Anda di halaman 1dari 4

1.

MENGIDENTIFIKASI PENYAKIT
Nama Penyakit : Tuberkulosis (TBC)
Sumber :
 Profil Kesehatan 2021
 Wikurendra, E. A. (2010). Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Tb Paru
Dan Upaya Penanggulangannya. Jurnal Ekologi Kesehatan, 9(4), 1340-1346.

Distribusi Penyakit :

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman


Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut menyebar dari penderita TBC melalui
udara. Kuman TBC ini biasanya menyerang organ paru bisa juga diluar paru (extra paru).

Pada tahun 2021 jumlah kasus tuberkulosis yang ditemukan sebanyak 397.377
kasus, meningkat bila dibandingkan semua kasus tuberkulosis yang ditemukan pada
tahun 2020 yaitu sebesar 351.936 kasus. Jumlah kasus tertinggi dilaporkan dari provinsi
dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
Kasus tuberkulosis di ketiga provinsi tersebut menyumbang angka sebesar 44% dari
jumlah seluruh kasus tuberkulosis di Indonesia. Jika dibandingkan dari jenis kelamin,
jumlah kasus pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan baik secara
nasional maupun provinsi. Secara nasional jumlah kasus pada laki-laki sebesar 57,5%
dan 42,5% pada perempuan.

Pada tahun 2021 kasus TBC terbanyak ditemukan pada


kelompok umur 45 – 54 tahun yaitu sebesar 17,5%, diikuti kelompok umur 25 – 34 tahun
sebesar 17,1% dan 15 – 24 tahun 16,9%.

Frekuensi Penyakit :

Menurut Global Tuberculosis Report tahun 2021, pada tahun 2020 angka insiden
TBC di Indonesia sebesar 301 per 100.000 penduduk, menurun jika dibandingkan dengan
angka insidens TBC tahun 2019 yaitu sebesar 312 per 100.000 penduduk. Sedangkan
angka kematian TBC tahun 2019 dan 2020 masih sama yaitu sebesar 34 per 100.000
penduduk.

Determinan Penyakit :

Menurut Eka (2013) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian TB paru,
antara lain :

1) Umur berperan dalam kejadian penyakit TB. Risiko untuk mendapatkan TB dapat
dikatakan seperti halnya kurva normal tebalik, yakni tinggi ketika awalnya,
menurun karena di atas 2 tahun hingga dewasa memiliki daya tangkal terhadap
TB dengan baik. Puncaknya tentu dewasa muda dan menurun kembali ketika
seseorang atau kelompok menjelang usia tua.
2) Tingkat pendapatan mempengaruhi angka kejadian TB, kepala keluarga yang
mempunyai pendapatan dibawah UMR akan mengkonsumsi makanan dengan
kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga
sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan memudahkan untuk
terkena penyakit infeksi diantaranya TB paru.
3) Kondisi rumah menjadi salah satu faktor resiko penularan TB paru. Atap, dinding
dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan kuman. Lantai dan dinding
yang sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan
dijadikan sebagai media yang baik bagi perkembangbiakan kuman.
4) Membuka jendela setiap pagi dan merokok berpengaruh terhadap
kejadian TB paru. Kegiatan membuka jendela setiap pagi merupakan salah satu
upaya pencegahan penyakit TB paru. Dengan membuka jendela setiap pagi, maka
dimungkinkan sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah atau ruangan.
Sedangkan kebiasaan merokok memperburuk gejala TB. Demikian juga dengan
perokok pasif yang menghisap rokok, akan lebih mudah terinfeksi TB paru.
5) Riwayat kontak dengan penderita TB paru menyebabkan penularan TB paru
dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam
rumahnya, sedangkan besar resiko terjadinya penularan untuk rumah tangga
dengan penderita lebih dari 1 orang adalah 4 kali dibanding rumah tangga dengan
hanya 1 orang penderita TB paru.

Nama Penyakit : Campak


Sumber :
 Profil Kesehatan 2021
 Arianto, M., Setiawati, M., Adi, M. S., Hadisaputro, S., & Budhi, K. (2018).
Beberapa faktor risiko kejadian campak pada balita di Kabupaten Sarolangun. Jurnal
Epidemiologi Kesehatan Komunitas, 3(1), 41-47.

Distribusi dan Frekuensi Penyakit :

Penyakit campak disebabkan oleh virus dari genus Morbillivirus dan termasuk
golongan Paramyxovirus. Campak disebut juga morbili atau measles. Campak ditularkan
melalui udara yang terkontaminasi droplet dari hidung, mulut, atau tenggorokan orang
yang terinfeksi. Gejala awal biasanya muncul 10-12 hari setelah infeksi, termasuk demam
tinggi, pilek, mata merah, dan bintik-bintik putih kecil di bagian dalam mulut. Beberapa
hari kemudian, ruam berkembang, mulai pada wajah dan leher bagian atas dan secara
bertahap menyebar ke bawah. Campak berat mungkin terjadi pada anak- anak yang
menderita kurang gizi, terutama pada mereka yang kekurangan vitamin A, atau yang
sistem kekebalan tubuhnya telah dilemahkan oleh penyakit lain.

Pada tahun 2020 penyebaran kasus suspek campak hampir terdapat di seluruh
Indonesia, hanya 3 provinsi yang tidak terdapat kasus suspek campak. Pada tahun 2021,
terdapat 2.931 kasus suspek campak, menurun jika dibandingkan tahun 2020 yaitu
sebesar 3.434 kasus. Kasus suspek campak terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Tengah
(493 kasus), DKI Jakarta (489 kasus), dan Jawa Timur (366 kasus).

Suspek campak pada tahun 2021 tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia,
dengan Incidence Rate (IR) sebesar 0,48 per 100.000 penduduk. Angka tersebut menurun
jika dibandingkan tahun 2020 yang sebesar 1,14 per 100.000 penduduk. Penurunan
jumlah kasus suspek campak pada tahun 2021 seiring dengan penemuan kasus suspek
campak yang menurun dilaporkan oleh provinsi dikarenakan adanya pandemi Covid 19.

Jika dilihat distribusi kasus suspek campak per bulan pada tahun 2021 diketahui
bahwa tren kasus suspek campak cenderung rendah pada awal tahun dan meningkat pada
bulan Oktober, November dan Desember. Jumlah kasus suspek campak tertinggi pada
bulan Desember (695 kasus), sedangkan jumlah terendah terdapat pada bulan Juli (71
kasus). Penurunan jumlah kasus ini antara lain disebabkan oleh adanya Pandemi Covid-
19 yang menyebabkan tenaga surveilans di semua level fokus pada penanggulangan
pandemic Covid-19 sehingga program surveilans lainnya termasuk surveilans PD3I tidak
dapat berjalan sesuai standar yang telah ditetapkan.

Proporsi kasus suspek campak terbesar terdapat pada kelompok umur >14 tahun
(29,3%) dan urutan kedua terdapat pada kelompok umur 1-4 tahun (26.7%), sedangkan
proporsi kasus suspek terendah terdapat pada kelompok umur 10-14 tahun dan suspek
dengan umur yang tidak diketahui, dengan persentase masing-masing sebesar 10,8% dan
0%.

Determinan Penyakit :

Faktor yang terbukti merupakan faktor risiko terhadap kejadian campak pada
balita yaitu tidak diimunisasi campak, rumah tidak sehat dan pengetahuan ibu kurang
dengan probability event sebesar 92,08%. Faktor- faktor yang tidak terbukti sebagai
factor risiko terhadap kejadian campak pada balita yaitu gizi kurang, pemberian vitamin
A kurang, tidak pernah menderita campak sebelumnya, ada riwayat kontak, lama diberi
ASI < 2 tahun, umur ibu < 20 tahun, sosial ekonomi rendah, jumlah balita dalam rumah >
1 orang dan pola asuh kurang.
2. PERBEDAAN EPIDEMIOLOGI DESKRIPTIF DAN ANALITIK
 Definisi
Epidemiologi deskriptif adalah istilah untuk bidang epidemiologi yang berfokus pada
menggambarkan distribusi penyakit berdasarkan karakteristik yang berkaitan dengan
waktu, tempat, dan orang, sedangkan epidemiologi analitik adalah istilah untuk bidang
epidemiologi, yang mengukur hubungan antara paparan tertentu dan penyakit,
menggunakan informasi yang dikumpulkan dari individu, bukan dari populasi agregat.
 Pentingnya
Sementara epidemiologi deskriptif menghasilkan hipotesis tentang faktor risiko dan
penyebab penyakit, epidemiologi analitik menguji hipotesis dengan menilai determinan
penyakit yang berfokus pada faktor risiko dan penyebab serta, menganalisis distribusi
paparan dan penyakit. Jadi, inilah Perbedaan yang menonjol antara epidemiologi
deskriptif dan analitik.
 Fokus pada
Perbedaan lain antara epidemiologi deskriptif dan analitik adalah epidemiologi deskriptif
berfokus pada apa, siapa, kapan, dan di mana penyakit dapat terjadi, sedangkan
epidemiologi analitik berfokus pada mengapa dan bagaimana penyakit terjadi.
 Makna
Lebih lanjut, epidemiologi deskriptif relatif merupakan bidang studi yang kecil dan
kurang kompleks, sedangkan epidemiologi analitik adalah bidang studi yang lebih besar
dan lebih kompleks.
 Luasnya
Epidemiologi deskriptif menggunakan individu atau sekelompok individu untuk
membuat hipotesis, sedangkan epidemiologi analitik menggunakan kelompok
pembanding untuk menguji hipotesis. Maka dari itu, ini juga merupakan perbedaan antara
epidemiologi deskriptif dan analitik.
 Jenis
Selain itu, epidemiologi deskriptif mencakup laporan kasus, seri kasus, dan kejadian,
sedangkan epidemiologi analitik mencakup studi observasional dan studi eksperimental.
 Contoh
Sebagai contoh, epidemiologi deskriptif meneliti rangkaian kasus menggunakan orang,
tempat, dan waktu dari 100 pasien pertama dengan SARS, sedangkan epidemiologi
analitik mengukur faktor risiko SARS seperti kontak dengan hewan dan orang yang
terinfeksi.

Anda mungkin juga menyukai