norma-norma
masyarakat.
16

3) Antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia


lainnya. Umpamanya adalah dua partai politik yang bekerja sama
untuk mengalahkan partai politik lainnya.

Kontak sosial memiliki beberapa sifat, yaitu kontal sosial positif dan
kontak sosial negatif. Kontak sosial positif adalah kontak sosial yang
mengarah pada suatu kerja sama, sedangkan kontak sosial negatif
mengarah kepada suatu pertentangan atau bahkan sama sekali tidak
menghasilkan kontak sosial. Selain itu kontak sosial juga memiliki
sifat primer atau sekunder. Kontak primer terjadi apabila yang
mengadakan hubungan langsung bertemu dan berhadapan muka,
sebaliknya kontak yang sekunder memerlukan suatu perantara
(Soekanto, 2010).

b. Komunikasi
Komunikasi adalah bahwa seseorang yang memberi tafsiran kepada
orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau
sikap), perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang
tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberi reaksi terhadap
perasaan yang ingin disampaikan. Dalam komunikasi kemungkinan
sekali terjadi berbagai macam penafsiran terhadap tingkah laku orang
lain. Seulas senyum misalnya, dapat ditafsirkan sebagai keramah
tamahan, sikap bersahabat atau bahkan sebagai sikap sinis dan sikap
ingin menunjukan kemenangan. Dengan demikian komunikasi
memungkinkan kerja sama antar perorangan dan atau antar kelompok.
Tetapi disamping itu juga komunikasi bisa menghasilkan pertikaian
yang terjadi (Soekanto, 2010).
17

3. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial


a. Proses Asosiatif (Processes of Association)
1) Kerja Sama (Cooperation)
Kerja sama adalah sebagai suatu usaha bersama antara orang
perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau
beberapa tujuan bersama. Bentuk dan pola-pola kerja sama dapat
dijumpai pada semua kelompok manusia. Kerja sama timbul
karena orientasi orang perorangan terhadap kelompoknya
(ingroup-nya) dan kelompok lainnya (out-group-nya). Kerja sama
mungkin akan bertambah kuat apabila ada bahaya luar yang
mengancam atau ada tindakan-tindakan luar yang menyinggung
kesetiaan yang secara tradisional atau institusional telah tertanam
di dalam kelompok, dalam diri seseorang atau segolongan orang.
Kerja sama dapat bersifat agresif apabila kelompok dalam jangka
waktu yang lama mengalami kekecewaan sebagai akibat perasaan
tidak puas, karena keinginan-keinginan pokoknya tak dapat
terpenuhi oleh karena adanya rintangan-rintangan yang bersumber
dari luar kelompok itu (Soekanto, 2010).
Menurut Soekanto, 2010 bentuk kerja sama ada lima, yaitu:
a) Kerukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong-
menolong.
b) Bargaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran
barang-barang dan jasa-jasa antara dua organisasi atau lebih.
c) Ko-optasi (Co-optation), yaitu suatu proses penerimaan unsur-
unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik
dalam suatu organisasi, sebagai salah satu cara untuk
menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilisasi
organisasi yang bersangkutan.
d) Koalisi (Coalition), yaitu kombinasi antara dua ornagisasi atau
lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama. Koalisi dapat
menghasilkan keadaan yang tidak stabil untuk sementara
18

waktu, karena dua organisasi atau lebih tersebut kemungkinan


mempunyai struktur yang tidak sama antara satu dengan
lainnya.
e) Joint-ventrue, yaitu kerja sama dalam pengusahaan proyek-
proyek tertentu, misalnya pemboran minyak, pertambangan
batu bara, perfilman, perhotelan, dll.

2) Akomodasi (Accomodation)
a) Pengertian
Akomodasi menurut (Soekanto, 2010) merupakan suatu cara
untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan
pihak lawan, sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya.
Tujuan akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi
yang dihadapinya, yaitu:
i) Untuk mengurangi pertentangan antara orang perorangan
atau kelompok-kelompok manusia sebagai akibat
perbedaan paham. Akomodasi disini bertujuan untuk
menghasilkan suatu sintesa antara kedua pendapat
tersebut, agar menghasilkan suatu pola yang baru.
ii) Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk
sementara waktu.
iii) Untuk memungkinkan terjadinya kerja sama antara
kelompok-kelompok sosial yang hidupnya terpisah
sebagai akibat faktor-faktor sosial psikologis dan
kebudayaan, seperti yang dijumpai pada masyarakat yang
mengenal system kasta.
iv) Mengusahakan peleburan antara kelompok-kelompok
sosial yang terpisah.
19

b) Bentuk-bentuk akomodasi
Menurut (Soekanto, 2010) akomodasi terbagi dalam delapan
betuk yaitu:
i) Coercion, adalah suatu bentuk akomodasi yang prosesnya
dilaksanakan oleh karena adanya paksaan. Coercion
merupakan bentuk akomodasi, dimana salah satu pihak
berada dalam keadaan yang lemah bila dibandingkan
dengan pihak lawan. Pelaksanaannya dapat dilakukan
secara fisik (langsung), maupun psikologis (tidak
langsung).
ii) Compromise, adalah suatu bentuk akomodasi dimana
pihak-pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya,
agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan
yang ada. Sikap dasar untuk dapat melaksanakan
compromise adalah bahwa salah satu pihak bersedia
untuk merasakan dan memahami keadaan pihak lainnya
dan begitu pula sebaliknya.
iii) Arbitration, merupakan suatu cara untuk mencapai
compromise apabila pihak-pihak yang berhadapan tidak
sanggup mencapainya sendiri. Pertentangan diselesaikan
oleh pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah pihak
atau oleh suatu badan yang berkedudukan lebih tinggi
dari pihak-pihak bertentangan.
iv) Mediation hampir menyerupai arbitration. Pada
mediation diundanglah pihak ketiga yang netral dalam
soal perselisihan yang ada. Tugas pihak ketiga tersebut
adalah mengusahakan suatu penyelesaian secara damai.
Kedudukan pihak ketiga hanyalah sebagai penasihat
belaka, dia tidak berwenang untuk memberi keputusan-
keputusan penyelesaian perselisihan tersebut.
20

v) Conciliation, adalah suatu usaha untuk mempertemukan


keinginan-keinginan dari pihak-pihak yang berselisih
demi tercapainya suatu persetujuan bersama. Conciliation
bersifat lebih lunak daripada coercion dan membuka
kesempatan bagi pihak-pihak yang bersangkutan untuk
mengadakan asimilasi.
vi) Toleration, juga sering disebut sebagai tolerant-
participation. Ini merupakan suatu bentuk akomodasi
tanpa persetujuan yang formal bentuknya. Kadang-
kadang toleration timbul secara tidak sadar dan tanpa
direncanakan, ini disebabkan karena adanya watak orang
perorangan atau kelompok-kelompok manusia untuk
sedapat mungkin menghindarkan diri dari suatu
perselisihan.
vii) Stalemate, merupakan suatu akomodasi, dimana pihak-
pihak yang bertentangan karena mempunyai kekuatan
yang seimbang berhenti pada suatu titik tertentu dalam
melakukan pertentangannya. Hal ini disebabkan oleh
karena kedua belah pihak sudah tidak ada kemungkinan
lagi baik untuk maju maupun untuk mundur.
viii) Adjudication, yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di
pengadilan.

3) Asimilasi (Assimilation)
Asimilasi menurut (Soekanto, 2010) merupakan proses sosial
dalam taraf lanjut. Proses asimilasi ditandai dengan pengembangan
sikap-sikap yang sama, walau kadangkala bersifat emosional,
dengan tujuan untuk mencapai kesatuan, atau paling sedikit
mencapai integrasi dalam organisasi, pikiran, dan tindakan. Proses
asimilasi timbul bila ada:
21

a) Kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaannya.


b) Orang perorangan sebagai warga kelompok tadi saling bergaul
secara langsung dan intensif untuk waktu yang lama.
c) Kebudayaan-kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia
tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri.

Faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya suatu asimilasi


(Soekato, 2010) adalah:
a) Toleransi
b) Kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang ekonomi
c) Sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya
d) Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat
e) Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan
f) Perkawinan campur (amalgamation)
g) Adanya musuh bersama di luar.

Faktor-faktor umum yang dapat menjadi penghalang terjadinya


asimilasi (Soekanto, 2010) adalah:
a) Terisolasi kehidupan suatu golongan tertentu dalam
masyarakat.
b) Kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan yang dihadapi.
c) Perasaan takut terhadap kekuatan suatu kebudayaan yang
dihadapi.
d) Perasaan bahwa suatu kebudayaan golongan atau kelompok
tertentu lebih tinggi daripada kebudayaan golongan atau
kelompok lainnya.
e) Perbedaan warna kulit atau perbedaan ciri-ciri badaniah.
f) In-group feeling yang kuat.
g) Golongan minoritas mengalami gangguan-gangguan dari
golongan yang berkuasa.
h) Perbedaan kepentingan dan pertentangan-pertentangan pribadi
22

b. Proses Disosiatif
Proses disosiatif sering disebut sebagai oppositional processes, persis
halnya dengan kerja sama, dapat ditemukan pada setiap masyarakat,
walaupun bentuk dan arahnya ditentukan oleh kebudayaan dan sistem
sosial masyarakat bersangkutan. Oposisi dapat diartikan sebagai cara
berjuang melawan seseorang atau sekelompok manusia, untuk
mencapai tujuan tertentu. Terbatasnya makanan, tempat tinggal serta
lain-lain faktor telah melahirkan beberapa bentuk kerja sama dan
oposisi. Pola-pola oposisi tersebut dinamakan juga sebagai
perjuangan untuk tetap hidup (struggle for existence). Perlu dijelaskan
bahwa pengertian struggle for existence juga dipakai untuk menunjuk
kepada suatu keadaan di mana manusia yang satu tergantung pada
kehidupan manusia yang lainnya, keadaan mana menimbulkan kerja
sama untuk dapat tetap hidup. Perjuangan ini mengarah pada paling
sedikit tiga hal yaitu perjuangan manusia melawan sesama,
perjuangan manusia melawan makhluk-makhluk jenis lain serta
perjuangan manusia melawan alam (Soekanto, 2010).

Menurut (Soekanto, 2010) untuk kepentingan analisis ilmu


pengetahuan, oposisi atau proses-proses yang disosiatif dibedakan
dalam tiga bentuk, yaitu :
1) Persaingan (competition)
Persaingan adalah suatu proses sosial, di mana individu atau
kelompok-kelompok manusia yang bersaing, mencari keuntungan
melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu
menjadi pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun
kelompok manusia) dengan cara menarik perhatian public atau
dengan mempertajam prasangka yang telah ada, tanpa
mempergunakan ancaman atau kekerasan. Ada beberapa bentuk
persaingan, di antaranya :
23

a) Persaingan ekonomi. Timbul karena terbatasnya persediaan


apabila dibandingkan dengan jumlah konsumen.
b) Persaingan kebudayaan. Menyangkut persaingan kebudayaan,
keagamaan, lembaga kemasyarakatan seperti pendidikan, dan
sebagainya.
c) Persaingan kedudukan dan peranan. Di dalam diri seseorang
maupun di dalam kelompok terdapat keinginan-keingian untuk
diakui sebagai orang atau kelompok yang mempunyai
kedudukan serta peranan yang terpandang.
d) Persaingan ras. Perbedaan ras baik karena perbedaan warna
kulit, bentuk tubuh, maupun corak rambut dan sebagainya,
hanya merupakan suatu perlambang kesadaran dan sikap atas
perbedaan-perbedaan dalam kebudayaan.
Persaingan dalam batas-batas tertentu dapat memiliki beberapa
fungsi, antara lain :
a) Menyalurkan keinginan-keinginan individu atau kelompok
yang bersifat kompetitif
b) Sebagai jalan di mana keinginan, kepentingan serta nilai-nilai
yang pada suatu masa menjadi pusat perhatian, tersalurkan
dengan baik oleh mereka yang bersaing.
c) Merupakan alat untuk mengadakan seleksi atas dasar seks dan
sosial
d) Alat untuk menyaring para warga golongan karya (fungsional)
yang akhirnya akan menghaslkan pembagian kerja yang
efektif.
Hasil suatu persaingan terkait erat dengan berbagai faktor, antara
lain:
a) Kepribadian seseorang
b) Kemajuan masyarakat
c) Solidaritas kelompok
d) Disorganisasi
24

2) Kontravensi (contravention)
Kontravensi pada hakikatnya merupakan suatu bentuk proses
sosial yang berada antara persaingan dan pertentangan atau
pertikaian.
a) Bentuk-bentuk kontravensi :
i) Perbuatan penolakan, perlawanan, dan lain-lain.
ii) Menyangkal perbuatan orang lain dimuka umum.
iii) Melakukan penghasutan.
iv) Berkhianat.
v) Mengejutkan lawan, dan lain-lain.
b) Tipe-tipe Kontravensi
Menurut Soekanto, 2010 ada beberapa tipe kontravensi yang
terletak di antara kontravensi dan pertentangan atau pertikaian,
yang dimasukkan ke dalam kategori kontravensi, yaitu :
i) Kontravensi antar masyarakat
ii) Antagonism keagamaan
iii) Kontravensi intelektual
iv) Oposisis moral
Kontravensi, apabila dibandingkan dengan persaingan dan
pertentangan bersifat agak tertutup atau rahasia.

3) Pertentangan atau pertikaian (conflict)


Soekanto, 2010 menjelaskan bahwa perrtentangan atau pertikaian
adalah suatu proses sosial di mana individu atau kelompok
berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak
lawan dengan ancaman atau kekerasan. Penyebab terjadinya
pertentangan yaitu:
a) Perbedaan individu-individu
b) Perbedaan kebudayaan
c) Perbedaan kepentingan
d) Perbedaan sosial
25

Masyarakat biasanya mempunyai alat-alat tertentu untuk


menyalurkan benih-benih permusuhan, alat tersebut dalam ilmu
sosiologi dinamakan safety-valve institutions yang menyediakan
objek-objek tertentu yang dapat mengalihkan perhatian pihak-
pihak yang bertikai ke arah lain.
Bentuk-bentuk pertentangan menurut Soekanto, 2010 antara lain:
a) Pertentengan pribadi
b) Pertentangan rasial
c) Pertentangan antara kelas-kelas sosial, umumnya disebabkan
oleh karena adanya perbedaan-perbedaan kepentingan.
d) Pertentangan politik
e) Pertentangan yang bersifat internasional.
Akibat dari bentuk-bentuk pertentangan adalah sebagai berikut:
a) Bertambahnya solidaritas “in-group” atau malah sebaliknya
yaitu terjadi goyah dan retaknya persatuan kelompok
b) Perubahan kepribadian
c) Akomodasi, dominasi dan takluknya satu pihak tertentu

4. Jenis-jenis Interaksi Sosial


Menurut Soekanto, 2010 ada tiga jenis interaksi sosial, yaitu:
a. Interaksi antara Individu dan Individu.
Pada saat dua individu bertemu, interaksi social sudah mulai terjadi.
Walaupun kedua individu itu tidak melakukan kegiatan apa-apa,
namun sebenarnya interaksi sosial telah terjadi apabila masing-masing
pihak sadar akan adanya pihak lain yang menyebabkan perubahan
dalam diri masing-masing. Hal ini sangat dimungkinkan oleh faktor-
faktor tertentu, seperti bau minyak wangi atau bau keringat yang
menyengat, bunyi sepatu ketika sedang berjalan dan hal lain yang bisa
mengundang reaksi orang lain.
26

b. Interaksi antara Kelompok dan Kelompok.


Interaksi jenis ini terjadi pada kelompok sebagai satu kesatuan bukan
sebagai pribadi-pribadi anggota kelompok yang bersangkutan.
Contohnya, permusuhan antara Indonesia dengan Belanda pada
zaman perang fisik.

c. Interaksi antara Individu dan Kelompok.


Bentuk interaksi di sini berbeda-beda sesuai dengan keadaan.
Interaksi tersebut lebih mencolok manakala terjadi perbenturan antara
kepentingan perorangan dan kepentingan kelompok.

5. Ciri-ciri Interaksi Sosial


Menurut Soekanto, 2010 interaksi sosial mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Ada pelaku dengan jumlah lebih dari satu orang
b. Ada komunikasi antar pelaku dengan menggunakan simbol-simbol
c. Ada dimensi waktu (masa lampau, masa kini, dan masa mendatang)
yang menentukan sifat aksi yang sedang berlangsung
d. Ada tujuan-tujuan tertentu, terlepas dari sama tidaknya tujuan tersebut
dengan yang diperkirakan oleh pengamat.

6. Faktor-faktor Interaksi Sosial


Menurut (Soekanto, 2010) suatu proses sosial didasarkan oleh berbagai
faktor antara lain:
a. Faktor Imitasi
Imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah
dan nilai-nilai yang berlaku. Namun imitasi mungkin pula
mengakibatkan terjadinya hal-hal yang negative dimana yang ditiru
adalah tindakan-tindakan yang menyimpang. Imitasi juga dapat
melemahkan atau bahkan mematikan pengenmbangan daya kreasi
seseorang (Soekanto, 2010).
27

b. Faktor Sugesti
Faktor sugesti prosesnya hampir sama dengan imitasi yaitu
berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau sesuatu
sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak
lain. Sugesti dapat terjadi karena pihak yang menerima dilanda oleh
emosi, yang menghambat daya berpikirnya secara rasional. Proses
sugesti mungkinterjadi apabila yang memberikan pandangan adalah
orang yang berwibawa atau mungkin karena sifatnya yang otoriter,
mungkin pula bahwa sugesti terjadi oleh sebab yang memberikan
pandangan atau sikap merupakan bagian terbesar dari kelompok yang
bersangkutan, atau masyarakat (Soekanto, 2010).

c. Fakor Identifikasi
Identifikasi merupakan kecenderungan-kecenderungan atau
keinginan-keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan
pihak lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam daripada imitasi,
karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini.
Proses identifikasi dapat berlangsung dengan sendirinya (secara tidak
sadar), maupun dengan disengaja karena sering kali seseorang
memerlukan tipe-tipe ideal tertentu didalam proses kehidupannya.
Walaupun dapat berlangsung dengan sendirinya, proses identifikasi
berlangsung dalam suatu keadaan dimana seseorang yang
beridentifikasi benar-benar mengenal pihak lain. Sehingga
pandangan, sikap maupun kaidah-kaidah yang berlaku pihak lain
dapat melembaga dan bahkan menjiwainya (Soekanto, 2010).

d. Faktor Simpati
Proses simpati merupakan proses dimana seseorang merasa tertarik
pada pihak lain. Perasaan memegang peran penting dalam proses ini,
walaupun dorongan utama proses ini adalah keinginan untuk
memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya. Proses
28

simpati akan dapat berkembang didalam suatu keadaan dimana faktor


saling mengerti terjamin (Soekanto, 2010).

7. Faktor-faktor yang Berpengaruh dalam Interaksi Sosial


Faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi tersebut, yaitu faktor yang
menentukan berhasil atau tidaknya interaksi tersebut (Santoso, 2004).
Faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi sosial sebagai berikut:
a. Situasi sosial
Situasi sosial adalah memberi bentuk tingkah laku terhadap individu
yang berada dalam situasi tersebut. Misalnya, apabila berinteraksi
dengan individu yang sedang dalam keadaan berduka, pola interaksi
yang dilakukan apabila dalam keadaan yang riang atau gembira, dalam
hal ini tampak pada tingkah laku individu yang harus dapat
menyesuaikan diri terhadap situasi yang dihadapi.
b. Kekuasaan norma kelompok
Kekuasaan norma kelompok sangat berpengaruh terhadap terjadinya
interaksi sosial antar individu. Misalnya, individu yang menaati
norma-norma yang ada dalam setiap berinteraksi individu tersebut tak
akan pernah berbuat suatu kekacauan, berbeda dengan individu yang
tidak menaati norma-norma yang berlaku, individu itu pasti akan
menimbulkan kekacauan dalam kehidupan sosialnya, dan kekuasaan
norma itu berlaku untuk semua individu dalam kehidupan sosialnya.
c. Tujuan pribadi masing-masing individu
Ada tujuan kepribadian yang dimiliki masing-masing individu
sehingga berpengaruh terhadap pelakunya. Misalnya, dalam setiap
interaksi individu pasti memiliki tujuan.
b. Interaksi sesuai dengan kedudukan dan kondisi setiap individu
Pada dasarnya status atau kedudukan yang dimiliki oleh setiap
individu adalah bersifat sementara, maka dalam hubungan itu terlihat
adanya jarak antara seorang yang tidak memiliki kedudukan yang
29

menghormati orang yang memiliki kedudukan dalam kelompok


sosialnya.
c. Penafsiran situasi
Penafsiran situasi dimana setiap situasi mengandung arti bagi setiap
individu sehingga mempengaruhi individu untuk melihat dan
menafsirkan situasi tersebut. Misalnya, apabila ada teman yang terlihat
murung atau suntuk, individu lain harus bisa membaca situasi yang
sedang dihadapainya, dan tidak seharusnya individu lain tersebut
terlihat bahagia dan cerita dihadapannya. Bagaimanapun individu
harus bisa menyesuaikan diri dengan keadaan dengan keadaan yang
sedang dihadapi dan berusaha untuk membantu menfsirkan situasi
yang tak diharapkan menjadi situasi yang diharapkan.

C. Konsep Diri
1. Pengertian
Konsep diri adalah semua ide, pikiran, keyakinan, dan kepercayaan yang
merupakan pengetahuan individu tentang dirinya dan mempengaruhi
hubungannya dengan orang lain (Stuart, 2006). Konsep diri adalah
pengetahuan individu tentang dirinya. Diri (Self) adalah hubungan kita
yang paling intim, dan salah satu aspek terpenting dalam pengalaman
hidup, namun paling sulit didefenisikan. Apa yang dipikirkan dan
dirasakan tentang diri masing-masing akan mempengaruhi perawatan yang
diberikan pada diri secara fisik dan emosional serta perawatan yang kita
berikan kepada orang lain. Orang dengan konsep diri yang rendah tidak
menghargai perawatan dan sering tidak akan mencari bantuan untuk
kesehatan fisik atau emosionalnya (Perry dan Potter, 2005).

Konsep diri seseorang tidak terbentuk dari lahir, tetapi dipelajari sebagai
hasil pengalaman unik seseorang dalam dirinya sendiri, dengan orang
terdekat, dan dengan realitas dunia. Konsep diri dipelajari melalui kontak
sosial dan pengalaman yang berhubungan dengan orang lain. Pandangan
30

individu tentang dirinya dipengaruhi oleh bagaimana individu mengartikan


pandangan orang lain tentang dirinya (Stuart, 2006). Konsep diri
merupakan semua perasaan dan pemikiran seseorang mengenai dirinya
sendiri. Hal ini meliputi kemampuan, karakter diri, sikap, tujuan hidup,
kebutuhan dan penampilan diri. Konsep diri merupakan hasil dari aktivitas
pengeksplorasian dan pengalamannya dengan tubuh sendiri. Konsep diri
berkembang terus mulai dari bayi hingga usia tua (Suliswati, dkk, 2005).

2. Rentang Respon Konsep Diri


Rentang respon konsep diri sepanjang rentang sehat-sakit berkisar dari
status kerancuan identitas serta depersonalisasi yang lebih maladaptif
(Gambar 2.1). Kerancuan identitas merupakan suatu kegagalan individu
untuk mengintegrasikan berbagai identifikasi masa kanak-kanak kedalam
kepribadian psikososial dewasa yang harmonis. Depersonalisasi ialah
suatu perasaan tidak realistis dan merasa asing pada diri sendiri. Hal ini
berhubungan dengan tingkat ansietas panik dan kegagalan dalam
pengujian realistis (Stuart, 2006).

Respon Adaptif Respon Maldaptif

Aktualisasi Diri Konsep Diri Harga Diri Kerancuan Dipersonalisasi


Positif Rendah Identitas

Gambar 2.1 Rentan respon konsep diri (Stuart, 2006)

Aktualisasi diri merupakan respon adaptif yang tertinggi karena individu


dapat mengekspresikan kemampuan yang dimilikinya. Konsep diri yang
positif adalah individu dapat mengidentifikasi kemampuan dan
kelemahannya secara jujur dan dalam menilai suatu masalah individu
berpikir secara positif dan realistik. Apabila individu, menggunakan
31

koping yang destruktif maka akan mengalami kecemasan dan stres,


sehingga menimbulkan rasa bermusuhan yang dilanjutkan dengan individu
menilai dirinya rendah, tidak berguna, tidak berdaya, tidak berarti, takut
dan mengakibatkan perasaan bersalah. Akhirnya stres meningkat dan
apabila berlangsung terus akan menimbulkan respon yang maladaptive
berupa harga diri rendah, kekacauan identitas dan depersonalisasi
(Suliswati, dkk, 2005).

Seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis,
penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga
terhadap kegagalan yang dialaminya. Kegagalan bukan dipandang sebagai
kematian, namun lebih menjadikannya sebagai penemuan dan pelajaran
berharga untuk melangkah ke depan. Orang dengan konsep diri yang
positif akan mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif
yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang.
Seseorang dikatakan mempunyai konsep diri negatif jika ia meyakini dan
memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-
apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan
kehilangan daya tarik terhadap hidup. Orang dengan konsep diri negatif
akan cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan
yang dihadapinya. Ia tidak melihat tantangan sebagai kesempatan, namun
lebih sebagai halangan. Orang dengan konsep diri negatif, akan mudah
menyerah sebelum berperang dan jika gagal, akan ada dua pihak yang
disalahkan, entah itu menyalahkan diri sendiri atau menyalahkan orang
lain (Sosiawan, 2009).

Konsep diri dapat digambarkan dalam istilah rentang dari kuat sampai
lemah atau dari positif sampai negatif, bergantung pada kekuatan individu
dari kelima komponen konsep dirinya. Komponen konsep diri meliputi
gambaran diri, ideal diri, harga diri, peran dan identitas diri saling
mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Masalah perubahan yang
32

terjadi dalam kesehatan fisik, spiritual, emosional, seksual, kekeluargaan,


dan sosiokultural dapat menyebabkan stres. Perubahan tersebut
menyebabkan stresor yang dapat memperkuat konsep diri seseorang
apabila ia mampu mengatasinya dengan sukses. Di sisi lain, stresor dapat
menyebabkan respons maladaptif seperti menarik diri, ansietas, atau
penyalah gunaan zat. Stresor adalah variabel yang dapat diidentifikasikan
sebagai penyebab timbulnya stres. Stresor menantang kapasitas adaptif
seseorang (Rasmun, 2004).

Konsep diri yang positif adalah individu dapat mengindentifikasi


kemampuan dan kelemahannya secara jujur dan dalam menilai suatu
masalah individu berpikir secara positif dan realistik. Apabila individu,
menggunakan koping yang destruktif maka akan mengalami kecemasan
dan stres, sehingga menimbulkan rasa bermusuhan yang dilanjutkan
dengan individu menilai dirinya rendah, tidak berguna, tidak berdaya,
tidak berarti, takut, lekas marah, mudah tersinggung, sulit konsentrasi,
gugup, dan mengakibatkan perasaan bersalah. Akhirnya stres meningkat
dan apabila berlangsung terus akan menimbulkan respon yang maladaptif
berupa harga diri rendah, kekacauan identitas dan depersonalisasi
(Suliswati, dkk, 2005).

Penyakit kusta sering dipercaya bahwa penularannya di sebabkan oleh


kontak antara orang yang terinfeksi dan orang yang sehat. Dengan
berbagai macam resiko mengalami kecacatan dan berbagai resiko
penularan yang tinggi pada penyakit kusta maka akan membuat para
penderita harus diisolasi untuk mendapatkan kesembuhan dan mencegah
penularan. Berada dalam kondisi pernah menjalani kehidupan normal
namun harus mengalami suatu penyakit yang besar kemungkinan
menimbulkan kecacatan dan dapat menular pada orang orang lain adalah
suatu keadaan yang sangat berat bagi penderita dan dapat menimbulkan
stress (Nugraha, 2009).
33

3. Stressor mempengaruhi Konsep Diri


Perubahan yang terjadi dalam kesehatan fisik , spiritual, emosional,
seksual, kekeluargaan, dan sosiokultural dapat menyebabkan stress.
Stressor konsep diri adalah segala perubahan nyata atau yang kerap
mengancam identitas, citra tubuh, harga diri, atau perilaku peran (Perry
dan Potter, 2005).

Setiap perubahan dalam kesehatan dapat menjadi stressor yang


mempengaruhi konsep diri. Perubahan fisik dalam tubuh menyebabkan
perubahan citra tubuh, dimana identitas dan harga diri juga dapat
dipengaruhi. Penyakit kronis sering mengganggu peran, yang dapat
mengganggu identitas dan harga diri seseorang (Perry dan Potter, 2005).
Perasaan yang mengganggu menimbulkan reaksi emosional yang biasanya
dialami penderita penyakit akut dan kronis adalah ansiatas, kemarahan,
berduka, hilang harapan, malu, rasa bersalah, keberanian, kebanggaan,
hilang harapan, cinta, depresi, tidak berdaya, iri, kesepian, dan kesetian
(Smeltzer dan Bare, 2002). Konsep diri dapat berubah akibat stressor yang
mempengaruhi identitas, citra tubuh, harga diri atau peran. Stressor ini
juga dapat mempengaruhi kesehatan. Jika individu tidak mampu
beradaptasi dengan stressor demikian, kesehatan mereka mungkin
berisiko. Jika kebingungan identitas, citra tubuh yang terganggu, harga diri
rendah, konflik, ketegangan, atau ambiguitas peran yang terjadi tidak
teratasi, maka dapat terjadi penyakit (Perry dan Potter, 2005).

4. Komponen Konsep Diri


a. Citra tubuh
Citra tubuh adalah kumpulan sikap individu yang disadari dan tidak
disadari terhadap tubuhnya. Termaksud persepsi serta perasaan masa
lalu dan sekarang tentang ukuran, fungsi, penampilan, dan potensi.
Citra tubuh dimodifikasi serta berkesinambungan dengan persepsi dan
34

pengalaman baru (Stuart, 2006). Menurut Mubarak & Chayatin, 2008


ada beberapa hal yang terkait dengan citra tubuh :
1) Fokus individu terhadap bentuk fisik dan ukuran tubuh
2) Citra tubuh memandang dirinya berdampak penting terhadap aspek
psikologis individu tersebut.
3) Gambaran yang realistis penerimaan diri akan memberi rasa aman
serta mencegah kecemasan dan meningkatkan harga diri.
4) Individu yang stabil, realistis, dan konsisten terhadap citra
tubuhnya dapat mencapai kesuksesan dalam hidup (Mubarak &
Chayatin, 2008).

Citra tubuh sangat dinamis karena secara konstan berubah seiring


dengan persepsi dan pengalaman-pengalaman baru. Citra tubuh
dipengaruhi oleh pandangan pribadi tentang karakteristik dan
kemampuan fisik dan persepsi dari pandangan orang lain (Perry dan
Potter, 2005). Perubahan dalam penampilan, struktur, atau fungsi
bagian tubuh akan membutuhkan perubahan dalam citra tubuh.
Perubahan dalam penampilan tubuh, seperti amputasi atau perubahan
penampilan wajah, adalah stressor yang sangat jelas mempengaruhi
citra tubuh. Mereka sering merasa ditolak dan terasing. Perasaan tidak
berdaya juga perasaan yang umum. Perasaan isolasi sosial ini sering
didasarkan pada realitas:orang takut merasa malu atau individu yang
merasa bersalah mengalami perubahan dan demikian menghindari
kontak dengan mereka (Perry dan Potter, 2005).

Ancaman terhadap citra tubuh dan juga harga diri, sering disertai
perasaan malu, ketidakadekuatan dan rasa bersalah. Ansietas,
perubahan mendadak, dan kasihan adalah respon umum terhadap
penampilan dan fungsi tubuh yang abnormal. (Smeltzer dan Bare,
2002).
35

Menurut Suliswati, dkk. (2005) tanda dan gejala gangguan citra tubuh :
1) Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah
2) Tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi/akan terjadi
3) Menolak penjelasan perubahan tubuh.
4) Persepsi negatif pada tubuhyang
5) Preokupasi terhadap tubuh yang hilang
6) Mengungkapkan keputusasaan
7) Mengungkapkan ketakutan

b. Ideal diri
Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana dia harus
bertingkah laku berdasarkan standar, aspirasi, tujuan, atau nilai
personal tertentu (Stuart, 2006). Ideal diri bisa bersifat realistis, bisa
juga tidak. Sifat ideal seseorang mendekati persepsinya tentang diri
sendiri, orang tersebut cenderung tidak ingin berubah dari kondisinya
saat ini. Sebaliknya, jika ideal diri terlalu tinggi justru dapat
menyebabkan harga diri rendah. Standar dapat berhubungan dengan
tipe orang yang dinginkan/disukainya atau sejumlah aspirasi, tujuan,
nilai yang ingin diraih. Ideal diri akan mewujudkan cita-cita atau
penghargaan diri berdasarkan norma-norma sosial di masyarakat
tempat individu tersebut melahirkan penyesuaian diri (Suliswati, dkk.
2005).

Harapan adalah campuran perasaan dan fikiran yang berpusat pada


kepercayaan dasar bahwa ada solusi terhadap kebutuhan dan masalah
manusia yang signifikan. Hilangnya harapan menyebabkan menyerah,
akibatnya terjadi ketidak seimbangan fisik dan emosi dan bahkan
kematian bila orang itu sama sekali menyerah untuk hidup (Smeltzer
dan Bare, 2002).
36

Menurut Suliswati, dkk, 2005, Tanda dan gejala ganguan ideal diri
yang dapat di kaji :
1) Mengungkapkan keputusasaan akibat penyakitnya.
2) Mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi, ideal diri yang tidak
realistis.

c. Harga diri
Harga diri adalah penilaian terhadap hasil yang dicapai dengan analisis,
sejauh mana perilaku memenuhi ideal diri. Jika individu selalu sukses
maka cenderung harga dirinya akan tinggi dan jika mengalami gagal
cenderung harga diri menjadi redah. Harga diri diperoleh dari diri sendiri
dan orang lain (Wartonah Tarwoto, 2006).

Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh
dengan menganalisis seberapa baik perilaku seseorang sesuai dengan ideal
dirinya. Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar pada
penerimaan diri sendiri tanpa syarat. Harga diri dapat menjadi rendah saat
seseorang kehilangan kasih sayang atau cinta kasih dari orang lain,
kehilangan penghargaan dari orang lain, atau saat menjalani hubungan
interpersonal yang buruk (Mubarak dan Chayatin, 2008).

Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain yang dicintai,
dihormati dan dihargai. Individu akan merasa harga dirinya tinggi bila
sering mengalami keberhasilan, sebaliknya individu merasa harga dirinya
rendah bila sering mengalami kegagalan, tidak dicintai atau tidak diterima
di lingkungannya (Suliswati, dkk, 2005). Pada usia dewasa harga diri
menjadi stabil dan memberikan gambaran yang jelas tentang dirinya dan
cenderung lebih mampu menerima keberadaan dirinya. Hal ini didapatkan
dari pengalaman menghadapi kekurangan diri dan meningkatkan
kemampuan secara maksimal kelebihan dirinya. Tetapi pada masa dewasa
akhir timbul masalah harga diri karena adanya tantangan baru sehubungan
37

dengan ketidakmampuan fisik, pensiun, berpisah dari anak, kehilangan


pasangan (Suliswati, dkk, 2005). Penyakit, pembedahan, atau kecelakaan
yang mengubah pola hidup dapat juga menurunkan perasaan nilai diri
(Perry dan Potter, 2005).

Menurut Suliswati, dkk, (2005) tanda dan gejala ganguan harga diri yang
dapat dikaji :
1) Perasaan negatif terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan
terhadap penyakit.
2) Rasa bersalah terhadap diri sendiri.
3) Merendahkan martabat dengan mengatakan dia tidak mempunyai
kemampuan.
4) Gangguan sosial seperti menarik diri, klien tidak mau bertemu dengan
orang lain.
5) Percaya diri kurang, klien sukar mengambil keputusan.
6) Mencederai diri, akibat harga diri yang rendah disertai harapan yang
suram.

d. Peran diri
Peran diri adalah pola sikap perilaku nilai yang diharapkan dari seseorang
berdasarkan posisisny di masyarakat (Wartonah Tarwoto, 2006)
Peran adalah serangkaian harapan tentang bagaimana seseorang
bersikap/berperilaku sesuai dengan posisinya. Sedangkan penampilan
peran adalah serangkaian pola perilaku yang diharapkan oleh lingkungan
sosial, yang terkait dengan fungsi individu diberbagai kelompok sosial.
Konflik peran muncul ketika peran yang dijalani berlawanan atau tidak
sesuai harapan, dan ketegangan peran muncul saat seseorang merasa, atau
dibuat merasa tidak adekuat atau tidak sesuai untuk menjalani suatu peran
(Mubarak dan Chayatin, 2008).
38

Peran mencakup harapan atau standar perilaku yang telah diterima oleh
keluarga, komunitas dan kultur. Perilaku didasarkan pada pola yang
diterapkan melalui sosialisasi. Sosialisasi dimulai tepat setelah lahir, ketika
bayi berespon terhadap orang dewasa dan orang dewasa berespon terhadap
perilaku bayi. Polanya stabil dan hanya sedikit berubah selama dewasa
(Perry dan Potter, 2005).

Peran membentuk pola perilaku yang diterima secara sosial yang berkaitan
dengan fungsi seorang individu dalam berbagai kelompok sosial (Stuart,
2006). Sepanjang hidup orang menjalani berbagai perubahan peran.
Perubahan normal yang berkaitan dengan pertumbuhan dan maturasi
mengakibatkan transisi perkembangan. Transisi situasi terjadi ketika orang
tua, pasangan hidup, atau teman dekat meninggal atau orang pindah
rumah, menikah, bercerai, atau ganti pekerjaan. Transisi sehat-sakit adalah
gerakan dari keadaan sehat atau sejahtera kearah sakit atau sebaliknya.
Masing-masing transisi ini dapat mengancam konsep diri, yang
mengakibatkan konflik peran, ambiguitas peran, atau ketegangan peran
(Perry dan Potter, 2005).

Peran memberikan sarana untuk berperan serta dalam kehidupan sosial dan
merupakan cara untuk menguji identitas dengan memvalidasi pada orang
yang berarti. Setiap orang disibukkan oleh beberapa peran yang
berhubungan dengan posisi tiap waktu sepanjang daur kehidupan
(Suliswati, dkk, 2005).
Menurut Suliswati, dkk, (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi
penyesuaian diri individu terhadap peran :
1) Kejelasan perilaku dan pengetahuan sesuai dengan peran.
2) Tanggapan yang konsisten dari orang-orang yang berarti terhadap
perannya.
3) Kecocokan dan keseimbangan antar peran yang diembannya.
4) Keselarasan norma budaya dan harapan individu terhadap perilaku
39

5) Pemisahan situasi yang akan menciptakan penampilan peran yang


tidak sesuai.
Hal-hal yang perlu diperhatikan terkait penampilan peran antara lain
(Mubarak dan Chayatin, 2008) :
1) Peran yang dibutuhkan individu sebagai aktualisasi diri.
2) Peran yang memenuhi kebutuhan dan sesuai dengan ideal diri akan
menciptakan harga diri yang tinggi, demikian pula sebaliknya.
3) Posisi individu di masyarakat dapat menjadi stressor bagi peran.
4) Stres peran timbul karena struktur sosial yang menyebabkan kesukaran
atau karena tuntutan posisi yang tidak mungkin dilaksanakan.
5) Stres peran terdiri atas konflik peran, ketidakjelasan peran, ketidak
sesuain peran dan peran berlebihan.
Menurut Suliswati, dkk, (2005) tanda dan gejala ganguan peran diri yang
dapat di kaji:
1) Mengingkari ketidakmampuan menjalankan peran
2) Ketidak puasan peran
3) Kegagalan menjalankan peran yang baru
4) Ketegangan menjalankan peran yang baru
5) Kurang tanggung jawab
6) Apatis/bosan/jenuh dan putus asa.

e. Identitas diri
Identitas diri adalah kesadaran akan dirinya sendiri yang bersumber dari
observasi dan penilaian yang merupakan sintesis dari semua aspek konsep
diri sebagai satu kesatuan yang utuh (Wartonah Tarwoto, 2006). Identitas
diri adalah kesadaran tentang diri sendiri yang dapat diperoleh individu
dari observasi dan penilaian terhadap dirinya, menyadari individu bahwa
dirinya berbeda dengan orang lain. Identitas diri merupakan sintesis dari
semua aspek konsep diri sebagai suatu kesatuan yang utuh, tidak
dipengaruhi oleh pencapaian tujuan, atribut/jabatan dan peran. Identitas
personal adalah pengorganisasian prinsip dari kepribadian yang
40

bertanggung jawab atas kesatuan, kesinambungan, konsistensi dan


keunikan individu. Identitas personal dipandang dari konteks yang nama,
jenis kelamin, usia, ras, etnis dan budaya, pekerjaan atau peran, bakat,
keyakinan dan nilai serta karakter (Mubarak dan Chayati, 2008). Ada
enam ciri ego menurut Mubarak dan Chayatin (2008) antara lain :
1) Mengenal diri sendiri sebagai organisme yang utuh dan terpisah dari
orang lain.
2) Mengakui jenis kelamin sendiri.
3) Memandang berbagai aspek dalam dirinya sebagai suatu keselarasan.
4) Menilai diri sendiri sesuai penilaian masyarakat.
5) Menyadari hubungan masa lalu, sekarang, dan yang akan datang.
6) Mempunyai tujuan bernilai yang dapat direalisasikan.

Menurut Suliswati, dkk, (2005) tanda dan gejala gangguan idenitas diri
yang dapat dikaji antara lain:
1) Tidak ada percaya diri.
2) Sukar mengambil keputusan
3) Ketergantungan.
4) Masalah dalam hubungan interpersonal.
5) Ragu/tidak yakin terhadap keinginan
6) Menyalahkan orang lain

D. Hubungan Konsep Diri Dengan Interaksi Sosial


Hubungan konsep diri dengan interaksi sosial menurut Wima Bin Ary, dkk.
(2009), dalam penelitianya menyatakan bahwa penilaian yang negatif terhadap
diri sendiri akan mengarah pada penolakan diri, sehingga individu akan
cenderung mengembangkan perasaan tidak mampu, rendah diri, dan kurang
percaya diri. Individu merasa tidak percaya diri ketika harus berpartisipasi
dalam suatu aktivitas sosial dan memulai hubungan baru dengan orang lain.
Penolakan diri juga dapat memicu munculnya sikap agresif dan perilaku
41

negatif, sehingga individu menjadi tertutup dan kurang tertarik untuk


menjalin hubungan sosial dengan orang lain, (Wima B.A, 2011).

Rahmania P.N (2012) dalam penelitiannya yang berjudul ”hubungan antara


self-esteem dengan kecenderungan body dysmorphic disorder pada remaja
putri”, mendapatkan hasil (p-value) sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05 (p <
0,05) dengan nilai r = -0,405. Yang menunjukan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara self-esteem dengan kecenderungan body dysmorpihc
disorder pada remaja putri. Ternyata self-esteem atau harga diri dipengaruhi
oleh rasa tidak puas karena keadaan tubuh dan penampilan fisik yang tidak
sesuai harapan. Hal ini menjadikan seseorang merasa tidak percaya diri
kemudian menarik diri dari orang lain (Rahmania P.N, 2012).

Akram (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “self concept and social
adjustment among physically handicapped persons”, Menemukan bahwa
konsep diri dan penyesuaian sosial menunjukkan arah hubungan yang positif
dengan (p-value) sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05 (p < 0,05) dan r = 0.76
ternyata penyesuaian sosial itu dipengaruhi oleh konsep diri, (Akram, 2010).
Hartiyani (2011) dalam penelitiannya tentang hubungan konsep diri dan
kepercayaan diri dengan interaksi sosial remaja Panti Asuhan Nur Hidayah,
dengan hasil p-value 0,022 < 0,05 dengan r = 0,432. Juga mengatakan bahwa
ternyata ada hubungan yang signifikan antara konsep diri dan kepercayaan diri
dengan interaksi social (Hartiyani 2011).
42

E. Kerangka Teori

Kusta,
Kecacatan

Konsep Diri Interaksi Sosial


1. Kerjasama
2. Persaingan
3. Pertentangan
1. Citra tubuh 2. Ideal diri 3. Harga diri 4. Persesuaian
5. Perpaduan
1) Menolak melihat 1) Mengungkapkan 1) Perasaan negatif
dan menyentuh keputusasaan akibat terhadap diri sendiri
bagian tubuh yang penyakitnya. akibat penyakit dan
berubah 2) Mengungkapkan tindakan terhadap
2) Tidak menerima keinginan yang penyakit.
perubahan tubuh terlalu tinggi, ideal 2) Rasa bersalah
yang telah diri yang tidak terhadap diri
terjadi/akan terjadi realistis. sendiri.
3) Menolak 3) Merendahkan
penjelasan martabat dengan
4. Peran diri mengatakan dia
perubahan tubuh.
4) Persepsi negatif tidak mempunyai
1) Mengingkari
pada tubuhyang kemampuan.
ketidakmampuan
5) Preokupasi 4) Gangguan sosial
menjalankan peran
terhadap tubuh seperti menarik diri,
2) Ketidak puasan
yang hilang klien tidak mau
peran
6) Mengungkapkan bertemu dengan
3) Kegagalan
keputusasaan orang lain.
menjalankan peran
7) Mengungkapkan 5) Percaya diri kurang,
yang baru
ketakutan klien sukar
4) Ketegangan
mengambil
menjalankan peran
keputusan.
5. Identitas diri yang baru
6) Mencederai diri,
5) Kurang tanggung
akibat harga diri
1) Tidak ada percaya jawab
yang rendah disertai
diri. 6) Apatis/bosan/jenuh
harapan yang
2) Sukar mengambil dan putus asa.
suram.
keputusan
3) Ketergantungan.
4) Masalah dalam
hubungan
interpersonal.
5) Ragu/tidak yakin
terhadap terhadap
keinginan
= Mempengaruhi
6) Menyalahkan orang = Faktor-faktor
lain
= Variabel
Gambar 2.2 Kerangka Teori (Stuart, 2006, Suliswati, dkk, 2005 dan Soekanto, 2010)
43

F. Kerangka Konsep
Berdasarkan masalah penelitian dan uraian-uraian mengenai konsep diri kusta
dengan interaksi sosial penederita kusta, maka dapat digambarkan suatu
kerangka konsep penelitian sebagai berikut :
Variabel independent Variabel dependent

Citra tubuh

Ideal Diri
Interaksi Sosial
Harga Diri

Peran Diri

Identitas Diri

= Mempengaruhi
= Variabel
Gambar 2.3 Kerangka Konsep

G. Variabel Penelitian
Variabel penelitian ini adalah konsep diri sebagai variabel bebas (independent
variable) dan inteaksi sosial sebagai variabel terikat (dependent variable).

H. Hipotesa
1. Ada hubungan antara citra tubuh dengan interaksi sosial pada penderita
kusta.
2. Ada hubungan antara ideal diri dengan interaksi sosial pada penderita
kusta.
3. Ada hubungan antara harga diri dengan interaksi sosial pada penderita
kusta.
4. Ada hubungan antara peran diri dengan interaksi sosial pada penderita
kusta.
5. Ada hubungan antara identitas diri dengan interaksi sosial pada penderita
kusta.

Anda mungkin juga menyukai