Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang1,2,3

Kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah


yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya masalah dari segi
medis, tapi juga meluas ke masalah sosial, budaya, ekonomi, keamanan, dan juga
ketahanan nasional. Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara yang sedang
berkembang sebagai akibat keterbatasan negara tersebut dalam memberikan
pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan, kesejahteraaan sosial ekonomi
pada masyarakat.
Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk
sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan
maupun pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta.
Pada tahun 1991 World Health Assembly telah mengeluarkan suatu resolusi
yaitu eliminasi kusta tahun 2000, sehingga penyakit kusta tidak lagi menjadi
masalah kesehatan masyarakat. Eliminasi yang dimaksud World Health
Organization (WHO) adalah suatu keadaan dimana prevalensi (jumlah penderita
yang tercatat) kurang dari 1/10.000 penduduk. Menurut WHO Weekly
Epidemiological Report mengenai kusta tahun 2010, selama tahun 2009 terdapat
17.260 kasus baru di Indonesia, dengan 14.227 kasus teridentifikasi sebagai kasus
kusta tipe Multi Basiler (MB) yang merupakan tipe yang menular.
Sepanjang tahun 2013, Kementerian Kesehatan RI mencatat 16.825 kasus
kusta baru, dengan angka kecacatan 6,82 per 1.000.000 penduduk. Angka ini
menempatkan Indonesia di peringkat ketiga dunia dengan kasus baru kusta
terbanyak setelah India (134.752 kasus) dan Brasil (33.303 kasus).
Provinsi Jawa Timur menduduki peringkat pertama di Indonesia sebagai
penyumbang kasus kusta dan merupakan daerah endemik kusta dengan angka
Prevalensi Rate (PR) diatas satu per sepuluh ribu penduduk.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang muncul adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pengetahuan penderita dan kader dalam wilayah UPT
Puskesmas Gadingrejo tentang penyakit kusta?
b. Tindakan apakah yang paling sesuai dilakukan untuk meningkatkan
pengetahuan para kader dalam wilayah UPT Puskesmas Gadingrejo
mengenai penyakit kusta?

1.3 Tujuan Penelitian


a. Untuk meningkatkan pengetahuan para kader mengenai penyakit kusta
dengan metode penyuluhan, diskusi dan sesi tanya jawab sehingga dapat
menyampaikan yang diketahuinya setelah penyuluhan ini kepada warga
dalam wilayah UPT Puskesmas Gadingrejo.
b. Untuk meningkatkan peran masyarakat mengenai bahaya penyakit kusta
yang bisa menyebabkan kecacatan dan memberi informasi bahwa pengobatan
penyakit kusta bisa diperoleh gratis di puskesmas dan kusta dapat
disembuhkan melalui pengobatan.

1.4 Manfaat
a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk meningkatkan wawasan
dan pengetahuan penderita dan kader tentang penyakit kusta.
b. Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat menjadi masukan bagi
peneliti lain untuk penelitian selanjutnya, khususnya bagi penelitian yang
berhubungan dengan peningkatan pengetahuan tentang penyakit kusta.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Etiologi8


Kusta atau lepra atau morbus hansen adalah penyakit kronis yang
disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae ( M. Leprae ). M. Leprae
merupakan basil tahan asam (BTA), bersifat obligat intraselular, menyerang
saraf perifer, kulit, dan organ lain seperti mukosa saluran napas bagian atas,
hati, dan sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat.

2.2 Epidemiologi1,2,3
a. Distribusi Menurut Orang
Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat
dilihat karena faktor geografi. Namun, jika diamati dalam satu negara atau
wilayah yang sama kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat
terjadi karena faktor etnik. Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering
terjadi pada etnik Burma dibandingkan dengan etnik India. Situasi di Malaysia
juga mengindikasikan hal yang sama, yaitu kejadian kusta lebih banyak pada etnik
China dibandingkan etnik Melayu atau India. Demikian pula kejadian di
Indonesia, etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita kusta dibandingkan
etnik Jawa atau Melayu.

b. Distribusi Menurut Tempat dan Waktu


Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang
berbeda-beda. Diantara 122 negara yang endemis pada tahun 1985 dengan
prevalensi >1/10.000 penduduk, hanya tinggal 6 negara yang masih belum
mencapai eliminasi di tahun 2005 yaitu : India, Brazil, Indonesia, Bangladesh,
Congo, dan Nepal. Dari 10 negara dengan jumlah kasus baru terbesar di dunia,
Indonesia menempati posisi ke-3 setelah India dan Brazil. Berdasarkan data kusta
awal 2005 Indonesia menempati posisi ke-2 dengan angka prevalensi 0,9 per
10.000 penduduk. Di Indonesia, kasus terbanyak terdapat di Jawa Timur dengan

3
prevalensi rate 1,76 per 10.000 penduduk, dan paling sedikit terdapat di daerah
Bengkulu dengan prevalensi rate 0,17 per 10.000 jumlah penduduk. Penemuan
kasus baru selama bulan Januari-Desember 2005 paling banyak ditemukan di
Jawa Timur.

c. Determinan
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu di
takuti. Adapun beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kusta
dipengaruhi oleh host, agent, dan environment antara lain :
1) Faktor Daya Tahan Tubuh (host)
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil
penelitian menunjukkan bahwa dari 100 orang yang terpapar, 95 orang tidak
menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat, dan 2 orang menjadi sakit. Hal
ini belum memperhitungkan pengaruh pengobatan.
2) Faktor Kuman (agent)
Kuman dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1-9 hari tergantung pada
suhu atau cuaca, dan hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja yang dapat
menimbulkan penularan.
3) Faktor Sumber Penularan (environment)
Sumber penularan adalah penderita kusta tipe Multi Baciler (MB). Penderita
MB ini pun tidak akan menularkan kusta apabila berobat teratur. Penyakit ini
dapat ditularkan melalui pernafasan (droplet) dan kulit.

2.3 Klasifikasi Penyakit Kusta2,3


Tujuan klasifikasi ini untuk menentukan regimen pengobatan dan
perencanaan operasional. Untuk keperluan pengobatan kombinasi atau Multidrug
Therapy (MDT) yaitu menggunakan gabungan Rifampicin, Lamprene dan DDS,
maka penyakit kusta di Indonesia diklasifikasikan menjadi 2 tipe seperti
klasifikasi menurut WHO (1998) yaitu:
a) Tipe PB (Pausibasiler)

4
Yang dimaksud dengan kusta tipe PB adalah penderita kusta dengan
Basil Tahan Asam (BTA) pada sediaan apus, yakni tipe I (Indeterminate) TT
(Tuberculoid) dan BT (Boderline Tuberculoid) menurut kriteria Ridley dan Joplin
dan hanya mempunyai jumlah lesi 1-5 pada kulit.
b) Tipe MB (Multi Basiler)
Kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB (Mid Boderline), BL
(Boderline lepromatous) dan LL (lepromatosa) menurut kriteria Ridley dan Joplin
dengan jumlah lesi 6 atau lebih dan skin smer positif.
Menurut Madrid klasifikasi kusta dibagi menjadi 4 yaitu : indeterminate,
tuberculoid, borderline, dan lepromatosa.
Penentuan klasifikasi berdasarkan pemeriksaan laboratorium (Bacteriological
Index/BI). Lapangan Pandang dengan pembesaran 100X
1+ : 1 Bacil dalam 100 lapangan pandang
2+ : 1 Bacil dalam 10lapangan pandang
3+ : 1 Bacil dalam tiap lapangan pandang
4+ : 10 Bacil dalam tiap lapangan pandang
5+ : 100 Bacil dlam tiap lapangan pandang
6+ : 1000 Bacil dalam tiap lapangan pandang
Dari hasil pemeriksaan bakteri dengan mikroskop diatas maka kusta dapat di
klasifikasikan menjadi :
Tuberculoid Noneseen
Boderline Tuberculoid 0 – 3+
Boderline Boderline 3 – 5+
Boderline Lepromatosa 5 – 6+
Lepromatosa Lepromatosa >6+

2.4 Cara Penularan Penyakit Kusta 4,5,6,7,8


Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe MB kepada orang lain
secara langsung. Cara penularan penyakit ini masih belum diketahui secara
pasti, tetapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat
ditularkan melalui saluran pernafasan dan kulit. Kusta mempunyai masa

5
inkubasi 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga berlangsung sampai bertahun-tahun.
Meskipun cara masuk kuman M.leprae ke dalam tubuh belum diketahui
secara pasti, namun beberapa penelitian telah menunujukkan bahwa yang paling
sering adalah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu
dingin dan pada mukosa nasal. Selain itu penularan juga dapat terjadi apabila
kontak dengan penderita dalam waktu yang sangat lama.

2.5 Diagnosa Penyakit Kusta4,5,6,7,8


Penyakit kusta dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan banyak
penyakit lain. Sebaliknya penyakit lain dapat menunjukkan gejala yang mirip
dengan penyakit kusta. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan untuk
mendiagnosis penyakit kusta secara tepat dan membedakannya dengan berbagai
penyakit lain agar tidak membuat kesalahan yang merugikan penderita.
Diagnosa penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal
(gejala utama) yaitu :
a. Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau
meninggi (plakat). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap
rasa sentuh, rasa suhu, dan rasa nyeri.
b. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan juga dapat disertai atau tanpa gangguan
fungsi saraf yang terkena, yaitu gangguan fungsi sensoris (mati rasa), gangguan
fungsi motoris (paresis atau paralysis), dan gangguan fungsi otonom (kulit kering,
retak, edema, pertumbuhan rambut yang terganggu).
c. Ditemukan basil tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit
pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsy kulit atau
saraf. Untuk menegakkan penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu
tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat
mengatakan tersangka kusta dan penderita perlu diamati dan diperiksa ulang
setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.

6
2.6 Pemeriksaan Penderita4,5,6,7,8
1. Anamnesis
a) Keluhan penderita
b) Riwayat kontak dengan penderita
c) Latar belakang keluarga, misalnya keadaan sosial ekonomis.
2. Inspeksi
Dengan penerangan yang baik, lesi kulit harus diperhatikan dan juga kerusakan
kulit.
3. Palpasi
a) Kelainan kulit, nodus infiltrate, jaringan perut, ulkus, khususnya pada tangan
dan kaki
b) Kelainana saraf : pemeriksaan saraf, termasuk meraba dengan teliti :
N.aurikularis magnus, N.ulnaris, dan N.peroneus. Petugas harus
mencatat, adanya nyeri tekan dan penebalan saraf. Harus diperhatikan raut wajah
si penderita, apakah kesakitan atau tidak pada waktu saraf diraba. Pemeriksaan
saraf harus sistematis, meraba atau palpasi sedemikian rupa jangan sampai
menyakiti atau penderita mendapat kesan kurang baik.
Cara pemeriksaan saraf :
a. Bandingkan saraf bagian kiri dan kanan.
b. Membesar atau tidak
c. Bentuk bulat atau oval
d. Pembesaran regular (smooth) atau irregular, lumps, kerots

e. Perabaan keras atau kenyal


f. Nyeri atau tidak

Cara pemeriksaan saraf tepi :


1. N. Aurikularis magnus
Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mungkin, maka saraf
yang terlihat akan terdorong oleh otot dibawahnya sehingga sudah dapat terlihat

7
bila membesar. Dua jari pemeriksaan diletakkan di atas persilangan jalannya saraf
tersebut dengan arah otot, perabaan secara seksama akan menentukan jaringan
seperti kabel atau kawat, bila ada penebalan. Jangan lupa membandingkan yang
kiri dan kanan.
2. N. ulnaris
Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya
diletakkan diatas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain meraba
lekukan di bawah siku (sulkus nervi ulnaris) dan merasakan, apakah ada
penebalan atau tidak. Perlu dibandingkan N. ulnaris kanan dan kiri untuk melihat
adanya perbedaan atau tidak.
3. N. peroneus lateralis
Pasien disuruh duduk dengan kedua kaki menggantung kemudian diraba
di sebelah lateral dari capitulum fibulae biasanya sedikit ada ke posterior. Bila
saraf yang dicari tersentuh oleh jari pemeriksa, sering pasien merasakan seperti
terkena setrum pada daerah yang dipersarafi oleh saraf tersebut. Pada keadaan
neuritis akut, sedikit sentuhan sudah memberikan rasa nyeri yang hebat.
4. Tes fungsi saraf
a) Tes sensoris
i. Rasa raba : dengan kapas atau sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk
memeriksa perasaan dengan menyinggung kulit. Yang diperiksa harus duduk
pada waktu pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa bila
mana merasa disinggung bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus
menunjukkan kulit yang disinggung dengan jari telunjuknya dan dikerjakan
dengan mata terbuka. Tanda- tanda di kulit dan bagian-bagian kulit lain yang
dicurigai, diperiksa sensibilitasnya. Harus diperiksa sensibilitas kulit yang
tersangka diserang kusta. Bercak-bercak di kulit harus diperiksa ditengahnya
dan jangan dipinggirnya.
ii. Rasa nyeri : diperiksa degan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan
ujung jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan
penderita harus mengatakan tusukan mana yang tumpul.
iii. Rasa suhu : dilakukan dengan mempergunakan 2 tabung reaksi, satu berisi air

8
panas (sebaiknya 40 ͦC) yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 20 ͦ C).
kenudian mata penderita ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu
bergantian kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang
dicurigai. Bila penderita salah menyebutkan rasa pada tabung yang
ditempelkan, maka dapat disimpulkan bahwa sensasi suhu di daerah tersebut
terganggu. Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi
pada penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan test
anhidrosis.

Ketentuan untuk lokasi sediaan :


a. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling akut.
b. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak
ditemukan kelainan kulit di tempat lain.
c. Pada pemeriksaan ulangan dilakukan di tempat kelainan kulit yang sama
dan bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
d. Sebaiknya petugas yang mengambil dan memeriksa sediaan hapus dilakukan
oleh orang yang berlainan. Hal ini untuk menjaga pengaruh gambaran klinis
terhadap hasil pemeriksaan bakterioskopik.
e. Tempat yang sering diambil untuk sediaan hapus jaringan bagi
pemeriksaan M.leprae adalah : cuping telinga, lengan, punggung, bokong,
dan paha.
f. Jumlah pengambilan sediaan apus jaringan kulit harus minimum dilaksanakan
di tiga tempat, yaitu : cuping telinga kiri, cuping telinga kanan, dan bercak
yang paling aktif.
g. Sediaan dari selaput lender hidung sebaiknya dihindarkan karena : tidak
menyenangkan bagi penderita, positif palsu karena mikrobakterium lain, tidak
pernah ditemukan M.leprae pada selaput lender hidung apabila sediaan hapus
kulit negatif, pada pengobatan pemeriksaan bakterioskopis selaput lender
hidung negatif lebih dahulu dari pada di kulit.
h. Beberapa ketentuan yang harus diambil sediaan hapus kulit : semua orang
yang dicurigai menderita kusta, semua penderita baru yang didiagnosis secara

9
klinis sebagai penderita kusta, semua penderita kusta yang diduga kambuh
(relaps) atau karena tersangka kuman (resisten) kebal terhadap obat, dan
semua penderita MB setahun sekali.

2.7 Pencegahan Penyakit Kusta9,10


Mengingat di masyarakat masih banyak yang belum memahami tentang
penyakit kusta yang bisa menjadi hambatan bagi pelaksanaan program
pemberantasan kusta termasuk dalam mengikutsertakan peran serta masyarakat,
maka diperlukan upaya-upaya pencegahan untuk dapat mengurangi prevalensi,
insidens dan kecacatan penderita kusta. Upaya-upaya pencegahan diatas dibagi
menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit diantaranya :
pencegahan primer, sekunder, dan pencegahan tersier.

2.7.1Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk
mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang
sehat menjadi sakit. Secara garis besar, upaya pencegahan ini dapat berupa
pencegahan umum dan pencegahan khusus. Pencegahan umum dimaksudkan
untuk mengadakan pencegahan pada masyarakat umum, misalnya personal
hygiene, pendidikan kesehatan masyarakat dengan penyuluhan dan kebersihan
lingkungan. Pencegahan khusus ditujukan pada orang-orang yang mempunyai
resiko untuk terkena suatu penyakit, misalnya pemberian immunisasi.
2.7.2 Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah
orang yang telah sakit agar sembuh dengan pengobatan, menghindarkan
komplikasi kecacatan secara fisik. Pencegahan sekunder mencakup kegiatan-
kegiatan seperti dengan tes penyaringan yang ditujukan untuk pendeteksian dini
serta penanganan pengobatan yang cepat dan tepat. Tujuan utama kegiatan
pencegahan sekunder adalah untuk mengidentifikasikan orang-orang tanpa gejala
yang telah sakit atau yang jelas berisiko tinggi untuk mengembangkan penyakit.

10
2.7.3 Pencegahan Tersier
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidak mampuan dan
mengadakan rehabilitasi. Upaya pencegahan tingkat tiga ini dapat dilakukan
dengan memaksimalkan fungsi organ tubuh, membuat protesa ekstremitas
akibat amputasi dan mendirikan pusat-pusat rehabilitasi medik.

2.8. Pencegahan Kecacatan9,10


M.leprae menyerang saraf tepi pada tubuh manusia. Tergantung dari
kerusakan urat saraf tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi saraf tepi : sensorik,
motorik, dan otonom.
Menurut WHO tahun 1996 batasan istilah dalam cacat kusta adalah :
a) Impairment : segala kehilangan atau abnormalitas struktur fungsi yang
bersifat psikologik, fisiologik, atau anatomik.
b) Disability : segala keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat impairment)
untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas kehidupan yang normal bagi
manusia.
c) Handicap : kemunduran pada seorang individu (akibat impairment dan
disability) yang membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas normal yang
bergantung pada umur, seks, dan faktor sosial budaya.
Jenis cacat kusta dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu :
1) Kelompok cacat primer, adalah kelompok cacat yang disebabkan langsung
oleh aktifitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap
M.leprae. yang termasuk cacat primer adalah cacat pada fungsi saraf sensorik,
fungsi saraf motorik, dan cacat pada fungsi otonom serta gangguan refleks
vasodilatasi.
2) Kelompok cacat sekunder, yaitu cacat yang terjadi akibat cacat primer,
terutama akibat adanya kerusakan saraf. Anastesi akan memudahkan
terjadinya luka akibat trauma mekanis atau termis yang dapat mengalami
infeksi sekunder dengan segala akibatnya.
Derajat cacat kusta menurut WHO (1988), di bagi menjadi tiga tingkatan, yaitu :
a) Cacat pada tangan dan kaki :

11
Tingkat 0 : tidak ada anestesi dan kelainan anatomis
Tingkat 1 : ada anestesi, tetapi tidak ada kelainan anatomis
Tingkat 2 : terdapat kelainan anatomis

b) Cacat pada mata :


Tingkat 0 : tidak ada kelainan pada mata (termasuk visus)
Tingkat 1 : ada kelainan mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit berkurang
Tingkat 2 : ada lagoftalmos dan visus sangat terganggu

Upaya pencegahan cacat terdiri atas :


a) Upaya pencegahan cacat primer yang meliputi :
1) Pengobatan secara teratur dan adekuat
2) Diagnosa dini dan penatalaksanaan neuritis
3) Diagnosa dini dan penatalaksanaan reaksi
b) Upaya pencegahan cacat sekunder yang meliputi :
1) Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka
2) Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk
mencegah terjadinya kontraktur.
3) Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan
agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan.
4) Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi

2.8 Penemuan dan Pengobatan Penderita Kusta4,5,7


2.8.1 Penemuan Penderita
Dalam program pemberantasan penyakit kusta, penemuan penderita
secara dini sangat penting untuk mencegah penularan dan timbulnya cacat pada
penderita.
Cara penemuan penderita kusta ada 2 (dua) yaitu :
1. Penemuan penderita secara pasif (sukarela)
Penemuan ini dilakukan oleh penderita baru atau tersangka yang belum
pernah berobat kusta, datang sendiri atau saran dari orang lain ke sarana

12
kesehatan. Hal ini tergantung dari pengertian dan kesadaran penderita itu sendiri
untuk mendapatkan pengobatan.
Faktor-faktor yang menyebabkan penderita terlambat datang berobat ke
Puskesmas/sarana kesehatan lainnya, yaitu :
a) Tidak mengerti tanda dini kusta
b) Malu datang ke Puskesmas
c) Tidak tahu bahwa ada obat yang tersedia cuma-cuma di Puskesmas
d) Jarak penderita ke Puskesmas/sarana kesehatan lainnya terlalu jauh.

2. Penemuan secara aktif


Kegiatan yang dilakukan dalam penemuan penderita secara aktif adalah :
a) Pemeriksaan kontak serumah (Survei Kontak)
Dengan melakukan pemeriksaan kepada semua anggota keluarga yang tinggal
serumah dengan penderita. Pemeriksaan dilakukan minimal 1 tahun sekali,
terutama ditujukan pada kontak tipe MB.
b) Pemeriksaan anak sekolah
Penderita pada usia dibawah 14 tahun atau anak Sekolah Dasar dan Taman
Kanak-kanak cukup banyak. Ini untuk mengantisipasi kemungkinan adanya
penderita kusta pada anak dan mencegah terjadinya penularan di lingkungan
sekolah.
c) Chase Survey
Mencari penderita baru sambil membina partisipasi masyarakat untuk
mengetahui tanda-tanda kusta dini secara benar.

2.9 Penemuan dan Pengobatan Penderita Kusta4,5,7


2.9.1 Penemuan Penderita
Dalam program pemberantasan penyakit kusta, penemuan penderita
secara dini sangat penting untuk mencegah penularan dan timbulnya cacat pada
penderita.
Cara penemuan penderita kusta ada 2 (dua) yaitu :
3. Penemuan penderita secara pasif (sukarela)

13
Penemuan ini dilakukan oleh penderita baru atau tersangka yang belum
pernah berobat kusta, datang sendiri atau saran dari orang lain ke sarana
kesehatan. Hal ini tergantung dari pengertian dan kesadaran penderita itu sendiri
untuk mendapatkan pengobatan.
Faktor-faktor yang menyebabkan penderita terlambat datang berobat ke
Puskesmas/sarana kesehatan lainnya, yaitu :
a) Tidak mengerti tanda dini kusta
b) Malu datang ke Puskesmas
c) Tidak tahu bahwa ada obat yang tersedia cuma-cuma di Puskesmas
d) Jarak penderita ke Puskesmas/sarana kesehatan lainnya terlalu jauh.

4. Penemuan secara aktif


Kegiatan yang dilakukan dalam penemuan penderita secara aktif adalah :
a) Pemeriksaan kontak serumah (Survei Kontak)
Dengan melakukan pemeriksaan kepada semua anggota keluarga yang tinggal
serumah dengan penderita. Pemeriksaan dilakukan minimal 1 tahun sekali,
terutama ditujukan pada kontak tipe MB.
b) Pemeriksaan anak sekolah
Penderita pada usia dibawah 14 tahun atau anak Sekolah Dasar dan Taman
Kanak-kanak cukup banyak. Ini untuk mengantisipasi kemungkinan adanya
penderita kusta pada anak dan mencegah terjadinya penularan di lingkungan
sekolah.
c) Chase Survey
Mencari penderita baru sambil membina partisipasi masyarakat untuk
mengetahui tanda-tanda kusta dini secara benar.

2.9.2 Pengobatan Penyakit Kusta


2.9.2.1 Program MDT
Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika Kelompok Studi
Kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta
dengan rejimen kombinasi yang selanjutnya dikenal dengan rejimen MDT WHO

14
(2001) Regimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat dapson, rifamfisin, dan
klofasimin. Selain untuk mengatasi resistensi adapson yang semakin meningkat,
penggunaan MDT dimaksudkan juga untuk mengurangi ketidaktaatan penderita
dan menurunkan angka putus obat (drop-out rate) yang cukup tinggi pada masa
monoterapi dapson. Di samping itu juga diharapkan juga dengan MDT dapat
mengeliminasi persistensi kuman dalam jaringan.
Obat & Dosis Dewasa Anak
MDT
BB < 35 kg BB > 35 kg 10-14 thn
– Kusta PB
Rifampisin 450 mg/bln 600 mg/bln 450 mg/bln
(diawasi
(1- 2mg/ (12-15mg/kgBB/bln)
petugas) kgBB/hr
Dapson 50mg/hr 100 mg/hr 50mg/hr
(Swakelola)

Obat dan dosis regimen MDT-PB

Pengobatan MDT untuk kusta tipe PB dilakukan dalam 6 dosis minimal


yang diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis maka
dinyatakan RFT (Released From Treatment = berhenti minum obat kusta)
meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi
dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion of Treatment Cure dan
pasien tidak lagi dalam pengawasan.

Obat dan dosis regimen MDT-MB

15
Rifampicin dapson Lamprene
Dewasa 600 mg/ bulan 100mg/hari 300 mg/bulan
diminum didepan diminum di rumah diminum di
petugas kesehatan depan petugas
kesehatan
dilanjutkan dgn
50 mg/hari
diminum di
rumah
Anak 450 mg/bulan 50mg/hari 150mg/bulan
Diminum didepan diminum dirumah Didepan petugas
petugas kemudian
dilanjutkan 50mg
selang sehari
diminum dirumah

Pengobatan MDT untuk Kusta tipe MB dilakukan dalam 24 dosis yang

diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Setelah selesai minum 24 dosis

maka dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan

bakteri BTA positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12

dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.

2.9.2.2 Obat Kusta Baru

16
Dalam pelaksanaan program MDT-WHO (2001) ada beberapa masalah
yang timbul, yaitu : adanya persister, resistensi rifampisin, dan lamanya
pengobatan terutama untuk kusta MB. Untuk penderita kusta PB, rejimen MDT-
PB juga masih menimbulkan beberapa masalah, antara lain : masih menetapnya
lesi kulit setelah 6 bulan pengobatan. Jika seorang penderita mempunyai resistensi
ganda terhadap dapson dan rifampisin bersama-sama, tentunya hal ini akan
membahayakan.
Oleh karena itu diperlukan obat-obat baru dengan mekanisme
bakterisidal yang berbeda dengan obat-obat dalam rejimen MDT-WHO saat ini.
Idealnya, obat-obat kusta baru harus memenuhi syarat antara lain : bersifat
bakterisidal kuat terhadap M. leprae, tidak antagonis dengan obat yang sudah ada,
aman dan akseptabilitas penderita baik, dapat diberikan per oral, dan sebaiknya
diberikan tidak lebih dari sekali sehari. Di antara yang sudah terbukti efektif
adalah ofloksasin, minosiklin, dan klaritromisin.

A. Regimen pengobatan kusta (WHO/DEPKES RI)


a. PB dengan lesi tunggal diberikan ROM ( Rifampicin Ofloxacin Minocyclin )
Rifampicin ofloxacin Minocyclin
Dewasa 600 mg 400 mg 100 mg
(50-70 kg)
Anak 300 mg 200 mg 50 mg
(5-14tahun)

Pemberian obat satu kali saja langsung RFT. Obat diminum didepan
petugas kesehatan. Anak kurang dari 5 tahun dan ibu hamil tidak diberikan ROM.
Bila ROM tidak tersedia di Puskesmas maka diobati dengan regimen pengobatan
PB lesi (2-5). Bila lesi tunggal tetapi dengan pembesaran saraf maka
menggunakan regimen pengobatan PB lesi 2-5.

b. PB dengan lesi 2-5

17
Rifampicin Dapson

Dewasa 600 mg/ bulan 100 mg/ hari


Diminum
Diminum didepan dirumah
petugas
Anak 450 mg/ bulan 50 mg/hari
10-14 tahun Diminum didepan Diminum dirumah
petugas

Lama pengobatan 6 dosis, bisa diselesaikan 6-9 bulan. Setelah 6 dosis


dinyatakan RFT.

a. Tipe MB yaitu dengan lesi kulit >5

Rifampicin Dapson Lamprene


Dewasa 600 mg/ bulan 100 mg/hari 300 mg/bulan
diminum didepan diminum di diminum di depan
petugas kesehatan rumah petugaskesehatan
dilanjutkan dgn 50
mg/hari diminum
di rumah
Anak 450 mg/bulan 50mg/hari 150mg/bulan
10-14 diminum didepan diminum
didepan petugas
tahun petugas dirumah
kemudian

dilanjutkan 50mg

selang sehari

diminum dirumah

Dosis anak :

18
Rifampicin: 10-15 mg/kgBB
Dapson : 1-2 mg/kgBB
Lamprene dibawah 10 th
Bulanan : 100 mg/bulan
Harian : 50 mg/2x seminggu

Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 12-18 bulan.


Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan: RFT/=Realease From
Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan
secara pasif untuk : tipe PB selama 2 tahun tipe MB selama 5 tahun. Bila dalam
masa pengamatan terjadi tanda-tanda kusta aktif kembali dinamakan dengan
Relaps yaitu aktifnya kembali tanda-tanda kusta setelah masa pengobatan.

19
BAB III

METODELOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Metode


Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian Deskriptif dengan
rancangan untuk mengetahui tingkat pengetahuan penyakit kusta pada penderita
dan kader dalam wilayah UPT Puskesmas Gadingrejo Kota Pasuruan.

Serta mengadakan analisa tentang gambaran tersebut dengan pengamatan


lisan dengan alat bantu penelitian berupa kuesioner, dimana data dan informasi
yang menyangkut variable bebas dan variable terikat dikumpulkan dalam waktu
yang bersamaan. Pemilihan rancangan ini didasarkan karena mudah dilaksanakan,
ekonomis dan efektif dari segi biaya dan waktu, sedangkan hasilnya dapat
diperoleh dengan cepat dan tepat.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di wilayah UPT Puskesmas Gadingrejo

3.2.2 Waktu Penelitian


Pengambilan sampel dilakukan pada tanggal 20 September 2022 jam 08.00 -
selesai

3.3 Metode Pengambilan Sampel


Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti, dan
dianggap dapat mewakili seluruh populasi. (Notoatmojo, 2002). Dalam hal ini
sampel diambil adalah kader yang tinggal dalam Wilayah UPT Puskesmas
Gadingrejo sebanyak 8 orang.

3.3.1 Teknik Pengambilan Sampel


Metode pengambilan sampel pada penelitian ini yaitu dengan cara ----,
Kriteria yang ditentukan peneliti pada penelitian ini yaitu kader yang tinggal
dalam wilayah UPT Puskesmas Gadingrejo.

20
3.4. Kerangka Konsep
Menurut Notoatmodjo (2002) yang dimaksud dengan kerangka konsep
penelitian adalah suatu hubungan atau keterkaitan antara konsep yang satu dengan
konsep yang lainnya dari masalah yang diteliti

Sikap dan
Pengetahuan Perilaku kader
Prevalensi
kader dan dan penderita
dalam Kusta
penderita
mengenai kusta pencegahan
kusta

3.5 Jenis dan Cara Pengumpulan Data


Dalam pengumpulan data ini dilakukan langsung oleh peneliti pada kader
dan penderita dalam wilayah UPT Puskesmas Gadingrejo dalam kurun waktu
September 2022. Data penelitian berupa :
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber utama yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti, baik pengolahan maupun analisis dan
publikasi yang dilakukan sendiri.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil laporan atau penelitian
orang lain atau studi kepustakaan. Data sekunder ini berupa diperoleh dari
Profil Puskesmas, laporan Poliklinik Puskesmas Gadingrejo, dan laporan
petugas Surveilans. Data sekunder ini berupa data jumlah penduduk, data
ketenagaan dan sarana kesehatan, mata pencaharian penduduk, data demografi
Puskesmas Gadingrejo, data penderita kusta, serta tinjauan kepustakaan.

3.6 Pengolahan Data


Semua data yang diperoleh dicatat, diolah secara manual kemudian disusun
dalam tabel dan grafik serta dianalisi sesuai kebutuhan penelitian.

21
Isi kuesioner yang dibagikan diantaranya sebagai berikut :
PERTANYAAN YA TIDAK
1. Apakah anda pernah mendengar tentang
penyakit kusta/lepra?
2. Apakah penyakit tersebut merupakan penyakit
keturunan?
3. Apakah apakah penyakit tersebut merupakan
penyakit kutukan?
4. Apakah penyakit tersebut disebabkan oleh guna-guna?
5. Apakah penyakit tersebut disebabkan oleh makanan?
6. Apakah penyakit tersebut disebabkan oleh faktor
genetik?
7. Apakah penyakit tersebut bisa menular? Jika ya,
Apakah penyakit tersebut ditularkan melalui
saluran pernafasan?
Apakah penyakit tersebut ditularkan melalui
kontak langsung dengan penderita?
Apakah penyakit tersebut ditularkan melalui
lingkungan?
8. Apakah setiap orang yang terpapar penyakit
kusta akan menderita penyakit kusta?
Alasan :
9. Apakah anda mengetahui gejala penyakit
kusta/lepra? Jika ya, sebutkan
10. Apakah penyakit kusta menyerang kulit?
11. Apakah penyakit kusta menyerang syaraf?
12. Apakah penyakit kusta menyerang jaringan/organ
tubuh?
13. Apakah penyakit kusta menyerang otak?
14. Apakah penyakit kusta bisa menyebabkan kecacatan?
15. Apakah kusta bisa dicegah?
16. Apakah kusta bisa diobati?
17. Apakah kusta bisa disembuhkan?
18. Apakah penderita kusta
dihindari/dikucilkan oleh penduduk
disekitar anda?
19. Perlukah menghindari penderita kusta?
20. Mahalkah pengobatan kusta?

Dari data kuisioner diatas terdapat 20 nomer yang pada setiap nomernya
mempunyai skor 5. Jika semua benar mempunyai skor 100. Sistem penilaian ini
menunjukkan tingkat pengetahuan para kader tentang pengetahuan tentang
penyakit kusta yang dibagi menjadi 3 kategori, yaitu :

22
1. Baik : nilai ≥ 70
2. cukup : nilai 50-69
3. kurang : nilai <50

23

Anda mungkin juga menyukai