Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU


ORANG TUA TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT TUBERCULOSIS
PADA ANAK
Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti
Program Pendidikan Profesi Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas

Disusun oleh:
Ines Carella Verza, S. Ked
FAB 117 027

Pembimbing:
dr. Angeline Novia Toemon, M.Imun
dr. Era Indira

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
SEPTEMBER
2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

Tuberkulosis adalah penyakit kronis yang masih menjadi salah satu masalah
kesehatan dunia. Penyakit ini diderita oleh jutaan orang dan menjadi penyabab
kematian kedua terbesar di antara penyakit menular lainnya di dunia. Data terakhir
dari WHO Global Report, menunjukkan pada tahun 2012 terdapat 8,6 juta kasus TB
baru dan 1,3 juta kematian akibat TB. Selain mengancam bagi status kesehatan
seseorang dan umumnya status kesehatan suatu bangsa, TB juga menyebabkan
kerugian pada sektor ekonomi. Sekitar 75% penderita TB adalah kelompok usia
produktif secara ekonomis (15-50 tahun).

Kesehatan anak merupakan topik yang sangat penting di negara-negara


berkembang. Seluruh petugas kesehatan harus m1engetahui kesehatan anak karena
anak-anak merupakan kelompok dalam masyarakat yang paling rentan terserang
penyakit. Hal ini karena anak-anak belum mempunyai cukup kekebalan terhadap
berbagai penyakit (John Biddulph dan John Stace, 1999: 1-2). Macam penyakit pada
anak-anak bergantung pada beberapa hal dan keadaan yang menjadi penyebab, antara
lain kesehatan, kemiskinan, pendidikan, iklim, kebiasaan masyarakat, dan penyakit
yang diturunkan (D.B. Jelliffe, 1994: 2-3).

Tuberkulosis paru atau yang biasa disebut TB paru merupakan masalah


kesehatan masyarakat yang cukup penting, terutama di negara-negara berkembang
(Wahyu Aniwidyaningsih dan Tjandra Yoga Aditama, 2003: 34). Setiap tahun lebih
dari 8 juta orang terkena penyakit TB paru, serta 2 juta orang meninggal karenanya.
Dari keseluruhan kasus, 11% penderita adalah anak-anak di bawah 15 tahun
(Muhammad Hatta, 2008).

Pada tahun 1995, program nasional penanggulangan TB paru mulai


menerapkan sistem DOTS (Directly Observed Treatment, Shorcourse chemotherapy)
dan dilaksanakan di puskesmas secara bertahap. Target program penanggulangan TB

2
paru adalah tercapainya penemuan pasien baru TB paru BTA positif paling sedikit
70% dari perkiraan dan menyembuhkan 85% dari semua pasien tersebut serta
mempertahankannya. Target ini diharapkan dapat menurunkan tingkat prevalensi dan
kematian akibat TB paru hingga separuhnya pada tahun 2010 dibanding tahun 1990
dan mencapai tujuan millenium development goals (MDGs) pada tahun 2015 (Depkes
RI, 2008: 9).

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita TB paru terbesar ke-3


di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah penderita sebesar 10% dari total
penderita TB paru dunia. Hasil survei prevalensi TB paru di Indonesia tahun 2004
menunjukkan bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara nasional adalah 110 per
100.000 penduduk. Secara regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia
dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah
160 per 100.000 penduduk, wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110
per 100.000 penduduk, serta wilayah Indonesia Timur angka prevalensi TB adalah
210 per 100.000 penduduk. Khusus untuk propinsi DIY dan Bali angka prevalensi TB
adalah 68 per 100.000 penduduk (Depkes RI, 2008: 8).

Data TB paru anak di Indonesia masih terbatas karena penemuan penderita


TB pada anak merupakan hal yang sangat sulit (Roni Naning 2003; Anonim 2008).
Disamping itu, menurut Kartasasmita (2002) angka kejadian TB paru pada anak
belum diketahui pasti karena sulitnya mendiagnosis TB paru pada anak. Akan tetapi,
bila angka kejadian TB paru pada orang dewasa tinggi dapat diperkirakan kejadian
TB paru pada anak akan tinggi pula. Hal ini terjadi karena setiap orang dewasa
dengan BTA positif akan menularkan pada 10-15 orang di lingkungannya, terutama
anak-anak (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2007).

Upaya penurunan angka penderita TB paru yang telah dilakukan oleh pihak
Depkes hingga tahun 1995 berupa pemberian obat yang intensif melalui puskesmas
ternyata kurang berhasil. Hal ini terjadi karena belum adanya keseragaman dalam
pengobatan dan sistem pencatatan pelaporan di semua unit pelayanan kesehatan, baik

3
pemerintah maupun swasta sehingga monitoring pengobatan yang dilakukan oleh
pihak program terhadap penderita tidak berjalan dengan baik. Keberhasilan
pengobatan TB paru sangat ditentukan oleh adanya keteraturan minum obat anti
tuberkulosis. Hal ini dapat dicapai dengan adanya kesadaran penderita TB paru untuk
meminum obat secara teratur melalui upaya peningkatan pengetahuan penderita TB
paru tentang pencegahan dan pengobatan TB paru (Bambang Sukana, dkk.,2003:
282).

Faktor penyebab TB paru pada anak adalah kontak langsung dengan penderita
BTA positif, sosial ekonomi orang tua, lingkungan perumahan yang tidak memenuhi
syarat, serta tingkat pendidikan orang tua. Pada umumnya orang tua tidak mengetahui
bahwa anaknya menderita TB paru dan bagaimana penyakit tersebut dapat mengenai
anaknya. Mereka hanya mengetahui bahwa anaknya menderita demam agak lama
atau batuk-batuk dalam jangka waktu yang lama, atau melihat anaknya menjadi
kurus, tidak nafsu makan, serta anak menjadi lemah (Ngastiyah, 1997: 55). Daya
tahan yang menurun juga memungkinkan basil untuk berkembang biak dan keadaan
ini menyebabkan timbulnya penyakit TB paru (Hood Alsagaff dan Abdul Mukty,
2006: 83). Anak-anak merupakan kelompok paling rentan tertular basil Tuberkulosis
karena daya tahan tubuhnya relatif masih lemah daripada orang dewasa (Muljono,
2005).

TB paru pada anak biasanya berjangkit secara perlahan-lahan sehingga sukar


ditentukan saat timbulnya gejala pertama. Kadang, terdapat keluhan demam yang
tidak diketahui sebabnya dan sering disertai tanda-tanda infeksi saluran nafas atas.
Penyakit ini bila tidak diobati sedini mungkin dan setepat-tepatnya dapat
menimbulkkan komplikasi yang berat dan reinfeksi pada usia dewasa (Ngastiyah,
1997: 46-47).

Hasil penelitian Anita Setyawati (2006) menyebutkan bahwa faktor-faktor


yang berhubungan dengan kejadian TB paru pada anak adalah pengetahuan ibu
tentang TB paru, status gizi, kepadatan penghuni, riwayat kontak, dan status

4
imunisasi BCG. Anak usia 1-12 tahun yang memiliki ibu dengan pengetahuan tentang
TB paru kurang baik memiliki risiko lebih besar terkena TB paru dibandingkan
dengan anak usia 1-12 tahun yang memiliki pengetahuan tentang TB paru baik.

Peningkatan jumlah penduduk tentunya meningkatkan permintaan terhadap


kebutuhan dasar manusia, salah satunya ialah perumahan layak huni dan sehat.
Perumahan merupakan kebutuhan dasar manusia dan juga determinan kesehatan
masyarakat. Karena itu, ketersediaan perumahan merupakan tujuan fundamental yang
kompleks dan adanya standar perumahan adalah isu penting dari kesehatan
masyarakat. Perumahan yang layak untuk tempat tinggal harus memenuhi syarat
kesehatan, sehingga penghuninya tetap sehat. Sebaliknya, jika konstruksi rumah dan
lingkungan tidak memenuhi syarat kesehatan, rumah tersebut dapat menjadi faktor
risiko sumber penularan berbagai jenis penyakit seperti infeksi saluran pernafasan
akut (ISPA) dan tuberkulosis.

Perumahan yang sehat membutuhkan ketersediaan sarana dan prasarana


seperti penyediaan air bersih, sanitasi pembuangan sampah, transportasi dan
tersedianya pelayanan sosial (Krieger & Higgins, 2002). Namun demikian, data
Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa secara nasional hanya 24,9% rumah penduduk
di Indonesia yang tergolong rumah sehat. Penilaian rumah sehat ini dilakukan
terhadap kriteria kondisi fisik rumah yang meliputi atap, dinding, lantai, ketersediaan
jendela, ventilasi, pencahayaan, dan kepadatan huni. Selain kriteria yang ada dalam
Riskesdas tersebut, masih terdapat faktor risiko lingkungan lainnya pada bangunan
rumah yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit maupun kecelakaan antara lain:
kelembaban, kualitas udara dalam ruang, adanya binatang penular penyakit,
ketersediaan air bersih, sarana pembuangan sampah dan limbah rumah tangga serta
perilaku penghuni rumah itu sendiri (Kemenkes, 2002).

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis Anak

2.1.1 Definisi TB Paru

Tuberkulosis paru atau TB paru adalah penyakit menular langsung yang


disebabkan oleh kuman tuberkulosa (Mycobacterium tuberculosis). Sumber
penularan adalah penderita yang mengeluarkan kuman tuberkulosis dengan dahak
yang dibatukkan keluar (Rasmin Rasjid, 1985 :1). Sebagian besar kuman tuberkulosis
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI,
2002 :9). Reaksi jaringan yang khas akibat adanya kuman tersebut adalah terjadinya
pembentukan tuberkel (Soedarto, 1990 :177).

Mycobacterium tuberculosis adalah mikroorganisme berbentuk batang yang


kerap kali menunjukkan sifat pleomorfisme, tergantung strainnya dan juga pada
sumber biakan, apakah in vivo atau in vitro. Ukuran bakteri berkisar antara 1-4
mikron x 0,2 mikron sampai 0,5 mikron (Soedarto, 1990 :178). Kuman Tuberkulosa
berbentuk batang mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula Basil Tahan Asam (BTA) (Depkes RI,
2002 : 9).

Kuman tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat
bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab (Depkes RI, 2002 :9).
Pada beberapa kasus perkembangan penyakit ini sangat cepat, tetapi pada penderita
yang lain hanya bersifat dormant (tertidur lama selama beberapa tahun). Beberapa
penderita yang mengalami penurunan daya tahan seperti malnutrisi, infeksi, HIV atau

6
ketuaan, maka kuman dormant tadi akan menjadi aktif dan menyebabkan penyakit
(John Crofton, dkk., 2001 :9).

Penyakit TB anak merupakan penyakit yang bersifat sistemik yang


bermanifestasi pada berbagai organ terutama paru. Sifat sistemik ini diakibatkan oleh
adanya penyebaran hematogen dan limfogen setelah terjadinya infeksi
Mycobacterium tuberculosis (Misnadiarly, 2006).

2.2 Patogenesis TB Paru

Perjalanan penyakit TB diawali dengan implantasi kuman pada ‘respiratory


bronchial’ atau alveoli yang selanjutnya berkembang menjadi TB primer dan atau TB
paska primer.

2.2.1 TB Primer

Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
tuberkulosis. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis berhasil berkembang biak
dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru.
Saluran limfe akan membawa kuman tuberkulosis ke kelenjar limfe di sekitar hilus
paru, dan ini disebut kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai
pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu (Depkes RI, 2002 :10).

TB primer cenderung sembuh sendiri, akan tetapi sebagian menyebar lebih


lanjut dan dapat menimbulkan komplikasi ataupun dapat meluas ke dalam jaringan
paru sendiri. Melalui aliran darah, kuman tuberkulosis dapat mencapai organ tubuh
lain, seperti selaput otak, hati, ginjal, dan lain-lain. Dalam organ tersebut kuman
dapat segera menimbulkan penyakit, tetapi dapat juga tenang dahulu kemudian
setelah beberapa waktu menimbulkan penyakit TB paru atau tidak pernah sama
sekali. 36

2.2.2 TB Paska Primer

7
TB paska primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah
infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau
status gizi yang buruk. Ciri khas dari TB paska primer adalah kerusakan paru yang
luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura (Depkes RI, 2002 :10-11).

TB paska primer merupakan bentuk yang sering ditemukan dan penderita


dengan dahak yang mengandung kuman sebagai sumber penularan. Penyebaran
kuman dalam tubuh penderita TB pascaprimer terjadi melaui empat cara, yaitu lesi
yang meluas, limfogen, hematogen yang dapat menimbulkan lesi TB ekstra paru
seperti pleura, selaput otak, ginjal dan tulang, serta penyebaran milier (Soekidjo
Notoatmodjo, 2007).
2.3 Cara Penularan Penyakit TB Paru

Sumber penularan adalah penderita TB paru dengan BTA positif. Pada waktu
batuk dan bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada
suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut
terhirup ke dalam saluran pernafasan (Depkes RI, 2002 :9).

Cara lain yaitu dahak yang dibatukkan dengan mengandung kuman tuberkulosa, jatuh
terlebih dahulu ke tanah, mengering, dan debu yang mengandung kuman tuberkulosis
akan berterbangan, kemudian dihirup masuk ke dalam paru orang lain (Rasmin
Rasjid, 1985 :1).

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman


yang dikeluarkan di parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak,
makin menular penderita tersebut (Depkes RI, 2002 :9).

Risiko tertular TB tergantung dari tingkat pajanan percikan dahak. Penderita


TB BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada
penderita TB BTA negatif. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin

8
negatif menjadi positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi
penderita adalah imunitas tubuh yang rendah, infeksi HIV/AIDS, dan malnutrisi atau
gizi buruk (Departemen Kesehatan RI, 2006: 5).

Skema Penularan TB Paru

Penderita TB paru BTA positif

Droplet berisi kuman TB paru

Orang sehat

Orang sehat terinfeksi TB paru

Gambar 2.1 Skema Penularan TB paru (Sumber : D. Sanropie, 1989)

Cara penularan TB paru pada anak-anak meliputi:

1. Melalui Udara

Melalui batuk orang dewasa, saat orang dewasa batuk sejumlah tetesan cairan
(ludah) tersembur ke udara. Apabila orang tersebut menderita TB paru,
tetesan tersebut akan mengandung kuman.

2. Per Oral

Anak-anak bisa mendapat TB dari susu atau makanan, infeksi bisa mulai dari
mulut atau usus. Susu dapat mengandung kuman TB dari sapi (bovine TB).

3. Kontak Langsung

Kulit yang utuh ternyata tahan terhadap kuman TB yang jatuh di


permukaannya. Namun, apabila terdapat luka atau goresan baru, TB akan
masuk dan menyebabkan infeksi yang serupa dengan ditemukan pada paru.

9
2.4 Gejala-gejala Penyakit TB Paru

Manifestasi TB sangat bervariasi pada masing-masing penderita karena TB


kadang-kadang tidak menimbulkan gejala-gejala (asimtomatik). Manifestasi TB
secara klinis dapat terjadi dalam beberapa fase diawali dengan fase asimtomatik
dengan lesi yang hanya dapat dideteksi secara radiologik kemudian berkembang
menjadi lisis yang jelas kemudian mengalami stagnasi dan regresi hingga timbul
eksaserbasi yang memburuk. Hal ini dapat terjadi berulang dan berkembang menjadi
menahun (Soekidjo Notoatmodjo 2007). Penyakit TB memiliki tanda-tanda dan
gejala-gejala yang bervariasi baik secara umum maupun secara khusus (Gerdunas
2007; Departemen Kesehatan RI 2007).

1) Batuk

Timbul paling dini dan paling sering. Proses yang ringan menyebabkan sekret
berkumpul waktu tidur dan dikeluarkan waktu bangun pagi (Alsagaff, dkk.,
1989 :20). Batuk terus-menerus dan berdahak berlangsung selama 3 (tiga)
minggu atau lebih (Depkes RI, 2002 :13).

2. Batuk darah

Batuk darah akan terjadi bila pembuluh darah pecah. Bergantung pada
besarnya pembuluh darah yang pecah, maka akan terjadi batuk darah ringan,
sedang, atau berat (Rasmin Rasjid, 1985 :7).

3. Sesak nafas dan rasa nyeri dada

Dari jenis nyeri pleuritik nyeri ringan. Bila nyerinya keras, berarti ada
pleuritis yang luas (di axilla, ujung skapula dan lain-lain) (Alsagaff, dkk.,
1989 :20). Sesak nafas (dyspnea) akan ditemukan pada penyakit yang sudah
lanjut. Pada penyakit yang baru tumbuh tidak akan ditemukan sesak nafas
(Rasmin Rasjid, 1985 :7).

10
Selain gejala klinis di atas gejala umum yang timbul yaitu panas badan,
menggigil, keringat malam, kelelahan serta takikardi, nousea, dan sakit kepala akan
timbul bila panas tubuh meningkat (Alsagaff, dkk., 1989 :21).

2.4.1 Gejala-gejala Penyakit TB Paru pada Anak

Menurut Umar Fahmi Achmadi (2005:208), gejala-gejala yang harus dicurigai


TB paru adalah:

1. Gejala umum TB paru pada anak

1. Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas, dan
tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah mendapatkan penanganan gizi yang
baik (failure to thrive).
2. Nafsu makan tidak ada (anorexia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak
naik (failure to thrive) dengan adekuat.
3. Demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria, atau
infeksi saluran nafas akut), dapat disertai keringat malam.
4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit. Biasanya multipel,
paling sering di daerah leher, ketiak, dan lipatan paha (inguinal).
5. Gejala-gejala dari saluran nafas, misalnya batuk berdahak selama 2-3 minggu
atau lebih. Batuk dahak kadang-kadang disertai darah dan nyeri dada.
6. Gejala-gejala dari saluran cerna, misalnya diare berulang yang tidak sembuh
dengan pengobatan diare, benjolan di abdomen, dan tanda-tanda cairan dalam
abdomen.

2. Gejala spesifik

Gejala-gejala ini biasanya muncul tergantung dari bagian tubuh mana yang terserang,
misalnya:
a. TB kulit atau skrofuloderma

11
b. TB tulang dan sendi, terdiri dari :

• Tulang punggung (spondilitis): gibbus

 Tulang panggul (koksitis): pincang, pembengkakan di pinggul


 Tulang lutut: pincang dan atau bengkak
 Tulang kaki dan tangan

c. TB otak dan saraf, terdiri dari meningitis, dengan gejala iritabel, kaku
kuduk, muntah-muntah, dan kesadaran menurun.

d. Gejala mata, terdiri dari conjunctivitis phlyctenularis.

2.5 Diagnosis TB Paru Pada Anak

Diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan


ditemukannya BTA pada pemerikasaan dahak secara mikroskopik. Hasil pemeriksaan
dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS (sewaktu-pagi-
sewaktu) BTA hasilnya positif. Bila hanya satu spesimen yang positif perlu diadakan
pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan SPS diulang.
Kalau hasil rontgen mendukung TB paru, maka penderita didiagnosis sebagai
penderita TB paru BTA positif. Kalau kasus rontgen tidak mendukung TB paru,
maka pemeriksaan dahak SPS diulang (Depkes RI, 2002 :14). Pada anak hal ini sulit
dan jarang didapat, sehingga sebagian besar diagnosis TBC anak didasarkan atas
gambaran klinis, gambaran foto rontgen dada, dan uji tuberkulin.

Uji tuberkulin dilakukan untuk menunjukkan adanya reaksi imunitas seluler


yang timbul setelah 46 minggu infeksi pertama dengan kuman tuberkulosis (Alsagaff,
dkk., 1989 :23). Uji tuberkulin dilakukan dengan cara Mantoux (penyuntikan
intrakutan) dengan semprit tuberkulin 1 cc jarum nomor 26.

12
Tuberkulin yang dipakai adalah tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU.
Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Ukuran dinyatakan dalam
milimeter. Uji tuberkulin positif bila indurasi >10 mm (pada gizi baik), atau >5 mm
pada gizi buruk (Depkes RI, 2002 :17).

Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik


overdiagnosis maupun underdiagnosis karena penemuan Mycobacterium tuberculosis
sebagai bakteri penyebab TB tidak mudah. Pada anak batuk merupakan gejala utama.
Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB anak perlu kriteria
lain dengan menggunakan sistem skor (Depkes RI, 2008: 24).

Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat Pedoman


Nasional Tuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system),
yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut
secara resmi digunakan oleh program nasional penanggulangan tuberkulosis untuk
diagnosis TB anak. Lihat tabel 2.1 tentang sistem pembobotan (scoring system) gejala
dan pemerikasaan penunjang. Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor.
Pasien dengan jumlah skor lebih atau sama dengan 6 (> 6), harus ditatalaksana
sebagai pasien TB paru dan mendapat OAT (obat anti tuberkulosis). Bila skor kurang
dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan ke arah TB paru kuat maka perlu dilakukan
pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti biasan lambung, patologi
anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan,
dan lain-lainnya (Depkes RI,2008: 24-25).

13
Tabel 2.1 Sistem Skoring Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB Paru

Sumber: Depkes RI, 2008

2.6 Klasifikasi Penyakit dan Tipe Penderita

Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru di bagi dalam : 9

2.6.1 Tuberkulosis Paru BTA Positif

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif atau


12 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis aktif.

14
2.6.2 Tuberkulosis Paru BTA Negatif

Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen
dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. TB paru BTA negatif rontgen positif
dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan.
Bentuk berat bila gambaran foto rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan
paru yang luas, dan atau keadaan umum penderita buruk.

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada


beberapa tipe penderita, yaitu : 9

1. Kasus Baru

Kasus Baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah diobati dengan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).

2. Kambuh (Relaps)
Kambuh (Relaps) adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
3. Pindahan (Transfer In)
Pindahan (Transfer In) adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di
suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten yang
lainnya.

4. Setelah Lalai (Pengobatan setelah default atau drop out)


Adalah penderita yang sudah berobat kurang 1 bulan dan berhenti 2 bulan
atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut
kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

15
5. Lain-lain
1. Gagal
Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan sebelum
akhir pengobatan) atau lebih, atau penderita dengan hasil BTA negatif
rontgen positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan.
2. Kasus Kronis
Kasus adalah penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori 2.

2.7 Pengobatan Pencegahan Penularan Untuk Anak

Semua anak yang tinggal serumah atau kontak erat dengan penderita TB paru
BTA positif berisiko lebih besar untuk terinfeksi. Infeksi pada anak ini, dapat
berlanjut menjadi penyakit tuberkulosis, sebagian menjadi penyakit yang lebih serius
(misalnya meningitis dan milier) yang dapat menimbulkan kematian. 9

Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat dengan
penderita TB paru BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan:

1. Bila anak mempunyai gejala-gejala seperti TB paru harus dilakukan


pemeriksaan lebih lanjut sesuai dengan alaur deteksi dini TB paru pada anak.
2. Bila anak balita tidak mempunyai gejala-gejala seperti TB paru, harus
diberikan pengobatan pencegahan dengan Isoniasid (INH) dengan dosis 5 mg
per kg berat badan per hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum pernah
mendapat imunisasi BCG, perlu diberi BCG setelah pengobatan pencegahan
dengan INH selesai.

2.8 Pencegahan Penyakit TB Paru

16
Tindakan pencegahan dapat dikerjakan oleh penderita, masyarakat, dan
petugas kesehatan, yaitu : 16

2.8.1 Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan

1. Oleh penderita dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk dan
membuang dahak tidak sembarang tempat.
2. Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran untuk
vaksinasi BCG.
3. Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB
paru yang antara lain meliputi gejala, bahaya dan akibat yang ditimbulkannya.
4. Isolasi, pemeriksaan terhadap orang yang terinfeksi, pengobatan khusus TB
paru, pengobatan rawat inap di rumah sakit hanya bagi penderita yang
kategori berat yang memerlukan pengembangan program pengobatannya yang
karena alasan-alasan sosial ekonomi dan medis untuk tidak dikehendaki
pengobatan jalan.

5. Desinfeksi, cuci tangan, perlu perhatian khusus terhadap muntahan dan ludah
(piring, tempat tidur, dan pakaian), ventilasi rumah, dan sinar matahari yang
cukup.
6. Imunisasi orang-orang yang kontak dengan penderita, tindakan pencegahan
bagi orang-orang yang dekat (keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan
lain) yang terindikasi dengan vaksin BCG dan tindak lanjut bagi yang positif
tertular.

2.8.2 Tindakan Pencegahan

1. Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor menjadi sakit, seperti
kepadatan hunian, dengan meningkatkan pendidikan kesehatan.
2. Tersedia sarana-sarana kesehatan, pemeriksaan penderita, kontak, atau suspek,
pengobatan dini bagi penderita, kontak, suspek, dan perawatan.

17
3. Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan terhadap
penyakit inaktif dengan pemberian pengobatan INH sebagai pencegahan.
4. Vaksin BCG, vaksinasi diberikan pertama-tama kepada bayi baru lahir sampai
berumur 12 bulan, tetapi sebaiknya pada umur 0-2 bulan. Hasil yang
memuaskan terlihat apabila diberikan menjelang umur 2 bulan.
5. Memberantas penyakit TB paru pada pemerah air susu dan tukang potong sapi
serta pasteurisasi susu sapi.
6. Pemeriksaan bakteriologis dahak pada orang dengan gejala TB paru.
7. Pemeriksaan screening dengan tuberculin test pada kelompok berisiko tinggi,
seperti para emigran, orang-orang kontak dengan penderita, petugas di rumah
sakit, petugas guru di sekolah, dan petugas foto rontgen.
8. Pemeriksaan foto rontgen pada orang-orang yang positif dari hasil
pemeriksaan tuberculin test.

2.9 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi TB Paru Pada Anak


2.9.1 Pendidikan Orang Tua

Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh
kembang anak karena dengan pendidikan yang baik, maka orang tua dapat menerima
segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik,
bagaimana menjaga kesehatan anaknya, pendidikannya, dan sebagainya
(Soetjiningsih, 1995: 10).

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula pengetahuannya


tentang kesehatan terutama dalam upaya pencegahan dan menghindari penyakit TB
paru (Kun Irianto, dkk., 2004: 331). Hasil penelitian Tri Suwantatik (2001)
menunjukkan bahwa pendidikan ibu merupakan faktor yang berhubungan dengan
kejadian TB paru primer pada anak balita (p= 0.028).

2.9.2 Pengetahuan Orang Tua Tentang Penyakit TB Paru

18
Masalah pasien TB paru yang perlu diperhatikan adalah keadaan pasien yang
sangat lemah, bahaya komplikasi, pengambilan bahan untuk pemeriksaan
laboratorium, gangguan psikososial atau rasa aman dan nyaman, dan kurangnya
pengetahuan orang tua (Ngastiyah, 1997:53). Menurut Indah Entjang (2000: 55),
semakin rendah pengetahuan penderita tentang bahaya penyakit TB paru untuk
dirinya sendiri, keluarga, dan masyarakat di sekitarnya, maka semakin besar pula
bahaya si penderita sebagai sumber penularan baik di rumah maupun di tempat kerja
untuk orang-orang di sekitarnya. Sebaliknya, pengetahuan yang baik tentang penyakit
TB paru akan menolong masyarakat dalam menghindarinya.

Hasil penelitian Tri Suwantatik (2001) dan Anita Setyawati (2006)


menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan orang tua
tentang penyakit TB paru dengan kejadian TB paru pada anak. Anak yang memiliki
orang tua dengan pengetahuan tentang TB paru kurang baik memiliki risiko lebih
besar terkena TB paru dibandingkan dengan yang memiliki pengetahuan tentang TB
paru baik.

Pada umumnya orang tua tidak mengetahui bahwa anaknya menderita TB


paru dan bagaimana penyakit tersebut dapat mengenai anaknya. Mereka hanya
mengetahui bahwa anaknya menderita demam agak lama atau batuk-batuk dalam
jangka waktu yang lama, atau melihat anaknya menjadi kurus, tidak nafsu makan,
serta anak menjadi lemah (Ngastiyah, 1997: 55).

2.9.3 Sikap Orang Tua Tentang Penyakit TB Paru

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya
kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari- hari
merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap merupakan
kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu
penghayatan terhadap objek (Soekidjo Notoatmodjo, 2003: 124).

19
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
sikap orang tua tentang penyakit TB paru dengan kejadian TB paru anak. Menurut M.
Hariwijaya dan Sutanto (2007: 119), diperlukan sikap dan perilaku yang baik dalam
pencegahan dan penularan penyakit TB paru. Semakin baik sikap orang tua terhadap
pencegahan penyakit TB paru, maka semakin kecil pula risiko anaknya untuk tertular
penyakit TB paru.

2.9.4 Perilaku Orang Tua Terhadap Penyakit TB Paru

Menurut Karl dan Colob (1966) yang dikutip oleh Neil Niven (2002: 184),
perilaku kesehatan adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh individu yang meyakini
dirinya sehat untuk tujuan mencegah penyakit atau mendeteksinya dalam tahap
asimptomik. Teori Blum menyebutkan bahwa faktor perilaku merupakan komponen
kedua terbesar dalam menentukan status kesehatan. Penularan penyakit TB paru
dapat disebabkan perilaku yang kurang memenuhi kesehatan, seperti kebiasaan
membuka jendela, dan kebiasaan membuang dahak penderita yang tidak benar.

20
Kurangnya aliran udara dalam rumah meningkatkan kadar CO dan meningkatkan
kelembaban udara yang merupakan media yang baik untuk bakteri patogen. Alasan
ini yang menyebabkan penularan penyakit TB paru dalam keluarga (Agus S. dan
Arum P., 2005).

Cara pencegahan penularan penyakit TB paru yang berkaitan dengan


lingkungan dan perilaku kesehatan (BBKPM Surakarta, 2009), yaitu:

1. Membuka jendela pada pagi hari sampai sore hari, agar rumah mendapat sinar
matahari dan udara yang cukup.

2. Menjemur kasur, bantal dan guling secara teratur 1 kali seminggu.

3. Kesesuaian luas lantai dengan jumlah hunian dalam satu kamar tidak boleh lebih
dari 3 orang.
4. Menjaga kebersihan diri, rumah, dan lingkungan di sekitar rumah.
5. Lantai disemen atau dipasang tegel atau keramik.

21
6. Bila batuk, mulut ditutup dengan sapu tangan.
7. Tidak meludah di sembarang tempat.
8. Menghindari polusi udara dalam rumah, seperti asap dapur dan asap rokok.

2.9.5 Riwayat Kontak

Menurut John Biddulph dan John Stace (1999:230), seorang anak yang
menderita TB paru biasanya tidak menginfeksi anak lainnya. Hal ini karena basil TB
biasanya tidak dapat keluar dari tubuh anak. Berbeda dengan seorang dewasa yang
menderita TB paru. Penderita TB paru dewasa dapat menjadi berbahaya dan mudah
menginfeksi anak-anak dengan membatukkan keluar sebagian lesi dalam paru-
parunya.

Hasil penelitian Tri Suwantatik (2001) dan Anita Setyawati (2006)


menunjukkan bahwa riwayat kontak mempunyai hubungan yang bermakna dengan
kejadian TB paru pada anak. Oleh karena itu, bila seseorang anak didiagnosis
menderita TB paru harus dicari sumbernya dari sekeliling anak sendiri. Apabila telah
diketahui atau ditemukan, sumber tersebut harus berobat dengan benar karena walau
anak diobati jika sekelilingnya masih tetap ada sumber infeksi akan terjadi reinfeksi
lagi pada anak sehingga pengobatan sukar dicapai.

2.9.6 Status Gizi

Status gizi adalah keadaan gizi seseorang yang akan berpengaruh terhadap
kekuatan, daya tahan, dan respon imunologis terhadap penyakit dan keracunan. Status
gizi didapat seseorang dari nutrien yang diberikan kepadanya. Status gizi sangat
berpengaruh terhadap daya tahan tubuh, jika status gizi kurang atau buruk maka daya
tahan tubuh akan lemah sehingga rentan terinfeksi penyakit (Juli Soemirat, 2000: 68).

Penyakit TB paru lebih sering menyerang anak yang kurang gizi karena
penyakit TB paru dapat menyebabkan keadaan gizi anak memburuk. Infeksi TB paru
menyebabkan kehilangan berat badan dan badan menjadi sangat kurus. Kekurangan

22
makanan akan meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Dengan status gizi yang baik,
maka akan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit TB paru sehingga dapat
membantu proses penyembuhan penyakit TB paru (Misnadiarly, 2006:79).

2.9.7 Status Imunisasi BCG

Pemberian BCG dapat mengurangi morbiditas sampai 74 %. Pemberian BCG


dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi oleh basil TB yang virulen.
Imunitas timbul 6-8 minggu setelah pemberian BCG, tetapi imunisasi yang terjadi
tidaklah lengkap sehingga masih mungkin terjadi infeksi meskipun biasanya tidak
progresif dan menimbulkan komplikasi yang berat (Ngastiyah, 1997:49).

Menurut John Biddulph dan John Stace (1999:242), BCG tidak memberikan
kekebalan sempurna pada anak terhadap TB paru, tetapi kekebalan ini sangat berguna
karena anak tidak mudah lagi terserang TB paru dibandingkan anak yang tidak
mendapatkan imunisasi BCG.

Hasil penelitian Anita Setyawati (2006) menyebutkan bahwa terdapat


hubungan yang bermakna antara status imunisasi BCG dengan kejadian TB paru pada
anak. Pemberian BCG dapat meningkatkan pertahanan tubuh terhadap TB paru
samapai 80%. Apabila pemberian BCG diberikan dengan baik pada anak, maka TB
paru dapat dicegah (John Crofton, 1999:14-15).
Mekanisme pertahanan daya tahan tubuh terhadap infeksi Mycobacterium
tuberculosis bergantung pada interaksi dan kerjasama antara sel monosit-makrofag
dan limfosit T serta sitokin. Oleh karena itu sangat penting menjaga nutrisi pada anak,
agar pertahanan tubuh terhadap penyakit tuberculosis ini semakin baik. Malnutrisi
menurut penelitian dapat menyebabkan pertahanan tubuh yang rendah atau disebut
juga dengan immunodefisiensi, karena fungsi dari sel makrofag, limfosit T serta
sitokin yang tidak berjalan.

2.9.8 Daya Tahan Tubuh Anak

23
Daya tahan tubuh anak yang menurun memungkinkan basil berkembang biak
dan keadaan ini menyebabkan timbulnya penyakit TB paru (Hood Alsagaff dan
Abdul Mukty, 2006: 83). Anak-anak merupakan kelompok paling rentan tertular basil
TB karena daya tahan tubuhnya relatif masih lemah daripada orang dewasa
(Mulyono, 2005: 5). Untuk itu diperlukan imunisasi untuk memberikan perlindungan,
pencegahan, sekaligus membangun kekebalan tubuh terhadap berbagai penyakit
menular maupun penyakit berbahaya yang dapat menimbulkan kecacatan tubuh
bahkan kematian.

2.9.9 Kondisi Fisik Rumah

Pada umumnya, lingkungan rumah yang buruk (tidak memenuhi syarat


kesehatan) akan berpengaruh pada penyebaran penyakit menular termasuk TB paru.
Berikut ini akan diuraikan mengenai lingkungan fisik dan sosial rumah yang
berpengaruh terhadap kejadian TB paru.

2.9.9.1 Kelembaban Udara

Kelembaban udara adalah prosentase jumlah kandungan air dalam udara.


Secara umum penilaian kelembaban dalam rumah dengan menggunakan higrometer.
Menurut indikator pengawasan rumah, kelembaban udara yang memenuhi syarat
kesehatan dalam rumah adalah 40-60% dan kelembaban yang tidak memenuhi syarat
kesehatan adalah <40% atau >60% (Depkes RI, 1989 dalam Ikeu Nurhidayah, dkk.,
2007).

Bakteri Mycobacterium tuberculosa seperti halnya bakteri lain, akan tumbuh


dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban tinggi air membentuk lebih dari
80% volume sel bakteri dan merupakan hal yang essensial untuk pertumbuhan dan
kelangsungan sel bakteri (Gould dan Brooker, 2003). Selain itu kelembaban yang
meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk
bakteri tuberkulosa (Soekidjo Notoatmodjo, 2003).

24
2.9.9.2 Ventilasi Rumah

Secara umum penilaian ventilasi rumah dengan cara membandingkan antara


luas ventilasi dengan luas lantai rumah. Luas ventilasi yang memenuhi syarat
kesehatan adalah ≥10 % luas lantai rumah (Depkes RI, 1989 dalam Ikeu Nurhidayah,
dkk., 2007).

Luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan


berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida
yang bersifat racun bagi penghuninya. Selain itu dapat menyebabkan peningkatan
kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan
penyerapan (Ikeu Nurhidayah, dkk., 2007). Menurut Lubis (1989) dalam Ikeu
Nurhidayah, dkk. (2007), luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan
mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang
masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman tuberkulosa yang ada di dalam rumah tidak
dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan.

2.9.9.3 Pencahayaan Alami

Pencahayaan alami ruangan rumah adalah penerangan yang bersumber dari


sinar matahari (alami), yaitu semua jalan yang memungkinkan untuk masuknya
cahaya matahari alamiah, misalnya melalui jendela atau genting kaca (Depkes RI,
1989; Notoatmodjo, 2003).

Kuman tuberkulosa hanya dapat mati oleh sinar matahari langsung. Oleh
karena itu, rumah dengan standar pencahayaan yang buruk sangat berpengaruh
terhadap kejadian TB paru (Depkes RI, 2002). Menurut Atmosukarto dan Soeswati
(2000), kuman tuberkulosa dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab dan
gelap tanpa sinar matahari sampai bertahun-tahun lamanya, dan mati bila terkena
sinar matahari, lisol, sabun, karbol, dan panas api.

2.9.9.4 Kepadatan Penghuni Rumah

25
Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh
bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya
akan menyebabkan perjubelan (overcrowded). Hal ini tidak sehat karena disamping
menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga
terkena penyakit infeksi terutama TB paru akan mudah menular kepada anggota
keluarga yang lain (Lubis, 1989; Notoatmodjo, 2003). Hasil penelitian Anita
Setyawati (2006) menyebutkan bahwa kepadatan penghuni rumah mempunyai
hubungan yang bermakna dengan kejadian TB paru pada anak.

2.9.9.5 Jenis Lantai Rumah

Kep. Menkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 menyatakan bahwa lantai


rumah yang memenuhi syarat kesehatan adalah yang kedap air dan mudah
dibersihkan. Bahan lantai dapat berupa plester, ubin, teraso, porselen, atau keramik.
Bahan lantai yang kedap air dapat menghindari naiknya air tanah sehingga mencegah
kelembaban.

Jenis lantai tanah tidak baik bagi kesehatan, karena mudah dipengaruhi oleh
perubahan kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan yang banyak airnya atau saat
musim hujan, jenis lantai mudah lembab, dan pada lingkungan yang panas mudah
berdebu sehingga membantu transmisi penularan penyakit, misalnya jika terjadi
pencemaran bakteri oleh penderita TB paru. Penderita TB paru pada waktu meludah,
batuk-batuk, atau bersin akan mengeluarkan percikan-percikan dahak yang
mengandung kuman dan jatuh ke lantai. Kuman TB dapat bertahan selama bertahun-
tahun pada kondisi lantai yang lembab. Percikan dahak yang mengering akan
berterbangan di udara, potensial untuk dihirup dan menulari orang yang rentan
terhadap agen kuman yang bersangkutan (Halim Danusantoso, 2000: 101).

26
BAB III

KESIMPULAN

Orang tua khususnya diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang


pencegahan TB paru, misalnya melalui media elektronik maupun media cetak. Selain
itu orang tua diharapkan selalu memperhatikan keadaan kesehatan dan makanan
anaknya dengan cara pemberian nutrisi yang baik. Untuk menghindari penularan TB
paru, orang tua diharapkan dapat menghindarkan anaknya dari kontak dengan
penderita TB paru.

Orang tua pada anak yang telah menderita TB paru harus mengetahui dan
melakukan pemeriksaan dan pengobatan kepada orang yang dicurigai memiliki risiko
dalam penularan TB Paru terutama yang tinggal dalam 1 rumah. Orang tua juga harus
rutin melakukan pemeriksaan dan pengobatan ke fasilitas kesehatan untuk
keberhasilan pengobatan dan mencegah komplikasi dari TB Paru yaitu TB MDR
(Multi Drugs Resistent).

Untuk mencegah terjadinya penyakit TB paru pada anak diharapkan agar


petugas kesehatan lebih meningkatkan kualitas dan kuantitas kegiatan Program
Pemberantasan Penyakit TB Paru (P2TB Paru), misalnya dengan cara
mengintensifkan penyuluhan secara berkala kepada masyarakat melalui tatap muka,
ceramah, dan media massa tentang pencegahan penyakit TB paru, memberikan
penyuluhan kepada penderita dan keluarga pada waktu kunjungan rumah dan
memberi saran untuk terciptanya rumah sehat sebagai upaya mengurangi penyebaran
penyakit, serta menganjurkan perubahan sikap hidup masyarakat dan perbaikan
lingkungan demi terciptanya masyarakat yang sehat.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Agus Sudaryanto dan Arum Pratiwi. 2005. Studi Phenomenologic


Pengetahuan dan Sikap Penderita TBC dan Keluarganya di Wilayah
Kecamatan Kartosuro. Jurnal Kesmas volume 1 No. 1, Juli-Desember 2005.
2. Anita Setyawati. 2006. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
TB Paru pada Anak Usia 1-12 Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas
Bandarharjo Kota Semarang. Skripsi. Semarang: UNNES.
3. Atmosukarto dan Sri Soewasti. 2000. Pengaruh Lingkungan Pemukiman
dalam Penyebaran Tuberkulosis. Jakarta: Media Litbang Kesehatan Vol. 9 (4)
Depkes RI.
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2007. Lembar Fakta
Tuberkulosis. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
5. Bambang Sukana, dkk. 2003. Pengaruh Penyuluhan terhadap Pengetahuan
Penderita TB Paru di Kabupaten Tangerang. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 2
No.3 Desember 2003.
6. BBKPM Surakarta. 2009. Lingkungan Sehat untuk TB Paru.
http://bbpkmska.com/artikel/kesehatan-paru/81-lingkungan-sehat-untuk-
tb.html.
7. Biddulph, John dan John Stace. 1999. Kesehatan Anak untuk Perawat,
Petugas Penyuluh Kesehatan dan Bidan di Desa. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
8. BP4 Kota Salatiga. 2009. Laporan Triwulan Penemuan Pasien TB Kota
Salatiga. D. Sanropie. 1989. Pedoman Bidang Studi Pengawasan Penyehatan
Lingkungan Pemukiman. Jakarta: Institusi Tenaga Sanitasi Kesehatan
Lingkungan Depkes RI. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. Jakarta:
9. Departemen Kesehatan RI. Departemen Kesehatan RI, 2006. Pedoman
Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

28
10. Departemen Kesehatan RI, 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis Edisi 2.Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
11. Dinkes Provinsi Jawa Tengah. 2007. Laporan Dinas Kesehatan Provinsi
Jawa Tengah pada Rapat Kerja Kesehatan Daerah (Rakerkesda) Provinsi
Jawa Tengah. www.litbang.depkes.go.id/risbinkes.
12. Dinkes Provinsi Jawa Tengah. 2009. Laporan Evaluasi Penanggulangan TBC
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Semarang: Dinkes Provinsi Jateng.
13. Gerdunas TB. 2007. Lembar Fakta Tuberkulosis.
http://www.tbcindonesia.or.id. Diakses 1 Februari 2009.
14. Gould, D. dan C. Brooker. 2003. Mikrobiologi Terapan untuk Perawat.
Jakarta: EGC.
15. Halim Danusantoso. 2000. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta:
Hipokrates.
16. Hiswani, 2004. Tuberkulosis merupakan Penyakit Infeksi yang Masih menjadi
Masalah Kesehatan Masyarakat. http://library.usu.ac.id/ download/fkm/fkm-
hiswani6.pdf. Diakses 15 Mei 2009.
17. Hood Alsagaff. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga
University Press.
18. Hood Alsagaff dan Abdul Mukty. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya: Unair Press.
19. Hood Alsagaff, Muhammad Amin, WBM Taib Saleh. 1989. Ilmu Penyakit
Paru. Surabaya: Airlangga University Press.
20. Ikeu Nurhidayah,dkk. 2007. Hubungan antara Karakteristik Lingkungan
Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) pada Anak di Kecamatan Paseh
Kabupaten Sumedang. Makalah. Bandung: UNPAD.
21. Indan Entjang. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: Citra Aditya
Bakti. Jelliffe, D.B. 1994. Kesehatan Anak di Daerah Tropis Edisi Keempat.
Jakarta: Bumi Aksara.
22. John Crofton, dkk. 2001. Tuberkulosis Klinis. Jakarta: Widya Medika.

29
23. Kartasasmita, C. 2002. Pencegahan Tuberkulosis pada Bayi dan Anak.
http//www.depkes.com. Diakses 14 September 2018.
24. Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999. 2005. Persyaratan Kesehatan
Rumah.
25. Kun Irianto, dkk. 2004. Gizi dan Pola Hidup Sehat. Bandung: Yrama Widya.
M. Hariwijaya dan Sutanto. 2007. Pencegahan dan Pengobatan Penyakit
Kronis. Jakarta: EDSA Mahkota.
26. Misnadiarly. 2006. Mengenal, Mencegah, Menaggulangi TB Paru Ekstra
Paru Anak dan Kehamilan. Jakarta: Pustaka Populer Obor.
Muhammad Hatta. 2008. Geliat Program Tuberkulosis bagi Mereka yang
Tersisih. Kompas Edisi Rabu, 19 Maret 2008
27. Muljono. 2005. Flek Paru yang Mengecoh. Intisari. 12 April 2005. Halaman
XII.
28. Neila Ramadhani.2009. Sikap dan Perilaku: Dinamika Psikologi Mengenai
Perubahan Sikap dan Perilaku. Artikel. Yogyakarta : UGM.
29. Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Rasmin Rasjid. 1985. Patofisiologis dan Diagnostik Tuberkulosis Paru.
Jakarta: FKUI.
30. Roni Naning, 2003. Tuberculosis Infection In Infants And Children Who Have
Contact With Positive Sputum Adult Tuberculosis. Yogyakarta : Gajah Mada
University.
31. Soedarto DTMH. 1990. Penyakit-Penyakit Infeksi di Indonesia. Jakarta:
Widya Medika.
32. Soedigdo Sastroamoro dan Sofyan Ismail. 2002. Dasar-Dasar Metodologi
Penelitian Klinis. Jakarta: Sagung Seto.
33. Soekidjo Notoatmodjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip
Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.
34. Soekidjo Notoadmodjo. 2007. Kesehatan Masyarakat : Ilmu dan Seni.
Jakarta: Rineka Cipta.
35. Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.

30
36. Tri Suwantantik. 2002. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
TB Paru Primer pada Anak Usia Balita di RSUD Kabupaten Bantul
Yogyakarta. Skripsi. Semarang: UNDIP.
37. Wahyu Aniwidyaningsih dan Tjandra Yoga Aditama. 2003. Vaksin
Tuberkulosis Berbasis DNA. Jurnal Respirologi Indonesia Vol. 1 No.
1/Januari 2003.

31

Anda mungkin juga menyukai