BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENYAKIT KUSTA
1. Pengertian Kusta
Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni Kustha berarti kumpulan
gejala gejala kulit secara umum. Kusta adalah penyakit kronik yang
pertama kali menyerang susunan saraf perifer, selanjutnya dapat
menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernapasan bagian atas,
kemudian dapat keorgan lain kecuali susunan saraf pusat (Kosasih, 2007).
2. Etiologi
Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae, yang ditemukan oleh
warganegara Norwegia, G.A Armauer Hansen pada tahun 1873 dan
sampai sekarang belum dapat dibiakkan dalam media buatan. Kuman
Mycobacterium leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um X 0,5 Um,
tahan asam dan alkohol serta bersifat Gram positif. Mycobacterium leprae
hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf
(Schwan cell) dan sistem retikulo endotelial. (Kosasih, 2007).
4. Patogenesis
Setelah Mycobacterium leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan
penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang, respon tubuh
setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas
seluler (celuler mediated immune) pasien, kalau sistem imunitas seluler
tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkoloid dan bila rendah
berkembang kearah leprometosa. Mycobacterium leprae berpredileksi
didaerah-daerah yang relatif lebih dingin yaitu daerah akral dengan
vaskularisasi yang sedikit. Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan
derajat infeksi karena respons imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis
lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler daripada intensitas infeksi.
Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut penyakit imunologik
(Kosasih, 2007).
5. Diagnosis Kusta
Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada gambaran klinis, bakteriologis
dan histopatologis. Dari ketiga diagnosis klinis merupakan yang terpenting
dan paling sederhana (Kosasih, 2007). Sebelum diagnosis klinis
ditegakkan, harus dilakukan anamnesa, pemeriksaan klinik (pemeriksaan
kulit, pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya). Untuk menetapkan diagnosis
klinis penyakit kusta harus ada minimal satu tanda utama atau cardinal
sign. Tanda utama tersebut yaitu :
11
6. Klasifikasi Kusta
Untuk menentukan klasifikasi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
seperti manifestasi klinis yang berhubungan dengan morfologi manifestasi
klinis, neorologis, pemeriksaan bakteriologis dari apusan lesi kulit, reaksi
imonologis, dan gambaran histopatologi.
a. Klasifikasi yang dipakai pada penelitian terbanyak adalah klasifikasi
Ridley dan Jopling. Klasifikasi ini berdasarkan gambaran klinis,
bakteriologis, histology dan mempunyai korelasi dengan tingkat
imonologi, yaitu membagi penyakit kusta dalam 5 tipe :
1) Tipe Tuberkuloid (TT)
TT Adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%,
merupakan tipe yang stabil tidak mungkin berubah tipe.
12
dan rasa suhu, maka penderita gagal menghindar dari trauma terutama
pada tangan dan kaki (Amiruddin, 2001).
B. Interaksi Sosial
1. Pengertian
proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal balik antara pelbagai segi
kehidupan bersama (Soekanto, 2010). Interaksi sosial adalah hubungan
antara individu dengan individu yang lain, individu satu dapat
mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya, jadi terdapat hubungan
yang saling timbal balik (Walgito, 2003).
a. Kontak Sosial
Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk (Soekanto, 2010)
yaitu sebagai berikut :
1) Antara orang perorangan
Kontak sosial ini adalah apabila anak kecil mempelajari kebiasaan-
kebiasaan dalam keluarganya. Proses demikian terjadi melalui
komunikasi, yaitu suatu proses dimana anggota masyarakat yang
baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat di mana
dia menjadi anggota.
2) Antara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia atau
sebaliknya
Kontak sosial ini misalnya adalah apabila seseorang merasakna
bahwa tindakan-tindakannya berlawanan dengan norma-norma
masyarakat.
16
Kontak sosial memiliki beberapa sifat, yaitu kontal sosial positif dan
kontak sosial negatif. Kontak sosial positif adalah kontak sosial yang
mengarah pada suatu kerja sama, sedangkan kontak sosial negatif
mengarah kepada suatu pertentangan atau bahkan sama sekali tidak
menghasilkan kontak sosial. Selain itu kontak sosial juga memiliki
sifat primer atau sekunder. Kontak primer terjadi apabila yang
mengadakan hubungan langsung bertemu dan berhadapan muka,
sebaliknya kontak yang sekunder memerlukan suatu perantara
(Soekanto, 2010).
b. Komunikasi
Komunikasi adalah bahwa seseorang yang memberi tafsiran kepada
orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau
sikap), perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang
tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberi reaksi terhadap
perasaan yang ingin disampaikan. Dalam komunikasi kemungkinan
sekali terjadi berbagai macam penafsiran terhadap tingkah laku orang
lain. Seulas senyum misalnya, dapat ditafsirkan sebagai keramah
tamahan, sikap bersahabat atau bahkan sebagai sikap sinis dan sikap
ingin menunjukan kemenangan. Dengan demikian komunikasi
memungkinkan kerja sama antar perorangan dan atau antar kelompok.
Tetapi disamping itu juga komunikasi bisa menghasilkan pertikaian
yang terjadi (Soekanto, 2010).
17
2) Akomodasi (Accomodation)
a) Pengertian
Akomodasi menurut (Soekanto, 2010) merupakan suatu cara
untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan
pihak lawan, sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya.
Tujuan akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi
yang dihadapinya, yaitu:
i) Untuk mengurangi pertentangan antara orang perorangan
atau kelompok-kelompok manusia sebagai akibat
perbedaan paham. Akomodasi disini bertujuan untuk
menghasilkan suatu sintesa antara kedua pendapat
tersebut, agar menghasilkan suatu pola yang baru.
ii) Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk
sementara waktu.
iii) Untuk memungkinkan terjadinya kerja sama antara
kelompok-kelompok sosial yang hidupnya terpisah
sebagai akibat faktor-faktor sosial psikologis dan
kebudayaan, seperti yang dijumpai pada masyarakat yang
mengenal system kasta.
iv) Mengusahakan peleburan antara kelompok-kelompok
sosial yang terpisah.
19
b) Bentuk-bentuk akomodasi
Menurut (Soekanto, 2010) akomodasi terbagi dalam delapan
betuk yaitu:
i) Coercion, adalah suatu bentuk akomodasi yang prosesnya
dilaksanakan oleh karena adanya paksaan. Coercion
merupakan bentuk akomodasi, dimana salah satu pihak
berada dalam keadaan yang lemah bila dibandingkan
dengan pihak lawan. Pelaksanaannya dapat dilakukan
secara fisik (langsung), maupun psikologis (tidak
langsung).
ii) Compromise, adalah suatu bentuk akomodasi dimana
pihak-pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya,
agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan
yang ada. Sikap dasar untuk dapat melaksanakan
compromise adalah bahwa salah satu pihak bersedia
untuk merasakan dan memahami keadaan pihak lainnya
dan begitu pula sebaliknya.
iii) Arbitration, merupakan suatu cara untuk mencapai
compromise apabila pihak-pihak yang berhadapan tidak
sanggup mencapainya sendiri. Pertentangan diselesaikan
oleh pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah pihak
atau oleh suatu badan yang berkedudukan lebih tinggi
dari pihak-pihak bertentangan.
iv) Mediation hampir menyerupai arbitration. Pada
mediation diundanglah pihak ketiga yang netral dalam
soal perselisihan yang ada. Tugas pihak ketiga tersebut
adalah mengusahakan suatu penyelesaian secara damai.
Kedudukan pihak ketiga hanyalah sebagai penasihat
belaka, dia tidak berwenang untuk memberi keputusan-
keputusan penyelesaian perselisihan tersebut.
20
3) Asimilasi (Assimilation)
Asimilasi menurut (Soekanto, 2010) merupakan proses sosial
dalam taraf lanjut. Proses asimilasi ditandai dengan pengembangan
sikap-sikap yang sama, walau kadangkala bersifat emosional,
dengan tujuan untuk mencapai kesatuan, atau paling sedikit
mencapai integrasi dalam organisasi, pikiran, dan tindakan. Proses
asimilasi timbul bila ada:
21
b. Proses Disosiatif
Proses disosiatif sering disebut sebagai oppositional processes, persis
halnya dengan kerja sama, dapat ditemukan pada setiap masyarakat,
walaupun bentuk dan arahnya ditentukan oleh kebudayaan dan sistem
sosial masyarakat bersangkutan. Oposisi dapat diartikan sebagai cara
berjuang melawan seseorang atau sekelompok manusia, untuk
mencapai tujuan tertentu. Terbatasnya makanan, tempat tinggal serta
lain-lain faktor telah melahirkan beberapa bentuk kerja sama dan
oposisi. Pola-pola oposisi tersebut dinamakan juga sebagai
perjuangan untuk tetap hidup (struggle for existence). Perlu dijelaskan
bahwa pengertian struggle for existence juga dipakai untuk menunjuk
kepada suatu keadaan di mana manusia yang satu tergantung pada
kehidupan manusia yang lainnya, keadaan mana menimbulkan kerja
sama untuk dapat tetap hidup. Perjuangan ini mengarah pada paling
sedikit tiga hal yaitu perjuangan manusia melawan sesama,
perjuangan manusia melawan makhluk-makhluk jenis lain serta
perjuangan manusia melawan alam (Soekanto, 2010).
2) Kontravensi (contravention)
Kontravensi pada hakikatnya merupakan suatu bentuk proses
sosial yang berada antara persaingan dan pertentangan atau
pertikaian.
a) Bentuk-bentuk kontravensi :
i) Perbuatan penolakan, perlawanan, dan lain-lain.
ii) Menyangkal perbuatan orang lain dimuka umum.
iii) Melakukan penghasutan.
iv) Berkhianat.
v) Mengejutkan lawan, dan lain-lain.
b) Tipe-tipe Kontravensi
Menurut Soekanto, 2010 ada beberapa tipe kontravensi yang
terletak di antara kontravensi dan pertentangan atau pertikaian,
yang dimasukkan ke dalam kategori kontravensi, yaitu :
i) Kontravensi antar masyarakat
ii) Antagonism keagamaan
iii) Kontravensi intelektual
iv) Oposisis moral
Kontravensi, apabila dibandingkan dengan persaingan dan
pertentangan bersifat agak tertutup atau rahasia.
b. Faktor Sugesti
Faktor sugesti prosesnya hampir sama dengan imitasi yaitu
berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau sesuatu
sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak
lain. Sugesti dapat terjadi karena pihak yang menerima dilanda oleh
emosi, yang menghambat daya berpikirnya secara rasional. Proses
sugesti mungkinterjadi apabila yang memberikan pandangan adalah
orang yang berwibawa atau mungkin karena sifatnya yang otoriter,
mungkin pula bahwa sugesti terjadi oleh sebab yang memberikan
pandangan atau sikap merupakan bagian terbesar dari kelompok yang
bersangkutan, atau masyarakat (Soekanto, 2010).
c. Fakor Identifikasi
Identifikasi merupakan kecenderungan-kecenderungan atau
keinginan-keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan
pihak lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam daripada imitasi,
karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini.
Proses identifikasi dapat berlangsung dengan sendirinya (secara tidak
sadar), maupun dengan disengaja karena sering kali seseorang
memerlukan tipe-tipe ideal tertentu didalam proses kehidupannya.
Walaupun dapat berlangsung dengan sendirinya, proses identifikasi
berlangsung dalam suatu keadaan dimana seseorang yang
beridentifikasi benar-benar mengenal pihak lain. Sehingga
pandangan, sikap maupun kaidah-kaidah yang berlaku pihak lain
dapat melembaga dan bahkan menjiwainya (Soekanto, 2010).
d. Faktor Simpati
Proses simpati merupakan proses dimana seseorang merasa tertarik
pada pihak lain. Perasaan memegang peran penting dalam proses ini,
walaupun dorongan utama proses ini adalah keinginan untuk
memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya. Proses
28
C. Konsep Diri
1. Pengertian
Konsep diri adalah semua ide, pikiran, keyakinan, dan kepercayaan yang
merupakan pengetahuan individu tentang dirinya dan mempengaruhi
hubungannya dengan orang lain (Stuart, 2006). Konsep diri adalah
pengetahuan individu tentang dirinya. Diri (Self) adalah hubungan kita
yang paling intim, dan salah satu aspek terpenting dalam pengalaman
hidup, namun paling sulit didefenisikan. Apa yang dipikirkan dan
dirasakan tentang diri masing-masing akan mempengaruhi perawatan yang
diberikan pada diri secara fisik dan emosional serta perawatan yang kita
berikan kepada orang lain. Orang dengan konsep diri yang rendah tidak
menghargai perawatan dan sering tidak akan mencari bantuan untuk
kesehatan fisik atau emosionalnya (Perry dan Potter, 2005).
Konsep diri seseorang tidak terbentuk dari lahir, tetapi dipelajari sebagai
hasil pengalaman unik seseorang dalam dirinya sendiri, dengan orang
terdekat, dan dengan realitas dunia. Konsep diri dipelajari melalui kontak
sosial dan pengalaman yang berhubungan dengan orang lain. Pandangan
30
Seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis,
penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga
terhadap kegagalan yang dialaminya. Kegagalan bukan dipandang sebagai
kematian, namun lebih menjadikannya sebagai penemuan dan pelajaran
berharga untuk melangkah ke depan. Orang dengan konsep diri yang
positif akan mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif
yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang.
Seseorang dikatakan mempunyai konsep diri negatif jika ia meyakini dan
memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-
apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan
kehilangan daya tarik terhadap hidup. Orang dengan konsep diri negatif
akan cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan
yang dihadapinya. Ia tidak melihat tantangan sebagai kesempatan, namun
lebih sebagai halangan. Orang dengan konsep diri negatif, akan mudah
menyerah sebelum berperang dan jika gagal, akan ada dua pihak yang
disalahkan, entah itu menyalahkan diri sendiri atau menyalahkan orang
lain (Sosiawan, 2009).
Konsep diri dapat digambarkan dalam istilah rentang dari kuat sampai
lemah atau dari positif sampai negatif, bergantung pada kekuatan individu
dari kelima komponen konsep dirinya. Komponen konsep diri meliputi
gambaran diri, ideal diri, harga diri, peran dan identitas diri saling
mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Masalah perubahan yang
32
Ancaman terhadap citra tubuh dan juga harga diri, sering disertai
perasaan malu, ketidakadekuatan dan rasa bersalah. Ansietas,
perubahan mendadak, dan kasihan adalah respon umum terhadap
penampilan dan fungsi tubuh yang abnormal. (Smeltzer dan Bare,
2002).
35
Menurut Suliswati, dkk. (2005) tanda dan gejala gangguan citra tubuh :
1) Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah
2) Tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi/akan terjadi
3) Menolak penjelasan perubahan tubuh.
4) Persepsi negatif pada tubuhyang
5) Preokupasi terhadap tubuh yang hilang
6) Mengungkapkan keputusasaan
7) Mengungkapkan ketakutan
b. Ideal diri
Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana dia harus
bertingkah laku berdasarkan standar, aspirasi, tujuan, atau nilai
personal tertentu (Stuart, 2006). Ideal diri bisa bersifat realistis, bisa
juga tidak. Sifat ideal seseorang mendekati persepsinya tentang diri
sendiri, orang tersebut cenderung tidak ingin berubah dari kondisinya
saat ini. Sebaliknya, jika ideal diri terlalu tinggi justru dapat
menyebabkan harga diri rendah. Standar dapat berhubungan dengan
tipe orang yang dinginkan/disukainya atau sejumlah aspirasi, tujuan,
nilai yang ingin diraih. Ideal diri akan mewujudkan cita-cita atau
penghargaan diri berdasarkan norma-norma sosial di masyarakat
tempat individu tersebut melahirkan penyesuaian diri (Suliswati, dkk.
2005).
Menurut Suliswati, dkk, 2005, Tanda dan gejala ganguan ideal diri
yang dapat di kaji :
1) Mengungkapkan keputusasaan akibat penyakitnya.
2) Mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi, ideal diri yang tidak
realistis.
c. Harga diri
Harga diri adalah penilaian terhadap hasil yang dicapai dengan analisis,
sejauh mana perilaku memenuhi ideal diri. Jika individu selalu sukses
maka cenderung harga dirinya akan tinggi dan jika mengalami gagal
cenderung harga diri menjadi redah. Harga diri diperoleh dari diri sendiri
dan orang lain (Wartonah Tarwoto, 2006).
Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh
dengan menganalisis seberapa baik perilaku seseorang sesuai dengan ideal
dirinya. Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar pada
penerimaan diri sendiri tanpa syarat. Harga diri dapat menjadi rendah saat
seseorang kehilangan kasih sayang atau cinta kasih dari orang lain,
kehilangan penghargaan dari orang lain, atau saat menjalani hubungan
interpersonal yang buruk (Mubarak dan Chayatin, 2008).
Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain yang dicintai,
dihormati dan dihargai. Individu akan merasa harga dirinya tinggi bila
sering mengalami keberhasilan, sebaliknya individu merasa harga dirinya
rendah bila sering mengalami kegagalan, tidak dicintai atau tidak diterima
di lingkungannya (Suliswati, dkk, 2005). Pada usia dewasa harga diri
menjadi stabil dan memberikan gambaran yang jelas tentang dirinya dan
cenderung lebih mampu menerima keberadaan dirinya. Hal ini didapatkan
dari pengalaman menghadapi kekurangan diri dan meningkatkan
kemampuan secara maksimal kelebihan dirinya. Tetapi pada masa dewasa
akhir timbul masalah harga diri karena adanya tantangan baru sehubungan
37
Menurut Suliswati, dkk, (2005) tanda dan gejala ganguan harga diri yang
dapat dikaji :
1) Perasaan negatif terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan
terhadap penyakit.
2) Rasa bersalah terhadap diri sendiri.
3) Merendahkan martabat dengan mengatakan dia tidak mempunyai
kemampuan.
4) Gangguan sosial seperti menarik diri, klien tidak mau bertemu dengan
orang lain.
5) Percaya diri kurang, klien sukar mengambil keputusan.
6) Mencederai diri, akibat harga diri yang rendah disertai harapan yang
suram.
d. Peran diri
Peran diri adalah pola sikap perilaku nilai yang diharapkan dari seseorang
berdasarkan posisisny di masyarakat (Wartonah Tarwoto, 2006)
Peran adalah serangkaian harapan tentang bagaimana seseorang
bersikap/berperilaku sesuai dengan posisinya. Sedangkan penampilan
peran adalah serangkaian pola perilaku yang diharapkan oleh lingkungan
sosial, yang terkait dengan fungsi individu diberbagai kelompok sosial.
Konflik peran muncul ketika peran yang dijalani berlawanan atau tidak
sesuai harapan, dan ketegangan peran muncul saat seseorang merasa, atau
dibuat merasa tidak adekuat atau tidak sesuai untuk menjalani suatu peran
(Mubarak dan Chayatin, 2008).
38
Peran mencakup harapan atau standar perilaku yang telah diterima oleh
keluarga, komunitas dan kultur. Perilaku didasarkan pada pola yang
diterapkan melalui sosialisasi. Sosialisasi dimulai tepat setelah lahir, ketika
bayi berespon terhadap orang dewasa dan orang dewasa berespon terhadap
perilaku bayi. Polanya stabil dan hanya sedikit berubah selama dewasa
(Perry dan Potter, 2005).
Peran membentuk pola perilaku yang diterima secara sosial yang berkaitan
dengan fungsi seorang individu dalam berbagai kelompok sosial (Stuart,
2006). Sepanjang hidup orang menjalani berbagai perubahan peran.
Perubahan normal yang berkaitan dengan pertumbuhan dan maturasi
mengakibatkan transisi perkembangan. Transisi situasi terjadi ketika orang
tua, pasangan hidup, atau teman dekat meninggal atau orang pindah
rumah, menikah, bercerai, atau ganti pekerjaan. Transisi sehat-sakit adalah
gerakan dari keadaan sehat atau sejahtera kearah sakit atau sebaliknya.
Masing-masing transisi ini dapat mengancam konsep diri, yang
mengakibatkan konflik peran, ambiguitas peran, atau ketegangan peran
(Perry dan Potter, 2005).
Peran memberikan sarana untuk berperan serta dalam kehidupan sosial dan
merupakan cara untuk menguji identitas dengan memvalidasi pada orang
yang berarti. Setiap orang disibukkan oleh beberapa peran yang
berhubungan dengan posisi tiap waktu sepanjang daur kehidupan
(Suliswati, dkk, 2005).
Menurut Suliswati, dkk, (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi
penyesuaian diri individu terhadap peran :
1) Kejelasan perilaku dan pengetahuan sesuai dengan peran.
2) Tanggapan yang konsisten dari orang-orang yang berarti terhadap
perannya.
3) Kecocokan dan keseimbangan antar peran yang diembannya.
4) Keselarasan norma budaya dan harapan individu terhadap perilaku
39
e. Identitas diri
Identitas diri adalah kesadaran akan dirinya sendiri yang bersumber dari
observasi dan penilaian yang merupakan sintesis dari semua aspek konsep
diri sebagai satu kesatuan yang utuh (Wartonah Tarwoto, 2006). Identitas
diri adalah kesadaran tentang diri sendiri yang dapat diperoleh individu
dari observasi dan penilaian terhadap dirinya, menyadari individu bahwa
dirinya berbeda dengan orang lain. Identitas diri merupakan sintesis dari
semua aspek konsep diri sebagai suatu kesatuan yang utuh, tidak
dipengaruhi oleh pencapaian tujuan, atribut/jabatan dan peran. Identitas
personal adalah pengorganisasian prinsip dari kepribadian yang
40
Menurut Suliswati, dkk, (2005) tanda dan gejala gangguan idenitas diri
yang dapat dikaji antara lain:
1) Tidak ada percaya diri.
2) Sukar mengambil keputusan
3) Ketergantungan.
4) Masalah dalam hubungan interpersonal.
5) Ragu/tidak yakin terhadap keinginan
6) Menyalahkan orang lain
Akram (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “self concept and social
adjustment among physically handicapped persons”, Menemukan bahwa
konsep diri dan penyesuaian sosial menunjukkan arah hubungan yang positif
dengan (p-value) sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05 (p < 0,05) dan r = 0.76
ternyata penyesuaian sosial itu dipengaruhi oleh konsep diri, (Akram, 2010).
Hartiyani (2011) dalam penelitiannya tentang hubungan konsep diri dan
kepercayaan diri dengan interaksi sosial remaja Panti Asuhan Nur Hidayah,
dengan hasil p-value 0,022 < 0,05 dengan r = 0,432. Juga mengatakan bahwa
ternyata ada hubungan yang signifikan antara konsep diri dan kepercayaan diri
dengan interaksi social (Hartiyani 2011).
42
E. Kerangka Teori
Kusta,
Kecacatan
F. Kerangka Konsep
Berdasarkan masalah penelitian dan uraian-uraian mengenai konsep diri kusta
dengan interaksi sosial penederita kusta, maka dapat digambarkan suatu
kerangka konsep penelitian sebagai berikut :
Variabel independent Variabel dependent
Citra tubuh
Ideal Diri
Interaksi Sosial
Harga Diri
Peran Diri
Identitas Diri
= Mempengaruhi
= Variabel
Gambar 2.3 Kerangka Konsep
G. Variabel Penelitian
Variabel penelitian ini adalah konsep diri sebagai variabel bebas (independent
variable) dan inteaksi sosial sebagai variabel terikat (dependent variable).
H. Hipotesa
1. Ada hubungan antara citra tubuh dengan interaksi sosial pada penderita
kusta.
2. Ada hubungan antara ideal diri dengan interaksi sosial pada penderita
kusta.
3. Ada hubungan antara harga diri dengan interaksi sosial pada penderita
kusta.
4. Ada hubungan antara peran diri dengan interaksi sosial pada penderita
kusta.
5. Ada hubungan antara identitas diri dengan interaksi sosial pada penderita
kusta.