Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit kusta saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
di beberapa wilayah Indonesia dan beberapa negera lain di dunia. Penyakit
kusta sampai saat ini masih ditakuti oleh masyarakat, keluarga, dan termasuk
petugas kesehatan sendiri. Penyakit kusta merupakan penyakit kronis yang
menyerang saraf tepi, kulit, dan jaringan tubuh lainnya.1,3
Meningkatnya prevalensi morbus hensen merupakan ancaman bagi
kesehatan masyarakat. Berdasarkan laporan World Health Organitation
(WHO) tahun 2000 dari sejumlah negara melaporkan, angka kejadian
(prevalensi) penyakit kusta didunia tercatat 2,2 per 10.000 penduduk dengan
sejumlah penderita sebanyak 641.091 orang. Dari laporan tersebut dikawasan
Asia tenggara tercatat sebagai kawasan yang mempunyai prevalensi tertinggi
yaitu 574.924 orang. Pada tahun 2005 di Indonesia tercatat 21.537 penderita
kusta terdaftar, jumlah kasus baru sebanyak 19.695 penderita.pada tahuan
2006 WHO mencatat masih ada 15 negara yang melaporkan 1000 atau lebih
penderita beru selama tahun 2006. Lima belas negara ini mempunyai
kontribusi 94% dari seluruh penderita baru di dunia. Indonesia menempati
urutan prevalensi ketiga setelah India dan Brazil.6, 23, 30
Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh propinsi
dengan pola penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada pertengahan tahun
2000 Indonesia secara nasional sudah mencapai eliminasi kusta namun pada
tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 terjadi peningkatan penderita kusta
baru. Pada tahun 2006 jumlah penderita kusta baru di Indonesia sebanyak
17.921 orang. Propinsi terbanyak melaporkan penderita kusta baru adalah
Maluku, Papua, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan dengan prevalensi lebih
besar dari dari 20 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2010, tercatat 17.012
kasus baru kusta di Indonesia dengan angka prevalensi 7.22 per 100.000
penduduk sedangkan pada tahun 2011, tercatat 19.371 kasus baru kusta di
Indonesia dengan angka prevalensi 8.03 per 100.000 penduduk.6, 9, 35

Berdasarkan laporan PP&PL Depkes, (2008) penderita Kusta baru di


provinsi Banten selama tahun 2011 mencapai jumlah 500 kasus penderita
kusta yang tersebar di beberapa wilayah dengan jumlah kasus yang berbedabeda. Untuk penyebaran terdapat di Cilegon, Serang, Pandeglang, Lebak.
Sedangkan untuk wilayah kabupaten Tangerang selama tahun 2010 angka
penderita kusta mencapai 277 kasus, ke-277 orang itu terdiri dari 242 orang
menderita kusta basah dan 35 orang kusta kering.5-7
Dengan adanya data tersebut penulis bermaksud melakukan penelitian
mengenai prevalensi penderita Morbus Hensen (kusta) di RSUD Tangerang
tahun 2011.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah, bagaimanakah angka kejadian morbus hensen
(kusta) di RSUP Tangerang pada tahun 2011?.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana angka kejadian morbus hensen berdasarkan usia di RSUD
Tangerang.
2. Bagaimana angka kejadian morbus hensen berdasarkan jenis kelamin di
RSUD Tangerang.
3. Bagaimana angka kejadian morbus hensen pada tahun 2011 di RSUD
Tangerang.

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui berapa banyak jumlah penderita morbus hensen (kusta) di
RSUD Tangerang pada tahun 2011.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran angka kejadian morbus hensen berdasarkan
usia dan jenis kelamin di RSUD Tangerang tahun 2011.
2. Mengetahui gambaran angka kejadian morbus hensen berdasarkan
tempat (RSUD Tangerang) tahun 2011.

3. Mengetahui gambaran angka kejadian morbus hensen berdasarkan


waktu (tahun 2011).
1.5 Manfaat Penelitian
1.

Pengetahuan peneliti tentang angka kejadian morbus hensen berdasarkan


usian dan jenis kelamin di RSUD Tangerang.

2.

Informasi kepada masyarakat tentang angka kejadian morbus hensen di


RSUD Tangerang.

3.

Informasi kepada institusi kesehatan tentang angka kejadian morbus


hensen di RSUD Tangerang tahun 2011, sebagai upaya dilakukannya
pencegahan sedini mungkin.

4.

Sebagai referensi penelitian bagi mahasiswa Program Studi Pendidikan


Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.

5.

Menambah wawasan ilmu tentang Morbus Hensen (kusta).

6.

Menjadi sarana untuk mengembangkan ilmu dan teori yang di daperoleh


saat kuliah.

7.

Menambah wawasan dan pengalaman dalam melakukan penelitian di


bidang kesehatan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Morbus Hensen (Penyakit Kusta)
2.1.1 Definisi
Penyakit Kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium Leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan
jaringan tubuh lain nya. Jaringan tubuh yang diserang antara lain mucosa
mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot-otot,
tulang, dan testis. Menifestasi klinis dari penyakit ini sangat bervariasi
dengan spektrum yang berada diantara dua bentuk klinis yaitu lepromatosa
dan tuberkuloid. Penyakit ini juga sering disebut dengan Morbus Hensen
dan Leprae.2,3

2.1.2 Epidemiologi
Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya
diketahui secara pasti. Sumber infeksi kusta adalah penderita dengan
banyak basil yaitu tipe multibasiler (MB). Cara penularan belum diketahui
dengan pasti, dikatakan penularan bisa melalui kontak langsung antar kulit
yang lama dan erat. Sumber lain mengatakan secara inhalasi, sebab M.
leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunas kusta
bervariasi, 40 hari sampai 40 tahun.1, 5
Faktor sosial ekonomi memegang peranan, makin rendah sosial
ekonomi makin subur penyakit kusta, sebaliknya sosial ekonomi tinggi
membantu penyembuhan. Sehubungan dengan iklim, kusta tersebar di
daerah tropis dan sub tropis yang panas dan lembab, terutama di Asia,
Afrika dan Amerika Latin. Jumlah kasus terbanyak terdapat di India,
Brazil, Bangladesh, dan Indonesia.7, 9
Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah
tropis dan subtropis. Dapat menyerang semua umur, frekuensi tertinggi
pada kelompok umur antara 30-50 tahun dan lebih sering mengenai lakilaki daripada wanita.19

Menurut WHO (2002), diantara 122 negara yang endemik pada


tahun 1985 dijumpai 107 negara telah mencapai target eliminasi kusta
dibawah 1 per 10.000 penduduk pada tahun 2000. Pada tahun 2006 WHO
mencatat masih ada 15 negara yang melaporkan 1000 atau lebih penderita
baru selama tahun 2006. Lima belas negara ini mempunyai kontribusi 94%
dari seluruh penderita baru didunia. Indonesia menempati urutan
prevalensi ketiga setelah India, dan Brazil.4, 5
Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh
propinsi dengan pola penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada
pertengahan tahun 2000 Indonesia secara nasional sudah mencapai
eliminasi kusta namun pada tahun tahun 2002 sampai dengan tahun 2006
terjadi peningkatan penderita kusta baru. Pada tahun 2006 jumlah
penderita kusta baru di Indonesia sebanyak 17.921 orang. Propinsi
terbanyak melaporkan penderita kusta baru adalah Maluku, Papua,
Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan dengan prevalensi lebih besar dari 20
per 100.000 penduduk.6, 18
Pada tahun 2010, tercatat 17.012 kasus baru kusta di Indonesia
dengan angka prevalensi 7,22 per 100.000 penduduk sedangkan pada
tahun 2011, tercatat 19.371 kasus baru kusta di Indonesia dengan angka
prevalensi 8,03 per 100.000 penduduk.18,19

2.1.3 Etiologi Morbus Hensen


Penyebab penyakit Kusta adalah bakteri Mycobacterium Leprae
yang ditemukan oleh GH Armauer Hansen, seorang sarjana dari Norwegia
pada tahun 1873, berbentuk batang panjang, sisi paralel dengan kedua
ujung bulat, ukuran 0,3 0,5 mikron x 1-8 mikron.2 Basil ini berbentuk
batang gram positif, tidak bergerak, tidak berspora, dapat tersebar atau
dalam berbagai ukuran bentuk kelompok. Pada pemeriksaan langsung
secara

mikroskopis,

tampak

bentukan

khas

adanya

basil

yang

mengerombol seperti ikatan cerutu, sehingga disebut packet of cigart


(globi). Basil ini diduga berkapsul tetapi rusak pada pewarnaan

menggunakan karbon fukhsin. Organisme tidak tumbuh pada perbenihan


buatan.20
Penyakit

kusta

bersifat

menahun

karena

bakteri

kusta

memerlukan waktu 12-21 hari untuk membelah diri dan masa tunasnya
rata-rata 2-5 tahun. 21

2.1.4 Klasifikasi Morbus Hensen


1. Klasifikasi internasional
a. Interdeterminate ( I )
b.Tuberkuloid ( T )
c. Bordeline ( B )
d.Lepromatosa ( L )
Klasifikasi ini merupakan klasifikasi yang paling sederhana
berdasarkan manifestasi klinis lepra, pemeriksaan bakteriologis, dan
pemeriksaan histopatologi, sesuai rekomendasi dari International
Leprosy Association di Madrid tahun 1953 7, 21
2. Klasifikasi Ridley-Jopling
a. Tuberkuloid tuberkuloid ( TT )
b.Bordeline tuberkuloid ( BT )
c. Bordeline bordeline ( BB )
d.Lepramatosa lepramatosa ( LL )
Pada klasifikasi ini penyakit kusta merupakan suatu spektrum
klinis mulai dari daya kekebalan tubuhnya rendah pada suatu sisi
sampai mereka yang memiliki kekebalan yang tinggi terhadap
M.leprae di sisi yang lainnya. Kekebalan seluler (cell mediated
imunity = CMI) seseorang yang akan menentukan apakah dia akan
menderita kusta apabila individu tersebut mendapat infeksi M.leprae
dan tipe kusta yang akan dideritanya pada spektrum penyakit kusta.
Sistem klasifikasi ini banyak digunakan pada penelitian penyakit
kusta, karena bisa menjelaskan hubungan antara interaksi kuman

dengan respon imunologi seseorang, terutama respon imun seluler


spesifik. 3, 7, 21, 36

3. Klasifikasi menurut WHO


Pada tahun 1982, WHO mengembangkan klasifikasi untuk
mempermudah pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh
penderita kusta hanya dibagi menjadi 2 tipe yaitu :
1. Pausibasiler (PB)
Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan basil
tahan asam (BTA) negatif menurut kriteria Ridley dan Jopling
atau tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid.6, 9
2. Multibasiler (MB)
Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut
kriteria Ridley dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan
semua tipe kusta dengan BTA positif.6, 9
Sampai

saat

ini

Departemen

Kesehatan

Indonesia

menerapkan klasifikasi menurut WHO sebagai pedoman


pengobatan penderita kusta. Dasar klasifikasi ini adalah negatif
dan positifnya basil tahan asam (BT) dalam skin smear.3,6
Tabel 2.1.5 1 Perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi
WHO.21,24
Tanda utama
Bercak kusta
Penebalan saraf tepi yang
disertai dengan gangguan
fungsi (gangguan fungsi
bisa berupa kurang/mati
rasa atau kelemahan otot
yang dipersarafi oleh saraf
yang bersangkutan.

Pemeriksaan bakteriologi

Pausibasiler
(Pb)
Jumlah 1 sampai
dengan 5

Multibasiler (Mb)
Jumlah lebih dari 5

Hanya satu

Lebih dari satu

syaraf

syaraf

Tidak dijumpai
Dijumpai basil tahan
basil tahan asam
(BTA negatif)
asam (BTA positif)

Tabel 2.1.5 2 tanda lain dan Perbedaan tipe PB dan MB menurut


klasifikasi WHO.21, 24

2.1.5 Diagnosis Morbus Hensen


Diagnosis pasien kusta berdasarkan tiga penemuan tanda utama
yaitu:
1. Bercak kulit yang mati rasa

Bercak hipopigmentasi atau erimatosa, mendatar


(makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat
total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu dan rasa
nyeri.2, 10
2. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau
tanpa gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu:
1. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
2. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
3. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema
dan pertumbuhan rambut yang terganggu. 10, 24
3. Ditemukan BTA
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping
telingadan lesi kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang
bahan diperoleh dari biopsi kulit atau syaraf.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling
sedikit harus ditemukan satu tanda utama. 10, 24
Tabel 2.1.7 Perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi WHO. 10,
24, 28

Tanda dan gejala MH


1. Lesi kulit (makula
yang datar, papul

Pb
-

1-5 lesi

>5 lesi

Hipopigmentasi/

distribusi

yang meninggi,
infiltrat, plak eritem,
nodus)

Mb

eritema
-

lebih simetris

distribusi tidak
simetris

2. Kerusakan pada

Hilangnya

hilangnya

saraf (menyebabkan

sensasi yang

sensasi

hilangnya sensasi /

jelas

kurang jelas

kelemahan otot
yang dipersyarafi

hanya satu

cabang syaraf

banyak
cabang syaraf

oleh syaraf yang


terkena)

2.1.6 Reaksi Kusta


Reaksi kusta adalah suatu episode akut di dalam perjalanan
klinik penyakit kusta yang ditandai dengan terjadinya reaksi radang akut
(neuritis) yang kadang-kadang disertai dengan gejala sistemik.10 Reaksi
kusta dapat merugikan pasien kusta, oleh karena dapat menyebabkan
kerusakan syaraf tepi terutama gangguan fungsi sensorik (anastesi)
sehingga dapat menimbulkan kecacatan pada pasien kusta. Reaksi kusta
dapat terjadi sebelum mendapat pengobatan, pada saat pengobatan,
maupun sesudah pengobatan, namun reaksi kusta paling sering terjadi
pada 6 bulan sampai satu tahun sesudah dimulainya pengobatan.10, 20
Reaksi kusta dapat dibagi atas dua kelompok yaitu:
1. Reaksi kusta tipe 1 (Reaksi Reversal= RR)
Reaksi imunologik yang sesuai adalah reaksi hipersensitivitas
tipe IV dari Coomb & Gel (Delayed Type Hypersensitivity Reaction).
Reaksi kusta tipe 1 terutama terjadi pada kusta tipe borderline (BT, BB,
BL) dan biasanya terjadi dalam 6 bulan pertama ataupun sedang mendapat
pengobatan. Pada reaksi ini terjadi peningkatan respon kekebalan seluler
secara cepat terhadap kuman kusta dikulit dan syaraf pada pasien kusta.
Hal ini berkaitan dengan terurainya M.leprae yang mati akibat pengobatan
yang diberikan.24
Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi
dengan limfosit T disertai perubahan imunitas selular yang cepat. Dasar

10

reaksi kusta tipe 1 adalah adanya perubahan keseimbangan antara imunitas


selular dan basil. Diduga kerusakan jaringan terjadi akibat langsung reaksi
hipersensitivitas seluler terhadap antigen basil.24 Pada saat terjadi reaksi,
beberapa penelitian juga menunjukkan adanya peningkatan ekspresi
sitokin pro-inflamasi seperti TNF-, IL-1b, IL-6, IFN- dan IL-12 dan
sitokin immunoregulatory seperti TGF- dan IL-10 selama terjadi aktivasi
dari makrofag. Aktivasi CD4+ limfosit (Th-1) menyebabkan produksi IL-2
dan IFN- meningkat sehingga dapat terjadi lymphocytic infiltration pada
kulit dan syaraf IFN dan TNF- bertanggung jawab terhadap terjadinya
edema, inflamasi yang menimbulkan rasa sakit dan kerusakan jaringan
yang cepat.20,21
Tabel 2.1.6 1 Gambaran reaksi kusta tipe 1 24

2. Reaksi kusta tipe 2 (reaksi eritema nodosum leprosum)


Reaksi kusta tipe 2 terutama terjadi pada kusta tipe lepromatous
(BL, LL). Diperkirakan 50% pasien kusta tipe LL Dan 25% pasien kusta
11

tipe BL mengalami episode ENL. Umumnya terjadi pada 1-2 tahun setelah
pengobatan tetapi dapat juga timbul pada pasien kusta yang belum
mendapat pengobatan Multi Drug Therapy (MDT). ENL diduga
merupakan manifestasi pengendapan kompleks antigen antibodi pada
pembuluh darah. Termasuk reaksi hipersensitivitas tipe III menurut
Coomb & Gel.24, 28
Pada pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur,
sehingga banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi
IgG, IgM dan komplemen C3 membentuk kompleks imun yang terus
beredar dalam sirkulasi darah dan akhirnya akan di endapkan dalam
berbagai organ sehingga mengaktifkan sistem komplemen. Berbagai
macam enzim dan bahan toksik yang menimbulkan destruksi jaringan akan
dilepaskan oleh netrofil akibat dari aktivasi komplemen.20, 24
Pada ENL, dijumpai peningkatan ekspresi sitokin IL-4, IL-5, IL
13 dan IL-10 (respon tipeTh-2) serta peningkatan, IFN- danTNF-. IL-4,
IL-5, IFN-,TNF- bertanggung jawab terhadap kenaikan suhu dan
kerusakan jaringan selama terjadi reaksi ENL. 24, 34
Reaksi ENL cenderung berlangsung kronis dan rekuren.
Kronisitas dan rekurensi ENL menyebabkan pasien kusta akan tergantung
kepada pemberian steroid jangka panjang. 24
Gambar 2.1.6 Spektrum reaksi kusta RR dan ENL 21

12

Keterangan gambar:
Gambaran tipe reaksi yang terjadi dan hubungannya dengan tipe imunitas
dalam spektrum imunitas pasien kusta menurut Ridkey-Jopling 21
Reaksi tipe 1 diperantarai oleh mekanisme imunitas seluler
Reaksi tipe 2 diperantarai oleh mekanisme imunitas humoral
Tabel 2.1.6 2 Gambaran reaksi kusta tipe 2 20, 21

2.2 Faktor Faktor yang Menyebabkan Kejadian Kusta


1.

Agent
Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan
jaringan tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat. Kusta adalah
penyakit yang disebabkan oleh bakteri M. leprae yang menyerang kulit,
saraf tepi di tangan maupun kaki, dan selaput lendir pada hidung,
tenggorokan dan mata. 2, 23

13

Kuman ini satu genus dengan kuman TB dimana di luar tubuh


manusia, kuman kusta hidup baik pada lingkungan yang lembab akan
tetapi tidak tahan terhadap sinar matahari.4 Kuman kusta dapat bertahan
hidup pada tempat yang sejuk, lembab, gelap tanpa sinar matahari sampai
bertahun-tahun lamanya.1 Kuman Tuberculosis dan leprae jika terkena
cahaya matahari akan mati dalam waktu 2 jam, selain itu. Seperti halnya
bakteri lain pada umumnya, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan
dengan kelembaban yang tinggi.4 Air membentuk lebih dari 80% volume
sel bakteri dan merupakan hal esensial untuk pertumbuhan dan
kelangsungan hidup sel bakteri. Kelembaban udara yang meningkat
merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk yang
memiliki rentang suhu yang disukai, merupakan bakteri mesofilik yang
tumbuh subur dalam rentang 25-400C, tetapi akan tumbuh secara optimal
pada suhu 31-370C.12
Mengetahui sifat-sifat agent sangat penting untuk melakukan
pencegahan dan penanggulangan penyakit, sifat-sifat tersebut termasuk
ukuran, kemampuan berkembangbiak, kematian agent atau daya tahan
terhadap pemanasan atau pendinginan.11
2.

Host
Manusia merupakan reservoir untuk menularnya kuman seperti
Mycobacterium Tuberculosis dan Mycobacterium Leprae, kuman
tersebut bisa menularkan pada 10-15 orang. Menurut penelitian pusat
ekologi kesehatan (1991), tingkat penularan kusta di lingkungan keluarga
penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat
menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya. Di dalam rumah
dengan ventilasi baik, kuman ini dapat hilang terbawa angin dan akan
lebih baik jika ventilasi suatu ruangan selalu dibuka dan menggunakan
pembersih udara yang bisa menangkap kuman.11
Hal-hal yang perlu diketahui tentang host atau penjamu meliputi
karakteristik; gizi atau daya tahan tubuh, pertahanan tubuh, personal
hygiene, gejala dan tanda penyakit dan pengobatan. Karakteristik host

14

dapat yaitu antara lain : umur, jenis kelamin, pekerjaan , keturunan, ras
dan gaya hidup.11
3.

Environment
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host baik
benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang
terbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen termasuk host yang lain.
Lingkungan terdiri dari lingkungan fisik dan non fisik, lingkungan fisik
terdiri dari : keadaan geografis (dataran tinggi atau rendah, persawahan
dan lain-lain), kelembaban udara, suhu, lingkungan tempat tinggal.
Adapun lingkungan non fisik meliputi : sosial (pendidikan, pekerjaan),
budaya (adat, kebiasaan turun temurun), ekonomi (kebijakan mikro dan
local) dan politik (suksesi kepemimpinan yang mempengaruhi kebijakan
pencegahan dan penanggulangan suatu penyakit).11, 15
Menurut APHA (American public helath Assosiation), lingkungan
rumah yang sehat harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut :
1. Memenuhi kebutuhan fisiologis :
a. Suhu ruangan, diusahakan sedemikian rupa suhu
ruangan sebuah rumah tidak berubah banyak agar
kelembaban udara dapat dijaga jangan sampai terlalu
tinggi dan terlalu rendah. Kelembaban udara didalam
ruangan naik terjadnya proses penguapan cairan dari
kulit dan penyerapan. Suhu udara yang ideal di dalam
ruangan adalah 18-30C. Kelembaban yang tinggi
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan
bakteri-bakteri patogen. Suhu optimal pertumbuhan
bakteri bervarias, Mycobacterium Leprae tumbuh
optimal pada suhu 37C. 12, 19
b. Pencahayaan yang baik siang maupun malam. Suatu
ruangan mendapat penerangan pagi dan siang hari yang
cukup yaitu jika luas ventilasi minimal 10% dari jumlah
luas lantai. Paparan sinar matahari selama 5 menit dapat

15

membunuh kuman M.Leprae. bakteri ini tahan hidup


dan berkembang di tempat yang gelap. 12
c. Ruangan harus segar dan tidak berbau, untuk ini
diperlukan

ventilasi

yang

cukup

untuk

proses

pergantian udara.12
2. Perlindungan terhadap penularan penyakit:
a. Memiliki sumber air yang memenuhi syarat, baik secara
kualitas maupun kuantitas, sehingga selain kebutuhan
untuk makan dan minum terpenuhi, juga tersedia air
untuk memelihara kebesihan rumah, pakaian dan
penghuninya.11,12
b. Memiliki tempat penyimpanan sampah dan WC yang
baik dan memenuhi syarat, dan air pembuangan harus
bisa dialirkan dengan baik.11,12
c. Tempat memasak dan tempat makan hendaknya bebas
dari pencemaran dan gangguan binatang serangga dan
debu.11,12
d. Mencegah agar vektor penyakit tidak bisa hidup dan
berkembangbiak di dalam rumah, jadi rumah dalam
kontruksinya harus rat proof, fly fight, mosquito
fight.11,12
e. Luas kamar tidur minimal 9 m3 per orang dan tinggi
langit-langit minimal 2,75 meter.12
Faktor lingkungan memegang peranan yang penting dalam
penularan penyakit kusta, terutama pada pemenuhan physiologis rumah,
sebab sinar ultra violet yang terdapat pada sinar matahari dapat
membunuh kuman kusta, selain itu sinar matahari juga dapat mengurangi
kelembaban yang berlebihan, sehingga dapat mencegah berkembangnya
kuman kusta dalam rumah, oleh karenanya suatu rumah sangat perlu
adanya pencahayaan langsung yang cukup dari sinar matahari.12
4.

Sosial Ekonomi

16

WHO (2003) menyebutkan 90% penderita kusta di dunia


merupakan dari kelompok sosial ekonomi rendah atau miskin. Hubungan
antara kemiskinan dengan penyakit kusta bersifat timbal balik. Kusta
merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin maka dapat
menderita kusta. Kondisi sosial ekonomi itu sendiri, mungkin tidak hanya
berhubungan secara langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak
langsung seperti adanya kondisi gizi yang buruk, kondisi perumahan
yang tidak sehat, hygiene, sanitasi yang kurang dan akses terhadap
pelayanan kesehatan yang juga menurun.1, 19
Tingkat pekerjaan dan jenis pekerjaan sangat mempengaruhi
terjadinya kasus kusta atau keberhasilan pengobatan, status sosial
ekonomi keluarga diukur dari jenis, keadaan rumah, kepadatan penghuni
per kamar, status pekerjaan dan harta kepemilikan (Scoeman, 1991).
Masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah sering mengalami
kesulitan mendapat pelayanan kesehatan yang baik, sehingga penyakit
kusta menjadi ancaman bagi mereka (Soewasti, 1997). Salah satu
penyebab terbesar menurunnya kasus kusta adalah meningkatnya tingkat
sosial ekonomi keluarga tetapi faktor lain akibat sosial ekonomi adalah
pengaruh lingkungan rumah secara fisik baik pada, pencahayaan,
ventilasi, kepadatan rumah, dan pemenuhan kebutuhan gizi yang dapat
terpenuhi.1, 12
Faktor sosial ekonomi ini merupakan salah satu karakteristik
tentang faktor orang, perlu mendapat perhatian tersendiri. Status sosial
ekonomi sangat erat hubungannya dengan pekerjaan dan jenis pekerjaan
serta besarnya pendapatan keluarga juga hubungan dengan lokasi tempat
tinggal, kebiasaan hidup keluarga, termasuk kebiasaan makan, jenis
rekreasi keluarga, dan lain sebagainya. Status sosial ekonomi erat pula
hubungannya dengan faktor psikologi individu dan keluarga dalam
masyarakat. Status ekonomi sangat sulit dibatasi, hubungan dengan
kesehatan juga kurang nyata, yang jelas bahwa kemiskinan erat
hubungannya dengan penyakit hanya sulit dianalisa managemen sebab,
dan yang mana akibat. Status ekonomi menentukan kwalitas makanan,

17

hunian, kepadatan gizi, taraf pendidikan, tersediannya fasilitas air bersih,


sanitasi kesehatan lainnya, besar kecil keluarga, dan tekhnologi.1, 11,15
2.3 Mycobacterium Leprae
2.3.1 Struktur M. Leprae
1. Kapsul
Di sekeliling organisme terdapat suatu zona transparan
elektron dari bahan berbusa atau vesikular, yang diproduksi dan secara
struktur khas bentuk M. Leprae. Zona transparan ini terdiri dari dua
lipid, phthioceroldimycoserosate, yang dianggap memegang peranan
protektif pasif, dan suatu phenolic glycolipid, yang terdiri dari tiga
molekul gula hasil metilasi yang dihubungkan melalui molekul fenol
pada lemak (phthiocerol). Trisakarida memberikan sifat kimia yang
unik dan sifat antigenik yang spesifik terhadap M. leprae. 4, 37
2. Dindin Sel
a. Lapisan luar bersifat transparan elektron dan mengandung
lipopolisakarida yang terdiri dari rantai cabang arabinogalactan
yang diesterifikasi dengan rantai panjang asam mikolat, mirip
dengan yang ditemukan pada Mycobacteria lainnya. 4,37
b. Dinding dalam terdiri dari peptidoglycan: karbohidrat yang
dihubungkan melalui peptida-peptida yang memiliki rangkaian
asam-amino yang mungkin spesifik untuk M. leprae walaupun
peptida ini terlalu sedikit untuk digunakan sebagai antigen
diagnostik.4, 37
3. Membran
Tepat di bawah dinding sel, dan melekat padanya, adalah
suatu membran yang khusus untuk transport molekul-molekul kedalam
dan keluar organisme. Membran terdiri dari lipid dan protein. Protein
sebagian besar berupa enzim dan secara teori merupakan target yang
baik untuk kemoterapi. Protein ini juga dapat membentuk antigen
protein permukaan yang diekstraksi dari dinding sel M. leprae yang
sudah terganggu dan dianalisa secara luas.37
4. Sitoplasma

18

Bagian dalam sel mengandung granul-granul penyimpanan,


material genetik asam deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang
merupakan protein yang penting dalam translasi dan multiplikasi.
Analisis DNA berguna dalam mengkonfirmasi identitas sebagai M.
leprae dari mycobacteria yang diisolasi dari armadillo liar, dan
menunjukkan bahwa M. leprae, walaupun berbeda secara genetik,
terkait erat dengan M. tuberculosis dan M. scrofulaceum.37

2.4 Keterlibatan Syaraf pada Penderita Morbus Hensen


2.4.1

Kerusakan Syaraf Tepi


Syaraf tepi yang terserang akan menunjukkan berbagai kelainan

yaitu: 24,26
1. N.fasialis: lagoftalmos, mulut mencong
2. N.trigeminus: anestesi kornea
3. N.aurikularis magnus
4. N.radialis: tangan lunglai (drop wrist)
5. N.ulnaris: anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari V dan
sebagian jari IV
6. N.medianus: anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari I, II,
III, dan
7. sebagian jari IV. Kerusakan N.ulnaris dan N.medianus
menyebabkan jari
8. kiting (clow toes) dan tangan cakar (claw hand)
9. N.peroneus komunis: kaki semper (drop foot)
10.

N.tibialis posterior: mati rasa telapak kaki dan jari kiting

(claw toes)
Gambar 2.3.1 Syaraf Tepi 25

19

2.4.2

Tingkat kerusakan syaraf


Sebagian besar masalah kecacatan pada kusta ini terjadi
akibat penyakit kusta yang menyerang syaraf perifer. Menurut
Srinivasan, syaraf perifer yang terkena akan mengalami beberapa
tingkat kerusakan yaitu:
1. Stage of involvement
Pada tingkat ini syaraf menjadi lebih tebal dari
normal (penebalan syaraf) dan mungkin disertai nyeri
tekan dan nyeri spontan pada syaraf perifer tersebut,
tetapi belum disertai gangguan fungsi syaraf, misalnya
anestesi atau kelemahan otot.29
2. Stage of damage
Pada stadium ini syaraf telah rusak dan fungsi
syaraf tersebut telah terganggu. Kerusakan fungsi
syaraf, misalnya kehilangan fungsi syaraf otonom,
sensoris dan kelemahan otot menunjukkan bahwa syaraf
telah mengalami kerusakan (damage) atau telah
mengalami paralisis. Diagnosis stage of damage
ditegakkan, bila syaraf telah mengalami paralisis yang
20

tidak lengkap atau syaraf batang tubuh telah mengalami


paralisis lengkap tidak lebih dari 6-9 bulan. Penting
sekali untuk mengenali tingkat damage ini karena
dengan pengobatan pada tingkat ini kerusakan syaraf
yang permanen dapat dihindari.29
3. Stage of destruction
Pada tingkat ini syaraf telah rusak secara lengkap.
Diagnosis stage of destruction ditegakkan, jika sudah
terjadi kerusakan atau paralisis syaraf secara lengkap
lebih dari satu tahun. Pada tingkat ini walaupun dengan
pengobatan,

fungsi

syaraf

sudah

tidak

dapat

diperbaiki.29

2.5 Kecacatan pada Morbus Hensen / Kusta


2.5.1 Jenis cacat kusta
a. Cacat primer : cacat yang disebabkan langsung oleh aktivitas
penyakit, terutama kerusakan oleh respons jaringan terhadap
M.Leprae. Cacat primaer dapat berupa:
i. Cacat pada fungsi saraf sensorik, misalnya anestesia, fungsi
saraf motorik, misalnya claw hand, wrist drop, foot drop,
claw toes, lagoftalmus. Dan cacat pada fungsi otonom yang
menyebabkan kulit menjadi kering, elastisitas kulit
berkurang serta gangguan refleks vasodilatasi.29
ii. Infiltrasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan yang
menyebabkan kerusakan pada glandula sebasea dan
sudorifera, yang akibatnya kulit menjadi kering dan tidak
elastis.

Akibatnya

kulit

mudah

retak-retak

dan

menimbulkan cacat sekunder.29


iii. Cacat pada jarigan lain yang diakibatkan oleh infiltrasi
kuman M.Leprae juga dapat terjadi pada tendon, ligamen,
sendi, tulang rawan, tulang testis dan bola mata.29

21

b. Cacat sekunder : cacat yang terjadi akibat cacat primer, terutama


karena adanya kerusakan saraf (sensorik, motorik, otonom) yang
mengakibatkan anestesia dan memudahkan terjadinya luka akibat
trauma mekanis atau termis yang dapat mengalami infeksi
sekunder dengan segala akibat. Kelumpuhan motorik yang
menimbulkan gangguan menggenggam dan berjalan juga dapat
memudahkan terjadinya luka.2, 29

2.5.2 Derajat Cacat Kusta menurut WHO


1. Cacat pada tangan dan kaki :
a. Tingkat 0

: tidak ada anestesi dan kelainan anatomis

b. Tingakat 1

: ada anestesi tetapi tidak ada kelainan

anatomis
c. Terdapat kelainan anatomis
2. Cacat pada mata :
a. Tingkat 0

: tidak ada kelainan pada mata (termasuk

visus)
b. Tingkat 1

: ada kelainan mata, tetapi tidak terlihat,

visus sedikit berkurang


c. Tingkat 2

: ada lagoftalmus dan visus sangat terganggu

2.5.3 Kecacatan Spesifik pada Tangan


1. Ganggan n. Ulnaris 2,29
a. Anestesi pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari
manis
b. Clowing kelingking dan jari manis
c. Atropi hipotenar dan otot interoseus dorsalis pertama
d. Pada pergelangan tangan, fleksi melemah dan tidak mampu
melakukan abduksi ke arah ulnar
e. Ketidakmampuan abduksi ibu jari
f. Terjadi gangguan sensasi pada sisi ulnar tangan dan jari V

22

g. Terjadi gangguan vasomotor, yaitu : dingin, kering, dan


pucat pada sisi ulnar tangan. Kuku jari V sering rusak, dan
luka sering terjadi karena gangguan sensasi serta gangguan
proses penyembuhan.
2. Gangguan n. Medianus 29
a. Anestesi pada ujung jari bagian anterior ibu jari telunjuk dan
jari tengah
b. Tidak mampu adduksi ibu jari
c. Clowing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
d. Ibu jari kontraktur
3. Kombinasi gangguan n. Ulnaris dan medianus 4, 29
a. Pergelangan tangan akan hiperekstensi dan tangan menetap
kearah radial. Ibu jari abduksi gerakan fleksor abduksi
ataupun adduksi jari-jari tidak dapat dikerjakan
b. Atropi pada dorsal interosious tenar, hipotenar, gambaran
tendon fleksor menonjol
c. Gangguan sensasi terjadi hampir pada seluruh tangan
d. Gangguan otonomik seperti pada gangguan saraf ulnaris
juga terjadi
4. Gangguan n. Radialis 29
a. Anestesi dorsum manus
b. Tangan gantung (wrist drop)
c. Tidak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
2.5.4 Deformitas kaki
1. Drop foot (kelemahan kaki)
Gangguan syaraf popliteus lateralis dan syaraf kommunis
menyebabkan kelumpuhan dari otot-otot dorsifleksor dan invertor
sehingga menimbulkan luka terutama di daerah basis metatarsal
V.31
2. Claw toes (jari kaki keriting)
Ujung-ujung jari kaki yang menghadap ke bawah akan mudah
mendapat trauma dan luka akibat gangguan syaraf tibialis posterior

23

yang menyebabkan kelumpuhan otot-otot intrinsik kaki sehingga


menimbulkan jari kaki kiting. Luka terutama didaerah metatarsal III
dan IV disebabkan oleh sendi metatarsofalangeal menjadi
hiperekstensi sehingga arkus kaki menjadi datar.31, 32
Gambar 2.4.4 1 jari keriting pada penderita kusta 26

3. Kerusakan arsitektur tulang


Tulang kaki berubah menjadi pendek, kecil dan mengakibatkan
tekanan yang berlebihan pada kulit telapak kaki dan memudahkan
terjadinya luka akibat adanya luka plantar disertai komplikasi
osteomyelitis metatarsal.31
4. Ulkus plantaris
1. Ulkus plantaris akut, yaitu dimana ulkus menunjukkan adanya
infeksi akut dan peradangan akut. Daerah yang terkena menjadi
bengkak, hiperemi dengan dasar yang kotor. Dapat juga
dijumpai limfadenitis inguinal dan tanda gejala infeksi akut
seperti demam dan leukositosis.32
2. Ulkus plantaris yang bersifat superficial ulcer apabila tidak
mendapat penanganan yang tepat dapat berkembang menjadi
simple chronic ulcer. Ditandai dengan sedikit discharge,
terdapat hiperkeratotik dengan jaringan fibrosa yang padat dan
dasar ulkus berwarna pucat tertutup jaringan granulasi yang
tidak sehat.32

24

3. Complicated ulcer, dapat akut maupun kronik. Ditandai dengan


hilangnya jaringan lunak, fraktur yang patologik, destruksi dari
sendi, kehilangan tulang berhubungan dengan osteomyelitis
yang terjadi akibat jaringan di sekitar tulang (periosteum)
mengalami infeksi sehingga menyebabkan terjadinya inflamasi
pada tulang.32
4. Recurrent ulcers, yaitu ulkus plantaris yang mendapat
trauma/tekanan yang berulang, ditandai dengan ditemukannya
lokasi ulkus plantaris pada tempat yang sama.32
5. Pada beberapa kasus, ulkus plantaris dapat berkembang menjadi
premalignant atau malignant yang pertumbuhannya menyerupai
gambaran

bunga

kol

(skuamous

sel

karsinoma

atau

pseudoepitheliomatous hyperplasia.32
Gambar 2.4.4 2 penyebab ulkus plantaris pada penderita kusta31,32

Gambar 2.4.4 3 distribusi lokasi ulkus plantaris pada penderita


kusta26

25

Keterangan : 26
a. Tips of toes sebanyak <5 %
b. Big toe region sebanyak 30-50%
c. Central toe region 2nd-5th metatarsal head sebanyak 20-30%
d. Metatarsal head region sebanyak 15-20%
e. Mid lateral border of the foot (base of 5th metatarsal) sebanyak 1520%
f. Heel sebanyak 5-10%
g. Instep sebanyak <1%
2.6 Terapi Farmakologi Morbus Hensen / Kusta
Kemoterapi kusta dimulai yahun 1949 dengan DDS sebagai obat tunggal
(monoterapi DDS). DDS herus diminum selama 3-5 tahun untuk PB,
sedangkan untuk MB 5-10 tahun, bahkan seumur hidup. Kekurangan
monoterapi DDS adalah terjadinya resistensi, timbulnya kuman persisters
serta terjadinya pasien defaulter. Pada tahun 1964 ditemukan resistensi
terhadap DDS. Oleh karena itu pada tahun 1982 WHO merekomendasikan
pengobatan kusta dengan multi drug therapy (MDT) untuk tipe PB maupun
MB.33, 34
1. Tujuan pengobatan MDT
Tujuan pengobatan adalah : 33
a. Memutuskan rantai penularan
b. Mencegah resistensi obat
c. Memperpendek masa pengobatan

26

d. Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambhanya cacat yang


sudah ada sebelum pengobatan.
Dengan matinya kuman makan sumber penularan dari pasien,
terutama tipe MB ke orang lain terputus. Cacat yang sudah terjadi
sebelum pengobatan tidak dapat diperbaiki dengan MDT.5
Bila pasien kusta tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta
dapat menjadi resisten terhadap MDT, sehingga gejala penyakit
menetap bahkan memburuk. Gejala baru pun dapat timbul pada kulit
dan saraf.6, 35
2. Regimen Pengobatan MDT
Multi drug therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau lebih obat
antikusta, salah satunya rifampisin sebagai anti kusta yang bersifat
bakterisidal kuat, sedangkan obat anti kusta lai bersifat bakteriostatik.
Berikut ini merupakan kelompok orang yang membutuhkan MDT: 7, 33
1. Pasien yang baru didagnosis kusta dan belum pernah mendapat
MDT.
2. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal di bawah ini :
a. Relaps
b. Masuk kembali setelah default (dapt PB maupuN MB)
c. Pindahan (pindah masuk)
d. Berubah klasifikasi/tipe
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yyang
direkomendasikan oleh WHO. Regimen tersebut adalah sebaga berikut:
1, 33

Pasien pausibasiler (PB)


Dewasa
Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum di depan

petugas)

2 kapsul rifampisin @ 300mg (600 mg)

1 tablet dapson/DDS 100 mg

Pengobatan harian : hari ke 2-28


27

1 tablet dapson/DDS 100 mg

Satu blister untuk 1 bulan, dibutuhkan 6 blister yang diminum


selama 6-9 bulan.
-

Pasein multibasiler (MB)


Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminu depan petugas )

2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)

3 tablet lampren @ 100 mg (300 mg)

1 tablet dapson/DDS 100 mg

Pengobatan harian : hari ke 2-28

1 tablet lampren 50 mg

1 tablet dapson/DDS 100 mg

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum


selama 12-18 bulan.
3. Dosis MDT PB untuk anak (umur 10-15 tahun) 1, 33
Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum di depan petugas)

2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg

1 tablet dapson/DDS 50 mg

Pengobatan harian : hari ke 2-28

1 tablet dapson/DDS 50 mg

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama


6-9 bulan.
4. Dosis MDT MB untuk anak (umur 10-15 tahun)1, 33
Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum di depan petugas)

2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg

3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)

1 tablet dapson/DDS 50 mg

Pengobatan harian : hari ke 2-28

1 tablet lampren 50 mg selang sehari

28

1 tablet dapson/DDS 50 mg

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister ynag diminum selama


12 bulan.
Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk
blister.
Dosis anak disesuaikan dengan berat badan:

Rifampisin

: 10-15 mg/kgBB

Dapson

: 1-2 mgkgBB

Lampren

: 1 mg/kgBB

Tabel 2.5 1 Pedoman dosis MDT bagi pasien kusta


Type PB 33, 34

Tabel 2.5 2 Pedoman praktis untuk dosis MDT bagi pasien kusta
Type MB 33, 34

29

2.7 Tatalaksana non farmakologi Kusta


1. Edukasi Pencegahan cacat
Tujuan pencegahan cacat: 29, 31
a. Mencegah timbulnya cacat pada saat diagnosis kusta ditegakkan
dan diobati, diagnosis dini dan terapi yang rasional perlu
ditegakkan dengan cepat dan tepat.
b. Mencegah agar cacat yang telah terjadi tidak menjadi lebih berat,
dengan cara :
i. Melindung dan menjaga tangan yang anastesi (dan yang
sudah cacat). Agar tangan nya tidak terluka, luka bisa
disebabkan oleh terbakar oleh kena benda panas, terbentur,
dan tersentuh benda tajam.untuk mencegah luka-luka
tersebut penderita kusta perlu diingatkan untuk : 22, 29
1. Selalu menjaga kebersihan tangan.
2. Tidak bekerja saat masih ada luka di tangan maupun
kaki sampai luka sembuh.
3. Melindungi diri dari benda yang panas, kasar, dan
tajam dengan memakai alas tangan.
4. Membagi tugas rumah tangga dan meminta orang
lain untuk mengerjakan pekerjan yang berbahaya.

30

5. Sering berhenti dan sering-sering melepaskan


pegangan dan memeriksa tangan saat sedang
bekerja.
6. Jika ada luka, lecet atau memar segera bersihkan
dan diobati.
ii. menjaga fungsi saraf
iii. untuk jari tangan dan kaki yang bengkok dan/atau kering :
1. merendam tangan dan kaki dengan air dingin setiap
hari selama 20 menit
2. mengolesi dengan minyak atau lotion
3. meluruskan jari-jari yang bengkok agar tidak
semakin kaku.
iv. untuk kaki yang mati rasa : 22
1. selalu memakai alas kaki (sendal / sepatu yang
empuk)
2. tidak berdiri, jongkok terlalu lama, dan menghindari
berjalan jauh.
3. Menghindari kaki dari benda tajam
c. Menjaga agar cacat yang telah baik tidak kambuh lagi. Pencegahan
terjadinya transisi dari disability ke handicap dapat dilakukan
antara lain dengan penyuluhan adaptasi sosial dan latihan.22
2.8 Kerangka Teori

Kerangka Teori Penelitian 17, 19

31

2.9 Kerangka Konsep

Kerangka Konsep Penelitian 17, 19


2.10 Definisi Operasional
Tabel 2.8. Definisi Operasional
No

Variabel

Definisi

Cara ukur

1.

Angka

Jumlah

kejadian

pendeita kusta yang sekunder

(prevalensi)

tercatat

morbus

medis

hensen/kusta

Tangerang

seluruh Data

di

Alat ukur

Skala

Hasil ukur

Data

Nominal

Kasus kusta

Nominal

Menurut WHO:

sekunder

rekam
RSUD
tahun

2011.

2.

Usia

Hidup

responden Data

yang dihitung dalam sekunder


tahun

sejak

sampai
penelitian

lahir
waktu

Data
sekunder

1. Muda

(15-49

tahun)
2. Orang tua (50
tahun ke atas)

32

3.

Jenis kelamin

Status

gender Data

seseorang (penderita sekunder

Data

Nominal

sekunder

1. Laki-laki
2. Perempuan

kusta)
4.

5.

Tempat

Waktu

Tempat pengambilan Data

Data

data kasus

sekunder

sekunder

Rentang waktu yang Data

Data

terdiri dari bulan dan sekunder

sekunder

Nominal

Rumah sakit

Nominal

Tahun

tahun

33

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 DESAIN PENELITIAN
Jenis penelitian ini bersifat analisis deskriptif dengan metode studi
cross sectional tentang angka kejaidian morbus hensen/kusta di RSUD
Tangerang pada tahun 2011 dengan variabel usia dan jenis kelamin dalam
bentuk tabel dan grafik.
3.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN
3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di RSUD kota Tangerang.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan September-Desember 2012.

3.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN


3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita kusta
yang tercatat dalam rekam medis poli kulit RSUD Tangerang tahun
2011.
3.3.2 Jumlah Sampel
Sampel penelitian adalah seluruh penderita kusta di RSUD
Tangerang sehingga penelitian ini adalah total sampling.
3.3.3 Cara Pengambilan Sampel
Sampel merupakan data sekunder yang diambil dari rekam
medis penderita kusta yang datang berobat ke poli kulit RSUD
Tangerang tahun 2011.

3.4 CARA KERJA PENELITIAN


3.4.1 Etika Penelitian
Penelitian ini telah memperoleh persetujuan dari Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

34

Penulis mendapatkan persetujuan untuk melakukan penelitian di


RSUD Kota Tangerang.

3.4.2 Alur Penelitian

Gambar 3.4. Alur Penelitian

3.5 Manajemen Kerja


3.5.1 Pengumpulan Data
Data diambil dengan melihat rekam medis penderita kusta yang
datang ke poli kulit RSUD Tangerang.
3.5.2 Pengolahan Data
Data dimasukkan ke dalam komputer melalui data entry pada
program SPSS versi 16.0 untuk windows yang kemudian dianalisis lalu
dibahas secara deskriptif dalam laporan hasil penelitian.
3.5.3 Penyajian Data
Data-data hasil penelitian yang diolah ditampilkan secara deskriptif
dalam bentuk tabel, grafik dan gambaran.
3.5.4 Analisa Data
Analisa univariat dengan menampilkan tabel angka kejadian
morbus hensen/kusta berdasarkan variabel yang terdiri dari variabel usia
dan jenis kelamin.
3.5.5 Pelaporan Hasil Penelitian
35

Hasil penelitian dibuat dalam bentuk makalah laporan penelitian


yang dipresentasikan di hadapan staf pengajar program studi pendidikan
dokter FKIK IUN Syarif Hidayatullah Jakarta.

36

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Angka Kejadian Morbus Hensen / Kusta Berdasarkan Usia di RSUD
Tangerang Tahun 2011

Tabel 4.1 Frekuensi Kejadian Morbus Hensen Berdasarkan Usia Di


RSUD Tangerang Tahun 2011 14
Usia

Frekuensi

Presentase (%)

11-20

21-30

15

31-40

41-50

15

51-60

13

38

61-70

23

total

34

100

Grafik 4.1 Perbandingan kejadian morbus hensen berdasarkan usia di


RSUD Tangerang tahun 2011 14

37

Berdasarkan tabel 4.1dan grafik 4.1 didapatkan hasil bahwa


kejadian kusta menurut kelompok usia yang paling tinggi adalah
kelompok usia 51-60 tahun yaitu 38%.
Kebanyakan peneliti melaporkan distribusi penyakit kusta menurut
umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden,
karena kejadian penyakit sering terkait umur pada saat ditemukan nya
kusta daripada saat timbulnya penyakit.4
Kejadian kusta diketahui terjadi pada semua umur mulai bayi
sampai tua (3 minggu sampai lebih dari 70 tahun), namun penyakit kusta
jarang ditemukan pada bayi, yang terbanyak adalah pada usia dewasa
(diatas 15-30 tahun). Hal ini terjadi karena selain masa inkubasi kuman
M.Leprae yang lama juga karena kesulitan mengetahui awal mula
timbulnya penyakit. 24
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Brigitte Ranque, et.al
(1997), yang menyimpulkan bahwa penderita kusta lebih banyak
ditemukan pada kelompok usia dewasa dibandingkan anak, hal ini
disebabkan karena dalam sistem imun anak, sel T helper 2 (th2) diduga
kuat mampu mengatasi terjadinya infeksi sehingga reaksi kusta lebih
kecil terjadi pada anak. Sedangkan pada orang dewasa ketersediaan sel T
memori lebih banyak dan menyebabkan terjadinya reaksi kusta lebih
tinggi dan dapat memicu reaksi silang antara antigen M. Leprae dengan
antigen non M. Leprae seperti M. Tuberculosis.37 Namun dikatan juga
kecacatan lebih banyak terjadi pada usia produktif 19-55 tahun, dan
kecacatan sekunder umumnya lebih sering terjadi pada usia di bawah 30
tahun. Hal ini disebabkan karena bahaya yang terpapar saat beraktifitas.
Dan usia produktif lebih sering melakukan aktifitas dibandingkan dengan
anak dan usia lanjut.4
4.2. Angka Kejadian Morbus Hensen / Kusta Berdasarkan Jenis
Kelamin di RSUD Tangerang Tahun 2011

Tabel. 4.2 Frekuensi Kejadian Morbus Hensen Berdasarkan Jenis


Kelamin Di Rsud Tangerang Tahun 2011 14

38

Jenis kelamin

Frekuensi

Presentase (%)

Laki-laki

23

68

Perempuan

11

32

Total

34

100

Grafik 4.2 Perbandingan kejadian morbus hensen berdasarkan jenis


kelamin di RSUD Tangerang tahun 2011 14

Data penderita morbus hensen / kusta berdasarkan kelompok jenis


kelamin pada penelitian ini menunjukkan bahwa kusta di RSUD
Tangerang pada tahun 2011 paling tinggi pada jenis kelamin laki-laki
yaitu sebanyak 68%.
Laki-laki memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi
dibandingkan perempuan. Rendahnya kejadian morbus hensen / kusta
pada perempuan dapat disebabkan karena beberapa faktor antara lain
faktor lingkungan dan biologis.36
Menurut catatan sebagian besar negara di dunia kecuali dibeberapa
negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang
daripada wanita. Alasan nya seperti kebanyakan pada penyakit menular
lainnya yaitu laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor risiko yang
sebagian besar berkaitan dengan gaya hidup yaitu seperti kebiasaan
keluar rumah, laki-laki lebih sering beraktifitas di luar rumah dibanding
perempuan sehingga lebih rentan untuk tertular penyakit kusta.35

39

Dari berbagai penelitian menunjukkan 90% dari populasi yang


kontak langsung dengan penderita akan mengalami penularan kusta,
selain itu pekerjaan dan merokok juga termasuk faktor risiko yang
berhubungan dengan rentan nya laki-laki untuk terkena kusta dan tingkat
kecacatan yang lebih berat dibandingkan dengan perempuan.27

40

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1

Simpulan
1. Kejadian morbus hensen/kusta di RSUD Tangerang tahun 2011 menurut
kelompok usia diketahui bahwa kelompok usia 51-60 tahun lebih banyak
dibandingkan kelompok usia lain yaitu 38%.
2. Kejadian morbus hensen/kusta di RSUD Tangerang berdasarkan jenis
kelamin diketahui bahwa laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan.
Hal ini dapat dilihat dari jumlah kasus pada laki-laki sebanyak 23 orang.

5.2 Saran
1. Diperlukan penyuluhan sedini mungkin kepada masyarakat tangerang dan
sekitarnya sebagai upaya pencegahan kejadian kusta.
2. Untuk RSUD Tangerang diharapkan mengetahui prevalensi jumlah pasien
penderita kusta berdasarkan karakteristik, jenis/tipe kusta yang di derita
pasien.
3. RSUD dan dinas kesehata kota Tangerang hendaknya dapat melakukan
survei lanjutan untuk mengetahui perkembangan kusta lebih lanjut, agar
dapat diketahui jumlah penderita kusta.

41

Anda mungkin juga menyukai