PENDAHULUAN
5
2. Memberi petunjuk kepada masyarakat tentang cara-cara menggali dan
menggunakan sarana yangada secara efektif dan efisien
3. Memberi pelayanan kesehatan langsung kepada masyarakat
4. Memberi bantuan yang bersifat teknis, bahan-bahan serta rujukan
5. Bekerja sama dengan sektor lain dalam melaksanakan program kerja
Puskesmas.
1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran penyakit menular (khusus Tuberkulosis Paru/
TB, Pneumonia, Diare, Thyphoid, Demam Dengue-Demam Berdarah
Dengue/ DF-DHF, Hepatitis, HIV/ AIDS, Kusta, dan Campak/Morbilli pada
pasien yang berkunjung ke Puskesmas Rapak Mahang pada periode 1 Januari
2017-31 Desember 2017 ditinjau dari wilayah kerja puskesmas rapak mahang
2. Tujuan khusus
1) Mengetahui deskripsi pasien dengan penyakit menular ditinjau dari
segi:
a. Umur
b. Jenis Kelamin
c. Kelurahan tempat tinggal pasien
1.4 Manfaat Penelitian
6
a. Bagi Puskesmas Rapak Mahang
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu Puskesmas Rapak
Mahang dalam menetapkan strategi program puskesmas untuk
mengendalikan perkembangan penyakit menular di wilayah kerja
puskesmas
b. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai jumlah angka kesakitan yang disebabkan oleh
penyakit menular serta pentingnya upaya untuk mencegah atau
mengendalikan progresifitasnya.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
9
yang sederhana sehingga serangga yang menularkan penyakit dengan
cara ini masih bisa disebut sebagai vektor penyakit.
3. Penularan Melalui Udara – Penyebaran bibit penyakit melalui Port
d’entre yang sesuai, biasanya saluran pernafasan. Aerosol berupa berupa
partikel ini sebagian atau keseluruhannya mengandung mikro organisme.
Partikel ini bisa tetap melayang-layang diudara dalam waktu yang lama
sebagian tetap infektif dan sebagian lagi ada yang kehilangan virulensinya.
Partikel yang berukuran 1-5 micron dengan mudah masuk kedalam alveoli
dan tertahan disana.
Percikan (droplet) dan partikel besar lainnya tidak dianggap sebagai
penularan melalu udara (airborne); (lihat Penularan Langsung) 1) Droplet
Nuclei – Biasanya berupa residu ukuran kecil sebagai hasil penguapan dari
cairan percikan yang dikeluarkan oleh inang yang terinfeksi. Droplet
Nuclei ini bisa secara sengaja dibuat dengan semacam alat, atau secara
tidak sengaja terjadi di labortorium mikrobiologi dan tempat pemotongan
hewan, di tempat perawatan tanaman atau di kamar otopsi. Biasanya
Droplet Nuclei ini bertahan cukup lama di udara. 2) Debu – Partikel
dengan ukuran yang berbeda yang muncul dari tanah (misalnya spora
jamur yang dipisahkan dari tanah oleh udara atau secara mekanisme), dari
pakaian, dari tempat tidur atau kutu yang tercemar.
a. Paparan
11
Catatan : Paparan kepada pasien TB menular merupakan syarat untuk
terinfeksi. Setelah terinfeksi, ada beberapa factor yang menentukan seseorang
akan terinfeks saja, menjadi sakit dan kemungkinan meninggal dunia karena TB.
b. Infeksi
Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6-14 minggu setelah infeksi
Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup dalam
lesi tersebut (dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali.
Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum
penyembuhan lesi
c. Sakit TB
Konsentrasi/ jumlah kuman yang terhirup
Faktor resiko
Lamanya waktu sejak terinfeksi
untuk menjadi
Usia seseorang yang terinfeksi
sakit TB adalah
Tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang
tergantung dari :
dengan daya tahan tubuh yang rendah diantaranya
infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) akan
memudahkan berkembangnya TB aktif (sakit TB).
Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka
jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian
penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.
Catatan : Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Namun
bila seseorang dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian TB melalui
proses reaktifasi. TB pada umumnya terjadi pada pada paru (TB paru). Namun,
12
penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat menyebabkan terjadinya
TB diluar organ paru (TB Ekstra Paru). Apabila penyebaran secara massif
melalui aliran darah dapat menyebabkan semua organ tubuh terkena
d. Meninggal Dunia
Faktor resiko Akibat dari keterlambatan diagnosis
kematian karena Pengobatan tidak adekuat
TB: Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau
penyakit penyerta
Catatan : pasien TB tanpa pengobatan, 50% akan meninggal dan resiko ini
meningkat pada pasien dengan HIV positif
2.4.1.2 Klasifikasi TB
Klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB meliputi 4 hal yaitu :
1. Lokasi yang sakit : paru dan Ekstra paru
2. Hasil pemeriksaan dahak : BTA positif atau BTA negatif
3. Riwayat pengobatan TB sebelumnya
4. Status HIV pasien
TB ekstra paru, yaitu kuman TB yang menyerang organ selain paru. Diagnosis
berdasarkan kultur (+) atau PA tempat lesi.
a) BTA (+)
13
Atau 1 atau lebih specimen dahak positif setelah 3 pemeriksaan dahak SPS
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA (-) dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotik non OAT.
b) BTA (-)
15
*Catatan:
16
Jika ditemukan salah satu keadaan dibawah ini, rujuk ke RS
17
2.4.1.8 Paduan obat terapi TB anak
18
Prinsip dasar terapi TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu
relative lama (6-12 bulan). Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase yaitu fase intensif
(2 bulan pertama ) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Pemberian paduan obat ini
sisanya sebagai fase lanjutan.
Berbeda dengan orang dewasa , OAT pada anak diberikan setiap hari, bukan 2
atau 3 kali dalam seminggu. Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun
ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain pada fase
intensif diberikan minimal 4 macam obat (Rifampisin, INH, Pirazinamid
,Etambutol atau Streptomisin). Sedangkan fase lanjutan diberikan Rifampisin dan
INH selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu yaitu TB milier,efusi pleura TB,
pericarditis TB, TB endobronkial, Meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan
kortikosteroid (prednisone) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis.
Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan
tapering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini
mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.
19
2.4.1.9 Panduan OAT Anak
20
2.4.1.9 Tatalaksana Pasien Tuberkulosis Dewasa
Strategi penemuan
a. Penemuan pasien TB dilakukan secara intensif pada kelompok populasi
terdampak TB dan populasi rentan.
b. Upaya penemuan secara intensif harus didukung dengan kegiatan
promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB dilakukan dapat
ditemukan secara dini
c. Penjaringan terduga pasien TB dilakukan di fasilitas kesehatan;
didukung dengan promosi secara aktif oleh petugas kesehatan bersama
masyarakat.
d. Pelibatan semua fasilitas kesehatan simaksudkan untuk mempercepat
penemuan dan mengurangi keterlambatan pengobatan
e. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap:
1) Kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB
seperti pada pasien dengan HIV, Diabetes mellitus dan
malnutrisi.
2) Kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang resiko
tinggi terjadinya penularan TB, seperti : Lapas / Rutan, tempat
penampungan pengungsi, daerah kumuh, tempat kerja, asrama,
dan panti jompo.
3) Anak dibawah umur lima tahun yang kontak dengan pasien TB.
21
4) Kontak erat dengan pasien TB dan pasien TB resisten obat.
f. Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi pasien dengan gejala
dan tanda yang sama dengan gejala TB, seperti pendekatan praktis
kesehatan paru (Practical Approach to Lung health= PAL), manajemen
terpadu balita sakit (MTBS), manajemen terpadu dewasa sakit (MTDS)
akan membantu meningkatkan penemuan pasien TB di faskes,
mengurangi terjadinya misopportunity dan sekaligus dapat
meningkatkan mutu layanan.
g. Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang
memiliki gejala :
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan
yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan
lemas, nafsu makan menurun, berat badan meturun, malaise,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit
paru selain TB seperti bronkiektaksis, bronchitis kronis, asma,
kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di
Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang
ke fasyakes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai
seorang terduga pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis langsung.
Pemeriksaan Fisis
Pada pasien TB dapat ditemukan suara napas bronkial, amforik, suara napas
melemah, atau ronkhi basah. Pada pasien dengan limfadenitis TB terdapat
pembesaran KGB sekitar leher dan ketiak. Pada pasien pleuritis TB karena ada
cairan, hasil perkusi menjadi pekak dan auskultasi melemah hingga tidak
terdengar pada tempat yang ada cairan.
22
Pemeriksaan Bakteriologi
24
25
26
2.4.2. Pneumonia
Definisi
Pneumonia adalah suatu peradangan/ inflamasi parenkim paru, distal
dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan
alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas setempat. Pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme
bakteri, virus, jamur dan parasit (Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2014).
Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme
yaitu bakteri, virus, jamur, protozoa, yang sebagian besar disebabkan oleh
bakteri. Penyebab tersering pneumonia bakterialis adalah bakteri positif-
gram, Streptococcus pneumonia yang menyebabkan pneumonia
streptokokus. Bakteri staphylococcus aureus dan streptococcus aeruginosa.
Pneumonia lainnya disebabkan oleh virus, misalnya influenza.
Pembagian penyebab-penyebab dari pneumonia yaitu :
a. Bakteri
Bakteri adalah penyebab paling umum pneumonia pada orang dewasa,
terutama pada orang tua. Beberapa jenis bakteri dapat menyebabkan
pneumonia adalah Diplococcus pneumonia, Pneumococcus, Streptococcus
hemolyticus, Streptococcus aureus, Hemophilus influenza.
b. Virus
Virus yang dapat menyebabkan pneumonia adalah Respiratory syncytial
virus, virus influenza, Adenovirus, Cytomegalovirus.
c. Jamur
Beberapa jenis jamur yang dapat menyebabkan pneumonia adalah
Mycoplasma pneumoces dermatitides, Coccidiodes immitis, Aspergillus,
Candida albicans.
d. Aspirasi
Beberapa contoh aspirasi seperti makanan, kerosene (bensin, minyak tanah),
cairan amnion, dan benda asing.
27
Manifestasi Klinis dan Klasifikasi
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut
bagian atas selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam,
menggigil, suhu tubuh kadang-kadang melebihi 40°C, sakit tenggorokan,
nyeri otot dan sendi, juga disertai batuk, dengan sputum mukoid atau
purulen, kadang-kadang berdarah. Pada pemeriksaan fisik dada terlihat
bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pada palpasi fremitus dapat
mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronkhial yang kadang-kadang melemah, mungkin
disertai ronkhi halus, yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada
stadium resolusi (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009).
Pneumonia menurut klasifikasi secara klinis terbagi yaitu pneumonia
komuniti/ Community Acquired Pneumonia (CAP) dan Hospital Acquired
Pneumonia (HAP)/ nosokomial.
1. Pneumonia Komuniti
Kuman pada CAP bervariasi antara lain Streptococcus pneumoniae,
Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus influenza, dan Chlamydia
pneumoniae. Gambaran penyakit yang dialami pasien biasanya dimulai
dengan infeksi salauran napas atas selama beberapa hari, kemudian
diikuti dengan menggigil, suhu kadang melebihi 40°C sakit tenggorok,
nyeri otot dan sendi, serta batuk dengan sputum mukoid atau purulen.
2. Pneumonia Nosokomial
Kuman HAP yang tersering didapatkan yaitu P. aeruginosa,
Acinetobacter spp. dan S. malthophillia. Dikatakan pneumonia
nosokomial apabila telah terjadi infeksi saluran napas bawah yang
mengenai parenkim paru dan terjadi setelah 48 jam masa perawatan di
Rumah Sakit (Konsensus Pneumonia, 2017).
Penegakan Diagnosis
Consensus Penumonia (2017) mengatakan diagnosis pneumonia
ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Diagnosis pneumonia komuniti ditegakkan jika didapatkan
28
infiltrat baru atau infiltrat progresif dari foto toraks, ditambah dengan 2 atau
lebih gejala di bawah ini:
a. Batuk-batuk bertambah.
b. Perubahan karakteristik dahak/ purulent.
c. Suhu tubuh ≥ 37.5°C (oral)/ riwayat demam.
d. Ada ronki atau konsilidasi atau napas bronkial.
e. Leukosit ≥ 10.000 atau < 4.500.
Penatalaksanaan
Untuk menentukan jenis perawatan dan prognosis penderita, setiap
pasein ditentukan kelompoknya berdasarkan American Thoracic Society
(ATS), yaitu:
Rekomendasi Terapi Empiris ATS (2001)
Kategori Keterangan Kuman Obat Pilihan I Obat Pilihan II
I -usia <65 -S. pneumonia -Klaritromisin -Siprofloksasin atau
tahun -M. pneumonia -Azitromisin Ofloksasin
-Penyakit -C. pneumonia -Rositromisin -Levofloksasin atau
penyerta (-) -H. influenza Mofloksasin
-berobat -Legionale sp -Doksisiklin
jalan -S. aureus
-M. tuberculosis
-batang gram (-)
II -usia >65 -S. pneumonia -Sefalosporin -Makrolid
tahun -H. influenza generasi 2 -Levofloksasin
29
-Penyakit -S. aureus -Trimetoprim + -Gatifloksasin
penyerta (+) -batang gram (-) Kontrimoksazol -Moxyfloksasin
-berobat -Legionale sp -Betalaktam
jalan -M. catarrhalis
III -Pneumonia -S. pneumonia -Sefalosporin -Piperasin +
berat -H. influenza generasi 2 atau 3 Tazobaktam
-Perlu -S. aureus -Betalaktam + -Sulferoson
dirawat di -batang gram (-) Penghambat
RS, tapi -Legionale sp betalaktam +
tidak perlu -M. pneumonia Makrolid
ICU
IV -Pneumonia -S. pneumonia -Sefalosporin -Carbapenem/
berat -H. influenza generasi 3 (anti- meropenem
-Perlu -batang gram (-) pseudomonas) + -Vankomisin
dirawat ICU -Legionale sp makrolid -Linesolid
-M. pneumonia -Sefalosporin -Teikoplanin
-M. tuberculosis generasi 4
-Virus -Sefalosporin
-Jamur endemik generasi 3 +
kuinolon
Tabel 2.3 Rekomendasi Pengobatan Pneumonia
33
Dosis oralit bagi penderita diare tanpa dehidrasi sbb : Umur <
1 tahun : ¼ - ½ gelas setiap kali anak mencret Umur 1-4 tahun : ½-
1 gelas setiap kali anak mencret Umur diatas 5 Tahun : 1-1½ gelas
setiap kali anak mencret.
34
Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera
dirujuk ke Puskesmas untuk di infus.
2. Berikan obat Zinc. Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang
penting dalam tubuh. Zinc dapat menghambat enzim INOS (Inducible
Nitric Oxide Synthase), dimana ekskresi enzim ini meningkat selama
diare dan mengakibatkan hipersekresi epitel usus. Zinc juga berperan
dalam epitelisasi dinding usus yang mengalami kerusakan morfologi
dan fungsi selama kejadian diare. Pemberian Zinc selama diare terbukti
mampu mengurangi lama dan tingkat keparahan diare, mengurangi
frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja, serta menurunkan
kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan berikutnya (Black, 2003).
Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa Zinc mempunyai efek
protektif terhadap diare sebanyak 11 % dan menurut hasil pilot study
menunjukkan bahwa Zinc mempunyai tingkat hasil guna sebesar 67 %
(Hidayat 1998 dan Soenarto 2007). Berdasarkan bukti ini semua anak
diare harus diberi Zinc segera saat anak mengalami diare.
Dosis pemberian Zinc pada balita:
Umur < 6 bulan : ½ tablet ( 10 Mg ) per hari selama 10 hari
Umur > 6 bulan : 1 tablet ( 20 mg) per hari selama 10 hari.
36
Melaksanakan tata laksana penderita diare yang sesuai standar, baik di
sarana kesehatan maupun di rumah tangga
Melaksanakan surveilans epidemiologi & Penanggulan Kejadian Luar
Biasa
Mengembangkan Pedoman Pengendalian Penyakit Diare
Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petugas dalam
pengelolaan program yang meliputi aspek manejerial dan teknis medis.
Mengembangkan jejaring lintas sektor dan lintas program
Pembinaan teknis dan monitoring pelaksanaan pengendalian penyakit
diare.
Melaksanakan evaluasi sabagai dasar perencanaan selanjutnya.
2.4.4. Tifoid
Definisi
. Defenisi Demam Tifoid
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever.
Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
37
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman.
Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin.
Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap
formaldehid.
2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis. Ketiga macam antigen tersebut di atas di
dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi
yang lazim disebut aglutinin.
Gejala Klinis
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten
dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-
angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi
pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam
keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-angsur turun dan
normal kembali pada akhir minggu ketiga.
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah
(ragaden) . Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya
kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan
perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada
38
perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan
dapat terjadi diare.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis
sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.
Diagnosis serologik
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam
serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi
dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Pemeriksaan Widal
memiliki sensitivitas 40%, spesifisitas 91,4%, dan nilai prediksi positif 80%.
Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis
sebagai penderita demam tifoid. Pemeriksaan Widal seharusnya dilakukan 1-2
minggu kemudian sehingga kenaikan 4 kali, terutama agglutinin O memiliki nilai
diagnostik yang penting untuk demam tifoid. Titer aglutinin O yang positif dapat
berbeda dari >1/80 sampai >1/320 antar laboratorium tergantung endemisitas
demam tifoid di masyarakat setempat dengan catatan 8 bulan terakhir tidak
mendapat vaksinasi atau baru sembuh dari demam tifoid.
39
a) Keadaan umum gizi penderita Gizi buruk dapat menghambat pembentukan
antibodi.
b) Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Aglutinin baru dijumnpai dalam darah setelah penderita mengalami sakit
selama satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam
sakit.
c) Pengobatan dini dengan antibiotik
Pemberian antibiotik dengan obat antimikroba dapat menghambat
pembentukan antibodi.
d) Penyakit-penyakit tertentu
Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi
pembentukan antibodi, misalnya pada penderita leukemia dan karsinoma lanjut.
e) Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat menghambat
pembentukan antibodi.
f) Vaksinasi
Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H meningkat.
Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan
titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena
itu titer aglutinin H pada seseorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai
nilai diagnostik.
g) Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya
Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer aglutininnya
rendah. Di daerah endemik demam tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang-
orang yang sehat
40
daerah endemis karena
penggunaan antibiotik
yang tinggi, sehingga
spesifisitas sulit
diestimasi
41
Lainnya Deteksi antigen 65-95 NA Data awal
urin
Tatalaksana antibiotik
8 – 40
42
Resisten Azitromisin 8 – 10 7 Sefiksim 20 7 – 14
kuinolon atau
Seftriakson 75 10 – 14
43
2.4.5. Demam Dengue/ Demam Berdarah Dengue
Definisi
Demam dengue (Dengue Fever/ DF) dan demam berdarah dengue
(Dengue Hemorrhagic Fever/ DHF) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue, dengan Indonesia merupakan salah satu
sebagai negara endemisnya (Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer, 2014).
Vektor dari DF dan DHF adalah nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus. Transmisi terjadi pada nyamuk betina yang sudah menghisap
darah dari penderita yang dalam masa viremia, yaitu 2 hari sebelum demam
dan bertahan 4-5 hari setelah mulai demam (WHO, 2011).
Manifestasi Klinis
Tampakan klinis dapat asimptomatik atau mengalami gejala demam
bifasik. Gejala akan timbul secara tiba-tiba dengan dikelompokkan menjadi
tiga fase: (1) fase febris, (2) fase kritis dan (3) fase recovery. Fase febris,
pasien tiba-tiba mengalami demam dengan suhu tinggi yang akan
berlangsung 2-7 hari dan seringkali disertai eritema kulit (makulapapular
rash), myalgia, arthralgia dan sakit kepala/ nyeri retro-orbital. Manifestasi
perdarahan ringan dapat ditemukan seperti peteki dan perdarahan membran
mukosa. Abnormalitas paling awal pada gambaran darah rutin adalah
penurunan progresif angka leukosit. Fase kritis, suhu tubuh turun 37.5 -
38°C atau lebih rendah, biasanya di hari 3-7 sakit, dapat terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler sebanding dengan peningkatan kadar hematokrit.
Periode kebocoran plasma berlangsung 24-48 jam. Leukopenia progresif
diikuti dengan penurunan cepat trombosit terjadi sebelum kebocoran plasma
(efusi pleura dan ascites). Shock terjadi ketika volume kritis plasma
menurun karena kebocoran. Uji tourniquet/ uji bendung/ rumple leed
dengan hasil (+) (≥ 10 titik/ inci persegi) menandakan sedang terjadinya
perdarahan. Fase recovery, jika pasien dapat bertahan hidup 24-48 jam
setelah fase kritis, maka berlangsung reabsorbsi lambat cairan ruang
44
ekstravaskular setelah 48-72 jam (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2012;
WHO, 2014).
Klasifikasi
Menurut WHO (2011), dengue diklasifikasikan sebagai berikut:
DF/
Derajat Tanda dan Gejala Laboratorium
DHF
Demam dengan diikuti 2 dari: -Leukopenia (WBC ≤ 5000
-Sakit kepala sel/mm3)
-Nyeri retro-orbital -Trombositopenia (hitung
-Mialgia platelet < 150.000 sel/mm3)
DF -Athralgia/ nyeri tulang -Peningkatan hematokrit (5 –
-Rash 10%)
-Manifestasi perdarahan -Tidak ada tanda kehilangan
-Tidak ada tanda kebocoran plasma
plasma
-Demam dan ada manifestasi -Trombositopenia (hitung
perdarahan [uji bendung (+)] platelet < 100.000 sel/mm3)
DHF I
-Ada tanda kebocoran -Peningkatan hematokrit ≥ 20%
plasma
-Demam dan ada manifestasi -Trombositopenia (hitung
perdarahan [uji bendung (+)] platelet < 100.000 sel/mm3)
DHF II
-Ada tanda kebocoran plasma -Peningkatan hematokrit ≥ 20%
-Perdarahan spontan
-Demam dan ada manifestasi -Trombositopenia (hitung
perdarahan [uji bendung (+)] platelet < 100.000 sel/mm3)
DHF* III
-Ada tanda kebocoran plasma -Peningkatan hematokrit ≥ 20%
-Perdarahan spontan
45
-Kegagalan sirkulasi [nadi
lemah, penyempitan pulse
pressure (≤ 20 mmHg),
hipotensi, restlessness]
-Demam dan ada manifestasi -Trombositopenia (hitung
perdarahan [uji bendung (+)] platelet < 100.000 sel/mm3)
-Ada tanda kebocoran plasma -Peningkatan hematokrit ≥ 20%
-Perdarahan spontan
-Kegagalan sirkulasi [nadi
DHF* IV lemah, penyempitan pulse
pressure (≤ 20 mmHg),
hipotensi, restlessness]
-Shock dengan tekanan
darah dan nadi yang tidak
terdeteksi
*DHF III dan IV adalah Dengue Shock Syndrome (DSS)
Tabel 2.5 Klasifikasi Demam Dengue
Penegakan Diagnosis
World Health Organization (2014), memberikan panduan penegakan
diagnosis untuk DF, DHF dan DSS, sebagai berikut:
1. Demam dengue
Demam atau riwayat demam akut antara 2-7 hari (pola bifasik/ pelana
kuda) dengan diikuti 2 atau lebih dari manifestasi: sakit kepala, nyeri
retro-orbital, myalgia, arthralgia, rash, manifestasi perdarahan.
2. Demam berdarah dengue
a. Kriteria demam dengue
b. Terdapat minimal 1 dari manifestasi perdarahan berikut:
Uji bendung (+)
Peteki, ekimosis atau purpura
Perdarahan dari mukosa, traktus gastrointestinal, tempat
penyuntikan injeksi atau tempat lainnya
c. Trombositopenia < 100.000 sel/mm3
d. Bukti ada kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas,
dengan minimal 1 dari manifestasi berikut:
Peningkatan hematokrit ≥ 20% (dari hematokrit basal) sesuai
dengan umur dan jenis kelamin
46
Penurunan hematokrit ≥ 20% setelah mendapat terapi,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya
Adanya tanda kebocoran plasma (efusi pleura, ascites,
hipoproteinemia)
3. Dengue Shock Syndrome
Kriteria DHF dengan bukti manifestasi kegagalan sirkulasi berupa nadi
yang cepat dan lemah dan penyempitan pulse pressure (≤ 20% mmHg)
atau hipotensi berdasarkan umur, kulit yang dingin dan basah dan
restlessness.
Berdasarkan WHO (2011) ada tanda bahaya yang harus diperhatikan
pada pasien, yaitu:
1. Tidak adanya perbaikan klinis atau bahkan menjadi perburukan pada
saat sebelum atau selama masa transisi fase kritis atau selama
perjalanan penyakit
2. Muntah yang terjadi terus-menerus, dengan tidak minum
3. Nyeri abdominal yang parah
4. Letargi dan/ atau restlessness, perubahan status mental secara tiba-tiba
5. Perdarahan: epistaksis, feses hitam, hematemesis, perdarahan
menstruasi yang berlebihan, urin yang menggelap (hemaglobunuria)
atau hematuria
6. Pusing berlebih
7. Tangan dana kaki yang pucat, dingin dan basah
8. Kurang/ tidak uang air kecil selama 4-6 jam.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan DF adalah bersifat simptomatik dan suportif, yaitu:
1. Tirah baring pada fase akut
2. Penggunaan kompres untuk menjaga suhu tubuh < 38.5°C
3. Pemberian antipiretik untuk menurunkan suhu tubuh. Penggunaan
NSAID berupa ibuprofen harus dihindari karena dapat menyebabkan
gastritis, muntah, asidosis, disfungsi platelet dan perdarahan hebat
47
4. Pemberian cairan per oral dan terapi elektrolit direkomendasikan pada
pasien dengan keringat dan muntah berlebih
5. Pasien harus diawasi selama 24-48 jam setelah bebas demam untuk
mengetahui perburukan/ komplikasi (WHO, 2014).
Algoritma pergantian cairan untuk pasien DHF derajat I dan II, sebagai
berikut:
48
49
Berikut adalah algoritma pergantian cairan untuk pasien DHF derajat
III:
50
Berikut adalah algoritma pergantian cairan untuk pasien DHF derajat
IV:
2.4.6. Hepatitis
Definisi
Istilah “hepatitis” dipakai untuk semua jenis peradangan pada sel-sel hati,
yang bisa disebabkan oleh infeksi (virus, bakteri, parasit), obat-obatan
(termasuk obat tradisional), konsumsi alkohol, lemak yang berlebih dan
penyakit autoimminue (Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementrian
Kesehatan RI, 2014).
52
Fase immune tolerant ditandai dengan kadar DNA VHB yang tinggi dengan
kadar alanin aminotransferase (ALT) yang normal. Sedangkan, fase
immune clearance terjadi ketika sistem imun berusaha melawan virus. Hal
ini ditandai oleh fluktuasi level ALT serta DNA VHB. Pasien kemudian
dapat berkembang menjadi fase pengidap inaktif, ditandai dengan DNA
VHB yang rendah (<2000 IU/ml), ALT normal, dan kerusakan hati
minimal.
Cara Penularan
Ada 2 cara penularan infeksi virus hepatitis B yaitu penularan vertikal dan
penularan horizontal.
1 Vertikal
2 Horizontal
Penularan horizontal dapat terjadi melalui kulit atau melalui selaput lendir.
a. Melalui Kulit
Ada dua macam penularan melalui kulit yaitu penularan melalui kulit
yang disebabkan tusukan yang jelas (penularan parenteral), misalnya
melalui suntikan, transfusi darah, atau pemberian produk yang berasal dari
darah dan tattoo. Kelompok kedua adalah penularan melalui kulit tanpa
tusukan yang jelas, misalnya masuknya bahan infektif melalui goresan atau
abrasi kulit dan radang kulit.
b. Melalui Selaput Lendir
Selaput lendir yang diduga menjadi jalan masuk VHB ke dalam
tubuh adalah selaput lendir mulut, hidung, mata, dan selaput lendir kelamin.
53
Melalui selaput lendir mulut dapat terjadi pada mereka yang menderita
sariawan atau selaput lendir mulut yang terluka. Melalui selaput lendir
kelamin dapat terjadi akibat hubungan seks heteroseksual maupun
homoseksual dengan pasangan yang mengandung HBsAg positif yang
bersifat infeksius
Gejala Klinis
Hepatitis B Akut
Perjalanan hepatitis B akut terjadi dalam empat (4) tahap yang timbul
sebagai akibat dari proses peradangan pada hati yaitu :
1. Masa Inkubasi
Masa inkubasi yang merupakan waktu antara saat penularan infeksi dan
saat timbulnya gejala/ikterus, berkisar antara 1-6 bulan, biasanya 60-75
hari. Panjangnya masa inkubasi tergantung dari dosis inokulum yang
ditularkan dan jalur penularan, makin besar dosis virus yang ditularkan,
makin pendek masa inkubasi
2. Fase Prodromal
3. Fase Ikterus
4. Fase Penyembuhan
Hepatitis B kronik
Hepatitis B Kronik
2. DNA VHB serum >20.000 IU/mL (nilai yang lebih rendah 2000-
20.000 IU/mL
sampai berat
Pengidap Inaktif
55
4. DNA VHB <2000-20000 IU/mL
2. HBsAg (-)
Kejadian hepatitis akut ditandai dengan peningkatan SGPT dan SGOT 10-
20 kali dari normal, dengan SGPT lebih tinggi dari SGOT. SGPT dan SGOT
normal adalah < 42 U/L dan 41 U/L. Pada hepatitis kronis kadar SGPT
meningkat 5-10 kali dari normal
Penatalaksanaan Hepatitis B
Pada pasien dengan HBeAg positif, terapi dapat dimulai pada DNA
VHB diatas 2x104 IU/mL dengan ALT 2-5x batas atas normal yang menetap
selama 3-6 bulan atau ALT serum > 5x batas atas normal, atau dengan
56
gambaran histologis fibrosis derajat sedang sampai berat. Sedangkan pada
pasien HBeAg negative, terapi dimulai pada pasien dengan DNA VHB lebih
dari 2x103 IU/mL dan kenaikan ALT>2x batas normal yang menetap selama
3-6 bulan.
Interferon
Lamivudin
57
pasien memenuhi kriteria yang ketat, yaitu DNA VHB <109 kopi/mL (2 x
108 IU/mL), status HBeAg positif, dan ALT >2x batas atas normal
HBeAg Negatif
58
DNA VHB < 2x 103 DNA VHB ≥ 2 x 103 IU/mL
IU/mL
Tidak Tidak
Tidak Terdapat indikasi
diberikan Pengobatan
diberikan mulai terapi
diberikan diberikan bila
pengobatan pengobatan Bila DNA VHB <2 x
pengobatan kenaikan ALT 105 IU/mL dan
Pantau Pantau menetap tidak ada tanda
Pantau DNA DNA > 3 bulan atau dekompensasi,
DNA VHB VHB,HBeAg VHB,HBeAg tedapat resiko bias dipantau 3-6
dan ALT dan ALT dan ALT dekompensasi bulan untuk
ALT timbulnya
serokonversi
spontan HBeAg
Pertimbangkan biopsi hepar atau
pemeriksaan fibrosis non invasive
Surveillans KHS dengan pada pasien ≥ 30 tahun atau < 30 Respon
Tidak respon
USG maupun AFP/ 6 tahun dengan riwayat KHS atau
bulan bagi kelompok sirosis dalam keluarga
resiko tinggi
Bila terdapat inflamasi atau Pantau DNA
fibrosis derajat sedang atau lebih VHB ,HBeAg pertimbangkan
terapi dan ALT 1-3 strategi terapi
bulan setelah lain
terapi
Sirosis hati 59
Kompensata Dekompensata
Terapi suportif
DNA VHB < 2x 103 IU/mL DNA VHB ≥ 2 x 103 IU/mL Terapi dengan analog
nukleo(t)ida,
pertimbangkan
transplantasi
60
menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang
seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh
manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar
antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang
terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama
akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol)
(KPA, 2007).
4.1 Gejala dan Tanda Klinis yang Patut Diduga Infeksi HIV
Keadaan Umum
Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar
Demam (terus menerus atau intermiten, temperature oral > 37,5 ° C)
yang lebih dari satu bulan
Diare ( terus menerus atau intermiten ) yang lebih dari satu bulan
Limfadenopati meluas
Kulit
PPE* dan kulit kering yang luas * merupakan dugaan kuat infeksi HIV.
Beberapa kelainan seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan
psoriasis sering terjadi pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV
Infeksi
Stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap kali kunjungan
untuk penentuan terapi ARV dengan lebih tepat waktu.
Stadium 1
Stadium 3
Penurunan berat badan bersifat berat yang tak diketahui penyebabnya (lebih
dari 10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)
Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya selama lebih dari 1 bulan
Demam menetap yang tak diketahui penyebabnya
Kandidiasis pada mulut yang menetap
Oral hairy leukoplakia
Tuberkulosis paru
Infeksi bakteri yang berat (contoh: pneumonia, empiema, meningitis,
piomiositis, infeksi tulang atau sendi, bakteraemia, penyakit inflamasi
panggul yang berat)
Stomatitis nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau periodontitis
Anemi yang tak diketahui penyebabnya (<8g/dl), netropeni (<0.5 x 109/l)
dan/atau trombositopeni kronis (<50 x 109/l)
62
Stadium 4
Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila
tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah untuk
menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau
belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA
dewasa.
Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV
adalah didasarkan pada penilaian klinis.
Rekomendasi :
63
1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350
sel/mm3 tanpa
memandang stadium klinisnya.
2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu
hamil dan
koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.
ODHA dewasa Stadium klinis > 350 sel/mm3 Belum mulai terapi.
1 Monitor gejala klinis
dan jumlah sel CD4
dan 2 setiap 6-12 bulan
dan 4
64
Darah lengkap* Tes Kehamilan (perempuan usia
Jumlah CD4*
reprodukstif dan perluanamnesis
SGOT / SGPT*
Kreatinin Serum* mens terakhir)
Urinalisa*
PAP smear / IFA-IMS untuk
HbsAg*
Anti-HCV (untuk ODHA IDU menyingkirkan adanya Ca Cervix
atau dengan riwayat IDU)
yang pada ODHA bisa bersifat
Profil lipid serum
Gula darah progresif)
VDRL/TPHA/PRP
Jumlah virus / Viral Load RNA
Rontgen dada (utamanya bila
curiga ada infeksi paru) HIV** dalam plasma (bila
tersedia dan bila pasien mampu)
Catatan:
* adalah pemeriksaan yang minimal perlu dilakukan sebelum terapi ARV karena
berkaitan dengan pemilihan obat ARV. Tentu saja hal ini perlu mengingat
ketersediaan sarana dan indikasi lainnya.
4.2 Perbedaaan Antara Pedoman Nasional Terapi ARV Tahun 2007 dan
2011
Odha tanpa gejala klinis CD4 < 200 sel/mm3 CD4 < 350 sel/mm3
(stadium klinis 1) dan belum
pernah mendapat terapi ARV
(ARV-naïve)
65
Odha dengan gejala klinis Semua pasien CD4 < 200 Stadium klinis 2 bila CD4 ≤
dan belum pernah mendapat sel/mm3 • Stadium klinis 3 350 sel/mm3 Atau • Stadium
terapi ARV (ARV-naïve) atau 4, berapapun jumlah klinis 3 atau 4, berapapun
CD 4 jumlah CD4
Perempuan hamil dengan Stadium klinis 1 atau 2 dan Semua ibu hamil berapapun
HIV CD4 < 200 sel/mm3 • jumlah CD4 atau apapun
Stadium klinis 3 dan CD4 < stadium klinis
350 sel/mm3 • Stadium
klinis 4 berapapun jumlah
CD
Odha dengan Koinfeksi TB Adanya gejala TB aktif dan Mulai terapi berapapun jumla
yang belum pernah mendapat CD4 < 350 sel/mm3 CD4
terapi ARV
Odha yang belum pernah AZT atau d4T + 3TC (atau Menggunakan TDF sebagai l
mendapat terapi ARV FTC) + EFV atau NVP pertama • Perlunya memulai
phase-out d4T dan memulai
(ARV-naïve) terapi dengan AZT atau TDF
mengingat efek samping
Perempuan hamil HIV + AZT + 3TC + NVP AZT atau TDF sebagai lini
pertama
Koinfeksi TB-HIV AZT atau d4T + 3TC (atau TDF menggantikan d4T
FTC) + EFV sebagai lini pertam
Koinfeksi HIV-Hepatitis B TDF + 3TC (atau FTC) + Diperlukan paduan NRTI yan
(kronis aktif) EFV berisi TDF + 3TC (atau FTC)
Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu pengobatan atau
diredakan
66
Jenis Infeksi Opportunistik Rekomendasi
2 NRTI + 1 NNRTI
Paduan Lini Pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang belum
pernah mendapat terapi ARV (treatment-naïve)
67
Populasi Target Pilihan yang Catatan
direkomendasikan
Dewasa dan anak AZT atau TDF + 3TC (atau Merupakan pilihan paduan
FTC) + EFV atau NVP yang sesuai untuk sebagian
besar pasien Gunakan FDC
jika tersedia
Ko-infeksi HIV/TB AZT atau TDF + 3TC Mulai terapi ARV segera
(FTC) + EFV setelah terapi TB dapat
ditoleransi (antara 2
minggu hingga 8 minggu)
Gunakan NVP atau triple
NRTI bila EFV tidak dapat
digunakan
68
No Infeksi Tampilan Klinis Diagnosis Terapi
Oportunistik
Terapi alternatif
2. Kandidasis Kandidiasis oral: Bercak putih Tampilan klinis yang Tablet Nistatin 100.000 IU, dihisap setiap 4 jam
di selaput mukosa disertai khas pada pemeriksaan selama 7 hari atau Suspensi Nistatin 3-5 cc
eritema di rongga mulut fisik Pada sediaan KOH dikumur 3 kali sehari selama 7 hari
mikroskopis ditemukan
pseudohifa
Kandidiasis esofageal: Disfagi Tampilan klinis khas Flukonasol 200 mg per sehari selama 14 hari
Disertai rasa nyeri terbakar di dan memberikan atau Itrakonasol 400 mg per sehari selama 14
dad respon baik setelah di hari atau Ketokonasol 200 mg per sehari
terapi Bila selama 14 hari
memungkinkan dapat
dilakukan endoskopi
69
4. Toksoplasmosis Sakit kepala Defisit nerologis fokal Terapi pilihan
serebral CT scan kepala Respon
Pusing terhadap terapi Pirimetamin dosis awal: 100 mg, diikuti dengan
presumtif dapat 50 mg perhari + klindamisin 4 X 600 mg Asam
Demam folinat 15 mg setiap 2 hari bila tersedia Terapi
menyokong diagnosis
selama 6 minggu Terapi rumatan Pirimetamin
Defisit nerologis fokal
25 mg / hari + klindamisin600mg
Kejang
5. Herpes simpleks Sekelompok vesikel berair Gambaran klinis khas Biasanya sembuh sendiri dan tidak perlu terapi
biasanya di daerah genital atau Perawatan lesi, dengan gentian violet atau
sekitar mulut Dapat menjadi larutan klorheksidin Bila ada indikasi dapat
sistemik seperti esofagitis, diberi asiklovir 5 X 200 atau 3 X 400 mg selama
ensefalitis 7 hari.
6. Herpes zoster Sekelompok vesikel berair Gambaran klinis khas Perawatan lesi, dengan gentian violet atau
terasa sangat nyeri di sepanjang larutan klorheksidin Asiklovir 5 X 800 mg
dermatom. Dapat menyerang selama 7 hari, diberikan dalam 72 jam sejak
mata timbulnya erupsi vesikel. Famsiklovir dan
valasiklovir sebagai alternatif
7. Tuberkulosis TB Paru Batuk, demam, berat Pemeriksaan dahak Terapi sesuai Pedoman Nasional
badan berkurang, cepat lelah SPS untuk mencari BTA Penanggulangan Tuberkulosis
Foto toraks:
Gambaran paru yang
klasik:
8. Mycobacterium Demam berulang kali, berat Isolasi organisme dari Terapi pilihan Azitromisin 1 X 500 mg atau
Avium Complex badan menurun, cepat lelah darah atau tempat lain Klaritromisin 2 X 500 mgi + etambutol 15
(MAC) mg/kg/ hari. Bila infeksi berat dapat ditambah
obat ketiga seperti levofloxacin 1 X 500 mg
(atau Ciprofloxacin 2 X 500 mg)
Anemia yang tidak
diketahui sebabnya Keadaan akan membaik dengan terapi ARV
Terapi rumatan Klaritromisin 2 X 500 mg atau
azitromisin 1 X 500 mg + etambutol 15 mg/kg/
hari
70
9. Kriptosporidiosis Diare kronis Sediaan feses dengan Terapi ARV
pengecatan BTA
Kram perut dan muntah
2.4.8 Kusta
Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan
oleh Mycobacterium leprae, terutama mengenai kulit, sistem saraf
perifer, namun dapat juga terjadi sistem pernapasan bagian atas, mata,
kelenjar getah bening dan testis dan sendi-sendi.
Lepra adalah penyakit menular, menahun dan disebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Penularan
kemungkinan terjadi melalui saluran pernapasan atas dan kontak kulit
pasien lebih dari 1 bulan terus menerus. Masa inkubasi rata-rata 2,5 tahun,
namun dapat juga bertahun-tahun (KemenKes RI,2012).
Epidemiologi (DEPKES, 2007)
Sebuah penelitian menyatakan bahwa jumlah penderita kusta di dunia
pada tahun 2007 diperkirakan 2-3 juta orang lebih, 80% di antaranya
berasal dari daerah tropis. Pada tahun yang sama Indonesia masih
menempati urutan ke tiga setelah India dan Brazil dalam hal penyumbang
jumlah penderita kusta di dunia. Walaupun secara nasional Indonesia
telah mencapai eliminasi kusta sejak Juni 2000. Artinya, secara nasional
angka prevalensi kusta di Indonesia lebih kecil dari 1 per 10.000 penduduk.
Namun untuk tingkat provinsi dan kabupaten sampai akhir tahun 2007
masih ada 14 provinsi dan 155 kabupaten yang angka prevalensinya di atas
1 per 10.000 penduduk. Ke-14 provinsi tersebut antara lain Nangroe Aceh
Darussalam, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Maluku,
Gorontalo dan Papua.
71
mengalami reaksi kusta, sebanyak 94,3 % penderita mengalami reaksi
kusta berat dan 5,7 % mengalami reaksi kusta ringan. Berdasarkan status
pengobatan MDT, sebanyak 5,7 % penderita belum mendapat pengobatan,
sedang dalam pengobatan sebanyak 52,8 % dan sesudah pengobatan
sebanyak 41,5 %.
72
Gambar 2.7 Saraf Tepi yang Perlu Diperiksa pada Lepra/ Kusta
(KemenKes, 2016)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan mikroskopis kuman BTA pada sediaan kerokan jaringan
kulit.
73
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis, diagnosis ditegakkan apabila terdapat satu dari
tanda-tanda utama atau kardinal (cardinal signs), yaitu:
1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa
2. Penebalan saraf tepi yang disertai gangguan fungsi saraf
3. Adanya basil tahan asam (BTA) dalam kerokan jaringan kulit (slit skin
smear)
Dosis MDT pada anak <10 tahun dapat disesuaikan dengan berat
badan:
1. Rifampisin: 10-15 mg/kgBB
2. Dapson: 1-2 mg/kgBB
3. Lampren: 1 mg/kgBB
2.4.9. Campak
Campak juga dikenal dengan nama morbili atau morbillia dan rubeola
(bahasa Latin), yang kemudian dalam bahasa Jerman disebut dengan nama
masern, dalam bahasa Islandia dikenal dengan nama mislingar dan measles
dalam bahasa Inggris. Campak adalah penyakit infeksi yang sangat menular
75
yang disebabkan oleh virus, dengan gejala-gejala eksantem akut, demam,
kadang kataral selaput lendir dan saluran pernapasan, gejala-gejala mata,
kemudian diikuti erupsi makulopapula yang berwarna merah dan diakhiri
dengan deskuamasi dari kulit.
Infectious Agent
Campak adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh RNA virus
genus Morbillivirus, famili Paramyxoviridae. Virus ini dari famili yang
sama dengan virus gondongan (mumps), virus parainfuenza, virus human
metapneumovirus, dan RSV (Respiratory Syncytial Virus) (Halim, 2016).
Gejala Klinis Penyakit campak terdiri dari 3 stadium, yaitu:
Stadium Kataral (Prodormal)
Berlangsung kira-kira 3 hari (kisaran 2-4 hari), ditandai dengan
demam yang dapat mencapai 39,50 C ± 1,10 C. Selain demam, dapat timbul
gejala berupa malaise, coryza (peradangan akut membran mukosa rongga
hidung), konjungtivitis (mata merah), dan batuk. Gejala-gejala saluran
pernapasan menyerupai gejala infeksi saluran pernapasan yang disebabkan
oleh virus-virus lain. Konjungtivitis dapat disertai mata berair dan sensitif
terhadap cahaya (fotofobia). Tanda patognomonik berupa enantema mukosa
buccal yang disebut Koplik spots yang muncul pada hari ke-2 atau ke-3
demam. Bercak ini berbentuk tidak teratur dan kecil berwarna merah terang,
di tengahnya didapatkan noda putih keabuan. Timbulnya bercak Koplik ini
hanya sebentar, kurang lebih 12 jam, sehingga sukar terdeteksi dan biasanya
luput saat pemeriksaan klinis (Halim, 2016).
Stadium Erupsi
Stadium ini berlangsung selama 4-7 hari. Gejala yang biasanya terjadi
adalah koriza dan batuk-batuk bertambah. Timbul eksantema di palatum
durum dan palatum mole. Kadang terlihat pula bercak Koplik. Pada kuli,
timbul ruam makulopapular dengan penyebaran sentrifugal yang dimulai
dari batas rambut di belakang telinga, kemudian menyebar ke wajah, leher,
dada, ekstremitas atas, bokong, dan akhirnya ekstremitas bawah. Ruam ini
dapat timbul selama 6-7 hari. Demam umumnya memuncak (mencapai 40o
76
C) pada hari ke 2-3 setelah munculnya ruam. Jika demam menetap setelah
hari ke-3 atau ke-4 umumnya mengindikasikan adanya komplikasi (Halim,
2016).
Stadium Konvalesensi
Setelah 3-4 hari umumnya erupsi berkurang meninggalkan bekas
yang berwarna lebih tua (hiperpigmentasi) yang lama-kelamaan akan
menghilang sendiri. ruam berangsur menghilang sesuai dengan pola
timbulnya. Ruam kulit menghilang dalam 7-10 hari. Selanjutnya suhu
menurun sampai menjadi normal kecuali bila ada komplikasi (Halim, 2016).
77
tentang lama waktu sakit, gejala klinis penderita, urutan munculnya gejala,
dan pola klinik ruam misalnya timbulnya ruam, dimana, kapan,
distribusinya, ada tidaknya rasa gatal, dimensi waktu hubungan antara ruam
dan panas, serta obat-obatan, baik oral maupun topikal. Ruam
makulopapular akut yang terjadi pada anak biasanya berhubungan dengan
infeksi virus. Umur penderita dapat menjadi alat untuk mempersempit
kemungkinan diagnosis banding. Penyakit ruam kulit yang disertai panas,
biasanya karena infeksi, terutama bila disertai dengan gejala sistemik yang
lain, harus mendapat perhatian khusus karena potensial menimbulkan
wabah (Ismoedijanto, 2011).
Kelompok penyakit dengan ruam makulopapular yang terdistribusi
central, dimana ruam mulai muncul dari daerah kepala, leher kemudian
menyebar keseluruh tubuh/ menyebar ke perifer: umumnya berkaitan
dengan penyakit campak, rubella, roseola/ exanthema subitum atau ruam
yang berhubungan dengan obat. Kelompok penyakit dengan ruam
makulopapular yang terdistribusi perifer, dimana predileksi ruamnya ada di
telapak tangan, telapak kaki, lutut dan siku misalnya meningococcemia,
Rocky Mountain spotted fever, dengue fever, yang awalnya tampil dengan
ruam makulopapular, sebelum akhirnya menjadi ruam petekhiae, harus
segera dikenali agar tatalaksana tidak terlambat dan fatal
(Ismoedijanto,2011).
78
Gambar 2.10 Beberapa Diagnosis Banding Penyakit Demam Disertai Ruam
BAB III
METODE PENELITIAN
79
Dengue, Kusta, Tifoid, Campak, dan Hepatitis pada periode 4 Januari-31
Desember 2017 yang datang berobat ke Puskesmas Rapak Mahang.
81
Pasien diketahui menderita hepatitis pada rekam medik berdasarkan hasil
pemeriksaan klinis yang dilakukan dokter serta ditunjang pemeriksaan
penunjang lain.
3.8.7 HIV/ AIDS
Definisi Operasional
Pasien diketahui menderita HIV/ AIDS pada rekam medik berdasarkan hasil
pemeriksaan klinis yang dilakukan oleh dokter dan pemeriksaan penunjang
lain.
3.8.8 Kusta
Definisi Operasional
Pasien diketahui menderita kusta pada rekam medik berdasarkan hasil
pemeriksaan klinis yang dilakukan dokter serta ditunjang pemeriksaan
penunjang lain.
3.8.9 Campak/Morbilli
Definisi Operasional
Pasien diketahui menderita Morbilli/ Campak pada rekam medik
berdasarkan hasil pemeriksaan klinis yang dilakukan oleh dokter.
3.9. Pengolahan dan Penyajian Data
3.9.1 Pengolahan Data
Data pada penelitian ini diolah menggunakan program Microsoft
Office Excel 2010.
3.9.2 Penyajian Data
Data penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel, grafik dan deskripsi.
82
BAB IV
HASIL PENELITIAN
84
4.1.3. Pelayanan Kesehatan
4.1.3.1. Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Fasilitas pelayanan kesehatan sangat penting diketahui dalam rangka
pelayanan kesehatan. Data mengenai fasilitas pelayanan kesehatan di
Puskesmas Rapak Mahang dapat dilihat pada tabel berikut.
Perempuan 835
Laki-laki 985
Usia (Tahun)
≥ 45 190
15 - 44 481
0 - 14 1149
86
Alamat (Kelurahan)
Luar Wilayah 228
Timbau 553
Jahab 462
Melayu 409
50% 50%
Laki-Laki Perempuan
87
pasien perempuan, sedangkan pasien laki-laki yang menderita Tuberkulosis
Paru sebanyak 32 (50%) pasien.
4.2.2.2 Usia
3%
5-14 thn
48% 15-44 thn
49%
≥ 45 thn
10
4
5
0
Melayu Jahab Bukit Biru Timbau
88
Gambar 4.7. Sebaran Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Asal Wilayah Tempat
Tinggal
Pindah,
MDR, 0,0,2,
Meninggal, 0%
0%3% Sembuh
Gagal
Sembuh, 28, 41% Konversi
89
4.2.3 Pneumonia
Dari hasil penelitian, diperoleh sampel pasien yang menderita
Pneumonia yaitu sebanyak 160 orang. Distribusi sampel yang menderita
Pneumonia dalam penelitian ini dapat dilihat pada diagram dan grafik
dibawah ini.
72
45% Laki-laki
88 Perempuan
55%
90
Jumlah Penderita Pneumonia
Berdasar Usia
100 81 ≤ 1 thn
80
58 1 - 4 thn
60
40 5 -14 thn
20 7 12
2 15 - 44 thn
0
≥ 45 thn
≤ 1 thn 1 - 4 thn 5 -14 thn 15 - 44 thn ≥ 45 thn
Gambar 4.10. Sebaran Penderita Pneumonia Berdasarkan Usia
91
Kejadian Kasus Pneumonia Per
Bulan dalam 2016
50
40 43
30 32
20 16
10 15 12 13
9 5 8 4
0 1 2
4.2.4 Diare
Dari hasil penelitian, diperoleh sampel pasien yang menderita Diare
yaitu sebanyak 333 orang. Distribusi sampel yang menderita Diare dalam
penelitian ini dapat dilihat pada diagram dan grafik dibawah ini.
4.2.4.1 Jenis Kelamin
152 Laki-laki
46% 181
54% Perempuan
92
Diagram di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita
Diare menurut jenis kelamin yaitu sebanyak 181 (54%) adalah pasien laki-
laki, sedangkan pasien perempuan yang menderita Diare sebanyak 152
(46%) pasien.
4.2.4.2 Usia
40 15 - 44 thn
20 ≥ 45 thn
3
0
≤ 1 thn 1 - 4 thn 5 -14 thn 15 - 44 thn ≥ 45 thn
Gambar 4.14. Sebaran Penderita Diare Berdasarkan Usia.
93
Sebaran Penderita Diare Berdasar
Wilayah
140 130
120
97
100 Melayu
80 Jahab
60
39 34 33 Bukit Biru
40
Timbau
20
0 Luar wilayah
Melayu Jahab Bukit Biru Timbau Luar
wilayah
Gambar 4.15. Sebaran Penderita Diare Berdasarkan Asal Wilayah Tempat Tinggal
4.2.5 Tifoid
Dari hasil penelitian, diperoleh sampel pasien yang menderita Tifoid
yaitu sebanyak 157 orang. Distribusi sampel yang menderita Tifoid dalam
penelitian ini dapat dilihat pada diagram dan grafik dibawah ini.
95
Penderita Typhoid Berdasar
Jenis Kelamin
75 Laki-laki
83 47%
53% Perempuan
96
pada usia 1-4 tahun, 42 orang pada usia 5-14 tahun, 41 orang pada usia 15-
44 tahun, dan 23 orang pasien pada usia ≥ 45 tahun.
4.2.5.3 Wilayah Tempat Tinggal
97
Kejadian Kasus Tifoid Per Bulan
dalam 2016
30 28
25
20 22 22
15 16
13 13 11
10 10 10
5 7 5
0 0
98
Penderita DF/ DHF Berdasar
Jenis Kelamin
63
40%
Laki-laki
Permpuan
95
60%
99
orang pada usia 1-4 tahun, 68 orang pada usia 5-14 tahun, 49 orang pada
usia 15-44 tahun, dan 3 orang pasien pada usia ≥ 45 tahun.
4.2.6.3 Wilayah Tempat Tingal
100
Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita
Diare perbulannya paling tinggi berada pada bulan: 1. Februari (40 kasus),
2. Mei (26 kasus), 3. Maret (23 kasus), dan 4. Mei (21 kasus). Sedangkan
bulan yang paling rendah yakni di bulan September dan November (1
Kasus).
4.2.7 Hepatitis
Dari hasil penelitian, diperoleh sampel pasien yang menderita
Hepatitis yaitu sebanyak 18 orang. Distribusi sampel yang menderita
Hepatitis dalam penelitian ini dapat dilihat pada diagram dan grafik dibawah
ini.
4.2.7.1 Jenis Kelamin
Laki-Laki
Perempuan
101
Sebaran Penderita Hepatitis
2.5 ≥ 45 thn
2 15- 44 thn
1 1-4 thn
≤ 1 thn
0.5
0
≥ 45 thn 15-44 thn 5-14 thn 1-4 thn ≤ 1 thn
Gambar 4.27. Sebaran Penderita Hepatitis Berdasarkan Usia
Diagram di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita
Hepatitis menurut usia yaitu sebanyak 2 orang pada usia 15-44 tahun, dan
1 orang pasien pada usia ≥ 45 tahun.
4.2.7.3 Wilayah Tempat Tinggal
2 Bukit Biru
1.5 Timbau
1 Luar Wilayah
0.5
0
Melayu Jahab Bukit Biru Timbau Luar
wilayah
Gambar 4.28. Sebaran Penderita Hepatitis Berdasarkan Asal Wilayah Tempat Tinggal
103
Jenis Kelamin Penderita
HIV/AIDS
33%
Laki-laki
Perempuan
67%
0.8
0.6
0.4
0.2
0
<5 thn 5-14 thn 14-44 thn >41 thn
104
Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita
HIV/ AIDS menurut sebaran kelompok usia yaitu sebanyak 1 orang pada
usia 20-29 tahun, 1 orang pada usia 30-40 tahun,1 orang pada usia >41
tahun.
4.2.7.7 Wilayah Tempat Tingggal
1
1 1 1
0.8 Melayu
Timbau
0.6
Bukit biru
0.4
Jahab
0.2
0 0 Luar Wilayah
0
Melayu Timbau Bukit biru Jahab Luar
Wilayah
Gambar 4.32. Presentase Penderita HIV/ AIDS Berdasarkan Wilayah Tempat Tinggal
4.2.8 Kusta
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang menderita kusta
yaitu sebanyak 5 orang. Distribusi sampel yang menderita kusta dalam
penelitian ini dapat dilihat pada diagram dan grafik dibawah ini.
105
4.2.8.1 Jenis Kelamin
Laki-laki
100%
106
Gambar 4.34. Sebaran Penderita Kusta Berdasarkan Usia
0
Wilayah Kerja PKM R. Mahang Luar Wilayah
107
4.2.9.1 Jenis Kelamin
43% Laki-laki
57% Perempuan
108
4.2.9.2 Usia
Series 1
109
Gambar 4.38. Sebaran Penderita morbilli-like illness Berdasarkan Wilayah
1.5
0.5
4.2.10 Perbandingan Penyakit Menular antara pasien dalam wilayah dan luar
wilayah kerja Puskesmas Rapak Mahang
110
Pasien Penyakit Menular Wilayah
Puskesmas Rapak Mahang
Hepatitis 14, 1%
111
Pasien Penyakit Menular Luar Wilayah
Puskesmas Rapak Mahang
Hepatitis, 4, 2%
Morbilliform,
7, 3% Pneumonia,
HIV/ AIDS, 0, 0% Tuberkulosis
20, 9%
Varicella, 8, 4% Kusta, 1, 0% Paru, 15, 7%
Gambar 4.50. Sebaran pasien Penyakit Menular Luar wilayah Puskesmas Rapak
Mahang
112
Pasien Penyakit Menular Wilayah dan
Luar Wilayah Puskesmas Rapak
Mahang
Diare, 333,
18%
113
Pasien Penyakit Menular Wilayah dan Luar
Wilayah Puskesmas Rapak Mahang
747
800 658
700
600
500 333300
400
300 157132 158132 160140 131123
200 33 25 26 581543 52745 89
100 18414 20 312 303 8
0
Gambar 4.52. Perbandingan Pasien Penyakit Menular secara Keseluruhan, Dalam Wilayah, dan
Luar Wilayah
Dari grafik di atas dapat dilihat dari kasus terbanyak yakni Kulit
dengan Infeksi dengan keseluruhan pasien 747 orang yang dibagi dari
dalam wilayah sebanyak 658 orang dan luar wilayah sebanyak 89 orang.
Diare berada di posisi terbanyak kedua dengan jumlah keseluruhan
sebanyak 333 orang yang terbagi 300 orang berasal dari dalam wilayah
dan sebanyak 33 orang dari luar wilayah. Terbanyak ketiga adalah
penyakit Pneumonia dengan jumlah keseluruhan 160 orang yang terbagi
140 orang berasal dari dalam wilayah dan 20 orang dari luar wilayah.
114
BAB V
PEMBAHASAN
115
bahwa program pengendalian tuberkulosis di Indonesia telah berhasil
menurunkan insidens, prevalensi, dan mortalitas akibat penyakit tuberkulosis.
Tabel 5.1 Estimasi Insidensi, Prevalensi, dan Mortalitas Tuberkulosis per 100.000
Penduduk Tahun 1990 dan 2013
116
Hal ini berbeda dengan hasil dari penelitian yaitu jumlah kasus laki-laki dan
perempuan sama ratanya.
Kementerian Kesehatan RI (2016) juga menjelaskan untuk kelompok
umur, kasus tuberkulosis pada tahun 2015 paling banyak ditemukan pada
kelompok umur 15-44 tahun yaitu sebesar 51,72% diikuti kelompok umur 45-
54 tahun sebesar 17,33%. Penelitian mendapatkan kesimpulan yang sejalan
dengan Kementerian Kesehatan dengan hasil 49% pada kelompok 15-44
tahun, tetapi berbeda dengan kelompok ≥ 45 tahun yaitu 48%.
5.2. Pneumonia
Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru
(alveoli) yang dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti virus,
jamur dan bakteri. Gejala penyakit pneumonia yaitu menggigil, demam, sakit
kepala, batuk, mengeluarkan dahak, dan sesak napas. Pneumonia menyerang
populasi yang rentan terserang pneumonia adalah anak-anak usia kurang dari
2 tahun, usia lanjut lebih dari 65 tahun dan orang yang memiliki masalah
kesehatan (malnutrisi, gangguan imunologi). Pneumonia merupakan
penyebab dari 15% kematian balita, yaitu diperkirakan sebanyak 922.000
balita di tahun 2015 (Kementerian Kesehatan RI, 2016).
117
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang menderita
Pneumonia yaitu sebanyak 160 orang, dengan rincian 140 orang dari dalam
wilayah kerja Puskesmas Rapak Mahang dan 20 orang berasal dari luar
wilayah.
Riskesdas (2013), menjelaskan berdasarkan kelompok umur
penduduk, Period prevalence pneumonia yang tinggi terjadi pada kelompok
umur 1-4 tahun, kemudian mulai meningkat pada umur 45-54 tahun dan terus
meninggi pada kelompok umur berikutnya.
Gambar 5.2. Insidensi Pneumonia per 1000 Balita Menurut Kelompok Umur, Indonesia
2013
5.3. Diare
Diare adalah gangguan buang air besar (BAB) ditandai dengan BAB
lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja cair, dapat disertai dengan
darah dan atau lendir (Riskesdas, 2013). Penjelasan World Health
118
Organization (2008), selama anak diare terjadi peningkatan hilangnya cairan
dan elektrolit (natrium, kalium dan bikarbonat) yang terkandung dalam tinja
cair anak. Dehidrasi terjadi bila hilangnya cairan dan elektrolit ini tidak
diganti secara adekuat, sehingga timbulah kekurangan cairan dan elektrolit
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang menderita Diare
yaitu sebanyak 333 orang, dengan rincian 300 orang dari dalam wilayah kerja
Puskesmas Rapak Mahang dan 33 orang berasal dari luar wilayah.
Kementerian Kesehatan (2016) menjabarkan perkiraan jumlah
penderita diare yang datang ke sarana kesehatan dan kader kesehatan sebesar
10% dari angka kesakitan dikali jumlah penduduk di satu wilayah kerja dalam
waktu satu tahun. Angka kesakitan nasional hasil Survei Morbiditas Diare
tahun 2012 yaitu sebesar 214 per 1.000 penduduk. Maka diperkirakan jumlah
penderita diare di fasilitas kesehatan sebanyak 5.097.247 orang, sedangkan
jumlah penderita diare yang dilaporkan ditangani di fasilitas kesehatan
sebanyak 4.017.861 orang atau 74,33% dan targetnya sebesar 5.405.235 atau
100%. Rincian menurut provinsi dapat dilihat dibawah ini.
119
Tabel.5.2.Penemuan Kasus Diare Ditangani Menurut Provinsi Tahun 2015
Insidensi Diare 2016 pada Puskesmas Rapak Mahang adalah 8,2 per
1000 penduduk. Angka ini lebih rendah daripada angka insidensi tahun 2012.
Profil Kesehatan 2015 Provinsi Kalimantan Timur menemukan jumlah kasus
Diare sebanyak 34.647 kasus, sedangkan hasil penelitian di Puskesmas Rapak
Mahang menemukan 333 kasus, apabila dibandingkan Puskesmas Rapak
Mahang nilainya 0,96% dari angka kasus provinsi. Hasil yang didapatkan dari
penelitian pada Puskesmas Rapak Mahang adalah baik dibandingkan dengan
dari angka-angka rujukan.
120
5.4. Tifoid
Demam tifoid atau demam enterik merupakan penyakit infeksi
sistemik yang disebabkan oleh infeksi Salmonella enterica serotipe Typhi.
Pada beberapa kasus dikenal pula demam paratiofid, merupakan jenis yang
lebih ringan, disebabkan oleh S. Paratyphi A, S. Paratyphi B (Schotmulleri),
dan S. Paratyphi C (Hirschfe) (Parry CM. dkk, 2002). Bhutta ZA (2012)
memberikan penjelasan manifestasi klinis pada penyakit ini adalah demam
tinggi (>38 C) selama 7-14 hari dengan rentang 3-30 hari. Demam disertai
berbagai gejala gastrointestinal seperti nyeri perut, diare, konstipasi, maupun
mual.
Angka rata-rata kesakitan demam tifoid di Indonesia mencapai
500/100.000 penduduk dengan angka kematian antara 0,6-5% (Keputusan
Menteri Kesehatan, 2006). Berdasarkan Riskesdas (2007), prevalensi demam
tifoid di Indonesia mencapai 1,7%. Distribusi prevalensi tertinggi adalah pada
usia 5-14 tahun (1,9%), usia 1-4 tahun (1,6%), usia 15-24 tahun (1,5%) dan
usia <1 tahun (0,8%). Kondisi ini menunjukkan bahwa anak-anak (0-8 tahun;
WHO) merupakan populasi penderita demam tifoid terbanyak di Indonesia.
Angka insidensi dari penilitian pada Puskesmas Rapak Mahang
adalah 387,03 per 100.000 penduduk. Angka insidensi untuk penyakit pada
yang ditangani Puskesmas Rapak Mahang lebih baik karena dibawah rata-
rata kesakitan pada rujukan. Distribusi pada penelitian mendapatkan hasil
usia ≤ 1 tahun (2,55%), 1-4 tahun (29,94%), 5-14 tahun (26,75%), 15-44
tahun (26,11%), dan ≥ 45 (14,65%). Hasil yang berbeda bila dibandingkan
dengan Riskesdas yaitu yang tertinggi pada usia 1-4 tahun, tetapi hasil yang
sama pada usia ≤ 1 tahun untuk yang terendah.
Gambar 5.3. Angka Kesakitan DF/ DHF per 100.000 penduduk tahun 2008-2015
5.6. Hepatitis
Hepatitis adalah penyakit infeksi hati yang disebabkan oleh virus
Hepatitis A, B, C, D atau E. Hepatitis dapat menimbulkan gejala demam, lesu,
hilang nafsu makan, mual, nyeri pada perut kanan atas, disertai urin warna
coklat yang kemudian diikuti dengan ikterus (warna kuning pada kulit dan/
sklera mata karena tingginya bilirubin dalam darah). Hepatitis dapat pula
terjadi tanpa menunjukkan gejala (asimptomatis) (Riskesdas, 2013).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang menderita Hepatitis
yaitu sebanyak 18 orang, dengan rincian 14 orang dari dalam wilayah kerja
Puskesmas Rapak Mahang dan 4 orang berasal dari luar wilayah.
Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, (2014)
menjelaskan prevalensi Hepatitis 2013 adalah 1,2 persen, dua kali lebih tinggi
dibandingkan 2007. Lima provinsi dengan prevalensi Hepatitis tertinggi
adalah Nusa Tenggara Timur (4,3%), Papua (2,9%), Sulawesi Selatan (2,5%),
Sulawesi Tengah (2,3%) dan Maluku (2,3%).
123
Timur dengan angka kematian 0 (Infodatin Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI, 2014).
Angka prevalensi 2016 sebesar 0,24 per 1000 penduduk untuk
kejadian pada Puskesmas Rapak Mahang, angka tersebut didasarkan dari
penderita Hepatitis A dan B yang terdata di Puskesmas. Angka IR adalah 0,19
per 1000 penduduk dengan data yang dimiliki berupa suspek Hepatitis.
Sedangkan untuk Hepatitis C, D, dan E adalah 0. Angka kematian pada
Puskesmas Rapak Mahang adalah 0.
Angka kejadian kasus AIDS atau AIDS Case Rate adalah jumlah
kasus AIDS per 100.000 penduduk di suatu wilayah dalam kurun waktu
tertentu. AIDS Case Rate di Indonesia sampai September 2014 yang tertinggi
di Provinsi Papua, diikuti Papua Barat, Bali, DKI Jakarta, Kalimantan Barat,
124
Sulawesi Utara, Maluku, DI. Yogyakarta, Kepulauan Bangka Belitung, dan
Sumatera Barat. (Kementerian Kesehatan, 2016)
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pasien yang
menderita HIV/AIDS menurut jenis kelamin yaitu sebanyak 1 orang (33%)
pasien perempuan yang menderita HIV/AIDS sedangkan pasien laki-laki
yang menderita HIV/AIDS sebanyak 2 orang ( 67%) pasien. Hal ini serupa
dengan laporan kesehatan nasional bahwa penderita HIV/AIDS didominasi
oleh laki-laki dengan persentase nasional penderita AIDS pada laki-laki
sebesar 55% dan pada perempuan sebesar 32%. Adanya peningkatan proporsi
kasus baru yang tidak terlaporkan jenis kelaminnya, yaitu sebesar 13% pada
tahun 2015 dari sebesar 4% pada tahun sebelumnya. (Kementerian
Kesehatan, 2016)
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pasien yang
menderita HIV/AIDS menurut sebaran kelompok usia yaitu sebanyak 2
orang pada usia 15-44 tahun, dan1 orang pada usia >45 tahun. Hal ini sesuai
dengan hasil riskesdas 2013 bahwa 61,7% penderita AIDS berada dalam
kelompok usia tersebut. Kelompok umur tersebut masuk ke dalam kelompok
umur produktif yang aktif secara seksual dan termasuk kelompok umur yang
menggunakan NAPZA suntik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita
HIV/AIDS menurut wilayah tempat tinggal pasien yaitu sebanyak 1 orang
bertempat tinggal di daerah Melayu, 1 orang di daerah Timbau, dan 1 orang
berasal dari Jahab. Hal ini menujukkan angka kejadian HIV/AIDS di wilayah
kerja Puskesmas Rapak Mahang masih dibawah rata-rata angka kejadian
HIV/AIDS Nasional
5.8. Kusta
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang menderita kusta
yaitu tidak ditemukan dalam wilayah kerja puskesmas, namun terdapat 5
orang berasal dari luar daerah. Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah
prevalensi kusta di wilayah kerja puskesmas rapak mahang <1 per 10.000
125
penduduk (0 %), sesuai dengan target program pemberantasan kusta nasional.
(Kementerian Kesehatan, 2016)
Program pemberantasan penyakit Kusta secara intensif dilaksanakan
sejak tahun 1985 dengan pengobatan Multy Drug Therapie (MDT)
merupakan salah satu pengobatan penyakit kusta yang direkomendasikan
WHO. (Kementerian Kesehatan, 2016)
Gambar. 5.5 Wilayah High Endemic dan Low Endemic Kusta di Indonesia
126
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita
kusta menurut jenis kelamin yaitu sebanyak 5 orang (100%) pasien laki laki.
Indikator lain yang digunakan pada penyakit kusta yaitu proporsi
kusta MB dan proporsi penderita kusta pada anak (0-14 tahun) di antara
penderita baru yang memperlihatkan sumber utama dan tingkat penularan di
masyarakat. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa semua penderita kusta
berusia diatas 20 tahun yang mengindikasikan bahwa tingkat penularan kusta
sudah dapat ditekan di wilayah kerja puskesmas Rapak Mahang
(Kementerian Kesehatan, 2016)
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pasien yang
menderita kusta menurut wilayah tempat tinggal pasien yaitu sebanyak 5
orang bertempat tinggal di luar wilayah. Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah
prevalensi kusta di wilayah kerja puskesmas rapak mahang <1 per 10.000
penduduk (0 %), sesuai dengan target program pemberantasan kusta nasional
(Kemenkes RI, 2012)
127
Tren kasus Campak memperlihatkan kecenderungan peningkatan
imunisasi campak selama periode tahun 2007-2012, namun menunjukan
penurunan pada periode 2013-2015. Sebaliknya tren kasus campak
memperlihatkan kecendrungan penurunan kasus selama periode yang sama.
Hal tersebut memperlihatkan adanya hubungan negatif antara kecukupan
imunisasi campak dengan jumlah kasus campak. Semakin tinggi cakupan
imunisasi semakin rendah kasus campak, begitu sebaliknya. (InfoDATIN
Kemenkes, 2016).
128
BAB VI
6.1. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan
bahwa:
a. Penderita tuberkulosis paru yang berobat di Puskesmas Rapak Mahang
sama ratanya dalam hal jenis kelamin 50:50, dengan usia 15-44 tahun
dan >45 masing masing sebanyak 31 orang (48%), berasal dari kelurahan
Timbau sebanyak 22 orang (39%), dan 28 orang (88%) dinyatakan
sembuh.
b. Penderita pneumonia yang berobat di Puskesmas Rapak Mahang
mayoritas berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 72 orang (45%),
berusia kurang dari 1-4 tahun sebanyak 81 orang (50,62%), dan berasal
dari kelurahan Timbau sebanyak 63 orang (39,37%). Kejadian kasus
pneumonia paling tinggi berada pada bulan Oktober yaitu 43 kasus
(26,87%), sedangkan bulan yang paling rendah yakni di bulan Januari
yaitu 1 Kasus (0,62%).
c. Penderita diare yang berobat di Puskesmas Rapak Mahang mayoritas
berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 181 orang (54%), berusia
kurang dari 1-4 tahun sebanyak 125 orang (37,54%), berasal dari
kelurahan Timbau sebanyak 130 orang (39,04%), jumlah kasus
terbanyak berdasarkan klasifikasi adalah diare akut tanpa dehidrasi
sebanyak 286 orang (85,88%), dan kejadian tertinggi berada pada bulan
oktober 41 orang (12,31%), sedangkan bulan yang paling rendah yakni
di bulan Desember yaitu 19 kasus (5,7%).
d. Penderita tifoid yang berobat di Puskesmas Rapak Mahang mayoritas
berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 83 orang (53%), berusia
kurang dari 1-4 tahun sebanyak 47 orang (29,94%), dan berasal dari
kelurahan Timbau sebanyak 59 orang (37,58%). Kejadian kasus tifoid
129
paling tinggi berada pada bulan Februari yaitu 28 kasus (17,83%),
sedangkan bulan yang paling rendah yakni di bulan Juli yaitu 0 Kasus (0
%). Angka insidensi yang tinggi pada usia 1-4 tahun dibandingkan
rujukan, Riskesdas tahun 2007.
e. Penderita DF/ DHF yang berobat di Puskesmas Rapak Mahang mayoritas
berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 95 orang (60%), berusia kurang
dari 5-14 tahun sebanyak 68 orang (43,03%), berasal dari kelurahan
Jahab sebanyak 59 orang (27,85%), dan kejadian tertinggi berada pada
bulan februari 40 orang (25,32%), dan kejadian tertinggi berada pada
bulan februari 40 orang (25,32%), sedangkan bulan yang paling rendah
yakni di bulan September dan November yaitu 1 kasus (0,63%). Angka
insidensi yang tinggi dan melewati target dibandingkan rujukan,
Kementerian Kesehatan 2015.
f. Penderita hepatitis yang berobat di Puskesmas Rapak Mahang mayoritas
berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 14 orang (78%), berusia kurang
dari 15-44 tahun sebanyak 14 orang (78%), berasal dari kelurahan
Melayu sebanyak 6 orang (33,33%), dan 8 orang (44,44%) menderita
hepatitis A dan 8 orang (44,44%) menderita diduga hepatitis.
g. Penderita HIV/AIDS yang berobat di Puskesmas Rapak Mahang
mayoritas berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 2 orang (67%),
berusia 30-40 tahun tahun sebanyak 2 pasien (67%) dan berasal dari 3
kelurahan berbeda yakni Melayu (1 orang), Timbau (1 orang) dan Jahab
(1 orang).
h. Penderita kusta yang berobat di Puskesmas Rapak Mahang mayoritas
berasal dari luar wilayah kerja Puskesmas Rapak Mahang berjenis
kelamin laki-laki yaitu sebanyak 5 orang (100%), dan terbanyak berumur
15-45 tahun yaitu sebanyak 4 orang (90%).
i. Penderita campak tidak ditemukan di Wilayah Kerja Puskesmas Rapak
Mahang, namun ditemukan penderita dengan dugaan campak atau
penyakit yang mirip campak (Morbilli-like illness) sebanyak 7 orang.
130
j. Pasien penyakit menular pada Puskesmas Rapak Mahang yang terdiri
didalam wilayah kerja Puskesmas dengan posisi tertinggi adalah penyakit
kulit dengan infeksi 658 orang (41,33%), penyakit kulit dengan infeksi
untuk diluar wilayah kerja Puskesmas 89 orang (39,03%), dan secara
keseluruhan baik dari dalam dan luar wilayah kerja Puskesmas adalah
penyakit kulit dengan infeksi 747 orang (41,04%)
6.2. SARAN
Berdasarkan kesimpulan penelitian di atas maka penulis mengharapkan
beberapa hal sebagai berikut:
a. Bagi penelitian selanjutnya
Diharapkan dapat dilakukan penelitian selanjutnya untuk
mengidentifikasi faktor risiko terjadinya penyakit menular di wilayah
kerja Puskesmas Rapak Mahang ditingkat kelurahan berdasarkan
tingginya kejadian kasus per penyakit. Kelurahan Timbau difokuskan
pada penyakit varicella, campak, penyakit kulit dengan infeksi,
tuberkulosis paru, pneumonia, diare, dan tifoid. Sedangkan kelurahan
Jahab adalah penyakit DF/ DHF. Sehingga dapat ditetapkan pendekatan
program untuk mengantisipasi terjadinya peningkatan penyakit menular
di kemudian hari.
b. Bagi Puskesmas Rapak Mahang
1. Bagi penangung jawab program penyakit menular dapat
menggunakan data-data yang diperoleh melalui dari penelitian ini,
sehingga dapat menambah atau meningkatkan kerja Puskesmas Rapak
Mahang dalam pencegahan, pengobatan, dan rehabilitatif penyakit.
2. Perlu ditingkatkannya kesadaran dari petugas kesehatan kepada
pasien tentang edukasi agar pasein tersebut dapat kembali atau kontrol
terhadap penyakit menular yang sudah terdiagnosis dan ditangani
secara farmakologi dan nonfarmakologi, sehingga bisa diketahui
perjalanan penyakit dari pasien tersebut.
131
3. Bagi lab, dapat melengkapi pemeriksaan penunjang lain untuk
penyakit hepatitis seperti HbsAg dan screening HIV/AIDS
4. Bagi bagian farmasi, peningkatan penyedian obat untuk pasien
peyakit menular terkontrol, terutama pada pasien tifoid dan disentri.
5. Pada pencegahan penyakit kulit terutama yang kebanyakan
merupakan penyakit yang berkaitan dengan higienitas, puskesmas
dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya pola
hidup bersih dan sehat, baik di tingkat komunitas maupun personal.
6. Pada pencegahan penyakit kulit terutama yang merupakan penyakit
yang berkaitan dengan tingginya angka penularan, puskesmas dapat
memberikan edukasi tentang cara-cara penyakit tersebut menular serta
pecegahannya
7. Semua program yang dilaksanakan dapat ditujukan dalam 4 kelurahan
wilayah kerja Puskesmas dengan bekerja sama dengan pemerintah
kelurahan Timbau
c. Bagi Stakeholder
Puskesmas Rapak Mahang untuk dapat memberikan sosialisasi
penyakit menular melalui atau bersama dengan pihak Kelurahan dan
didukung Dinas Kesehatan agar masyarakat khususnya yang berada
dalam wilayah kerja Puskesmas Rapak Mahang paham tentang penyaki
menular, sehingga dapat menekan lajunya kejadian dari penyakit menular
tersebut.
132
DAFTAR PUSTAKA
Aru WS., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed-5. Jakarta; Interna
Publishing.
Ahlquist, D.A., and Camilleri, M. 2005. Diarrhea and Constipation. In: Kasper,
D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J.L.,
eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed. USA: McGrawHill
Bhutta ZA. 2012. Enteric Fever (Typhoid Fever) in Nelson Textbook of Paediatrics.
Ed-19. Elsevier: 954-58.
Brown Graham & Burns Tony, (2005). Dermatologi edisi 8. Jakarta : Erlangga
Brunner & Suddarth, (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah edisi 8 vol. 3.
Jakarta : EGC
Chris Tanto, dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Ed-4. Jakarta; Media
Aesculapius.
Dewi, Sang Ayu Putu. 2011, Cacar Air pada Anak, Universitas Udayana, Denpasar
Dinkes Boalembo. 2014. Profil Program Pencegahan Penyakit Menular dan Tidak
Menular Tahun 2013. Boalembo
133
Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2014. Situasi dan
Analisis Hepatitis. Jakarta; Kementerian Kesehatan RI.
Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2016. Situasi dan
Analisis Hepatitis. Jakarta; Kementerian Kesehatan RI.
Halim, Ricky G. 2016, Campak pada Anak, RS Hosana Medica Lippo Cikarang,
Cikarang
Handoko Ronny P, (2007). Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi kelima. Jakarta :
FKUI
Harahap Mawarli, (2000). Ilmu penyakit kulit. Jakarta : Hipokrates
Kementerian Kesehatan RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesia 2014. Jakarta (hal
142-144).
134
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2010. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2016. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015. Jakarta.
Khulaifah, Siti, 2011, Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Penyakit Kulit,
Universitas Airlangga, Surabaya
Kliegman R.M., Marcdante K.J., and Behrman R.E., 2006. Nelson Essentials of
Pediatric. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders.
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA). 2007. Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan
AIDS (2003-2007).
Mansjoer, Arif,dkk, (2000). Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga Jilid 2. Jakarta
: Media Aesculapius FKUI
Parveen Kumar & Michael Clark. 2009. Kumar & Clark’s Clinical Medicine. Ed-
7. Spain; Saunders Elsevier.
Parry CM., dkk. 2002. Typhoid Fever. N Eng J Med; 347: 1770-1782.
135
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Nosokomial. Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Pusat Data dan Survaeilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI. 2010. Buletin
Jendela Epidemilogi: Demam Berdarah Dengue. Vol 2:1-43. Kementerian
Kesehatan RI.
Rizka HA., Nugroho (Eds.). 2012. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Bagian Ilmu
Penyakit Dalam. FK-UGM. Yogyakarta.
Robin Graham, Tony Burns, 2005. Lecture notes Dermatology Ed: 8. Jakarta :
Erlangga.
Siti Setiati, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed-6. Jakarta; Interna
Publishing.
Sondakh et all, 2015, Profil Varisela di Poliklonik Kulit dan Kelamin RSUP Prof.
Dr. R. D. Kandou Manado Periode Januari-Desember 2012. Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Manado
Tanamal et.al, Pola dan Insidens Penyakit Infeksi Kulit karena Virus di Divisi
Dermatologi Aanak Poliklinik Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP
PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO TAHUN 2008 – 2012. Universitas
Sam Ratulangi, Manado
136
Widoyono, Penyakit Tropis (Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &.
Pemberantasannya), penerbit erlangga : 2011
137