Disusun oleh:
Ines Carella Verza, S. Ked
FAB 117 027
Pembimbing:
dr. Angeline Novia Toemon, M.Imun
dr. Era Indira
1
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis adalah penyakit kronis yang masih menjadi salah satu masalah
kesehatan dunia. Penyakit ini diderita oleh jutaan orang dan menjadi penyabab
kematian kedua terbesar di antara penyakit menular lainnya di dunia. Data terakhir
dari WHO Global Report, menunjukkan pada tahun 2012 terdapat 8,6 juta kasus TB
baru dan 1,3 juta kematian akibat TB. Selain mengancam bagi status kesehatan
seseorang dan umumnya status kesehatan suatu bangsa, TB juga menyebabkan
kerugian pada sektor ekonomi. Sekitar 75% penderita TB adalah kelompok usia
produktif secara ekonomis (15-50 tahun).
2
paru adalah tercapainya penemuan pasien baru TB paru BTA positif paling sedikit
70% dari perkiraan dan menyembuhkan 85% dari semua pasien tersebut serta
mempertahankannya. Target ini diharapkan dapat menurunkan tingkat prevalensi dan
kematian akibat TB paru hingga separuhnya pada tahun 2010 dibanding tahun 1990
dan mencapai tujuan millenium development goals (MDGs) pada tahun 2015 (Depkes
RI, 2008: 9).
Upaya penurunan angka penderita TB paru yang telah dilakukan oleh pihak
Depkes hingga tahun 1995 berupa pemberian obat yang intensif melalui puskesmas
ternyata kurang berhasil. Hal ini terjadi karena belum adanya keseragaman dalam
pengobatan dan sistem pencatatan pelaporan di semua unit pelayanan kesehatan, baik
3
pemerintah maupun swasta sehingga monitoring pengobatan yang dilakukan oleh
pihak program terhadap penderita tidak berjalan dengan baik. Keberhasilan
pengobatan TB paru sangat ditentukan oleh adanya keteraturan minum obat anti
tuberkulosis. Hal ini dapat dicapai dengan adanya kesadaran penderita TB paru untuk
meminum obat secara teratur melalui upaya peningkatan pengetahuan penderita TB
paru tentang pencegahan dan pengobatan TB paru (Bambang Sukana, dkk.,2003:
282).
Faktor penyebab TB paru pada anak adalah kontak langsung dengan penderita
BTA positif, sosial ekonomi orang tua, lingkungan perumahan yang tidak memenuhi
syarat, serta tingkat pendidikan orang tua. Pada umumnya orang tua tidak mengetahui
bahwa anaknya menderita TB paru dan bagaimana penyakit tersebut dapat mengenai
anaknya. Mereka hanya mengetahui bahwa anaknya menderita demam agak lama
atau batuk-batuk dalam jangka waktu yang lama, atau melihat anaknya menjadi
kurus, tidak nafsu makan, serta anak menjadi lemah (Ngastiyah, 1997: 55). Daya
tahan yang menurun juga memungkinkan basil untuk berkembang biak dan keadaan
ini menyebabkan timbulnya penyakit TB paru (Hood Alsagaff dan Abdul Mukty,
2006: 83). Anak-anak merupakan kelompok paling rentan tertular basil Tuberkulosis
karena daya tahan tubuhnya relatif masih lemah daripada orang dewasa (Muljono,
2005).
4
imunisasi BCG. Anak usia 1-12 tahun yang memiliki ibu dengan pengetahuan tentang
TB paru kurang baik memiliki risiko lebih besar terkena TB paru dibandingkan
dengan anak usia 1-12 tahun yang memiliki pengetahuan tentang TB paru baik.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kuman tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat
bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab (Depkes RI, 2002 :9).
Pada beberapa kasus perkembangan penyakit ini sangat cepat, tetapi pada penderita
yang lain hanya bersifat dormant (tertidur lama selama beberapa tahun). Beberapa
penderita yang mengalami penurunan daya tahan seperti malnutrisi, infeksi, HIV atau
6
ketuaan, maka kuman dormant tadi akan menjadi aktif dan menyebabkan penyakit
(John Crofton, dkk., 2001 :9).
2.2.1 TB Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
tuberkulosis. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis berhasil berkembang biak
dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru.
Saluran limfe akan membawa kuman tuberkulosis ke kelenjar limfe di sekitar hilus
paru, dan ini disebut kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai
pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu (Depkes RI, 2002 :10).
7
TB paska primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah
infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau
status gizi yang buruk. Ciri khas dari TB paska primer adalah kerusakan paru yang
luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura (Depkes RI, 2002 :10-11).
Sumber penularan adalah penderita TB paru dengan BTA positif. Pada waktu
batuk dan bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada
suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut
terhirup ke dalam saluran pernafasan (Depkes RI, 2002 :9).
Cara lain yaitu dahak yang dibatukkan dengan mengandung kuman tuberkulosa, jatuh
terlebih dahulu ke tanah, mengering, dan debu yang mengandung kuman tuberkulosis
akan berterbangan, kemudian dihirup masuk ke dalam paru orang lain (Rasmin
Rasjid, 1985 :1).
8
negatif menjadi positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi
penderita adalah imunitas tubuh yang rendah, infeksi HIV/AIDS, dan malnutrisi atau
gizi buruk (Departemen Kesehatan RI, 2006: 5).
Orang sehat
1. Melalui Udara
Melalui batuk orang dewasa, saat orang dewasa batuk sejumlah tetesan cairan
(ludah) tersembur ke udara. Apabila orang tersebut menderita TB paru,
tetesan tersebut akan mengandung kuman.
2. Per Oral
Anak-anak bisa mendapat TB dari susu atau makanan, infeksi bisa mulai dari
mulut atau usus. Susu dapat mengandung kuman TB dari sapi (bovine TB).
3. Kontak Langsung
9
2.4 Gejala-gejala Penyakit TB Paru
1) Batuk
Timbul paling dini dan paling sering. Proses yang ringan menyebabkan sekret
berkumpul waktu tidur dan dikeluarkan waktu bangun pagi (Alsagaff, dkk.,
1989 :20). Batuk terus-menerus dan berdahak berlangsung selama 3 (tiga)
minggu atau lebih (Depkes RI, 2002 :13).
2. Batuk darah
Batuk darah akan terjadi bila pembuluh darah pecah. Bergantung pada
besarnya pembuluh darah yang pecah, maka akan terjadi batuk darah ringan,
sedang, atau berat (Rasmin Rasjid, 1985 :7).
Dari jenis nyeri pleuritik nyeri ringan. Bila nyerinya keras, berarti ada
pleuritis yang luas (di axilla, ujung skapula dan lain-lain) (Alsagaff, dkk.,
1989 :20). Sesak nafas (dyspnea) akan ditemukan pada penyakit yang sudah
lanjut. Pada penyakit yang baru tumbuh tidak akan ditemukan sesak nafas
(Rasmin Rasjid, 1985 :7).
10
Selain gejala klinis di atas gejala umum yang timbul yaitu panas badan,
menggigil, keringat malam, kelelahan serta takikardi, nousea, dan sakit kepala akan
timbul bila panas tubuh meningkat (Alsagaff, dkk., 1989 :21).
1. Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas, dan
tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah mendapatkan penanganan gizi yang
baik (failure to thrive).
2. Nafsu makan tidak ada (anorexia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak
naik (failure to thrive) dengan adekuat.
3. Demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria, atau
infeksi saluran nafas akut), dapat disertai keringat malam.
4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit. Biasanya multipel,
paling sering di daerah leher, ketiak, dan lipatan paha (inguinal).
5. Gejala-gejala dari saluran nafas, misalnya batuk berdahak selama 2-3 minggu
atau lebih. Batuk dahak kadang-kadang disertai darah dan nyeri dada.
6. Gejala-gejala dari saluran cerna, misalnya diare berulang yang tidak sembuh
dengan pengobatan diare, benjolan di abdomen, dan tanda-tanda cairan dalam
abdomen.
2. Gejala spesifik
Gejala-gejala ini biasanya muncul tergantung dari bagian tubuh mana yang terserang,
misalnya:
a. TB kulit atau skrofuloderma
11
b. TB tulang dan sendi, terdiri dari :
c. TB otak dan saraf, terdiri dari meningitis, dengan gejala iritabel, kaku
kuduk, muntah-muntah, dan kesadaran menurun.
12
Tuberkulin yang dipakai adalah tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU.
Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Ukuran dinyatakan dalam
milimeter. Uji tuberkulin positif bila indurasi >10 mm (pada gizi baik), atau >5 mm
pada gizi buruk (Depkes RI, 2002 :17).
13
Tabel 2.1 Sistem Skoring Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB Paru
14
2.6.2 Tuberkulosis Paru BTA Negatif
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen
dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. TB paru BTA negatif rontgen positif
dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan.
Bentuk berat bila gambaran foto rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan
paru yang luas, dan atau keadaan umum penderita buruk.
1. Kasus Baru
Kasus Baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah diobati dengan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
2. Kambuh (Relaps)
Kambuh (Relaps) adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
3. Pindahan (Transfer In)
Pindahan (Transfer In) adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di
suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten yang
lainnya.
15
5. Lain-lain
1. Gagal
Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan sebelum
akhir pengobatan) atau lebih, atau penderita dengan hasil BTA negatif
rontgen positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan.
2. Kasus Kronis
Kasus adalah penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori 2.
Semua anak yang tinggal serumah atau kontak erat dengan penderita TB paru
BTA positif berisiko lebih besar untuk terinfeksi. Infeksi pada anak ini, dapat
berlanjut menjadi penyakit tuberkulosis, sebagian menjadi penyakit yang lebih serius
(misalnya meningitis dan milier) yang dapat menimbulkan kematian. 9
Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat dengan
penderita TB paru BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan:
16
Tindakan pencegahan dapat dikerjakan oleh penderita, masyarakat, dan
petugas kesehatan, yaitu : 16
1. Oleh penderita dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk dan
membuang dahak tidak sembarang tempat.
2. Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran untuk
vaksinasi BCG.
3. Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB
paru yang antara lain meliputi gejala, bahaya dan akibat yang ditimbulkannya.
4. Isolasi, pemeriksaan terhadap orang yang terinfeksi, pengobatan khusus TB
paru, pengobatan rawat inap di rumah sakit hanya bagi penderita yang
kategori berat yang memerlukan pengembangan program pengobatannya yang
karena alasan-alasan sosial ekonomi dan medis untuk tidak dikehendaki
pengobatan jalan.
5. Desinfeksi, cuci tangan, perlu perhatian khusus terhadap muntahan dan ludah
(piring, tempat tidur, dan pakaian), ventilasi rumah, dan sinar matahari yang
cukup.
6. Imunisasi orang-orang yang kontak dengan penderita, tindakan pencegahan
bagi orang-orang yang dekat (keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan
lain) yang terindikasi dengan vaksin BCG dan tindak lanjut bagi yang positif
tertular.
1. Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor menjadi sakit, seperti
kepadatan hunian, dengan meningkatkan pendidikan kesehatan.
2. Tersedia sarana-sarana kesehatan, pemeriksaan penderita, kontak, atau suspek,
pengobatan dini bagi penderita, kontak, suspek, dan perawatan.
17
3. Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan terhadap
penyakit inaktif dengan pemberian pengobatan INH sebagai pencegahan.
4. Vaksin BCG, vaksinasi diberikan pertama-tama kepada bayi baru lahir sampai
berumur 12 bulan, tetapi sebaiknya pada umur 0-2 bulan. Hasil yang
memuaskan terlihat apabila diberikan menjelang umur 2 bulan.
5. Memberantas penyakit TB paru pada pemerah air susu dan tukang potong sapi
serta pasteurisasi susu sapi.
6. Pemeriksaan bakteriologis dahak pada orang dengan gejala TB paru.
7. Pemeriksaan screening dengan tuberculin test pada kelompok berisiko tinggi,
seperti para emigran, orang-orang kontak dengan penderita, petugas di rumah
sakit, petugas guru di sekolah, dan petugas foto rontgen.
8. Pemeriksaan foto rontgen pada orang-orang yang positif dari hasil
pemeriksaan tuberculin test.
Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh
kembang anak karena dengan pendidikan yang baik, maka orang tua dapat menerima
segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik,
bagaimana menjaga kesehatan anaknya, pendidikannya, dan sebagainya
(Soetjiningsih, 1995: 10).
18
Masalah pasien TB paru yang perlu diperhatikan adalah keadaan pasien yang
sangat lemah, bahaya komplikasi, pengambilan bahan untuk pemeriksaan
laboratorium, gangguan psikososial atau rasa aman dan nyaman, dan kurangnya
pengetahuan orang tua (Ngastiyah, 1997:53). Menurut Indah Entjang (2000: 55),
semakin rendah pengetahuan penderita tentang bahaya penyakit TB paru untuk
dirinya sendiri, keluarga, dan masyarakat di sekitarnya, maka semakin besar pula
bahaya si penderita sebagai sumber penularan baik di rumah maupun di tempat kerja
untuk orang-orang di sekitarnya. Sebaliknya, pengetahuan yang baik tentang penyakit
TB paru akan menolong masyarakat dalam menghindarinya.
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya
kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari- hari
merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap merupakan
kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu
penghayatan terhadap objek (Soekidjo Notoatmodjo, 2003: 124).
19
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
sikap orang tua tentang penyakit TB paru dengan kejadian TB paru anak. Menurut M.
Hariwijaya dan Sutanto (2007: 119), diperlukan sikap dan perilaku yang baik dalam
pencegahan dan penularan penyakit TB paru. Semakin baik sikap orang tua terhadap
pencegahan penyakit TB paru, maka semakin kecil pula risiko anaknya untuk tertular
penyakit TB paru.
Menurut Karl dan Colob (1966) yang dikutip oleh Neil Niven (2002: 184),
perilaku kesehatan adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh individu yang meyakini
dirinya sehat untuk tujuan mencegah penyakit atau mendeteksinya dalam tahap
asimptomik. Teori Blum menyebutkan bahwa faktor perilaku merupakan komponen
kedua terbesar dalam menentukan status kesehatan. Penularan penyakit TB paru
dapat disebabkan perilaku yang kurang memenuhi kesehatan, seperti kebiasaan
membuka jendela, dan kebiasaan membuang dahak penderita yang tidak benar.
20
Kurangnya aliran udara dalam rumah meningkatkan kadar CO dan meningkatkan
kelembaban udara yang merupakan media yang baik untuk bakteri patogen. Alasan
ini yang menyebabkan penularan penyakit TB paru dalam keluarga (Agus S. dan
Arum P., 2005).
1. Membuka jendela pada pagi hari sampai sore hari, agar rumah mendapat sinar
matahari dan udara yang cukup.
3. Kesesuaian luas lantai dengan jumlah hunian dalam satu kamar tidak boleh lebih
dari 3 orang.
4. Menjaga kebersihan diri, rumah, dan lingkungan di sekitar rumah.
5. Lantai disemen atau dipasang tegel atau keramik.
21
6. Bila batuk, mulut ditutup dengan sapu tangan.
7. Tidak meludah di sembarang tempat.
8. Menghindari polusi udara dalam rumah, seperti asap dapur dan asap rokok.
Menurut John Biddulph dan John Stace (1999:230), seorang anak yang
menderita TB paru biasanya tidak menginfeksi anak lainnya. Hal ini karena basil TB
biasanya tidak dapat keluar dari tubuh anak. Berbeda dengan seorang dewasa yang
menderita TB paru. Penderita TB paru dewasa dapat menjadi berbahaya dan mudah
menginfeksi anak-anak dengan membatukkan keluar sebagian lesi dalam paru-
parunya.
Status gizi adalah keadaan gizi seseorang yang akan berpengaruh terhadap
kekuatan, daya tahan, dan respon imunologis terhadap penyakit dan keracunan. Status
gizi didapat seseorang dari nutrien yang diberikan kepadanya. Status gizi sangat
berpengaruh terhadap daya tahan tubuh, jika status gizi kurang atau buruk maka daya
tahan tubuh akan lemah sehingga rentan terinfeksi penyakit (Juli Soemirat, 2000: 68).
Penyakit TB paru lebih sering menyerang anak yang kurang gizi karena
penyakit TB paru dapat menyebabkan keadaan gizi anak memburuk. Infeksi TB paru
menyebabkan kehilangan berat badan dan badan menjadi sangat kurus. Kekurangan
22
makanan akan meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Dengan status gizi yang baik,
maka akan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit TB paru sehingga dapat
membantu proses penyembuhan penyakit TB paru (Misnadiarly, 2006:79).
Menurut John Biddulph dan John Stace (1999:242), BCG tidak memberikan
kekebalan sempurna pada anak terhadap TB paru, tetapi kekebalan ini sangat berguna
karena anak tidak mudah lagi terserang TB paru dibandingkan anak yang tidak
mendapatkan imunisasi BCG.
23
Daya tahan tubuh anak yang menurun memungkinkan basil berkembang biak
dan keadaan ini menyebabkan timbulnya penyakit TB paru (Hood Alsagaff dan
Abdul Mukty, 2006: 83). Anak-anak merupakan kelompok paling rentan tertular basil
TB karena daya tahan tubuhnya relatif masih lemah daripada orang dewasa
(Mulyono, 2005: 5). Untuk itu diperlukan imunisasi untuk memberikan perlindungan,
pencegahan, sekaligus membangun kekebalan tubuh terhadap berbagai penyakit
menular maupun penyakit berbahaya yang dapat menimbulkan kecacatan tubuh
bahkan kematian.
24
2.9.9.2 Ventilasi Rumah
Kuman tuberkulosa hanya dapat mati oleh sinar matahari langsung. Oleh
karena itu, rumah dengan standar pencahayaan yang buruk sangat berpengaruh
terhadap kejadian TB paru (Depkes RI, 2002). Menurut Atmosukarto dan Soeswati
(2000), kuman tuberkulosa dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab dan
gelap tanpa sinar matahari sampai bertahun-tahun lamanya, dan mati bila terkena
sinar matahari, lisol, sabun, karbol, dan panas api.
25
Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh
bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya
akan menyebabkan perjubelan (overcrowded). Hal ini tidak sehat karena disamping
menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga
terkena penyakit infeksi terutama TB paru akan mudah menular kepada anggota
keluarga yang lain (Lubis, 1989; Notoatmodjo, 2003). Hasil penelitian Anita
Setyawati (2006) menyebutkan bahwa kepadatan penghuni rumah mempunyai
hubungan yang bermakna dengan kejadian TB paru pada anak.
Jenis lantai tanah tidak baik bagi kesehatan, karena mudah dipengaruhi oleh
perubahan kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan yang banyak airnya atau saat
musim hujan, jenis lantai mudah lembab, dan pada lingkungan yang panas mudah
berdebu sehingga membantu transmisi penularan penyakit, misalnya jika terjadi
pencemaran bakteri oleh penderita TB paru. Penderita TB paru pada waktu meludah,
batuk-batuk, atau bersin akan mengeluarkan percikan-percikan dahak yang
mengandung kuman dan jatuh ke lantai. Kuman TB dapat bertahan selama bertahun-
tahun pada kondisi lantai yang lembab. Percikan dahak yang mengering akan
berterbangan di udara, potensial untuk dihirup dan menulari orang yang rentan
terhadap agen kuman yang bersangkutan (Halim Danusantoso, 2000: 101).
26
BAB III
KESIMPULAN
Orang tua pada anak yang telah menderita TB paru harus mengetahui dan
melakukan pemeriksaan dan pengobatan kepada orang yang dicurigai memiliki risiko
dalam penularan TB Paru terutama yang tinggal dalam 1 rumah. Orang tua juga harus
rutin melakukan pemeriksaan dan pengobatan ke fasilitas kesehatan untuk
keberhasilan pengobatan dan mencegah komplikasi dari TB Paru yaitu TB MDR
(Multi Drugs Resistent).
27
DAFTAR PUSTAKA
28
10. Departemen Kesehatan RI, 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis Edisi 2.Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
11. Dinkes Provinsi Jawa Tengah. 2007. Laporan Dinas Kesehatan Provinsi
Jawa Tengah pada Rapat Kerja Kesehatan Daerah (Rakerkesda) Provinsi
Jawa Tengah. www.litbang.depkes.go.id/risbinkes.
12. Dinkes Provinsi Jawa Tengah. 2009. Laporan Evaluasi Penanggulangan TBC
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Semarang: Dinkes Provinsi Jateng.
13. Gerdunas TB. 2007. Lembar Fakta Tuberkulosis.
http://www.tbcindonesia.or.id. Diakses 1 Februari 2009.
14. Gould, D. dan C. Brooker. 2003. Mikrobiologi Terapan untuk Perawat.
Jakarta: EGC.
15. Halim Danusantoso. 2000. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta:
Hipokrates.
16. Hiswani, 2004. Tuberkulosis merupakan Penyakit Infeksi yang Masih menjadi
Masalah Kesehatan Masyarakat. http://library.usu.ac.id/ download/fkm/fkm-
hiswani6.pdf. Diakses 15 Mei 2009.
17. Hood Alsagaff. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga
University Press.
18. Hood Alsagaff dan Abdul Mukty. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya: Unair Press.
19. Hood Alsagaff, Muhammad Amin, WBM Taib Saleh. 1989. Ilmu Penyakit
Paru. Surabaya: Airlangga University Press.
20. Ikeu Nurhidayah,dkk. 2007. Hubungan antara Karakteristik Lingkungan
Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) pada Anak di Kecamatan Paseh
Kabupaten Sumedang. Makalah. Bandung: UNPAD.
21. Indan Entjang. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: Citra Aditya
Bakti. Jelliffe, D.B. 1994. Kesehatan Anak di Daerah Tropis Edisi Keempat.
Jakarta: Bumi Aksara.
22. John Crofton, dkk. 2001. Tuberkulosis Klinis. Jakarta: Widya Medika.
29
23. Kartasasmita, C. 2002. Pencegahan Tuberkulosis pada Bayi dan Anak.
http//www.depkes.com. Diakses 14 September 2018.
24. Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999. 2005. Persyaratan Kesehatan
Rumah.
25. Kun Irianto, dkk. 2004. Gizi dan Pola Hidup Sehat. Bandung: Yrama Widya.
M. Hariwijaya dan Sutanto. 2007. Pencegahan dan Pengobatan Penyakit
Kronis. Jakarta: EDSA Mahkota.
26. Misnadiarly. 2006. Mengenal, Mencegah, Menaggulangi TB Paru Ekstra
Paru Anak dan Kehamilan. Jakarta: Pustaka Populer Obor.
Muhammad Hatta. 2008. Geliat Program Tuberkulosis bagi Mereka yang
Tersisih. Kompas Edisi Rabu, 19 Maret 2008
27. Muljono. 2005. Flek Paru yang Mengecoh. Intisari. 12 April 2005. Halaman
XII.
28. Neila Ramadhani.2009. Sikap dan Perilaku: Dinamika Psikologi Mengenai
Perubahan Sikap dan Perilaku. Artikel. Yogyakarta : UGM.
29. Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Rasmin Rasjid. 1985. Patofisiologis dan Diagnostik Tuberkulosis Paru.
Jakarta: FKUI.
30. Roni Naning, 2003. Tuberculosis Infection In Infants And Children Who Have
Contact With Positive Sputum Adult Tuberculosis. Yogyakarta : Gajah Mada
University.
31. Soedarto DTMH. 1990. Penyakit-Penyakit Infeksi di Indonesia. Jakarta:
Widya Medika.
32. Soedigdo Sastroamoro dan Sofyan Ismail. 2002. Dasar-Dasar Metodologi
Penelitian Klinis. Jakarta: Sagung Seto.
33. Soekidjo Notoatmodjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip
Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.
34. Soekidjo Notoadmodjo. 2007. Kesehatan Masyarakat : Ilmu dan Seni.
Jakarta: Rineka Cipta.
35. Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.
30
36. Tri Suwantantik. 2002. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
TB Paru Primer pada Anak Usia Balita di RSUD Kabupaten Bantul
Yogyakarta. Skripsi. Semarang: UNDIP.
37. Wahyu Aniwidyaningsih dan Tjandra Yoga Aditama. 2003. Vaksin
Tuberkulosis Berbasis DNA. Jurnal Respirologi Indonesia Vol. 1 No.
1/Januari 2003.
31