BAB 1
PENDAHULUAN
berupa batuk, sesak nafas, bahkan dapat menyebar ke tulang, otak dan organ lainnya.
(Depkes,2000).
Saat ini jumlah kasus baru (incidence rate) dan kasus lama (prevalence rate)
usia harapan hidup, perlindungan kesehatan yang tidak memadai di banyak negara
Tuberkulosis yang kurang, ledakan jumlah kasus HIV, terutama di Afrika dan Asia,
Tuberkulosis (Wahyu, 2008). Selain itu kemiskinan berkaitan erat dengan gizi buruk
1
2
di dunia setelah Cina dan India yang berkontribusi > 50% dari seluruh kasus
Dalam Global situation and Trends Tahun 2014, WHO melaporkan terjadi
peningkatan jumlah penderita Tuberkulosis yaitu 9,6 juta orang telah terinfeksi, 5,4
juta orang (56%) diantaranya adalah laki-laki dan 3,2 juta (33%) adalah wanita dan 1
juta diantaranya adalah anak-anak (11%). Diperkirakan 1,1 juta orang diantaranya
terinfeksi HIV di tahun 2014. Dengan adanya kemajuan yang pesat dalam hal
menyelamatkan 43 juta jiwa sejak tahun 2000-2014. Berdasarkan kemajuan dan fakta
nyata bahwa penyakit ini dapat sembuh akan tetapi Tuberkulosis tetap merupakan
salah satu penyakit ancaman terbesar di dunia. Pada tahun 2014, angka kematian
akibat Tuberkulosis sebanyak 1.5 juta orang (74%) dengan HIV (-) dan (26%) dengan
HIV (+). Para Penderita Tuberkulosis ini terdiri dari 890.000 (58,9%) adalah laki-
laki, 480.000 (31,7%) adalah wanita dan 140.000 (9,2%) adalah anak-anak. Satu dari
kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis ekonomi, dan
belum adanya Sistem Jaminan Kesehatan yang bisa mencakup masyarakat luas secara
anak tidak menular. Pada Tuberkulosis anak, kuman berkembang biak di kelenjar
paru-paru, tidak terbuka. Tidak seperti pada orang dewasa, kuman berada di paru-
paru dan membuat lubang untuk keluar melalui jalan nafas. Pada saat batuk, percikan
Tuberkulosis dari orang dewasa yang berada di lingkungan sekitar mereka. Beberapa
tinggal dengan pasien Tuberkulosis dewasa lebih tinggi daripada infeksi Tuberkulosis
pada anak di populasi umum, dan mempunyai risiko mendapat infeksi lebih tinggi
(Rieder HL 1995).
15% dari seluruh kasus Tuberkulosis, sedangkan di negara maju, lebih rendah yaitu
4
diperkirakan jumlah kasus Tuberkulosis anak adalah 5%-6% dari total kasus
Tuberkulosis. Berdasarkan laporan tahun 1985, dari 1.261 kasus Tuberkulosis anak
berusia <15 tahun, 63% di antaranya berusia <5 tahun. Hasil penelitian di dua
Tuberkulosis anak dari tujuh rumah sakit Pusat Pendidikan Indonesia selama 5 tahun
dari 0%-14,1%. Kelompok usia terbanyak 12-60 bulan (42,9%), sedangkan bayi <12
bulan didapatkan 16,5%. Menurut Perez dkk 2004 mengatakan data pasti tentang
jumlah Tuberkulosis anak sulit di dapatkan tetapi diprediksi antara 11-15 % dari total
Tuberkulosis dewasa.( Perez-Velez CM, Marais BJ, 2012, Nelson LJ, Wells CD,
2004).
penduduk dan persentase kasus baru BTA + yang ditemukan sebesar 90% dan yang
disembuhkan 88%. Dengan beban Tuberkulosis yang masih sangat tinggi, khususnya
nomor satu penyakit menular dan merupakan peringkat 3 dalam daftar 10 penyakit
tahunnya. Sebagian besar penderita Tuberkulosis adalah usia produktif yaitu berkisar
15–55 tahun (Depkes RI, 2007). Jumlah kasus Tuberkulosis anak pada tahun 2009
mencapai 30.806 termasuk 1,865 orang (6 %) kasus BTA positif. Proposi kasus
beban Tuberkulosis adalah seperti gizi buruk, merokok, dan diabetes. (Kemenkes RI
DirJen PP&PL 2014). Hasil penelitian yang dilakukan Rukmini dan Chatarina
orang dewasa di Indonesia berdasarkan data Riskesdas tahun 2010 didapatkan faktor
kelompok umur 55–74 tahun mempunyai risiko yang lebih rendah (OR = 0,473)
besar risiko laki-laki untuk menderita Tuberkulosis 1,613, kali dibandingkan dengan
risiko orang yang tinggal pada rumah yang menggunakan energi penerangan yang
tidak sehat untuk menderita Tuberkulosis sebesar 1,804 x lebih besar dibandingkan
orang yang tinggal pada rumah yang menggunakan energi penerangan yang sehat
6
dengan status gizi, yaitu orang yang gizi kurang/buruk mempunyai risiko terkena
Tuberkulosis 2,101 kali lebih besar dibandingkan dengan yang gizi baik, (95% CI =
1,200–3,679, p = 0,009).
Tuberkulosis anak diantara semua kasus Tuberkulosis pada tahun 2010 adalah 9,4 %,
kemudian menjadi 8,5 % pada tahun 2011, dan 8,2 % pada tahun 2012. Data ini
menunjukkan adanya penurunan jumlah kasus pada tahun 2010-2012. Data per
provinsi , menunjukkan variasi proporsi dari 1,8% sampai 15,9 %. Hal ini
menunjukkan kualitas diagnosis Tuberkulosis anak yang masih sangat bervariasi pada
berlangsung di populasi. Masalah ini masih memerlukan perhatian yang lebih baik
penatalaksanaan kasus yang kurang tepat, pelacakan kasus yang belum secara rutin
tingkat pendidikan, kepadatan hunian rumah, luas ventilasi rumah. Serta determinan
yang paling besar pengaruhnya adalah tingkat pendidikan, kepadatan hunian rumah
dan pengetahuan.
dengan kejadian gizi buruk. Sebaliknya, gizi buruk menjadi faktor predisposisi
penyakit infeksi. (Gupta dkk, 2009). Prevalensi gizi buruk di Indonesia masih
terbilang cukup tinggi. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang
penurunan prevalensi gizi buruk secara nasional hanya sebesar 0,6% sementara target
penurunan yang ditetapkan untuk menurunkan gizi buruk secara nasional ialah
berkaitan dengan kasus gizi buruk pada anak, salah satunya adalah masalah penyakit
infeksi termasuk Tuberkulosis (Behrman, 2000). Hasil penelitian Robert J Blount dkk
(2007) di Vietnam utara di RS khusus Paru didapati 38% kasus Tuberkulosis anak
dengan status gizi buruk. Hasil penelitian Arsin dkk, 2012 didapatkan hasil Status
gizi pada penderita Tuberkulosis paling banyak yang memiliki status gizi kurang
(51,3%) dibandingkan yang memiliki status gizi normal (40,7%) dan gemuk (8,0%).
dengan BTA positif. Sedangkan risiko untuk sakit tergantung pada pertahanan tubuh;
salah satunya adalah imunisasi Baccilus Calmette et Guerrin (BCG) yang masih
dipertanyakan, umur, nutrisi, virulensi kuman, dosis infeksi, penyakit lain, dan
genetik. Pada anak tinggal serumah atau kontak erat dengan penderita Tuberkulosis
BTA positif berisiko besar untuk terinfeksi penyakit Tuberkulosis. Infeksi pada anak
serius, yang dapat menimbulkan kecacatan, dan kematian. (Herawati dkk, 2005).
Hasil penelitian Sutrisna dan Putrali yang memperoleh angka OR= 2,87, artinya anak
yang tidak diimunisasi BCG mempunyai peluang menderita Tuberkulosis berat 2,87
kali dibanding dengan yang di imunisasi BCG dan menyatakan ada hubungan yang
Menurut data riskesdas tahun 2007 dan 2013 penduduk Indonesia yang
didiagnosis Tuberkulosis paru oleh tenaga kesehatan di Indonesia masih diposisi yang
sama yaitu 0,4%. Lima provinsi dengan Tuberkulosis tertinggi adalah Jawa Barat,
Papua, DKI Jakarta, Gorontalo, Banten dan Papua Barat. Kasus Tuberkulosis paru di
Sumatera Utara berkisar 0,2 per 100.000 penduduk. Proporsi penduduk dengan
gejala Tuberkulosis paru batuk ≥ 2 minggu sebesar 3,9 persen dan batuk darah 2,8
dengan bertambahnya umur, pada pendidikan rendah, tidak bekerja. Dari seluruh
9
penduduk yang didiagnosis Tuberkulosis paru oleh tenaga kesehatan, hanya 44,4
kasus baru BTA (+) adalah sebesar 21,145 jiwa, dan hasil cakupan penemuan yaitu
hanya 17.459 kasus atau 82,57 %. Angka ini mengalami peningkatan dibandingkan
Pada tahun 2012 Provinsi Sumatera Utara mampu mencapai target nasional
untuk penangganan Tuberkulosis paru yaitu 70% hal ini mungkin disebabkan oleh
beberapa hal antara lain pendistribusian OAT (obat Anti Tuberkulosis) sudah bagus
strategi DOTS.
Masyarakat Provinsi Sumatera Utara, data pada tahun 2014 jumlah total kunjungan
di poli anak sebanyak 2704 orang. Pasien baru sebanyak 328 orang (12,1%) dan yang
pemeriksaan dari gejala klinis, uji foto toraks dan uji tuberkulin ditemukan
Tuberkulosis Paru BTA (+) sebanyak 73 orang (22,2%), Tuberkulosis Paru BTA (-)
sebanyak 18 orang (5,4%), dan Tuberkulosis Ekstra Paru sebanyak 9 orang (2,7%).
Sedangkan pada tahun 2015 ditemukan total kunjungan pada poli anak sebanyak 866
orang (19,1%) dari total kunjungan 4512 orang selama tahun 2015. Dan yang
10
keluhan/gejala klinis batuk, pemeriksaan BTA, uji tuberkulin dan Foto Rontgen yang
terdiagnosa sebagai Tuberkulosis paru BTA (+) baru sebanyak 100 orang (11,5%)
Tuberkulosis Paru BTA (-) baru 36 orang (4,1%), dan Tuberkulosis Ekstra Paru 43
orang (5 %).
kelompok berisiko, dan masih ditemukan kasus baru tuberkulosis pada anak di Unit
bahwa kasus Tuberkulosis pada anak masih cukup tinggi dan perlu dilakukan
Tuberkulosis pada anak usia 6-59 bulan yang dilakukan di UPT Kesehatan Paru
1.2 Permasalahan
Tingginya proporsi penyakit Tuberkulosis pada anak dan faktor risiko apa saja
yang berpengaruh terhadap kejadian Tuberkulosis pada anak usia 6-59 bulan di UPT
paru pada anak usia 6-59 bulan di UPT kesehatan Paru Masyarakat Provinsi Sumatera
1.4 Hipotesis
1. Ada pengaruh faktor karakteristik anak yang meliputi Status Gizi (Indeks
pada anak usia 6-59 bulan di UPT Kesehatan Paru Masyarakat Provinsi
Sumatera Utara.
penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan kepada Kepala UPT
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis
Koch pada tahun 1882. Hasil penemuan ini diumumkan di Berlin pada tanggal 24
Maret 1882 dan tanggal 24 Maret setiap tahunnya diperingati sebagai Hari
Sejenis bakteri berbentuk batang yang tahan asam (BTA) dengan ukuran panjang 1-
4/um dan ketebalan 0,3-0,6um, cepat mati dengan sinar matahari langsung (depkes,
2008).
Kuman ini telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia dan WHO telah
sebagian besar negara didunia, penyakit Tuberkulosis tidak terkendali sebagai akibat
16
15
Dalam laporan WHO tahun 2013 diperkirakan pada tahun 2012 terdapat
kesakitan dan kematian pada wanita akibat Tuberkulosis juga sangat tinggi.
Diperkirakan terdapat 2,9 juta kasus Tuberkulosis pada 2012 dengan jumlah
adalah 5,5% wanita dengan HIV positif. 50% dari orang dengan hiv positif yang
meninggal karena Tuberkulosis pada tahun 2012 adalah wanita. Proporsi kasus
global (530.000 per tahun) sedangkan kematian anak dengan status HIV negatif yang
menderita Tuberkulosis mencapai 74.000 kematian per tahun (8% dari total kematian
Kemiskinan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi dengan disparitas yang terlalu
sandang dan pangan yang buruk, pengangguran, tingkat pendidikan yang rendah,
pendapatan perkapita yang rendah, dan tidak memadainya komitmen politik dan
pendanaan. Tidak memadainya pelayanan Tuberkulosis dan tata laksana kasus dan
sistem kesehatan yang bisa mencakup masyarakat luas secara merata. Masalah gizi
buruk, merokok, dan peningkatan kasus penyakit tidak menular seperti DM dan juga
(Kemenkes,2014)
a. Paparan
Lingkungan yang tidak sehat (kumuh) sebagai salah satu reservoir atau tempat
yang berdiam dalam suatu rumah yang berhawa lembab di daerah endemis
percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi
b. Infeksi
17
Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6-14 minggu setelah infeksi. Kuman
Reaksi imunologi terjadi dimana hasil uji tuberkulin menjadi positif. Pada
umumnya lesi bisa sembuh total tanpa pengobatan, namun kuman dapat saja
bertahan hidup didalam lesi (dormant) pada suatu saat dapat aktif kembali.
Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum
penyembuhan lesi.
c. Menderita sakit
daya tahan tubuh seseorang. (Depkes, 2014) Beberapa penderita yang mengalami
penurunan daya tahan seperti malnutrisi, infeksi HIV, usia tua ada kemungkinan
Namun melalui aliran darah atau getah bening dapat menyebabkan terjadinya
secara masif melalui aliran darah dapat menyebabkan semua organ tubuh terkena
(Tuberkulosis milier).
d. Meninggal dunia.
18
diagnosis; pengobatan yang tidak adekuat; adanya kondisi kesehatan awal yang
buruk atau adanya penyakit penyerta seperti penyakit infeksi, malnutrisi, dan
risiko akan meningkat lebih tinggi pada pasien dengan HIV positif. Pengobatan
yang tidak teratur dan kombionasi obat yang tidak lengkap dimasa lalu, diduga
a. Aspek klinis
batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih; 2) dahak bercampur darah; 3) batuk
malam hari tanpa kegiatan fisik; 8) demam meriang lebih dari satu bulan. Menurut
strategi yang baru DOTS (directly observed treatment shortcourse), gejala utamanya
adalah batuk berdahak dan/atau terus-menerus selama tiga minggu atau lebih.
Gejala lainnya adalah gejala tambahan. Dahak penderita harus diperiksa dengan
BTA positif dan pada keluarga yang menunjukkan gejala sama, harus diperiksa
19
dahaknya. (Depkes RI, 2008). Pada anak-anak, batuk bukan merupakan gejala utama
anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor yang dilakukan dokter
overdiagnosis Tuberkulosis. Adanya riwayat Seorang anak kontak erat dengan pasien
Tuberkulosis pada anak seperti : Berat badan yang turun selama 3 bulan berturut-
turut tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan
penangganan gizi yang baik, Demam lama (> 2 minggu dan atau berulang tanpa
sebab yang jelas disertai keringat malam. Demam tidak sfesifik, Batuk lama >3
minggu. Tidak ada nafsu makan, Nafsu makan tidak ada atau berkurang lesu atau
malaise, sehingga anak kurang aktif bermain dengan kawan. Diare persisten/menetap
> 2 minggu yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare tidak bisa diandalkan
sebagai diagnosis Tuberkulosis pada karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh
Selanjutnya perlu dibuktikan apakah anak telah tertular kuman Tuberkulosis dengan
melakukan uji Tuberkulin. Uji Tuberkulin positif menandakan bahwa anak telah
tertular atau kuman sudah masuk kedalam tubuh anak. Gejala spesifik terkait organ
20
yang terkena Tuberkulosis tergantung pada jenis organ yang terkena, misalnya
kelenjar linfe, susunan saraf pusat, tulang dan kulit seperti : Tuberkulosis kelenjar
In); f) lain-lain.
a. Upaya pencegahan
pengendalian Tuberkulosis sejak tahun 1995. Fokus utama DOTS adalah penemuan
menular. Strategi ini diharapkan dapat memutuskan mata rantai penularan dan
Prinsip pencegahan pada anak difokuskan pada semua anak yang tinggal serumah
Izoniazid. Karena 50-60 % anak yang tinggal serumah dengan penderita Tuberkulosis
dewasa dengan dahak BTA positif akan terinfeksi juga. Kira-kira 10 % dari jumlah
tersebut akan mengalami sakit Tuberkulosis. Infeksi Tuberkulosis pada anak kecil
kombinasi dari Model teori epidemiologi yang dibuat J gordon, bahwa penularan
penyakit infeksi dipengaruhi oleh interaksi tiga faktor yaitu Faktor Penjamu (host) ,
agent dan environment. Sehingga perlu adanya keseimbangan dari ketiga faktor
tersebut untuk mencegah penyebaran penyakit Tuberkulosis baik pada orang dewasa
kemerdakaan sudah dilakukan. Setelah perang dunia kedua , secara terbatas telah di
pengobatan pasien dilakukan secara rawat inap. Walaupun pada saat itu WHO telah
Tuberkulosis yang baru saja ditemukan yaitu INH, PAS, dan streptomisin serta
metode pengobatan pasen dengan pola rawat jalan. Di era tahuin 1960-1970 awal
sakit sebagai pusat rujukan untuk penangganan kasus-kasus yang sulit. Sejak tahun
1977 pengobatan jangka pendek (6 bulan) dengan menggunakan paduan OAT mulai
menunjukkan hasil yang bermakna sampai saat ini. Evaluasi yang dilakukan melalui
Tuberkulosis.
Upaya yang dilakukan sebagai berikut yaitu penurunan angka kesakitan dan
kematian akibat Tuberkulosis sampai 50% di tahun 2015 jika dibandingkan dengan
data tahun 1990; peningkatan jumlah temuan kasus dan keberhasilan pengobatan,
rendahnya angka kekebalan obat diantara kasus Tuberkulosis baru; dan masuknya
23
standar pengobatan Tuberkulosis sebagai salah satu komponen akreditasi rumah sakit
standar dan menghindarkan pasien dari Tuberkulosis MDR (Multi drug Resistece)
diberikan pada anak yang kontak Tuberkulosis (profilaksis primer) atau anak yang
dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai monoterapi; 2) Pemberian gizi yang
kembali dengan keluhan gejala Tuberkulosis, perlu dievaluasi apakah anak tersebuT
dahak ataupun melalui sistem skoring. Apabila hasil peneriksaan dahak menunjukkan
hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus kambuh. Pasen Tuberkulosis
yang pernah mendapat pengobatan tidak dianjurkan untuk diulang uji tuberkulin.
24
pada Anak
Faktor risiko untuk infeksi berbeda dengan faktor risiko menjadi sakit
tersebut dibagi menjadi faktor risiko infeksi dan faktor risiko progresifitas infeksi
1. Anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan Tuberkulosis aktif (kontak
Tuberkulosis positif ),
2. Daerah endemis,
3. Kemiskinan,
6. Kekebalan. Sistem kekebalan tubuh bayi dan anak belum sempurna. Karena itu,
bayi dan anak-anak lebih rentan terinfeksi dan terserang berbagai penyakit
25
imunisasi BCG segera setelah bayi dilahirkan dapat menghindarkan bayi dan
anak dari penyakit Tuberkulosis yang berat seperti Tuberkulosis milier dan
mampu menberikan perlindungan sebesar 80% pada bayi atau anak selama 15
tahun bila tepat waktu usia vaksinasi. Walaupun vaksinasi BCG tidak dapat
menjamin seratus persen bayi atau anak untuk tidak tertular penyakit
3. Satu kamar dengan penderita Tuberkulosis di malam hari terutama bila satu
tempat tidur.
Gambia mendapatkan bahwa prevalensi uji tuberkulin positif pada anak laki laki dan
perempuan tidak berbeda sampai adolesen, setelah itu lebih tinggi pada anak laki laki.
Hal ini diduga akibat dari peran sosial dan aktivitas sehingga lebih terpajan pada
lingkungan, atau karena secara bawaan lebih rentan, atau adanya faktor predisposisi
Tuberkulosis merupakan faktor risiko utama, dan makin erat kontak makin besar
1. Usia.
Anak berusia <5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi
secara bertahap seiring dengan pertambahan usia. Pada bayi yang terinfeksi
Tuberkulosis 43% diantaranya akan menjadi sakit Tuberkulosis, pada usia 1-5
tahun menjadi sakit 24%, usia remaja 15%, dan dewasa 5-10%. Anak berusia
dari infeksi menjadi sakit Tuberkulosis selama satu tahun pertama setelah
infeksi, terutama selama 6 bulan pertama. Pada bayi, rentang waktu antara
terjadi infeksi dan timbul sakit Tuberkulosis singkat (kurang dari 1 tahun) dan
Faktor risiko berikutnya adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya
konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam satu tahun terakhir.
pada bayi dan anak baik tingakatan ringan, sedang, dan berat. Buruknya
kualitas gizi bayi dan anak dapat disebabkan beberapa faktor yaitu : faktor
berkualitas.
makanan dan banyak cara lain lagi. Secara umum, defisiensi gizi sering
merupakan awal dari gangguan sistem kekebalan. Gizi kurang dan infeksi,
kedua-duanya dapat bermula dari kemiskinan dan lingkungan yang tidak sehat
infeksi. Kuman-kuman yang kurang berbahaya bagi anak dengan gizi baik, bisa
menyebabkan kematian pada anak-anak dengan gizi buruk. (Santoso dan Ranti,
2013)
Kategori dan ambang batas status gizi anak berdasarkan indeks SK Menkes
dibawah ini:
ginjal kronik. Pada infeksi HIV, terjadi kerusakan sistem imun sehingga kuman
oleh infeksi HIV dan diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 14% pada
tahun 2000. Angka kejadian Tuberkulosis yang telah menurun pada awal abad
ke-20 kembali meningkat pada akhir tahun 1980. Hal tersebut terjadi bersamaan
resistance =MDR), bahkan sekarang sudah terjadi resistensi obat yang ekstrim
Tuberkulosis.
berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya dan aspek lainnya. Menurut
30
Badan Pusat Statistik Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret
Berdasarkan data yang ada pada periode september 2014- maret 2015 terjadi
kemiskinan.
62,8%
dan Jamkesda (9,6%). Hal ini mendukung kurang terpenuhinya akses pelayanan
Kerangka pikir dari penelitian ini mengutip konsep faktor risiko kejadian Tuberkulosis
(Depkes RI, 2008) faktor risiko dan keseimbangan faktor epidemiologi (John Gordon,
timbulnya suatu penyakit. Faktor pejamu dalam penelitian ini adalah karakteristik
Individu (umur, jenis-kelamin, tempat tinggal, kekebalan/imunitas, dan status gizi), sosial
32
fasilitas kesehatan), dan penyakit penyerta (malnutrisi, dan infeksi). Faktor lingkungan
adalah sanitasi rumah (ventilasi, kelembaban, pencahayaan, padat hunian) dan paparan
Tuberkulosis).
keterbatasan penelitian tidak semua faktor risiko di teliti, maka kerangka konsep yang
Karakteristik anak
Status gizi
Keadaan imunokompromais
Status imunisasi BCG
Kejadian
Karakteristik Ibu Tuberkulosis pada
Pendidikan anak usia 6 – 59
Pekerjaan bulan
Pendapatan keluarga
Kerangka konsep adalah kerangka hubungan antara konsep atau variabel yang
akan diteliti. Variabel adalah karakteristik yang melekat pada populasi, bervariasi
antara satu orang dengan yang lainnya dan diteliti dalam suatu penelitian. Variabel
Independen dalam penelitian ini adalah karakteristik anak (status gizi, keadaan
pendapatan), dan faktor lingkungan tempat tinggal (Riwayat kontak dengan penderita
BAB 3
METODE PENELITIAN
case kontrol, untuk mempelajari faktor risiko kejadian Tuberkulosis pada anak usia 6-
Terpapar Faktor
Risiko Anak usia 6 – 59
retrospekti bulan menderita Kasus
f Tuberkulosis
Tidak Terpapar
Faktor Risiko
Terpapar Faktor
Risiko Anak usia 6-59 bulan
tidak menderita Kontrol
retrospekti
f Tuberkulosis
Tidak Terpapar
Faktor Risiko
Pada Gambar 3.1 dapat dilihat bahwa penelitian ini meneliti dan
dengan TB (-) (bukan penderita tuberkulosis) di masa lalu dan saat penelitian.
35
35
3.2.1 Lokasi
Sumatera Utara. Alasan pemilihan tempat atas pertimbangan bahwa UPT Kesehatan
Paru Masyarakat Provinsi Sumatera Utara ini merupakan pusat pelayanan penyakit
Tuberkulosis pada anak usia 6 – 59 bulan dan sesuai hasil survei pendahuluan
diperoleh data anak yang berkunjung ke poli anak di UPT Kesehatan Paru
Masyarakat Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2015 mencapai 4512 orang.
oleh Dokter, yang berusia 6-59 bulan dan tercatat di Medical Record di UPT
TB (-) dalam penelitian ini adalah pengunjung rawat jalan berusia 6-59 bulan
Populasi kasus pada penelitian ini adalah seluruh penderita yang dinyatakan
Tuberkulosis yang berusia 6-59 bulan dan tercatat di Medical record di UPT
Kesehatan Paru Masyarakat Provinsi Sumatera Utara . Kriteria inklusi kasus dalam
Tuberkulosis berdasarkan diagnosis foto torak, uji tuberkulin positif analisa darah
Populasi kontrol diperoleh dari kunjungan di Poli Anak UPT Kesehatan Paru
Masyarakat Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, yang berusia 6-59 bulan,
dengan kriteria ekslusi adalah a) Pasen baru yang belum didagnosis dan masih
rumus untuk kategorik tidak berpasangan pada studi case kontrol tidak berpasangan
[ ]
2
Zα √ 2 PQ + Zβ √ P1 Q 1 + P2 Q2
n1 =n2 =
P1 −P2
Keterangan :
n = besar sampel
Q2 = 1-P2
P1 +P2
P = Proporsi total = 2
Q=1–P
[ ]
2
1,96 √2(0,25 x0,75) + 0,84 √(0,4 x 0,6 )+(0,1 x0,9)
n1=n2=
0,4−0,1
[ ]
2
1 ,77
n1 =n2 =
0,3 = 5,912 = 34,9 dibulatkan 35
38
datang berurutan pada poli rawat jalan yang memenuhi kriteria inklusi, sampai
dengan jumlah sampel kasus terpenuhi. Sampel kontrol diambil dari register
Data dalam penelitian ini adalah data primer dan skunder. Data primer yang
dikumpulkan berupa : data faktor risiko yang dilakukan dalam beberapa cara, yaitu
wawancara, pengukuran, observasi, dengan hasil data yang dikumpulkan seperti yang
3.6.1 Wawacara
untuk mendapatkan gambaran karakteristik responden dan ibu kandung, yaitu dengan
risiko seperti: karakteristik anak yaitu Umur anak, jenis kelamin anak, keadaan
39
3.6.2 Pengukuran
untuk memperoleh data luas ventilasi dan luas ruangan, sekaligus mengukur
kepadatan hunian dalam rumah. Penimbangan berat badan merek Yamamoto Giken
dengan tingkat ketelitian akurasi per gram untuk mendapatkan berat badan
responden, serta meteran dan mistar untuk mengukur tinggi badan responden.
3.6.3 Observasi
memastikan data tentang ada tidaknya ventilasi/jendela kamar tidur, dan kepadatan
hunian dalam ruangan kamar tidur, sedangkan untuk status imunisasi BCG yaitu
dengan melihat tanda scar imunisasi BCG pada lengan kanan atas anak saat
diwawancara.
diperoleh dari medical record UPT Kesehatan Paru Masyarakat Provinsi Sumatera
Utara.
Terbagi 2 yaitu :
Variabel Dependen adalah kejadian Tuberkulosis pada anak usia 6-59 bulan
40
tempat tinggal (Riwayat kontak dengan penderita Tuberkulosis dewasa, ventilasi, dan
anak usia 6-59 bulan di UPT Kesehatan Paru Masyarakat Provinsi Sumatera Utara
tahun 2016.
1. = menderita tuberkulosis.
- Indeks BB/U
0 = tidak berisiko jika gizi baik bila ambang batas Z Skore -2 SD s/d > 2
SD
1 = berisiko jika gizi kurang bila ambang batas Z Skore -3 SD s/d < -2 SD
- Indeks TB/U
0 = tidak berisiko jika normal bila ambang batas Z Skore -2 SD s/d > 2 SD
dengan kategori :
imunokompromais
dan observasi melihat tanda scar pada lengan atas, dengan kategori :
43
0 = tidak berisiko bila telah mendapat imunisasi BDG dan ada tanda scar
di lengan atas
1 = berisiko bila tidak tanda scar di lengan atas walaupun menurut Ibu
0 = tidak bekerja
1 = bekerja
0 = tidak berisiko jika tidak ada individu yang tinggal serumah dengan
kerumah responden dan mengukur luas ventilasi dan luas lantai dengan
kriteria memenuhi syarat bila luas ventilasi ≥ 10% dari luas lantai ruangan.
Dikategorikan:
10. Untuk menentukan kepadatan hunian dalam rumah dapat dilakukan dengan
mengukur luas kamar tidur tempat tinggal dan dibandingkan dengan jumlah
a. Pengolahan data
yaitu meliputi editing, coding, scoring, entry data, dan tabulasi data.
b. Analisis data
45
Analisis data dilakukan dengan 2 proses yaitu analisis deskriptif dan analisis
Analisis bivariat dilakukan dengan tabel silang 2x2 untuk menghitung nilai
crude Odds Ratio (OR) dan nilai confidence interval (CI). Hipotesis statistik
faktor risiko. Uji statistik yang digunakan adalah uji chi-square dengan
menggunakan uji regresi logistik, dengan melihat hasil analisis bivariat yang
ratio (OR).
46
kejadian Tuberkulosis pada anak yang dapat dicegah dapat dilihat pada
persamaan berikut :
BAB 4
HASIL PENELITIAN
bernama Balai Pemberantasan Penyakit Paru-paru (BP4) berdiri sejak tahun 1937
pemeriksaan serta pengobatan penyakit paru lainnya. Sejak otonomi daerah dan
sesuai dengan SK Gubernur Sumatera Utara No. 061-437.K/2002, maka BP4 berubah
Pemerintah provinsi Sumatera Utara yang berada dibawah dan bertanggung jawab
masing-masing dari variabel dalam penelitian ini yang meliputi umur, jenis
Tahun 2016
48
yaitu (51,4%) dan pada TB (-) mayoritas pada kelompok usia 6-22 bulan
mayoritas berjenis kelamin perempuan pada TB (+) yaitu 57,1% dan pada TB
(-) 65,7%, karakteristik status gizi responden menurut indeks BB/U pada TB
karakteristik status gizi menurut indeks TB/U pada TB (+) mayoritas berstatus
(91,4%) dan pada TB (-) 31 orang (88,6%) sedangkan yang memiliki Keadaan
anak telah mendapat imunisasi BCG pada TB (+) 32 orang (91,4%) dan pada
TB (-) 33 orang (94,3%) dan yang tidak diberikan imunisasi BCG pada kasus 3
berpendidikan Tinggi atau dengan latar belakang pendidikan lulusan SMK/SLA dan
Sarjana pada TB (+) 25 orang (71,4%) dan TB (-) yaitu 29 orang (82,8%).
(8,6%). Pekerjaan Ibu Responden, mayoritas Ibu tidak bekerja yaitu pada TB (+) 27
orang (77,1%) dan pada TB (-) yaitu 29 orang (82,9%). Karakteristik Pendapatan
pada TB (+) yaitu 25 orang (71,4 %) dan pada TB (-) yaitu 18 keluarga (51,4%).
Berdasarkan tabel 4.8 diatas diketahui mayoritas responden pada TB (+) pernah ada
sedangkan pada TB (-) mayoritas tidak ada riwayat kontak serumah dengan penderita
tuberculosis dapat terjadi dari keluarga dan orang-orang yang dekat dengan anak.
dewasa pada TB (+) terjadi dari keluarga inti yaitu dari kakek/nenek, ayah/ibu serta
saudara kandung dari ayah ataupun ibu yang pernah tinggal serumah sebanyak 15
orang (52%), dan yang bukan dari keluarga inti seperti Pembantu 10 orang (35%) dan
perkiraan dari tetangga tempat anak sering dititipkan atau bermain 4 orang (14%).
Pada TB (+) mayoritas memiliki ventilasi yang tidak memenuhi syarat yaitu 28 orang
( 80%) sedangkan pada TB (-) mayoritas memiliki ventilasi yang sesuai syarat
pada TB (+) ditemukan rumah tempat tinggal anak dan keluarga yang tidak memiliki
ventilasi kamar tidur sebanyak 15 rumah (53%), memiliki ventilasi tapi tidak sesuai
syarat (<10% dari ukuran lantai) sebanyak 6 rumah (22%), ada ventilasi tapi berupa
lubang angin saja sebanyak 3 rumah (11%). Berdasarkan Kepadatan hunian dalam
rumah anak pada TB (+) mayoritas tinggal dalam padat hunian yaitu 25 orang
(71.4%) sedangkan pada TB (-) mayoritas tidak padat hunian yaitu 21 orang (60%)
52
karakteristik anak (status Gizi Indek BB/U dan Indeks TB/U, Keadaan
(Pendidikan Ibu, Pekerjaan Ibu, dan pendapatan keluarga) dan faktor lingkungan
tempat tinggal anak terhadap Kejadian Tuberkulosis pada anak usia 6-59 bulan.
Analisis dilakukan dengan menggunakan uji Chi Square dengan derajat kepercayaan
95% (p=0,05) pada uji continuity correction (tabel 2x2) dan melihat nilai Odds Ratio
(OR) nya
Hasil analisis bivariat pada penelitian ini disajikan pada tabel berikut ini :
Mendapat BCG
Jumlah 35 100 35 100
Pendidikan Ibu
Rendah 7 20 3 8,6
0,306 0,375 0,088 – 1,590
Tinggi 28 80 32 82,9
Jumlah 35 100 35 100
Lanjutan tabel 4.3
Pekerjaan Ibu
Bekerja 8 22.9 6 17.1
0,765 1,432 0,440 – 4,666
Tidak bekerja 27 77.1 29 82.9
Jumlah 35 100 35 100
Pendapatan keluarga
Kurang dari Rp 1.650.000 10 28,6 17 48,6
0,261 0,424 0,158 – 1,138
Lebih dari Rp 1.650.000 25 71,4 18 51,4
Jumlah 35 100 35 100
Riwayat Kontak dengan
Penderita TB dewasa
Ada 29 82,9 9 25,7 <0,001 7,963 4,374 – 44,573
Tidak Ada 6 17,1 26 74,3
Jumlah 35 100 35 100
Ventilasi
memenuhi syarat 20 80 15 61,4
0,003 5,333 1,839-15,471
Tdk memenuhi syarat 7 20 20 38,6
Jumlah 35 100 35 100
Kepadatan Hunian
Padat 25 71,4 14 40
0,016 3,750 1,383-10,169
Tidak padat 10 28,6 21 60
Jumlah 35 100 35 100
Berdasarkan Tabel 4.5 diatas diketahui variabel Status Gizi indeks BB/U dan
Kepadatan Hunian memiliki nilai p < 0,05. Dan memiliki nilai OR > 1. Sedangkan
Nilai OR yang diperoleh dari hasil analisis bivariat tidaklah murni sebagai
faktor risiko, namun masih ada pengaruh dari variabel counfounding, sehingga
perlu dilakukan uji statistik dalam uji multivariat untuk melihat faktor risiko yang
54
paling berpengaruh terhadap kejadian TB pada anak usia 6-59 bulan di UPT
Kesehatan Paru Masyarakat Dinas Kesehatan Provinsi Sumatra Utara tahun 2016.
menganalisis data adalah analisis regresi logistik ganda. Analisis regresi logistik
ganda adalah alat statistik yang kuat untuk menganalisis hubungan atau pengaruh
antara paparan dan penyakit yang diukur secara serentak mengontrol pengaruh
logistik ganda adalah untuk memperoleh model prediksi yang paling sesuai untuk
Variabel yang dimasukkan dalam uji regresi logistik adalah variabel yang
mempunyai nilai p <0,25 yang diseleksi dengan melihat p value pada bagian blok
hasil omnibus test. Dimana hasil seleksi variabel dapat dilihat pada tabel 4.20
berikut.
Tabel 4.5 Hasil Seleksi Variabel Yang Dapat Masuk Dalam Model
Regresi Logistik
Nilai
No Variabel P Value Pemodelan
ketetapan
55
yaitu Status gizi (indek BB/U dan TB/U), Riwayat Kontak dengan penderita
dapat dimasukkan kedalam model adalah : Status Imunisasi BCG, Pekerjaan Ibu,
Pendapatan Keluarga, hal ini disebabkan karena variabel ini memiliki nilai
p>0,25
Berdasarkan tabel 4.7 dari analisis pemodelan pertama, variabel status gizi
sehingga variabel tersebut dikeluarkan dari model regresi logistic ganda pada
pemodelan kedua yang dimulai dari nilai p value paling besar pada tabel
berikutnya.
Berdasarkan tabel 4.8 analisis pemodelan kedua Regresi Logistik Ganda, variabel
Status Gizi berdasarkan indek BB/U dan TB/U, dan Riwayat Kontak Serumah
Tuberkulosis pada anak usia 6 – 59 bulan dengan nilai p=<0,05. Sedangkan variabel
pada anak usia 6 – 59 bulan dengan nilai p>0.05 sehingga variabel tersebut
Berdasarkan tabel 4.9 menunjukkan bahwa seluruh variabel yaitu Status Gizi
berdasarkan indeks BB/U, Status Gizi indeks TB/U, dan Riwayat Kontak Dengan
pada anak usia 6 – 59 bulan dengan nilai p=<0,05. Dari analisis ini maka variabel
yang paling dominan berpengaruh terhadap terjadinya Tuberkulosis pada anak usia 6
dengan nilai (p=<0.001; OR=8.363 dengan 955 C.I 4.945 – 24.369) artinya
responden yang ada riwayat Kontak serumah dengan Penderita Tuberkulosis Dewasa
8.363 kali dibandingkan dengan responden yang tidak ada riwayat Kontak serumah
usia 6-59 bulan dapat dicegah maka dapat dihitung dengan melihat nilai PAR
sebagai berikut :
PAR = 62%
Artinya, sebesar 0,62 (sekitar 62% kasus Tuberkulosis pada anak usia 6 – 59 bulan
dapat dicegah dengan menghilangkan faktor risiko riwayat Kontak Serumah dengan
Penderita Tuberkulosis Dewasa yang tidak diobati ataupun pengobatan yang tidak
tuntas. Faktor risiko Kontak Serumah dengan Penderita Tuberkulosis Dewasa dapat
dapat dicegah dengan menghindari faktor risiko lain yang dapat dimodifikasi seperti
Peningkatan status gizi anak, lingkungan tempat tinggal yang memenuhi syarat
seperti luas ventilasi > 10 % dari luas lantai ruangan dan memaksimalkan cahaya
59
BAB 5
PEMBAHASAN
5.1 Pengaruh Status Gizi (berdasarkan Indeks BB/U dan Indeks TB/U)
terhadap kejadian Tuberkulosis Pada Anak Usia 6 – 59 bulan.
dan lain-lain akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan
yang berpengaruh dinegara miskin baik pada orang dewasa maupun pada
Defisiensi zat gizi ataupun keadaan malnutrisi sering merupakan awal dari
penyakit infeksi pada anak. Gangguan gizi dan infeksi sering saling
anak dengan gizi baik, bisa menyebabkan kematian pada anak-anak dengan
67
61
gizi buruk apalagi bila kuman yang berbahaya akan sangat fatal pengaruhnya
Penyebab utama dari kekurangan gizi dan malnutrisi adalah karena asupan
gizi yang tidak seimbang baik dari kualitas dan kuantitas, bisa juga karena
(Notoatmodjo, 2007).
Faktor status gizi dalam penelitian ini berdasarkan indeks BB/U pada
TB (+) diketahui terdapat 28 anak yang berstatus gizi kurang (75,7%) dan 7
anak yang berstatus gizi baik (21.2%). Hasil analisis tabulasi silang diperoleh
nilai p=<0.001 maka dapat disimpulkan ada pengaruh yang bermakna antara
balik antara kekurangan gizi dan morbiditas penyakit infeksi yaitu kekurangan
Hasil uji regresi logistik ganda faktor status gizi berdasarkan Indek
BB/U yang diukur bersama-sama dengan faktor risiko yang lain yang
62
peluang 5 kali lebih besar daripada berstatus Gizi baik ( nilai OR = 5,296; 95
karena variabel ini memiliki interpretasi nilai OR > 1 maka Status gizi
ada Pengaruh Status Gizi pada terhadap kejadian Tuberkulosis Pada Anak
Usia 6 – 59 bulan dengan nilai p=<0.001. Dari hasil analisis diperoleh juga
pada anak usia 6 – 59 bulan sebanyak 9,7 kali dibanding dengan anak yang
status gizi baik. Selanjutnya karena analisis ini juga memiliki interpretasi nilai
OR > 1 maka Status gizi buruk adalah merupakan faktor risiko terjadinya
hasil menunjukkan bahwa ada Pengaruh Status Gizi pada terhadap kejadian
Tuberkulosis Pada Anak Usia 6 – 59 bulan dengan nilai p= 0,039. Dari hasil
analisis diperoleh juga nilai OR : 3,6 (CI : 1,038 – 12,481) yang artinya
Tuberkulosis pada anak usia 6 – 59 bulan sebanyak 3.6 kali dibanding dengan
anak yang status gizi baik. Penelitian yang dilakukan oleh Rukmini dkk
6,736; 95% CI 2,52 – 18,02, yang artinya pada orang dewasa dengan status
dibandingkan dengan status gizi baik. Hal senada ditemukan juga pada
=<0,001 dan OR = 7,583 dengan CI 95% 3,406 - 16,882 sehingga status gizi
merupakan faktor risiko kejadian tuberkulosis paru atau ada hubungan antara
status gizi dengan kejadian tuberkulosis paru. Artinya seseorang dengan status
(HIV) merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi
kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga
Hasil analisis bivariat dari 70 anak yang menjadi subjek penelitian, pada TB
(+) hanya 3 orang (8,6%) dan yang TB (-) 4 orang (11,4%) mempunyai
diperoleh nilai p=1,000 dengan nilai OR 0,727; 95% CI 0,150 – 3,515 maka
penelitian ini merupakan faktor protektif terjadinya TB pada anak usia 6-59
Indonesia. Vaksinasi BCG diberikan secara dini (segera sesudah lahir) dan
sebaiknya sebelum usia 2 bulan. Infeksi TB banyak terjadi pada anak – anak
yang sejak semula menghasilkan uji Mantoux positif tetapi tetap divaksinasi
keduanya bisa menyebabkan kematian pada anak (Depkes RI, 2002). Pada
bisa untuk memproteksi risiko terinfeksi tuberkulosis pada bayi dan anak.
menjadi sakit, Karena itu pada daerah dengan prevalensi tuberkulosis tinggi
imunisasi BCG diberikan pada anak sejak baru lahir, agar sedini mungkin
anak yang telah mendapat imunisasi BCG (91,4%) dan ada tanda scar di
lengan atas, dan 3 anak yang tidak ada tanda scar di lengan atas sehingga di
masukkan sebagai anak yang tidak mendapat imunisasi BCG (8,6%). Pada
anak dengan TB (-) diketahui terdapat 33 anak yang telah mendapat imunisasi
66
BCG (94,3%) ada tanda scar di lengan dan 2 anak menurut pengakuan Ibu
memang tidak mendapat imunisasi BCG (5,7%). Hasil analisis tabulasi silang
diperoleh nilai p=1,000 maka dapat disimpulkan tidak ada pengaruh yang
Status Imunisasi BCG bukan faktor risiko terhadap kejadian TB anak usia 6 –
penelitian yang didapatkan nilai OR 0,489. Hal ini berarti adanya hubungan
seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat.
67
seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat.
tingkat pendidikan yang sudah tinggi 28 orang (80%) dan pada TB (-)
Ibu di dalam penelitian ini tidak ada pengaruhnya menyebabkan Tb pada anak
usia 6-59 bulan dan bukan merupakan faktor risiko. Hal ini menunjukkan
(91,4%) tidak bekerja. Dinilai dari nilai p= 0,765 degan nilai OR 0,375
dengan 93% CI 0,088 – 1,590 yang artinya tidak ada hubungan yang
Paru BTA positif. Semakin tinggi tingkat pekerjaan semakin rendah angka
kejadian TB Paru BTA positif karena diharapkan social ekonomi yang baik
banyak tantangan. Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus
gangguan pada saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat
lebih baik, berbeda dengan orang yang memiliki tingkat pekerjaan rendah
harinya.
negatif. Nilai rho tabel sebesar 0,364 lebih kecil dari rho hitung, serta nilai
pValue: 0,002 < 0,05 yang berarti bahwa ada hubungan yang negative dan
69
juta jiwa, di mana sebagian besar yaitu 24,81 jiwa (81,88%) tinggal di daerah
status gizi yang buruk, perumahan yang tidak sehat dan rendahnya akses
jauh lebih kompleks yaitu dibatasi oleh jarak ke tempat pelayanan, sulitnya
anak bahwa fenomena kejadian TB pada anak tidak lagi menjadi dominasai
70
pada social ekonomi rendah tapi social ekonomi yang baik pun tidak luput
Selain kontak serumah, kontak juga dapat terjadi dengan penderita TB di luar
rumah (Depkes RI, 2007). Lingkungan yang paling potensial untuk terjadinya
Ada beberapa alasan yaitu tempat kerja adalah lingkungan yang spesifi k
dengan populasi yang terkonsentrasi pada waktu dan tempat yang sama,
dewasa (82.9%) dan 6 responden yang tidak memiliki Riwayat kontak dengan
dari keluarga inti yaitu dari kakek/nenek, ayah/ibu serta saudara kandung dari
ayah ataupun ibu yang pernah tinggal serumah sebanyak 15 orang (52%), dan
yang bukan dari keluarga inti seperti Pembantu 10 orang (35%) dan perkiraan
dari tetangga tempat anak sering dititipkan atau bermain 4 orang (14%).
mengatakan bahwa ada keluarga inti yang dinyatakan oleh dokter menderita
dicurigai dari tetangga tempat anak sering bermain 4 orang (44%). Hasil uji
statistik diperoleh nilai p=<0.001 dan nilai Odds Ratio (OR = 7,963 95% CI
7,963 kali dibanding kan dengan responden yang tidak memiliki riwayat
Tuberkulosis pada anak Usia 6 – 59 bulan dengan nilai p=<0.001. Dari hasil
pada anak usia 6 – 59 bulan sebesar 7 kali dibanding dengan anak yang tidak
33,191).
Hasil Penelitian yang sama sejalan dengan oleh Sidhi (2010) yang
Dewasa mempunyai risiko sebesar 3.90 kali lebih besar untuk menderita
13.078). Hasil penelitian dilakukan oleh Diani dkk (2011) dengan judul
Proporsi Infeksi Tuberkulosis dan Gambaran Faktor Risiko pada Anak Yang
orang sumber penularan. Dapat diartikan bahwa dengan adanya satu subjek
Tuberkulosis pada anak anak yang tinggal satu rumah, walaupun hal tersebut
pasien Tuberkulosis Paru dewasa tersebut pada saat batuk, kepadatan hunian
Hasil penelitian yang berbeda dilakukan oleh Nevita dkk (2014) bertentangan
dengan penelitian yang ada tentang Faktor Risiko Kejadian Sakit Tuberkulosis
dimana hasil penelitian yang didapat tidak bermakna (p=0,92 dengan OR 1,05
dengan 95% CI 0.41- 2.67) dengan penafsiran bahwa risiko sakit Tuberkulosis
terhadap kuman Tuberkulosis. Hasil penelitian ini menurut Nevita yang dikutip
dari penelitian Gessner dkk yang menemukan variasi dari Natural Resistence
sakit Tuberkulosis pada anak. Usia muda merupakan faktor risiko sakit untuk
terhadap kuman Tuberkulosis BTA Positif. melalui percik renik dahak yang
dikeluarkan pada saat batuk. Walaupun setelah infeksi, reaksi daya tahan tubuh
sangat berpengaruh untuk menjadi sakit. Karena reaksi imunologi local akan
sembuh total tetapi pada beberapa orang, kuman dapat hidup dalam lesi
tersebut (dormant) dan pada suatu saat dapat aktif kembali yang dipengaruhi
oleh beberapa faktor risiko lain. Faktor tersebut antara lain : konsentrasi
kuman, lamanya waktu sejak terinfeksi, usia, tingkat daya tahan tubuh, dan
rumah. Apalagi bila keadaan rumah tidak dimasuki sinar matahari secara
Mycobacterium dalam udara ruangan untuk waktu yang lama. Sinar matahari
76
langsung dapat secara cepat membunuh bakteri, tetapi kuman tersebut dapat
Sumatera Utara diperoleh bahwa pada TB (+) dari 35 anak yang menderita
penulis ditemukan rumah tempat tinggal anak dan keluarga yang tidak
tapi tidak sesuai syarat (<10% dari ukuran lantai) sebanyak 6 rumah (22%),
ada ventilasi tapi berupa lubang angin saja sebanyak 3 rumah (11%)
sedangkan ada ventilasi tapi jarang dibuka karena terhalang dinding rumah
sebesar 6.172 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang memiliki
udara segar dalam rumah. Apalagi bila keadaan rumah tidak dimasuki sinar
yang lama. Sinar matahari langsung dapat secara cepat membunuh bakteri,
tetapi kuman tersebut dapat bertahan hidup dalam kegelapan untuk beberapa
matahari langsung. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0.003 dan nilai Odds
Ratio (OR = 5,333 dengan 95% CI 1,839 – 15,471). maka dapat disimpulkan
ada pengaruh yang signifikan antara Ventilasi yang tidak memenuhi syarat
5,333 kali dibanding kan dengan responden yang memiliki Ventilasi yang
Hasil Penelitian ini sejalan dengan penelitian Yusri (2005) bahwa ventilasi
9,6, p<0,0001).
Hasil Penelitian ini senada yang dilakukan Ni ketut Lisa di Kota Mataram
tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 2.872 kali lebih besar untuk
syarat.
Ada anak yang kontak erat atau tinggal serumah dengan penderita TB
yang padat, derajat keparahan dari sumber kasus yang ditentukan hasil
1.162 – 3.064 yang artinya responden yang Tinggal di Hunian yang padat
anak dengan p=0,002 dan Kepadatan Hunian mempunyai risiko 4.0 kali
dalam satu rumah tangga terdapat 1 orang penderita Tuberkulosis paru aktif
rumahtangga lain, terutama kelompok rentan seperti bayi dan anak. Semakin
padat hunian suatu rumahtangga, maka akan semakin besar risiko untuk
demikian akan semakin banyak juga kuman yang terhisap oleh penghuni
BAB 6
6.1 Kesimpulan
Tuberkulosis anak berada pada kelompok usia 25-59 bulan (51,4%) dan
pada anak usia 6-59 bulan di UPT Kesehatan Paru Masyarakat Dinas
Kesehatan Provinsi Sumatera Utara yaitu Status gizi, Riwayat kontak dengan
tinggal (nilai p=<0.05 dan OR > 1). Sedangkan faktor resiko keadaan
Tuberkulosis pada anak usia 6-59 bulan di UPT Kesehatan Paru Masyarakat
Tuberkulosis pada anak usia 6-59 bulan di UPT Kesehatan Paru Masyarakat
6.2 Saran
anak yang tinggal serumah dengan penderita TB paru dewasa. Hal ini dirasa
Disarankan untuk mempertahankan status gizi anak karena status gizi yang
terpapar dengan kuman maka perlu screening terhadap bayi dan anak yang
Rumah tangga yang sehat dan pemilihan lokasi tempat anak bermain perlu
diperhatikan agar kontak dengan paparan kuman dari orang lain dapat
tidak meluas dan menularkan kepada orang lain, khususnya anggota keluarga
yang lain.
84
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson, Ilmu kesehatan anak, Edisi 15 Buku 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000. p. 1028-1042.
Budiarto, Eko. 2002. Pengantar Epidemiologi edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Cissy B Kartasasmita, 2009. Epidemiologi Tuberkulosis. Dalam jurnal Sari Pediatri,
vol 11, Agustus 2009
Crofton, Jhon dkk , 2002. Tuberkulosis Klinis_ edisi 2. Jakarta : Widya Medika.
Danusantoso , Halim. 2011. “Buku saku Ilmu Penyakit Paru”. Jakarta: Penerbit Buku
kedokteran EGC
Depkes RI, 2007, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, edisi 1 cetakan
pertama, Jakarta.
Depkes RI. 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis,cetakan kedua,
2008.Jakarta:
Gupta KB, Gupta R, Atreja A, Verma M, Vishvkarma S. Tuberkulosis and nutrition.
Lung india. 2009; 26(1) p. 9-15.
Hamidi Hermawan 2011 (skripsi) case kontrol Hubungan antara Pengetahuan, Sikap
dan Perilaku Ibu tentang Pencegahan penyakit TB paru dengan Kejadian
TB Paru anak Usia 0-14 tahun di Balai Pengobatan Penyakit Paru Kota
Salatiga Tahun 2010. Posted GASTER, Vol. 4, No. 1 Februari 2008 (178 -
183)
Haryani. 2007. “Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tuberkulosis
Anak di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta” (tesis).
Yogyakarta: UGM.
Herawati dkk, 2005, Kejadian TBC pada anak setelah imunisasi BCG di Jakarta
Timur di 5 wilayah kerja Puskesmas tahun 2000-2012. Bul. Penel.
Kesehatan, Vo1.33, No. 1, 2005: 32-40.
Hosmer, David .W, and Lemeshow, Stanley, 2000. Applied Logistic Regression 2nd.
Ed.John Wiley & Sons.Inc., New York.
Hudoyo Ahmad, 2008. Tuberkulosis mudah diobati. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
81
85
WHO, 2010. WHO Report 2010, Global Tuberculosis Control, WHO Report,
Surveillance, Planning,Financing. Geneva.
WHO, 2015. WHO Global Tuberculosis report 2015
WHO, Global Tuberculosis Report 2001.Geneva. 2001
Widagdo, 2013. Tata laksana Masalah Penyakit Anak Dengan Batuk/Batuk Darah.
Jakarta : Sagung Seto.
Widoyono. 2008. “Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan Dan
Pemberantasannya”. Surabaya: Erlangga.
World Health Organization (2013) Global tuberculosis report 2013.
Available:http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/91355/1/978924156465
6_eng.pdf.Accessed06 February 2014.
World Health Organization (WHO). Guidance for national tuberculosis programme
on the management of tuberculosis in children. WHO/HTM/2006.371.
Yuniastuti Ari, 2008. Gizi dan Kesehatan ; Yokyakarta, Graha Ilmu