PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang muncul adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pengetahuan penderita dan kader dalam wilayah UPT
Puskesmas Gadingrejo tentang penyakit kusta?
b. Tindakan apakah yang paling sesuai dilakukan untuk meningkatkan
pengetahuan para kader dalam wilayah UPT Puskesmas Gadingrejo
mengenai penyakit kusta?
1.4 Manfaat
a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk meningkatkan wawasan
dan pengetahuan penderita dan kader tentang penyakit kusta.
b. Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat menjadi masukan bagi
peneliti lain untuk penelitian selanjutnya, khususnya bagi penelitian yang
berhubungan dengan peningkatan pengetahuan tentang penyakit kusta.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi1,2,3
a. Distribusi Menurut Orang
Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat
dilihat karena faktor geografi. Namun, jika diamati dalam satu negara atau
wilayah yang sama kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat
terjadi karena faktor etnik. Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering
terjadi pada etnik Burma dibandingkan dengan etnik India. Situasi di Malaysia
juga mengindikasikan hal yang sama, yaitu kejadian kusta lebih banyak pada etnik
China dibandingkan etnik Melayu atau India. Demikian pula kejadian di
Indonesia, etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita kusta dibandingkan
etnik Jawa atau Melayu.
3
prevalensi rate 1,76 per 10.000 penduduk, dan paling sedikit terdapat di daerah
Bengkulu dengan prevalensi rate 0,17 per 10.000 jumlah penduduk. Penemuan
kasus baru selama bulan Januari-Desember 2005 paling banyak ditemukan di
Jawa Timur.
c. Determinan
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu di
takuti. Adapun beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kusta
dipengaruhi oleh host, agent, dan environment antara lain :
1) Faktor Daya Tahan Tubuh (host)
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil
penelitian menunjukkan bahwa dari 100 orang yang terpapar, 95 orang tidak
menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat, dan 2 orang menjadi sakit. Hal
ini belum memperhitungkan pengaruh pengobatan.
2) Faktor Kuman (agent)
Kuman dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1-9 hari tergantung pada
suhu atau cuaca, dan hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja yang dapat
menimbulkan penularan.
3) Faktor Sumber Penularan (environment)
Sumber penularan adalah penderita kusta tipe Multi Baciler (MB). Penderita
MB ini pun tidak akan menularkan kusta apabila berobat teratur. Penyakit ini
dapat ditularkan melalui pernafasan (droplet) dan kulit.
4
Yang dimaksud dengan kusta tipe PB adalah penderita kusta dengan
Basil Tahan Asam (BTA) pada sediaan apus, yakni tipe I (Indeterminate) TT
(Tuberculoid) dan BT (Boderline Tuberculoid) menurut kriteria Ridley dan Joplin
dan hanya mempunyai jumlah lesi 1-5 pada kulit.
b) Tipe MB (Multi Basiler)
Kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB (Mid Boderline), BL
(Boderline lepromatous) dan LL (lepromatosa) menurut kriteria Ridley dan Joplin
dengan jumlah lesi 6 atau lebih dan skin smer positif.
Menurut Madrid klasifikasi kusta dibagi menjadi 4 yaitu : indeterminate,
tuberculoid, borderline, dan lepromatosa.
Penentuan klasifikasi berdasarkan pemeriksaan laboratorium (Bacteriological
Index/BI). Lapangan Pandang dengan pembesaran 100X
1+ : 1 Bacil dalam 100 lapangan pandang
2+ : 1 Bacil dalam 10lapangan pandang
3+ : 1 Bacil dalam tiap lapangan pandang
4+ : 10 Bacil dalam tiap lapangan pandang
5+ : 100 Bacil dlam tiap lapangan pandang
6+ : 1000 Bacil dalam tiap lapangan pandang
Dari hasil pemeriksaan bakteri dengan mikroskop diatas maka kusta dapat di
klasifikasikan menjadi :
Tuberculoid Noneseen
Boderline Tuberculoid 0 – 3+
Boderline Boderline 3 – 5+
Boderline Lepromatosa 5 – 6+
Lepromatosa Lepromatosa >6+
5
inkubasi 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga berlangsung sampai bertahun-tahun.
Meskipun cara masuk kuman M.leprae ke dalam tubuh belum diketahui
secara pasti, namun beberapa penelitian telah menunujukkan bahwa yang paling
sering adalah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu
dingin dan pada mukosa nasal. Selain itu penularan juga dapat terjadi apabila
kontak dengan penderita dalam waktu yang sangat lama.
6
2.6 Pemeriksaan Penderita4,5,6,7,8
1. Anamnesis
a) Keluhan penderita
b) Riwayat kontak dengan penderita
c) Latar belakang keluarga, misalnya keadaan sosial ekonomis.
2. Inspeksi
Dengan penerangan yang baik, lesi kulit harus diperhatikan dan juga kerusakan
kulit.
3. Palpasi
a) Kelainan kulit, nodus infiltrate, jaringan perut, ulkus, khususnya pada tangan
dan kaki
b) Kelainana saraf : pemeriksaan saraf, termasuk meraba dengan teliti :
N.aurikularis magnus, N.ulnaris, dan N.peroneus. Petugas harus
mencatat, adanya nyeri tekan dan penebalan saraf. Harus diperhatikan raut wajah
si penderita, apakah kesakitan atau tidak pada waktu saraf diraba. Pemeriksaan
saraf harus sistematis, meraba atau palpasi sedemikian rupa jangan sampai
menyakiti atau penderita mendapat kesan kurang baik.
Cara pemeriksaan saraf :
a. Bandingkan saraf bagian kiri dan kanan.
b. Membesar atau tidak
c. Bentuk bulat atau oval
d. Pembesaran regular (smooth) atau irregular, lumps, kerots
7
bila membesar. Dua jari pemeriksaan diletakkan di atas persilangan jalannya saraf
tersebut dengan arah otot, perabaan secara seksama akan menentukan jaringan
seperti kabel atau kawat, bila ada penebalan. Jangan lupa membandingkan yang
kiri dan kanan.
2. N. ulnaris
Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya
diletakkan diatas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain meraba
lekukan di bawah siku (sulkus nervi ulnaris) dan merasakan, apakah ada
penebalan atau tidak. Perlu dibandingkan N. ulnaris kanan dan kiri untuk melihat
adanya perbedaan atau tidak.
3. N. peroneus lateralis
Pasien disuruh duduk dengan kedua kaki menggantung kemudian diraba
di sebelah lateral dari capitulum fibulae biasanya sedikit ada ke posterior. Bila
saraf yang dicari tersentuh oleh jari pemeriksa, sering pasien merasakan seperti
terkena setrum pada daerah yang dipersarafi oleh saraf tersebut. Pada keadaan
neuritis akut, sedikit sentuhan sudah memberikan rasa nyeri yang hebat.
4. Tes fungsi saraf
a) Tes sensoris
i. Rasa raba : dengan kapas atau sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk
memeriksa perasaan dengan menyinggung kulit. Yang diperiksa harus duduk
pada waktu pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa bila
mana merasa disinggung bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus
menunjukkan kulit yang disinggung dengan jari telunjuknya dan dikerjakan
dengan mata terbuka. Tanda- tanda di kulit dan bagian-bagian kulit lain yang
dicurigai, diperiksa sensibilitasnya. Harus diperiksa sensibilitas kulit yang
tersangka diserang kusta. Bercak-bercak di kulit harus diperiksa ditengahnya
dan jangan dipinggirnya.
ii. Rasa nyeri : diperiksa degan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan
ujung jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan
penderita harus mengatakan tusukan mana yang tumpul.
iii. Rasa suhu : dilakukan dengan mempergunakan 2 tabung reaksi, satu berisi air
8
panas (sebaiknya 40 ͦC) yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 20 ͦ C).
kenudian mata penderita ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu
bergantian kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang
dicurigai. Bila penderita salah menyebutkan rasa pada tabung yang
ditempelkan, maka dapat disimpulkan bahwa sensasi suhu di daerah tersebut
terganggu. Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi
pada penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan test
anhidrosis.
9
klinis sebagai penderita kusta, semua penderita kusta yang diduga kambuh
(relaps) atau karena tersangka kuman (resisten) kebal terhadap obat, dan
semua penderita MB setahun sekali.
2.7.1Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk
mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang
sehat menjadi sakit. Secara garis besar, upaya pencegahan ini dapat berupa
pencegahan umum dan pencegahan khusus. Pencegahan umum dimaksudkan
untuk mengadakan pencegahan pada masyarakat umum, misalnya personal
hygiene, pendidikan kesehatan masyarakat dengan penyuluhan dan kebersihan
lingkungan. Pencegahan khusus ditujukan pada orang-orang yang mempunyai
resiko untuk terkena suatu penyakit, misalnya pemberian immunisasi.
2.7.2 Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah
orang yang telah sakit agar sembuh dengan pengobatan, menghindarkan
komplikasi kecacatan secara fisik. Pencegahan sekunder mencakup kegiatan-
kegiatan seperti dengan tes penyaringan yang ditujukan untuk pendeteksian dini
serta penanganan pengobatan yang cepat dan tepat. Tujuan utama kegiatan
pencegahan sekunder adalah untuk mengidentifikasikan orang-orang tanpa gejala
yang telah sakit atau yang jelas berisiko tinggi untuk mengembangkan penyakit.
10
2.7.3 Pencegahan Tersier
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidak mampuan dan
mengadakan rehabilitasi. Upaya pencegahan tingkat tiga ini dapat dilakukan
dengan memaksimalkan fungsi organ tubuh, membuat protesa ekstremitas
akibat amputasi dan mendirikan pusat-pusat rehabilitasi medik.
11
Tingkat 0 : tidak ada anestesi dan kelainan anatomis
Tingkat 1 : ada anestesi, tetapi tidak ada kelainan anatomis
Tingkat 2 : terdapat kelainan anatomis
12
kesehatan. Hal ini tergantung dari pengertian dan kesadaran penderita itu sendiri
untuk mendapatkan pengobatan.
Faktor-faktor yang menyebabkan penderita terlambat datang berobat ke
Puskesmas/sarana kesehatan lainnya, yaitu :
a) Tidak mengerti tanda dini kusta
b) Malu datang ke Puskesmas
c) Tidak tahu bahwa ada obat yang tersedia cuma-cuma di Puskesmas
d) Jarak penderita ke Puskesmas/sarana kesehatan lainnya terlalu jauh.
13
Penemuan ini dilakukan oleh penderita baru atau tersangka yang belum
pernah berobat kusta, datang sendiri atau saran dari orang lain ke sarana
kesehatan. Hal ini tergantung dari pengertian dan kesadaran penderita itu sendiri
untuk mendapatkan pengobatan.
Faktor-faktor yang menyebabkan penderita terlambat datang berobat ke
Puskesmas/sarana kesehatan lainnya, yaitu :
a) Tidak mengerti tanda dini kusta
b) Malu datang ke Puskesmas
c) Tidak tahu bahwa ada obat yang tersedia cuma-cuma di Puskesmas
d) Jarak penderita ke Puskesmas/sarana kesehatan lainnya terlalu jauh.
14
(2001) Regimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat dapson, rifamfisin, dan
klofasimin. Selain untuk mengatasi resistensi adapson yang semakin meningkat,
penggunaan MDT dimaksudkan juga untuk mengurangi ketidaktaatan penderita
dan menurunkan angka putus obat (drop-out rate) yang cukup tinggi pada masa
monoterapi dapson. Di samping itu juga diharapkan juga dengan MDT dapat
mengeliminasi persistensi kuman dalam jaringan.
Obat & Dosis Dewasa Anak
MDT
BB < 35 kg BB > 35 kg 10-14 thn
– Kusta PB
Rifampisin 450 mg/bln 600 mg/bln 450 mg/bln
(diawasi
(1- 2mg/ (12-15mg/kgBB/bln)
petugas) kgBB/hr
Dapson 50mg/hr 100 mg/hr 50mg/hr
(Swakelola)
15
Rifampicin dapson Lamprene
Dewasa 600 mg/ bulan 100mg/hari 300 mg/bulan
diminum didepan diminum di rumah diminum di
petugas kesehatan depan petugas
kesehatan
dilanjutkan dgn
50 mg/hari
diminum di
rumah
Anak 450 mg/bulan 50mg/hari 150mg/bulan
Diminum didepan diminum dirumah Didepan petugas
petugas kemudian
dilanjutkan 50mg
selang sehari
diminum dirumah
maka dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan
dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.
16
Dalam pelaksanaan program MDT-WHO (2001) ada beberapa masalah
yang timbul, yaitu : adanya persister, resistensi rifampisin, dan lamanya
pengobatan terutama untuk kusta MB. Untuk penderita kusta PB, rejimen MDT-
PB juga masih menimbulkan beberapa masalah, antara lain : masih menetapnya
lesi kulit setelah 6 bulan pengobatan. Jika seorang penderita mempunyai resistensi
ganda terhadap dapson dan rifampisin bersama-sama, tentunya hal ini akan
membahayakan.
Oleh karena itu diperlukan obat-obat baru dengan mekanisme
bakterisidal yang berbeda dengan obat-obat dalam rejimen MDT-WHO saat ini.
Idealnya, obat-obat kusta baru harus memenuhi syarat antara lain : bersifat
bakterisidal kuat terhadap M. leprae, tidak antagonis dengan obat yang sudah ada,
aman dan akseptabilitas penderita baik, dapat diberikan per oral, dan sebaiknya
diberikan tidak lebih dari sekali sehari. Di antara yang sudah terbukti efektif
adalah ofloksasin, minosiklin, dan klaritromisin.
Pemberian obat satu kali saja langsung RFT. Obat diminum didepan
petugas kesehatan. Anak kurang dari 5 tahun dan ibu hamil tidak diberikan ROM.
Bila ROM tidak tersedia di Puskesmas maka diobati dengan regimen pengobatan
PB lesi (2-5). Bila lesi tunggal tetapi dengan pembesaran saraf maka
menggunakan regimen pengobatan PB lesi 2-5.
17
Rifampicin Dapson
dilanjutkan 50mg
selang sehari
diminum dirumah
Dosis anak :
18
Rifampicin: 10-15 mg/kgBB
Dapson : 1-2 mg/kgBB
Lamprene dibawah 10 th
Bulanan : 100 mg/bulan
Harian : 50 mg/2x seminggu
19
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
20
3.4. Kerangka Konsep
Menurut Notoatmodjo (2002) yang dimaksud dengan kerangka konsep
penelitian adalah suatu hubungan atau keterkaitan antara konsep yang satu dengan
konsep yang lainnya dari masalah yang diteliti
Sikap dan
Pengetahuan Perilaku kader
Prevalensi
kader dan dan penderita
dalam Kusta
penderita
mengenai kusta pencegahan
kusta
21
Isi kuesioner yang dibagikan diantaranya sebagai berikut :
PERTANYAAN YA TIDAK
1. Apakah anda pernah mendengar tentang
penyakit kusta/lepra?
2. Apakah penyakit tersebut merupakan penyakit
keturunan?
3. Apakah apakah penyakit tersebut merupakan
penyakit kutukan?
4. Apakah penyakit tersebut disebabkan oleh guna-guna?
5. Apakah penyakit tersebut disebabkan oleh makanan?
6. Apakah penyakit tersebut disebabkan oleh faktor
genetik?
7. Apakah penyakit tersebut bisa menular? Jika ya,
Apakah penyakit tersebut ditularkan melalui
saluran pernafasan?
Apakah penyakit tersebut ditularkan melalui
kontak langsung dengan penderita?
Apakah penyakit tersebut ditularkan melalui
lingkungan?
8. Apakah setiap orang yang terpapar penyakit
kusta akan menderita penyakit kusta?
Alasan :
9. Apakah anda mengetahui gejala penyakit
kusta/lepra? Jika ya, sebutkan
10. Apakah penyakit kusta menyerang kulit?
11. Apakah penyakit kusta menyerang syaraf?
12. Apakah penyakit kusta menyerang jaringan/organ
tubuh?
13. Apakah penyakit kusta menyerang otak?
14. Apakah penyakit kusta bisa menyebabkan kecacatan?
15. Apakah kusta bisa dicegah?
16. Apakah kusta bisa diobati?
17. Apakah kusta bisa disembuhkan?
18. Apakah penderita kusta
dihindari/dikucilkan oleh penduduk
disekitar anda?
19. Perlukah menghindari penderita kusta?
20. Mahalkah pengobatan kusta?
Dari data kuisioner diatas terdapat 20 nomer yang pada setiap nomernya
mempunyai skor 5. Jika semua benar mempunyai skor 100. Sistem penilaian ini
menunjukkan tingkat pengetahuan para kader tentang pengetahuan tentang
penyakit kusta yang dibagi menjadi 3 kategori, yaitu :
22
1. Baik : nilai ≥ 70
2. cukup : nilai 50-69
3. kurang : nilai <50
23