DI SUSUN
OLEH
KELOMPOK 1
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASAKTI
MAKASAR
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada
masyarakat. Infeksi saluran napas berdasarkan wilayah infeksinya terbagi
menjadi infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran napas bawah. Infeksi
saluran napas atas meliputi rhin itis, sinusitis, faringitis, laringitis, epiglotitis,
tonsilitis, otitis. Sedangkan infeksi saluran napas bawah meliputi infeksi pada
bronkhus, alveoli seperti bronkhitis, bronkhiolitis, pneumonia. Infeksi saluran
napas atas bila tidak diatasi dengan baik dapat berkembang menyebabkan infeksi
saluran nafas bawah. Infeksi saluran nafas atas yang paling banyak terjadi serta
perlunya penanganan dengan baik karena dampak komplikasinya yang
membahayakan adalah otitis, sinusitis, dan faringitis.
Secara umum penyebab dari infeksi saluran napas adalah berbagai
mikroorganisme, namun yang terbanyak akibat infeksi virus dan bakteri. Infeksi
saluran napas dapat terjadi sepanjang tahun, meskipun beberapa infeksi lebih
mudah terjadi pada musim hujan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran
infeksi saluran napas antara lain faktor lingkungan, perilaku masyarakat
yang kurang baik terhadap kesehatan diri maupun publik, serta rendahnya gizi.
Faktor lingkungan meliputi belum terpenuhinya sanitasi dasar seperti air bersih,
jamban, pengelolaan sampah, limbah, pemukiman sehat hingga pencemaran air
dan udara.Perilaku masyarakat yang kurang baik tercermin dari belum terbiasanya
cuci tangan, membuang sampah dan meludah di sembarang tempat. Kesadaran
untuk mengisolasi diri dengan cara menutup mulut dan hidung pada saat bersin
ataupun menggunakan masker pada saat mengalami flu supaya tidak menulari
orang lain masih rendah.
Pengetahuan dan pemahaman tentang infeksi ini menjadi penting di
samping karena penyebarannya sangat luas yaitu melanda bayi, anak-anak
dan dewasa, komplikasinya yang membahayakan serta meng hilangnya
hari kerja ataupun hari sekolah, bahkan berakibat kematian (khususnya
pneumonia). Ditinjau dari prevalensinya, infeksi ini menempati urutan pertama
pada tahun 1999 dan menjadi kedua pada tahun 2000 dari 10 Penyakit Terbanyak
Rawat Jalan.Sedangkan berdasarkan hasil Survey Kesehatan Nasional tahun
2001 diketahui bahwa Infeksi Pernapasan (pneumonia) menjadi penyebab
kematian Balita tertinggi (22,8%) dan penyebab kematian Bayi kedua setelah
gangguan perinatal. Prevalensi tertinggi dijumpai pada bayi usia 6-11 bulan.
Tidak hanya pada balita, infeksi pernapasan menjadi penyebab kematian umum
terbanyak kedua dengan proporsi 12,7%. Tingginya prevalensi infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA) serta dampak yang ditimbulkannya membawa akibat pada
tingginya konsumsi obat bebas (seperti anti influenza, obat batuk, multivitamin)
dan antibiotika.
Dalam kenyataan antibiotika banyak diresepkan untuk mengatasi infeksi
ini. Peresepan antibiotika yang berlebihan tersebut terdapat pada infeksi saluran
napas khususnya infeksi saluran napas atas akut, meskipun sebagian besar
penyebab dari penyakit ini adalah virus. Salah satu penyebabnya adalah
ekspektasi yang berlebihan para klinisi terhadap antibiotika terutama untuk
mencegah infeksi sekunder yang disebabkan oleh bakteri, yang sebetulnya tidak
bisa dicegah. Dampak dari semua ini adalah meningkatnya resistensi bakteri
maupun peningkatan efek samping yang tidak diinginkan.
Permasalahan-permasalahan di atas membutuhkan keterpaduan semua
profesi kesehatan untuk mengatasinya. Apoteker dengan pelayanan
kefarmasiannya dapat berperan serta mengatasi permasalahan tersebut antara lain
dengan mengidentifikasi, memecahkan Problem Terapi Obat (PTO),
memberikan konseling obat, promosi penggunaan obat yang rasional baik
tentang obat bebas maupun antibiotika.Dengan memahami lebih baik tentang
patofisiologi, farmakoterapi infeksi saluran napas, diharapkan peran Apoteker
dapat dilaksanakan lebih baik lagi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)?
2. Bagaimana Epidemiologi dari penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA ) ?
3. Bagaimana patofisiologis dari penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut
( ISPA ) ?
4. Apa saja klasifikasi dari penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA ) ?
5. Bagaimana etiologi dari penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA ) ?
6. Apa saja tanda dan gejala yang ditimbulkan dari penyakit Infeksi
Saluran Pernafasan Akut ( ISPA ) ?
7. Bagaimana cara mendiagnosis penyakit Infeksi Saluran Pernafasan
Akut ( ISPA ) ?
8. Apa saja komplikasi yang ditimbulkan dari penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan Akut ( ISPA ) ?
9. Apa saja pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita penyakit
Infeksi Saluran Pernafasan Akut ( ISPA ) ?
10. Apa saja pencegahan yang dapat dilakukan pada penyakit Infeksi
Saluran Pernafasan Akut ( ISPA ) ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
b. CEFALOSPORIN
Merupakan derivat β-laktam yang memiliki spektrum aktivitas bervariasi
tergantung generasinya. Cefotaksim pada generasi tiga memiliki aktivitas
yang paling luas di antara generasinya yaitu mencakup pula
Pseudominas aeruginosa, B. Fragilis meskipun lemah. Cefalosporin
yang memiliki aktivitas yang kuat terhadap Pseudominas aeruginosa
adalah ceftazidime setara dengan cephalosporin generasi keempat,
namun aksinya terhadap bakteri
Gram positif lemah, sehingga sebaiknya agen ini disimpan untuk
mengatasi infeksi nosokomial yang melibatkan pseudomonas. Spektrum
aktivitas generasi keempat sangat kuat terhadap bakteri Gram positif
maupun negatif, bahkan terhadap Pseudominas aeruginosa sekalipun,
namun tidak terhadap B. fragilis. Mekanisme kerja golongan cefalosporin
sama seperti β-laktam lain yaitu berikatan dengan penicilin protein
binding (PBP) yang terletak di dalam maupun permukaan membran sel
sehingga dinding sel bakteri tidak terbentuk yang berdampak pada
kematian bakteri.
c. MAKROLIDA
Eritromisina merupakan prototipe golongan ini sejak ditemukan
pertama kali th 1952. Komponen lain golongan makrolida merupakan
derivat sintetik darieritromisin yang struktur tambahannya bervariasi
antara 14-16 cincin lakton. Derivat makrolida tersebut terdiri dari
spiramysin, midekamisin, roksitromisin, azitromisin dan klaritromisin.
Aktivitas antimikroba golongan makrolida secara umum meliputi
Gram positif coccus seperti Staphylococcus aureus, coagulase-negatif
staphylococci, streptococci β-hemolitik dan Streptococcus spp.
lain,enterococci, H. Influenzae, Neisseria spp, Bordetella spp,
Corynebacterium spp, Chlamydia, Mycoplasma, Rickettsia dan Legionella
spp. Azitromisin memiliki aktivitas yang lebih poten terhadap Gram
negatif, volume distribusi yang lebih luas serta waktu paruh yang lebih
panjang. Klaritromisin memiliki fitur farmakokinetika yang meningkat
(waktu paruh plasma lebih panjang, penetrasi ke jaringan lebih besar)
serta peningkatan aktivitas terhadap H. Influenzae, Legionella
pneumophila.36 Sedangkan roksitromisin memiliki aktivitas setara
dengan eritromisin, namun profil farmakokinetiknya mengalami
peningkatan sehingga lebih dipilih untuk infeksi saluran pernapasan.
Hampir semua komponen baru golongan makrolida memiliki tolerabilitas,
profil keamanan lebih baik dibandingkan dengan eritromisin. Lebih
jauh lagi derivat baru tersebut bisa diberikan satu atau dua kali
sehari, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien.
a. Kodein
Dosis ANALGESIK
Dewasa: IM / lambat IV / PO / SC 15-60
mg q 4-6 jam (maksimum 360 mg / hari).
ANAK (³ 1 YR): IM / PO / SC 0,5 mg / kg
q 4-6 jam. ANTITUSSIVE
Dewasa: PO 10-20 mg q 4-6 jam
(maksimal 120 mg / hari). ANAK (6-12
YR): PO 5-10 mg 4-6 jam (maksimum 60
mg / hari). ANAK (2-6 YR): PO 2,5-5 mg q
4-6 jam (maksimal 30 mg / hari).
b. Dextrometorphan
Dektrometorfan (d-3-metoksin-N-metilmorfinan) merupakan antitusif
non-opioid. Dekstrometorfan merupakan stereoisomer dektrorotatorik dari
suatu susunan metorfanol termetilasi. Obat ini diharapkan bebas dari sifat
adiktif dan lebih jarang menyebabkan konstipasi daripada kodein
(Katzung, 2012)
Zat ini meningkatkan ambang rangsang refleks batuk secara sentral
dan kekuatannya kira-kira sama dengan kodein. Berbeda dengan
kodein, zat ini jarang menimbulkan kantuk atau gangguan salran
cerna. Dalam dosis terapi dektrometorfan tidak menghambat aktivitas silia
bronkus dan efek antitusifnya bertahan 5-6 jam. Toksisitas zat ini rendah
sekali, tetapi dosis sangat tinggi mungkin menimbulkan depresi napas.
Dektrometorfan tersedia dalam bentuk tablet 10 mg dan sebagai sirup
dengan kadar 10 mg dan 15 mg/5 ml. Dosis dewasa 10-3- mg diberikan 3-
4 kali sehar (FKUI, 2007).
Dekstrometorfan merupakan obat antitusif non narkotik yang bekerja pada
SSP. Dekstrometorfan yang disintesis dari derivat morfin tidak memiliki
efek analgesik maupun sedatif sehingga obat ini diperjual belikan secara
luas. Efek antitusif dari deksrometrofan sama besar dengan efek antitusif
dari kodein (Reynolds dkk., 2003).
Dekstrometorfan merupakan obat batuk antitusif yang ditujukan untuk
batuk kering. Dekstrometorfan menekan refleks batuk dengan cara
langsung bertindak pada pusat batuk di dalam medulla pada otak.
Dekstrometorfan menunjukkan afinitas ikatan yang tinggi pada beberapa
region di otak, termasuk pusat batuk medulla. Senyawa aktif
dekstrometorfan merupakan antagonis reseptor NMDA (N-Methyl D-
Aspartate) dan bertindak sebagai non-competitive channel blocker.
(Hargreaves dkk., 1994).
Dekstrometorfan merupakan opioid-like drug yang berikatan dan sekaligus
bertindak sebagai antagonis pada reseptor NMDA glutamatergic.
Dekstrometorfan juga merupakan agonis pada reseptor opioid σ1 dan σ2,
sekaligus juga merupakan antagonis reseptor α3/β4 nikotinik dan
bertarget pada serotonin reuptake pump (Hernandez dkk., 2000).
Dekstrometorfan diabsorpsi secara cepat dari saluran pencernaan, dimana
dia akan masuk ke aliran darah dan melewati blood-brain barrier (BBB).
Dekstrometorfan diubah menjadi dextrorphan, sebagai senyawa metabolit
aktif setelah melewati first- pass hepatic portal (Olney dan Labruyere,
1989).
Nama Ibuprofen
Indikasi membantu gejala rheumatoid arthritis,
osteoartritis, nyeri ringan sampai sedang, dismenore
primer, pengurangan demam (a to z drug fact
Glukosa-6-fosfat.
ROB Rifampicin dapat mengurangi efek acetaminophen,
Indikasi : Gejala gejala akut (nasal dan nonnasal) terkait dengan rinitis alergi
musiman dan abadi; pengobatan manifestasi kulit yang tidak rumit dari
urtikaria idiopatik kronis.
Kontraindikasi :Pertimbangan standar.
Dosis : dewasa & anak 6 tahun : PO 5 atau 10 mg setiap hari.
Penurunan Hepatik: PO 5 mg setiap hari.
Dosis:
2) Dosis awal: po 0.75 sampai 9 mg / hari. tes penguji: sindrom
cushing: po 1 mg pada pukul 11 malam.
3) Alternatif: po 0,5 mg q 6 jam selama 48 jam. untuk membedakan
sindrom cushing - menyebabkan kelebihan acth pituitary dari
penyebab lain: po 2 mg q 6 jam selama 48 jam. sickness mountain
akut: po 4 mg q 6 jam. antiemetik: po 16 sampai 20 mg. diagnosis
depresi: po 1 mg. hirsutisme: po 0,5 sampai 1 mg / hari.
Interaksi : Aminoglutetimida: Dapat menurunkan penekanan adrenal
akibat dexamethasone. Antolinolinesterase: Dapat melawan
efek antikolinesterase pada miastenia gravis. Antikoagulan, oral:
Dapat mengubah persyaratan dosis antikoagulan. Barbiturat: Dapat
menurunkan efek deksametason. Hydantoins: Dapat meningkatkan
pembersihan dan mengurangi efikasi terapeutik deksametason.
Rifampisin: Dapat meningkatkan pembersihan dan mengurangi efikasi
terapeutik deksametason. Salisilat: Dapat mengurangi kadar serum dan
khasiat salisilat. Troleandomycin: Dapat meningkatkan efek
deksametason.
Efek Samping : SSP: Kejang-kejang; Tekanan intrakranial meningkat
dengan papilledema (pseudotumor cerebri); vertigo; sakit kepala;
neuritis; parestesia; psikosis DERM: Gangguan penyembuhan
luka; kulit rapuh tipis; petechiae dan ecchymoses; eritema; lupus
eritematosus seperti lesi; atrofi lemak subkutan; striae; hirsutisme;
erupsi jerawat; dermatitis alergi; urtikaria; edema angioneurotic, iritasi
perineum; hiperpigmentasi atau hipopigmentasi. Aplikasi topikal:
Pembakaran; gatal; gangguan; eritema; kekeringan; folikulitis;
hipertrikosis; pruritus; dermatitis perioral; dermatitis kontak alergi;
menyengat, retak dan pengencangan kulit; infeksi sekunder; atrofi
kulit; striae; miliaria; telangiektasia EUL: Katarak subkapsuler
posterior; peningkatan IOP; glaukoma; exophthalmos. Inhalasi oral:
Mulut kering; iritasi tenggorokan; suara serak; disfonia; batuk.
Intranasal: Iritasi hidung; pembakaran; pedas; kekeringan; epistaksis
atau lendir berdarah; kemacetan rebound; bersin, rhinorrhea;
keadaan kekurangan penciuman; kehilangan rasa cita rasa;
ketidaknyamanan tenggorokan Ophthalmic: Glaukoma dengan
kerusakan saraf optik; ketajaman visual dan cacat lapangan;
pembentukan katarak subkapsular posterior; infeksi mata sekunder;
sementara terasa menyengat atau terbakar GI: Pankreatitis; distensi
abdomen; esophagitis ulseratif; mual; muntah; peningkatan nafsu
makan dan kenaikan berat badan; tukak peptik dengan perforasi
dan perdarahan; perforasi usus GU: Meningkat atau menurunnya
jumlah dan motilitas spermatozoa
Kehamilan: Kategori Kehamilan belum ditentukan (penggunaan
sistemik); Kategori C (penggunaan topikal). Laktasi: Ekskresi dalam
ASI. Anak-anak: Mungkin lebih rentan terhadap reaksi merugikan dari
penggunaan topikal daripada orang dewasa. Amati pertumbuhan dan
perkembangan bayi dan anak-anak dengan terapi yang
berkepanjangan. Lansia: Mungkin memerlukan dosis lebih rendah.
Penekanan adrenal: Terapi yang berkepanjangan dapat menyebabkan
penekanan hipotalamus-hipofisis-adrenal. Keseimbangan cairan dan
elektrolit: Dapat menyebabkan tekanan darah tinggi, retensi garam dan
air dan peningkatan ekskresi kalium dan kalsium. Pembatasan garam
diet dan suplementasi potassium mungkin diperlukan. Hepatitis:
Dapat berbahaya pada hepatitis aktif kronis yang positif terhadap
antigen permukaan hepatitis B. Infeksi: Dapat menutupi tanda-tanda
infeksi. Dapat menurunkan mekanisme pertahanan host untuk
mencegah penyebaran infeksi. Efek okuler: Gunakan secara sistemik
dengan hati- hati pada herpes simpleks okular karena kemungkinan
perforasi kornea. Penggunaan mata: Penggunaan jangka panjang dapat
menyebabkan glaukoma atau komplikasi lainnya. Ulkus peptikum:
Dapat berkontribusi pada ulserasi peptikum, terutama dalam dosis
besar. Kerusakan ginjal: Gunakan dengan hati-hati; memantau fungsi
ginjal Stres: Peningkatan dosis kortikosteroid dengan cepat dapat
diperlukan sebelum, selama dan setelah situasi stres. Sulfit: Beberapa
produk mengandung natrium bisulfit, yang dapat menyebabkan reaksi
alergi pada beberapa individu. Penarikan: penghentian tiba-tiba dapat
menyebabkan insufisiensi adrenal. Hentikan secara bertahap.
b. Prednisone
Nama obat Prednisne
Indikasi Gangguan endokrin; gangguan
rematik; penyakit
penyakit dermatologis; keadaan
alergi; proses alergi dan
inflamasi; penyakit pernafasan;
gangguan hematologi; penyakit
neoplastik; keadaan edematosa
(karena sindrom nefrotik); Penyakit
GI; multiple sclerosis; meningitis
tuberkulosis; trichinosis dengan
keterlibatan neurologis atau miokard.
(a to z drug fact)
Kontraindikasi Infeksi jamur sistemik; pemberian
vaksin virus hidup (ato z
ISPA adalah suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi disetiap
bagian saluran pernafasan atau struktur yang berhubungan dengan pernafasan
yang berlangsung tidak lebih dari 14 hari.
ISPA disebabkan oleh virus, bakteri maupun riketsia. Bakteri-bakteri yang
paling sering terlibat adalah Streptococcus grup A, Pneumococcus-
pneumococcus, H.influenza yang terutama dijumpai pada anak-anak kecil.
Penatalaksanaan infeksi saluran pernafasan akan berhasil dengan baik apabila
diagnosis penyakit ditegakkan lebih dalam sehingga pengobatan dapat diberikan
sebelum penyakit berkembang lebih lanjut. Penyakit infeksi saluran pernafasan
akut perlu mendapat perhatian, demikian pula dengan penggunaan antibiotika
untuk pengobatannya, karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa
antibiotik sering diberikan pada pasien. Pemberian antibiotik yang tidak
memenuhi dosis regimen dapat meningkatkan resistensi antibiotik. Jika resistensi
antibiotik tidak terdeteksi dan tetap bersifat patogen maka akan terjadi penyakit
yang merupakan ulangan dan menjadi sulit disembuhkan.
Perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu:
Tahap prepatogenesis, Tahap inkubasi, Tahap dini penyakit, Tahap lanjut
penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh sempurna, sembuh dengan
ateletaksis, menjadi kronis dan dapat meninggal akibat pneumonia.
Klasifikasi ISPA menurut Depkes RI adalah ISPA ringan, ISPA sedang, dan
ISPA berat. Tanda dan gejala ISPA banyak bervariasi antara lain demam, pusing,
malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah), photophobia
(takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara nafas), dyspnea
(kesakitan bernafas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada), hipoksia
(kurang oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal nafas apabila tidak
mendapat pertolongan dan mengakibatkan kematian.
Diagnosis ISPA umumnya ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik,
dan apabila diperlukan, pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pneumonia pada
balita didasarkan pada adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai
peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat) sesuai umur, adanya nafas cepat ini
ditentukan dengan cara menghitung frekuensi pernafasan. Diagnosis pneumonia
berat didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernafas disertai nafas
sesak atau penarikan dinding dada sebelah bawah kedalam. pada anak usia 2
bulan sampai 5 tahun. Untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan diagnosis
pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan
sebanyak 60 kali permenit atau lebih, atau adanya penarikan yang kuat pada
dinding dada sebelah bawah ke dalam.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga
tengah, infeksi saluran tuba eustachii, hingga bronkhitis dan pneumonia
(radang paru). Infeksi saluran pernapasan parah dan menyebabkan dehidrasi yang
signifikan, kesulitan bernafas dengan oksigenasi buruk ( hipoksia ), kebingungan
yang signifikan, kelesuan, dan pembengkakan napas pendek pada paru-paru
kronis dan penyakit jantung ( chronic obstructive pulmonary disease atau
COPD, gagal jantung kongestif ). ISPA parah akan mendapatkan komplikasi
seperti radang dalam selaput lendir, otitis, faringitis, epiglotitis dan
lryngotracheitis, bronchitis dan bronchiolitis, pneumonia.
Obat-obat yang digunakan untuk penyakit ISPA antara lain golongan antibiotik
(penisilin, cefalosporin, makrolida), golongaan antitusif (kodein,
dextrometorphan), golongan ekspektoran (guaifenesin), golongan OAINS
(ibuprofen), golongan analgesik-antipiretik (parasetamol), golongan
antihistamin (chlorpheniramin), golongan obat steroid (dexamthasone,
prednisone).
Selain itu terapi non farmakologik yang dapat dilakukan seorang ibu untuk
mengatasi anaknya yang menderita ISPA antara lain mengatasi panas
(demam) dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres, mengatasi
batuk dengan obat batuk yang aman, pemberian makanan yang cukup gizi,
sedikit-sedikit tetapi berulangulang yaitu lebih sering dari biasanya, lebih- lebih
jika muntah. Pemberian ASI pada bayi yang menyusu tetap diteruskan,
pemberian minuman dengan
pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih banyak dari
biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak, kekurangan cairan akan
menambah parah sakit yang diderita.
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit
ISPA pada anak antara lain :
1. Mengusahakan agar anak memperoleh gizi yang baik, diantaranya
dengan cara memberikan makanan kepada anak yang mengandung
cukup gizi.
2. Memberikan imunisasi yang lengkap kepada anak agar daya
tahan tubuh terhadap penyakit baik.
3. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan agar tetap bersih.
4. Mencegah anak berhubungan dengan klien ISPA. Salah satu
cara adalah memakai penutup hidung dan mulut bila kontak
langsung dengan anggota keluarga atau orang yang sedang menderita
penyakit ISPA.
5. Ventilasi rumah cukup
6. Membiasakan memakai masker saat berkendara agar terhindar
dari polusi
3.2 Saran
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna sehingga diharapkan para
pembaca dapat melengkapi makalah ini dengan sumber-sumber infromasi
yang terpercaya dan dapat di pertanggung jawabkan
DAFTAR PUSTAKA
Aberg, J.A., Lacy,C.F, Amstrong, L.L, Goldman, M.P, and Lance, L.L.,
2009.
Drug Information Handbook, 17th edition, Lexi-Comp for the American
Pharmacists Association Comparison
American Society for Hospital-System Pharmacist.2008.AHFS Drug
Information
Handbook. USA : ASHP Inc. Bethesda MD
Anonim.2014.ISO Informasi Spesialite Obat Indonesia Vol. 49.Jakarta :
Penerbit
PT ISFI
Bertram G.Katzung. 2013. Farmakologi Dasar dan Klinik. 12th ed. Jakarta: EGC
Gunawan, Gan Sulistia. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen.
Jakarta:
Farmakologi dan Terapeutik
Tatro, D.S. 2003. A to Z Drug Facts. San Francisco: Facts and Comparison