Anda di halaman 1dari 46

2.1.1.

Tifoid
Defenisi Demam Tifoid

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever. Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian ini
mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan
terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.

2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari kuman.
Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak
tahan terhadap panas dan alkohol.

3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi kuman
terhadap fagositosis. Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan
menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.
Gejala Klinis

a. Demam

Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu
tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur- angsur meningkat setiap
hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam
minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh
beraangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
b. Ganguan pada saluran pencernaan

Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden) . Lidah
ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai
tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan
limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi
mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.
c. Gangguan kesadaran

Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai
somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.

Diagnosis serologik

Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin
yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, pada
orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin
demam tifoid. Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 40%, spesifisitas 91,4%, dan nilai
prediksi positif 80%. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan
didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pemeriksaan Widal seharusnya dilakukan 1-2
minggu kemudian sehingga kenaikan 4 kali, terutama agglutinin O memiliki nilai diagnostik
yang penting untuk demam tifoid. Titer aglutinin O yang positif dapat berbeda dari >1/80 sampai
>1/320 antar laboratorium tergantung endemisitas demam tifoid di masyarakat setempat dengan
catatan 8 bulan terakhir tidak mendapat vaksinasi atau baru sembuh dari demam tifoid.

Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :

a. Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut


b. Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah menderita
infeksi
c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain:

1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Penderita

a) Keadaan umum gizi penderita Gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
b) Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Aglutinin baru dijumnpai dalam darah setelah penderita mengalami sakit selama satu minggu
dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam sakit.
c) Pengobatan dini dengan antibiotik
Pemberian antibiotik dengan obat antimikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.
d) Penyakit-penyakit tertentu
Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi pembentukan antibodi,
misalnya pada penderita leukemia dan karsinoma lanjut.
e) Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat menghambat pembentukan antibodi.
f) Vaksinasi
Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H meningkat. Aglutinin O
biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun
perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada seseorang yang
pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
g) Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya
Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer aglutininnya rendah. Di
daerah endemik demam tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang-orang yang sehat

Tabel 2. Perbandingan beberapa pemeriksaan penunjang untuk demam tifoid


Uji diagnostikPemeriksaan Sensitivitas (%) Spesifisitas (%) Keterangan
mikrobiologi

Biakan darah 40-80 NA Baku emas, namun sensitivitas


rendah di daerah endemis karena
penggunaan antibiotik yang tinggi,
sehingga spesifisitas sulit diestimasi
Biakan sumsum tulang 55-67 30 Sensitivitas tinggi, namun invasif dan
terbatas penggunaannya
Biakan urin 58 NA Sensitivitas bervariasi
Biakan tinja 30 NA Sensitivitas rendah di negara
berkembang dan tidak digunakan
secara rutin untuk pemantauan
Diagnostik molekular PCR 100 100 Menjanjikan, namun laporan awal
menunjukkan sensitivitas mirip
biakan darah dan spesifisitas rendah
Nested PCR 100 100 Menjanjikan dan menggantikan
biakan darah sebagai baku emas
baru
Diagnostik serologi Widal 47-77 50-92 Klasik dan murah. Hasil bervariasi di
daerah endemis, perlu standardisasi
dan kualitas kontrol dari reagen
Typhidot 66-88 75-91 Sensitivitas lebih rendah dari
Typhidot-M
Typhidot-M 73-95 68-95 Sensitivitas dan spesifisitas lebih
tinggi
Tubex 65-88 63-89 Hasil menjanjkan dan harus diuji di
tingkat komunitas
Lainnya Deteksi antigen 65-95 NA Data awal
urin
NA= Not available

Tatalaksana antibiotik

S. Typhi yang resisten terhadap kloramfenikol ,yang pertama kali timbul pada tahun
1970, kini berkembang menjadi resisten terhadap obat ampisilin, amoksisilin, trimetoprim-
sulfametoksazol dan bahkan resisten terhadap fluorokuinolon. WHO sendiri telah memberikan
rekomendasi pengobatan antibiotik untuk demam tifoid, yang dibagi atas pengobatan untuk
demam tifoid tanpa komplikasi, baik sebagai terapi utama maupun alternatif dan terapi untuk
demam tifoid yang berat atau dengan komplikasi yang membutuhkan pengobatan parenteral,
seperti pada tabel 1 dan tabel 2. Hal ini berbeda dengan dewasa, dimana obat antibiotik lini
pertamanya adalah golongan fluorokuinolon, seperti ofloksasin, siprofloksasin, levofloksasin
atau gatifloksasin.

Tabel 1. Pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi

Terapi optimal Obat alternatif


Kepekaa Antibiotik Dosis Lama Antibiotik Dosis Lama pemberian
n harian pemberia harian (hari)
(mg/k n (hari) (mg/kg
g BB) BB)
Sensitif Fluorokuinolo 15 5–7 Kloramfeniko 50 – 75 14 – 21
l Amoksisilin 75 – 100 14
n
TMP – SMX 8 – 40 14
MDR Fluorokuinolo 15 5–7 Azitromisin 8 – 10 7
n Atau 15 – 7 – 14 Sefiksim 15 – 20 7 – 14
Sefiksim 20
Resisten Azitromisin 8 – 10 7 Sefiksim 20 7 – 14
atau 75 10 – 14
kuinolon
Seftriakson

Obat Trimetoprim-Sulfametoksazol dianggap sama efektifnya dengan kloramfenikol


dalam mengobati demam tifoid. Bersama-sama dengan amoksisilin, TMP-SMX digunakan pada
kasus-kasus demam tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol.Sefiksim tidak digunakan
sebagai obat lini pertama pada pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi. Obat ini hanya
digunakan pada kasus demam tifoid dengan kemungkinan resistensi terhadap obat antibiotik
(MDR), dan sebagai terapi lini kedua atau alternatif terhadap sefalosporin generasi ke tiga
lainnya, yaitu seftriakson. Kelebihan obat ini selain sebagai terapi alternatif untuk kasus demam
tifoid yang MDR juga angka kekambuhan demam tifoidnya yang rendah.8 Obat ini bekerja
dengan menginhibisi pertumbuhan Salmonella serovar typhimurium dan typhi yang menghuni
sel-sel monosit yang berasal dari sel THP-1.

Azitromisin dengan dosis 10 mg/kg BB diberikan sekali sehari selama 7 hari terbukti
efektif mengobati demam tifoid baik pada orang dewasa maupun pada anak dengan waktu
penurunan demam yang hampir mirip dengan bila digunakan kloramfenikol. Obat ini menjadi
pilihan pertama bila kasus demam tifoidnya dicurigai resisten terhadap kuinolon. Dengan
pemberian singkat selama 7 hari, obat ini dinilai cukup efektif mengobati demam tifoid yang
tidak komplikasi.

Pemberian obat sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson atau sefotaksim


diindikasikan pada kasus-kasus yang resisten terhadap obat kloramfenikol dan obat antibiotik
untuk demam tifoid lainnya. Strain yang resisten umumnya rentan terhadap obat sefalosporin
generasi ini Pemberian seftriakson sebaiknya diberikan selama 14 hari, karena bila diberikan
selama 7 hari, kemungkinan relapsnya bertambah dalam 4 minggu setelah terapi seftriakson
dihentikan.

4.2.1 Tifoid
Dari hasil penelitian, diperoleh sampel pasien yang menderita Tifoid yaitu
sebanyak 132 orang. Distribusi sampel yang menderita Tifoid dalam penelitian ini dapat
dilihat pada diagram dan grafik dibawah ini.

4.2.1.1 Jenis Kelamin


Penderita Thypoid Berdasarkan
Jenis Kelamin

Laki-Laki
54 %
46 % Perempuan

Gambar 4.18. Sebaran Penderita Tifoid Berdasarkan Jenis


Kelamin

Diagram di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita Tifoid


menurut jenis kelamin yaitu sebanyak 61 (46%) adalah pasien laki-laki, sedangkan
pasien perempuan yang menderita Tifoid sebanyak 71 (54%) pasien.
4.2.1.2 Usia

Jumlah Penderita Tifoid Berdasarkan


Usia
60 ≤ 1 thn
51
50 1-4 thn
38 5-14 thn
40
30 15-44 thn
24
≥ 45 thn
20 14
10 5

0
≤ 1 thn 1-4 thn 5-14 thn 15-44 thn ≥ 45 thn
Gambar 4.19. Sebaran Penderita Tifoid Berdasarkan Usia

Diagram di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita Tifoid


menurut usia yaitu sebanyak 5 orang pada usia ≤ 1 tahun, 24 orang pada usia 1-4 tahun,
51 orang pada usia 5-14 tahun, 38 orang pada usia 15-44 tahun, dan 14 orang pasien
pada usia ≥ 45 tahun.
4.2.1.3 Wilayah Tempat Tinggal
Sebaran Penderita Tifoid Berdasarkan

90
77
80
70 Melayu
60 Jahab
50
Bukit Biru
40
30 25 Timbau
18
20 12
10
0
Melayu Jahab Bukit Biru Timbau

Gambar 4.20. Sebaran Penderita Tifoid Berdasarkan Asal Wilayah Tempat Tinggal

Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita Tifoid menurut
wilayah tempat tinggal pasien yaitu sebanyak 25 orang bertempat tinggal di daerah
Melayu, 18 orang di daerah Jahab, 12 orang di daerah Bukit Biru, dan terbanyak
penderita Tifoid yaitu 77 orang dari kelurahan Timbau.

4.2.1.4 Kejadian Perbulan

Kejadian Kasus Demam Thyfoid Per


25
Bulan dalam 2017 Januari
Februari
22 Maret
20
20 April
19 Mei
15 15
13 Juni
10 8 10 Juli
7 6 7 4 Agustus
5 1 September
0 Oktober

Gambar 4.21 Presentase Penderita Tifoid Berdasarkan Kasus Perbulan

Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita Tifoid


perbulannya paling tinggi berada pada bulan: 1. Januari (22 kasus), 2. Maret (20 kasus),
dan 3. Febuari (19 kasus). Sedangkan bulan yang paling rendah yakni di bulan Juni (1
Kasus).

5.1. Tifoid
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi A, B dan C. penularan demam tifoid
melalui fecal dan oral yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan dan minuman
yang terkontaminasi (Widoyono, 2011). Bhutta ZA (2012) memberikan penjelasan
manifestasi klinis pada penyakit ini adalah demam tinggi (>38 C) selama 7-14 hari dengan
rentang 3-30 hari. Demam disertai berbagai gejala gastrointestinal seperti nyeri perut,
diare, konstipasi, maupun mual.
Angka rata-rata kesakitan demam tifoid di Indonesia mencapai 500/100.000
penduduk dengan angka kematian antara 0,6-5% (Keputusan Menteri Kesehatan, 2006).
Berdasarkan Riskesdas (2007), prevalensi demam tifoid di Indonesia mencapai 1,7%.
Distribusi prevalensi tertinggi adalah pada usia 5-14 tahun (1,9%), usia 1-4 tahun (1,6%),
usia 15-24 tahun (1,5%) dan usia <1 tahun (0,8%). Kondisi ini menunjukkan bahwa anak--
anak (0-8 tahun; WHO) merupakan populasi penderita demam tifoid terbanyak di
Indonesia.
Angka IR untuk Puskesmas Rapak Mahang di tahun 2017 adalah 132 per 100.000
penduduk. Distribusi pada penelitian mendapatkan hasil usia ≤ 1 tahun (4%), 1-4 tahun
(20%), 5-14 tahun (40%), 15-44 tahun (30%), dan ≥ 45 (11 %). Hasil tertinggi terdapat
pada kelompok usia 5-14 tahun yang sebanding dengan Riskesdas yaitu yang tertinggi
pada usia 5-14 tahun serta hasil yang sama pada usia ≤ 1 tahun untuk yang terendah.
Terjadinya peningkatan jumlah kasus demam typhoid disebabkan karena demam
typhoid merupakan penyakit yang multifaktorial artinya banyak faktor yang dapat memicu
terjadinya demam typhoid antara lain umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, sanitasi
lingkungan, personal hygiene, serta tempat tinggal sipenderita yang dapat mempengaruhi
timbulnya penyakit tersebut (Rahma, 2002).

Kesimpulan :
a. Penderita tifoid yang berobat di Puskesmas Rapak Mahang mayoritas berjenis kelamin
perempuan yaitu sebanyak 71 orang (54%), berusia 5-14 tahun sebanyak 51 orang
(40%), dan berasal dari kelurahan Timbau sebanyak 77 orang (60%). Kejadian kasus
tifoid paling tinggi berada pada bulan Januari yaitu 22 kasus (17%), sedangkan bulan
yang paling rendah yakni di bulan Juni yaitu 1 Kasus (1 %). Angka insidensi yang
tinggi pada usia 5-14 tahun sebanding dengan rujukan, Riskesdas tahun 2007.

2.4.6 Hepatitis
Definisi
Istilah “hepatitis” dipakai untuk semua jenis peradangan pada sel-sel hati, yang
bisa disebabkan oleh infeksi (virus, bakteri, parasit), obat-obatan (termasuk obat
tradisional), konsumsi alkohol, lemak yang berlebih dan penyakit autoimminue (Infodatin
Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2014).

Perjalanan Penyakit Hepatitis B Penyakit ini disebabkan infeksi oleh virus


hepatitis B, sebuah virus DNA dari keluarga Hepadnaviridae dengan struktur virus
berbentuk sirkular dan terdiri dari 3200 pasang basa. Pajanan virus ini akan menyebabkan
dua keluaran klinis, yaitu: (1) Hepatitis akut yang kemudian sembuh secara spontan dan
membentuk kekebalan terhadap penyakit ini, atau (2) Berkembang menjadi kronik.
Pasien yang terinfeksi VHB secara kronik bisa mengalami 4 fase penyakit, yaitu fase
immune tolerant, fase immune clearance, fase pengidap inaktif, dan fase reaktivasi. Fase
immune tolerant ditandai dengan kadar DNA VHB yang tinggi dengan kadar alanin
aminotransferase (ALT) yang normal. Sedangkan, fase immune clearance terjadi ketika
sistem imun berusaha melawan virus. Hal ini ditandai oleh fluktuasi level ALT serta
DNA VHB. Pasien kemudian dapat berkembang menjadi fase pengidap inaktif, ditandai
dengan DNA VHB yang rendah (<2000 IU/ml), ALT normal, dan kerusakan hati
minimal.

Cara Penularan

Ada 2 cara penularan infeksi virus hepatitis B yaitu penularan vertikal dan penularan
horizontal.

1 Vertikal
Penularan infeksi HBV dari ibu hamil kepada bayi yang dilahirkannya. Dapat terjadi pada
masa sebelum kelahiran atau prenatal, selama persalinan atau perinatal dan setelah
persalinan atau postnatal. Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar bayi yang
tertular VHB secara vertikal mendapat penularan pada masa perinatal yaitu pada saat
terjadi proses persalinan.

2 Horizontal

Penularan horizontal dapat terjadi melalui kulit atau melalui selaput lendir.
a. Melalui Kulit
Ada dua macam penularan melalui kulit yaitu penularan melalui kulit yang disebabkan
tusukan yang jelas (penularan parenteral), misalnya melalui suntikan, transfusi darah,
atau pemberian produk yang berasal dari darah dan tattoo. Kelompok kedua adalah
penularan melalui kulit tanpa tusukan yang jelas, misalnya masuknya bahan infektif
melalui goresan atau abrasi kulit dan radang kulit.

b. Melalui Selaput Lendir


Selaput lendir yang diduga menjadi jalan masuk VHB ke dalam tubuh adalah
selaput lendir mulut, hidung, mata, dan selaput lendir kelamin. Melalui selaput lendir
mulut dapat terjadi pada mereka yang menderita sariawan atau selaput lendir mulut yang
terluka. Melalui selaput lendir kelamin dapat terjadi akibat hubungan seks heteroseksual
maupun homoseksual dengan pasangan yang mengandung HBsAg positif yang bersifat
infeksius

Gejala Klinis

Hepatitis B Akut
Perjalanan hepatitis B akut terjadi dalam empat (4) tahap yang timbul sebagai akibat dari
proses peradangan pada hati yaitu :

1. Masa Inkubasi

Masa inkubasi yang merupakan waktu antara saat penularan infeksi dan saat timbulnya
gejala/ikterus, berkisar antara 1-6 bulan, biasanya 60-75 hari. Panjangnya masa inkubasi
tergantung dari dosis inokulum yang ditularkan dan jalur penularan, makin besar dosis
virus yang ditularkan, makin pendek masa inkubasi

2. Fase Prodromal

Fase ini adalah waktu antara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala
dan ikterus. Keluhan yang sering terjadi seperti : malaise, rasa lemas, lelah, anoreksia,
mual, muntah, terjadi perubahan pada indera perasa dan penciuman, panas yang tidak
tinggi, nyeri kepala, nyeri otot-otot, rasa tidak enak/nyeri di abdomen, dan perubahan
warna urine menjadi cokelat, dapat dilihat antara 1-5 hari sebelum timbul ikterus, fase
prodromal ini berlangsung antara 3-14 hari

3. Fase Ikterus

Dengan timbulnya ikterus, keluhan-keluhan prodromal secara berangsur akan berkurang,


kadang rasa malaise, anoreksia masih terus berlangsung, dan nyeri abdomen kanan atas
bertambah. Untuk deteksi ikterus, sebaliknya dilihat pada sklera mata. Lama
berlangsungnya ikterus dapat berkisar antara 1-6 minggu.

4. Fase Penyembuhan

Fase penyembuhan diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan keluhan,


walaupun rasa malaise dan cepat lelah kadang masih terus dirasakan,hepatomegali dan
rasa nyerinya juga berkurang. Fase penyembuhan lamanya berkisar antara 2-21 minggu

Hepatitis B kronik

Tabel 2. Kriteria Diagnosis Infeksi VHB

Kriteria Diagnosis Infeksi VHB


Hepatitis B Kronik
1. HBsAg seropositif > 6 bulan
2. DNA VHB serum >20.000 IU/mL (nilai yang lebih rendah
2000-20.000 IU/mL ditemukan pada HBeAg negatif)
3. Peningkatan ALT yang presisten maupun intermiten
4. Biopsi hati yang menunjukkan hepatitis kronik dengan derajat
nekroinflamasi sedang sampai berat
Pengidap Inaktif
1. HBsAg seropositif > 6 bulan
2. HBeAg (-), anti HBe (+)
3. ALT serum dalam batas normal
4. DNA VHB <2000-20000 IU/mL
5. Biopsi hati yang tidak menunjukkan inflamasi yang dominan
Resolved Hepatitis Infection
1. Riwayat infeksi Hepatitis B, atau adanya anti-HBc dalam darah
2. HBsAg (-)
3. DNA VHB serum yang tidak terdeteksi
4. ALT serum dalam batas norma

Kejadian hepatitis akut ditandai dengan peningkatan SGPT dan SGOT 10-20 kali dari
normal, dengan SGPT lebih tinggi dari SGOT. SGPT dan SGOT normal adalah < 42 U/L
dan 41 U/L. Pada hepatitis kronis kadar SGPT meningkat 5-10 kali dari normal

Penilaian derajat kerusakan hati dilakukan dengan pemeriksaan penanda biokimia antara
lain: ALT, GGT, alkali fosfatase, bilirubin, albumin dan globulin serum, darah lengkap,
PT, dan USG hati. Pada umumnya, ALT akan lebih tinggi dari AST, namun seiring
dengan progresifitas penyakit menuju sirosis, rasio ini akan terbalik. Bila sirosis telah
terbentuk, maka akan tampak penurunan progresif dari albumin, peningkatan globulin
dan pemanjangan waktu protrombin yang disertai dengan penurunan jumlah trombosit.

Penatalaksanaan Hepatitis B

Pada pasien dengan HBeAg positif, terapi dapat dimulai pada DNA VHB diatas
2x104 IU/mL dengan ALT 2-5x batas atas normal yang menetap selama 3-6 bulan atau
ALT serum > 5x batas atas normal, atau dengan gambaran histologis fibrosis derajat
sedang sampai berat. Sedangkan pada pasien HBeAg negative, terapi dimulai pada pasien
dengan DNA VHB lebih dari 2x103 IU/mL dan kenaikan ALT>2x batas normal yang
menetap selama 3-6 bulan.
Interferon

Interferon (IFN) adalah mediator inflamasi fisiologis dari tubuh berfungsi dalam
pertahanan terhadap virus. IFN-α konvensional adalah obat pertama yang diakui sebagai
terapi hepatitis B kronik sejak lebih dari 20 tahun yang lalu. Senyawa ini memiliki efek
antiviral, immunomodulator, dan antiproliferatif. Interferon akan mengaktifkan sel T
sitotoksik, sel natural killer, dan makrofag. Selain itu, interferon juga akan merangsang
produksi protein kinase spesifik yang berfungsi mencegah sintesis protein sehingga
menghambat replikasi virus.

Sebaliknya, interferon tidak boleh diberikan pada pasien dengan karakteristik:


1. Pasien sirosis dekompensata.
2. Pasien dengan gangguan psikiatri.
3. Pasien yang sedang hamil.
4. Pasien dengan penyakit autoimun aktif.

Lamivudin

Analog nukleos(t)ida bekerja dengan menghambat tempat berikatan polimerase virus,


berkompetisi dengan nukleosida atau nukleotida, dan menterminasi pemanjangan rantai
DNA. Lamivudin (LAM) diminum secara oral dengan dosis optimal 100 mg/ hari.
Pemberian satu kali sehari dimungkinkan mengingat waktu paruhnya yang mencapai 17-
19 jam di dalam sel yang terinfeksi Prediktor respon terapi dengan lamivudin adalah
kadar DNA VHB yang rendah dan ALT serum yang tinggi. Khusus untuk terapi
lamivudin dan telbivudin, terapi bisa mencapai hasil maksimal bila pasien memenuhi
kriteria yang ketat, yaitu DNA VHB <109 kopi/mL (2 x 108 IU/mL), status HBeAg
positif, dan ALT >2x batas atas normal
Algoritma Penatalaksanaan Hepatitis B dengan HBeAg negatif

HBeAg Negatif

DNA VHB ≥ 2 x 103 IU/mL


3
DNA VHB < 2x 10
IU/mL

ALT 1-2 x ALT > 2 batas


ALT Normal
ALT normal batas atas atas normal
normal

Tidak Tidak Pengobatan


Tidak diberikan diberikan bila
diberikan diberikan
pengobatan kenaikan ALT
pengobatan pengobatan
menetap
Pantau
Pantau Pantau > 3 bulan atau
DNA VHB dan
DNA VHB dan DNA VHB tedapat resiko
ALT
ALT dan dekompensasi
ALT

Surveillans KHS dengan Respon Tidak respon


USG maupun AFP/ 6 Pertimbangkan biopsi hepar atau
bulan bagi kelompok pemeriksaan fibrosis non invasive
resiko tinggi pada pasien ≥ 30 tahun atau < 30 Pantau untuk
tahun dengan riwayat KHS atau Pantau DNA
respon tertunda
sirosis dalam keluarga VHB dan ALT
atau
1-3 bulan
pertimbangkan
Bila terdapat inflamasi atau fibrosis setelah terapi
strategi terapi
derajat sedang atau lebih terapi
lain
Algoritma Penatalaksanaan Hepatitis B dengan HBeAg positif
HBeAg Positif

DNA VHB < 2x 103 DNA VHB ≥ 2 x 103 IU/mL


IU/mL

ALT normal ALT > 5 batas


ALT Normal ALT 1-2 x ALT 2-5 x
batas atas atas normal
batas atas
normal normal

Tidak Tidak
Tidak Terdapat indikasi
diberikan Pengobatan
diberikan mulai terapi
diberikan diberikan bila
pengobatan pengobatan Bila DNA VHB <2 x
pengobatan kenaikan ALT 105 IU/mL dan
Pantau Pantau menetap tidak ada tanda
Pantau DNA DNA > 3 bulan atau dekompensasi,
DNA VHB VHB,HBeAg VHB,HBeAg tedapat resiko bias dipantau 3-6
dan ALT dan ALT dan ALT dekompensasi bulan untuk
ALT timbulnya
serokonversi
spontan HBeAg
Pertimbangkan biopsi hepar atau
pemeriksaan fibrosis non invasive
Surveillans KHS dengan pada pasien ≥ 30 tahun atau < 30 Respon
Tidak respon
USG maupun AFP/ 6 tahun dengan riwayat KHS atau
bulan bagi kelompok sirosis dalam keluarga
resiko tinggi Pantau DNA
Bila terdapat inflamasi atau pertimbangkan
VHB ,HBeAg
fibrosis derajat sedang atau lebih strategi terapi
dan ALT 1-3
terapi lain
bulan setelah
terapi
Algoritma Penatalaksanaan Hepatitis B pada Pasien dengan Sirosis

Sirosis hati

Kompensata Dekompensata

Terapi suportif

DNA VHB < 2x 103 IU/mL DNA VHB ≥ 2 x 103 IU/mL Terapi dengan analog
nukleo(t)ida,
pertimbangkan
transplantasi

Pantau
ALT ≥ 5x batas atas
DNA VHB,HBeAg dan ALT
normal
setiap 3-6 bulan

Terapi dengan Terapi dengan


Surveillans KHS dengan analog nukleo(t)ida analog nukleo(t)ida
USG maupun atau interferon
AFP/ 6 bulan

2.4.7 Hepatitis
Dari hasil penelitian, diperoleh sampel pasien yang menderita Hepatitis yaitu
sebanyak 32 orang. Distribusi sampel yang menderita Hepatitis dalam penelitian ini dapat
dilihat pada diagram dan grafik dibawah ini.
2.4.7.1 Jenis Kelamin
Jumlah Penderita Hepatitis
Berdasarkan Jenis Kelamin

Laki-Laki
66% 12%
Perempuan
Ibu Hamil
22%

Gambar 4.26. Sebaran Penderita Hepatitis Berdasarkan Jenis


Kelamin

Diagram di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita Hepatitis


menurut jenis kelamin yaitu sebanyak 4 (12%) adalah pasien laki-laki, sedangkan pasien
perempuan yang menderita Hepatitis sebanyak 21 (66%) ibu hamil dan sebanyak 7
(22%) pada wanita muda.
2.4.7.2 Usia

Sebaran Penderita Hepatitis


35
30 ≤ 1 thn
30
1-4 thn
25
20 5-14 thn

15 15-44 thn
10 ≥ 45 thn
5 2
0
≤ 1 thn 1-4 thn 5-14 thn 15-44 thn ≥ 45 thn

Gambar 4.27. Sebaran Penderita Hepatitis Berdasarkan Usia


Diagram di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita Hepatitis
menurut usia yaitu sebanyak 30 orang pada usia 15-44 tahun, dan 2 orang pasien pada
usia ≥ 45 tahun.
2.4.7.3 Wilayah Tempat Tinggal
Sebaran Penderita Hepatitis
Berdasarkan Wilayah
18 17
16 Melayu
14 Jahab
12 11
Bukit Biru
10
8 Timbau
6
4 2 2
2
0
Melayu Jahab Bukit Biru Timbau

Gambar 4.28. Sebaran Penderita Hepatitis Berdasarkan Asal Wilayah Tempat Tinggal

Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita Hepatitis


menurut wilayah tempat tinggal pasien yaitu sebanyak 17 orang bertempat tinggal di
daerah Melayu, 2 orang di daerah Jahab, 2 orang di daerah Bukit Biru, dan 11 orang
penderita Hepatitis berasal dari Timbau.

2.4.7.4 Tipe

Jumlah Penderita Hepatitis


Berdasarkan Tipe

Hepatitis A
Hepatitis B
100 %
Hepatitis C
Suspek Hepatiitis
Gambar 4.29. Sebaran Penderita Hepatitis Berdasarkan Tipe

Grafik tersebut menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita Hepatitis


terbagi menjadi menurut tipe penyakit yaitu sebanyak 0 orang dinyatakan menderita
Hepatitis A 32 orang dinyatakan memiliki Hepatitis B, dan 0 orang didiagnosis sebagai
Suspek Hepatitis.

5. 6 Hepatitis
Istilah “hepatitis” dipakai untuk semua jenis peradangan pada sel-sel hati, yang
bisa disebabkan oleh infeksi (virus, bakteri, parasit), obat-obatan (termasuk obat
tradisional), konsumsi alkohol, lemak yang berlebih dan penyakit autoimminue (Infodatin
Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2014).

Menurut hasil Riskesdas tahun 2013 sebagaimana dalam gambar dibawah ini
bahwa jumlah orang yang didiagnosis Hepatitis oleh Tenaga Kesehatan berdasarkan gejala
– gejala yang ada, menunjukan peningkatan 2 kali lipat apabila dibandingkan dengan
tahun 2007. Lima provinsi dengan prevalensi Hepatitis tertinggi adalah Nusa Tenggara
Timur (4,3%), Papua (2,9%), Sulawesi Selatan (2,5%), Sulawesi Tengah (2,3%) dan
Maluku (2,3%).

Tabel. 5.3. Kejadian Luar Biasa (KLB) Hepatitis 2013


Sementara itu di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013) menemukan
bahwa prevalensi HBsAg adalah 7,2%. Angka ini lebih rendah bila dibandingkan dengan
data tahun 2007, yaitu 9,4% pada populasi umum.

Tabel tersebut menyebutkan telah terjadi di 3 Provinsi dan 4 kabupaten/ kota pada
tahun 2013 sejumlah 282 pada provinsi Kalimantan Timur dengan angka kematian 0
(Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2014). Angka insidensi
Hepatitis berdasarkan wilayah kerja Puskesmas Rapak Mahang adalah 32 per 100.000
penduduk (Angka IR=0,03 %). Hasil yang didapatkan dari penelitian pada Puskesmas
Rapak Mahang termasuk ke dalam angka-angka dengan nominal yang rendah
dibandingkan rata-rata nasional yaitu penemuan kasus Hepatitis di Kalimantan Timur
sebesar 282 per 100.000 / Angka IR(Index Rate) = 0,6 %. (Kmentrian Kesehatan RI,
2013). Sedangkan untuk Hepatitis C, D, dan E adalah 0. Angka kematian pada Puskesmas
Rapak Mahang adalah 0.
Kesimpulan:
Penderita hepatitis yang berobat di Puskesmas Rapak Mahang mayoritas berjenis kelamin
Ibu hamil yaitu sebanyak 21 orang (66%) dan, berusia dari 15-44 tahun sebanyak 30 orang
(94%), berasal dari kelurahan Melayu sebanyak 17 orang (33,33%), dan 32 orang (100 %)
menderita hepatitis B . Angka Insiden ( Angka IR) yang didapatkan dari penelitian pada
Puskesmas Rapak Mahang termasuk ke dalam angka nominal yang rendah dibandingkan rata-
rata nasional yaitu penemuan kasus Hepatitis di Kalimantan Timur

2.4.10 Rabies

Definisi

Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai semua
mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva. Penularan rabies biasanya
terjadi melalui gigitan hewan yang telah terinfeksi, pencemaran luka segar atau selaput lendir
dengan saliva atau otak hewan yang telah terinfeksi. Sistem yang diserang adalah sistem saraf
(clinical encephalitis) yang dapat bersifat paralitik/furious dan glandula salivarius (mengandung
sejumlah besar partikel virus yang berada di saliva).1

Perjalanan Penyakit Rabies

Virus rabies masuk ke dalam tubuh melalui luka atau kontak langsung dengan selaput
mukosa dengan rasio gigitan dan cakaran sebesar 50:1. Virus rabies membelah diri dalam otot
atau jaringan ikat pada tempat inokulasi dan kemudian memasuki saraf tepi pada sambungan
neuromuskuler. Setelah melewati medulla spinalis, virus bereplikasi pada motor neuron dan
ganglion sensoris, akhirnya mencapai otak.

Jika virus telah mencapai otak, maka ia akan memperbanyak diri dan menyebar kedalam
semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistim limbik,
hipotalamus, dan batang otak. Khusus mengenai system limbik dimana berfungsi erat dengan
pengontrolan dan kepekaan emosi. Akibat dari pengaruh infeksi sel-sel dalam sistim limbic
ini, pasien akan menggigit mangsanya tanpa ada provokasi dari luar.

Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral virus kemudian bergerak


ke perifer dalam serabut aferen dan pada serabut saraf volunter maupun otonom. Dengan
demikian, virus dapat menyerang hampir seluruh jaringan dan organ tubuh dan berkembang biak
dalam jaringan seperti kelenjar ludah. Virus rabies menyebar menuju multi organ melalui neuron
otonom dan sensorik terutama melibatkan jalur parasimpatis yang bertanggung jawab atas
infeksi pada kelenjar ludah, kulit, jantung, dan organ lain. Replikasi di luar sel saraf terjadi pada
kelenjar ludah, dan kornea.

Gejala Klinis:

Pada Manusia:

 Fase Prodromal Gejala tidak spesifik, demam dan di lokasi gigitan terasa gatal, nyeri, dan
kesemutan. Berlangsung beberapa hari, tidak lebih dari seminggu.
 Fase Neurologis Akut (klasik rabies) Terdiri dari 2 bentuk:
Ensefalitik : Hiperaktif, bingung, halusinasi, gangguan saraf kranial (III, VII, VIII),
stimulasi otonom (hipersalivasi, hiperlakrimasi, hiperhidrosis, dilatasi pupil, tekanan darah
labil, hilang kontrol suhu), spasme/ kejang akibat rangsang taktil, visual, suara, penciuman
(fotofobia: cahaya, aerofobia: udara, hidrofobia: air).
Paralitik: bersifat ascending, umumnya lumpuh dari ekstremitas yang digigit lalu ke seluruh
tubuh dan otot pernapasan. Gejala klinis mirip dengan sindrom Guillain-Barre (GBS).

 Fase Koma
Terjadi 1-2 minggu setelah fase neurologis akut. Umumnya kematian terjadi akibat aritmia
atau miokarditis.8-10

Pada Hewan:

 Ditandai anjing tidak menurut/mengenal pemiliknya, mudah terkejut, mudah berontak bila
diprovokasi, suka menggigit apa saja tanpa provokasi, beringas, menyerang manusia, air liur
banyak keluar, ekor dilengkungkan ke bawah perut, kejang-kejang lalu menjadi lumpuh.
Kematian umumnya disebabkan kelumpuhan pernapasan dalam 7-10 hari setelah gejala
prodromal.
Diagnosis

Diagnosis antemortem meliputi deteksi antigen (direct fluorescent antibody/ DFA, ELISA),
isolasi Lyssavirus (kultur sel), dan deteksi protein virus/ RNA (PCR, histopatologi). PCR
dilakukan pada sampel air liur, cairan serebrospinal, sekret pernapasan, air mata, biopsi kulit.
Isolasi virus sangat ideal tetapi butuh waktu lama. Pemeriksaan cairan serebrospinal pada
ensefalomielitis menunjukkan pleositosis dengan limfositosis, protein dapat sedikit meningkat,
dan glukosa umumnya normal. Pemeriksaan imaging seperti MRI dapat menilai ensefalitis.

Diagnosis pasti postmortem ditegakkan dengan adanya badan inklusi (Negri) di jaringan otak
pasien, meskipun hasil positif dijumpai pada kurang dari 80% kasus.

Penatalaksanaan

Pra-Pajanan

CDC dan WHO merekomendasikan pemberian vaksin pra-pajanan pada orang yang secara
kontinu bagi yang sering atau berisiko tinggi terpajan virus rabies.Kombinasi vaksinasi pra-
pajanan diikuti booster pasca-pajanan terbukti efektif. Pekerja yang terpajan virus rabies secara
kontinu dan sering, direkomendasikan untuk memeriksa antibodi berkala tiap 6 bulan dan bila
titer <0,5 IU/mL perlu booster dosis tunggal secara IM/ID dan yang tidak terpajan secara kontinu
dianjurkan untuk memeriksa antibodi berkala tiap 2 tahun.

Pasca-Pajanan

Hewan tersangka/rabies, meliputi: penanganan luka yang tepat, pemberian imunisasi


pasif (serum/ imunoglobulin), dan imunisasi aktif/ vaksinasi pasca-pajanan. Tidak ada
kontraindikasi untuk terapi pasca- pajanan, termasuk ibu hamil/menyusui, bayi, dan
immunocompromised. Pemberian vaksin anti-rabies (VAR) atau serum anti-rabies (SAR)
ditentukan menurut tipe luka gigitan.
Penanganan Luka Luka gigitan/jilatan segera dicuci dengan air mengalir dan
sabun/deterjen minimal 15 menit, dilanjutkan pemberian antiseptik (povidon iodine, alkohol
70%, dll).

Virus rabies umumnya menetap di sekitar luka selama 2 minggu sebelum mencapai ujung
serabut saraf posterior dan virus mudah mati dengan sabun/deterjen. Penjahitan luka dihindari
sebisa mungkin. Bila tidak mungkin (misalnya luka lebar, dalam, perdarahan aktif), dilakukan
jahitan situasi.12 Bila akan diberi SAR, penjahitan harus ditunda beberapa jam (>2 jam),
sehingga antibodi dapat terinfiltrasi ke jaringan dengan baik.

 Imunisasi Pasif

RIG (rabies immunoglobulin) atau SAR menetralkan langsung virus pada luka, memberi
perlindungan selama 7-10 hari sebelum antibodi yang diinduksi vaksinasi muncul. Pemberian
tidak diperlukan jika vaksinasi telah diberikan >7 hari sebelumnya. SAR dapat diberikan sekali
atau hingga hari ketujuh setelah vaksinasi. Dosis dihitung sesuai berat badan. SAR diinfiltrasi ke
dalam dan di sekitar luka, lalu sisanya diinjeksi secara IM pada ekstremitas yang terluka (deltoid
atau anterolateral paha).

 Imunisasi Aktif

Vaksinasi pasca-pajanan (post-exposure prophylaxis) diberikan dengan tujuan menginduksi


munculnya antibodi penetral rabies. Indikasi pemberian VAR adalah adanya kontak air liur
hewan tersangka/ rabies pada luka risiko tinggi, dan bila hewan penggigit tidak dapat
diobservasi. Pemberian dihentikan bila hewan penggigit tetap sehat selama observasi 14 hari atau
dari hasil pemeriksaan laboratorium negatif.

2.4.8 Rabies

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ditemukan pasien Rabies di Wilayah Kerja
Puskesmas Rapak Mahang namun pasien yang dicurigai (suspek) menderita suspek
terkena Rabies yaitu sebanyak 2 orang. Distribusi sampel yang penderita Suspek Rabies
dalam penelitian ini dapat dilihat pada diagram dan grafik dibawah ini.

2.4.8.1 Jenis Kelamin


Persentase Suspek Penderita
Rabies Berdasarkan Jenis Kelamin

100% Laki-Laki
(2 Orang )
Perempuan

Gambar 4.36. Presentase Penderita Suspek Rabies Berdasarkan Jenis Kelamin

Diagram di atas menunjukkanbahwa jumlah pasien yang menderita Suspek


Rabies menurut jenis kelamin yaitu sebanyak 2 orang (100%) pasien perempuan
sedangkan pasien laki-laki yang Suspek Rabies sebanyak 0 orang ( 0%) pasien.

2.4.8.2 Usia

Persentase Suspek Penderita


Rabies Berdasarkan Usia
1.2
< 5 thn
1
5-14 thn
0.8
15-44 thn
0.6
> 44 thn
0.4
0.2
0
< 5 thn 5-14 thn 15-44 thn > 44 thn

Gambar 4.37. Presentase Penderita Suspek Rabies Berdasarkan Kelompok Usia


Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita Suspek Rabies menurut
sebaran kelompok usia yaitu sebanyak 1orang pada usia 15-44 tahun, 1 orang pada usia >
44 tahun
2.4.8.3 Wilayah Tempat Tinggal
Penyebaran Penderita Suspek Rabies
Berdasarkan Wilayah
2.5

2 Melayu
Jahab
1.5
Bukit Biru

1 Timbau

0.5

0
Melayu Jahab Bukit Biru Timbau

Gambar 4.38. Sebaran Penderita Suspek Rabies Berdasarkan Wilayah


Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita Suspek Rabies menurut
wilayah tempat tinggal pasien yaitu sebanyak 0 orang berasal dari Timbau, 0 orang di daerah
Melayu, 0 orang dari daerah Bukit Biru, dan 2 orang terbanyak berasal dari Jahab.
2.4.8.4 Kejadian Perbulan

Persentase Kejadian Penderita


Suspek Rabies
1.5
1
0.5 Persentase Kejadian
0 Penderita Suspek
Rabies
Juli
Mei
Maret

Agustus

Desember
November
Januari

April

September
Febuari

Juni

Oktober

Gambar 4.39. Presentase Penderita Suspek Rabies Berdasarkan Kasus Perbulan

Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita Suspek Rabies
perbulannya paling banyak 2 kasus, yaitu pada bulan Maret dan Juni.

4.2.10.5 Penanggulangan Vaksinasi


Persentase Penanggulangan Vaksinasi
Terhadap Penderita Suspek Rabies

3
2.5
Vaksin VAR (+)
2
Vaksin VAR (-)
1.5
1
0.5
0

Suspek Rabies
Sembuh

Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita Suspek Rabies
menurut persentase vaksinasi yaitu sebanyak 2 orang yang tidak melakukan Vaksinasi,
dan Sebanyak 3 orang yang melakukan vaksinasi dinyatakan sembuh.

5.10 Rabies
Virus rabies dapat masuk ke dalam tubuh melalui luka atau kontak langsung
dengan selaput mukosa membelah diri dalam otot dan bereplikasi pada motor neuron dan
ganglion sensoris hingga akhirnya mencapai otak. Di Indonesia hewan penular utama
yaitu anjing sebesar 98%, moyet dan kucing sebesar 2%. Pada Tahun 2016 Terdapat
64.774 kasus GHPR (Gigitan Hewan Penular Rabies). Kasus GHPR paling banyak terjadi
di Bali yaitu 42.630 kasus, diikuti oleh Nusa Tenggara Timur yaitu sebanyak 7.386 kasus.
Berdasarkan gambar di atas terlihat penurunan Kasus GHPR pada Tahun 2012
sebanyak 84.750 kasus menjadi 80.403 kasus pada tahun 2015 dan menurun pada 2016
sebanyak 64.774 kasus . Sedangkan Kasus kematian akibat Rabies tertinggi (Lyssa) selama
3 tahun berturut-turut (2014,2015,2016) adalah Provinsi Sulawesi Utara yaitu 21 kasus.
Pada penelitian ini tidak ditemukan kasus Rabies namun hanya ditemukan 3 kasus
dugaan Suspek Rabies dalam 1 tahun ini (IR: 0). Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah Angka IR
(Insiden) Rabies di wilayah kerja puskesmas rapak mahang <1 per 1000 penduduk (0 %).
Sebagai tantangan Indonesia harus bebas Rabies tahun 2020 yang sejalan dengan target ASEAN
FREE RABIES: 2020 dan target dunia bebas Rabies 2030.
Kesimpulan:
a. Penderita Rabies tidak ditemukan di Wilayah Kerja Puskesmas Rapak Mahang, namun
ditemukan penderita dengan dugaan Suspek Rabies sebanyak 3 orang. Pada penelitian ini
tidak ditemukan kasus Rabies namun hanya ditemukan 3 kasus dugaan Suspek Rabies
dalam 1 tahun ini (IR: 0). Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah Angka IR (Insiden)
Rabies di wilayah kerja puskesmas rapak mahang <1 per 1000 penduduk (0 %)

4.10 Diabetes Melitus

Definisi

Diabetes melitus adalah penyakit keturunan dengan ciri kekurangan atau tidak terbentuknya
insulin yang sangat penting untuk metabolisme gula dan pembentukan glukosa menyebabkan kadar
gula dalam darah meningkat yang dapat mempengaruhi metabolisme tubuh secara
menyeluruh.Diabetes melitus adalah kelainan herediter dengan ciri-ciri insufiensi atau absennya
insulin dalam sirkulasi darah kousentrasi gula darah tinggi dan berlangsungnya glikogenesis
(Soegondo, dkk, 2009).

Klasifikasi Diabetes Mellitus


Patofisiologi

Secara garis besar pathogenesis DM Tipe 2 disebabkan oleh delapan hal berikut:
1 Kegagalan Sel Beta Pancreas:
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang.Obat Anti
diabetic yang bekerja melalui jalur ini adalah Sulfonilurea, Metiglitinid,GLP-1 agonis dan DPP-4
Inhibitor.
1 Liver :
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu gluconeogenesis
sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver (HGP= Hepatic Glucosa Production)
meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses
glukoneogenesis.
2 Otot :
Didapatkan gangguan fosforilasi tiroksin sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam
sel otot, penurunan sintesis glikogen, penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini
adalah metformin.

3 Sel Lemak :
Sel lemak resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan penigkatan proses
gluconeogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot.
4 Usus :
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin, pada DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1
dan resisten terhadap GIP. Saluan penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim alfa-glukosiasw
yang memecah polisakarida menjadi monosakarida berakibat meningkatkan gukosa darah setelah
makan. Obat yang bekerja menghambat enzim alfa-glukosidase adalah akarbose.
5 Sel Alpha Pancreas :
Sel-α berperan dalam sintesis glucagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma
akan meningkat saat keadaan puasa. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal
meningkat secara signifikan disbanding individu normal.
6 Ginjal :
Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi akan diserap kembali melalui SGLT-2 (
Sodium Glucose Cotransporter) pada bagian tubulus proksimal. 10% sisanya akan diabsorbsi
pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa akan dikeluark lewat
urine.
7 Otak :
Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang
terjadi di otak.

Manifestasi Klinis
Gejala yang terbentuk akibat diabetes gestasional sangat mudah dikenal seperti :
 Poliuria (penigkatan pengeluaran urin)
 Polidipsia (peningkatan rasa haus) akibat volume urin yang sangat besar
keluarnya air yang menyababkan dehidrasi ekstrasel.
 Rasa lelah dan kelemahan otot akibat katabolisme protin diotot dan ketidak-
mampuan sebagaian besar sel untuk menggunakan glukos sebagai energi.
 Polifosgia (peningkatan rasa lapar) akibat keadaan pancaabsorptif yang kroack, katabolisme
protein dan lemak dan kelaparan relatif sel-sel. Sering terjadi penurunan berat badan.

Diagnosis Diabetes
Gambar 2.2 Langkah-Langkah Diagnostik Diabetes Melitus dan toleransi
Glukosa Terganggu (Sumber : Perkeni, 2011)

Kadar Tes Laboratorium darah untuk diagnosis Diabetes dan prediabetes.


Diagram Prediksi Resiko WHO/ISH (Internationat Society Of Hypertension)

Penatalaksanaan Diabetes Melitus (DM)


Penatalaksanaan terpadu pada penderita DM meliputi 4 pilar utama, yaitu Edukasi, Diet atau
Perencanaan Makan, Latihan Jasmani, dan Penggunaan Obat Anti Diabetes atau Insulin (Perkeni,
2006).
1. Edukasi
Edukasi untuk mencapai pengelolaan diabetes yang optimal pada penyandang DM dibutuhkan
perubahan perilaku agar dapat menjalani pola hidup sehat meliputi:
a. Mengikuti pola makan sehat
b. Merningkatkan kegiatan jasmani
c. Menggunakan obat diabetes dan obat–obatan pada keadaan khusus secara
aman dan teratur
d. Melakukan pemantauan gula darah mandiri
e. Melakukan perawatan kaki secara berkala
f. Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadap keadaan sakit akut
seperti hipoglikemia
2. Diet atau Perencanaan Makan
Makanan dengan komposisi karbohidrat sampai 70 – 75 % masihmemberikan hasil yang baik.
Jumlah kandungan kolesterol disarankan < 300 mg/hari. Jumlah kandungan serat 25 g/hari,
diutamakan serat larut. Pasien diabetes dengan hipertensi perlu mengurangi konsumsi
garam.Jumlahkalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur ada tidaknya stress akut, dan
kegiatan jasmani.
3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan latihan jasmani teratur (3-4 kaliseminggu selama kurang
lebih 30 menit) merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan diabetes tipe 2. Latihan jasmani
sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.
4. Intervensi Farmakoogis
Intervensi farmakologik ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapaidengan
pengaturan makan dan latihan jasmani.

- Obat Hipoglikemi Oral (OHO)


Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 3 golongan :
a Pemicu sekresi insulin ( insulin secretagogue ) : sulfonilurea dan glinid
b Penambah sensitivitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion
c Penghambat absorbs glukosa : penghambat glukosidase alfa

Farmakologi DM Tipe 2
Profil Obat Antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia
Obat Antihiperglikemia Suntik

Indikasi Insulin :

 HbA1c > 9 % dengan kondisi dekompensasi metabolic

 Penurunan Berat Bdan yang cepat

 Hiperglikemia berat disertai ketosis

 Krisis Hiperglikemia

 Gagal denga kombinasi OHO optimal

 Stress berat ( Infeksi sistemik, operasi, Infark Miokard akut, Stroke)

 DM Gestasional

 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat


Jenis Kelamin

Penderita Diabetes Melitus


Berdasarkan Jenis Kelamin

(634) Laki-Laki
62%
Perempuan
(385)
38%

Gambar 4.18. Sebaran Penderita Diabetes Melitus Berdasarkan Jenis


Kelamin

Diagram di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita Diabetes


Melitus menurut jenis kelamin yaitu sebanyak 385 (38%) adalah pasien laki-laki,
sedangkan pasien perempuan yang menderita Diabetes Melitus sebanyak 634 (62%)
pasien.
2.4.8.5 Usia

Jumlah Penderita Diabetes Melitus


Berdasarkan Usia
1000 ≥ 45 thn, 882 ≤ 1 thn
900
800 1-4 thn
700 5-14 thn
600
500 15-44 thn
400 ≥ 45 thn
300
200 134
100 0 0 0
0
≤ 1 thn 1-4 thn 5-14 thn 15-44 thn ≥ 45 thn
Gambar 4.19. Sebaran Penderita Diabetes Melitus Berdasarkan Usia

Diagram di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita Tifoid


menurut usia yaitu sebanyak 0 orang pada usia ≤ 1 tahun, 0 orang pada usia 1-4 tahun, 0
orang pada usia 5-14 tahun, 134 orang pada usia 15-44 tahun, dan 882 orang pasien
pada usia ≥ 45 tahun.
2.4.8.6 Wilayah Tempat Tinggal

Sebaran Penderita Diabetes Melitus


Berdasarkan Wilayah
500
438
450
400 Melayu
350 Jahab
300 249 Bukit Biru
250 198 Timbau
200
150 Luar Wilayah
100 82
52
50
0
Melayu Jahab Bukit Biru Timbau Luar
Wilayah

Gambar 4.20. Sebaran Penderita Diabetes Melitus Berdasarkan Asal Wilayah Tempat Tinggal

Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang menderita Diabetes


Melitus menurut wilayah tempat tinggal pasien yaitu sebanyak 198 orang bertempat
tinggal di daerah Melayu, 52 orang di daerah Jahab, 82 orang di daerah Bukit Biru, 249
orang di daerah Luar Wilayah dan terbanyak penderita Diabetes Melitus yaitu 438 orang
dari kelurahan Timbau.

Diabetes Melitus
Diabetes melitus adalah penyakit keturunan dengan ciri kekurangan atau tidak
terbentuknya insulin yang sangat penting untuk metabolisme gula dan pembentukan glukosa
menyebabkan kadar gula dalam darah meningkat yang dapat mempengaruhi metabolisme tubuh
secara menyeluruh. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4
juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan ini menunjukan adanya
peningkatan jumlah penyandan DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2035.
World Health Organization (WHO, 2016) memperkirakan bahwa secara global, 422 juta
orang dewasa berusia di atas 18 tahun yang hidup dengan diabetes pada tahun 2014. Hal ini juga
didukung oleh data dari International Diabetes Federation (IDF) menyatakan bahwa terdapat 382
juta orang (175 juta diperkirakan belum terdiagnosis) di dunia yang menderita DM pada tahun
2013, dari jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 592 juta orang di tahun 2035
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia [Kemenkes RI], 2014).
Pada penelitian ini ditemukan kasus Diabetes Melitus 1.019 kasus dalam Hasil ini
menunjukkan bahwa jumlah Angka IR (Insiden) Diabetes Melitus adalah 3,7 % ( 1.019 per
2.753.491) di wilayah kerja puskesmas rapak mahang Hal ini menunjukan diatas rata-rata
perkiraan Diabetes Melitus pada tahun 2013 yaitu sebesar 2,3 %. Hal ini menjadi tantangan
Puskesmas Rapak Mahang untuk menurunkan angka kejadian Diabetes Melitus melalui program
PTM (Penyakit Tidak Menular )
Kesimpulan:

b. Penderita Diabetes Melitus yang berobat di Puskesmas Rapak Mahang mayoritas


berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 634 orang (62%), berusia ≥ 45 tahun
sebanyak 882 orang (87%), dan berasal dari kelurahan Timbau sebanyak 438 orang
(43%). Angka insidensi lebih tinggi dibandingkan dengan rujukan, Infodatin tahun
rujukan 2013.

Anda mungkin juga menyukai