Anda di halaman 1dari 47

MAKALAH KIMIA MEDISINAL

HUBUNGAN SRTUKTUR KIMIA OBAT TERHADAP INFEKSI


SALURAN PERNAPASAN AKUT

DI SUSUN
OLEH
KELOMPOK 1

MITA KURNIAWATI 516 19 011 232


RITA M. NATAR 513 19 011 007
ZUL FADLLY BUDIATMA 515 19 011 221
MARPUL 515 19 011 154
AYU GUSTI RAHAYU 516 19 011 197

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASAKTI
MAKASAR
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada
masyarakat. Infeksi saluran napas berdasarkan wilayah infeksinya terbagi
menjadi infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran napas bawah. Infeksi
saluran napas atas meliputi rhin itis, sinusitis, faringitis, laringitis, epiglotitis,
tonsilitis, otitis. Sedangkan infeksi saluran napas bawah meliputi infeksi pada
bronkhus, alveoli seperti bronkhitis, bronkhiolitis, pneumonia. Infeksi saluran
napas atas bila tidak diatasi dengan baik dapat berkembang menyebabkan infeksi
saluran nafas bawah. Infeksi saluran nafas atas yang paling banyak terjadi serta
perlunya penanganan dengan baik karena dampak komplikasinya yang
membahayakan adalah otitis, sinusitis, dan faringitis.
Secara umum penyebab dari infeksi saluran napas adalah berbagai
mikroorganisme, namun yang terbanyak akibat infeksi virus dan bakteri. Infeksi
saluran napas dapat terjadi sepanjang tahun, meskipun beberapa infeksi lebih
mudah terjadi pada musim hujan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran
infeksi saluran napas antara lain faktor lingkungan, perilaku masyarakat
yang kurang baik terhadap kesehatan diri maupun publik, serta rendahnya gizi.
Faktor lingkungan meliputi belum terpenuhinya sanitasi dasar seperti air bersih,
jamban, pengelolaan sampah, limbah, pemukiman sehat hingga pencemaran air
dan udara.Perilaku masyarakat yang kurang baik tercermin dari belum terbiasanya
cuci tangan, membuang sampah dan meludah di sembarang tempat. Kesadaran
untuk mengisolasi diri dengan cara menutup mulut dan hidung pada saat bersin
ataupun menggunakan masker pada saat mengalami flu supaya tidak menulari
orang lain masih rendah.
Pengetahuan dan pemahaman tentang infeksi ini menjadi penting di
samping karena penyebarannya sangat luas yaitu melanda bayi, anak-anak
dan dewasa, komplikasinya yang membahayakan serta meng hilangnya
hari kerja ataupun hari sekolah, bahkan berakibat kematian (khususnya
pneumonia). Ditinjau dari prevalensinya, infeksi ini menempati urutan pertama
pada tahun 1999 dan menjadi kedua pada tahun 2000 dari 10 Penyakit Terbanyak
Rawat Jalan.Sedangkan berdasarkan hasil Survey Kesehatan Nasional tahun
2001 diketahui bahwa Infeksi Pernapasan (pneumonia) menjadi penyebab
kematian Balita tertinggi (22,8%) dan penyebab kematian Bayi kedua setelah
gangguan perinatal. Prevalensi tertinggi dijumpai pada bayi usia 6-11 bulan.
Tidak hanya pada balita, infeksi pernapasan menjadi penyebab kematian umum
terbanyak kedua dengan proporsi 12,7%. Tingginya prevalensi infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA) serta dampak yang ditimbulkannya membawa akibat pada
tingginya konsumsi obat bebas (seperti anti influenza, obat batuk, multivitamin)
dan antibiotika.
Dalam kenyataan antibiotika banyak diresepkan untuk mengatasi infeksi
ini. Peresepan antibiotika yang berlebihan tersebut terdapat pada infeksi saluran
napas khususnya infeksi saluran napas atas akut, meskipun sebagian besar
penyebab dari penyakit ini adalah virus. Salah satu penyebabnya adalah
ekspektasi yang berlebihan para klinisi terhadap antibiotika terutama untuk
mencegah infeksi sekunder yang disebabkan oleh bakteri, yang sebetulnya tidak
bisa dicegah. Dampak dari semua ini adalah meningkatnya resistensi bakteri
maupun peningkatan efek samping yang tidak diinginkan.
Permasalahan-permasalahan di atas membutuhkan keterpaduan semua
profesi kesehatan untuk mengatasinya. Apoteker dengan pelayanan
kefarmasiannya dapat berperan serta mengatasi permasalahan tersebut antara lain
dengan mengidentifikasi, memecahkan Problem Terapi Obat (PTO),
memberikan konseling obat, promosi penggunaan obat yang rasional baik
tentang obat bebas maupun antibiotika.Dengan memahami lebih baik tentang
patofisiologi, farmakoterapi infeksi saluran napas, diharapkan peran Apoteker
dapat dilaksanakan lebih baik lagi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)?
2. Bagaimana Epidemiologi dari penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA ) ?
3. Bagaimana patofisiologis dari penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut
( ISPA ) ?
4. Apa saja klasifikasi dari penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA ) ?
5. Bagaimana etiologi dari penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA ) ?
6. Apa saja tanda dan gejala yang ditimbulkan dari penyakit Infeksi
Saluran Pernafasan Akut ( ISPA ) ?
7. Bagaimana cara mendiagnosis penyakit Infeksi Saluran Pernafasan
Akut ( ISPA ) ?
8. Apa saja komplikasi yang ditimbulkan dari penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan Akut ( ISPA ) ?
9. Apa saja pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita penyakit
Infeksi Saluran Pernafasan Akut ( ISPA ) ?
10. Apa saja pencegahan yang dapat dilakukan pada penyakit Infeksi
Saluran Pernafasan Akut ( ISPA ) ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Infeksi Saluran Pernafasan Akut ( ISPA )


Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah infeksi saluran
pernafasan akut yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang
berlangsung kurang lebih 14 hari, ISPA mengenai struktur saluran di atas laring,
tetapi kebanyakan penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan bawah
secara stimulan atau berurutan (Muttaqin, 2008). ISPA adalah penyakit yang
menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran pernafasan mulai dari
hidung hingga alveoli termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga
tengah dan pleura (Nelson, 2003). Jadi disimpulkan bahwa ISPA adalah suatu
tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi disetiap bagian saluran
pernafasan atau struktur yang berhubungan dengan pernafasan yang
berlangsung tidak lebih dari 14 hari.
2.2 Epidemiologi dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut ( ISPA )
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu
penyebab kematian tersering pada anak di negara sedang berkembang. Infeksi
Saluran Pernafasan Akut ini menyebabkan empat dari 15 juta perkiraan kematian
pada anak berusia dibawah lima tahun pada setiap tahunnya, dan sebanyak dua
per tiga kematian tersebut adalah bayi (khususnya bayi muda usia kurang dari dua
bulan) (WHO, 2003).
ISPA adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus, bakteri maupun
riketsia. Bakteri-bakteri yang paling sering terlibat adalah Streptococcus grup A,
Pneumococcus-pneumococcus, H.influenza yang terutama dijumpai pada anak-
anak kecil. Virus influensa merupakan penyebab tersering dari penyakit saluran
pernafasan pada anak-anak dan dewasa. Pada usia lima tahun atau lebih, 90 %
anak-anak telah mengalami infeksi oleh virus influensa. Pada bayi dan anak-
anak virus tersebut bertanggungjawab atas terjadinya penyakit (Nelson, 1995)
ISPA merupakan penyakit yang penting untuk diketahui oleh ibu-ibu,
karena merupakan penyakit yang tingkat kejadiannya sangat tinggi. Menurut
survei kesehatan rumah tangga Indonesia pada tahun 1992 dan tahun 1995,
persentase kematian bayi akibat ISPA masing-masing adalah 36,4 % dan 29,5 %.
Angka kematian bayi akibat ISPA adalah 3 per 100 balita (Anonim, 1995).
Anak-anak akan mendapatkan 3 – 6 kali infeksi / tahun, tetapi beberapa
orang mendapatkan serangan dalam jumlah yang lebih besar lagi terutama selama
masa tahun ke-2 sampai ke-3 kehidupan mereka. Rata-rata setiap anak akan
menderita ISPA sebanyak 3 kali di daerah pedesaan dan kira-kira 6 kali di daerah
perkotaan per tahun. Di perkotaan kemungkinan kejadian ISPA lebih tinggi
dibanding daerah pedesaan karena berkaitan dengan perbedaan kebersihan udara
di kedua daerah tersebut. Demikian pula anak-anak dengan status gizi yang jelek
(kurang gizi) akan lebih mudah menderita ISPA atau ISPA nya menjadi lebih
berat dibandingkan anak dengan status gizi yang baik (Dwi prahasta dkk, 1988).
Ada banyak salah informasi berkenaan dengan infeksi saluran
pernafasan akut sehingga menimbulkan beberapa masalah penting, pertama
sebagian besar ISPA tidak diperhatikan, akibatnya penderita mendapatkan
pengobatan yang tidak diperlukan dan dengan antibiotik menambah biaya
pengobatan, kedua sering terlupakan bahwa faringitis, tonsilitis akut adalah
infeksi saluran pernafasan akut paling penting dan harus diobati dengan antibiotik
yang memadai, dan yang ketiga dokter sering tidak memperhatikan kenyataan
bahwa tidak mungkin membedakan secara meyakinkan antara ISPA karena
virus atau karena bakteri atas dasar klinis saja. Untuk membedakan kedua
penyebab tersebut diperlukan uji diagnostik sederhana seperti biakan tenggorok.
Uji diagnostik diperlukan untuk menanggulangi suatu bakteri yang secara
keliru dinyatakan sebagai penyebab infeksi (Shulman dkk, 1994).
Penatalaksanaan infeksi saluran pernafasan akan berhasil dengan baik
apabila diagnosis penyakit ditegakkan lebih dalam sehingga pengobatan dapat
sebelum penyakit berkembang lebih lanjut. Disamping itu perlu antibiotika yang
sesuai dengan penyakit (Cherniack, 1998).
Antibiotika merupakan obat anti infeksi yang secara drastis telah
menurunkan morbiditas dan mortalitas berbagai penyakit infeksi, sehingga
penggunaannya meningkat tajam. Hasil survei menunjukkan bahwa kira-kira
30% dari seluruh penderita yang dirawat di rumah sakit memperoleh satu atau
lebih terapi antibiotik, dan berbagai penyakit infeksi yang fatal telah berhasil
diobati. Sejalan dengan itu antibiotika menjadi obat yang paling sering
disalahgunakan, sehingga akan meningkatkan resiko efek samping obat, resistensi
dan biaya (Sastramihardja S dan Herry S, 1997).
Antibiotika bertujuan untuk mencegah dan mengobati penyakit-
penyakit infeksi. Pemberian pada kondisi yang bukan disebabkan oleh infeksi
banyak ditemukan dalam praktek sehari-hari, baik di pusat kesehatan primer
(puskesmas) rumah sakit maupun praktek swasta. Ketidaktepatan diagnosis
pemilihan antibiotik, indikasi, dosis, cara pemberian, frekwensi dan lama
pemberian menjadi penyebab tidak akuratnya pengobatan infeksi dengan
antibiotika (Nelson, 1995).
Penyakit infeksi saluran pernafasan akut perlu mendapat perhatian,
demikian pula dengan penggunaan antibiotika untuk pengobatannya, karena
beberapa penelitian menunjukkan bahwa antibiotik sering diberikan pada pasien.
Pemberian antibiotik yang tidak memenuhi dosis regimen dapat meningkatkan
resistensi antibiotik. Jika resistensi antibiotik tidak terdeteksi dan tetap bersifat
patogen maka akan terjadi penyakit yang merupakan ulangan dan menjadi
sulit disembuhkan (Anonim, 2003).
2.3 Patofisiologi Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut ( ISPA )
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus
dengan tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan
menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke atas
mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu tangkapan refleks spasmus oleh
laring.Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan epitel dan lapisan
mukosa saluran pernafasan (Kending dan Chernick, 1983)
Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk
kering (Jeliffe, 1974). Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan
menyebabkan kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada
dinding saluran nafas, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi
normal. Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk
(Kending and Chernick, 1983). Sehingga pada tahap awal gejala ISPA yang
paling menonjol adalah batuk. Adanya infeksi virus merupakan predisposisi
terjadinya infeksi sekunder bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan
mekanisme mukosiliaris yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran
pernafasan terhadap infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteri- bakteri
patogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas seperti streptococcus
pneumonia, haemophylus influenza dan staphylococcus menyerang mukosa yang
rusak tersebut (Kending dan Chernick, 1983).
Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah
banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga timbul sesak nafas dan juga
menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan
adanya fakor-faktor seperti kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan penelitian
menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran
nafas dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada bayi dan anak (Tyrell,
1980). Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke tempat-
tempat yang lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam,
dan juga bisa menyebar ke saluran nafas bawah (Tyrell, 1980).
Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa menyerang saluran nafas bawah,
sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran
pernafasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru
sehingga menyebabkan pneumonia bakteri (Shann, 1985). Penanganan penyakit
saluran pernafasan pada anak harus diperhatikan aspek imunologis saluran nafas
terutama dalam hal bahwa sistem imun di saluran nafas yang sebagian besar
terdiri dari mukosa, tidak sama dengan sistem imun sistemik pada umumnya.
Sistem imun saluran nafas yang terdiri dari folikel dan
jaringan limfoid yang tersebar, merupakan ciri khas system imun mukosa.
Ciri khas berikutnya adalah bahwa IgA memegang peranan pada saluran
nafas atas sedangkan IgG pada saluran nafas bawah. Diketahui pula bahwa
sekretori IgA (sIgA) sangat berperan dalam mempertahankan integritas mukosa
saluran nafas (Siregar, 1994). Dari uraian di atas, perjalanan klinis penyakit ISPA
ini dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu:
a. Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum
menunjukkan reaksi apa-apa.
b. Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa.
Tubuh menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan
sebelumnya memang sudah rendah.
c. Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit.Timbul
gejala demam dan batuk.
d. Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh
sempurna, sembuh dengan ateletaksis, menjadi kronis dan dapat
meninggal akibat pneumonia.
2.4 Klasifikasi Infeksi Saluran Pernafasan Akut ( ISPA )
Klasifikasi penyakit ISPA dibedakan untuk golongan umur di bawah 2
bulan dan untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun (Muttaqin, 2008):
a) Golongan Umur Kurang 2 Bulan
1) Pneumonia Berat
Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada bagian bawah
atau napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang
2 bulan yaitu 6x per menit atau lebih.
2) Bukan Pneumonia (batuk pilek biasa)
3) Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian
bawah atau napas cepat.
Tanda bahaya untuk golongan umur kurang 2 bulan, yaitu:
1. Kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai kurang
dari ½ volume yang biasa diminum)
2. Kejang
3. Kesadaran menurun
4. Stridor
5. Wheezing
6. Demam / dingin.
b) Golongan Umur 2 Bulan-5 Tahun
1) Pneumonia Berat
Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian
bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat diperiksa
anak harus dalam keadaan tenang, tidak menangis atau meronta).
2) Pneumonia Sedang
Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah:
a. Untuk usia 2 bulan-12 bulan = 50 kali per menit atau lebih b. Untuk usia
1-4 tahun = 40 kali per menit atau lebih.
3) Bukan Pneumonia
Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada
napas cepat.
Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun yaitu:
1. Tidak bisa minum
2. Kejang
3. Kesadaran menurun
4. Stridor
5. Gizi buruk
 Klasifikasi ISPA menurut Depkes RI (2002) adalah :
1. ISPA ringa
Seseorang yang menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala betuk,
pilek, dan sesak.
2. ISPA sedang
ISPA sedang apabila timbul gejala sesak nafas, suhu tubuh lebih dari 390
C dan bila bernafas mengeluarkan suara seperti mengorok.
3. SPA berat
Gejala meliputi: kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba,nafsu
makan menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisa
2.5 Etiologi Infeksi Saluran Pernafasan Akut ( ISPA )
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia.
Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptokokus, Stafilokokus,
Pneumokokus, Hemofillus, Bordetelia dan Korinebakterium. Virus penyebab
ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus, Koronavirus, Pikornavirus,
Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain (Suhandayani, 2007).
ISPA disebabkan oleh bakteri atau virus yang masuk kesaluran nafas.
Salah satu penyebab ISPA yang lain adalah asap pembakaran bahan bakar kayu
yang biasanya digunakan untuk memasak. Asap bahan bakar kayu ini banyak
menyerang lingkungan masyarakat, karena masyarakat terutama ibu- ibu rumah
tangga selalu melakukan aktifitas memasak tiap hari menggunakan bahan bakar
kayu, gas maupun minyak. Timbulnya asap tersebut tanpa disadarinya telah
mereka hirup sehari-hari, sehingga banyak masyarakat mengeluh batuk, sesak
nafas dan sulit untuk bernafas. Polusi dari bahan bakar kayu tersebut mengandung
zat-zat seperti Dry basis, Ash, Carbon, Hidrogen, Sulfur, Nitrogen dan Oxygen
yang sangat berbahaya bagi kesehatan (Depkes RI, 2002).
Faktor resiko timbulnya ISPA menurut Dharmage (2009) :
Faktor Demografi yang terdiri dari 3 aspek yaitu :
1) Jenis kelamin
Bila dibandingkan antara orang laki-laki dan perempuan, laki lakilah yang
banyak terserang penyakit ISPA karena mayoritas orang laki-laki
merupakan perokok dan sering berkendaraan, sehingga mereka sering
terkena polusi udara.
2) Usia
3) Anak balita dan ibu rumah tangga yang lebih banyak terserang
penyakit ISPA. Hal ini disebabkan karena banyaknmya ibu rumah tangga
yang memasak sambil menggendong anaknya.
4) Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh
dalam kesehatan, karena lemahnya manajemen kasus oleh petugas
kesehatan serta pengetahuan yang kurang di masyarakat akan gejala
dan upaya penanggulangannya, sehingga banyak kasus ISPA yang datang
kesarana pelayanan kesehatan sudah dalam keadaan berat karena
kurang mengerti bagaimana cara serta pencegahan agar tidak mudah
terserang penyakit ISPA.
2.4 Tanda dan Gejala Klinis dari Penyakit ISPA
ISPA merupakan proses inflamasi yang terjadi pada setiap bagian saluran
pernafasan atas maupun bawah, yang meliputi infiltrat peradangan dan edema
mukosa, kongestif vaskuler, bertambahnya sekresi mukus serta perubahan
struktur fungsi siliare (Muttaqin, 2008). Tanda dan gejala ISPA banyak bervariasi
antara lain demam, pusing, malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan),
vomitus (muntah), photophobia (takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret,
stridor (suara nafas), dyspnea (kesakitan bernafas), retraksi suprasternal
(adanya tarikan dada), hipoksia (kurang oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal
nafas apabila tidak mendapat pertolongan dan mengakibatkan kematian. (Nelson,
2003).
Sedangkan tanda gejala ISPA menurut Depkes RI (2002) adalah :
a. Gejala dari ISPA Ringan
Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan
satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:
1. Batuk
2. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara
(misal pada waktu berbicara atau menangis).
3. Pilek, yaitu mengeluarkan lender atau ingus dari hidung.
4. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370 C atau jika dahi anak
diraba.
b. Gejala dari ISPA Sedang
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala
dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:
1. Pernafasan lebih dari 50 kali per menit pada anak yang berumur
kurang dari satu tahun atau lebih dari 40 kali per menit pada
anak yang berumur satu tahun atau lebih. Cara menghitung
pernafasan i alah dengan menghitung jumlah tarikan nafas satu menit.
Untuk menghitung dapat digunakan arloji
2. uhu lebih dari 39º C (diukur dengan termometer).
3. Tenggorokan berwarna merah.
4. Timbul bercak bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak.
5. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga .
6. Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur)
7. Pernafasan berbunyi berciut-ciut.
c. Gejala dari ISPA Berat
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-
gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih
gejala-gejala sebagai berikut:
1. Bibir atau kulit membiru.
2. Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada
waktu bernafas.
3. Anak tidak sadar atau kesadaran menurun.
4. Pernafasan berbunyi seperti orang mengorok dan anak tampak
gelisah.
5. Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas.
6. Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba.
7. Tenggorokan berwarna merah.
2.7 Diagnosis Penyakit ISPA
Diagnosis ISPA umumnya ditegakkan melalui anamnesa (wawancara
seputar riwayat penyakit dan gejala), pemeriksaan fisik, dan apabila diperlukan,
pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksaan fisik, suara napas anda akan
diperiksa untuk mengetahui apakah ada penumpukan cairan atau terjadinya
peradangan pada paru-paru. Hidung dan tenggorokan juga akan diperiksa.
Pemeriksaan tambahan yang mungkin dilakukan adalah prosedur pulse oxymetry.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk memeriksa seberapa banyak oksigen yang masuk
ke paru-paru, dan biasanya dilakukan pada pasien yang mengalami kesulitan
bernafas.
Selain itu, dokter mungkin akan menyarankan untuk melakukan
pengambilan sampel dahak untuk diperiksa di laboratorium. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk menentukan jenis virus atau bakteri penyebab ISPA. Apabila
infeksi dicurigai telah masuk sampai ke dalam paru-paru, maka pemeriksaan
dengan X-Ray atau CT scan mungkin akan direkomendasikan oleh dokter. Kedua
jenis pemeriksaan ini dilakukan untuk mengamati kondisi paru-paru.
Penentuan klasifikasi pneumonia berat dan pneumonia sekaligus merupakan
penegakan diagnosis, sedangkan penentuan klasifikasi bukan pneumonia
dianggap sebagai penegakan diagnosis. Jika seorang baliita keadaan penyakitnya
termasuk dalam klasifikasi bukan pneumonia maka diagnosis penyakitnya adalah:
batuk pilek biasa. Diagnosis pneumonia pada balita didasarkan pada adanya batuk
atau kesukaran bernafas disertai peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat) sesuai
umur, adanya nafas cepat ini ditentukan dengan cara menghitung frekuensi
pernafasan. Batas nafas cepat adalah frekuensi pernafasan sebanyak 50 kali
permenit atau lebih pada anak usia 2 bulan kurang dari 1 tahun dan 40 kali
permenit atau lebih pada anak usia 1 tahun kurang dari 5 tahun. Pada anak usia
kurang dari 2 bulan tidak dikenal dosis pneumonia.
Diagnosis pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk dan atau
kesukaran bernafas disertai nafas sesak atau penarikan dinding dada sebelah
bawah kedalam. pada anak usia 2 bulan sampai 5 tahun. Untuk kelompok
umur kurang dari 2 bulan diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya
nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali permenit atau lebih, atau
adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam. Untuk
tatalaksana penderita di Rumah sakit atau sarana kesehatan rujukan bagikelompok
umur 2 bulan sampai 5 tahun. Dikenal pada diagnosis pneumonia sangat berat
yaitu gejala batuk atau kesukaran bernafas yang disertai adanya gejala sianosis
sentral dan tidak dapat minum.
2.8 Komplikasi Penyakit ISPA
Penyakit ini sebenarnya merupakan self limited disease, yang sembuh
sendiri 5 sampai 6 hari, jika tidak terjadi invasi kuman lain. Tetapi penyakit ISPA
yang tidak mendapatkan pengobatan dan perawatan yang baik dapat
menimbulkan komplikasi seperti: sinusitis paranasal, penutupan
tubaeustachi, empiema, meningitis dan bronkopneumonia serta berlanjut
pada kematian karena adanya sepsis yang menular (Ngastiyah, 2005).
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga
tengah, infeksi saluran tuba eustachii, hingga bronkhitis dan pneumonia
(radang paru). Infeksi saluran pernapasan parah dan menyebabkan dehidrasi yang
signifikan, kesulitan bernafas dengan oksigenasi buruk ( hipoksia ), kebingungan
yang signifikan, kelesuan, dan pembengkakan napas pendek pada paru-paru
kronis dan penyakit jantung ( chronic obstructive pulmonary disease atau COPD,
gagal jantung kongestif ).
ISPA Parah Akan Mendapatkan Komplikasi Seperti :
a. Radang dalam selaput lendi
Sinusitis adalah kondisi peradangan akut dari satu atau lebih sinus
paranasal. Infeksi memainkan peran penting dalam penderitaan ini.
Sinusitis sering terjadi akibat infeksi pada situs lain dari saluran
pernafasan karena sinus paranasal bersebelahan dengan, dan
berkomunikasi dengan, saluran pernapasan bagian atas.
b. Otitis
Infeksi telinga adalah peristiwa umum yang ditemui dalam praktik medis,
terutama pada anak kecil. Otitis externa adalah infeksi yang melibatkan
kanal pendengaran eksternal sementara otitis media menunjukkan radang
pada telinga tengah.
c. Faringitis
Faringitis adalah radang faring yang melibatkan jaringan limfoid faring
posterior dan lateral faring. Etiologi dapat berupa infeksi bakteri, virus dan
jamur serta etiologi non-infeksi seperti merokok. Sebagian besar kasus
disebabkan oleh infeksi virus dan menyertai flu biasa atau influenza.
d. Epiglotitis dan Laryngotracheitis
Peradangan pada jalan nafas atas diklasifikasikan sebagai epiglotitis atau
laringotracheitis (croup) berdasarkan lokasi, manifestasi klinis, dan
patogen infeksi. Beberapa kasus epiglotitis pada orang dewasa mungkin
berasal dari virus. Sebagian besar kasus laryngotracheitis disebabkan oleh virus
yang menyebabkan ISPA.

e. Bronchitis dan Bronchiolitis


Bronkitis dan bronkiolitis melibatkan peradangan pada pohon bronkus.
Bronkitis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan bagian atas
atau merupakan bagian dari sindrom klinis pada penyakit seperti
influenza, rubeola, rubella, pertusis, demam berdarah dan demam tifoid.
Bronkitis kronis dengan batuk terus-menerus dan produksi sputum
tampaknya disebabkan oleh kombinasi faktor lingkungan, seperti
merokok, dan infeksi bakteri dengan patogen seperti H influenzae dan S
pneumoniae.
f. Pneumonia

Pneumonia adalah radang parenkim paru. Konsolidasi jaringan paru-paru


dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan fisik dan rontgen dada. Dari sudut
pandang anatomis, pneumonia lobar menunjukkan proses alveolar yang
melibatkan seluruh lobus paru-paru sementara bronkopneumonia
menggambarkan proses alveolar yang terjadi dalam distribusi yang tidak
rata tanpa mengisi seluruh lobus.
Waspadai bahaya penyakit ISPA, segera lakukan pengobatan
penyakit ISPA untuk mencegah penyakit lebih parah dan mendapatkan
komplikasi berbahaya, karena harus Anda ketahui ISPA termasuk
penyakit yang
mematikan. ( Baca juga Tanaman Obat Penyakit ISPA )
2.9 Pengobatan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut ( ISPA )
a. Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik
parenteral, oksigen dan sebagainya.
b. Pneumonia : diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila penderita
tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian
kotrimoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai obat antibiotik
pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin prokain.
c. Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan
perawatan di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk
tradisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat yang
merugikan seperti kodein, dekstrometorfan dan, antihistamin. Bila
demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol. Penderita dengan
gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan tenggorokan didapat adanya
bercak nanah (eksudat) disertai pembesaran kelenjar getah bening dileher,
dianggap sebagai radang tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan
harus diberi antibiotik (penisilin) selama 10 hari. Tanda bahaya setiap
bayi atau anak dengan tanda bahaya harus diberikan perawatan khusus
untuk pemeriksaan selanjutnya.
A. Terapi Farmakologi
Obat – Obat yang biasanya digunakan untuk Penyakit ISPA
1. Antibiotik
a. PENICILIN
Penicilin merupakan derifat β-laktam tertua yang memiliki aksi
bakterisidal dengan mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel
bakteri. Masalah resistensi akibat penicilinase mendorong lahirnya
terobosan dengan ditemukannya derivat penicilin seperti methicilin,
fenoksimetil penicilin yang dapat diberikan oral, karboksipenicilin yang
memiliki aksi terhadap Pseudomonas sp. Namun hanya
Fenoksimetilpenicilin yang dijumpai di Indonesia yang lebih dikenal
dengan nama Penicilin V. Spektrum aktivitas dari
fenoksimetilpenicilin meliputi terhadap Streptococcus pyogenes,
Streptococcus pneumoniae serta aksi yang kurang kuat terhadap
Enterococcus faecalis. Aktivitas terhadap bakteri Gram negative sama
sekali tidak dimiliki. Antibiotika ini diabsorbsi sekitar 60-73%,
didistribusikan hingga ke cairan ASI sehingga waspada pemberian
pada ibu menyusui. Antibiotika ini memiliki waktu paruh 30 menit, namun
memanjang pada pasien dengan gagal ginjal berat maupun terminal,
sehingga interval pemberian 250 mg setiap 6 jam.

b. CEFALOSPORIN
Merupakan derivat β-laktam yang memiliki spektrum aktivitas bervariasi
tergantung generasinya. Cefotaksim pada generasi tiga memiliki aktivitas
yang paling luas di antara generasinya yaitu mencakup pula
Pseudominas aeruginosa, B. Fragilis meskipun lemah. Cefalosporin
yang memiliki aktivitas yang kuat terhadap Pseudominas aeruginosa
adalah ceftazidime setara dengan cephalosporin generasi keempat,
namun aksinya terhadap bakteri
Gram positif lemah, sehingga sebaiknya agen ini disimpan untuk
mengatasi infeksi nosokomial yang melibatkan pseudomonas. Spektrum
aktivitas generasi keempat sangat kuat terhadap bakteri Gram positif
maupun negatif, bahkan terhadap Pseudominas aeruginosa sekalipun,
namun tidak terhadap B. fragilis. Mekanisme kerja golongan cefalosporin
sama seperti β-laktam lain yaitu berikatan dengan penicilin protein
binding (PBP) yang terletak di dalam maupun permukaan membran sel
sehingga dinding sel bakteri tidak terbentuk yang berdampak pada
kematian bakteri.

c. MAKROLIDA
Eritromisina merupakan prototipe golongan ini sejak ditemukan
pertama kali th 1952. Komponen lain golongan makrolida merupakan
derivat sintetik darieritromisin yang struktur tambahannya bervariasi
antara 14-16 cincin lakton. Derivat makrolida tersebut terdiri dari
spiramysin, midekamisin, roksitromisin, azitromisin dan klaritromisin.
Aktivitas antimikroba golongan makrolida secara umum meliputi
Gram positif coccus seperti Staphylococcus aureus, coagulase-negatif
staphylococci, streptococci β-hemolitik dan Streptococcus spp.
lain,enterococci, H. Influenzae, Neisseria spp, Bordetella spp,
Corynebacterium spp, Chlamydia, Mycoplasma, Rickettsia dan Legionella
spp. Azitromisin memiliki aktivitas yang lebih poten terhadap Gram
negatif, volume distribusi yang lebih luas serta waktu paruh yang lebih
panjang. Klaritromisin memiliki fitur farmakokinetika yang meningkat
(waktu paruh plasma lebih panjang, penetrasi ke jaringan lebih besar)
serta peningkatan aktivitas terhadap H. Influenzae, Legionella
pneumophila.36 Sedangkan roksitromisin memiliki aktivitas setara
dengan eritromisin, namun profil farmakokinetiknya mengalami
peningkatan sehingga lebih dipilih untuk infeksi saluran pernapasan.
Hampir semua komponen baru golongan makrolida memiliki tolerabilitas,
profil keamanan lebih baik dibandingkan dengan eritromisin. Lebih
jauh lagi derivat baru tersebut bisa diberikan satu atau dua kali
sehari, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien.

2. Golongan Obat Antitusif

a. Kodein

Kodein merupakan obat antitusif golongan narkotik yang bekerja


pada SSP. Kodein sejak lama digunakan sebagai „gold standard‟
pembanding obat-obatan antitusif baru yang bekerja pada SSP.
Kodein kemungkinan merupakan obat yang paling sering diresepkan
sebagai antitusif karena dapat memberikan efek analgesik dan antitusif
yang baik pada pemberian secara peroral (Chung, 2003).
Kodein merupakan golongan opiat yang selektif pada reseptor μ
opioid, seperti pada analognya morfin, namun dengan afinitas yang jauh
lebih kecil. Kemampuan analgesiknya diduga berasal dari konversi
dari kodein ke morfin. Reseptor μ opioid merupakan reseptor yang
berpasangan dengan G-protein yang berfungsi sebagai regulator transmisi
sinaps melalui G-protein yang mengaktifkan protein efektor. Terikatnya
opiat menstimulasi pertukaran dari GTP (Guanosin Trifosfat) menjadi
GDP (Guanosin Difosfat) di G-protein kompleks. Sebagai sistem efektor
adalah adenylate cyclase dan cylcic adenosin monophospate (cAMP) yang
terletak di bagian dalam permukaan membran plasma. Opioid mengurangi
cAMP intraselular dengan cara menghambat adenylate cyclase.
Akibatnya, pelepasan nociceptive neurotransmitter seperti substansi P,
GABA (Gamma Amino Butyric Acid), dopamine, asetilkolin dan
noradrenaline ikut terhambat. Opioid juga menghambat pelepasan
vasopressin, somastotatin, insulin dan glukagon. Opioid menutup N-type
voltage-operated calcium channels (OP2-receptor agonist) dan
membuka calcium-dependant inwardl rectifying potassium channels
(OP3 dan OP1 receptor agonist). Hal ini mengakibatkan hiperpolarisasi
dan mengurangi sensitivitas neuron (Schroeder dan Fahey, 2004).
Kodein merupakan sebuah prodrug. Dia akan aktif setelah melewati
metabolisme menjadi morfin melalui hepar. Kodein mengalami demetilasi
menjadi morfin oleh enzim hepar CYP2D6 (Cytochrome P450 family 2
subfamily D member 6). Sekitar 70-80% dosis yang diberikan mengalami
glukoronidasi membentuk codeine-6- glucoronide. Proses ini dimediasi oleh
UDP-glukoronosiltranferase UGT2B7 (UDP-Glucoronyltransferase 2B7) dan
UGT2B4 (UDP- Glucoronyltransferase 2B4). Lima hingga sepuluh persen
dari dosis mengalami O-demetilasi menjadi morfin dan 10% lainnya
mengalami N-demetilasi membentuk norcodeine. CYP2D6 memfasilitasi
biotransformasi menjadi morfin. CYP3A4 (Cytochrome P450 family 3
subfamily A member 4) adalah enzim yang memfasilitasi konversi
menjadi norcodeine. Baik morfin maupun norcodeine dimetabolisme lebih
lanjut dan mengalami glukoronidasi. Metabolit glukoronid dari morfin adalah
morphine-3-glucoronide (M3G) dan morphine-6- glucoronide (M6G). Baik
morfin maupun M6G merupakan senyawa aktif dan memiliki aktivitas
analgesik. Sedangkan norcodeine dan M3G tidak memiliki aktivitas
analgesik (Vree dkk., 2000).
Efek samping yang ditimbulkan kodein antara lain mengantuk, mual dan
muntah, serta konstipasi. Selain itu, kodein dapat mengakibatkan
ketergantungan seperti layaknya pada obat-obatan morfin, namun dengan
skala yang lebih kecil (Chung, 2003).

Nama obat Kodein


Indikasi Meringankan nyeri ringan sampai
sedang
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap opiat; obstruksi
jalan akut; Diare disebabkan oleh keracunan
atau racun.

Dosis ANALGESIK
 Dewasa: IM / lambat IV / PO / SC 15-60
mg q 4-6 jam (maksimum 360 mg / hari).
ANAK (³ 1 YR): IM / PO / SC 0,5 mg / kg
q 4-6 jam. ANTITUSSIVE
 Dewasa: PO 10-20 mg q 4-6 jam
(maksimal 120 mg / hari). ANAK (6-12
YR): PO 5-10 mg 4-6 jam (maksimum 60
mg / hari). ANAK (2-6 YR): PO 2,5-5 mg q
4-6 jam (maksimal 30 mg / hari).

Efek samping CV: Hipotensi; hipotensi ortostatik;


bradikardia;
takikardia; syok.
SSP: ringan kepala; pusing; sedasi;
disorientasi;
ketiadaan koordinasi; euforia; igauan. DERM:
Berkeringat; pruritus; urtikaria
GI: Mual; muntah; sembelit; sakit
perut;
anoreksia; kejang saluran empedu. GU:
Retensi urin atau keragu-raguan.
RESP: Laringospasme; depresi refleks
batuk; depresi pernapasan
Perhatian Kehamilan Terapeutik dosis kodein telah
meningkatkan durasi persalinan. Laktasi:
Ekskresi dalam ASI. Anak-anak: Jangan
berikan IV kepada anak-anak <12 thn.
Anak-anak lebih peka terhadap efek obat.
Pasien lanjut usia: Lebih peka terhadap efek
obat. Pasien dengan risiko khusus:
Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan
myxedema, alkoholisme akut, riwayat potensi
penyalahgunaan obat terlarang, kondisi
perut akut, kolitis ulserativa, penurunan
cadangan pernafasan, cedera kepala atau
peningkatan tekanan intrakranial, hipoksia,
takikardia supraventrikular, volume darah
habis, syok peredaran darah , hipotiroidisme,
dan masalah eliminasi urin / usus.
Ketergantungan: Codeine memiliki potensi
penyalahgunaan. Kerusakan ginjal atau hati:
Durasi tindakan mungkin akan berlangsung
lama; mungkin perlu mengurangi
dosis.

b. Dextrometorphan
Dektrometorfan (d-3-metoksin-N-metilmorfinan) merupakan antitusif
non-opioid. Dekstrometorfan merupakan stereoisomer dektrorotatorik dari
suatu susunan metorfanol termetilasi. Obat ini diharapkan bebas dari sifat
adiktif dan lebih jarang menyebabkan konstipasi daripada kodein
(Katzung, 2012)
Zat ini meningkatkan ambang rangsang refleks batuk secara sentral
dan kekuatannya kira-kira sama dengan kodein. Berbeda dengan
kodein, zat ini jarang menimbulkan kantuk atau gangguan salran
cerna. Dalam dosis terapi dektrometorfan tidak menghambat aktivitas silia
bronkus dan efek antitusifnya bertahan 5-6 jam. Toksisitas zat ini rendah
sekali, tetapi dosis sangat tinggi mungkin menimbulkan depresi napas.
Dektrometorfan tersedia dalam bentuk tablet 10 mg dan sebagai sirup
dengan kadar 10 mg dan 15 mg/5 ml. Dosis dewasa 10-3- mg diberikan 3-
4 kali sehar (FKUI, 2007).
Dekstrometorfan merupakan obat antitusif non narkotik yang bekerja pada
SSP. Dekstrometorfan yang disintesis dari derivat morfin tidak memiliki
efek analgesik maupun sedatif sehingga obat ini diperjual belikan secara
luas. Efek antitusif dari deksrometrofan sama besar dengan efek antitusif
dari kodein (Reynolds dkk., 2003).
Dekstrometorfan merupakan obat batuk antitusif yang ditujukan untuk
batuk kering. Dekstrometorfan menekan refleks batuk dengan cara
langsung bertindak pada pusat batuk di dalam medulla pada otak.
Dekstrometorfan menunjukkan afinitas ikatan yang tinggi pada beberapa
region di otak, termasuk pusat batuk medulla. Senyawa aktif
dekstrometorfan merupakan antagonis reseptor NMDA (N-Methyl D-
Aspartate) dan bertindak sebagai non-competitive channel blocker.
(Hargreaves dkk., 1994).
Dekstrometorfan merupakan opioid-like drug yang berikatan dan sekaligus
bertindak sebagai antagonis pada reseptor NMDA glutamatergic.
Dekstrometorfan juga merupakan agonis pada reseptor opioid σ1 dan σ2,
sekaligus juga merupakan antagonis reseptor α3/β4 nikotinik dan
bertarget pada serotonin reuptake pump (Hernandez dkk., 2000).
Dekstrometorfan diabsorpsi secara cepat dari saluran pencernaan, dimana
dia akan masuk ke aliran darah dan melewati blood-brain barrier (BBB).
Dekstrometorfan diubah menjadi dextrorphan, sebagai senyawa metabolit
aktif setelah melewati first- pass hepatic portal (Olney dan Labruyere,
1989).

Indikasi : Perawatan untuk batuk tidak berdahak (A to Z drug)


Dosis : Dosis sirup:
a. Dewasa 10-20 mg setiap 4 jam sehari atau 30 mg 3-4 kali sehari
(maksimal 120mg/hari)
b. Anak 6-12 tahun 15 mg 3-4 kali sehari (maksimal 60 mg/hari)
c. Anak 2-5 tahun 7,5 mg 3-4 kali sehari (maksimal 30 (A to Z drug facts)
Efek samping : Mual, mengantuk, pusing (A to Z drug facts
Perhatian : Kategori C, Jangan gunakan untuk batuk persisten atau kronis
(misalnya asma, emfisema) atau bila batuk disertai dengan sekresi yang
berlebihan (A to Z drug facts)
3. Golongan Obat Antikonvulsan
a. ( Phenobarbital )
Komposisi : Phenobarbital
Indikasi : Pada bayi dan anak kecil, fenobarbital efektif dalam
pencegahan kejang demam ; Pengobatan jangka pendek untuk
insomnia ; obat penenang preanestetik
Dosis : Dewasa :Sedasi: Oral, I.M .: 30-120 mg / haridalam 2-3 dosis
terbagi
Anak-anak : Oral: Children: 2 mg/kg 3 kali sehari
Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap barbiturat; kecanduan
obat penenang ; kerusakan hati parah; penyakit pernafasan dengan
dyspnea; pasien nephritis
Efek samping : Mual muntah, konstipasi, bradikardi, hipotensi,
ngantuk, sakit kepala
Perhatian : Toleransi atau ketergantungan psikologis dan fisik dapat
terjadi.
4. Golongan Obat Ekspektoran
Nama Obat GUAFENESIN
Digunakan sebagai ekspektoran
Dalam penanganan simtomatik
batuk yang berhubungan dengan
flu biasa, bronkitis, radang
tenggorokan, faringitis, pertusis,
influenza, dan batuk yang dipicu
oleh sinusitis paranasum kronis
(AHFSDI)

Dosis Dewasa Dewasa dan Anak-anak (minimal


12 tahun): PO 200 sampai 400 mg
setiap 4 jam (maks, 2,4 g / hari).
( a to z )

Dosis Anak 2-6 tahun: PO 50 sampai 100 mg


setiap 4 jam (maks, 600 mg / hari)
6-12 tahun: 100 sampai 200 mg
setiap 4 jam (maks, 1,2 g /
hari).

Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap


guaifenesin
Efek samping SSP: Pusing; sakit kepala.
DERMATOLOGI: Ruam;
urtikaria
GI: Mual; muntah

Perhatian dosis guaifenesin lebih besar dari


yang dibutuhkan untuk tindakan
ekspektoran dapat menghasilkan
emesis ( ahfs di)

Kehamilan Kehamilan: Kategori C. Laktasi:


Belum ditentukan. Batuk terus-
menerus: Bisa mengindikasikan
kondisi serius. Beritahu
dokter, apoteker, atau perawat jika
batuk bertahan lebih dari 1
minggu, cenderung kambuh atau
disertai demam tinggi, ruam,
atau sakit kepala yang terus-
menerus. ( a to z)

5. Golongan Obat Anti Inflamasi Non steroid ( OAINS )


a. IbuProfen
Ibuprofen merupakan golongan obat anti inflamasi non steroid derivat
asam propionat yang mempunyai aktivitas analgetik. Mekanisme
ibuprofen adalah menghambat isoenzim siklooksigenase-1 dan
siklooksigenase-2 dengan cara mengganggu perubahan asam arakidonat
menjadi prostaglandin. Enzim siklooksigenase berperan dalam memacu
pembentukan prostaglandin dan tromboksan asam arakidonat, sedangkan
prostaglandin adalah molekul pembawa pesan pada proses inflamasi
atau peradangan. Efek analgetik ibuprofen adalah sama seperti
aspirin. Efek analgetik obat tersebut terlihat dengan memberikan
dosis 1200-2400 mg sehari (Wilmana dan Gan, 2007).
Penggunaan ibuprofen untuk mengurangi penyakit sebagai analgetik-
antipiretik. Ibuprofen ketika digunakan secara oral akan diabsorpsi
secara cepat oleh usus dengan konsentrasi puncak dalam plasma terjadi
dalam waktu1-2 jam. Ibuprofen akan terikat oleh protein plasma
sekitar 90-99%. Metabolisme ibuprofen melalui hidroksilasi maupun
karboksilasi. Ekskresi ibuprofen sangat cepat sekitar lebih dari 90% pada
urin dalam bentuk metabolit (Tjay dan Raharja, 2002). Ibuprofen sering
diresepkan sebagai analgetik- antipiretik terutama pada anak-anak.
Ibuprofen lebih sering digunakan karena obat ini cederung lebih aman
dibandingkan dengan obat yang memiliki khasiat sama seperti
parasetamol. Ibuprofen sering digunakan tetapi obat ini memiliki
permasalahan kelarutan pada proses formulasi.
Karakteristik ibuprofen termasuk dalam Biopharmaceutics Classification
System (BCS) kelas II dengan ciri sifat permeabilitas tinggi dan
kelarutannya rendah (Amidon dkk., 1995).
Obat yang termasukdalam karakteristik BCS kelas II memiliki ciri
bioavailabilitasobat tergantung pada jenis sediaan dan kecepatan
pelepasan zat aktifnya. Ibuprofen ketika diformulasikan perlu pengatasan
masalah kelarutan obat tersebut. Teknik yang digunakan untuk
memperbaiki kelarutan obat BCS kelas II antara lain dengan penggunaan
kosolven, pembentukan kompleksasi (misalnya dengan pembentukan
kompleks inklusi dengan penambahan zat pengompleks seperti β-
siklodekstrin), dan pendekatan melalui prodrug(Agoes, 2012).

Nama Ibuprofen
Indikasi membantu gejala rheumatoid arthritis,
osteoartritis, nyeri ringan sampai sedang, dismenore
primer, pengurangan demam (a to z drug fact

Hipersensitivitas terhadap aspirin, iodida, atau NSAID


lainnya (a to z drug fact

Jarang terjadi; mual, muntah, ganggguan saluran cerna.


Pernah dilaporkan adanya ruam kulit;
trombositopennia dan limfopenia. Penurunan
ketajaman pengelihatan (sangat jarang). (Iso Vol 49,
19)

Anak: 1 sampai 12 thn: £ 39,2 ° C (102,5 ° F)


dianjurkan dosis PO 5 mg / kg; > 39,2 ° C (102,5
Dosis ° F) dianjurkan dosis PO 10 mg / kg; dosis harian
maksimum 40 mg / kg. (a to z drug fact)

Dewasa: sehari 2-4 kali 1-2 kapl atau menurut


petunjuk dokter (Iso Vol 49, 19)

Perhatian Untuk pasien dengan riwayat penyakit saluran cerna


bagian atas, gangguan funngsi ginjal, gangguan
pembekuan darah, asma harap mengkonsultasikan ke
dokter terlebih dahulu.
Pemakaian jangan dibarengi dengan pemakaian
asetosal atau obat lain yang mengandung ibuprofen,
hamil dan mneyusui tidak dianjurkan (Iso Vol 49, 19)

6. Golongan Obat Analgesik - Antipiretik


a. Parasetamol

Nama Obat Acetaminofen/Parasetamol

Mengurangi demam karena aksinya yang langsung ke pusat


pangatur panas di hipotalamus yang berdampak vasodilatasi
serta pengeluaran keringat.
Dosis Dewasa 325-650 mg setiap 4-6 jam atau 3-4 x 1000 mg, tidak
melebihi 4g/hari

Dosis Anak < 12 th: 10-15mg/kg setiap 4-6jam, max 2,6g/hari

>12 th: seperti dosis dewasa.


Kontraindikasi Hipersensitivitas yang terdokumentasi, Defisiensi

Glukosa-6-fosfat.
ROB Rifampicin dapat mengurangi efek acetaminophen,

pemberian bersama dengan barbiturate, karbamazepin,


hydantoin INH dapat meningkatkan hepatotoksisitas.
Interaksi Rifampicin dapat mengurangi efek acetaminophen,

pemberian bersama dengan barbiturate, karbamazepin,


hydantoin INH dapat meningkatkan hepatotoksisitas.
Kehamilan Klasifikasi B: Biasanya aman, namun tetap

dipertimbangkan keuntungan terhadap risikonya.


Monitoring

Perhatian Hepatotoksisitas pada pasien alkoholik dapat terjadi

setelah terpapar dosis yang bervariasi. Nyeri yang


sangat, berulang atau demam mengindikasikan sakit
yang serius.

5. Golongan Obat Antihistanin


a. Chorpheniramin maleat
Aksi : Secara agresif menentang histamin di situs reseptor H1
Indikasi : Sementara relief bersin, gatal, mata berair, hidung gatal atau
tenggorokan, dan hidung meler akibat alergi hayati (alergi) rhinitis atau
alergi pernafasan lainnya.
Kontraindikasi: Hipersensitivitas terhadap antihistamin; glaukoma sudut
sempit; stenosing tukak peptik; hipertrofi prostat simtomatik; serangan
asma; obstruksi leher kandung kemih; obstruksi pyloroduodenal; Terapi
MAO; gunakan pada bayi yang baru lahir atau bayi prematur dan ibu
menyusui.
Dosis :
1) Gejala Kondisi Alergi Dewasa dan Anak di atas 12 tahun: PO 4
mg q 4 sampai 6 jam (bentuk pelepasan segera) atau 8 sampai 12
mg pada waktu tidur atau q 8 sampai 12 jam (bentuk
pelepasan yang bertahan) (maks, 24 mg / 24 jam). Efidac: 16 mg
q 24 jam (maks, 16 mg / 24 jam). SC / IM / IV: 5 sampai 20 mg
sebagai dosis tunggal (maks, 40 mg / 24 jam).
2) Anak-anak 6 sampai 12 tahun: PO 2 mg q 4 sampai 6 jam (bentuk
pelepasan segera) atau 8 mg pada waktu tidur atau siang hari
seperti yang ditunjukkan (formulir pelepasan yang bertahan)
(maks, 12 mg /24 jam).
3) Anak-anak 2 sampai 6 tahun PO (hanya tablet atau sirup;
pelepasan yang tidak dianjurkan) 1 mg q 4 sampai 6 jam (maks, 4
mg / 24 jam).
4) Reaksi alergi terhadap Darah atau Plasma Dewasa: SC / IM / IV
10 sampai 20 mg sebagai dosis tunggal (maks, 40 mg / 24 jam).
5) Anafilaksis Dewasa: IV 10 sampai 20 mg sebagai dosis tunggal.
Interaksi :
1) Alkohol dan depresan SSP: Dapat menyebabkan efek depresan
SSP tambahan.
2) Inhibitor MAO: Dapat meningkatkan efek antikolinergik
dari chlorpheniramine
Efek Samping : Kardiovaskular: hipotensi ortostatik; palpitasi;
bradikardia; takikardia; refleks takikardia; extrasystoles; pingsan ssp:
mengantuk (sering sementara); sedasi; pusing; pingsan; koordinasi yang
terganggu; kegugupan; kegelisahan. gi: mulut kering; kesusahan
epigastrik; anoreksia; mual; muntah; diare; sembelit; perubahan kebiasaan
buang air besar. gu: frekuensi atau retensi urin; disuria. hematologi:
anemia hemolitik; trombositopenia; agranulositosis metabolik:
meningkatnya nafsu makan; penambahan berat badan. respiratory:
penebalan sekresi bronkial; dada sesak; mengi; kotoran hidung; hidung
kering dan tenggorokan; sakit tenggorokan; depresi pernapasan lain: reaksi
hipersensitivitas; fotosensitivitas.
Perhatian : Kehamilan: Kategori B. Jangan gunakan selama trimester
ketiga. Laktasi: Kontraindikasi pada ibu menyusui. Anak-anak: Overdosis
dapat menyebabkan halusinasi, kejang, dan kematian. Antihistamin dapat
mengurangi kewaspadaan mental. Pada anak kecil, mereka mungkin
menghasilkan eksitasi paradoks. Kontraindikasi pada bayi baru lahir atau
bayi prematur. Bentuk pelepasan berkelanjutan yang tidak dianjurkan
pada anak-anak kurang dari 6 tahun. Lansia: Kemungkinan besar
pusing, sedasi berlebihan, sinkop, keadaan bingung dan hipotensi pada
pasien di atas 60 tahun. Pengurangan dosis mungkin diperlukan. Pasien
berisiko khusus: Gunakan obat dengan hati-hati pada pasien dengan
predisposisi retensi urin, riwayat asma bronkial, peningkatan IOP,
hipertiroidisme, penyakit kardiovaskular, atau hipertensi. Hindari pada
penderita sleep apnea. Kerusakan hati: Gunakan obat dengan hati-
hati pada pasien dengan sirosis atau penyakit hati lainnya. Reaksi
hipersensitivitas: Mungkin terjadi. Memiliki epinefrin 1: 1000 segera
tersedia. Penyakit pernafasan: Umumnya tidak disarankan untuk
mengobati gejala saluran pernapasan bagian bawah termasuk asma.
b. Difenhidramin HCl
Indikasi : Mengurangi gejala rhinitis alergi musiman dan musiman, rinitis
vasomotor dan konjungtivitis alergi; melegakan sementara pilek dan
bersin yang disebabkan oleh flu biasa;melegakan gejala pruritus alergi dan
non-alergi (A to Z drug facts)
Dosis Menekan batuk :
Dewasa 25 mg setiap 4 jam (maksimal 150 mg/ hari)
Anak 6-12 tahun 12.5 mg setiap 4 jam (maksimal 75mg/ hari)
Anak 2-5 tahun 6.2.5 mg setiap 4 jam (maksimal 25mg/ hari) (A to Z
drug facts)
Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap antihistamin; serangan asma;
obstruksi leher kandung kemih; obstruksi pyloroduodenal; Terapi MAOI;
riwayat apnea tidur; pada bayi yang baru lahir atau bayi prematur
dan pada wanita menyusui. (A to Z drug facts)
Efek samping : Bradikardi, takikardi, mengantuk, pusing, hidung
tersumbat, mulut dan kerongkongan kering (A to Z drug Fact)
Perhatian : Kategori B. Dapat dieksresikan lewat ASI. Gunakan
dengan hati-hati pada pasien yang cenderung mengalami retensi urin,
hipertrofi prostat, riwayat asma bronkial, peningkatan tekanan intraokular,
hipertiroidisme, penyakit kardiovaskular, atau hipertensi (A to Z drug
Fact.)
c. Cetirizin

Indikasi : Gejala gejala akut (nasal dan nonnasal) terkait dengan rinitis alergi
musiman dan abadi; pengobatan manifestasi kulit yang tidak rumit dari
urtikaria idiopatik kronis.
Kontraindikasi :Pertimbangan standar.
Dosis : dewasa & anak  6 tahun : PO 5 atau 10 mg setiap hari.
Penurunan Hepatik: PO 5 mg setiap hari.

Interaksi : Tidak ada yang terdokumentasi dengan baik


Efek Samping : takikardia; hipertensi; gagal jantung; SSP: kelelahan; pusing;
sakit kepala; paresthesia; kebingungan; hiperkinesia; hipertensi; DERM:
Pruritus; kulit kering; urtikaria; jerawat; infeksi kulit; ruam eritematosa GI:
Mulut kering; mual; muntah; sakit perut; diare;
Perhatian : Kehamilan: Kategori B. Laktasi: Ekskresi dalam ASI. Anak-
anak (<6 thn): Keselamatan dan kemanjuran tidak mapan. Pasien
lansia: Efek sampingan profil serupa dengan pasien yang lebih muda. Gangguan
ginjal dan hati: Penyesuaian dosis mungkin diperlukan.

8. Golongan Obat steroid


1) Dexamethasone
aksi : Synthetic long-acting glukokortikoid yang menekan
pembentukan, pelepasan dan aktivitas mediator inflamasi endogen
termasuk prostaglandin, kinin, histamin, enzim liposomal dan sistem
komplemen. Juga memodifikasi respon imun tubuh.
Indikasi : Pengujian hiperfungsi korteks adrenal; pengelolaan
insidensi korteks adrenal primer atau sekunder, gangguan rematik,
penyakit kolagen, penyakit dermatologis, keadaan alergi, proses
alergi alergi, inflamasi, gangguan hematologi, penyakit neoplastik,
edema serebral yang terkait dengan tumor otak primer atau
metastasis, kraniotomi atau cedera kepala. , keadaan edematosa
(disebabkan oleh sindrom nefrotik), penyakit GI, multiple sclerosis,
meningitis tuberkulosis, trichinosis dengan keterlibatan neurologis
atau miokard.
Kontraindikasi: Infeksi jamur sistemik; Penggunaan IM pada
purpura thrombocytopenic idiopatik; pemberian vaksin virus hidup;
monoterapi topikal pada infeksi bakteri primer; penggunaan intranasal
pada infeksi lokal yang tidak diobati yang melibatkan mukosa
hidung; Penggunaan oftalmik pada keratitis herpes simpleks akut
superfisial, penyakit jamur pada struktur okular, vaccinia, varicella
dan okular tuberkulosis.

Dosis:
2) Dosis awal: po 0.75 sampai 9 mg / hari. tes penguji: sindrom
cushing: po 1 mg pada pukul 11 malam.
3) Alternatif: po 0,5 mg q 6 jam selama 48 jam. untuk membedakan
sindrom cushing - menyebabkan kelebihan acth pituitary dari
penyebab lain: po 2 mg q 6 jam selama 48 jam. sickness mountain
akut: po 4 mg q 6 jam. antiemetik: po 16 sampai 20 mg. diagnosis
depresi: po 1 mg. hirsutisme: po 0,5 sampai 1 mg / hari.
Interaksi : Aminoglutetimida: Dapat menurunkan penekanan adrenal
akibat dexamethasone. Antolinolinesterase: Dapat melawan
efek antikolinesterase pada miastenia gravis. Antikoagulan, oral:
Dapat mengubah persyaratan dosis antikoagulan. Barbiturat: Dapat
menurunkan efek deksametason. Hydantoins: Dapat meningkatkan
pembersihan dan mengurangi efikasi terapeutik deksametason.
Rifampisin: Dapat meningkatkan pembersihan dan mengurangi efikasi
terapeutik deksametason. Salisilat: Dapat mengurangi kadar serum dan
khasiat salisilat. Troleandomycin: Dapat meningkatkan efek
deksametason.
Efek Samping : SSP: Kejang-kejang; Tekanan intrakranial meningkat
dengan papilledema (pseudotumor cerebri); vertigo; sakit kepala;
neuritis; parestesia; psikosis DERM: Gangguan penyembuhan
luka; kulit rapuh tipis; petechiae dan ecchymoses; eritema; lupus
eritematosus seperti lesi; atrofi lemak subkutan; striae; hirsutisme;
erupsi jerawat; dermatitis alergi; urtikaria; edema angioneurotic, iritasi
perineum; hiperpigmentasi atau hipopigmentasi. Aplikasi topikal:
Pembakaran; gatal; gangguan; eritema; kekeringan; folikulitis;
hipertrikosis; pruritus; dermatitis perioral; dermatitis kontak alergi;
menyengat, retak dan pengencangan kulit; infeksi sekunder; atrofi
kulit; striae; miliaria; telangiektasia EUL: Katarak subkapsuler
posterior; peningkatan IOP; glaukoma; exophthalmos. Inhalasi oral:
Mulut kering; iritasi tenggorokan; suara serak; disfonia; batuk.
Intranasal: Iritasi hidung; pembakaran; pedas; kekeringan; epistaksis
atau lendir berdarah; kemacetan rebound; bersin, rhinorrhea;
keadaan kekurangan penciuman; kehilangan rasa cita rasa;
ketidaknyamanan tenggorokan Ophthalmic: Glaukoma dengan
kerusakan saraf optik; ketajaman visual dan cacat lapangan;
pembentukan katarak subkapsular posterior; infeksi mata sekunder;
sementara terasa menyengat atau terbakar GI: Pankreatitis; distensi
abdomen; esophagitis ulseratif; mual; muntah; peningkatan nafsu
makan dan kenaikan berat badan; tukak peptik dengan perforasi
dan perdarahan; perforasi usus GU: Meningkat atau menurunnya
jumlah dan motilitas spermatozoa
Kehamilan: Kategori Kehamilan belum ditentukan (penggunaan
sistemik); Kategori C (penggunaan topikal). Laktasi: Ekskresi dalam
ASI. Anak-anak: Mungkin lebih rentan terhadap reaksi merugikan dari
penggunaan topikal daripada orang dewasa. Amati pertumbuhan dan
perkembangan bayi dan anak-anak dengan terapi yang
berkepanjangan. Lansia: Mungkin memerlukan dosis lebih rendah.
Penekanan adrenal: Terapi yang berkepanjangan dapat menyebabkan
penekanan hipotalamus-hipofisis-adrenal. Keseimbangan cairan dan
elektrolit: Dapat menyebabkan tekanan darah tinggi, retensi garam dan
air dan peningkatan ekskresi kalium dan kalsium. Pembatasan garam
diet dan suplementasi potassium mungkin diperlukan. Hepatitis:
Dapat berbahaya pada hepatitis aktif kronis yang positif terhadap
antigen permukaan hepatitis B. Infeksi: Dapat menutupi tanda-tanda
infeksi. Dapat menurunkan mekanisme pertahanan host untuk
mencegah penyebaran infeksi. Efek okuler: Gunakan secara sistemik
dengan hati- hati pada herpes simpleks okular karena kemungkinan
perforasi kornea. Penggunaan mata: Penggunaan jangka panjang dapat
menyebabkan glaukoma atau komplikasi lainnya. Ulkus peptikum:
Dapat berkontribusi pada ulserasi peptikum, terutama dalam dosis
besar. Kerusakan ginjal: Gunakan dengan hati-hati; memantau fungsi
ginjal Stres: Peningkatan dosis kortikosteroid dengan cepat dapat
diperlukan sebelum, selama dan setelah situasi stres. Sulfit: Beberapa
produk mengandung natrium bisulfit, yang dapat menyebabkan reaksi
alergi pada beberapa individu. Penarikan: penghentian tiba-tiba dapat
menyebabkan insufisiensi adrenal. Hentikan secara bertahap.

b. Prednisone
Nama obat Prednisne
Indikasi Gangguan endokrin; gangguan
rematik; penyakit
penyakit dermatologis; keadaan
alergi; proses alergi dan
inflamasi; penyakit pernafasan;
gangguan hematologi; penyakit
neoplastik; keadaan edematosa
(karena sindrom nefrotik); Penyakit
GI; multiple sclerosis; meningitis
tuberkulosis; trichinosis dengan
keterlibatan neurologis atau miokard.
(a to z drug fact)
Kontraindikasi Infeksi jamur sistemik; pemberian
vaksin virus hidup (ato z

Efek samping Gangguan cairan dan elektrolit,


musculoskeletal,
gastroinstentinal, dermatologi,
neurologi, endoktrin, metabolic,
reaksi hipersensitiv (Iso vol 49, hal
282)
Dosis Lansia, wanita hamil dan
menyusui, penggunaan dosis tinggi
dan jangka panjang dapat menurunkan
daya tahan tubuh terhadap penyakit
infeksi, pemberian pada anak-anak
hanya apabila benar-benar diperlukan
(Iso vol 49, hal 282)
Perhatian Lansia, wanita hamil dan
menyusui, penggunaan dosis tinggi
dan jangka panjang dapat menurunkan
daya tahan tubuh terhadap penyakit
infeksi, pemberian pada anak-anak
hanya apabila benar-benar diperlukan
(Iso vol 49, hal 282)

B. Terapi non farmakologi


1. Perawatan di rumah
Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi
anaknya yang menderita ISPA.
1) Mengatasi panas (demam)
Untuk anak usia 2 bulan sampai 5 tahun demam diatasi dengan
memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan
dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6
jam untuk waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan
dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan kompres,
dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).
2) Mengatasi batuk
Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional
yaitu jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan kecap atau madu ½
sendok teh, diberikan tiga kali sehari.
3) Pemberian makanan
Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulangulang
yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah. Pemberian ASI
pada bayi yang menyusu tetap diteruskan.
4) Pemberian minuman
Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih
banyak dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak,
kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang diderita.
5) Lain-lain.
a. Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu
tebal dan rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam.
b. Jika pilek, bersihkan hidung yang berguna untuk mempercepat
kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah.
c. Usahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat yaitu yang
berventilasi cukup dan tidak berasap.
d. Apabila selama perawatan dirumah keadaan anak memburuk maka
dianjurkan untuk membawa kedokter atau petugas kesehatan.
e. Untuk penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan
diatas usahakan agar obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan
benar selama 5 hari penuh. Dan untuk penderita yang mendapatkan
antibiotik, usahakan agar setelah 2 hari anak
2. pencegahan penyakit gastritis
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit
ISPA
pada anak antara lain :
1. Mengusahakan agar anak memperoleh gizi yang baik, diantaranya
dengan cara memberikan makanan kepada anak
2. Memberikan imunisasi yang lengkap kepada anak agar daya tahan
tubuh terhadap penyakit baik.
3. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan agar tetap bersih.
4. Mencegah anak berhubungan dengan klien ISPA. Salah satu cara
adalah memakai penutup hidung dan mulut bila kontak langsung
dengan anggota keluarga atau orang yang sedang menderita penyakit
ISPA.
5. Ventilasi rumah cukup
6. Membiasakan memakai masker saat berkendara agar terhindar dari
polusi
2.10 Hubungan struktur kimia obat dengan penyakit ISPA
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

ISPA adalah suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi disetiap
bagian saluran pernafasan atau struktur yang berhubungan dengan pernafasan
yang berlangsung tidak lebih dari 14 hari.
ISPA disebabkan oleh virus, bakteri maupun riketsia. Bakteri-bakteri yang
paling sering terlibat adalah Streptococcus grup A, Pneumococcus-
pneumococcus, H.influenza yang terutama dijumpai pada anak-anak kecil.
Penatalaksanaan infeksi saluran pernafasan akan berhasil dengan baik apabila
diagnosis penyakit ditegakkan lebih dalam sehingga pengobatan dapat diberikan
sebelum penyakit berkembang lebih lanjut. Penyakit infeksi saluran pernafasan
akut perlu mendapat perhatian, demikian pula dengan penggunaan antibiotika
untuk pengobatannya, karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa
antibiotik sering diberikan pada pasien. Pemberian antibiotik yang tidak
memenuhi dosis regimen dapat meningkatkan resistensi antibiotik. Jika resistensi
antibiotik tidak terdeteksi dan tetap bersifat patogen maka akan terjadi penyakit
yang merupakan ulangan dan menjadi sulit disembuhkan.
Perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu:
Tahap prepatogenesis, Tahap inkubasi, Tahap dini penyakit, Tahap lanjut
penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh sempurna, sembuh dengan
ateletaksis, menjadi kronis dan dapat meninggal akibat pneumonia.

Klasifikasi ISPA menurut Depkes RI adalah ISPA ringan, ISPA sedang, dan
ISPA berat. Tanda dan gejala ISPA banyak bervariasi antara lain demam, pusing,
malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah), photophobia
(takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara nafas), dyspnea
(kesakitan bernafas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada), hipoksia
(kurang oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal nafas apabila tidak
mendapat pertolongan dan mengakibatkan kematian.
Diagnosis ISPA umumnya ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik,
dan apabila diperlukan, pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pneumonia pada
balita didasarkan pada adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai
peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat) sesuai umur, adanya nafas cepat ini
ditentukan dengan cara menghitung frekuensi pernafasan. Diagnosis pneumonia
berat didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernafas disertai nafas
sesak atau penarikan dinding dada sebelah bawah kedalam. pada anak usia 2
bulan sampai 5 tahun. Untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan diagnosis
pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan
sebanyak 60 kali permenit atau lebih, atau adanya penarikan yang kuat pada
dinding dada sebelah bawah ke dalam.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga
tengah, infeksi saluran tuba eustachii, hingga bronkhitis dan pneumonia
(radang paru). Infeksi saluran pernapasan parah dan menyebabkan dehidrasi yang
signifikan, kesulitan bernafas dengan oksigenasi buruk ( hipoksia ), kebingungan
yang signifikan, kelesuan, dan pembengkakan napas pendek pada paru-paru
kronis dan penyakit jantung ( chronic obstructive pulmonary disease atau
COPD, gagal jantung kongestif ). ISPA parah akan mendapatkan komplikasi
seperti radang dalam selaput lendir, otitis, faringitis, epiglotitis dan
lryngotracheitis, bronchitis dan bronchiolitis, pneumonia.
Obat-obat yang digunakan untuk penyakit ISPA antara lain golongan antibiotik
(penisilin, cefalosporin, makrolida), golongaan antitusif (kodein,
dextrometorphan), golongan ekspektoran (guaifenesin), golongan OAINS
(ibuprofen), golongan analgesik-antipiretik (parasetamol), golongan
antihistamin (chlorpheniramin), golongan obat steroid (dexamthasone,
prednisone).
Selain itu terapi non farmakologik yang dapat dilakukan seorang ibu untuk
mengatasi anaknya yang menderita ISPA antara lain mengatasi panas
(demam) dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres, mengatasi
batuk dengan obat batuk yang aman, pemberian makanan yang cukup gizi,
sedikit-sedikit tetapi berulangulang yaitu lebih sering dari biasanya, lebih- lebih
jika muntah. Pemberian ASI pada bayi yang menyusu tetap diteruskan,
pemberian minuman dengan
pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih banyak dari
biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak, kekurangan cairan akan
menambah parah sakit yang diderita.
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit
ISPA pada anak antara lain :
1. Mengusahakan agar anak memperoleh gizi yang baik, diantaranya
dengan cara memberikan makanan kepada anak yang mengandung
cukup gizi.
2. Memberikan imunisasi yang lengkap kepada anak agar daya
tahan tubuh terhadap penyakit baik.
3. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan agar tetap bersih.
4. Mencegah anak berhubungan dengan klien ISPA. Salah satu
cara adalah memakai penutup hidung dan mulut bila kontak
langsung dengan anggota keluarga atau orang yang sedang menderita
penyakit ISPA.
5. Ventilasi rumah cukup
6. Membiasakan memakai masker saat berkendara agar terhindar
dari polusi
3.2 Saran
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna sehingga diharapkan para
pembaca dapat melengkapi makalah ini dengan sumber-sumber infromasi
yang terpercaya dan dapat di pertanggung jawabkan
DAFTAR PUSTAKA
Aberg, J.A., Lacy,C.F, Amstrong, L.L, Goldman, M.P, and Lance, L.L.,
2009.
Drug Information Handbook, 17th edition, Lexi-Comp for the American
Pharmacists Association Comparison
American Society for Hospital-System Pharmacist.2008.AHFS Drug
Information
Handbook. USA : ASHP Inc. Bethesda MD
Anonim.2014.ISO Informasi Spesialite Obat Indonesia Vol. 49.Jakarta :
Penerbit
PT ISFI
Bertram G.Katzung. 2013. Farmakologi Dasar dan Klinik. 12th ed. Jakarta: EGC
Gunawan, Gan Sulistia. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen.
Jakarta:
Farmakologi dan Terapeutik
Tatro, D.S. 2003. A to Z Drug Facts. San Francisco: Facts and Comparison

PERTANYAAN DARI DARI AUDIENCE


1. Nama : yayu winarti kalim
Pertanyaan : jelaskan salah satu efek farmakologis dari obat yang di
berikan pada penyakit ispa?
Jawab : Antibiotik
PENICILIN
Penicilin merupakan derifat β-laktam tertua yang memiliki aksi
bakterisidal dengan mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel
bakteri. Masalah resistensi akibat penicilinase mendorong lahirnya
terobosan dengan ditemukannya derivat penicilin seperti methicilin,
fenoksimetil penicilin yang dapat diberikan oral, karboksipenicilin yang
memiliki aksi terhadap Pseudomonas sp. Namun hanya
Fenoksimetilpenicilin yang dijumpai di Indonesia yang lebih dikenal
dengan nama Penicilin V. spektrum aktivisdari fenoksimetilpenicilin
meliputi terhadap Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae
serta aksi yang kurang kuat terhadap Enterococcus faecalis. Aktivitas
terhadap bakteri Gram negative sama sekali tidak dimiliki. Antibiotika ini
diabsorbsi sekitar 60-73%, didistribusikan hingga ke cairan ASI
sehingga waspada pemberian pada ibu menyusui. Antibiotika ini
memiliki waktu paruh 30 menit, namun memanjang pada pasien dengan
gagal ginjal berat maupun terminal, sehingga interval pemberian 250 mg
setiap 6 jam.

2. Nama : Indar alam


Pertanyaan : apa kaitan penyakit gagal jantung dengan penyakit ispa?
Jawab : infeksi saluran pernapasan akut merupakan penyakit yang sering
diderita oleh anak-anak. Gangguan hemodinamik pada penyakit jantung
bawaan (PJB) dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan yang
berulang.
3. Nama : Hatlianti
Pertanyaan : sebutkan pantangan makanan terhadap penyakit ispa?
Jawab : pantangan makanan untuk penderita ispa :
1) Tidak boleh merokok
2) Tidak mengkonsumsi alcohol
3) Kacang tanah
4) Makanan yang berminyak atau banyak mengaandung lemak
4. Nama : Fitri S Djalil
Pertanyaan: Jelaskan perbedaan ispa sama asma?
Jawab : asma adalah kondisi dimana terjadi penyempitan pada bronkus
(saluran pernapasan bagian bawa) yang di akibatkan karna produksi
berlebihan dari lender yang biasanya disebabkan karna adanya paparan
alergi seperti debu, bulu binatang atau suhu. Asma memiliki gejala berupa
batuk sesak dan terdapat bunyi seperti mengi saat bernapas.
Sedangkan ispa adalah infeksi saluran pernapasan akut yang disebabkan
biasanya oleh virus atau bakteri. Pada ispa, keluhan yang disebabkan
sebatas pada saluran pernapasan bagian atas dan menimbulkan keluhan
berupa batuk, pilek yang disertai dengan demam pada umumnya. Ispa
tidak dipengaruhi oleh factor alergi dari seseorang.

Anda mungkin juga menyukai