Anda di halaman 1dari 137

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Menular – menurut definisi ialah penyakit yang disebabkan
oleh bibit penyakit tertentu atau oleh produk toxin yang didapatkan melalui
penularan bibit penyakit atau toxin yang diproduksi oleh bibit penyakit
tersebut dari orang yang terinfeksi, dari binatang atau dari reservoir kepada
orang yang rentan; baik secara langsung maupun tidak langsung melalui
tumbuh-tumbuhan atau binatang pejamu, melalui vector atau melalui
lingkungan (Chin, 2000).
. Mekanisme dimana penyakit infeksi ditularkan dari suatu sumber atau
reservoir kepada seseorang. Mekanisme tersebut adalah sebagai berikut (Chin,
2000):
1. Penularan Langsung; mekanisme ini menularkan bibit penyakit langsung
dari sumbernya kepada orang atau binatang lain melalui Port d’entre.
2. Penularan melalui alat-alat yang terkontaminasi seperti mainan anak-
anak, saputangan, kain kotor, tempat tidur, alat masak atau alat makan,
instrumen bedah atau duk; air, makanan, susu, produk biologis seperti
darah, serum, plasma, jaringan organ tubuh, atau segala sesuatu yang
berperan sebagai perantara dimana bibit penyakit di “angkut” dibawa
kepada orang/ binatang yang rentan dan masuk melalui Port d’entre yang
sesuai.
3. Penularan Melalui Vektor – (i) Mekanis : Cara mekanis ini meliputi hal-
hal yang sederhana seperti terbawanya bibit penyakit pada saat serangga
merayap ditanah baik terbawa pada kakinya atau pada belalainya, begitu
pula bibit penyakit terbawa dalam saluran pencernaan serangga. Bibit
penyakit tidak mengalami perkembangbiakan. (ii) Biologis : cara ini
meliputi terjadinya perkembangbiakan (propagasi/ multiplikasi),
maupun melalui siklus perkembangbiakan atau kombinasi kedua-
duanya.
1
4. Penularan Melalui Udara – Penyebaran bibit penyakit melalui Port
d’entre yang sesuai, biasanya saluran pernafasan.

Penyakit-penyakit menular (Tuberculosis (TB), Pneumonia, Diare,


Tifoid, Demam Berdarah Dengue/ DBD, Hepatitis, HIV/ AIDS, Kusta,
Campak, Infeksi Kulit, dll.) saat ini masih menjadi masalah kesehatan di
masyarakat, berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan angka kesakitan
dan kematian serta mempertahankan keberasilan yang telah dicapai selama
ini. Mengeliminir kendala dan hambatan yang dijumpai saat pelaksanaan
program dengan mengikutsertakan peran serta masyarakat merupakan upaya
yang perlu terus ditingkatkan (Dinkes Boalembo, 2014)
Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-5 di dunia
setelah India, Cina, Afrika Selatan dan.Nigeria (WHO, 2009). Diperkirakan
jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% dari total jumlah pasien TB
didunia. Diperkirakan, setiap tahun ada 429.730 kasus baru dan kematian
62.246 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 102 per 100.000
penduduk. Hasil Survey Prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan
bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara Nasional 110 per 100.000
penduduk. Secara Regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia
dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu: 1) wilayah Sumatera angka prevalensi
TB adalah 160 per 100.000 penduduk; 2) wilayah Jawa dan Bali angka
prevalensi TB adalah 110 per 100.000 penduduk; 3) wilayah Indonesia Timur
angka prevalensi TB adalah 210 per 100.000 penduduk. Khusus untuk
propinsi DIY dan Bali angka prevalensi TB adalah 68 per 100.000 penduduk.
Mengacu pada hasil survey prevalensi tahun 2004, diperkirakan penurunan
insiden TB BTA positif secara Nasional 3-4 % setiap tahunnya (Pedoman
Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011).
Menurut hasil Riskesdas 2013, period prevalence pneumonia
berdasarkan diagnosis selama 1 bulan sebelum wawancara sebesar 0,2%.
Sedangkan berdasarkan diagnosis/ gejala sebesar 1,8%. Dibandingkan dengan
hasil Riskesdas 2007 yang sebesar 2,13%, period prevalence pneumonia pada
2
tahun 2013 mengalami penurunan menjadi 1,8%. Pada balita, period
prevalence berdasarkan diagnosis sebesar 2,4 per 1.000 balita dan berdasarkan
diagnosis/ gejala sebesar 18,5 per 1.000 balita. Populasi yang rentan terserang
pneumonia adalah anak – anak usia kurang dari 2 tahun, usia lanjut lebih dari
65 tahun dan orang yang memiliki masalah kesehatan (malnutrisi, gangguan
imunologi) (Kementerian Kesehatan RI, 2015).
Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di
negara berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitas-nya
yang masih tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare,
Departemen Kesehatan dari tahun 2000 s/d 2010 terlihat kecenderungan
insidens naik. Pada tahun 2000 IR penyakit Diare 301/1000 penduduk, tahun
2003 naik menjadi 374/1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423/1000
penduduk dan tahun 2010 menjadi 411/1000 penduduk. Kejadian Luar Biasa
(KLB) diare juga masih sering terjadi, dengan CFR yang masih tinggi. Pada
tahun 2008 terjadi KLB di 69 Kecamatan dengan jumlah kasus 8133 orang,
kematian 239 orang (CFR 2,94%). Tahun 2009 terjadi KLB di 24 Kecamatan
dengan jumlah kasus 5.756 orang, dengan kematian 100 orang (CFR 1,74%),
sedangkan tahun 2010 terjadi KLB diare di 33 kecamatan dengan jumlah
penderita 4204 dengan kematian 73 orang (CFR 1,74 %.) (Kemenkes, 2011).
Demam tifoid banyak ditemukan di masyarakat perkotaan maupun di
pedesaan. Penyakit ini erat kaitannya dengan kualitas higiene pribadi dan
sanitasi lingkungan yang kurang baik. Di Indonesia bersifat endemik dan
merupakan masalah kesehatan masyarakat. Dari telaah kasus di rumah sakit
besar di Indonesia, tersangka demam tifoid menunjukkan kecenderungan
meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000
penduduk dan angka kematian antara 0.6–5% (Panduan Praktik Klinis bagi
Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2014)
Demam dengue (Dengue Fever/ DF) dan demam berdarah dengue
(Dengue Hemorrhagic Fever/ DHF) pada Indonesia telah menjadi masalah
kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi
peningkatan persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/ kota yang endemis
3
DF/ DHF, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%)
kabupaten/ kota pada tahun 2009. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah
kasus DF/ DHF, pada tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus pada
tahun 2009. Pada tahun 2004 kabupaten/ kota terjangkit DF/ DHF sebanyak
334 kabupaten/ kota, tahun 2006 meningkat menjadi 330 kabupaten/ kota,
tahun 2007 meningkat lagi menjadi 357 kabupaten/ kota. Pada tahun 2008
terjadi penurunan jumlah kabupaten/ kota terjangkit menjadi 346 kabupaten/
kota. Pada tahun 1968 pertama kali kasus DF/ DHF dilaporkan Incidense Rate/
IR 0,05 dengan angka kematian 41,3%. Pada tahun 2007 jumlah kasus
sebanyak 156.767 kasus (IR 71,18) dengan 1570 kematian (Case Fatality
Rate/ CFR 1,00 %) (Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian
Kesehatan RI, 2010).
Hepatitis di Indonesia merupakan negara dengan endemitas tinggi
Hepatitis B, terbesar kedua di negara South East Asian Region (SEAR) setelah
Myanmar. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), studi dan uji
saring darah donor Palang Merah Indonesia (PMI) maka diperkirakan diantara
100 orang Indonesia, 10 diantaranya telah terinfeksi Hepatitis B atau C.
Sehingga saat ini diperkirakan terdapat 28 juta penduduk Indonesia yang
terinfeksi Hepatitis B dan C, 14 juta diantaranya berpotensi untuk menjadi
kronis, dan dari yang kronis teresebut 1.4 juta orang berpotensi untuk
menderita kanker hati. Besaran masalah tersebut tentunya akan berdampak
sangat besar terhadap masalah kesehatan masyarakat, produktivitas, umur
harapan hidup, dan dampak social ekonomi lainnya (Infodatin Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS.
Sebelum memasuki fase AIDS, penderita terlebih dulu dinyatakan sebagai
HIV positif. Jumlah HIV positif yang ada di masyarakat dapat diketahui
melalui 3 metode, yaitu pada layanan Voluntary, Counseling, and Testing
(VCT), sero survey, dan Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP).
Jumlah kasus baru HIV positif di Indonesia yang dilaporkan pada tahun 2015
4
sebanyak 30.935 kasus, menurun dibandingkan tahun sebelumnya
(2014:32.711 kasus) (Kemenkes, 2015).
Sejak tercapainya status eliminasi kusta pada tahun 2000, situasi kusta
di Indonesia menunjukkan kondisi yang relatif statis. Hal tersebut dapat
terlihat dari angka penemuan kasus baru kusta selama lebih dari dua belas
tahun yang menunjukkan kisaran angka antara enam hingga delapan per
100.000 penduduk dan angka prevalensi yang berkisar antara delapan hingga
sepuluh per 100.000 penduduk per tahunnya. Namun, sejak tahun 2012 hingga
tahun 2015 angka tersebut menunjukkan penurunan (Kemenkes, 2015).
Campak merupakan salah satu penyakit penyebab kematian tertinggi
pada anak, sangat infeksius, dapat menular sejak awal masa prodromal (4 hari
sebelum muncul ruam) sampai lebih kurang 4 hari setelah munculnya ruam.
Campak timbul karena terpapar droplet yang mengandung virus campak.
Sejak program imunisasi campak dicanangkan, jumlah kasus menurun, namun
akhir-akhir ini kembali meningkat. Di Amerika Serikat, timbul KLB
(Kejadian Luar Biasa) dengan 147 kasus sejak awal Januari hingga awal
Februari 2015. Di Indonesia, kasus campak masih banyak terjadi dan tercatat
peningkatan jumlah kasus yang dilaporkan pada tahun 2014 (Halim, 2016).
Dari pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan arti penting dan peran
pelayanan kesehatan dalam pengendalian prevalensi penyakit menular,
termasuk di dalamnya adalah memberikan kesadaran pada masyarakat tentang
bahaya dan cara pencegahan terhadap timbulnya penyakit menular, untuk
meningkatkan derajat kesehatan. Pelayanan kesehatan merupakan setiap
bentuk pelayanan atau program kesehatan yang ditujukan pada perseorangan
atau masyarakat dan dilaksanakan secara perseorangan atau secara bersama-
sama dalam suatu organisasi, dengan tujuan untuk memelihara ataupun
meningkatkan derajat kesehatan yang dipunyai. Selain itu terdapat lima fungsi
utama pelayanan kesehatan di antaranya adalah :
1. Mendorong masyarakat melaksanakan kegiatan-kegiatan untuk
menyelesaikan persoalan mereka sendiri

5
2. Memberi petunjuk kepada masyarakat tentang cara-cara menggali dan
menggunakan sarana yangada secara efektif dan efisien
3. Memberi pelayanan kesehatan langsung kepada masyarakat
4. Memberi bantuan yang bersifat teknis, bahan-bahan serta rujukan
5. Bekerja sama dengan sektor lain dalam melaksanakan program kerja
Puskesmas.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah
bagaimana gambaran penyakit menular (khusus Tuberkulosis Paru/ TB,
Pneumonia, Diare, Thyphoid, Demam Dengue-Demam Berdarah Dengue/ DF-
DHF, Hepatitis, HIV/ AIDS, Kusta, dan Campak/Morbilli pada pasien yang
berkunjung ke puskesmas Rapak Mahang pada periode 1 Januari 2017-31
Desember 2017 ditinjau dari wilayah kerja puskesmas rapak mahang, serta
permasalahan yang dihadapi petugas dalam mengendalikan penyakit menular
tersebut.

1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran penyakit menular (khusus Tuberkulosis Paru/
TB, Pneumonia, Diare, Thyphoid, Demam Dengue-Demam Berdarah
Dengue/ DF-DHF, Hepatitis, HIV/ AIDS, Kusta, dan Campak/Morbilli pada
pasien yang berkunjung ke Puskesmas Rapak Mahang pada periode 1 Januari
2017-31 Desember 2017 ditinjau dari wilayah kerja puskesmas rapak mahang
2. Tujuan khusus
1) Mengetahui deskripsi pasien dengan penyakit menular ditinjau dari
segi:
a. Umur
b. Jenis Kelamin
c. Kelurahan tempat tinggal pasien
1.4 Manfaat Penelitian
6
a. Bagi Puskesmas Rapak Mahang
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu Puskesmas Rapak
Mahang dalam menetapkan strategi program puskesmas untuk
mengendalikan perkembangan penyakit menular di wilayah kerja
puskesmas
b. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai jumlah angka kesakitan yang disebabkan oleh
penyakit menular serta pentingnya upaya untuk mencegah atau
mengendalikan progresifitasnya.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Penyakit Menular


Penyakit menular adalah penyakit yang dapat ditularkan melalui
berbagai media. Penyakit jenis ini merupakan masalah kesehatan yang besar di
hampir semua negara berkembang karena angka kesakitan dan kematiannya
yang relatif tinggi dalam kurun waktu yang relatif singkat. Penyakit menular
umumnya bersifat akut (mendadak) dan menyerang semua lapisan masyarakat.
Penyakit jenis ini diprioritaskan mengingat sifat menularnya yang bisa
menyebabkan wabah dan menimbulkan kerugian yang besar. Penyakit menular
merupakan hasil perpaduan berbagai faktor yang saling mempengaruhi
(Widoyono, 2011).
Penyebab/ agent penyakit menular adalah unsur biologis yang bervariasi
mulai dari partikel virus yang paling sederhana sampai organisme yang paling
kompleks yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia Dimana proses
agent penyakit dalam menyebabkan penyakit pada manusia memerlukan
berbagai cara penularan khusus (mode of transmission) serta adanya “sumber
penularan (reservoir) penyakit seperti manusia, binatang” (Noor, 1997).

2.2 Mekanisme Penularan Penyakit


Mekanisme dimana penyakit infeksi ditularkan dari suatu sumber atau
reservoir kepada seseorang. Mekanisme tersebut adalah sebagai berikut (Chin,
2000):
1. Penularan Langsung: mekanisme ini menularkan bibit penyakit
langsung dari sumbernya kepada orang atau binatang lain melalui Port
d’entre. Hal ini bisa melalui kontak langsung seperti melalui sentuhan,
gigitan, ciuman, hubungan seksual, percikan yang mengenai konjungtiva,
selaput lendir dari mata, hidung atau mulut pada waktu orang lain bersin,
batuk, meludah, bernyanyi atau bercakap (biasanya pada jarak yang
kurang dari 1 meter)
8
2. Penularan Tidak Langsung
a. Penularan Melalui Alat – Alat yang terkontaminasi seperti mainan
anak-anak, saputangan, kain kotor, tempat tidur, alat masak atau alat
makan, instrumen bedah atau duk; air, makanan, susu, produk biologis
seperti darah, serum, plasma, jaringan organ tubuh, atau segala
sesuatu yang berperan sebagai perantara dimana bibit penyakit di
“angkut” dibawa kepada orang/binatang yang rentan dan masuk
melalui Port d’entre yang sesuai. Bibit penyakit tersebut bisa saja
berkembang biak atau tidak pada alat tersebut sebelum ditularkan
kepada orang/ binatang yang rentan.
b. Penularan Melalui Vektor – (i) Mekanis : Cara mekanis ini meliputi
hal-hal yang sederhana seperti terbawanya bibit penyakit pada saat
serangga merayap ditanah baik terbawa pada kakinya atau pada
belalainya, begitu pula bibit penyakit terbawa dalam saluran
pencernaan serangga. Bibit penyakit tidak mengalami
perkembangbiakan. (ii) Biologis : cara ini meliputi terjadinya
perkembangbiakan (propagasi/ multiplikasi), maupun melalui siklus
perkembangbiakan atau kombinasi kedua-duanya.
(“cyclopropagative”) sebelum bibit penyakit ditularkan oleh serangga
kepada orang/ binatang lain. Masa inkubasi ekstrinsik diperlukan
sebelum serangga menjadi infektif. Bibit penyakit bisa ditularkan
secara vertical dari induk serangga kepada anaknya melalui telur
(“transovarium transmission”); atau melalui transmis transtadial yaitu
Pasasi dari satu stadium ke stadium berikutnya dari siklus hidup
parasit didalam tubuh serangga dari bentuk nimfe ke serangga dewasa.
Penularan dapat juga terjadi pada saat serangga menyuntikkan air
liurnya waktu menggigit atau dengan cara regurgitasi atau dengan cara
deposisi kotoran serangga pada kulit sehingga bibit penyakit dapat
masuk kedalam tubuh manusia melalui luka gigitan serangga, luka
garukan. Cara penularan seperti ini bukanlah cara penularan mekanis

9
yang sederhana sehingga serangga yang menularkan penyakit dengan
cara ini masih bisa disebut sebagai vektor penyakit.
3. Penularan Melalui Udara – Penyebaran bibit penyakit melalui Port
d’entre yang sesuai, biasanya saluran pernafasan. Aerosol berupa berupa
partikel ini sebagian atau keseluruhannya mengandung mikro organisme.
Partikel ini bisa tetap melayang-layang diudara dalam waktu yang lama
sebagian tetap infektif dan sebagian lagi ada yang kehilangan virulensinya.
Partikel yang berukuran 1-5 micron dengan mudah masuk kedalam alveoli
dan tertahan disana.
Percikan (droplet) dan partikel besar lainnya tidak dianggap sebagai
penularan melalu udara (airborne); (lihat Penularan Langsung) 1) Droplet
Nuclei – Biasanya berupa residu ukuran kecil sebagai hasil penguapan dari
cairan percikan yang dikeluarkan oleh inang yang terinfeksi. Droplet
Nuclei ini bisa secara sengaja dibuat dengan semacam alat, atau secara
tidak sengaja terjadi di labortorium mikrobiologi dan tempat pemotongan
hewan, di tempat perawatan tanaman atau di kamar otopsi. Biasanya
Droplet Nuclei ini bertahan cukup lama di udara. 2) Debu – Partikel
dengan ukuran yang berbeda yang muncul dari tanah (misalnya spora
jamur yang dipisahkan dari tanah oleh udara atau secara mekanisme), dari
pakaian, dari tempat tidur atau kutu yang tercemar.

2.3 Peran Pelaporan Penyakit Menular


Bagaimanapun juga deteksi dini terhadap suatu kejadian penyakit
menular sangat tergantung kepada kejelian para petugas kesehatan yang berada
di ujung tombak untuk mengenali kejadian kesehatan yang tidak biasa secara
dini. Dokter atau tenaga kesehatan yang menemukan yang tidak wajar di
lapangan punya kewajiban untuk melaporkan kepada otoritas kesehatan yang
lebih tinggi agar dapat dilakukan tindakan yang semestinya (Chen, 2000).
Sistem pelaporan pasif punya kelemahan karena sering tidak lengkap
dan tidak akurat terutama untuk penyakit-penyakit yang prevalen. Sistem
pelaporan pasif ini perlu didorong setiap saat agar bisa didapatkan laporan yang
10
lebih lengkap dan tepat waktu teurtama untuk penyakit-penyakit menular yang
mempunyai dampak kesehatan masyarakat yang luas termasuk penyakit-
penyakit yang mungkin dipakai untuk melakukan bioterorisme (Chen, 2000).
Dengan segala kelemahan yang dimilkinya system pelaporan menular
tetap merupakan garis terdepan dari Sistem Kewaspadaan Dini kita dalam
upaya mencegah dan memberantas penyekit menular. Oleh karena itu setiap
petugas kesehatan tahu dan sadar akan pentingnya melaporkan kejadian
penyakit menular, cara-cara pelaporan dan manfat dari pelaporan ini (Chen,
2000).

2.4 Jenis-Jenis Penyakit Menular


2.4.1. Tuberkulosis Paru
2.4.1.1 Perjalanan Alamiah TB Pada Manusia

Terdapat 4 tahapan perjalanan alamiah penyakit. Tahapan tersebut meliputi tahap


paparan, infeksi, menderita sakit dan meninggal dunia yang dapat dilihat pada table
berikut:

Tabel 1. Perjalanan alamiah TB

a. Paparan

Peluang  Jumlah kasus menular di masyarakat


peningkatan  Peluang kontak dengan kasus menular
paparan terkait  Tingkat daya tular dahak sumber penularan
dengan :  Intensitas batuk sumber penularan
 Kedekatan kontak dengan sumber penularan
 Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan
 Faktor lingkungan Lingkungan : Konsentrasi kuman
di udara
( ventilasi, sinar ultra violet, penyaringan adalah
factor yang dapat menurunkan konsentrasi)

11
Catatan : Paparan kepada pasien TB menular merupakan syarat untuk
terinfeksi. Setelah terinfeksi, ada beberapa factor yang menentukan seseorang
akan terinfeks saja, menjadi sakit dan kemungkinan meninggal dunia karena TB.

b. Infeksi
Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6-14 minggu setelah infeksi

 Reaksi Immunologi (local)


Kuman TB memasuki alveoli dan ditangkap oleh makrofag dan kemudian
berlangsung reaksi antigen-antibodi.
 Reaksi immunologi (umum)
Delayed hypersensitivity (Hasil tuberculin menjadi positif)

 Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup dalam
lesi tersebut (dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali.
 Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum
penyembuhan lesi
c. Sakit TB
 Konsentrasi/ jumlah kuman yang terhirup
Faktor resiko
 Lamanya waktu sejak terinfeksi
untuk menjadi
 Usia seseorang yang terinfeksi
sakit TB adalah
 Tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang
tergantung dari :
dengan daya tahan tubuh yang rendah diantaranya
infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) akan
memudahkan berkembangnya TB aktif (sakit TB).
Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka
jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian
penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.
Catatan : Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Namun
bila seseorang dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian TB melalui
proses reaktifasi. TB pada umumnya terjadi pada pada paru (TB paru). Namun,

12
penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat menyebabkan terjadinya
TB diluar organ paru (TB Ekstra Paru). Apabila penyebaran secara massif
melalui aliran darah dapat menyebabkan semua organ tubuh terkena

d. Meninggal Dunia
Faktor resiko  Akibat dari keterlambatan diagnosis
kematian karena  Pengobatan tidak adekuat
TB:  Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau
penyakit penyerta
Catatan : pasien TB tanpa pengobatan, 50% akan meninggal dan resiko ini
meningkat pada pasien dengan HIV positif

2.4.1.2 Klasifikasi TB
Klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB meliputi 4 hal yaitu :
1. Lokasi yang sakit : paru dan Ekstra paru
2. Hasil pemeriksaan dahak : BTA positif atau BTA negatif
3. Riwayat pengobatan TB sebelumnya
4. Status HIV pasien

2.4.1.3 .Berdasarkan lokasi

TB ekstra paru, yaitu kuman TB yang menyerang organ selain paru. Diagnosis
berdasarkan kultur (+) atau PA tempat lesi.

2.4.1.4 Berdasarkan hasil BTA

a) BTA (+)

 Sekurangnya 2 dari 3 pemeriksaan dahak memberikan hasil (+);


 Atau 1 kali pemeriksaan spesmen haslnya (+) disertai gambaran radiologi
yang menunjukan TB aktif;
 Atau 1 spesimen BTA (+) dan kultur (+);

13
 Atau 1 atau lebih specimen dahak positif setelah 3 pemeriksaan dahak SPS
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA (-) dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotik non OAT.

b) BTA (-)

 Hasil sputum BTA 3x (-)


 Gambaran radiologi menunjukan kearah TB
 Tidak ada perbaikan setelah pemberian non OAT pada pasien HIV (-)
 Ditentukan oleh dokter untuk diberi pengobatan

2.4.1.5 Berdasarkan tipe pasien

Berdasarkan dari riwayat pengobatan sebelumnya:

a) Kasus baru : belum pernah meminum OAT sebelumnya atau pernah


mengonsumsi OAT kurang dari 1 bulan
b) Kasus Baru (Relaps)
 Pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan OAT telah selesai
pengobatan dan dikatakan sembuh. Namun, didapatkan BTA (+)
atau kultur (+) kembali dan kembali komsumsi OAT.
 Bila BTA (-), tetapi radiologi menunjukan lesi aktif/ perburukan dan
gejala klinis (+), kemungkinannya yaitu lesi non-TB (pneumonia,
bronkiektaksis, dll) atau TB relaps ditentukan oleh dokter spesialis.
c) Kasus default (Setelah putus berobat ), yaitu pasien yang telah berobat dan
putus berobat selama ≥ 2 bulan dengan BTA (+)
d) Kasus gagal, yaitu pasien dengan BTA (+) sebelumnya, tetap (+) atau
kembali lagi menjadi (+) pada akhit bulan ke 5 atau akhir pengobatan OAT.
e) Kasus kronik: Hasil sputum BTA tetap (+) setelah selesai pengobatan ulang
( kategori 2) dengan pengawasan ketat.
f) Kasus bekas TB
 BTA (-), radiologi lesi tidak aktif atau foto serial gambaran sama,
dan riwayat minum OAT adekuat.
14
 Radiologi gambarannnya meragukan, mendapatkan OAT 2 bulan.
Foto thoraks ulang gambaran sama

2.4.1.6 TB pada HIV AIDS

Diagnosis TB Paru dan TB Ekstra paru ditegakkan sebagai berikut:

1. TB paru BTA (+), yaitu minimal 1x pemeriksaan dahak positif;


2. TB paru BTA (-), yaitu hasil dahak negative dan gambaran klinis radiologis
kea rah TB atau BTA (-) dengan kultur TB (+)
3. TB ekstra paru ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis,
dan/atau histopatologis.

2.4.1.7 TB Pada Anak

15
*Catatan:

1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadic ( occult


hemtogenic spread ) dapat juga secara akut dan menyeluruh. Kuman TB
kemudian membuat focus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi
yang baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari focus primer (1), limfagitis (2), dan
limfadenitis regional (3).
3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya
4. Sakit TB pada keadaan disebut TB pasca primer karena mekanismenya
bias melalui proses reaktivasi focus lama TB (endogen) biasanya pada orang
dewasa, TB dewasa juga dapat karena infeksi baru.

Sistem skoring (Scoring system ) gejala dan pemeriksaan penunjang TB

16
Jika ditemukan salah satu keadaan dibawah ini, rujuk ke RS

1. Foto rontgen menunjukan gambaran milier, kavitas, efusi peura


2. Gibbus, koksitis
3. Tanda bahaya:
 Kejang, kaku kuduk
 Penurunan kesadaran
 Kegawatan lain, misalnya sesak napas

17
2.4.1.8 Paduan obat terapi TB anak

18
Prinsip dasar terapi TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu
relative lama (6-12 bulan). Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase yaitu fase intensif
(2 bulan pertama ) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Pemberian paduan obat ini
sisanya sebagai fase lanjutan.

Berbeda dengan orang dewasa , OAT pada anak diberikan setiap hari, bukan 2
atau 3 kali dalam seminggu. Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun
ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain pada fase
intensif diberikan minimal 4 macam obat (Rifampisin, INH, Pirazinamid
,Etambutol atau Streptomisin). Sedangkan fase lanjutan diberikan Rifampisin dan
INH selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu yaitu TB milier,efusi pleura TB,
pericarditis TB, TB endobronkial, Meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan
kortikosteroid (prednisone) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis.
Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan
tapering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini
mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.

19
2.4.1.9 Panduan OAT Anak

20
2.4.1.9 Tatalaksana Pasien Tuberkulosis Dewasa

1) Penemuan pasien Tuberkulosis

Penemuan pasien bertujuan untuk mendapatkan pasien TB melalui


serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap terduga pasien TB,
pemeriksaan fisik dan laboratoris, menentukan diagnosis, menentukan klasifikasi
penyakit serta tipe pasien TB, sehingga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh
sehingga tidak menularkan penyakitnya pada orang lain. Kegiatan penemuan pasien
terdiri dari penjaringan terduga pasien, diagnosis, penentuan kalsifikasi penyakit
dan tipe pasien.

 Strategi penemuan
a. Penemuan pasien TB dilakukan secara intensif pada kelompok populasi
terdampak TB dan populasi rentan.
b. Upaya penemuan secara intensif harus didukung dengan kegiatan
promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB dilakukan dapat
ditemukan secara dini
c. Penjaringan terduga pasien TB dilakukan di fasilitas kesehatan;
didukung dengan promosi secara aktif oleh petugas kesehatan bersama
masyarakat.
d. Pelibatan semua fasilitas kesehatan simaksudkan untuk mempercepat
penemuan dan mengurangi keterlambatan pengobatan
e. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap:
1) Kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB
seperti pada pasien dengan HIV, Diabetes mellitus dan
malnutrisi.
2) Kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang resiko
tinggi terjadinya penularan TB, seperti : Lapas / Rutan, tempat
penampungan pengungsi, daerah kumuh, tempat kerja, asrama,
dan panti jompo.
3) Anak dibawah umur lima tahun yang kontak dengan pasien TB.
21
4) Kontak erat dengan pasien TB dan pasien TB resisten obat.
f. Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi pasien dengan gejala
dan tanda yang sama dengan gejala TB, seperti pendekatan praktis
kesehatan paru (Practical Approach to Lung health= PAL), manajemen
terpadu balita sakit (MTBS), manajemen terpadu dewasa sakit (MTDS)
akan membantu meningkatkan penemuan pasien TB di faskes,
mengurangi terjadinya misopportunity dan sekaligus dapat
meningkatkan mutu layanan.
g. Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang
memiliki gejala :
 Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan
yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan
lemas, nafsu makan menurun, berat badan meturun, malaise,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan.
 Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit
paru selain TB seperti bronkiektaksis, bronchitis kronis, asma,
kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di
Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang
ke fasyakes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai
seorang terduga pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis langsung.

 Pemeriksaan Fisis

Pada pasien TB dapat ditemukan suara napas bronkial, amforik, suara napas
melemah, atau ronkhi basah. Pada pasien dengan limfadenitis TB terdapat
pembesaran KGB sekitar leher dan ketiak. Pada pasien pleuritis TB karena ada
cairan, hasil perkusi menjadi pekak dan auskultasi melemah hingga tidak
terdengar pada tempat yang ada cairan.

22
 Pemeriksaan Bakteriologi

Diambil dari specimen: dahak, cairan pleura, cairan serebrospinal, bilasan


bronkus dan lambung, bronchoalveolar lavage, biopsi. Untuk pengambilan
spesimen dahak dilakukan 3 kali (SPS) yaitu sewaktu (waktu kunjungan), Pagi
(keesokan harinya), sewaktu (saat menghantarkan dahak pagi hari) atau setiap
pagi selama 3 harri berturut-turut. Pemeriksaan specimen ini dilakukan secara
mikroskopis dan biakan. Pewarnaan mikroskopis biasa dengan Ziehl-Nielsen
sedangkan fluoresens dengan auramin-rhodamin. Kultur M.Tb dapat
menggunakan metode Lowenstein-Jensen.

Interpretasi hasil dahak

1. BTA (+) : 3x positif atau 2x positif, 1x negative;


2. BTA (-): 3x negatif;
3. Jika hasil 1x (+), 2x (-) diulang pemeriksaan BTA 3x lagi, bila hasil :
- 1x positif dan 2x negatif – BTA (+)
- 3x negative - BTA (-)

Interpretasi pembacaan dengan mikroskop dengan skala IUATLD:

- Tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang, negative;


- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah
kuman yang dilihat;
- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang 1+
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, 2+
 Radiologi
Dicurigai lesi TB aktif :
- Bayangan berawan/ nodular di lobus atas paru segmen apical dan
posterior, lobus bawah segmen posterior;
- Kavitas (apalagi> 1 dan dikelilingi bayangan berawan) ;
- Bercak milier;
- Efusi pleura unilateral (biasanya).
23
 Pemeriksaan penunjang lain
- Analisis cairan pleura- Uji rivalta (+), eksudat, limfosit dominan,
glukosa rendah
- Biopsi- Diambil2 spesimen untuk dikirim ke laboratorium
mikrobiologi dan histologi;
- Darah- tidak spesifik, termasuk limfosit yang meningkat. LED jam
pertama, kedua dapat menjadi indicator penyembuhan pasien.
- GeneXpert ®MTB/RIF

24
25
26
2.4.2. Pneumonia
Definisi
Pneumonia adalah suatu peradangan/ inflamasi parenkim paru, distal
dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan
alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas setempat. Pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme
bakteri, virus, jamur dan parasit (Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, 2014).
Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme
yaitu bakteri, virus, jamur, protozoa, yang sebagian besar disebabkan oleh
bakteri. Penyebab tersering pneumonia bakterialis adalah bakteri positif-
gram, Streptococcus pneumonia yang menyebabkan pneumonia
streptokokus. Bakteri staphylococcus aureus dan streptococcus aeruginosa.
Pneumonia lainnya disebabkan oleh virus, misalnya influenza.
Pembagian penyebab-penyebab dari pneumonia yaitu :
a. Bakteri
Bakteri adalah penyebab paling umum pneumonia pada orang dewasa,
terutama pada orang tua. Beberapa jenis bakteri dapat menyebabkan
pneumonia adalah Diplococcus pneumonia, Pneumococcus, Streptococcus
hemolyticus, Streptococcus aureus, Hemophilus influenza.
b. Virus
Virus yang dapat menyebabkan pneumonia adalah Respiratory syncytial
virus, virus influenza, Adenovirus, Cytomegalovirus.
c. Jamur
Beberapa jenis jamur yang dapat menyebabkan pneumonia adalah
Mycoplasma pneumoces dermatitides, Coccidiodes immitis, Aspergillus,
Candida albicans.
d. Aspirasi
Beberapa contoh aspirasi seperti makanan, kerosene (bensin, minyak tanah),
cairan amnion, dan benda asing.
27
Manifestasi Klinis dan Klasifikasi
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut
bagian atas selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam,
menggigil, suhu tubuh kadang-kadang melebihi 40°C, sakit tenggorokan,
nyeri otot dan sendi, juga disertai batuk, dengan sputum mukoid atau
purulen, kadang-kadang berdarah. Pada pemeriksaan fisik dada terlihat
bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pada palpasi fremitus dapat
mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronkhial yang kadang-kadang melemah, mungkin
disertai ronkhi halus, yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada
stadium resolusi (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009).
Pneumonia menurut klasifikasi secara klinis terbagi yaitu pneumonia
komuniti/ Community Acquired Pneumonia (CAP) dan Hospital Acquired
Pneumonia (HAP)/ nosokomial.
1. Pneumonia Komuniti
Kuman pada CAP bervariasi antara lain Streptococcus pneumoniae,
Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus influenza, dan Chlamydia
pneumoniae. Gambaran penyakit yang dialami pasien biasanya dimulai
dengan infeksi salauran napas atas selama beberapa hari, kemudian
diikuti dengan menggigil, suhu kadang melebihi 40°C sakit tenggorok,
nyeri otot dan sendi, serta batuk dengan sputum mukoid atau purulen.
2. Pneumonia Nosokomial
Kuman HAP yang tersering didapatkan yaitu P. aeruginosa,
Acinetobacter spp. dan S. malthophillia. Dikatakan pneumonia
nosokomial apabila telah terjadi infeksi saluran napas bawah yang
mengenai parenkim paru dan terjadi setelah 48 jam masa perawatan di
Rumah Sakit (Konsensus Pneumonia, 2017).
Penegakan Diagnosis
Consensus Penumonia (2017) mengatakan diagnosis pneumonia
ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Diagnosis pneumonia komuniti ditegakkan jika didapatkan
28
infiltrat baru atau infiltrat progresif dari foto toraks, ditambah dengan 2 atau
lebih gejala di bawah ini:
a. Batuk-batuk bertambah.
b. Perubahan karakteristik dahak/ purulent.
c. Suhu tubuh ≥ 37.5°C (oral)/ riwayat demam.
d. Ada ronki atau konsilidasi atau napas bronkial.
e. Leukosit ≥ 10.000 atau < 4.500.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2003) menjelaskan diagnosis


pneumonia nosokomial menurut kriteria The Centers of Disease Control
(CDC-Atlanta), adalah:
a. Onset pneumonia yang terjadi 48 jam setelah dirawat di Rumah Sakit
dan menyingkirkan semua infeksi yang inkubasinya terjadi pada waktu
masuk Rumah Sakit.
b. Diagnosis pneumonia nosokomial atas dasar:
 Foto toraks: terdapaat infiltrate baru atau progresif.
 Ditambah 2 diantara berikut: kriteria suhu tubuh > 38°C, sekret
purulent dan leukositosis.

Penatalaksanaan
Untuk menentukan jenis perawatan dan prognosis penderita, setiap
pasein ditentukan kelompoknya berdasarkan American Thoracic Society
(ATS), yaitu:
Rekomendasi Terapi Empiris ATS (2001)
Kategori Keterangan Kuman Obat Pilihan I Obat Pilihan II
I -usia <65 -S. pneumonia -Klaritromisin -Siprofloksasin atau
tahun -M. pneumonia -Azitromisin Ofloksasin
-Penyakit -C. pneumonia -Rositromisin -Levofloksasin atau
penyerta (-) -H. influenza Mofloksasin
-berobat -Legionale sp -Doksisiklin
jalan -S. aureus
-M. tuberculosis
-batang gram (-)
II -usia >65 -S. pneumonia -Sefalosporin -Makrolid
tahun -H. influenza generasi 2 -Levofloksasin

29
-Penyakit -S. aureus -Trimetoprim + -Gatifloksasin
penyerta (+) -batang gram (-) Kontrimoksazol -Moxyfloksasin
-berobat -Legionale sp -Betalaktam
jalan -M. catarrhalis
III -Pneumonia -S. pneumonia -Sefalosporin -Piperasin +
berat -H. influenza generasi 2 atau 3 Tazobaktam
-Perlu -S. aureus -Betalaktam + -Sulferoson
dirawat di -batang gram (-) Penghambat
RS, tapi -Legionale sp betalaktam +
tidak perlu -M. pneumonia Makrolid
ICU
IV -Pneumonia -S. pneumonia -Sefalosporin -Carbapenem/
berat -H. influenza generasi 3 (anti- meropenem
-Perlu -batang gram (-) pseudomonas) + -Vankomisin
dirawat ICU -Legionale sp makrolid -Linesolid
-M. pneumonia -Sefalosporin -Teikoplanin
-M. tuberculosis generasi 4
-Virus -Sefalosporin
-Jamur endemik generasi 3 +
kuinolon
Tabel 2.3 Rekomendasi Pengobatan Pneumonia

Terapi suportif pada penderita pneumonia, berupa:


1. Terapi oksigen untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-
96% berdasarkan pemeriksaan analisis gas darah.
2. Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental.
3. Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya anjuran untuk
batuk dan napas dalam. Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan
penernapasan.
4. Pengaturan cairan, overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak
tidak diperkenankan.
5. Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat.
6. Drainase empiema bila ada.
Respon empirik harus terlihat dalam 72 jam pertama. Prognosis
bergantung pada beratnya penyakit, jenis kuman, ketepatan dan kecepatan
pemberian antibiotika (dalam 4 jam setelah diagnosis ditegakkan) serta
perawatan yang baik dan monitoring yang intensif (Konsensus Pneumonia,
2017)
2.4.3. Diare
30
Definisi
Definisi Diare Menurut World Health Organization (WHO), penyakit
diare adalah suatu penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan
konsistensi tinja yang lembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi
buang air besar yang lebih dari biasa, yaitu 3 kali atau lebih dalam sehari
yang mungkin dapat disertai dengan muntah atau tinja yang berdarah.
Penyakit ini paling sering dijumpai pada anak balita, terutama pada 3 tahun
pertama kehidupan, dimana seorang anak bisa mengalami 1-3 episode diare
berat (Simatupang, 2004).
Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, diare diartikan sebagai buang
air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi
lebih banyak dari biasanya. Neonatus dinyatakan diare bila frekuensi buang
air besar sudah lebih dari 4 kali, sedangkan untuk bayi berumur lebih dari 1
bulan dan anak, frekuensinya lebih dari 3 kali (Simatupang, 2004)
Jenis Diare
Jenis Diare Menurut WHO (2005) diare dapat diklasifikasikan kepada:
1. Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari.
2. Disentri, yaitu diare yang disertai dengan darah.
3. Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari.
4. Diare yang disertai dengan malnutrisi berat (Simatupang, 2004).
Menurut Ahlquist dan Camilleri (2005), diare dibagi menjadi akut
apabila kurang dari 2 minggu, persisten jika berlangsung selama 2-4
minggu, dan kronik jika berlangsung lebih dari 4 minggu. Lebih dari 90%
penyebab diare akut adalah agen penyebab infeksi dan akan disertai dengan
muntah, demam dan nyeri pada abdomen. 10% lagi disebabkan oleh
pengobatan, intoksikasi, iskemia dan kondisi lain. Berbeda dengan diare
akut, penyebab diare yang kronik lazim disebabkan oleh penyebab non
infeksi seperti allergi dan lain-lain.
Etiologi
Lebih dari 90% kasus diare akut adalah disebabkan oleh agen infeksius
(Ahlquist dan Camilleri, 2005). Diare dapat disebabkan oleh infeksi virus
31
seperti Enterovirus (Virus ECHO, Coxsackie, Poliomyelitis), Adenovirus,
Rotavirus, Astrovirus dan lain-lain; infeksi bakteri seperti Vibrio, E.Coli,
Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia, Aeromonas dan
sebagainya; infeksi parasit seperti cacing (Ascaris, Trichiuris,
Strongyloides), Protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia,
Trichomonas hominis), jamur (Candida albicans) (Kliegman, 2006). Diare
dapat juga disebabkan oleh intoleransi laktosa, alergi protein susu sapi
namun tetap sebagian besar diare disebabkan oleh infeksi. Di Indonesia,
penyebab utama diare adalah Shigella, Salmonella, Campylobacter, E. Coli,
dan Entamoeba histolytica (Depkes RI, 2000).
Patogenesis Diare
Penyebab tersering diare pada anak adalah disebabkan oleh rotavirus.
Virus ini menyebabkan 40-60% dari kasus diare pada bayi dan anak
(Simatupang, 2004). Setelah terpapar dengan agen tertentu, virus akan
masuk ke dalam tubuh bersama dengan makanan dan minuman. Kemudian
virus itu akan sampai ke sel-sel epitel usus halus dan akan menyebabkan
infeksi dan merusakkan sel-sel epitel tersebut. Sel-sel epitel yang rusak akan
digantikan oleh sel enterosit baru yang berbentuk kuboid atau sel epitel
gepeng yang belum matang sehingga fungsi sel-sel ini masih belum bagus.
Hal ini menyebabkan vili-vlli usus halus mengalami atrofi dan tidak dapat
menyerap cairan dan makanan dengan baik. Cairan dan makanan tadi akan
terkumpul di usus halus dan akan meningkatkan tekanan osmotik usus. Hal
ini menyebabkan banyak cairan ditarik ke dalam lumen usus dan akan
menyebabkan terjadinya hiperperistaltik usus. Cairan dan makanan yang
tidak diserap tadi akan didorong keluar melalui anus dan terjadilah diare
(Kliegman, 2006).
Gejala Klinis
Tanda-tanda awal dari penyakit diare adalah bayi dan anak menjadi
gelisah dan cengeng, suhu tubuh biasanya meningkat, nafsu makan
berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare. Tinja akan menjadi cair
dan mungkin disertai dengan lendir Universitas Sumatera Utara ataupun
32
darah. Warna tinja bisa lama-kelamaan berubah menjadi kehijau-hijauan
karena tercampur dengan empedu. Anus dan daerah sekitarnya lecet karena
seringnya defekasi dan tinja makin lama makin asam sebagai akibat
banyaknya asam laktat yang berasal darl laktosa yang tidak dapat diabsorbsi
oleh usus selama diare. Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah
diare dan dapat disebabkan oleh lambung yang turut meradang atau akibat
gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit (Kliegman, 2006).
Bila penderita telah kehilangan banyak cairan dan elektrolit, maka
gejala dehidrasi mulai tampak. Berat badan turun, turgor kulit berkurang,
mata dan ubunubun besar menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut
serta kulit tampak kering (Hasan dan Alatas, 1985).
Penatalaksanaan
LINTAS Diare (Lima Langkah Tuntaskan Diare) (Kemenkes, 2011)
1. Berikan Oralit. Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan
mulai dari rumah tangga dengan memberikan oralit osmolaritas rendah,
dan bila tidak tersedia berikan cairan rumah tangga seperti air tajin,
kuah sayur, air matang. Oralit saat ini yang beredar di pasaran sudah
oralit yang baru dengan osmolaritas yang rendah, yang dapat
mengurangi rasa mual dan muntah. Oralit merupakan cairan yang
terbaik bagi penderita diare untuk mengganti cairan yang hilang. Bila
penderita tidak bisa minum harus segera di bawa ke sarana kesehatan
untuk mendapat pertolongan cairan melalui infus. Derajat dehidrasi
dibagi dalam 3 klasifikasi :
 Diare tanpa dehidrasi
Tanda diare tanpa dehidrasi, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau
lebih :
 Keadaan Umum : baik
 Mata : Normal
 Rasa haus : Normal, minum biasa
 Turgor kulit : kembali cepat

33
Dosis oralit bagi penderita diare tanpa dehidrasi sbb : Umur <
1 tahun : ¼ - ½ gelas setiap kali anak mencret Umur 1-4 tahun : ½-
1 gelas setiap kali anak mencret Umur diatas 5 Tahun : 1-1½ gelas
setiap kali anak mencret.

 Diare dehidrasi Ringan/ Sedang


Diare dengan dehidrasi Ringan/ Sedang, bila terdapat 2 tanda di
bawah ini atau lebih:
 Keadaan Umum : Gelisah, rewel
 Mata : Cekung
 Rasa haus : Haus, ingin minum banyak
 Turgor kulit : Kembali lambat

Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/kgBB


dan selanjutnya diteruskan dengan pemberian oralit seperti diare
tanpa dehidrasi.

Gambar 2.2. Mata Cekung pada Anak dengan Diare

 Diare dehidrasi berat


Diare dehidrasi berat, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau lebih:
 Keadaan Umum : Lesu, lunglai, atau tidak sadar
 Mata : Cekung
 Rasa haus : Tidak bisa minum atau malas minum
 Turgor kulit : Kembali sangat lambat (lebih dari 2 detik)

34
Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera
dirujuk ke Puskesmas untuk di infus.
2. Berikan obat Zinc. Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang
penting dalam tubuh. Zinc dapat menghambat enzim INOS (Inducible
Nitric Oxide Synthase), dimana ekskresi enzim ini meningkat selama
diare dan mengakibatkan hipersekresi epitel usus. Zinc juga berperan
dalam epitelisasi dinding usus yang mengalami kerusakan morfologi
dan fungsi selama kejadian diare. Pemberian Zinc selama diare terbukti
mampu mengurangi lama dan tingkat keparahan diare, mengurangi
frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja, serta menurunkan
kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan berikutnya (Black, 2003).
Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa Zinc mempunyai efek
protektif terhadap diare sebanyak 11 % dan menurut hasil pilot study
menunjukkan bahwa Zinc mempunyai tingkat hasil guna sebesar 67 %
(Hidayat 1998 dan Soenarto 2007). Berdasarkan bukti ini semua anak
diare harus diberi Zinc segera saat anak mengalami diare.
Dosis pemberian Zinc pada balita:
 Umur < 6 bulan : ½ tablet ( 10 Mg ) per hari selama 10 hari
 Umur > 6 bulan : 1 tablet ( 20 mg) per hari selama 10 hari.

Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah berhenti.


Cara pemberian tablet zinc : Larutkan tablet dalam 1 sendok makan air
matang atau ASI, sesudah larut berikan pada anak diare.
3. Pemberian ASI/ Makanan : Pemberian makanan selama diare
bertujuan untuk memberikan gizi pada penderita terutama pada anak
agar tetap kuat dan tumbuh serta mencegah berkurangnya berat badan.
Anak yang masih minum ASI harus lebih sering di beri ASI. Anak yang
minum susu formula juga diberikan lebih sering dari biasanya. Anak uis
6 bulan atau lebih termasuk bayi yang telah mendapatkan makanan
padat harus diberikan makanan yang mudah dicerna dan diberikan
35
sedikit lebih sedikit dan lebih sering. Setelah diare berhenti, pemberian
makanan ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk membantu
pemulihan berat badan.
4. Pemberian Antibiotika hanya atas indikasi . Antibiotika tidak boleh
digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian diare pada balita yang
disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya bermanfaat pada penderita diare
dengan darah (sebagian besar karena shigellosis), suspek kolera.
Obat-obatan Anti diare juga tidak boleh diberikan pada anak yang
menderita diare karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti muntah
tidak di anjurkan kecuali muntah berat. Obat-obatan ini tidak mencegah
dehidrasi ataupun meningkatkan status gizi anak, bahkan sebagian
besar menimbulkan efek samping yang bebahaya dan bisa berakibat
fatal. Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh
parasit (amuba, giardia).
5. Pemberian Nasehat. Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan
balita harus diberi nasehat tentang :
a. Cara memberikan cairan dan obat di rumah
b. Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila:
 Diare lebih sering
 Muntah berulang
 Sangat haus
 Makan/ minum sedikit
 Timbul demam
 Tinja berdarah
 Tidak membaik dalam 3 hari.
Kebijakan Penanganan Diare di Indonesia
Kebijakan pengendalian penyakit diare di Indonesia bertujuan untuk
menurunkan angka kesakitan dan angka kematian karena diare bersama lintas
program dan lintas sektor terkait.
Kebijakan yang ditetapkan pemerintah dalam menurunkan angka kesakitan
dan kematian karena diare adalah sebagai berikut : (Kemenkes, 2011)

36
 Melaksanakan tata laksana penderita diare yang sesuai standar, baik di
sarana kesehatan maupun di rumah tangga
 Melaksanakan surveilans epidemiologi & Penanggulan Kejadian Luar
Biasa
 Mengembangkan Pedoman Pengendalian Penyakit Diare
 Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petugas dalam
pengelolaan program yang meliputi aspek manejerial dan teknis medis.
 Mengembangkan jejaring lintas sektor dan lintas program
 Pembinaan teknis dan monitoring pelaksanaan pengendalian penyakit
diare.
 Melaksanakan evaluasi sabagai dasar perencanaan selanjutnya.

Strategi pengendalian penyakit diare yang dilaksanakan pemerintah adalah :


 Melaksanakan tatalaksana penderita diare yang standar di sarana
kesehatan melalui lima langkah tuntaskan diare (LINTAS Diare).
 Meningkatkan tata laksana penderita diare di rumah tangga yang tepat
dan benar.
 Meningkatkan SKD dan penanggulangan KLB diare.
 Melaksanakan upaya kegiatan pencegahan yang efektif.
 Melaksanakan monitoring dan evaluasi

2.4.4. Tifoid
Definisi
. Defenisi Demam Tifoid

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever.
Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran

37
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :

1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman.
Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin.
Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap
formaldehid.

2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.

3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis. Ketiga macam antigen tersebut di atas di
dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi
yang lazim disebut aglutinin.
Gejala Klinis

a. Demam

Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten
dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-
angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi
pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam
keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-angsur turun dan
normal kembali pada akhir minggu ketiga.

b. Ganguan pada saluran pencernaan

Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah
(ragaden) . Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya
kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan
perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada

38
perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan
dapat terjadi diare.

c. Gangguan kesadaran

Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis
sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.

Diagnosis serologik

Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam
serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi
dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Pemeriksaan Widal
memiliki sensitivitas 40%, spesifisitas 91,4%, dan nilai prediksi positif 80%.
Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis
sebagai penderita demam tifoid. Pemeriksaan Widal seharusnya dilakukan 1-2
minggu kemudian sehingga kenaikan 4 kali, terutama agglutinin O memiliki nilai
diagnostik yang penting untuk demam tifoid. Titer aglutinin O yang positif dapat
berbeda dari >1/80 sampai >1/320 antar laboratorium tergantung endemisitas
demam tifoid di masyarakat setempat dengan catatan 8 bulan terakhir tidak
mendapat vaksinasi atau baru sembuh dari demam tifoid.

Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :

a. Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut


b. Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah
menderita infeksi
c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain:

1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Penderita

39
a) Keadaan umum gizi penderita Gizi buruk dapat menghambat pembentukan
antibodi.
b) Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Aglutinin baru dijumnpai dalam darah setelah penderita mengalami sakit
selama satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam
sakit.
c) Pengobatan dini dengan antibiotik
Pemberian antibiotik dengan obat antimikroba dapat menghambat
pembentukan antibodi.
d) Penyakit-penyakit tertentu
Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi
pembentukan antibodi, misalnya pada penderita leukemia dan karsinoma lanjut.
e) Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat menghambat
pembentukan antibodi.
f) Vaksinasi
Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H meningkat.
Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan
titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena
itu titer aglutinin H pada seseorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai
nilai diagnostik.
g) Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya
Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer aglutininnya
rendah. Di daerah endemik demam tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang-
orang yang sehat

Tabel 2. Perbandingan beberapa pemeriksaan penunjang untuk demam tifoid


Uji Sensitivitas Spesifisitas Keterangan
diagnostikPemeriksaan (%) (%)
mikrobiologi

Biakan darah 40-80 NA Baku emas, namun


sensitivitas rendah di

40
daerah endemis karena
penggunaan antibiotik
yang tinggi, sehingga
spesifisitas sulit
diestimasi

Biakan sumsum tulang 55-67 30 Sensitivitas tinggi, namun


invasif dan terbatas
penggunaannya

Biakan urin 58 NA Sensitivitas bervariasi

Biakan tinja 30 NA Sensitivitas rendah di


negara berkembang dan
tidak digunakan secara
rutin untuk pemantauan

Diagnostik molekular 100 100 Menjanjikan, namun


PCR laporan awal
menunjukkan sensitivitas
mirip biakan darah dan
spesifisitas rendah

Nested PCR 100 100 Menjanjikan dan


menggantikan biakan
darah sebagai baku emas
baru

Diagnostik serologi Widal 47-77 50-92 Klasik dan murah. Hasil


bervariasi di daerah
endemis, perlu
standardisasi dan kualitas
kontrol dari reagen

Typhidot 66-88 75-91 Sensitivitas lebih rendah


dari Typhidot-M

Typhidot-M 73-95 68-95 Sensitivitas dan


spesifisitas lebih tinggi

Tubex 65-88 63-89 Hasil menjanjkan dan


harus diuji di tingkat
komunitas

41
Lainnya Deteksi antigen 65-95 NA Data awal
urin

NA= Not available

Tatalaksana antibiotik

S. Typhi yang resisten terhadap kloramfenikol ,yang pertama kali timbul


pada tahun 1970, kini berkembang menjadi resisten terhadap obat ampisilin,
amoksisilin, trimetoprim-sulfametoksazol dan bahkan resisten terhadap
fluorokuinolon. WHO sendiri telah memberikan rekomendasi pengobatan
antibiotik untuk demam tifoid, yang dibagi atas pengobatan untuk demam tifoid
tanpa komplikasi, baik sebagai terapi utama maupun alternatif dan terapi untuk
demam tifoid yang berat atau dengan komplikasi yang membutuhkan pengobatan
parenteral, seperti pada tabel 1 dan tabel 2. Hal ini berbeda dengan dewasa, dimana
obat antibiotik lini pertamanya adalah golongan fluorokuinolon, seperti ofloksasin,
siprofloksasin, levofloksasin atau gatifloksasin.

Tabel 1. Pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi

Terapi optimal Obat alternatif

Kepekaa Antibiotik Dosis Lama Antibiotik Dosis Lama


n harian pemberia harian pemberia
(mg/k n (hari) (mg/k n (hari)
g BB) g BB)

Sensitif Fluorokuinolo 15 5–7 Kloramfenik 50 – 14 – 21


n ol 75
Amoksisilin 14
TMP – SMX 75 –
100 14

8 – 40

MDR Fluorokuinolo 15 5–7 Azitromisin 8– 7


n Atau Sefiksim 10
Sefiksim 15 – 7 – 14 7 – 14
20 15 –
20

42
Resisten Azitromisin 8 – 10 7 Sefiksim 20 7 – 14
kuinolon atau
Seftriakson 75 10 – 14

Obat Trimetoprim-Sulfametoksazol dianggap sama efektifnya dengan


kloramfenikol dalam mengobati demam tifoid. Bersama-sama dengan amoksisilin,
TMP-SMX digunakan pada kasus-kasus demam tifoid yang resisten terhadap
kloramfenikol. Sefiksim tidak digunakan sebagai obat lini pertama pada
pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi. Obat ini hanya digunakan pada kasus
demam tifoid dengan kemungkinan resistensi terhadap obat antibiotik (MDR), dan
sebagai terapi lini kedua atau alternatif terhadap sefalosporin generasi ke tiga
lainnya, yaitu seftriakson. Kelebihan obat ini selain sebagai terapi alternatif untuk
kasus demam tifoid yang MDR juga angka kekambuhan demam tifoidnya yang
rendah.8 Obat ini bekerja dengan menginhibisi pertumbuhan Salmonella serovar
typhimurium dan typhi yang menghuni sel-sel monosit yang berasal dari sel THP-
1.

Azitromisin dengan dosis 10 mg/kg BB diberikan sekali sehari selama 7 hari


terbukti efektif mengobati demam tifoid baik pada orang dewasa maupun pada anak
dengan waktu penurunan demam yang hampir mirip dengan bila digunakan
kloramfenikol. Obat ini menjadi pilihan pertama bila kasus demam tifoidnya
dicurigai resisten terhadap kuinolon. Dengan pemberian singkat selama 7 hari, obat
ini dinilai cukup efektif mengobati demam tifoid yang tidak komplikasi.

Pemberian obat sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson atau


sefotaksim diindikasikan pada kasus-kasus yang resisten terhadap obat
kloramfenikol dan obat antibiotik untuk demam tifoid lainnya. Strain yang resisten
umumnya rentan terhadap obat sefalosporin generasi ini Pemberian seftriakson
sebaiknya diberikan selama 14 hari, karena bila diberikan selama 7 hari,
kemungkinan relapsnya bertambah dalam 4 minggu setelah terapi seftriakson
dihentikan.

43
2.4.5. Demam Dengue/ Demam Berdarah Dengue
Definisi
Demam dengue (Dengue Fever/ DF) dan demam berdarah dengue
(Dengue Hemorrhagic Fever/ DHF) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue, dengan Indonesia merupakan salah satu
sebagai negara endemisnya (Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer, 2014).
Vektor dari DF dan DHF adalah nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus. Transmisi terjadi pada nyamuk betina yang sudah menghisap
darah dari penderita yang dalam masa viremia, yaitu 2 hari sebelum demam
dan bertahan 4-5 hari setelah mulai demam (WHO, 2011).
Manifestasi Klinis
Tampakan klinis dapat asimptomatik atau mengalami gejala demam
bifasik. Gejala akan timbul secara tiba-tiba dengan dikelompokkan menjadi
tiga fase: (1) fase febris, (2) fase kritis dan (3) fase recovery. Fase febris,
pasien tiba-tiba mengalami demam dengan suhu tinggi yang akan
berlangsung 2-7 hari dan seringkali disertai eritema kulit (makulapapular
rash), myalgia, arthralgia dan sakit kepala/ nyeri retro-orbital. Manifestasi
perdarahan ringan dapat ditemukan seperti peteki dan perdarahan membran
mukosa. Abnormalitas paling awal pada gambaran darah rutin adalah
penurunan progresif angka leukosit. Fase kritis, suhu tubuh turun 37.5 -
38°C atau lebih rendah, biasanya di hari 3-7 sakit, dapat terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler sebanding dengan peningkatan kadar hematokrit.
Periode kebocoran plasma berlangsung 24-48 jam. Leukopenia progresif
diikuti dengan penurunan cepat trombosit terjadi sebelum kebocoran plasma
(efusi pleura dan ascites). Shock terjadi ketika volume kritis plasma
menurun karena kebocoran. Uji tourniquet/ uji bendung/ rumple leed
dengan hasil (+) (≥ 10 titik/ inci persegi) menandakan sedang terjadinya
perdarahan. Fase recovery, jika pasien dapat bertahan hidup 24-48 jam
setelah fase kritis, maka berlangsung reabsorbsi lambat cairan ruang
44
ekstravaskular setelah 48-72 jam (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2012;
WHO, 2014).

Gambar 2.3 Manifestasi klinis infeksi virus dengue (WHO, 2011)

Klasifikasi
Menurut WHO (2011), dengue diklasifikasikan sebagai berikut:
DF/
Derajat Tanda dan Gejala Laboratorium
DHF
Demam dengan diikuti 2 dari: -Leukopenia (WBC ≤ 5000
-Sakit kepala sel/mm3)
-Nyeri retro-orbital -Trombositopenia (hitung
-Mialgia platelet < 150.000 sel/mm3)
DF -Athralgia/ nyeri tulang -Peningkatan hematokrit (5 –
-Rash 10%)
-Manifestasi perdarahan -Tidak ada tanda kehilangan
-Tidak ada tanda kebocoran plasma
plasma
-Demam dan ada manifestasi -Trombositopenia (hitung
perdarahan [uji bendung (+)] platelet < 100.000 sel/mm3)
DHF I
-Ada tanda kebocoran -Peningkatan hematokrit ≥ 20%
plasma
-Demam dan ada manifestasi -Trombositopenia (hitung
perdarahan [uji bendung (+)] platelet < 100.000 sel/mm3)
DHF II
-Ada tanda kebocoran plasma -Peningkatan hematokrit ≥ 20%
-Perdarahan spontan
-Demam dan ada manifestasi -Trombositopenia (hitung
perdarahan [uji bendung (+)] platelet < 100.000 sel/mm3)
DHF* III
-Ada tanda kebocoran plasma -Peningkatan hematokrit ≥ 20%
-Perdarahan spontan

45
-Kegagalan sirkulasi [nadi
lemah, penyempitan pulse
pressure (≤ 20 mmHg),
hipotensi, restlessness]
-Demam dan ada manifestasi -Trombositopenia (hitung
perdarahan [uji bendung (+)] platelet < 100.000 sel/mm3)
-Ada tanda kebocoran plasma -Peningkatan hematokrit ≥ 20%
-Perdarahan spontan
-Kegagalan sirkulasi [nadi
DHF* IV lemah, penyempitan pulse
pressure (≤ 20 mmHg),
hipotensi, restlessness]
-Shock dengan tekanan
darah dan nadi yang tidak
terdeteksi
*DHF III dan IV adalah Dengue Shock Syndrome (DSS)
Tabel 2.5 Klasifikasi Demam Dengue

Penegakan Diagnosis
World Health Organization (2014), memberikan panduan penegakan
diagnosis untuk DF, DHF dan DSS, sebagai berikut:
1. Demam dengue
Demam atau riwayat demam akut antara 2-7 hari (pola bifasik/ pelana
kuda) dengan diikuti 2 atau lebih dari manifestasi: sakit kepala, nyeri
retro-orbital, myalgia, arthralgia, rash, manifestasi perdarahan.
2. Demam berdarah dengue
a. Kriteria demam dengue
b. Terdapat minimal 1 dari manifestasi perdarahan berikut:
 Uji bendung (+)
 Peteki, ekimosis atau purpura
 Perdarahan dari mukosa, traktus gastrointestinal, tempat
penyuntikan injeksi atau tempat lainnya
c. Trombositopenia < 100.000 sel/mm3
d. Bukti ada kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas,
dengan minimal 1 dari manifestasi berikut:
 Peningkatan hematokrit ≥ 20% (dari hematokrit basal) sesuai
dengan umur dan jenis kelamin
46
 Penurunan hematokrit ≥ 20% setelah mendapat terapi,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya
 Adanya tanda kebocoran plasma (efusi pleura, ascites,
hipoproteinemia)
3. Dengue Shock Syndrome
Kriteria DHF dengan bukti manifestasi kegagalan sirkulasi berupa nadi
yang cepat dan lemah dan penyempitan pulse pressure (≤ 20% mmHg)
atau hipotensi berdasarkan umur, kulit yang dingin dan basah dan
restlessness.
Berdasarkan WHO (2011) ada tanda bahaya yang harus diperhatikan
pada pasien, yaitu:
1. Tidak adanya perbaikan klinis atau bahkan menjadi perburukan pada
saat sebelum atau selama masa transisi fase kritis atau selama
perjalanan penyakit
2. Muntah yang terjadi terus-menerus, dengan tidak minum
3. Nyeri abdominal yang parah
4. Letargi dan/ atau restlessness, perubahan status mental secara tiba-tiba
5. Perdarahan: epistaksis, feses hitam, hematemesis, perdarahan
menstruasi yang berlebihan, urin yang menggelap (hemaglobunuria)
atau hematuria
6. Pusing berlebih
7. Tangan dana kaki yang pucat, dingin dan basah
8. Kurang/ tidak uang air kecil selama 4-6 jam.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan DF adalah bersifat simptomatik dan suportif, yaitu:
1. Tirah baring pada fase akut
2. Penggunaan kompres untuk menjaga suhu tubuh < 38.5°C
3. Pemberian antipiretik untuk menurunkan suhu tubuh. Penggunaan
NSAID berupa ibuprofen harus dihindari karena dapat menyebabkan
gastritis, muntah, asidosis, disfungsi platelet dan perdarahan hebat
47
4. Pemberian cairan per oral dan terapi elektrolit direkomendasikan pada
pasien dengan keringat dan muntah berlebih
5. Pasien harus diawasi selama 24-48 jam setelah bebas demam untuk
mengetahui perburukan/ komplikasi (WHO, 2014).

Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan


Primer (2014) memberikan kriteria pasien yang perlu dirujuk ke Rumah
Sakit, apabila:
1. Terjadi perdarahan masif (hematemesis, melena)
2. Dengan pemberian cairan kristaloid sampai dosis 15 ml/KgBB/jam
kondisi pasien belum mengalami perbaikan
3. Terjadi komplikasi atau keadaan klinis yang tidak lazim seperti
kejang, penurunan kesadaran dan lainnya.

Algoritma pergantian cairan untuk pasien DHF derajat I dan II, sebagai
berikut:

Gambar 2.4 Tatalaksana DHF derajat I dan II (WHO, 2014)

48
49
Berikut adalah algoritma pergantian cairan untuk pasien DHF derajat
III:

Gambar 2.5. Tatalaksana DHF derajat III (WHO, 2014)

50
Berikut adalah algoritma pergantian cairan untuk pasien DHF derajat
IV:

Gambar 2.6. Tatalaksana DHF derajat IV (DSS) (WHO, 2014)

Improvement/ perbaikan yang dimaksud adalah telah terjadi penurunan


nilai hematokrit, nadi dan tekanan darah yang stabil, peningkatan urine
output. Sedangkan no Improvement/ tidak terjadi perbaikan yaitu nilai
hematokrit atau penigkatan nadi, pulse pressure yang turun dibawah 20
mmHg, penurunan urine output (WHO, 2014).
WHO (2014) menjelaskan cairan rumatan diberikan menggunakan
rumus cairan Holiday-segar dengan ditambah 5% untuk kehilangan cairan
51
akibat dehidrasi, yang setara dengan 50 ml/KgBB. Cairan rumatan harus
diberikan dalam 24 jam untuk menjaga sirkulasi dan cairan intravaskular
menjadi adekuat. Rumus perhitungan cairan Holiday-Segar, yaitu:
Berat Badan Rumatan selama 24 jam
(Kg)
< 10 Kg 100 ml/Kg
10 – 20 Kg 1000 + 50 ml/Kg jika BB > 10
Kg
>20 Kg 1500 + 20 ml/Kg jika BB >20
Kg
Tabel 2.6 Rumus cairan rumatan Holiday-Segar (WHO, 2014)

Jika terjadi komplikasi perdarahan maka berikan 5-10 ml/KgBB fresh-


packed red cell atau 10-20 ml/KgBB fresh whole blood. Pertimbangkan
pemberian transfusi berulang jika kehilangan darah berlanjut atau tidak
adanya peningkatan hematokrit yang berarti setelah transfusi darah
sebelumnya (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2012).

2.4.6. Hepatitis
Definisi
Istilah “hepatitis” dipakai untuk semua jenis peradangan pada sel-sel hati,
yang bisa disebabkan oleh infeksi (virus, bakteri, parasit), obat-obatan
(termasuk obat tradisional), konsumsi alkohol, lemak yang berlebih dan
penyakit autoimminue (Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementrian
Kesehatan RI, 2014).

Perjalanan Penyakit Hepatitis B Penyakit ini disebabkan infeksi oleh virus


hepatitis B, sebuah virus DNA dari keluarga Hepadnaviridae dengan
struktur virus berbentuk sirkular dan terdiri dari 3200 pasang basa. Pajanan
virus ini akan menyebabkan dua keluaran klinis, yaitu: (1) Hepatitis akut
yang kemudian sembuh secara spontan dan membentuk kekebalan terhadap
penyakit ini, atau (2) Berkembang menjadi kronik. Pasien yang terinfeksi
VHB secara kronik bisa mengalami 4 fase penyakit, yaitu fase immune
tolerant, fase immune clearance, fase pengidap inaktif, dan fase reaktivasi.

52
Fase immune tolerant ditandai dengan kadar DNA VHB yang tinggi dengan
kadar alanin aminotransferase (ALT) yang normal. Sedangkan, fase
immune clearance terjadi ketika sistem imun berusaha melawan virus. Hal
ini ditandai oleh fluktuasi level ALT serta DNA VHB. Pasien kemudian
dapat berkembang menjadi fase pengidap inaktif, ditandai dengan DNA
VHB yang rendah (<2000 IU/ml), ALT normal, dan kerusakan hati
minimal.

Cara Penularan

Ada 2 cara penularan infeksi virus hepatitis B yaitu penularan vertikal dan
penularan horizontal.

1 Vertikal

Penularan infeksi HBV dari ibu hamil kepada bayi yang


dilahirkannya. Dapat terjadi pada masa sebelum kelahiran atau prenatal,
selama persalinan atau perinatal dan setelah persalinan atau postnatal.
Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar bayi yang tertular VHB
secara vertikal mendapat penularan pada masa perinatal yaitu pada saat
terjadi proses persalinan.

2 Horizontal

Penularan horizontal dapat terjadi melalui kulit atau melalui selaput lendir.
a. Melalui Kulit
Ada dua macam penularan melalui kulit yaitu penularan melalui kulit
yang disebabkan tusukan yang jelas (penularan parenteral), misalnya
melalui suntikan, transfusi darah, atau pemberian produk yang berasal dari
darah dan tattoo. Kelompok kedua adalah penularan melalui kulit tanpa
tusukan yang jelas, misalnya masuknya bahan infektif melalui goresan atau
abrasi kulit dan radang kulit.
b. Melalui Selaput Lendir
Selaput lendir yang diduga menjadi jalan masuk VHB ke dalam
tubuh adalah selaput lendir mulut, hidung, mata, dan selaput lendir kelamin.
53
Melalui selaput lendir mulut dapat terjadi pada mereka yang menderita
sariawan atau selaput lendir mulut yang terluka. Melalui selaput lendir
kelamin dapat terjadi akibat hubungan seks heteroseksual maupun
homoseksual dengan pasangan yang mengandung HBsAg positif yang
bersifat infeksius

Gejala Klinis

Hepatitis B Akut
Perjalanan hepatitis B akut terjadi dalam empat (4) tahap yang timbul
sebagai akibat dari proses peradangan pada hati yaitu :

1. Masa Inkubasi

Masa inkubasi yang merupakan waktu antara saat penularan infeksi dan
saat timbulnya gejala/ikterus, berkisar antara 1-6 bulan, biasanya 60-75
hari. Panjangnya masa inkubasi tergantung dari dosis inokulum yang
ditularkan dan jalur penularan, makin besar dosis virus yang ditularkan,
makin pendek masa inkubasi

2. Fase Prodromal

Fase ini adalah waktu antara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan


timbulnya gejala dan ikterus. Keluhan yang sering terjadi seperti : malaise,
rasa lemas, lelah, anoreksia, mual, muntah, terjadi perubahan pada indera
perasa dan penciuman, panas yang tidak tinggi, nyeri kepala, nyeri otot-
otot, rasa tidak enak/nyeri di abdomen, dan perubahan warna urine menjadi
cokelat, dapat dilihat antara 1-5 hari sebelum timbul ikterus, fase prodromal
ini berlangsung antara 3-14 hari

3. Fase Ikterus

Dengan timbulnya ikterus, keluhan-keluhan prodromal secara berangsur


akan berkurang, kadang rasa malaise, anoreksia masih terus berlangsung,
dan nyeri abdomen kanan atas bertambah. Untuk deteksi ikterus, sebaliknya
54
dilihat pada sklera mata. Lama berlangsungnya ikterus dapat berkisar antara
1-6 minggu.

4. Fase Penyembuhan

Fase penyembuhan diawali dengan menghilangnya ikterus dan


keluhankeluhan, walaupun rasa malaise dan cepat lelah kadang masih terus
dirasakan, hepatomegali dan rasa nyerinya juga berkurang. Fase
penyembuhan lamanya berkisar antara 2-21 minggu

Hepatitis B kronik

Tabel 2. Kriteria Diagnosis Infeksi VHB

Kriteria Diagnosis Infeksi VHB

Hepatitis B Kronik

1. HBsAg seropositif > 6 bulan

2. DNA VHB serum >20.000 IU/mL (nilai yang lebih rendah 2000-
20.000 IU/mL

ditemukan pada HBeAg negatif)

3. Peningkatan ALT yang presisten maupun intermiten

4. Biopsi hati yang menunjukkan hepatitis kronik dengan derajat


nekroinflamasi sedang

sampai berat

Pengidap Inaktif

1. HBsAg seropositif > 6 bulan

2. HBeAg (-), anti HBe (+)

3. ALT serum dalam batas normal

55
4. DNA VHB <2000-20000 IU/mL

5. Biopsi hati yang tidak menunjukkan inflamasi yang dominan

Resolved Hepatitis Infection

1. Riwayat infeksi Hepatitis B, atau adanya anti-HBc dalam darah

2. HBsAg (-)

3. DNA VHB serum yang tidak terdeteksi

4. ALT serum dalam batas norma

Kejadian hepatitis akut ditandai dengan peningkatan SGPT dan SGOT 10-
20 kali dari normal, dengan SGPT lebih tinggi dari SGOT. SGPT dan SGOT
normal adalah < 42 U/L dan 41 U/L. Pada hepatitis kronis kadar SGPT
meningkat 5-10 kali dari normal

Penilaian derajat kerusakan hati dilakukan dengan pemeriksaan penanda


biokimia antara lain: ALT, GGT, alkali fosfatase, bilirubin, albumin dan
globulin serum, darah lengkap, PT, dan USG hati. Pada umumnya, ALT
akan lebih tinggi dari AST, namun seiring dengan progresifitas penyakit
menuju sirosis, rasio ini akan terbalik. Bila sirosis telah terbentuk, maka
akan tampak penurunan progresif dari albumin, peningkatan globulin dan
pemanjangan waktu protrombin yang disertai dengan penurunan jumlah
trombosit.

Penatalaksanaan Hepatitis B

Pada pasien dengan HBeAg positif, terapi dapat dimulai pada DNA
VHB diatas 2x104 IU/mL dengan ALT 2-5x batas atas normal yang menetap
selama 3-6 bulan atau ALT serum > 5x batas atas normal, atau dengan

56
gambaran histologis fibrosis derajat sedang sampai berat. Sedangkan pada
pasien HBeAg negative, terapi dimulai pada pasien dengan DNA VHB lebih
dari 2x103 IU/mL dan kenaikan ALT>2x batas normal yang menetap selama
3-6 bulan.

Interferon

Interferon (IFN) adalah mediator inflamasi fisiologis dari tubuh berfungsi


dalam pertahanan terhadap virus. IFN-α konvensional adalah obat pertama
yang diakui sebagai terapi hepatitis B kronik sejak lebih dari 20 tahun yang
lalu. Senyawa ini memiliki efek antiviral, immunomodulator, dan
antiproliferatif. Interferon akan mengaktifkan sel T sitotoksik, sel natural
killer, dan makrofag. Selain itu, interferon juga akan merangsang produksi
protein kinase spesifik yang berfungsi mencegah sintesis protein sehingga
menghambat replikasi virus.

Sebaliknya, interferon tidak boleh diberikan pada pasien dengan


karakteristik:
1. Pasien sirosis dekompensata.
2. Pasien dengan gangguan psikiatri.
3. Pasien yang sedang hamil.
4. Pasien dengan penyakit autoimun aktif.

Lamivudin

Analog nukleos(t)ida bekerja dengan menghambat tempat berikatan


polimerase virus, berkompetisi dengan nukleosida atau nukleotida, dan
menterminasi pemanjangan rantai DNA. Lamivudin (LAM) diminum
secara oral dengan dosis optimal 100 mg/ hari. Pemberian satu kali sehari
dimungkinkan mengingat waktu paruhnya yang mencapai 17- 19 jam di
dalam sel yang terinfeksi Prediktor respon terapi dengan lamivudin adalah
kadar DNA VHB yang rendah dan ALT serum yang tinggi. Khusus untuk
terapi lamivudin dan telbivudin, terapi bisa mencapai hasil maksimal bila

57
pasien memenuhi kriteria yang ketat, yaitu DNA VHB <109 kopi/mL (2 x
108 IU/mL), status HBeAg positif, dan ALT >2x batas atas normal

Algoritma Penatalaksanaan Hepatitis B dengan HBeAg negatif

HBeAg Negatif

DNA VHB < 2x 103 DNA VHB ≥ 2 x 103 IU/mL


IU/mL

ALT normal ALT 1-2 x ALT > 2 batas


ALT Normal
batas atas atas normal
normal

Tidak Tidak Pengobatan


Tidak diberikan diberikan diberikan bila
diberikan
pengobatan pengobatan kenaikan ALT
pengobatan
menetap
Pantau Pantau Pantau > 3 bulan atau
DNA VHB dan DNA VHB dan DNA VHB tedapat resiko
ALT ALT dan dekompensasi
ALT

Respon Tidak respon


Pertimbangkan biopsi hepar atau
pemeriksaan fibrosis non invasive
Surveillans KHS dengan pada pasien ≥ 30 tahun atau < 30 Pantau untuk
Pantau DNA
USG maupun AFP/ 6 tahun dengan riwayat KHS atau respon tertunda
VHB dan ALT
bulan bagi kelompok sirosis dalam keluarga atau
1-3 bulan
resiko tinggi pertimbangkan
Bila terdapat inflamasi atau fibrosis setelah terapi
strategi terapi
derajat sedang atau lebih terapi lain

Algoritma Penatalaksanaan Hepatitis B dengan HBeAg positif


HBeAg Positif

58
DNA VHB < 2x 103 DNA VHB ≥ 2 x 103 IU/mL
IU/mL

ALT normal ALT > 5 batas


ALT Normal ALT 1-2 x ALT 2-5 x
batas atas atas normal
batas atas
normal normal

Tidak Tidak
Tidak Terdapat indikasi
diberikan Pengobatan
diberikan mulai terapi
diberikan diberikan bila
pengobatan pengobatan Bila DNA VHB <2 x
pengobatan kenaikan ALT 105 IU/mL dan
Pantau Pantau menetap tidak ada tanda
Pantau DNA DNA > 3 bulan atau dekompensasi,
DNA VHB VHB,HBeAg VHB,HBeAg tedapat resiko bias dipantau 3-6
dan ALT dan ALT dan ALT dekompensasi bulan untuk
ALT timbulnya
serokonversi
spontan HBeAg
Pertimbangkan biopsi hepar atau
pemeriksaan fibrosis non invasive
Surveillans KHS dengan pada pasien ≥ 30 tahun atau < 30 Respon
Tidak respon
USG maupun AFP/ 6 tahun dengan riwayat KHS atau
bulan bagi kelompok sirosis dalam keluarga
resiko tinggi
Bila terdapat inflamasi atau Pantau DNA
fibrosis derajat sedang atau lebih VHB ,HBeAg pertimbangkan
terapi dan ALT 1-3 strategi terapi
bulan setelah lain
terapi

Algoritma Penatalaksanaan Hepatitis B pada Pasien dengan Sirosis

Sirosis hati 59
Kompensata Dekompensata

Terapi suportif

DNA VHB < 2x 103 IU/mL DNA VHB ≥ 2 x 103 IU/mL Terapi dengan analog
nukleo(t)ida,
pertimbangkan
transplantasi

Pantau ALT ≥ 5x batas atas


DNA VHB,HBeAg dan ALT
normal
setiap 3-6 bulan

Terapi dengan Terapi dengan


Surveillans KHS dengan analog nukleo(t)ida analog nukleo(t)ida
USG maupun atau interferon
AFP/ 6 bulan

2.4.7. Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immune Deficiency


Syndrome (HIV/ AIDS)
Pengertian HIV
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). HIV menyerang salah satu
jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah
putih tersebut terutama limfosit yang memiliki Cluster of Differentiation
(CD4) sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel
limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia

60
menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang
seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh
manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar
antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang
terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama
akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol)
(KPA, 2007).
4.1 Gejala dan Tanda Klinis yang Patut Diduga Infeksi HIV

Keadaan Umum
 Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar
 Demam (terus menerus atau intermiten, temperature oral > 37,5 ° C)
yang lebih dari satu bulan
 Diare ( terus menerus atau intermiten ) yang lebih dari satu bulan
 Limfadenopati meluas
Kulit

 PPE* dan kulit kering yang luas * merupakan dugaan kuat infeksi HIV.
Beberapa kelainan seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan
psoriasis sering terjadi pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV
Infeksi

Infeksi Jamur  Kandidiasis oral*


 Dermatitis seboroik
 Kandidiasis vagina berulang
Infeksi viral  Herpes zoster (berulang atau melibatkan
lebih dari satu dermatom)*
 Herpes genital (berulang)
 Moluscum kontagiosum
 Kondiloma
Gangguan pernafasan  Batuk lebih dari satu bulan
 Sesak Nafas
 Tuberculosis
 Pneumonia berulang
 Sinusitis kronis atau berulang
Gangguan Neurologis  Nyeri kepala yang semakin parah (terus
menerus dan tidak jelas penyebabnya)
61
 Kejang demam
 Menurunya fungsi kognitif

Pemeriksaan dan Tatalaksana Setelah Diagnosis HIV Ditegakkan

A. Penilaian Stadium Klinis

Stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap kali kunjungan
untuk penentuan terapi ARV dengan lebih tepat waktu.

Stadium 1

 Tidak ada gejala


 Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2

 Penurunan berat badan bersifat sedang yang tak diketahui penyebabnya


(<10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)
 Infeksi saluran pernafasan yang berulang (sinusitis, tonsillitis, otitis media,
faringitis)
 Herpes zoster
 Keilitis angularis
 Ulkus mulut yang berulang
 Ruam kulit berupa papel yang gatal (Papular pruritic eruption)
 Dermatisis seboroik
 Infeksi jamur pada kuk

Stadium 3

 Penurunan berat badan bersifat berat yang tak diketahui penyebabnya (lebih
dari 10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)
 Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya selama lebih dari 1 bulan
 Demam menetap yang tak diketahui penyebabnya
 Kandidiasis pada mulut yang menetap
 Oral hairy leukoplakia
 Tuberkulosis paru
 Infeksi bakteri yang berat (contoh: pneumonia, empiema, meningitis,
piomiositis, infeksi tulang atau sendi, bakteraemia, penyakit inflamasi
panggul yang berat)
 Stomatitis nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau periodontitis
 Anemi yang tak diketahui penyebabnya (<8g/dl), netropeni (<0.5 x 109/l)
dan/atau trombositopeni kronis (<50 x 109/l)

62
Stadium 4

 Sindrom wasting HIV 


Pneumonia Kriptokokus
 Pneumonia Pneumocystis ekstrapulmoner, termasuk
jiroveci meningitis
 Pneumonia bacteri berat yang  Infeksi mycobacteria non
berulang tuberkulosis yang menyebar
 Infeksi herpes simplex kronis  Leukoencephalopathy multifocal
(orolabial, genital, atau anorektal progresif Cyrptosporidiosis
selama lebih dari 1 bulan atau kronis
viseral di bagian manapun)  Isosporiasis kronis
Kandidiasis esofageal (atau  Mikosis diseminata
kandidiasis trakea, bronkus atau (histoplasmosis,
paru) coccidiomycosis)
 Tuberkulosis ekstra paru  Septikemi yang berulang
 Sarkoma Kaposi (termasuk Salmonella non-
 Penyakit Cytomegalovirus tifoid)
 Limfoma (serebral atau Sel B
(retinitis atau infeksi organ lain,
tidak termasuk hati, limpa dan nonHodgkin) Karsinoma
kelenjar getah bening) serviks invasif
 Toksoplasmosis di sistem saraf  Leishmaniasis diseminata
pusat Ensefalopati HIV atipikal
 Nefropati atau kardiomiopati
terkait HIV yang simtomatis
B. Penilaian Imunologi (Pemeriksaan jumlah CD4)

Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila
tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah untuk
menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau
belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA
dewasa.

a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4

Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV
adalah didasarkan pada penilaian klinis.

b. Tersedia pemeriksaan CD4

Rekomendasi :
63
1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350
sel/mm3 tanpa
memandang stadium klinisnya.
2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu
hamil dan
koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.

Target Stadium Jumlah

Populasi Klinis sel CD4 Rekomendasi

ODHA dewasa Stadium klinis > 350 sel/mm3 Belum mulai terapi.
1 Monitor gejala klinis
dan jumlah sel CD4
dan 2 setiap 6-12 bulan

< 350 sel/mm3 Mulai terapi

Stadium klinis Berapapun jumlah Mulai terapi


3 sel CD4

dan 4

Pasien dengan Apapun Berapapun jumlah Mulai terapi


ko-infeksi TB Stadium klinis sel CD4

Pasien dengan Apapun Berapapun jumlah Mulai terapi


ko-infeksi Stadium klinis sel CD4
Hepatitis B
Kronik aktif

Ibu Hamil Apapun Berapapun jumlah Mulai terapi


Stadium klinis sel CD4

C. Pemeriksaan laboratorium sebelum memulai terapi

Di bawah ini adalah pemeriksaan laboratorium yang ideal sebelum memulai


ART apabila sumber daya memungkinkan:

64
 Darah lengkap*  Tes Kehamilan (perempuan usia
 Jumlah CD4*
reprodukstif dan perluanamnesis
 SGOT / SGPT*
 Kreatinin Serum* mens terakhir)
 Urinalisa*
 PAP smear / IFA-IMS untuk
 HbsAg*
 Anti-HCV (untuk ODHA IDU menyingkirkan adanya Ca Cervix
atau dengan riwayat IDU)
yang pada ODHA bisa bersifat
 Profil lipid serum
 Gula darah progresif)
 VDRL/TPHA/PRP
 Jumlah virus / Viral Load RNA
 Rontgen dada (utamanya bila
curiga ada infeksi paru) HIV** dalam plasma (bila
tersedia dan bila pasien mampu)

Catatan:

* adalah pemeriksaan yang minimal perlu dilakukan sebelum terapi ARV karena
berkaitan dengan pemilihan obat ARV. Tentu saja hal ini perlu mengingat
ketersediaan sarana dan indikasi lainnya.

** pemeriksaan jumlah virus memang bukan merupakan anjuran untuk dilakukan


sebagai pemeriksaan awal tetapi akan sangat berguna (bila pasien punya data)
utamanya untuk memantau perkembangan dan menentukan suatu keadaan gagal
terapi.

4.2 Perbedaaan Antara Pedoman Nasional Terapi ARV Tahun 2007 dan
2011

Populasi Target Pedoman terapi ARV Pedoman terapi ARV 2011


2007
INDIKASI MULAI TERAPI ARV

Odha tanpa gejala klinis  CD4 < 200 sel/mm3  CD4 < 350 sel/mm3
(stadium klinis 1) dan belum
pernah mendapat terapi ARV
(ARV-naïve)

65
Odha dengan gejala klinis  Semua pasien CD4 < 200  Stadium klinis 2 bila CD4 ≤
dan belum pernah mendapat sel/mm3 • Stadium klinis 3 350 sel/mm3 Atau • Stadium
terapi ARV (ARV-naïve) atau 4, berapapun jumlah klinis 3 atau 4, berapapun
CD 4 jumlah CD4
Perempuan hamil dengan  Stadium klinis 1 atau 2 dan  Semua ibu hamil berapapun
HIV CD4 < 200 sel/mm3 • jumlah CD4 atau apapun
Stadium klinis 3 dan CD4 < stadium klinis
350 sel/mm3 • Stadium
klinis 4 berapapun jumlah
CD
Odha dengan Koinfeksi TB  Adanya gejala TB aktif dan  Mulai terapi berapapun jumla
yang belum pernah mendapat CD4 < 350 sel/mm3 CD4
terapi ARV

Odha dengan Koinfeksi  Tidak ada rekomendasi  Odha dengan koinfeksi


Hepatitis B (HBV) yang khusus Hepatitis B (kronis aktif),
belum pernah mendapat berapapun jumlah CD4
terapi ARV

PADUAN TERAPI ARV

Odha yang belum pernah  AZT atau d4T + 3TC (atau  Menggunakan TDF sebagai l
mendapat terapi ARV FTC) + EFV atau NVP pertama • Perlunya memulai
phase-out d4T dan memulai
(ARV-naïve) terapi dengan AZT atau TDF
mengingat efek samping
Perempuan hamil HIV +  AZT + 3TC + NVP  AZT atau TDF sebagai lini
pertama
Koinfeksi TB-HIV  AZT atau d4T + 3TC (atau  TDF menggantikan d4T
FTC) + EFV sebagai lini pertam
Koinfeksi HIV-Hepatitis B  TDF + 3TC (atau FTC) +  Diperlukan paduan NRTI yan
(kronis aktif) EFV berisi TDF + 3TC (atau FTC)

Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu pengobatan atau
diredakan

sebelum terapi ARV dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Tatalaksana IO sebelum memulai terapi ARV

66
Jenis Infeksi Opportunistik Rekomendasi

Progresif Multifocal ARV diberikan langsung setelah


Leukoencephalopathy, Sarkoma diagnosis infeksi ditegakkan
Kaposi, Mikrosporidiosis, CMV,
Kriptosporidiosis

Tuberkulosis, PCP, Kriptokokosis, ARV diberikan setidaknya 2 minggu


MAC setelah pasien mendapatkan
pengobatan infeksi opportunistik

Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah:

2 NRTI + 1 NNRTI

AZT + 3TC + NVP

(Zidovudine + Lamivudine + ATAU


Nevirapine)

AZT + 3TC + EFV

(Zidovudine + Lamivudine + ATAU


Efavirenz)

TDF + 3TC (atau


FTC) + NVP
(Tenofovir + Lamivudine (atau ATAU
Emtricitabine) + Nevirapine)

TDF + 3TC (atau


FTC) +
(Tenofovir + Lamivudine (atau
EFV Emtricitabine) + Efavirenz)

Paduan Lini Pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang belum
pernah mendapat terapi ARV (treatment-naïve)

67
Populasi Target Pilihan yang Catatan
direkomendasikan

Dewasa dan anak AZT atau TDF + 3TC (atau Merupakan pilihan paduan
FTC) + EFV atau NVP yang sesuai untuk sebagian
besar pasien Gunakan FDC
jika tersedia

Perempuan hamil AZT + 3TC + EFV atau Tidak boleh menggunakan


NVP EFV pada trimester
pertama TDF bisa
merupakan pilihan

Ko-infeksi HIV/TB AZT atau TDF + 3TC Mulai terapi ARV segera
(FTC) + EFV setelah terapi TB dapat
ditoleransi (antara 2
minggu hingga 8 minggu)
Gunakan NVP atau triple
NRTI bila EFV tidak dapat
digunakan

Ko-infeksi TDF + 3TC (FTC) + EFV Pertimbangkan


HIV/Hepatitis B atau NVP pemeriksaan HBsAg
kronik aktif terutama bila TDF
merupakan paduan lini
pertama. Diperlukan
penggunaan 2 ARV yang
memiliki aktivitas anti-
HBV

68
No Infeksi Tampilan Klinis Diagnosis Terapi
Oportunistik

1. Pneumonia Batuk kering Kelainan pada foto Terapi pilihan :


toraks dengan infiltrat
Pneumocystis Sesak nafas intersisial bilateral Kotrimoksasol (TMP 15 mg + SMZ 75 mg/kg/
jiroveci (PCP) hari) dibagi dalam 4 dosis atau
Demam

Keringat malam Subakut


sampai 1 – 2 bulan Kotrimoksasol 480 mg, 2 tablet 4 kali sehari
untuk BB < 40 kg

dan 3 tablet 4 kali sehari untuk BB > 40 kg


selama 21 hari

Terapi alternatif

Klindamisin 600 mg IV atau 450 mg oral 3 kali


sehari + primakuin 15 mg oral sekali sehari
selama 21 hari bila pasien alergi terhadap sulfa

Untuk pasien yang parah dianjurkan pemberian


prednisolon 40 mg, 2 kali sehari, dengan
penurunan dosis secara bertahap hingga 7 – 10
hari, tergantung dari respon terhadap terapi

2. Kandidasis Kandidiasis oral: Bercak putih Tampilan klinis yang Tablet Nistatin 100.000 IU, dihisap setiap 4 jam
di selaput mukosa disertai khas pada pemeriksaan selama 7 hari atau Suspensi Nistatin 3-5 cc
eritema di rongga mulut fisik Pada sediaan KOH dikumur 3 kali sehari selama 7 hari
mikroskopis ditemukan
pseudohifa

Kandidiasis esofageal: Disfagi Tampilan klinis khas Flukonasol 200 mg per sehari selama 14 hari
Disertai rasa nyeri terbakar di dan memberikan atau Itrakonasol 400 mg per sehari selama 14
dad respon baik setelah di hari atau Ketokonasol 200 mg per sehari
terapi Bila selama 14 hari
memungkinkan dapat
dilakukan endoskopi

3. Kriptokokosis Nyeri kepala belakang, tanda Peningkatan tekanan Terapi pilihan


meningeal, fotofobia, kaku intrakranial pada
kuduk atau tekanan intrakranial punksi lumbal Protein Amfoterisin B IV (0,7 mg/ kg/ hari) selama 2
meningkat Demam di cairan serebrospinal minggu diikuti dengan flukonasol 400 mg
Dapat ditemukan perhari selama 8-10 minggu. Hati- hati akan
organisme dalam efek samping nefrotoksik

Perubahan kesadaran Penyakit amfoterisin.


yang diseminasi memberi kan
tanda lesi papulonekrotik CSP atau lesi kulit Terapi alternatif
menyerupai moluskum kontagi- dengan sediaan
Flukonasol 400-800 mg per hari selama 8 – 12
osum disertai demam dan pengecatan tinta India
minggu Terapi rumatan: itrakonasol 200
infiltrat di paru di bawah mikroskop
mg/hari atau flukonasol 200 mg/ hari

69
4. Toksoplasmosis Sakit kepala Defisit nerologis fokal Terapi pilihan
serebral CT scan kepala Respon
Pusing terhadap terapi Pirimetamin dosis awal: 100 mg, diikuti dengan
presumtif dapat 50 mg perhari + klindamisin 4 X 600 mg Asam
Demam folinat 15 mg setiap 2 hari bila tersedia Terapi
menyokong diagnosis
selama 6 minggu Terapi rumatan Pirimetamin
Defisit nerologis fokal
25 mg / hari + klindamisin600mg
Kejang

5. Herpes simpleks Sekelompok vesikel berair Gambaran klinis khas Biasanya sembuh sendiri dan tidak perlu terapi
biasanya di daerah genital atau Perawatan lesi, dengan gentian violet atau
sekitar mulut Dapat menjadi larutan klorheksidin Bila ada indikasi dapat
sistemik seperti esofagitis, diberi asiklovir 5 X 200 atau 3 X 400 mg selama
ensefalitis 7 hari.

6. Herpes zoster Sekelompok vesikel berair Gambaran klinis khas Perawatan lesi, dengan gentian violet atau
terasa sangat nyeri di sepanjang larutan klorheksidin Asiklovir 5 X 800 mg
dermatom. Dapat menyerang selama 7 hari, diberikan dalam 72 jam sejak
mata timbulnya erupsi vesikel. Famsiklovir dan
valasiklovir sebagai alternatif

7. Tuberkulosis TB Paru Batuk, demam, berat Pemeriksaan dahak Terapi sesuai Pedoman Nasional
badan berkurang, cepat lelah SPS untuk mencari BTA Penanggulangan Tuberkulosis
Foto toraks:
Gambaran paru yang
klasik:

Kavitasi di lobus atas


Gambaran paru yang
atipik: Infiltrat
intersisial bilateral
Efusi pleura: periksa
BTA pada punksi pleur

8. Mycobacterium Demam berulang kali, berat Isolasi organisme dari Terapi pilihan Azitromisin 1 X 500 mg atau
Avium Complex badan menurun, cepat lelah darah atau tempat lain Klaritromisin 2 X 500 mgi + etambutol 15
(MAC) mg/kg/ hari. Bila infeksi berat dapat ditambah
obat ketiga seperti levofloxacin 1 X 500 mg
(atau Ciprofloxacin 2 X 500 mg)
Anemia yang tidak
diketahui sebabnya Keadaan akan membaik dengan terapi ARV
Terapi rumatan Klaritromisin 2 X 500 mg atau
azitromisin 1 X 500 mg + etambutol 15 mg/kg/
hari

70
9. Kriptosporidiosis Diare kronis Sediaan feses dengan Terapi ARV
pengecatan BTA
Kram perut dan muntah

Nyeri perut kanan atas

Diagnosis Klinis dan Tatalaksana Infeksi Oportunistik

2.4.8 Kusta
Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan
oleh Mycobacterium leprae, terutama mengenai kulit, sistem saraf
perifer, namun dapat juga terjadi sistem pernapasan bagian atas, mata,
kelenjar getah bening dan testis dan sendi-sendi.
Lepra adalah penyakit menular, menahun dan disebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Penularan
kemungkinan terjadi melalui saluran pernapasan atas dan kontak kulit
pasien lebih dari 1 bulan terus menerus. Masa inkubasi rata-rata 2,5 tahun,
namun dapat juga bertahun-tahun (KemenKes RI,2012).
Epidemiologi (DEPKES, 2007)
Sebuah penelitian menyatakan bahwa jumlah penderita kusta di dunia
pada tahun 2007 diperkirakan 2-3 juta orang lebih, 80% di antaranya
berasal dari daerah tropis. Pada tahun yang sama Indonesia masih
menempati urutan ke tiga setelah India dan Brazil dalam hal penyumbang
jumlah penderita kusta di dunia. Walaupun secara nasional Indonesia
telah mencapai eliminasi kusta sejak Juni 2000. Artinya, secara nasional
angka prevalensi kusta di Indonesia lebih kecil dari 1 per 10.000 penduduk.
Namun untuk tingkat provinsi dan kabupaten sampai akhir tahun 2007
masih ada 14 provinsi dan 155 kabupaten yang angka prevalensinya di atas
1 per 10.000 penduduk. Ke-14 provinsi tersebut antara lain Nangroe Aceh
Darussalam, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Maluku,
Gorontalo dan Papua.

Penelitian yang lain yang dilakukan di daerah Brebes, Jawa Tengah


diperoleh sampel sebanyak 106 penderita. 53 orang sebagai control dan
53 orang adalah penderita kusta. Responden yang mengalami reaksi kusta
tipe I sebanyak 24,5 % dan tipe II sebanyak 75,5%. Dari 53 penderita yang

71
mengalami reaksi kusta, sebanyak 94,3 % penderita mengalami reaksi
kusta berat dan 5,7 % mengalami reaksi kusta ringan. Berdasarkan status
pengobatan MDT, sebanyak 5,7 % penderita belum mendapat pengobatan,
sedang dalam pengobatan sebanyak 52,8 % dan sesudah pengobatan
sebanyak 41,5 %.

Hasil Anamnesis (Subjektif) (Djuanda, et al., 2007)


Keluhan berupa bercak kulit berwarna merah atau putih berbentuk
plakat, terutama di wajah dan telinga. Bercak kurang/ mati rasa, tidak gatal.
Lepuh pada kulit tidak dirasakan nyeri. Kelainan kulit tidak sembuh dengan
pengobatan rutin, terutama bila terdapat keterlibatan saraf tepi.
Faktor Risiko :
1. Sosial ekonomi rendah
2. Kontak lama dengan pasien, seperti anggota keluarga yang didiagnosis
dengan lepra
3. Imunokompromais
4. Tinggal di daerah endemik lepra

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objektif)


(Djuanda, et al., 2007)
Pemeriksaan Fisik berupa tanda-tanda Patognomonis, yaitu:
1. Tanda-tanda pada kulit, perhatikan setiap bercak, bintil (nodul),
bercak berbentuk plakat dengan kulit mengkilat atau kering bersisik.
Kulit tidak berkeringat dan berambut. Terdapat baal pada lesi kulit,
hilang sensasi nyeri dan suhu, vitiligo. Pada kulit dapat pula ditemukan
nodul.
2. Tanda-tanda pada saraf, penebalan nervus perifer, nyeri tekan dan
atau spontan pada saraf, kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada
anggota gerak, kelemahan anggota gerak dan atau wajah, adanya
deformitas, ulkus yang sulit sembuh. Kerusakan saraf tepi biasanya
terjadi pada saraf yang ditunjukkan pada gambar dibawah.

72
Gambar 2.7 Saraf Tepi yang Perlu Diperiksa pada Lepra/ Kusta
(KemenKes, 2016)

3. Ekstremitas dapat terjadi mutilasi, untuk kelainan yang ditemukan


pada pemeriksaan fisik, simbol-simbol pada table dibawah digunakan
dalam penulisan di rekam medic (KemenKes, 2012)

Gambar 2.8 Penulisan kelainan pemeriksaan fisik pada rekam medik

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan mikroskopis kuman BTA pada sediaan kerokan jaringan
kulit.
73
Penegakan Diagnosis (Assessment)
Diagnosis Klinis, diagnosis ditegakkan apabila terdapat satu dari
tanda-tanda utama atau kardinal (cardinal signs), yaitu:
1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa
2. Penebalan saraf tepi yang disertai gangguan fungsi saraf
3. Adanya basil tahan asam (BTA) dalam kerokan jaringan kulit (slit skin
smear)

Klasifikasi Lepra terdiri dari 2 tipe, yaitu Pausibasilar (PB) dan


Multibasilar (MB).

Tabel 2.8 Tanda Utama Klasifikasi Kusta Tipe PB dan MB

Tabel 2.9 Tanda Lain Klasifikasi Lepra

Pengobatan (Djuanda, et al,2007)


Terapi pada pasien PB:
1. Pengobatan bulanan: hari pertama setiap bulannya (obat diminum di
depan petugas) terdiri dari: 2 kapsul Rifampisin @ 300mg (600mg) dan
1 tablet Dapson/ DDS 100 mg.
74
2. Pengobatan harian: hari ke 2-28 setiap bulannya: 1 tablet Dapson/ DDS
100 mg. 1 blister obat untuk 1 bulan.
3. Pasien minum obat selama 6-9 bulan (± 6 blister).
4. Pada anak 10-15 tahun, dosis Rifampisin 450 mg, dan DDS 50 mg.

Terapi pada Pasien MB:


1. Pengobatan bulanan: hari pertama setiap bulannya (obat diminum di
depan petugas) terdiri dari: 2 kapsul Rifampisin @ 300mg (600mg), 3
tablet Lampren (klofazimin) @ 100mg (300mg) dan 1 tablet
dapson/DDS 100 mg.
2. Pengobatan harian: hari ke 2-28 setiap bulannya: 1 tablet lampren 50
mg dan 1 tablet dapson/ DDS 100 mg. 1 blister obat untuk 1 bulan.
3. Pasien minum obat selama 12-18 bulan (± 12 blister).
4. Pada anak 10-15 tahun, dosis Rifampisin 450 mg, Lampren 150 mg dan
DDS 50 mg untuk dosis bulanannya, sedangkan dosis harian untuk
Lampren 50 mg diselang 1 hari.

Dosis MDT pada anak <10 tahun dapat disesuaikan dengan berat
badan:
1. Rifampisin: 10-15 mg/kgBB
2. Dapson: 1-2 mg/kgBB
3. Lampren: 1 mg/kgBB

Obat penunjang (vitamin/ roboransia) dapat diberikan vitamin B1,


B6, dan B12.

2.4.9. Campak
Campak juga dikenal dengan nama morbili atau morbillia dan rubeola
(bahasa Latin), yang kemudian dalam bahasa Jerman disebut dengan nama
masern, dalam bahasa Islandia dikenal dengan nama mislingar dan measles
dalam bahasa Inggris. Campak adalah penyakit infeksi yang sangat menular

75
yang disebabkan oleh virus, dengan gejala-gejala eksantem akut, demam,
kadang kataral selaput lendir dan saluran pernapasan, gejala-gejala mata,
kemudian diikuti erupsi makulopapula yang berwarna merah dan diakhiri
dengan deskuamasi dari kulit.
Infectious Agent
Campak adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh RNA virus
genus Morbillivirus, famili Paramyxoviridae. Virus ini dari famili yang
sama dengan virus gondongan (mumps), virus parainfuenza, virus human
metapneumovirus, dan RSV (Respiratory Syncytial Virus) (Halim, 2016).
Gejala Klinis Penyakit campak terdiri dari 3 stadium, yaitu:
Stadium Kataral (Prodormal)
Berlangsung kira-kira 3 hari (kisaran 2-4 hari), ditandai dengan
demam yang dapat mencapai 39,50 C ± 1,10 C. Selain demam, dapat timbul
gejala berupa malaise, coryza (peradangan akut membran mukosa rongga
hidung), konjungtivitis (mata merah), dan batuk. Gejala-gejala saluran
pernapasan menyerupai gejala infeksi saluran pernapasan yang disebabkan
oleh virus-virus lain. Konjungtivitis dapat disertai mata berair dan sensitif
terhadap cahaya (fotofobia). Tanda patognomonik berupa enantema mukosa
buccal yang disebut Koplik spots yang muncul pada hari ke-2 atau ke-3
demam. Bercak ini berbentuk tidak teratur dan kecil berwarna merah terang,
di tengahnya didapatkan noda putih keabuan. Timbulnya bercak Koplik ini
hanya sebentar, kurang lebih 12 jam, sehingga sukar terdeteksi dan biasanya
luput saat pemeriksaan klinis (Halim, 2016).
Stadium Erupsi
Stadium ini berlangsung selama 4-7 hari. Gejala yang biasanya terjadi
adalah koriza dan batuk-batuk bertambah. Timbul eksantema di palatum
durum dan palatum mole. Kadang terlihat pula bercak Koplik. Pada kuli,
timbul ruam makulopapular dengan penyebaran sentrifugal yang dimulai
dari batas rambut di belakang telinga, kemudian menyebar ke wajah, leher,
dada, ekstremitas atas, bokong, dan akhirnya ekstremitas bawah. Ruam ini
dapat timbul selama 6-7 hari. Demam umumnya memuncak (mencapai 40o
76
C) pada hari ke 2-3 setelah munculnya ruam. Jika demam menetap setelah
hari ke-3 atau ke-4 umumnya mengindikasikan adanya komplikasi (Halim,
2016).
Stadium Konvalesensi
Setelah 3-4 hari umumnya erupsi berkurang meninggalkan bekas
yang berwarna lebih tua (hiperpigmentasi) yang lama-kelamaan akan
menghilang sendiri. ruam berangsur menghilang sesuai dengan pola
timbulnya. Ruam kulit menghilang dalam 7-10 hari. Selanjutnya suhu
menurun sampai menjadi normal kecuali bila ada komplikasi (Halim, 2016).

Gambar 2.9 Karakter Gejala Khas pada Campak (Halim, 2016)

Tatalaksana Campak Tanpa Komplikasi


Pada umumnya tidak memerlukan rawat inap berikan terapi
simptomatik. Beri Vitamin A. Tanyakan apakah anak sudah mendapat
vitamin A pada bulan Agustus dan Februari. Jika belum, berikan 50 000 IU
(jika umur anak < 6 bulan), 100 000 IU (6–11 bulan) atau 200 000 IU (12
bulan hingga 5 tahun). Untuk pasien gizi buruk berikan vitamin A tiga kali
(Halim, 2016).
Pendekatan Penyakit dengan Ruam Makulopapular
Pada umumnya pendekatan diagnostik yang dilakukan adalah dengan
mengenali pola perjalanan klinik yang khas, misalnya anamnesis yang teliti

77
tentang lama waktu sakit, gejala klinis penderita, urutan munculnya gejala,
dan pola klinik ruam misalnya timbulnya ruam, dimana, kapan,
distribusinya, ada tidaknya rasa gatal, dimensi waktu hubungan antara ruam
dan panas, serta obat-obatan, baik oral maupun topikal. Ruam
makulopapular akut yang terjadi pada anak biasanya berhubungan dengan
infeksi virus. Umur penderita dapat menjadi alat untuk mempersempit
kemungkinan diagnosis banding. Penyakit ruam kulit yang disertai panas,
biasanya karena infeksi, terutama bila disertai dengan gejala sistemik yang
lain, harus mendapat perhatian khusus karena potensial menimbulkan
wabah (Ismoedijanto, 2011).
Kelompok penyakit dengan ruam makulopapular yang terdistribusi
central, dimana ruam mulai muncul dari daerah kepala, leher kemudian
menyebar keseluruh tubuh/ menyebar ke perifer: umumnya berkaitan
dengan penyakit campak, rubella, roseola/ exanthema subitum atau ruam
yang berhubungan dengan obat. Kelompok penyakit dengan ruam
makulopapular yang terdistribusi perifer, dimana predileksi ruamnya ada di
telapak tangan, telapak kaki, lutut dan siku misalnya meningococcemia,
Rocky Mountain spotted fever, dengue fever, yang awalnya tampil dengan
ruam makulopapular, sebelum akhirnya menjadi ruam petekhiae, harus
segera dikenali agar tatalaksana tidak terlambat dan fatal
(Ismoedijanto,2011).

78
Gambar 2.10 Beberapa Diagnosis Banding Penyakit Demam Disertai Ruam

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk
mendapat gambaran angka kesakitan, sebaran usia, jenis kelamin, dan
wilayah penderita penyakit menular yang berobat di Puskesmas Rapak
Mahang. Penelitian ini disajikan dalam bentuk grafik distribusi yang
menggambarkan persentase angka kesakitan penyakit menular pasien yang
berobat di Puskesmas Rapak Mahang.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian


3.2.1. Waktu Penelitian
Waktu penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 4 Januari 2017 sampai
31 Desember 2017.
3.2.2. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Rapak Mahang Kabupaten Kutai
Kartanegara.

3.3. Populasi dan Subyek Penelitian


3.3.1. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang berobat ke
Puskesmas Rapak Mahang dengan diagnosis yang tergolong dalam
penyakit menular.
3.3.2. Subyek Penelitian
Sampel pada penelitian ini adalah semua pasien Tuberkulosis Paru,
Pneumonia, HIV/ AIDS, Diare, Demam Dengue-Demam Berdarah

79
Dengue, Kusta, Tifoid, Campak, dan Hepatitis pada periode 4 Januari-31
Desember 2017 yang datang berobat ke Puskesmas Rapak Mahang.

3.4. Cara Pengambilan Subyek Penelitian


Pengambilan subyek penelitian dilakukan dengan mengambil data
pasien yang memenuhi kriteria inklusi sebagai subyek penelitian.

3.5. Metode Pengumpulan Data


Data penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari rekam
medis Puskesmas Rapak Mahang yang berisikan data pasien penyakit
menular yang terdata di Puskesmas Rapak Mahang.

3.6. Kriteria Subyek Penelitian


a. Kriteria Inklusi
Subyek Penelitian adalah. pasien yang terdiagnosis Tuberkulosis Paru/
TB, Pneumonia, Diare, Thyphoid, Demam Dengue-Demam Berdarah
Dengue/ DF-DHF, Hepatitis, HIV/ AIDS, Kusta, Campak/Morbilli,
Infeksi berdasarkan data rekam medik Puskesmas Rapak Mahang selama
periode 4 Januari-31 Desember 2017
b. Kriteria Eksklusi
Pasien tidak diketahui usia, jenis kelamin, atau asal wilayah tempat
tinggalnya.

3.7. Variabel Penelitian


a. Tuberkulosis Paru
b. Pneumonia
c. Diare
d. Tifoid
e. Demam Dengue-Demam Berdarah Dengue
f. Hepatitis
g. HIV/ AIDS
80
h. Kusta
i. Campak

3.8. Definisi Operasional


3.8.1 Tuberkulosis Paru
Definisi Operasional
Pasien diketahui menderita tuberkulosis paru pada rekam medik
berdasarkan hasil pemeriksaan klinis yang dilakukan dokter serta ditunjang
pemeriksaan penunjang lain.
3.8.2 Pneumonia
Definisi Operasional
Pasien diketahui menderita pneumonia pada rekam medik berdasarkan hasil
pemeriksaan klinis yang dilakukan oleh dokter.
3.8.3 Diare
Definisi Operasional
Pasien diketahui menderita diare pada rekam medik berdasarkan hasil
pemeriksaan klinis yang dilakukan oleh dokter.
3.8.4 Tifoid
Definisi Operasional
Pasien diketahui menderita tifoid pada rekam medik berdasarkan hasil
pemeriksaan klinis yang dilakukan dokter serta ditunjang pemeriksaan
penunjang lain.
3.8.5 Demam Dengue – Demam Berdarah Dengue
Definisi Operasional
Pasien diketahui menderita demam dengue-demam berdarah dengue pada
rekam medik berdasarkan hasil pemeriksaan klinis yang dilakukan dokter
serta ditunjang pemeriksaan penunjang lain.
3.8.6 Hepatitis
Definisi Operasional

81
Pasien diketahui menderita hepatitis pada rekam medik berdasarkan hasil
pemeriksaan klinis yang dilakukan dokter serta ditunjang pemeriksaan
penunjang lain.
3.8.7 HIV/ AIDS
Definisi Operasional
Pasien diketahui menderita HIV/ AIDS pada rekam medik berdasarkan hasil
pemeriksaan klinis yang dilakukan oleh dokter dan pemeriksaan penunjang
lain.
3.8.8 Kusta
Definisi Operasional
Pasien diketahui menderita kusta pada rekam medik berdasarkan hasil
pemeriksaan klinis yang dilakukan dokter serta ditunjang pemeriksaan
penunjang lain.
3.8.9 Campak/Morbilli
Definisi Operasional
Pasien diketahui menderita Morbilli/ Campak pada rekam medik
berdasarkan hasil pemeriksaan klinis yang dilakukan oleh dokter.
3.9. Pengolahan dan Penyajian Data
3.9.1 Pengolahan Data
Data pada penelitian ini diolah menggunakan program Microsoft
Office Excel 2010.
3.9.2 Penyajian Data
Data penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel, grafik dan deskripsi.

3.10 Analisis Data


Analisis data menggunakan analisis univariat pada masing-masing
variabel dengan menampilkan gambaran distribusi frekuensi dalam bentuk
tabel, grafik, dan deskripsi. Rumus:
P=𝐹 ÷ 𝑁 × 100%. P= Besar Presentase, F= frekuensi, N= Jumlah Total

82
BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1. DATA UMUM PUSKESMAS RAPAK MAHANG


4.1.1. Peta Wilayah Kerja

Gambar 4.1 Peta Wilayah Kerja Puskesmas Rapak Mahang

4.1.2. Gambaran Umum


4.1.2.1. Keadaan Geografis
Puskesmas Rapak Mahang merupakan salah satu puskesmas yang ada
di wilayah Tengah Kabupaten Kutai Kartanegara. Puskesmas Rapak
Mahang dibangun pada tahun 1992, beralamat di Jalan Pesut No 1B RT 14
Kelurahan Timbau Tenggarong.
Batas wilayah kerja Puskesmas Rapak Mahang adalah:
 Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Loa Ipuh Darat.
 Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Loa Ipuh dan Panji.
83
 Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tenggarong Seberang
dan Loa Kulu.
 Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Loa Kulu.
4.1.2.2. Keadaan Demografi
Data terbaru berdasarkan profil Puskesmas Rapak Mahang didapatkan
jumlah penduduk dari 4 kelurahan yaitu sebanyak 38.086 orang. Berikut
adalah tabel jumlah penduduk menurut kelurahan dan jumlah RT, jumlah
penduduk menurut jenis kelamin per kelurahan, dan per kelompok umur.
Luas
No Kelurahan JumlahPenduduk Jumlah RT
Wilayah(Km2)
1 Timbau 1.345 17.006 36
2 Melayu 900 15.022 46
3 Bukit Biru 1.000 4.284 24
4 Jahab 25.300 4.674 20
JUMLAH 28.545 40.986 126
Tabel 4.1 Data Luas Wilayah, Jumlah penduduk, dan Jumlah RT per Kelurahan
Tahun 2017

Jumlah Penduduk Menurut Jenis


Jumlah Kelamin
No Kelurahan Penduduk
Laki-laki (%) Perempuan (%)
1. Timbau 15.707 8.195 52,17 7.512 47,82
2. Melayu 17.167 9.014 52,50 8.153 47,49
3. Bukit Biru 3.872 2.011 51,93 1.861 48,06
4. Jahab 3.819 2.025 53,03 1794 4697
JUMLAH 40.565 21245 52,37 19320 47,62
Tabel 4.2 Data Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin per Kelurahan di Wilayah
Puskesmas Rapak Mahang Tahun 2015

84
4.1.3. Pelayanan Kesehatan
4.1.3.1. Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Fasilitas pelayanan kesehatan sangat penting diketahui dalam rangka
pelayanan kesehatan. Data mengenai fasilitas pelayanan kesehatan di
Puskesmas Rapak Mahang dapat dilihat pada tabel berikut.

Jumlah Fasilitas Pelayanan Kesehatan


No Kelurahan Desa Posyandu Posyandu Dokter Bidan Toko
Puskesmas Pustu Apotek
Siaga Balita Lansia Praktek Praktek Obat
1. Timbau 1 0 0 8 2 0 4 2 0
2. Melayu 0 0 0 9 1 11 2 6 3
3. Bukit Biru 0 1 1 6 4 0 2 1 0
4. Jahab 0 1 1 4 1 0 1 0 1
Jumlah 1 2 2 27 8 11 9 9 4
Tabel 4.3 Jumlah Fasilitas Pelayanan Kesehatan per Kelurahan di Puskesmas Rapak Mahang
Tahun 2013

4.2. HASIL PENELITIAN


Penelitian ini dilakukan untuk mendapat gambaran tentang angka
kesakitan, jenis kelamin, sebaran usia dan wilayah pasien penyakit menular
di Puskesmas Rapak Mahang. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk grafik
distribusi yang menggambarkan persentase angka kesakitan penyakit menular
di Puskesmas Rapak Mahang.
Pengumpulan data penelitian dilakukan tanggal 4 Januari sampai dengan
31 Desember 2017. Data sekunder diambil dari catatan rekam medik pasien
yang tercatat di Puskesmas Rapak Mahang.
Dari data yang diperoleh didapatkan sebanyak 1820 orang yang
menderita penyakit menular yang menjadi subyek penelitian. Dimana
berdasarkan jenis kelamin diperoleh sebanyak 985 orang laki-laki dan 835
orang perempuan yang menderita penyakit menular.
4.2.1 Distribusi Data Subyek Penelitian di Puskesmas Rapak Mahang
Berikut ini distribusi data berdasarkan jenis penyakit menular, usia, jenis
kelamin, dan wilayah tempat tinggal.
85
Jenis Kelamin

Perempuan 835

Laki-laki 985

750 800 850 900 950 1000


Gambar 4.2. Sebaran Seluruh Pasien Penyakit Menular Berdasarkan Jenis Kelamin

Usia (Tahun)

≥ 45 190

15 - 44 481

0 - 14 1149

0 200 400 600 800 1000 1200 1400


Gambar 4.3. Sebaran Seluruh Pasien Penyakit Menular Berdasarkan Usia

86
Alamat (Kelurahan)
Luar Wilayah 228

Timbau 553

Bukit Biru 168


Series1

Jahab 462

Melayu 409

0 100 200 300 400 500 600


Gambar 4.4. Sebaran Seluruh Pasien Penyakit Menular Berdasarkan Wilayah Tempat
Tinggal

4.2.2 Tuberkulosis Paru


Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang menderita
Tuberkolosis Paru yaitu sebanyak 64 orang. Distribusi sampel yang
menderita Tuberkolosis Paru dalam penelitian ini dapat dilihat pada diagram
dan grafik dibawah ini.
4.2.2.1 Jenis kelamin

Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan


Jenis Kelamin

50% 50%

Laki-Laki Perempuan

Gambar 4.5. Sebaran Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Jenis


Kelamin
Diagram di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita
Tuberkulosis Paru menurut jenis kelamin yaitu sebanyak 32 (50%) adalah

87
pasien perempuan, sedangkan pasien laki-laki yang menderita Tuberkulosis
Paru sebanyak 32 (50%) pasien.
4.2.2.2 Usia

Jumlah Penderita Tuberkulosis Paru


berdasar Usia

3%
5-14 thn
48% 15-44 thn
49%
≥ 45 thn

Gambar 4.6. Sebaran Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Usia


Diagram di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita
Tuberkulosis Paru menurut usia yaitu sebanyak 2 orang pada usia 5 – 14
tahun (2%), 31 orang pada usia 15 – 44 tahun(48%), dan 31 orang pasien
pada usia ≥ 45 tahun(49%).
4.2.2.3 Wilayah Tempat Tinggal

Sebaran Penderita Tuberkulosis Paru Berdasar


Wilayah
30
25
25 22
20
15 13

10
4
5
0
Melayu Jahab Bukit Biru Timbau

Sebaran Penderita Tuberkulosis Paru Berdasar Wilayah

88
Gambar 4.7. Sebaran Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Asal Wilayah Tempat
Tinggal

Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita


Tuberkulosis Paru menurut wilayah tempat tinggal pasien yaitu sebanyak
22 orang bertempat tinggal di daerah Melayu, 13 orang di daerah Jahab, 4
orang di daerah Bukit Biru, dan 25 orang di daerah Timbau.
4.2.2.4 Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan

Jumlah Penderita Tuberkulosis Paru


berdasar Riwayat Pengobatan

Pindah,
MDR, 0,0,2,
Meninggal, 0%
0%3% Sembuh
Gagal
Sembuh, 28, 41% Konversi

Konversi, 36, 53% Meninggal


MDR
Gagal, 2, 3%
Pindah

Gambar 4.8. Sebaran Penderita Tuberkulosis Paru Berdasarkan Riwayat Pengobatan

Grafik tersebut menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita


Tuberkulosis Paru terbagi menjadi menurut riwayat pengobatan yaitu
sebanyak 28 orang dinyatakan sembuh, 36 orang dalam tahap konversi atau
proses pengobatan baik tahap intensif ataupun lanjutan, 2 orang mengalami
gagal pengobatan, 2 orang meninggal selama masa pengobatan, 0 orang
melakukan pemindahan tempat pengobatan, dan 0 orang mengalami Multi
Drugs Resistence (MDR).

89
4.2.3 Pneumonia
Dari hasil penelitian, diperoleh sampel pasien yang menderita
Pneumonia yaitu sebanyak 160 orang. Distribusi sampel yang menderita
Pneumonia dalam penelitian ini dapat dilihat pada diagram dan grafik
dibawah ini.

4.2.3.1 Jenis Kelamin

Penderita Pneumonia Berdasar


Jenis Kelamin

72
45% Laki-laki
88 Perempuan
55%

Gambar 4.9. Sebaran Penderita Pneumonia Berdasarkan Jenis


Kelamin

Diagram di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita


Pneumonia menurut jenis kelamin yaitu sebanyak 72 (45%) adalah pasien
perempuan, sedangkan pasien laki-laki yang menderita Pneumonia
sebanyak 88 (55%) pasien.
4.2.3.2 Usia

90
Jumlah Penderita Pneumonia
Berdasar Usia
100 81 ≤ 1 thn
80
58 1 - 4 thn
60
40 5 -14 thn
20 7 12
2 15 - 44 thn
0
≥ 45 thn
≤ 1 thn 1 - 4 thn 5 -14 thn 15 - 44 thn ≥ 45 thn
Gambar 4.10. Sebaran Penderita Pneumonia Berdasarkan Usia

Diagram di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita


Pneumonia menurut usia yaitu sebanyak 58 orang pada usia ≤ 1 tahun, 81
orang pada usia 1-4 tahun, 7 orang pada usia 5-14 tahun, 2 orang pada usia
15 – 44 tahun, dan 12 orang pasien pada usia ≥ 45 tahun.
4.2.3.3 Wilayah Tempat Tinggal

Sebaran Penderita Pneumonia


Berdasar Wilayah
80 63 Melayu
60 41
Jahab
40 21 20
15
20 Bukit Biru
0
Timbau
Melayu Jahab Bukit Biru Timbau Luar
wilayah Luar wilayah
Gambar 4.11. Sebaran Penderita Pneumonia Berdasarkan Asal Wilayah Tempat Tinggal

Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita


Pneumonia menurut wilayah tempat tinggal pasien yaitu sebanyak 41
orang bertempat tinggal di daerah Melayu, 21 orang di daerah Jahab, 15
orang di daerah Bukit Biru, 20 orang berasal dari luar wilayah dan dengan
yang terbanyak penderita Pneumonia yaitu 63 orang dari kelurahan
Timbau.
4.2.3.4 Kejadian Perbulan

91
Kejadian Kasus Pneumonia Per
Bulan dalam 2016
50
40 43
30 32
20 16
10 15 12 13
9 5 8 4
0 1 2

Kejadian Kasus Pneumonia Per Bulan dalam 2016

Gambar 4.12. Presentase Penderita Pneumonia Berdasarkan Kasus Perbulan

Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita


Pneumonia perbulannya paling tinggi berada pada bulan: 1. Oktober (43
kasus), 2. November (32 kasus), dan 3. September (16 kasus). Sedangkan
bulan yang paling rendah yakni di bulan Januari (1 Kasus).

4.2.4 Diare
Dari hasil penelitian, diperoleh sampel pasien yang menderita Diare
yaitu sebanyak 333 orang. Distribusi sampel yang menderita Diare dalam
penelitian ini dapat dilihat pada diagram dan grafik dibawah ini.
4.2.4.1 Jenis Kelamin

Jumlah Penderita Diare Berdasar


Jenis Kelamin

152 Laki-laki
46% 181
54% Perempuan

Gambar 4.13. Sebaran Penderita Diare Berdasarkan Jenis


Kelamin

92
Diagram di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita
Diare menurut jenis kelamin yaitu sebanyak 181 (54%) adalah pasien laki-
laki, sedangkan pasien perempuan yang menderita Diare sebanyak 152
(46%) pasien.

4.2.4.2 Usia

Jumlah Penderita Diare Berdasar


Usia
140 125
120
100 ≤ 1 thn
80 69 71 1 - 4 thn
65
60 5 -14 thn

40 15 - 44 thn

20 ≥ 45 thn
3
0
≤ 1 thn 1 - 4 thn 5 -14 thn 15 - 44 thn ≥ 45 thn
Gambar 4.14. Sebaran Penderita Diare Berdasarkan Usia.

Diagram di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita


Diare menurut usia yaitu sebanyak 69 orang pada usia ≤ 1 tahun, 71 orang
pada usia 5 – 14 tahun, 65 orang pada usia 15 – 44 tahun, dan 3 orang
pasien pada usia ≥ 45 tahun, dan penderita terbanyak sejumlah 125 orang
pada usia 1 - 4 tahun
4.2.4.3 Wilayah Tempat Tinggal

93
Sebaran Penderita Diare Berdasar
Wilayah
140 130
120
97
100 Melayu
80 Jahab
60
39 34 33 Bukit Biru
40
Timbau
20
0 Luar wilayah
Melayu Jahab Bukit Biru Timbau Luar
wilayah
Gambar 4.15. Sebaran Penderita Diare Berdasarkan Asal Wilayah Tempat Tinggal

Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita


Diare menurut wilayah tempat tinggal pasien yaitu sebanyak 97 orang
bertempat tinggal di daerah Melayu, 39 orang di daerah Jahab, 21 orang di
daerah Bukit Biru, 130 orang dari kelurahan Timbau, dan 33 orang
penderita Diare berasal dari luar wilayah.
4.2.4.4 Klasifikasi

Jumlah Penderita Diare


Berdasar Klasifikasi
35
12 10% 0
Diare Akut Tanpa
4% 0%
Dehidrasi

Diare Akut dengan


Dehidrasi Ringan -
Sedang
Diare Akut dengan
Dehidrasi Berat
286
86%
Gambar 4.16. Sebaran Penderita Diare Berdasarkan Klasifikasi

Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita


Diare menurut klasifikasi pembagian penyakit diare yaitu sebanyak 286
94
orang menderita Diare Cair Akut tanpa Dehidrasi, 12 orang menderita
Diare Cair Akut dengan Degihidrasi Ringan - Sedang, 0 orang atau tidak
ada sama sekali penderita Diare Cair Akut dengan Dehidrasi Berat, dan 35
orang menderita Diare Disentri.

4.2.4.5 Kejadian Perbulan

Kejadian Kasus Diare Perbulan


dalam 2016
50
40 37 41
30 34
28 25 28 26 29
20 21 24 21 19
10
0

Kejadian Kasus Diare Perbulan dalam 2016

Gambar 4.17. Presentase Penderita Diare Berdasarkan Kasus Perbulan

Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita


Diare perbulannya paling tinggi berada pada bulan: 1. Oktober (41 kasus),
2. Februari (37 kasus), 3. Maret (34 kasus), 4. November (29 kasus), 5.
Januari dan Juni (28 kasus). Sedangkan bulan yang paling rendah yakni di
bulan Desember (19 Kasus).

4.2.5 Tifoid
Dari hasil penelitian, diperoleh sampel pasien yang menderita Tifoid
yaitu sebanyak 157 orang. Distribusi sampel yang menderita Tifoid dalam
penelitian ini dapat dilihat pada diagram dan grafik dibawah ini.

4.2.5.1 Jenis Kelamin

95
Penderita Typhoid Berdasar
Jenis Kelamin

75 Laki-laki
83 47%
53% Perempuan

Gambar 4.18. Sebaran Penderita Tifoid Berdasarkan Jenis


Kelamin

Diagram di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita


Tifoid menurut jenis kelamin yaitu sebanyak 75 (47%) adalah pasien laki-
laki, sedangkan pasien perempuan yang menderita Tifoid sebanyak 83
(53%) pasien.
4.2.5.2 Usia

Jumlah Penderita Tifoid Berdasar


Usia
50 47
42 41
40
≤ 1 thn
30 1 - 4 thn
23
20 5 -14 thn
15 - 44 thn
10 4 ≥ 45 thn
0
≤ 1 thn 1 - 4 thn 5 -14 thn 15 - 44 thn ≥ 45 thn
Gambar 4.19. Sebaran Penderita Tifoid Berdasarkan Usia

Diagram di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita


Tifoid menurut usia yaitu sebanyak 4 orang pada usia ≤ 1 tahun, 47 orang

96
pada usia 1-4 tahun, 42 orang pada usia 5-14 tahun, 41 orang pada usia 15-
44 tahun, dan 23 orang pasien pada usia ≥ 45 tahun.
4.2.5.3 Wilayah Tempat Tinggal

Sebaran Penderita Tifoid Berdasar


Wilayah
70
59
60
50 Melayu
40 34 Jahab
28 25
30
Bukit Biru
20 11
Timbau
10
0 Luar wilayah
Melayu Jahab Bukit Biru Timbau Luar
wilayah
Gambar 4.20. Sebaran Penderita Tifoid Berdasarkan Asal Wilayah Tempat Tinggal

Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita


Tifoid menurut wilayah tempat tinggal pasien yaitu sebanyak 28 orang
bertempat tinggal di daerah Melayu, 34 orang di daerah Jahab, 11 orang di
daerah Bukit Biru, 25 orang berasal dari luar wilayah dan dengan yang
terbanyak penderita Tifoid yaitu 59 orang dari kelurahan Timbau.

4.2.5.4 Kejadian Perbulan

97
Kejadian Kasus Tifoid Per Bulan
dalam 2016
30 28
25
20 22 22
15 16
13 13 11
10 10 10
5 7 5
0 0

Kejadian Kasus Tifoid Per Bulan dalam 2016

Gambar 4.21 Presentase Penderita Tifoid Berdasarkan Kasus Perbulan

Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita


Tifoid perbulannya paling tinggi berada pada bulan: 1. Februari (28 kasus),
2. Januari dan Juni (22 kasus), dan 3. November (16 kasus). Sedangkan
bulan yang paling rendah yakni di bulan Juli (0 Kasus).

4.2.6 Demam Dengue (Dengue Fever)/ Demam Berdarah Dengue (Dengue


Hemorrhagic Fever)

Dari hasil penelitian, diperoleh sampel pasien yang menderita DF/


DHF yaitu sebanyak 158 orang. Distribusi sampel yang menderita DF/ DHF
dalam penelitian ini dapat dilihat pada diagram dan grafik dibawah ini.

4.2.6.1 Jenis kelamin

98
Penderita DF/ DHF Berdasar
Jenis Kelamin

63
40%
Laki-laki
Permpuan
95
60%

Gambar 4.22. Sebaran Penderita DF/ DHF Berdasarkan Jenis


Kelamin

Diagram di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita


DF/ DHF menurut jenis kelamin yaitu sebanyak 95 (60%) adalah pasien
laki-laki, sedangkan pasien perempuan yang menderita DF/ DHF sebanyak
63 (40%) pasien.
4.2.6.2 Usia

Jumlah Penderita DF/ DHF Berdasar


Usia
80
68
70
60 ≤ 1 thn
49
50 1 - 4 thn
40 33
5 -14 thn
30
20 15 - 44 thn
10 5 3 ≥ 45 thn
0
≤ 1 thn 1 - 4 thn 5 -14 thn 15 - 44 thn ≥ 45 thn
Gambar 4.23. Sebaran Penderita DF/ DHF Berdasarkan Usia

Diagram di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita


DF/ DHF menurut usia yaitu sebanyak 5 orang pada usia ≤ 1 tahun, 33

99
orang pada usia 1-4 tahun, 68 orang pada usia 5-14 tahun, 49 orang pada
usia 15-44 tahun, dan 3 orang pasien pada usia ≥ 45 tahun.
4.2.6.3 Wilayah Tempat Tingal

Sebaran Penderita DF/ DHF


Berdasar Wilayah
50 44
40 34 33 Melayu
30 26
21 Jahab
20 Bukit Biru
10 Timbau
0 Luar wilayah
Melayu Jahab Bukit Biru Timbau Luar
wilayah
Gambar 4.24. Sebaran Penderita DF/ DHF Berdasarkan Asal Wilayah Tempat Tinggal

Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita


DF/ DHF menurut wilayah tempat tinggal pasien yaitu sebanyak 34 orang
bertempat tinggal di daerah Melayu, 44 orang di daerah Jahab, 21 orang di
daerah Bukit Biru, 63 orang dari kelurahan Timbau, dan 26 orang
penderita DF/ DHF berasal dari luar wilayah.
4.2.6.4 Kejadian Perbulan

Kejadian Kasus DF/ DHF Perbulan


dalam 2016
50
40 40
30
23 26
20 21
14 12
10 9
3 1 4 1 4
0

Kejadian Kasus DF/ DHF Perbulan dalam 2016

Gambar 4.25. Presentase Penderita DF/ DHF Berdasarkan Kasus Perbulan

100
Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita
Diare perbulannya paling tinggi berada pada bulan: 1. Februari (40 kasus),
2. Mei (26 kasus), 3. Maret (23 kasus), dan 4. Mei (21 kasus). Sedangkan
bulan yang paling rendah yakni di bulan September dan November (1
Kasus).

4.2.7 Hepatitis
Dari hasil penelitian, diperoleh sampel pasien yang menderita
Hepatitis yaitu sebanyak 18 orang. Distribusi sampel yang menderita
Hepatitis dalam penelitian ini dapat dilihat pada diagram dan grafik dibawah
ini.
4.2.7.1 Jenis Kelamin

Jumlah Penderita Hepatitis


Berdasarkan Jenis Kelamin

Laki-Laki
Perempuan

Gambar 4.26. Sebaran Penderita Hepatitis Berdasarkan Jenis


Kelamin

Diagram di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita


Hepatitis menurut jenis kelamin yaitu sebanyak 2 (66,6%) adalah pasien
laki-laki, sedangkan pasien perempuan yang menderita Hepatitis sebanyak
1 (33,3%) pasien.
4.2.7.2 Usia

101
Sebaran Penderita Hepatitis
2.5 ≥ 45 thn

2 15- 44 thn

1.5 5-14 thn

1 1-4 thn
≤ 1 thn
0.5
0
≥ 45 thn 15-44 thn 5-14 thn 1-4 thn ≤ 1 thn
Gambar 4.27. Sebaran Penderita Hepatitis Berdasarkan Usia
Diagram di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita
Hepatitis menurut usia yaitu sebanyak 2 orang pada usia 15-44 tahun, dan
1 orang pasien pada usia ≥ 45 tahun.
4.2.7.3 Wilayah Tempat Tinggal

Sebaran Penderita Hepatitis


Berdasarkan Wilayah
3.5
Melayu
3
2.5 Jahab

2 Bukit Biru

1.5 Timbau
1 Luar Wilayah
0.5
0
Melayu Jahab Bukit Biru Timbau Luar
wilayah
Gambar 4.28. Sebaran Penderita Hepatitis Berdasarkan Asal Wilayah Tempat Tinggal

Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita


Hepatitis menurut wilayah tempat tinggal pasien yaitu sebanyak 3 orang
bertempat tinggal di daerah Melayu, 0 orang di daerah Jahab, 0 orang dari
kelurahan Timbau, dan 0 orang penderita Hepatitis berasal dari luar
wilayah.
102
4.2.7.4 Tipe

Jumlah Penderita Hepatitis


Berdasar tipe
Hepatitis A
Hepatitis B
100
% Suspek Hepatitis

Gambar 4.29. Sebaran Penderita Hepatitis Berdasarkan Tipe

Grafik tersebut menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita


Hepatitis terbagi menjadi menurut tipe penyakit yaitu sebanyak 0 orang
dinyatakan menderita Hepatitis A, 3 orang dinyatakan memiliki Hepatitis
B, dan 0 orang didiagnosis sebagai Suspek Hepatitis.
HIV/ AIDS
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang menderita HIV/
AIDS yaitu sebanyak 3 orang. Distribusi sampel yang menderita HIV/ AIDS
dalam penelitian ini dapat dilihat pada diagram dan grafik dibawah ini.

4.2.7.5 Jenis Kelamin

103
Jenis Kelamin Penderita
HIV/AIDS

33%
Laki-laki
Perempuan
67%

Gambar 4.30. Presentase Penderita HIV/ AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin

Diagram di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita


HIV/ AIDS menurut jenis kelamin yaitu sebanyak 1 orang (33%) pasien
perempuan sedangkan pasien laki-laki yang menderita HIV/ AIDS
sebanyak 2 orang (67%) pasien.
4.2.7.6 Usia

Jumlah Penderita HIV/AIDS Berdasar Usia


1.2

0.8

0.6

0.4

0.2

0
<5 thn 5-14 thn 14-44 thn >41 thn

Jumlah Penderita HIV/AIDS Berdasar Usia

Gambar 4.31. Presentase Penderita HIV/ AIDS Berdasarkan Usia

104
Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita
HIV/ AIDS menurut sebaran kelompok usia yaitu sebanyak 1 orang pada
usia 20-29 tahun, 1 orang pada usia 30-40 tahun,1 orang pada usia >41
tahun.
4.2.7.7 Wilayah Tempat Tingggal

Jumlah Penderita Berdasar wilayah


1.2

1
1 1 1
0.8 Melayu
Timbau
0.6
Bukit biru
0.4
Jahab
0.2
0 0 Luar Wilayah
0
Melayu Timbau Bukit biru Jahab Luar
Wilayah
Gambar 4.32. Presentase Penderita HIV/ AIDS Berdasarkan Wilayah Tempat Tinggal

Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita


HIV/ AIDS menurut wilayah tempat tinggal pasien yaitu sebanyak 1 orang
bertempat tinggal di daerah Melayu, 1 orang di daerah Timbau, dan 1 orang
berasal dari Jahab.

4.2.8 Kusta
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang menderita kusta
yaitu sebanyak 5 orang. Distribusi sampel yang menderita kusta dalam
penelitian ini dapat dilihat pada diagram dan grafik dibawah ini.

105
4.2.8.1 Jenis Kelamin

Penderita Kusta Berdasar


Jenis Kelamin
Perempuan
0%

Laki-laki
100%

Gambar 4.33. Presentase Penderita Kusta Berdasarkan Jenis Kelamin

Diagram di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita


kusta menurut jenis kelamin yaitu pasien laki-laki yang menderita kusta
sebanyak 5 orang (100%) pasien.
4.2.8.2 Usia

Jumlah Penderita Kusta berdasar Usia


4.5
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
<5 thn 5-14 thn 15-44 thn >45 thn

Kusta berdasar Usia

106
Gambar 4.34. Sebaran Penderita Kusta Berdasarkan Usia

Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita


kusta menurut sebaran kelompok usia yaitu sebanyak 4 orang pada usia 20-
45 tahun, 1 orang pada usia 46-60 tahun , dan 0 orang pada usia >60 tahun
tahun.
4.2.8.3 Wilayah Tempat Tinggal

Jumlah Penderita Kusta berdasar Wilayah


6

0
Wilayah Kerja PKM R. Mahang Luar Wilayah

Jumlah Penderita Kusta berdasar Wilayah

Gambar 4.35. Sebaran penderita Kusta Berdasarkan Wilayah Tempat Tinggal

Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita


kusta yang berobat di Wilayah Kerja Puskesmas Rapak Mahang berasal darI
Luar Wilayah.

4.2.9 Campak/ Morbilli


Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ditemukan pasien
Campak di Wilayah Kerja Puskesmas Rapak Mahang namun pasien yang
dicurigai (suspek) menderita Campak atau morbilli-like illness yaitu
sebanyak 7 orang. Distribusi sampel yang penderita morbilli-like illness
dalam penelitian ini dapat dilihat pada diagram dan grafik dibawah ini.

107
4.2.9.1 Jenis Kelamin

Jumlah Kasus Dugaan Campak/morbilli-


like illness sesuai umur.

43% Laki-laki

57% Perempuan

Gambar 4.36. Presentase Penderita morbilli-like illness Berdasarkan Jenis Kelamin

Diagram di atas menunjukkanbahwa jumlah pasien yang menderita


campak menurut jenis kelamin yaitu sebanyak 3 orang (43%) pasien
perempuan sedangkan pasien laki-laki yang menderita morbilli-like
illness sebanyak 4 orang ( 57%) pasien.

108
4.2.9.2 Usia

Jumlah Kasus Dugaan


Campak/morbilli-like illness menurut
Usia
6
5
4
3
2
1
0
<1 tahun 1-4 tahun 5-45tahun

Series 1

Gambar 4.37. Presentase Penderita morbilli-like illness Berdasarkan Kelompok Usia

Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita


campak menurut sebaran kelompok usia yaitu sebanyak 2 orang pada
usia <1 tahun, 0 orang pada usia 1-4 tahun, 5 orang pada usia 5-25 tahun.
4.2.9.3 Wilayah Tempat Tinggal

Jumlah Pasien Dugaan Campak/morbilli-


like illness Berdasarkan Wilayah
4.5
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
Timbau Melayu Bukit Biru Jahab

Jumlah Pasien Dugaan Campak Berdasarkan Wilayah

109
Gambar 4.38. Sebaran Penderita morbilli-like illness Berdasarkan Wilayah

Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita


campak/morbilli menurut wilayah tempat tinggal pasien yaitu sebanyak
9 orang berasal dari Timbau, 6 orang di daerah Melayu, 2 orang berasal
dari Luar Daerah, 2 orang dari daerah Bukit Biru, dan 1 orang berasal
dari Jahab.
4.2.9.4 Kejadian Perbulan

Angka Kejadian Dugaan Campak


2.5

1.5

0.5

Angka Kejadian Dugaan Campak

Gambar 4.39. Presentase Penderita Campak Berdasarkan Kasus Perbulan

Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita


Campak perbulannya paling banyak 2 kasus, yaitu pada bulan Februari,
April, dan Mei.

4.2.10 Perbandingan Penyakit Menular antara pasien dalam wilayah dan luar
wilayah kerja Puskesmas Rapak Mahang

4.2.10.1 Sebaran Penyakit Menular Wilayah Rapak Mahang

110
Pasien Penyakit Menular Wilayah
Puskesmas Rapak Mahang

Diare, 300, 19%

kulit, 658, 41%


Typhoid, 132,
8%
DF/ DHF,
132, 8%

Hepatitis 14, 1%

Morbilliform, 45, Pneumonia, 140,


3% Varicella, 9%
Tuberkulosis
123, 8% HIV/ AIDS, 3, 0% Kusta, 2, 0% Paru, 43, 3%
Gambar 4.49. Sebaran Pasien Penyakit Menular Wilayah Puskesmas Rapak Mahang

Pada gambar di atas dapat dilihat, total pasien penderita penyakit


menular dari dalam wilayah kerja Puskesmas adalah 1592 pasien. Paling
banyak adalah pasien penyakit Kulit dengan Infeksi sebanyak 658 pasien
(41%), terbanyak kedua adalah pasien Diare sebanyak 300 pasien (19%),
dan ketiga adalah pasien Pneumonia sebanyak 140 pasien (9%).

4.2.10.2 Sebaran Penyakit Menular Luar Wilayah Rapak Mahang

111
Pasien Penyakit Menular Luar Wilayah
Puskesmas Rapak Mahang

Diare, 33, 14%

kulit, 89, 39%


Typhoid, 25,
11%
DF/ DHF, 26,
11%

Hepatitis, 4, 2%
Morbilliform,
7, 3% Pneumonia,
HIV/ AIDS, 0, 0% Tuberkulosis
20, 9%
Varicella, 8, 4% Kusta, 1, 0% Paru, 15, 7%
Gambar 4.50. Sebaran pasien Penyakit Menular Luar wilayah Puskesmas Rapak
Mahang

Pada gambar di atas dapat dilihat,total keseluruhan pasien penderita


penyakit menular dari luar wilayah adalah 228 pasien. Jumlah penderita
paling banyak adalah pasien Kulit dengan Infeksi sebanyak 89 pasien
(39%), terbanyak kedua adalah pasien Diare sebanyak 33 pasien (14%),
dan ketiga adalah pasien DF/ DHF sebanyak 26 pasien (11%).

4.2.10.3 Sebaran Penyakit Menular Wilayah dan Luar Wilayah Rapak


Mahang

112
Pasien Penyakit Menular Wilayah dan
Luar Wilayah Puskesmas Rapak
Mahang

Diare, 333,
18%

kulit, 747, 41% Typhoid, 157,


9%

DF/ DHF, 158,


9%
Hepatitis, 18, 1%
Morbilliform, 52, Pneumonia,
3% 131,
Varicella, 160, 9%
Tuberkulosis
7% HIV/ AIDS, 3, 0% Kusta, 3, 0% Paru, 58, 3%
Gambar 4.51. Jumlah Keseluruhan Pasien Penyakit Menular Wilayah dan Luar Wilayah
Kerja Puskesmas Rapak Mahang

Pada gambar dapat dilihat bahwa jumlah keseluruhan penderita


Penyakit Menular dalam dan luar wilayah dengan jumlah keseluruhan
1820 pasien. Kulit dengan Infeksi berjumlah paling banyak yakni 747
orang (41%), Diare sebanyak 333 orang (18%), Pneumonia 160 orang
(9%), DF/ DHF 158 orang (9%), Typhoid 157 orang (9%), Varicella 131
orang (7%), Tuberkulosis Paru 58 orang (3%), Morbilliform 52 orang
(3%), Hepatitis 18 orang (1%), dan yang paling sedikit adalah HIV/
AIDS 3 orang (0%) serta Kusta dengan 3 orang (0%).

4.2.10.4 Perbandingan Pasien Penyakit Menular Wilayah dan Luar Wilayah


Rapak Mahang

113
Pasien Penyakit Menular Wilayah dan Luar
Wilayah Puskesmas Rapak Mahang
747
800 658
700
600
500 333300
400
300 157132 158132 160140 131123
200 33 25 26 581543 52745 89
100 18414 20 312 303 8
0

Keseluruhan Luar Wilayah Dalam

Gambar 4.52. Perbandingan Pasien Penyakit Menular secara Keseluruhan, Dalam Wilayah, dan
Luar Wilayah

Dari grafik di atas dapat dilihat dari kasus terbanyak yakni Kulit
dengan Infeksi dengan keseluruhan pasien 747 orang yang dibagi dari
dalam wilayah sebanyak 658 orang dan luar wilayah sebanyak 89 orang.
Diare berada di posisi terbanyak kedua dengan jumlah keseluruhan
sebanyak 333 orang yang terbagi 300 orang berasal dari dalam wilayah
dan sebanyak 33 orang dari luar wilayah. Terbanyak ketiga adalah
penyakit Pneumonia dengan jumlah keseluruhan 160 orang yang terbagi
140 orang berasal dari dalam wilayah dan 20 orang dari luar wilayah.

114
BAB V
PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita


penyakit menular periode Januari - Desember 2017 di Puskesmas Rapak Mahang
yaitu sebanyak 1820 orang. Berdasarkan data tersebut jumlah pasien yang
menderita kusta sebanyak 5 orang, pasien dengan HIV/ AIDS sebanyak 3 orang,
pasien dengan Morbilli-like Illness sebanyak 52 orang, pasien dengan Tuberkolosis
Paru sebanyak 64 orang, pasien dengan Pneumonia sebanyak 160 orang, pasien
dengan Tifoid sebanyak 157 orang, pasien dengan Hepatitis, pasien dengan DF/
DHF sebanyak 158 orang, dan pasien dengan Diare 333 orang.

5.1. Tuberkulosis Paru


Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Sumber penularan yaitu pasien
BTA (bakteri tahan asam) positif melalui percik renik dahak yang
dikeluarkannya. Tuberkulosis paru dengan BTA negatif juga masih memiliki
kemungkinan menularkan penyakit tuberkulosis meskipun dengan tingkat
penularan yang kecil (Kementerian Kesehatan RI, 2016). Gejala utama adalah
batuk selama 2 minggu atau lebih, batuk disertai dengan gejala tambahan
yaitu dahak, dahak bercampur darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam lebih dari 1 bulan (Riskesdas, 2013).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang menderita
tuberkulosis paru yaitu sebanyak 64 orang, dimana data ini tidak termasuk
kasus di luar wilayah kerja Puskesmas Rapak Mahang.
Dikutip dari Kementerian Kesehatan RI (2015) estimasi insidens
semua tipe tuberkulosis tahun 2013 yang sebesar 183 per 100.000 penduduk
mengalami penurunan dibandingkan tahun 1990 yang sebesar 343 per
100.000 penduduk. Begitu juga dengan prevalensi tuberkulosis dan mortalitas
yang mengalami penurunan pada tahun 2013. Hal tersebut memperlihatkan

115
bahwa program pengendalian tuberkulosis di Indonesia telah berhasil
menurunkan insidens, prevalensi, dan mortalitas akibat penyakit tuberkulosis.

Tabel 5.1 Estimasi Insidensi, Prevalensi, dan Mortalitas Tuberkulosis per 100.000
Penduduk Tahun 1990 dan 2013

Angka prevalensi 2017 tuberkulosis paru berdasarkan wilayah kerja


Puskesmas Rapak Mahang 156 per 100.000 penduduk. Sedangkan jika
dibandingkan dengan kasus yang ditangani baik dalam wilayah kerja maupun
luar wilayah kerja adalah 68 per 100.000 penduduk. Angka insidensi
tuberkulosis paru berdasarkan wilayah kerja Puskesmas Rapak Mahang
adalah 68 per 100.000 penduduk Hasil yang didapatkan dari penelitian pada
Puskesmas Rapak Mahang adalah baik karena termasuk ke dalam angka-
angka dengan nominal yang rendah dibandingkan rata-rata nasional.
Tahun 2013 penemuan kasus tuberkulosis paru BTA (+) di
Kalimantan Timur mencapai 1.969. Angka kesembuhan tahun 2013 sebesar
96,12% (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Pada Puskesmas Rapak Mahang
angka kesembuhan adalah sebesar 92,86 %. Angka ini didapatkan
berdasarkan angka kesembuhan dari 28 orang penderita yang didapatkan dari
pasien kriteria sembuh, gagal, dan MDR. Dimana dari 28 orang tersebut.
Terdapat 2 orang yang gagal pengobatan. Selain itu terdapat 2 kasus kematian
dalam pengobatan.
Menurut jenis kelamin, jumlah kasus pada laki-laki sama dengan
perempuan, yaitu 50:50, berbeda dengan tahun lalu dimana kasus laki-laki
lebih tinggi daripada perempuan yaitu 1,5 kali dibandingkan pada perempuan.
Pada masing-masing provinsi di seluruh Indonesia kasus lebih banyak terjadi
pada laki-laki dibandingkan perempuan (Kementerian Kesehatan RI, 2016).

116
Hal ini berbeda dengan hasil dari penelitian yaitu jumlah kasus laki-laki dan
perempuan sama ratanya.
Kementerian Kesehatan RI (2016) juga menjelaskan untuk kelompok
umur, kasus tuberkulosis pada tahun 2015 paling banyak ditemukan pada
kelompok umur 15-44 tahun yaitu sebesar 51,72% diikuti kelompok umur 45-
54 tahun sebesar 17,33%. Penelitian mendapatkan kesimpulan yang sejalan
dengan Kementerian Kesehatan dengan hasil 49% pada kelompok 15-44
tahun, tetapi berbeda dengan kelompok ≥ 45 tahun yaitu 48%.

Gambar 5.1 Proporsi Kasus TB Menurut Umur. Kementerian Kesehatan RI (2016)

5.2. Pneumonia
Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru
(alveoli) yang dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti virus,
jamur dan bakteri. Gejala penyakit pneumonia yaitu menggigil, demam, sakit
kepala, batuk, mengeluarkan dahak, dan sesak napas. Pneumonia menyerang
populasi yang rentan terserang pneumonia adalah anak-anak usia kurang dari
2 tahun, usia lanjut lebih dari 65 tahun dan orang yang memiliki masalah
kesehatan (malnutrisi, gangguan imunologi). Pneumonia merupakan
penyebab dari 15% kematian balita, yaitu diperkirakan sebanyak 922.000
balita di tahun 2015 (Kementerian Kesehatan RI, 2016).

117
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang menderita
Pneumonia yaitu sebanyak 160 orang, dengan rincian 140 orang dari dalam
wilayah kerja Puskesmas Rapak Mahang dan 20 orang berasal dari luar
wilayah.
Riskesdas (2013), menjelaskan berdasarkan kelompok umur
penduduk, Period prevalence pneumonia yang tinggi terjadi pada kelompok
umur 1-4 tahun, kemudian mulai meningkat pada umur 45-54 tahun dan terus
meninggi pada kelompok umur berikutnya.

Gambar 5.2. Insidensi Pneumonia per 1000 Balita Menurut Kelompok Umur, Indonesia
2013

Hasil penelitian pada Puskesmas Rapak Mahang didapatkan angka


prevalensi selama 2016 adalah 3,94 per 1000 penduduk. Angka insidensi
menunjukkan yaitu usia ≤ 1 tahun 1,42 per 1000 penduduk, usia 1-4 tahun
1,99 per 1000 penduduk, usia 5-14 tahun 0,17 per 1000 penduduk, usia 15-
44 tahun 0,04 per 1000 penduduk dan usia ≥ 45 tahun 0,29 per 1000
penduduk. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Riskesdas
pada tahun 2013 dengan angka prevalensi dan angka insedensi tertinggi
terdapat pada usia 1-4 tahun.

5.3. Diare
Diare adalah gangguan buang air besar (BAB) ditandai dengan BAB
lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja cair, dapat disertai dengan
darah dan atau lendir (Riskesdas, 2013). Penjelasan World Health
118
Organization (2008), selama anak diare terjadi peningkatan hilangnya cairan
dan elektrolit (natrium, kalium dan bikarbonat) yang terkandung dalam tinja
cair anak. Dehidrasi terjadi bila hilangnya cairan dan elektrolit ini tidak
diganti secara adekuat, sehingga timbulah kekurangan cairan dan elektrolit
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang menderita Diare
yaitu sebanyak 333 orang, dengan rincian 300 orang dari dalam wilayah kerja
Puskesmas Rapak Mahang dan 33 orang berasal dari luar wilayah.
Kementerian Kesehatan (2016) menjabarkan perkiraan jumlah
penderita diare yang datang ke sarana kesehatan dan kader kesehatan sebesar
10% dari angka kesakitan dikali jumlah penduduk di satu wilayah kerja dalam
waktu satu tahun. Angka kesakitan nasional hasil Survei Morbiditas Diare
tahun 2012 yaitu sebesar 214 per 1.000 penduduk. Maka diperkirakan jumlah
penderita diare di fasilitas kesehatan sebanyak 5.097.247 orang, sedangkan
jumlah penderita diare yang dilaporkan ditangani di fasilitas kesehatan
sebanyak 4.017.861 orang atau 74,33% dan targetnya sebesar 5.405.235 atau
100%. Rincian menurut provinsi dapat dilihat dibawah ini.

119
Tabel.5.2.Penemuan Kasus Diare Ditangani Menurut Provinsi Tahun 2015

Insidensi Diare 2016 pada Puskesmas Rapak Mahang adalah 8,2 per
1000 penduduk. Angka ini lebih rendah daripada angka insidensi tahun 2012.
Profil Kesehatan 2015 Provinsi Kalimantan Timur menemukan jumlah kasus
Diare sebanyak 34.647 kasus, sedangkan hasil penelitian di Puskesmas Rapak
Mahang menemukan 333 kasus, apabila dibandingkan Puskesmas Rapak
Mahang nilainya 0,96% dari angka kasus provinsi. Hasil yang didapatkan dari
penelitian pada Puskesmas Rapak Mahang adalah baik dibandingkan dengan
dari angka-angka rujukan.

120
5.4. Tifoid
Demam tifoid atau demam enterik merupakan penyakit infeksi
sistemik yang disebabkan oleh infeksi Salmonella enterica serotipe Typhi.
Pada beberapa kasus dikenal pula demam paratiofid, merupakan jenis yang
lebih ringan, disebabkan oleh S. Paratyphi A, S. Paratyphi B (Schotmulleri),
dan S. Paratyphi C (Hirschfe) (Parry CM. dkk, 2002). Bhutta ZA (2012)
memberikan penjelasan manifestasi klinis pada penyakit ini adalah demam
tinggi (>38 C) selama 7-14 hari dengan rentang 3-30 hari. Demam disertai
berbagai gejala gastrointestinal seperti nyeri perut, diare, konstipasi, maupun
mual.
Angka rata-rata kesakitan demam tifoid di Indonesia mencapai
500/100.000 penduduk dengan angka kematian antara 0,6-5% (Keputusan
Menteri Kesehatan, 2006). Berdasarkan Riskesdas (2007), prevalensi demam
tifoid di Indonesia mencapai 1,7%. Distribusi prevalensi tertinggi adalah pada
usia 5-14 tahun (1,9%), usia 1-4 tahun (1,6%), usia 15-24 tahun (1,5%) dan
usia <1 tahun (0,8%). Kondisi ini menunjukkan bahwa anak-anak (0-8 tahun;
WHO) merupakan populasi penderita demam tifoid terbanyak di Indonesia.
Angka insidensi dari penilitian pada Puskesmas Rapak Mahang
adalah 387,03 per 100.000 penduduk. Angka insidensi untuk penyakit pada
yang ditangani Puskesmas Rapak Mahang lebih baik karena dibawah rata-
rata kesakitan pada rujukan. Distribusi pada penelitian mendapatkan hasil
usia ≤ 1 tahun (2,55%), 1-4 tahun (29,94%), 5-14 tahun (26,75%), 15-44
tahun (26,11%), dan ≥ 45 (14,65%). Hasil yang berbeda bila dibandingkan
dengan Riskesdas yaitu yang tertinggi pada usia 1-4 tahun, tetapi hasil yang
sama pada usia ≤ 1 tahun untuk yang terendah.

5.5. Dengue fever/ Dengue Hemorrhagic Fever (DF/ DHF)


Penyakit DF/ DHF adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue yang tergolong Arthropod-Borne Virus, genus Flavivirus, dan famili
Flaviviridae. Penularan DF/ DHF melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes,
terutama Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Penyakit DF/ DHF dapat
121
muncul sepanjang tahun dan dapat menyerang seluruh kelompok umur.
Penyakit ini berkaitan dengan kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat
(Kementerian Kesehatan RI, 2016).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang menderita DF/ DHF
yaitu sebanyak 158 orang, dengan rincian 132 orang dari dalam wilayah kerja
Puskesmas Rapak Mahang dan 26 orang berasal dari luar wilayah.
Pada tahun 2015 jumlah penderita DBD yang dilaporkan sebanyak
129.650 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 1.071 orang (IR/Angka
kesakitan = 50,75 per 100.000 penduduk dan CFR/angka kematian = 0,83%)
(Kementerian Kesehatan, 2016). Kementerian Kesehatan (2015),
menjelaskan Angka kesakitan DF/ DHF menurut provinsi tahun 2014 di
Kalimantan Timur sebesar 135,46 per 100.000 penduduk. Target
Kementerian Kesehatan untuk angka kesakitan DF/ DHF tahun 2014 sebesar
≤ 51 per 100.000 penduduk. Berikut tren angka kesakitan DF/ DHF selama
kurun waktu 2008-2014.

Gambar 5.3. Angka Kesakitan DF/ DHF per 100.000 penduduk tahun 2008-2015

Angka IR untuk Puskesmas Rapak Mahang di tahun 2016 adalah


389,49 per 100.000 penduduk. Sedangkan untuk angka kematian adalah 0.
Berdasarkan hasil penelitian yang dibandingkan dengan rujukan dari target
Kementerian Kesehatan untuk angka kesakitan DF/ DHF tahun 2014, maka
122
Puskesmas Rapak Mahang tergolong jelek karena telah melewati target
tersebut. Begitupun pada angka kesakitan Provinsi Kalimantan Timur,
Puskesmas Rapak Mahang juga berada pada angka yang hingga melebihi 2
kali lipatnya. Angka kematian untuk Puskesmas Rapak Mahang adalah 0,
angka ini diartikan baik karena sesuai fungsi dan tugas dari Puskesmas yang
memiliki prosedur standar operasional yaitu perujukan untuk pasien yang
menderita DHF untuk perawatan lebih komprehensif.

5.6. Hepatitis
Hepatitis adalah penyakit infeksi hati yang disebabkan oleh virus
Hepatitis A, B, C, D atau E. Hepatitis dapat menimbulkan gejala demam, lesu,
hilang nafsu makan, mual, nyeri pada perut kanan atas, disertai urin warna
coklat yang kemudian diikuti dengan ikterus (warna kuning pada kulit dan/
sklera mata karena tingginya bilirubin dalam darah). Hepatitis dapat pula
terjadi tanpa menunjukkan gejala (asimptomatis) (Riskesdas, 2013).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang menderita Hepatitis
yaitu sebanyak 18 orang, dengan rincian 14 orang dari dalam wilayah kerja
Puskesmas Rapak Mahang dan 4 orang berasal dari luar wilayah.
Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, (2014)
menjelaskan prevalensi Hepatitis 2013 adalah 1,2 persen, dua kali lebih tinggi
dibandingkan 2007. Lima provinsi dengan prevalensi Hepatitis tertinggi
adalah Nusa Tenggara Timur (4,3%), Papua (2,9%), Sulawesi Selatan (2,5%),
Sulawesi Tengah (2,3%) dan Maluku (2,3%).

Tabel. 5.3. Kejadian Luar Biasa (KLB) Hepatitis A 2013

Tabel tersebut menyebutkan telah terjadi di 3 Provinsi dan 4


kabupaten/ kota pada tahun 2013 sejumlah 282 pada provinsi Kalimantan

123
Timur dengan angka kematian 0 (Infodatin Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI, 2014).
Angka prevalensi 2016 sebesar 0,24 per 1000 penduduk untuk
kejadian pada Puskesmas Rapak Mahang, angka tersebut didasarkan dari
penderita Hepatitis A dan B yang terdata di Puskesmas. Angka IR adalah 0,19
per 1000 penduduk dengan data yang dimiliki berupa suspek Hepatitis.
Sedangkan untuk Hepatitis C, D, dan E adalah 0. Angka kematian pada
Puskesmas Rapak Mahang adalah 0.

5.7. HIV/ AIDS


Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang menderita
HIV/AIDS yaitu sebanyak 3 orang. Hal ini menujukkan angka kejadian
HIV/AIDS di wilayah kerja Puskesmas Rapak Mahang masih dibawah rata-
rata angka kejadian HIV/AIDS Nasional (AIDS case rate: 9,8). (Kementerian
Kesehatan, 2016)

Gambar 5.4. AIDS Case Rate Nasional 2015

Angka kejadian kasus AIDS atau AIDS Case Rate adalah jumlah
kasus AIDS per 100.000 penduduk di suatu wilayah dalam kurun waktu
tertentu. AIDS Case Rate di Indonesia sampai September 2014 yang tertinggi
di Provinsi Papua, diikuti Papua Barat, Bali, DKI Jakarta, Kalimantan Barat,

124
Sulawesi Utara, Maluku, DI. Yogyakarta, Kepulauan Bangka Belitung, dan
Sumatera Barat. (Kementerian Kesehatan, 2016)
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pasien yang
menderita HIV/AIDS menurut jenis kelamin yaitu sebanyak 1 orang (33%)
pasien perempuan yang menderita HIV/AIDS sedangkan pasien laki-laki
yang menderita HIV/AIDS sebanyak 2 orang ( 67%) pasien. Hal ini serupa
dengan laporan kesehatan nasional bahwa penderita HIV/AIDS didominasi
oleh laki-laki dengan persentase nasional penderita AIDS pada laki-laki
sebesar 55% dan pada perempuan sebesar 32%. Adanya peningkatan proporsi
kasus baru yang tidak terlaporkan jenis kelaminnya, yaitu sebesar 13% pada
tahun 2015 dari sebesar 4% pada tahun sebelumnya. (Kementerian
Kesehatan, 2016)
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pasien yang
menderita HIV/AIDS menurut sebaran kelompok usia yaitu sebanyak 2
orang pada usia 15-44 tahun, dan1 orang pada usia >45 tahun. Hal ini sesuai
dengan hasil riskesdas 2013 bahwa 61,7% penderita AIDS berada dalam
kelompok usia tersebut. Kelompok umur tersebut masuk ke dalam kelompok
umur produktif yang aktif secara seksual dan termasuk kelompok umur yang
menggunakan NAPZA suntik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita
HIV/AIDS menurut wilayah tempat tinggal pasien yaitu sebanyak 1 orang
bertempat tinggal di daerah Melayu, 1 orang di daerah Timbau, dan 1 orang
berasal dari Jahab. Hal ini menujukkan angka kejadian HIV/AIDS di wilayah
kerja Puskesmas Rapak Mahang masih dibawah rata-rata angka kejadian
HIV/AIDS Nasional

5.8. Kusta
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang menderita kusta
yaitu tidak ditemukan dalam wilayah kerja puskesmas, namun terdapat 5
orang berasal dari luar daerah. Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah
prevalensi kusta di wilayah kerja puskesmas rapak mahang <1 per 10.000
125
penduduk (0 %), sesuai dengan target program pemberantasan kusta nasional.
(Kementerian Kesehatan, 2016)
Program pemberantasan penyakit Kusta secara intensif dilaksanakan
sejak tahun 1985 dengan pengobatan Multy Drug Therapie (MDT)
merupakan salah satu pengobatan penyakit kusta yang direkomendasikan
WHO. (Kementerian Kesehatan, 2016)

Gambar. 5.5 Wilayah High Endemic dan Low Endemic Kusta di Indonesia

Program Pemberantasan penyakit Kusta dengan menggunakan obat


kombinasi ( MDT ) dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi, dan
diharapkan semua sarana pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun
swasta mampu memberikan pelayanan yang baku kepada penderita kusta
diseluruh wilayah.
Yang harus di evaluasi di Program Kusta adalah :
1. Case Detection Rate (NCDR) : >10 per 100.000 penduduk
2. Prevalensi rate : < 1 per 10.000 penduduk
3. Proporsi Kusta Anak : < 5 %
4. Proporsi cacat Tingkat II : < 5 %

126
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita
kusta menurut jenis kelamin yaitu sebanyak 5 orang (100%) pasien laki laki.
Indikator lain yang digunakan pada penyakit kusta yaitu proporsi
kusta MB dan proporsi penderita kusta pada anak (0-14 tahun) di antara
penderita baru yang memperlihatkan sumber utama dan tingkat penularan di
masyarakat. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa semua penderita kusta
berusia diatas 20 tahun yang mengindikasikan bahwa tingkat penularan kusta
sudah dapat ditekan di wilayah kerja puskesmas Rapak Mahang
(Kementerian Kesehatan, 2016)
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pasien yang
menderita kusta menurut wilayah tempat tinggal pasien yaitu sebanyak 5
orang bertempat tinggal di luar wilayah. Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah
prevalensi kusta di wilayah kerja puskesmas rapak mahang <1 per 10.000
penduduk (0 %), sesuai dengan target program pemberantasan kusta nasional
(Kemenkes RI, 2012)

5.9. Campak/ Morbilli


Pada penelitian ini tidak ditemukan kasus Campak/morbilli namun
hanya ditemukan 7 kasus dugaan campak atau Morbilli-like illness dalam 1
tahun ini (IR: 0), ini tentunya lebih baik dari rata-rata nasional(IR=5,13)
maupun rata-rata kejadian di Kalimantan Timur(IR=6,88) (Kemenkes RI,
2014).
Penyakit campak disebabkan oleh virus campak golongan
Paramyxovirus. Penularan dapat terjadi melalui udara yang telah
terkontaminasi oleh droplet (ludah) orang yang telah terinfeksi. Sebagian
besar kasus campak menyerang anak-anak usia pra sekolah dan usia SD. Jika
seseorang pernah menderita campak, maka dia akan mendapatkan kekebalan
terhadap penyakit tersebut seumur hidupnya (Halim,2016).

127
Tren kasus Campak memperlihatkan kecenderungan peningkatan
imunisasi campak selama periode tahun 2007-2012, namun menunjukan
penurunan pada periode 2013-2015. Sebaliknya tren kasus campak
memperlihatkan kecendrungan penurunan kasus selama periode yang sama.
Hal tersebut memperlihatkan adanya hubungan negatif antara kecukupan
imunisasi campak dengan jumlah kasus campak. Semakin tinggi cakupan
imunisasi semakin rendah kasus campak, begitu sebaliknya. (InfoDATIN
Kemenkes, 2016).

128
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan
bahwa:
a. Penderita tuberkulosis paru yang berobat di Puskesmas Rapak Mahang
sama ratanya dalam hal jenis kelamin 50:50, dengan usia 15-44 tahun
dan >45 masing masing sebanyak 31 orang (48%), berasal dari kelurahan
Timbau sebanyak 22 orang (39%), dan 28 orang (88%) dinyatakan
sembuh.
b. Penderita pneumonia yang berobat di Puskesmas Rapak Mahang
mayoritas berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 72 orang (45%),
berusia kurang dari 1-4 tahun sebanyak 81 orang (50,62%), dan berasal
dari kelurahan Timbau sebanyak 63 orang (39,37%). Kejadian kasus
pneumonia paling tinggi berada pada bulan Oktober yaitu 43 kasus
(26,87%), sedangkan bulan yang paling rendah yakni di bulan Januari
yaitu 1 Kasus (0,62%).
c. Penderita diare yang berobat di Puskesmas Rapak Mahang mayoritas
berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 181 orang (54%), berusia
kurang dari 1-4 tahun sebanyak 125 orang (37,54%), berasal dari
kelurahan Timbau sebanyak 130 orang (39,04%), jumlah kasus
terbanyak berdasarkan klasifikasi adalah diare akut tanpa dehidrasi
sebanyak 286 orang (85,88%), dan kejadian tertinggi berada pada bulan
oktober 41 orang (12,31%), sedangkan bulan yang paling rendah yakni
di bulan Desember yaitu 19 kasus (5,7%).
d. Penderita tifoid yang berobat di Puskesmas Rapak Mahang mayoritas
berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 83 orang (53%), berusia
kurang dari 1-4 tahun sebanyak 47 orang (29,94%), dan berasal dari
kelurahan Timbau sebanyak 59 orang (37,58%). Kejadian kasus tifoid

129
paling tinggi berada pada bulan Februari yaitu 28 kasus (17,83%),
sedangkan bulan yang paling rendah yakni di bulan Juli yaitu 0 Kasus (0
%). Angka insidensi yang tinggi pada usia 1-4 tahun dibandingkan
rujukan, Riskesdas tahun 2007.
e. Penderita DF/ DHF yang berobat di Puskesmas Rapak Mahang mayoritas
berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 95 orang (60%), berusia kurang
dari 5-14 tahun sebanyak 68 orang (43,03%), berasal dari kelurahan
Jahab sebanyak 59 orang (27,85%), dan kejadian tertinggi berada pada
bulan februari 40 orang (25,32%), dan kejadian tertinggi berada pada
bulan februari 40 orang (25,32%), sedangkan bulan yang paling rendah
yakni di bulan September dan November yaitu 1 kasus (0,63%). Angka
insidensi yang tinggi dan melewati target dibandingkan rujukan,
Kementerian Kesehatan 2015.
f. Penderita hepatitis yang berobat di Puskesmas Rapak Mahang mayoritas
berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 14 orang (78%), berusia kurang
dari 15-44 tahun sebanyak 14 orang (78%), berasal dari kelurahan
Melayu sebanyak 6 orang (33,33%), dan 8 orang (44,44%) menderita
hepatitis A dan 8 orang (44,44%) menderita diduga hepatitis.
g. Penderita HIV/AIDS yang berobat di Puskesmas Rapak Mahang
mayoritas berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 2 orang (67%),
berusia 30-40 tahun tahun sebanyak 2 pasien (67%) dan berasal dari 3
kelurahan berbeda yakni Melayu (1 orang), Timbau (1 orang) dan Jahab
(1 orang).
h. Penderita kusta yang berobat di Puskesmas Rapak Mahang mayoritas
berasal dari luar wilayah kerja Puskesmas Rapak Mahang berjenis
kelamin laki-laki yaitu sebanyak 5 orang (100%), dan terbanyak berumur
15-45 tahun yaitu sebanyak 4 orang (90%).
i. Penderita campak tidak ditemukan di Wilayah Kerja Puskesmas Rapak
Mahang, namun ditemukan penderita dengan dugaan campak atau
penyakit yang mirip campak (Morbilli-like illness) sebanyak 7 orang.

130
j. Pasien penyakit menular pada Puskesmas Rapak Mahang yang terdiri
didalam wilayah kerja Puskesmas dengan posisi tertinggi adalah penyakit
kulit dengan infeksi 658 orang (41,33%), penyakit kulit dengan infeksi
untuk diluar wilayah kerja Puskesmas 89 orang (39,03%), dan secara
keseluruhan baik dari dalam dan luar wilayah kerja Puskesmas adalah
penyakit kulit dengan infeksi 747 orang (41,04%)

6.2. SARAN
Berdasarkan kesimpulan penelitian di atas maka penulis mengharapkan
beberapa hal sebagai berikut:
a. Bagi penelitian selanjutnya
Diharapkan dapat dilakukan penelitian selanjutnya untuk
mengidentifikasi faktor risiko terjadinya penyakit menular di wilayah
kerja Puskesmas Rapak Mahang ditingkat kelurahan berdasarkan
tingginya kejadian kasus per penyakit. Kelurahan Timbau difokuskan
pada penyakit varicella, campak, penyakit kulit dengan infeksi,
tuberkulosis paru, pneumonia, diare, dan tifoid. Sedangkan kelurahan
Jahab adalah penyakit DF/ DHF. Sehingga dapat ditetapkan pendekatan
program untuk mengantisipasi terjadinya peningkatan penyakit menular
di kemudian hari.
b. Bagi Puskesmas Rapak Mahang
1. Bagi penangung jawab program penyakit menular dapat
menggunakan data-data yang diperoleh melalui dari penelitian ini,
sehingga dapat menambah atau meningkatkan kerja Puskesmas Rapak
Mahang dalam pencegahan, pengobatan, dan rehabilitatif penyakit.
2. Perlu ditingkatkannya kesadaran dari petugas kesehatan kepada
pasien tentang edukasi agar pasein tersebut dapat kembali atau kontrol
terhadap penyakit menular yang sudah terdiagnosis dan ditangani
secara farmakologi dan nonfarmakologi, sehingga bisa diketahui
perjalanan penyakit dari pasien tersebut.

131
3. Bagi lab, dapat melengkapi pemeriksaan penunjang lain untuk
penyakit hepatitis seperti HbsAg dan screening HIV/AIDS
4. Bagi bagian farmasi, peningkatan penyedian obat untuk pasien
peyakit menular terkontrol, terutama pada pasien tifoid dan disentri.
5. Pada pencegahan penyakit kulit terutama yang kebanyakan
merupakan penyakit yang berkaitan dengan higienitas, puskesmas
dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya pola
hidup bersih dan sehat, baik di tingkat komunitas maupun personal.
6. Pada pencegahan penyakit kulit terutama yang merupakan penyakit
yang berkaitan dengan tingginya angka penularan, puskesmas dapat
memberikan edukasi tentang cara-cara penyakit tersebut menular serta
pecegahannya
7. Semua program yang dilaksanakan dapat ditujukan dalam 4 kelurahan
wilayah kerja Puskesmas dengan bekerja sama dengan pemerintah
kelurahan Timbau
c. Bagi Stakeholder
Puskesmas Rapak Mahang untuk dapat memberikan sosialisasi
penyakit menular melalui atau bersama dengan pihak Kelurahan dan
didukung Dinas Kesehatan agar masyarakat khususnya yang berada
dalam wilayah kerja Puskesmas Rapak Mahang paham tentang penyaki
menular, sehingga dapat menekan lajunya kejadian dari penyakit menular
tersebut.

132
DAFTAR PUSTAKA

Aditama TY., dkk. 2006. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di


Indonesia. Jakarta; Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Aru WS., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed-5. Jakarta; Interna
Publishing.

Ahlquist, D.A., and Camilleri, M. 2005. Diarrhea and Constipation. In: Kasper,
D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J.L.,
eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed. USA: McGrawHill

Bhutta ZA. 2012. Enteric Fever (Typhoid Fever) in Nelson Textbook of Paediatrics.
Ed-19. Elsevier: 954-58.

Brown Graham & Burns Tony, (2005). Dermatologi edisi 8. Jakarta : Erlangga
Brunner & Suddarth, (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah edisi 8 vol. 3.
Jakarta : EGC

Chin, James, 2000, Manual Pemberantasan Penyakit Menular, American Public


Health Asociation, New England

Christina Widaningrum. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.


Jakarta; Kementerian Kesehatan RI.

Chris Tanto, dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Ed-4. Jakarta; Media
Aesculapius.

Depkes RI, 2000. Buku Pedoman Pelaksanaan Program Pemberantasan Penyakit


Diare, Ditjen PPM & PLP, Jakarta

Depkes RI, Profil Kesehatan Indonesia tahun 2007. Departemen Kesehatan


Republik Indonesia, Jakarta

Dewi, Sang Ayu Putu. 2011, Cacar Air pada Anak, Universitas Udayana, Denpasar

Dinkes Boalembo. 2014. Profil Program Pencegahan Penyakit Menular dan Tidak
Menular Tahun 2013. Boalembo

133
Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Dyah EM. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta;


Kementerian Kesehatan RI.

GoldsteinG.Beth,(1998). Dermatologi Praktis. Jakarta : Hipokrates

Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2014. Situasi dan
Analisis Hepatitis. Jakarta; Kementerian Kesehatan RI.

Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2016. Situasi dan
Analisis Hepatitis. Jakarta; Kementerian Kesehatan RI.

Ismodijanto, Demam dan Ruam di Daerah Tropik (VIRAL EXANTHEMAS IN


THE TROPIC),Unair, Surabaya,2011

Halim, Ricky G. 2016, Campak pada Anak, RS Hosana Medica Lippo Cikarang,
Cikarang

Handoko Ronny P, (2007). Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi kelima. Jakarta :
FKUI
Harahap Mawarli, (2000). Ilmu penyakit kulit. Jakarta : Hipokrates

Havlickova B, Czaika VA, Friedrich M. Epidemiological trends in skin mycoses


worldwide. 2008: Mycoses 51:2. PMid: 18783559

Kemenkes RI, 2011, Pengendalian Diare di Indonesia, Kementrian Kesehatan


Republik Indonesia, Jakarta

Kemenkes RI, 2012, Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta,


Jakarta).

Kementerian Kesehatan RI. 2014. Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur


Tahun 2013. Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesia 2014. Jakarta (hal
142-144).

134
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2010. Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI. 2014. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI. 2016. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015. Jakarta.

Keputusan Menteri Kesehatan No. 365/Menkes/5K/v/2006. 2006. Pedoman


Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta.

Khulaifah, Siti, 2011, Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Penyakit Kulit,
Universitas Airlangga, Surabaya

Kliegman R.M., Marcdante K.J., and Behrman R.E., 2006. Nelson Essentials of
Pediatric. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders.

Komisi Penanggulangan AIDS (KPA). 2007. Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan
AIDS (2003-2007).
Mansjoer, Arif,dkk, (2000). Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga Jilid 2. Jakarta
: Media Aesculapius FKUI

Mulyani, E., 2011. Hubungan Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan dengan


Kejadian Penyakit Dermatomikosis di Poli Kulit dan Kelamin RSUD Kajen
Kabupaten Pekalongan. Skripsi Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan,
Universitas Muhammadiyah,Semarang

Nasry Noor, N, (1997), Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular, Rineka Cipta,


Jakarta.

Nugerahdita, Nindya. 2009. Prevalensi Penyakiy Kulit dan Pengobatannya di


Petamburan Jakarta Pusat. Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. Depok

Parveen Kumar & Michael Clark. 2009. Kumar & Clark’s Clinical Medicine. Ed-
7. Spain; Saunders Elsevier.

Parry CM., dkk. 2002. Typhoid Fever. N Eng J Med; 347: 1770-1782.

Peratutran Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 5 tahun 2014. 2014.


Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer. Jakarta; Kementerian Kesehatan RI.

135
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Nosokomial. Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.

Price,A.Sylvia, (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit vol.2.


Jakarta : EGC

Priyanti ZS., 2017. Konsensus Pneumonia.


www.klikpdpi.com/konsensus/Xsip/konsensus-neumonia/pneumonia.htm.
(Diakses 15 Februari 2017).

Pusat Data dan Survaeilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI. 2010. Buletin
Jendela Epidemilogi: Demam Berdarah Dengue. Vol 2:1-43. Kementerian
Kesehatan RI.

Riskesdas. 2007. Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta.

Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta.

Rizka HA., Nugroho (Eds.). 2012. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Bagian Ilmu
Penyakit Dalam. FK-UGM. Yogyakarta.

Robin Graham, Tony Burns, 2005. Lecture notes Dermatology Ed: 8. Jakarta :
Erlangga.

Simatupang M., 2004. Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Diare


Pada Balita Di Kota Sibolga Tahun 2003. Program Pascasarjana, Medan:
Universitas Sumatera Utara

Siti Setiati, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed-6. Jakarta; Interna
Publishing.

Sondakh et all, 2015, Profil Varisela di Poliklonik Kulit dan Kelamin RSUP Prof.
Dr. R. D. Kandou Manado Periode Januari-Desember 2012. Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Manado

Tanamal et.al, Pola dan Insidens Penyakit Infeksi Kulit karena Virus di Divisi
Dermatologi Aanak Poliklinik Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP
PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO TAHUN 2008 – 2012. Universitas
Sam Ratulangi, Manado
136
Widoyono, Penyakit Tropis (Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &.
Pemberantasannya), penerbit erlangga : 2011

William, D Jemes et.al, 2009. Andrew’s Diseases of Skin Clinical Dermatology,


Elsevier. Pennsylvania

World Health Organization. 2008. Bulletin of the World Health Organization; 86


(5): 321-46.

World Health Organization. 2008. Pedoman pelayanan kesehatan anak di rumah


sakit rujukan tingkat pertama di kabupaten. Jakarta

World Health Organization. 2011. Comprehensive Guidelines for Preventing and


Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. Revised and Expanded
Edition. New Delhi; World Health Organization, Regional Office for South-
East Asia.

World Health Organization. 2014. National Guidelines for Clinical Management of


Dengue Fever: National Vector Borne Disease Control Programme. New
Delhi; World Health Organization.

World Health Organization (WHO) World Health Organization Health action in


crises. Vol. 2005. 2005. Geneva.WHO

World Health Organization (WHO) Neglected Tropical Diseases. Vol. 2013.


2013. Geneva.WHO

Yatim, Danny Irawan, 2006. Dialog Seputar AIDS. Jakarta: PT Gramedia


Widiasarana Indonesia

137

Anda mungkin juga menyukai