Anda di halaman 1dari 43

Tuberkulosis, HIV/AIDS, dan Penyalahgunaan NAPZA dalam Sudut Pandang Kesehatan

Masyarakat

Zirah Chanelizha Parimba (102016154), Helmy Lutfi Fawwazi (102017210), Yulistina


(102018044), Stepanus Adrea (102018062) Jumriana (102018015), Paulina Ware Dani
(102018080), Ni Luh Airin (102018116)

Universitas Kristen Krida Wacana (Ukrida)


Jalan Arjuna Utara no. 6 Jakarta 11510

Abstrak
Kesehatan masyarakat merupakan hal penting yang dilakukan. Yang termasuk dalam
upaya kesehatan masyarakat merupakan pencegahan penyakit-penyakit dengan tingkatan primer,
sekunder dan juga tersier. Penyakit tersebut dapat dicegah karena adanya keseimbangan antara
trias epidemiologi berupa faktor agen, faktor pejamu, dan juga faktor lingkungan. Bila terjadi
ketidakseimbangan maka orang dapat jatuh sakit. Contoh penyakit-penyakit tersebut adalah
tuberkulosis paru, HIV/AIDS, dan juga penyalahgunaan napza. Namun terdapat beberapa
program puskesmas yang dapat menangani masalah tersebut dan berfungsi juga sebagai saran
pencegahan masyarakat. Selain itu, Jaminan Kesehatan Nasional juga merupakan bagian dari
kesehatan masyarakat yang berfungsi sebagai asuransi sosial, sehingga kelompok tertentu yang
mungkin kurang mampu dari segi finansial dapat menerima pelayanan kesehatan yang sesuai
dengan kebutuhan.
Kata kunci: epidemiologi, pencegahan, puskesmas dan programnya, kesehatan lingkungan

Abstract
Public health is an important thing to do. Included in public health efforts are the
prevention of diseases at primary, secondary and tertiary levels. The disease can be prevented
because of the balance between the epidemiological triad in the form of agent factors, host
factors, and environmental factors. When there is an imbalance then people can fall ill.
Examples of these diseases are pulmonary tuberculosis, HIV/AIDS, and drug abuse. However,
there are several puskesmas programs that can deal with this problem and also serve as
community prevention advice. In addition, the National Health Insurance is also a part of public
health that functions as social insurance, so that certain groups who may be less well off
financially can receive health services that suit their needs.
Keywords: epidemiology, prevention, puskesmas and its programs, environmental health
Pendahuluan
Pusat kesehatan masyarakat merupakan fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dengan cara promotif dan preventif. Beberapa
upaya yang diselenggarakan oleh puskesmas untuk meningkatkan kesehatan masyarakat adalah
pelayanan promosi kesehatan seperti tuberkulosis, HIV/AIDS, dan juga napza. Selain itu
puskesmas juga memberikan pelayanan kesehatan lingkungan, karena penyakit-penyakit
memiliki kaitan yang erat dengan situasi dan kondisi lingkungan. Lingkungan yang memudahkan
masyarakat untuk terkena penyakit harus segera diatasi dengan segera dan baik.1

Skenario
Bapak M (45 tahun) memiliki seorang istri (43tahun) dan 5 orang anak yang masing
masing A(P) 25tahun, S(P)20 tahun, As(L)13 tahun, Rs (L)6tahun, R(P)3 tahun. Istri bapak M
mendapatkan pengobatan TBC paru dan sudah berjalan 3 bulan tapi lalu berhenti 1 bulan. Istri
Bapak M juga menggunakan KB sehingga khawatir jika terganggu dengan pengobatan TBC.
Anak perempuannya, R saat ini sedang batuk batuk sudah 3 minggu tidak kunjung reda.
Riwayat penurunan berat badan dan keringat malam juga ada. Berat badan 12 kg, skar BCG +.
Karena keluarga ini tidak memiliki jaminan kesehatan nasional, maka anak R hanya diberi jamu
jamuan dan obat warung. Anak terbesar sempat memakai narkoba menggunakan jarum suntik
dan dicurigai menderita HIV. Rumahnya berada di gang sempit dan lembab.

Epidemiologi
Segitiga epidemiologi merupakan sebuah konsep penyebab penyakit menular dalam
kesehatan masyarakat, dimana hal tersebut digunakan untuk menggambarkan hubungan antara
faktor-faktor, yaitu pejamu (host), agen (seperti bakteri/virus/jamur/parasit), dan lingkungan
(yang menggambarkan keadaan lingkungan ketika terjadinya penularan. Seseorang dapat jatuh
sakit apabila pejamu yang rentan berada pada lingkungan yang mendukungnya kerentanan
pejamu, serta datangnya agen yang mampu untuk menyebabkan penyakit.2
Faktor pejamu merupakan semua faktor pada manusia yang dapat mempengaruhi dan
timbulnya perjalanan penyakit, dimana contoh dari faktor-faktor tersebut adalah umur, jenis
kelamin, kebiasaan, dan imunitas. Faktor agen merupakan zat, dimana jumlah yang berlebih atau
terlalu sedikit dapat menimbulkan proses penyakit. Faktor lingkungan merupakan faktor
eksternal (diluar agen dan pejamu) yang mempengaruhi agen dan peluang untuk terpapar yang
memungkinkan transmisi penyakit.2

1. Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan
besar di dunia. Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) 2018,
sebagian besar kasus TB terjadi di wilayah Asia Tenggara (44%), diikuti Afrika
(24%). Insidensi TB per tahunnya bervariasi, mulai dari 10 dari 100.000 populasi
pada negara berpendapatan tinggi hingga 150-300 per 100.000 penduduk pada negara
30 besar TB. Di Indonesia diperkirakan pada 845.000 kasus TB, namun baru 543.874
kasus yang dilaporkan ke Kementerian Kesehatan berdasarkan data Maret 2020.3
Faktor pejamu, agen, dan lingkungan untuk TB adalah sebagai berikut:2
a. Pejamu. Berupa pengetahuan, status ekonomi, imunitas, dan status kebiasaan.
 Sebuah penelitian mengatakan bahwa pengetahuan yang rendah memiliki
risiko 3.716x lebih besar terkena TB paru.2
 Status ekonomi yang rendah dapat menyebabkan kurang mampunya
seseorang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan
kebutuhannya.2
 Faktor imunitas seperti imunisasi BCG, status gizi, serta HIV/AIDS memiliki
peran. Imunisasi akan menyebabkan kemungkinan terkena TB menjadi lebih
kecil. Status gizi yang buruk dapat mengurangi imunitas terhadap TB,
sehingga mempermudah infeksi TB dimana orang yang memiliki Indeks
Massa Tubuh (IMT) yang rendah menjadi lebih rentan terhadap infeksi TB.
Orang hidup dengan HIV juga lebih mungkin untuk mengembangkan TB
aktif daripada mereka yang tidak HIV.2
 Adat kebiasaan yang berpengaruh adalah merokok, kebiasaan membuka
jendela setiap hari, dan kebiasaan menjemur kasur/bantal/guling teratur.
Orang yang merokok secara rutin, tidak memiliki kebiasaan membuka
jendela setiap hari, dan perilaku tidak menjemur memiliki risiko infeksi TB
yang lebih tinggi. Hal tersebut dapat dijelaskan karena rokok memiliki efek
pro-inflamasi dan imunosupresif pada imunitas saluran pernapasan, sinar
matahari dapat membunuh bakteri patogen dalam rumah, dan bila tidak ada
kebiasaan menjemur maka percikan dahak dari seorang pasien TB tidak
dapat menguap dan bakteri TB tidak dapat terbang ke udara.2
b. Agen. Penyebab dari TB adalah Mycobacterium tuberculosis, suatu basil aerobik
tahan asam yang ditularkan melalui udara yang hanya dapat bertahan hidup dalam
manusia. Bakteri ini memasuki saluran pernapasan menuju alveoli sehingga
terjadi infeksi primer dan menimbulkan limfangitis lokal dan regional. Hal
tersebut menyebabkan peningkatan permeabilitas membran dan pada akhirnya
dapat menimbulkan akumulasi cairan dalam rongga pleura.2
c. Lingkungan.
 Luas ventilasi akan berpengaruh pada pertukaran udara, dimana pertukaran
udara yang cukup menyebabkan hawa ruangan tetap segar (cukup
mengandung oksigen), yang apabila tidak memenuhi syarat dapat
menyebabkan suburnya pertumbuhan mikroorganisme. Pada umumnya, luas
ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai. Selain itu
ventilasi juga mempengaruhi proses dilusi udara sehingga dapat mengurangi
kelembapan dan menyebabkan pengenceran konsentrasi Mycobacterium
tuberculosis dan kuman lain yang akan terbawa ke luar dan mati terkena
sinar ultraviolet. Kelembapan yang tinggi merupakan media yang baik untuk
perbumbuhan bakteri patogen.2
 Suhu ruangan dipengaruhi oleh suhu udara luar, pergerakan udara,
kelembapan udara, dan suhu benda-benda di sekitarnya dimana suhu yang
nyaman untuk sebuah rumah adalah 18 – 30ºC. Suhu yang tidak berada
dalam jarak tersebut dapat meningkatkan risiko kejadian TB.2
 Kelembapan udara dalam ruangan berfungsi sebagai rasa kenyamanan,
dimana yang optimal adalah 60%. Kelembapan yang tidak optimal dapat
menyebabkan risiko TB yang lebih tinggi, yang disebabkan oleh ventilasi
yang tidak memenuhi syarat sehingga membuat cahaya matahari tidak dapat
masuk ke dalam rumah yang kemudian dapat meningkatkan kelembapan di
dalam rumah.2
 Jenis lantai yang memenuhi syarat kesehatan adalah jenis yang kedap air dan
mudah dibersihkan. Masyarakat yang misalnya tinggal dengan lantai tanah,
papan, atau yang tidak kedap air memiliki risiko lebih tinggi terkena TB.
Sebaiknya bahan lantai yang digunakan adalah keramik, marmer, atau ubin.2
 Hunian yang berlebihan dapat menyebabkan kurangnya oksigen dan
peningkatan risiko penyakit infeksi. Semakin banyak manusia di dalam
ruangan, kelembapan semakin tinggi yang disebabkan oleh uap air baik dari
pernapasan atau keringat. Sebaiknya kebutuhan ruang per orang adalah 9 m 2,
dengan rata-rata langit-langit adalah 2.8 m.2
 Jenis dinding yang baik adalah dinding yang kedap air sehingga dapat
mencegah meningkatnya kelembapan dan suburnya pertumbuhan
mikroorganisme. Dinding yang tidak optimal memiliki kemungkinan terkena
TB lebih tinggi dibanding mereka yang menggunakan dinding yang baik.2
 Riwayat kontak serumah menyebabkan peningkatan risiko terkena TB
dikarenakan TB adalah penyakit menular yang disebarkan melalui percikan
dahak ketika berinteraksi dengan penderita TB paru saat batuk, bersin, dan
bernyanyi.2

2. HIV/AIDS

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu kumpulan gejala


penyakit yang disebabkan oleh retrovirus yang menyerang imunitas tubuh sehingga
terjadinya peningkatan kerentanan terhadap infeksi yang dapat berakibat fatal, yang
dikenal sebagai infeksi oportunistik.4 Masalah HIV (Human Immunodeficiency
Virus)/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara di
dunia serta menyebabkan krisis multidimensi. Berdasarkan hasil estimasi Departemen
Kesehatan tahun 2006 diperkirakan terdapat 169.000 - 216.000 orang dengan HIV
dan AIDS di Indonesia. Program bersama Joint United Nations Programme on
HIV/AIDS (UNAIDS) dan World Health Organization (WHO) memperkirakan
sekitar 4.9 juta orang hidup dengan HIV di Asia.5
Faktor pejamu, agen, dan lingkungan untuk HIV/AIDS adalah sebagai berikut:5-6
a. Pejamu. Kelompok terbesar HIV/AIDS adalah pada umur 15 – 45 tahun, yang
merupakan kelompok aktif melakukan hubungan seksual. Pola transmisi dari HIV
adalah secara hubungan seksual. Kelompok masyarakat yang berisiko tinggi
adalah mereka yang melakukan hubungan seksual dengan banyak mitra seks
ataupun laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki.5-6
b. Agen. HIV merupakan virus penyebab AIDS yang tergolong kedalam retrovirus
yang mengalami mutasi, sehingga sulit membuat obat yang dapat membunuh
virus tersebut. Virus ini menargetkan terutama sel limfosit T karena memiliki
reseptor CD-4. HIV hidup dalam darah, saliva, semen, dan air mata. Bila di luar
tubuh, virus ini tidak dapat bertahan lama karena sifatnya yang sangat lemah dan
mudah untuk mati bila tidak di dalam manusia. HIV juga termasuk virus yang
sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari, dan
berbagai disinfektan. 5-6
c. Lingkungan. Faktor lingkungan sosial yang mempengaruhi kejadian HIV/AIDS
pada laki-laki umur 25 – 44 tahun adalah seperti transfusi darah (pendonor
maupun penerima), penggunaan narkoba seperti jarum suntik, kebiasaan
mengonsumsi alkohol, ketersediaan sarana di pelayanan kesehatan (kondom),
faktor sosial budaya, dukungan keluarga, dukungan tenaga kesehatan, akses ke
tempat PSK, dan akses ke pelayanan kesehatan. 5-6

3. Narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (Napza)

Word Drug Reports 2018 yang diterbitkan oleh United Nations Office on Drugs
and Crime (UNODC), menyebutkkan bahwa sebanyak 275 juta penduduk dunia atau
5.7% dari penduduk dunia berusia 15 - 64 tahun pernah mengonsumsi narkoba.
Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan bahwa penyalahgunaan narkoba
tahun 2017 didapatkan 3.3 juta pada rentang usia 10 – 59 tahun. Sedangkan angka
penyalahguna di kalangan pelajar pada tahun 2018 (dari 13 ibukota provinsi di
Indonesia) mencapai 2.29 juta orang.7
Faktor pejamu, agen, dan lingkungan dari penyalahgunaan napza adalah sebagai
berikut:8
a. Pejamu. Kebanyakan penyalahgunaan napza dimulai atau terdapat pada masa
remaja, karena remaja yang sedang mengalami perubahan biologik, psikologik,
maupun sosial yang pesat sehingga merupakan individu yang rentan untuk
penyalahgunaan napza. 8
 Perubahan yang cepat pada biologi dari remaja seperti perubahan tinggi
badan dan berat badan dan lainnya sering menimbulkan kebingungan dan
keresahan sehingga terjadi ketidaksesuaian jalan pikir. Kebingungan,
kereasahan, dan bahkan depresi yang dapat timbul dari ketidaksesuaian
tersebut dapat mendorong anak untuk menyalahgunakan napza. 8
 Perubahan psikologis yang muncul seperti lepasnya ikatan emosional untuk
membentuk identitas diri dan juga peningkatan kemampuan intelektual dapat
menjadi faktor terjadinya penyalahgunaan napza.Bertambahnya peningkatan
intelektual seperti daya abstraksi, kemampuan konseptual, kemampuan
memahami suatu persoalan menjadi berkembang, dan idealisme tetap tinggi
dan keingintahuan terhadap dunia sekitar bertambah kuat. Sehingga rasa ingin
tahu seperti pengalaman seksual dan mencoba napza, merokok, minum dapat
terjadi8
 Perubahan sosial seperti rasa ingin diterima dalam suatu kelompok dapat
menjadi faktor risiko. Mungkin untuk diterima suatu kelompok seorang
remaja harus mengikuti nilai atau norma kelompok tersebut seperti merokok
atau penggunaan napza. Bila pada masa remaja orang tua terlalu banyak
memberi aturan dan larangan, remaja dapat menunjukkan sikap memberontak.
8

b. Agen. Semua jenis napza bekerja pada bagian otak yang menjadi pusat
penghayatan kenikmatan, termasuk stimulasi seksual. Oleh karena itu
penghayatan kenikmatan, termasuk stimulasi seksual. Pengguna napza ingin
mengulangi lagi untuk mendapatkan kenikmatan yang diinginkan sesuai dengan
khasiat farmakologinya. Potensi setiap jenis napza untuk menimbulkan
ketergantungan tidak sama besar. 8
c. Lingkungan.
 Lingkungan keluarga, terutama faktor orang tua, sering menjadi penyebab
seorang anak atau remaja menjadi penyalahguna napza. Hal tersebut dapat
dijelaskan, yaitu karena orang tua yang kurang komunikatif dengan anak,
terlalu mengatur, menuntut berlebihan, disiplin kurang konsisten, sikap orang
tua tidak sepaham teruatama dalam hal pendidikan anak, terlalu sibuk, kurang
harmonis, tidak menanamnkan norma atau nilai yang baik atau buruk, ataupun
salah satu anggota keluarga yang menjadi penyalahguna napza. 8
 Lingkungan sekolah yang kurang disiplin, sering tidak ada pelajaran pada jam
sekolah, guru/pengurus sekolah yang kurang komunikatif dengan siswa dan
lain-lainnya dapat menjadi faktor. 8
 Lingkungan masyarakat dapat juga berpengaruh, seperti mudah diperolehnya
napza, harga napza yang makin murah, atau kehidupan sosial, ekonomi,
politik dan keamanan yang tidak menentukan menyebabkan terjadinya
perubahan nilai dan norma, antara lain sikap permisif. 8

Upaya kesehatan masyarakat yang dilakukan puskesmas


Berdasarkan permenkes 43 tahun 2019 pasal 53, upaya kesehatan masyarakat (UKM) terdiri
dari UKM esensial dan UKM pengembangan.9
- UKM esensial meliputi9 :
1. Pelayanan promosi kesehatan
2. Pelayanan kesehatan lingkungan
3. Pelayanan kesehatan keluarga
4. Pelayanan gizi
5. Pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit
- UKM pengembangan merupakan
upaya kesehatan masyarakat yang bersifat inovatif dan/atau disesuaikan dengan prioritas
masalah kesehatan, kekhususan wilayah kerja dan sumber daya yang tersedia di puskesmas.9

Pelayanan promosi kesehatan


Tujuan pokok promosi kesehatan adalah memberikan informasi bagi masyarakat terkait
segala hal yang bertujuan pada peningkatan kualitas kesehatan, baik kesehatan individu maupun
masyarakat. Konsep promosi kesehatan terdiri dari menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS), cuci tangan pakau sabun (CTPS), mengkonsumsi makanan sehat seperti buah dan sayur,
tidak membuang sampah sembarangan, melakukan kerja bakti untuk menciptakan lingkungan
sehat, menggunakan pelayanan kesehatan dan menajalankan gaya hidup sehat bersama anggota
keluarga.9
Promosi kesehatan untuk penanggulangan TB berupa edukasi tentang gejala dan
penerapan hidup sehat pada penderita TB dan keluarganya dalam ruang lingkup sehari-hari
seperti mengupayakan posisi aliran udara ke kamar penderita TB tidak berhadapan dengan posisi
keberadaan seseorang, mengupayakan ruangan masuk sinar matahari, upayakan aliran udara
yang masuk ruangan merupakan udara segar berasal dari ruang terbuka, pisahkan ruang tidur
untuk sementara waktu, gunakan masker bila ingin bersama keluarga, edukasi secara
keseluruhan akan kepatuhan berobat dan menerapkan pola hidup sehat.9
Promosi kesehatan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya HIV adalah
memberikan edukasi terhadap penggunaan kondom, menghindari penyalahgunaan napza, dan
lain sebagainya
Promosi kesehatan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan
napza adalah melakukan edukasi tentang larangan dan bahaya penyalahgunaan NAPZA.

Pelayanan kesehatan lingkungan


Lingkungan merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi status
kesehatan di masyarakat. Tujuan dari pelayanan ini adalah terwujudnya kualitas lingkungan yang
sehat agar dapat melindungi masyarakat dari segala resiko yang dapa menimbulkan gangguan
dan bahaya kesehatan menuju derajat keluarga dan masyarakat yang lebih baik.10
Menurut permenkes no 13 tahun 2015 pelayanan kesehatan yang dapat dilakukan oleh
psukesmas adalah konseling, inspeksi kesehatan lingkungan dan intervensi kesehatan
lingkungan. Kosenling dapat dilakukan kepada pasien dengan alat peraga, percontohan atau
media cetak dan elektronik. Inspeksi kesehatan dapat dilakukan dengan cara pengamatan fisik
media lingkungan, pengukuran media lingkungan di tempat, uji laboratorium, analisis resiko
kesehatan lingkungan. Intervensi kesehatan lingkungan dapat berupa komunikasi, informasi, dan
edukasi serat penhherakan/pemberdayaan masyarakat, perbaikan dan pembangunan sarana,
pengembangan teknologi tepat guna. 10
Salah satu langkah nyata puskesmas dalam pelayanan kesehatan lingkungan adalah
membentuk klinik sanitasi. Klinik sanitasi diadakan dengan tujuan untuk menaggulangi
permasalahan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan.11

Gambar. Alur pelayanan klinik sanitasi

Pelayanan kesehatan keluarga


Menurut UU RI no 23 tahun 1992 kesehatan keluarga adalah wujud keluarga sehat, kecil
bahagia dan sejahteral dari suami, istri, anak dan anggota keluarga lainnya. Tujuan umun dari
pelayanan ini adalah agar keluarga bisa berperan aktif dalam mencegah dan menyelesaikan
masalah kesehatan keluarga serta meningkatkan kualitas hidup keluarga. Pelayanan kesehatan
keluarga daintaranya adalah pelayanan kesehatan ibu dan anak dimana ibu bisa mendapatkan
perawatan kehamilan dan persalinan yang baik, melaksanakan pemerliharaan kesehraan pada
seluruh balita dan anak prasekolah, kesehatan anak usia sekolah, remaja dan dewasa muda.
Pelayanan kesehatan keluarga juga termasuk dalam pelayanan dan penyuluhan kb (keluarga
berencana). Pelayanan kesehatan keluarga juga salah satu program aktif puskesmas dimana
puskesmas dapat menjalankan pelayanan kesehatan secara langsung di tempat tinggal sebuah
keluarga.12
Pelayanan gizi
Pelayanan gizi di puskesmas dapat dengan melalui PAGT (proses asuhan gizi terstandar)
dari langkah asesmen, diagnosis, intervensi dan monitoring evaluasi gizi (ME) dikumpulkan dan
dianalsiis data yang relevan, diidentifikasi masalah gizi dan faktor penyebabnya dibuat rencana
penanganan dan diimplementasikan selanjutnya dilakukan monitoring dan evaluasi hasil asuhan
gizi.13

Gambar 1. Langkah dalam proses asuhan gizi terstandar13

Pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit


a. Penanggulangan penyakit tuberculosis (tb)14
Pada tahun 1995, program nasional pengendalian TB mulai menerapkan strategi
DOTS (Directly Observed Treatment Short-Course) dan dilaksanakan puskesmas secara
bertahap. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu14 :
1. Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.
2. Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3. Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien.
4. Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.
5. Sistem monitoring pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.
Sampai pada tahun 2009, keterlibatan dalam program pengendalian TB dengan
strategi DOTS 98% di laksanakan oleh puskesmas. Secara garis besar puskesmas
berperan dalam penemuan dan pengobatan pasien tb.14
- Penemuan kasus tuberculosis (tb)
Penemuan kasus bertujuan untuk mendapatkan kasus TB melalui
serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap suspek TB, pemeriksaan
fisik dan laboratorium, menentukan diagnosis dan menentukan klasifikasi
penyakit dan tipe pasien TB, sehingga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh
dan tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain. 14

o Strategi penemuan 14
Dapat dilakukan secara aktif dan pasif. Tahap awal penemuan
dilakukan dengan menjaring mereka yang memiliki gejaa seperti batuk
berdahak 2-3 minggu atau lebih. batuk diikuti dengan gejala tambahan
yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, malaise, berekringat malam tanpa
kegitaan fisik, demam meriang lebih dari 1 bulan14
o Pemeriksaan dahak14
 Pemeriksaan dahak mikroskopis dengan Teknik sewaktu pagi
sewaktu (SPS) 14
 Pemeriksaan biakan14
 Uji kepekaan obat tb (untuk memastikan apakah mengalami
resistensi obat atau tidak) 14
- Diagnosis tuberculosis14
o Diagnosis tb paru
Diagnosis ditegakan dengan gejala klinis dan ditemukannya kuman tb,
bisa dengan pemeriksaan dahak mikroskopis yang merupakan diagnosis
utama14
Gambar 2. Alur diagnosis TB14

o Diagnosis TB pada orang HIV AIDS14


 TB paru BTA positif, yaitu minimal satu hasil pemeriksaan dahak
positif14
 TB paru BTA negative, yaitu hasil pemeriksaan dahak negative
dan gambaran klinis dan radiologis mendukug tb atau BTA
negative dengan hasl kultur positif14
 TB ekstra paru pada ODHA ditegakan dengan pemeriksaan klinis,
bakteriolofis dana tau histopatologi yang diambil dari jaringan
tubuh yang terkena. 14

Gambar 3. Alur diagnosis tb pada pasien ODHA14

o Diagnosis tb pada anak14


IDAI telah membuat pedoman nasional tuberculosis anak dengan
menggunakan sistem skor, yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda
klinis yang dijumpai. 14

Gambar 3. Sistem skor untuk diagnosis tb anak14

- Klasifikasi penyakit dan tipe pasien14


o Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena14
 Tuberculosis paru.
 Tuberculosis ekstraparu.
o Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis14
 Tuberculosis paru BTA positif14 :
1. Sekurang-kurangnya 2/3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif
2. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks
dada menunjukan gambaran tuberculosis
3. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan
kuman TB positif
4. 1 atau lebih specimen dahak hasilnya positif setelah 3
spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya
BTA negative dan tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibitoika non OAT.
 Tuberculosis paru BTA negative14 :
1. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
2. Foto toraks abnormal sesuai dengan gambarab tb
3. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibitika non OAT,
bagi pasien dengan HIV negatif
4. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi
pengobatan
o Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya14
 Kasus baru
Pasien yang belum pernah menggunakan pengobatan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan. Pemeriksaan
BTA bisa + atau –
 Kasus yang sebelumnya diobati
 Kasus kambuh
Pasien tuberculosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA + (apusan
atau kultur)
 Kasus setelah putus berobat
Pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA +
 Kasus setelah gagal
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap + atau
kembali menjadi + pada bulan ke 5 atau lebih selama pengobatan
 Kasus pindahan
Adalah pasien yang dipindahkan ke register lain untuk
melanjutkan pengobatannya
 Kasus lain
Semua pasien yang tidak memenuhi kriteria di atas
1. Tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya
2. Pernah diobati tapi tidak tahu hasil pengobatannya
3. Kembali diobati dengan BTA negative
- Pengobatan tuberculosis (tb)
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap obat anti tuberculosis. 14

Tabel 1. Pengelompokan OAT14

Tabel 2. Jenis, Sifat, dan Dosis OAT lini pertama14

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan
o Tahap awal (intensif) 14
 Pada tahap intensif pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara lansgung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
 Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu
 Sebagian besar pasien TB BTA + menjadi BTA – dalam waktu 2 bulan
o Tahap lanjutan14
 Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama
 Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan
- Panduan pengobatan OAT14
o Kategori 1 (2RHZE/4H3R3) 14
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :
 Pasien baru TB paru atau BTA positif
 Pasien TB paru BTA negative foto toraks positif
 Pasien TB ekstra paru

Tabel 3. Dosis paduan OAT-kombipak untuk kategori I14

o Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3) 14
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA + yang telah diobati
sebelumnya :
 Pasien kambuh
 Pasien gagal
 Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat

Tabel 4. Dosis pasidan OAT kombipak untuk kategori 214

- Pengobatan Tb pada anak


Gambar 4. Alur pengobatan TB pada anak14

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan 6 bulan cukup


adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun
pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter
tebaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis
yang nyata walaupun gambaran radioloogik tidak menunjukan perubahan
yang berarti, OAT tetap dihentikan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah
minimal 3 macam oabt dan diberikan dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak
diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan dosis
obat harus disesuaikan dengan berat badan anak. 14

Tabel 5. Dosis OAT KDT pada anak14

- Pengobatan pencegahan (profilaksis) tuberculosis untuk anak


Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat
dengan penderita TB dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan
menggunakan sistem skoring. Bula hasil evaluasi dengan sistem skoring didapat
skor <5, kepada anak tersebut diberikan isoniazid (INH) dengan dosis 5-10
mg/kgbb/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat
imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah pengoabatan pencegahan
selesai. 14

- Pengobatan tuberculosis dengan infeksi HIV/AIDS


Tatalaksana pengobatan TB pada ODHA adalah sama seperti pada pasien
TB lainnya. Pada prinsipnya pengobatan TB diberikan segera, sedangkan
pengobatan ARV dimulai berdasarkan stadium klinis HIV atau hasil CD4. 14
Bila pasien tidak dalam pengobatan ARV, segera mulai pengobatan TB.
Pemberian ARV dilakukan dengan prinsip14 :
o Semua ODHA dengan stadium klinis 3 perlu dipikirkan untuk memulai
pengobatan ARV bila CD4 <350/mm3 tapi harus dimulai sebelum CD4
turun dibawah 200/mm3.
o Semua ODHA stadium klinis 3 yang hamil atau menderita TB dengan
CD4 <350/mm3 harus dimulai pengobatan ARV
o Semua ODHA stadium klinis 4 perlu diberikan pengobatan ARV tanpa
memandang nilai CD4
Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB
tidak dimulai di fasilitas pelayanan kesehatan dasar, rujuk pasien tersebut ke
RS rujukan untuk pengobatan ARV. 14

Tabel 6. Pilihan paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB14

- Pengobatan TB pada pengguna kontrasepsi14


Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB,
suntikan KB, susuk KB), sehingga dapat menurunakn efektivitas kontrasepsi
tersebut. Seoang pasien TB sebaiknya menggunakan kontrasepsi non-
hormonal atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg).
14

- Pengawasan menelan obat14


Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek
dengan pengawaasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan
diperlukan seorang PMO. Tugas seorang PMO. 14
o Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan
o Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat tertaur
o Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan
o Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunayi
gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksaan diri ke faskes terderkat.

- Manajemen laboratorium tuberculosis14

Gambar 5. Bagan jejaring laboratorium TB14

- Standar ketenagaan puskesmas14


o Puskesmas rujukan mikroskopis dan puskesmas pelaksana mandiri :
kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter, 1
perawat/petugas TB dan 1 tenaga laboratorium14
o Puskesmas satelit : kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1
dokter dan 1 perawat/1 petugas TB14
o Puskesmas pembantu : kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri
dari 1 perawat/petugas TB14

b. Penanggulangan penyakit HIV15


Dalam upaya memperluas akses layanan bagi ODHA, kementerian kesehatan
menerapkan sistem layanan komprehensif berkesinambungan (LKB). LKB merupakan
suatu model layanan terpadu yang melibatkan semua unsur layanan baik dari sector
kesehatan primer, sekunder, hinga tersier dan layanan dari sector lain yang terkait dengan
kebutuhan ODHA, termasuk keterlbiatan dari komunitas15

Gambar 6. Layanan HIV komprehensif berkesinambungan yang dilakukan fayankes15


Tabel 7. Kegiatan pengendalian HIV AIDS dan IMS dan penerapan dalam FKTP15

- Identifikasi dan analisis besaran masalah di wilayah kerja faskes15


Tujuan dari langkah ini adalah untuk memperoleh informasi mengenai
keadaan dan besarnya kasus yang perlu ditemukan, ditangani dan dilaporkan oleh
psukesmas. 15
- Upaya pencegahan15
o Upaya pencegahan di masyarakat15
Upaya ini bertujuan untuk mencegah terjadinya penularan terutama
bagi orang yang belum tertular dan membantu orang yang terlah terinfeksi
untuk tidak menularkan kepada orang lain atau pasangan. 15
o Pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) di faskes15
Tujuan dilaksanakannya PPI adalah untuk menciptakan lingkungan
kerja yang aman dari infeksi di faskes dengan cara kebersihan tangan,
menggunakan apd, etika batuk, penempatan pasien, pengelolaan alat
kesehatan bekas pakai, pengelolaan lingkungan, pengelolaan linen, praktik
penyuntikan yang aman, pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal
punksi, perlindungan dan kesehatan karyawan dengan melaksanakan
tatalaksana pasca pajanan. 15
o Tatalaksana pasca pajanan HIV15
Memulai PPP (profilaksis pasca pajanan) sebaiknya secepatnya
(<4 jam) dan tidak lebih dari 72 jam. Setelah 72 jam tidak dianjurkan
karena tidak efektif.

Gambar 7. Telaah pajanan untuk HIV15


Tabel 8. Paduan obat ARV untuk PPP15

Tabel 9. Dosis obat ARV untuk PPP HIV pada orang dewasa dan remaja15

- Penemuan kasus baru15


Tujuan dari langkah ini adalah untuk menemukan pasien pada stadium
awal dan memberikan akses terhadap terapi ARV, profilaksis kotrimoksasol dan
paket pelayanan HIV lainnya. Penemuan kasus baru dapat dilakukan dengan
mengadakan tes HIV sedini mungkin. Pemeriksaan HIV harus mengikuti prinsip
5C (informed consent, confidentiality, counseling, correcttest result and
connection/linked to prevention, care, and treatment services). 15
- Penegakan diagnosis15
o Gunakan tes cepat HIV (rapid test) sebagai saranan penegakan diagnosis
o Pemeriksaan dilakukan secara serial dengan menggunakan 3 jenis reagen yang
berbeda sesuai dengan pedoman nasional
o Penyimpanan reagen HIV dilakukan sesuai dengan instruksi yang tertera di
lembar infromasi dan digunakan sebelum tanggal kadaluwarsa
o Bila tidak tersedia petugas laboratorium maka tes HIV dapat dilakukan oleh
petugas kesehatan lain.
o Interpretasi hasil tes dan keputusan tindak lanjut dilakukan oleh dokter yang
meminta pemeriksaan tes
Gambar 8. Alur pemeriksaan laboratoirum HIV15

Gambar 9. Interpretasi hasil pemeriksaan anti HIV15

- Penentuan stadium klinis15


Tabel 10. Stadium klinis HIV15

- Pengobatan pencegahan dengan isoniazid15


Bertujuan untuk mencegah TB pada ODHA. Panduan pelaksanaan dijabarkan
sebagai berikut15
1. Penapisan TB secara klinis, dilakukan pada semua ODHA pada setiap
kunjungan di faskes dengan cara menanyakan apakah ada gejala TB atau
tidak.
2. Pengobatan pencegahan dengan Isoniazid (INH) diberikan jika dapat
menyingkirkan diagnosis TB aktif
3. Jangan berikan IPT pada keadaan:
a. TB aktif
b. Memiliki kelainan fungsi hati (SGPT > 3 kali batas normal tertinggi) o
Memiliki gejala neuropati perifer berat
c. Memiliki riwayat pemakaian INH
d. Memiliki riwayat mengalami alergi INH sebelumnya
e. Memiliki ketergantungan terhadap alkohol
4. Dosis pemberian obat INH 300mg dan Vitamin B6 25mg diberikan setiap hari
selama 6 bulan
5. Pengobatan pencegahan dengan INH tidak menjadi alasan untuk menunda
terapi ARV bila ODHA sudah memenuhi indikasi medis
6. Profilaksis INH tetap diberikan meskipun pasien sedang dalam pengobatan IO
lain (kecuali TB)
7. Pemantauan pemberian profilaksis INH dan kepatuhan dilakukan tiap bulan
selama 6 bulan
8. Hal yang perlu dipantau selama pemberian profilaksis dengan INH adalah
a. Gejala TB: demam, keringat malam dan berat badan menurun. o Efek
samping INH: ruam kulit, mual muntah
b. Terjadi gejala hepatotoksik: ikterik
c. Bila terjadi salah satu dari ketiga hal di atas rujuk ke RS

Gambar 10. Alur pemberian terapi profilaksis INH15

- Perawatan kronis yang baik15


Di dalam perawatan kronis yang baik, pasien diajarkan untuk memahami
keadaan dan mengatasi masalah kronisnya. Infeksi HIV membutuhkan edukasi
dan dukungan agar pasien dapat mandidi untuk mengurusi kondisi kesehatan
sendiri. Hal ini membutuhkan edukasi dan dukungan karne ahasil yang diperoleh
penting untuk pasien15
o Pemberian ARV15
 Indikasi untuk memulai terapi ARV15
a. Semua pasien dengan stadium 3 dan 4, berapapun jumlah CD4 atau;
b. Semua pasien dengan CD4 < 350 sel/ml, apapun stadium klinisnya;
c. Semua pasien dibawah ini apapun stadium klinisnya dan berapapun
jumlah CD4 :
 Semua pasien ko-infeksi TB
 Semua pasien ko-infeksi HBV
 Semua ibu hamil
 ODHA yang memiliki pasangan dengan status HIV negative
(sero discordant)
 Populasi kunci (penasun, waria, LSL,WPS)
 Pasien HIV (+) yang tinggal pada daerah epidemi meluas seperti
Papua dan Papua Barat
o Rejimen yang digunakan di tingkat FKTP adalah rejimen lini pertama
dengan pilihan15
 TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
 TDF+3TC(atauFTC)+NVP
 AZT + 3TC+ EFV
 AZT+3TC+NVP
Obat ARV harus diminum seumur hidup dengan tingkat kepatuhan yang
tinggi (>95%) sehingga petugas kesehatan perlu untuk membantu pasien agar
dapat patuh minum obat, kalau perlu melibatkan keluarga atau pasien lama. 15

- Pengurangan dampak buruk penyalahgunaan NAPZA 15


Bertujuan untuk menurunkan penularan HIV, IMS dan Hepatitis di kalangan
penasun dan pasangannya. 15
Gambar 11. Paket komprehensif pengurangan dampak buruk penggunaan NAPZA
suntik15
o Program terapi rumatan Metadona (PTRM) 15
 Peserta PTRM adalah penasun yang menggunakan heroin atau opiate
 Metadona digunakan secara oral dan diminum sekali sehari
o Program layanan alat suntik steril15
Bertujuan untuk menurunkan penularan HIV, IMS dan hepatitis di
kalangan penasun dan pasangannya dengan memastikan bahwa setiap
penyuntikan dilakukan secara aman15
Sarana dan prasarana yang digunakan diantaranya tempat strategis
mudah diakses penasun, material yang dibagikan dalam satu paket terdiri
dari alat suntik yang biasa digunakan oleh penasun sejumlah yang
dibutuhkan untuk 1 minggu, kapas beralkohol, media KIE dan kondom. 15

- Monitoring dan evaluasi15


o Pencatatan dan pelaporan
o Analisis data

- Layanan HIV-IMS komprehensif berkesinambungan


Gambar 12. kerangka kerja layanan HIV-IMS konprehensif berkesinambungan15

Gambar 13. Jejaring rujukan timbal balik15

Peran puskesmas dalam penanggulangan penyalahgunaan NAPZA8,16


Salah satu indicator dalam RPJMN 2015-2019 fasilitas pelayanan kesehatan primer
(fayankes) sebagai institusi penerima wajib lapor (IPWL) pecandu narkotika yang aktif. Kriteria
IPWL aktif adalah fayankes yang menerima pasien wajib lapor dan menjalankan rehabilitasi
medis NAPZA dan fayankes yang menjalankan upaya promotif dan preventif. 8,16

Gambar 14. Alur wajib lapor penyalaguna narkoba8,16

Puskesmas dapat melakukan penyuluhan pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Tujuan


dari penyuluhan ini adalah meningkatkan pengetahuan, merupah sikap, mendorong motivasi dan
memberikan support. 8,16
Puskesmas juga dapat berperan sebagai layanan rehabilitasi medis. Tatalaksana terapi dan
rehabilitasi napza terdiri dari rawat jalan, rawat inap dan panti atau pusat rehabilitasi. Tujuan dari
tatalaksana ini adalah mengehntkan penggunaan NAPZA, pengurangan frekuensi dan keparahan
relaps (pencegahan relaps), memperbaiki fungsi psikologis dan fungsi adaptasi sosial. Beberapa
bentuk program atau pendekatan rehabilitasi yang ada, antara lain8,16 :
a. Program antagonis opiate (naltrexone)
b. Program metadon
c. Program berorientasi psikososial
Program ini menitik beratkan berbagai kegiatannya pada terapi psikologik (kognitif,
perilaku, suportif, asertif, dinamika kelompok, psikoterapi individu, desensitisasi dan
lain-lain) dan keterampilan sosial yang bertujuan mengembangkan keperibadian dan
sikap mental yang dewasa, serta meningkatkan mutu dan kemampuan komunikasi
interpersonal
d. Therapeutic community
Berupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka yang tinggal dalam suatu
tempat. Biasanya bekas penyalah guna yang sudah memenuhi syarat dapat ditunjuk
sebagai konselor setelah melalui pendidikan dan pelatihan. Disini penderita dilatih
keterampilan mengelola waktu dan perilakunya secara efektid serta kehidupannya
sehari-hari sehingga dapat mengatasi keinginan memakai NAPZA.
e. Program orientasi sosial
Program ini memusatkan kegiatan pada keterampilan sosial, sehingga mereka
dapat kembali kedalam kehidupan masyarakat yang normal,termasuk mampu bekerja.

Puskesmas juga dapat melakukan rujukan apabila adanya keterbatasan seperti


pengetahuan dan keterampilan petugas kesheatan atau karena fasilitas yang tersedia terbatas.
Rujukan bisa dilakukan kepada RS umum/swasta, RS jiwa atau pusat rehabilitasi. Pasien juga
dapat dirujuk untuk konsultasi atau meminta pemeriksaan penunjang saja.8,16

Usulan pemutusan rantai penularan penyakit


Keluarga Bapak M terdiri dari 7 orang anggota keluarga. Istri bapak M menderita TBC
dan kemungkinan anak perempuan (R) juga menderita TBC namun masih memerlukan
pemeriksaan lebih lanjut. Untuk memutus rantai penularan salah satunya dengan mengobati
penyebab dari penularan TBC pertama kali. Karena disini yang sudah terdiagnosis TBC adalah
istri Pak M, maka istri Pak M harus melakukan pengobatan TBC sampai selesai. Untuk
mencegah istri pak M menularkan penyaktinya ke anggota keluarga yang lain, maka istri Pak M
bisa menggunakan masker apabila kontak dengan orang lain dan tidur terpisah dari anggota
keluarganya yang lain. Rumah pak M juga dapat dibangun ventilasi agar tidak lembab dan
mendapatkan pertukaran udara yang baik serta cahaya matahari. Puskesmas bisa melakukan
pelayanan kesehatan secara aktif kepada anggota keluarga pak M karena antar anggota
melakukan kontak erat. Apabila Pak M tidak mampu melakukan pengobatan maka pak M dapat
mendaftarkan diri untuk memiliki JKN-PBI, sehingga biaya penanganan penyakit dapat
diselesaikan. Puskesmas juga dapat melakukan pelayanan kesehatan secara aktif kepada anak
pak M yang paling besar mengingat anak pak M adalah penyalahguna NAPZA, sehingga
puskesmas dapat melakukan tindakan seperti rehabilitasi dan konseling serta deteksi dini HIV
pada anak tersebut. Apabila anak tersebut memang terdiagnosa HIV maka dapat diberikan
tatalaksana ARV sesegera mungkin.

Kesehatan Lingkungan
a. Peran puskesmas (sudah dijabarkan dalam bagian sebelumnya)
b. Peran pemerintah
- Penyehatan air dan sanitasi dasar.17

Kementerian Kesehatan menyusun strategi yang tepat untuk


meningkatkan pengawasan kualitas air minum terhadap sarana air minum yang
mendistribusikan air kepada masyarakat sehingga air tersebut aman
dikonsumsi .Konsep tersebut dikenal dengan Water Safety Plan (WSP) yang
diadopsi dari konsep WHO selanjutnya diterjemahkan menjadi Rencana
Pengamanan Air Minum (RPAM). 17
Rencana Pengamanan Air Minum (RPAM) adalah upaya menekan risiko
menyeluruh dalam upaya pemenuhan layanan air minum yang berkualitas dan
berkelanjutan dalam empat aspek yaitu kuantitas, kualitas, kontinunitas dan
keterjangkauan. Dengan penerapan RPAM di Indonesia, akan diperoleh banyak
manfaat, antara lain17:
a. Meningkatkan kualitas air yang berdampak pada pengendalian penyakit
bawaan air.
b. Mengurangi biaya operasional pemeliharaan serta biaya pengolahan air di
tingkat. rumah tangga.
c. Menjamin keberlangsungan sistem penyediaan air minum.
d. Perencanaan yang lebih baik untuk rehabilitasi/pengembangan sistem
penyediaan air minum.
e. Mengakomodasi isu pengelolaan air dan sanitasi ditingkat rumah tangga
dengan implementasi pilar 3 Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).
f. Prinsip yang dapat diterapkan pada segala bentuk sistem penyediaan air.
- Pengamanan limbah.

Penyimpanan limbah B3 harus dilakukan jika limbah B3 tersebut belum


dapat diolah dengan segera. Kegiatan penyimpanan limbah B3 dimaksudkan
untuk mencegah terlepasnya limbah B3 ke lingkungan sehingga potensi bahaya
terhadap manusia dan lingkungan dapat dihindarkan. Untuk meningkatkan
pengamanannya, maka sebelum dilakukan penyimpanan limbah B3 harus terlebih
dahulu dikemas. Mengingat keragaman karakteristik limbah B3, maka dalam
pengemasannya perlu pula diatur tata cara yang tepat sehingga limbah dapat
disimpan dengan aman. 18
- Penyehatan udara tanah dan kawasan.19
Penyehatan adalah upaya untuk meningkatkan kualitas udara dalam
ruang rumah dan pencegahan terhadap penurunan kualitas udara dalam ruang
rumah. Pencemaran udara dalam ruang (indoor air pollution) terutama rumah
sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, karena pada umumnya orang lebih
banyak menghabiskan waktu untuk melakukan kegiatan di dalam rumah sehingga
rumah menjadi sangat penting sebagai lingkungan mikro yang berkaitan dengan
risiko dari pencemaran udara. Dampak dari adanya pencemar udara dalam ruang
rumah terhadap kesehatan dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak
langsung. Gangguan kesehatan secara langsung dapat terjadi setelah terpajan,
antara lain yaitu iritasi mata, iritasi hidung dan tenggorokan, serta sakit kepala,
mual dan nyeri otot (fatigue), termasuk asma, hipersensitivitas pneumonia, flu dan
penyakit–penyakit virus lainnya. Selain itu juga dapat menyebabkan bronkitis
kronis, PPOK, kanker paru, dan lainnya.19
Persyaratan kualitas udara dalam ruang rumah meliputi :
a. Kualitas fisik, terdiri dari parameter: partikulat (Particulate Matter/PM2,5 dan
PM10), suhu udara, pencahayaan, kelembaban, serta pengaturan dan
pertukaran udara (laju ventilasi).
b. Kualitas kimia, terdiri dari parameter: sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida
(NO2), karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), Timbal
(Plumbum/Pb), asap rokok (Environmental Tobacco Smoke/ETS), asbes,
formaldehid (HCHO), Volatile Organic Compound (VOC).
c. Kualitas biologi terdiri dari parameter yaitu bakteri dan jamur.

Tabel 11. Persayaratan fisik dan persyaratan


kimia.19

Tabel 12. Persyaratan biologi.19

c. Peran masyarakat
Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung (2001), peran serta masyarakat
adalah proses di mana individu dan keluarga serta swadaya masyarakat termasuk swasta,
mengambil peran sebagai berikut:20
1. Mengambil tanggung jawab atas kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri,
keluarga, serta masyarakat. 20
2. Mengembangkan kemampuan untuk berkontribusi dalam pengembangan kesehatan
mereka sendiri dan masyarakat sehingga termotivasi untuk memecahkan berbagai
kesehatan yang dihadapi. 20
3. Menjadi agen atau perintis pengembangan kesehatan dan pemimpin dalam
penggerakan peran serta masyarakat di bidang kesehatan yang dilandasi semangat
gotong royong. 20

Di dalam Sistem Kesehatan Nasional dikemukakan beberapa bentuk peran serta


masyarakat, yaitu meliputi:20
1. Peran serta perorangan dan keluarga. Ini dilaksanakan oleh setiap anggota keluarga
dan anggota masyarakat dalam menolong dirinya sendiri dan keluarga untuk dapat
hidup sehat. Hal ini dicerminkan dengan kemampuan untuk mengatasi masalah
kesehatan, masalah lingkungan, dan masalah perilaku sesuai dengan kemampuan
perorangan, termasuk mencari pertolongan rujukan. 20
2. Peran serta masyarakat umum. Ini meliputi kegiatan untuk menjalin hubungan yang
erat dan dinamis antara pemerintah dan masyarakat dengan cara mengembangkan dan
membina komunikasi timbal balik terutama dalam hal memberikan masukan,
memberikan umpan balik, dan menyebarluaskan informasi tentang kesehatan. Di
samping itu, masyarakat diminta agar turut secara aktif dalam mengenal dan
merumuskan masalah, menentukan prioritas merencanakan kegiatan-kegiatan yang
perlu dilaksanakan untuk mengatasi masalah tersebut, menggerakkan pelaksanaan,
dan menyediakan sumberdaya. Dengan demikian, masyarakat bukan saja
diperlakukan sebagai objek pembangunan. Dalam peran serta masyarakat umum ini
termasuk pula peran serta kelompok-kelompok khusus di masyarakat, seperti para
kader kelompok PKK, kelompok agama, dan sebagainya. 20
3. Peran serta masyarakat penyelenggara upaya kesehatan. Yang dimaksud dengan
kelompok penyelenggara upaya kesehatan adalah seperti yayasan-yayasan yang
memberikan pelayanan kesehatan, praktek-praktek profesi, serta lainnya. Kegiatannya
meliputi kegiatan yang dilaksanakan baik secara perorangan maupun secara
kelompok, berupa20:
a. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan, seperti balai pengobatan swasta, rumah
bersalin swasta, dokter praktek-praktek profesi, dan lainnya.
b. Penyelenggaraan pendidikan dan latihan tenaga kesehatan, baik tenaga kesehatan
formal maupun tenaga kesehatan yang berasal dari masyarakat (kader).
c. Usaha menghimpun dana secara gotong royong.
4. Peran serta masyarakat profesi kesehatan. Kelompok profesi meliputi kelompok
dokter, dokter gigi, sanitarian, apoteker, bidan, perawat, dan sejenisnya. Kegiatannya
berupa20:
a. Pelayanan kesehatan.
b. Upaya meningkatkan sikap positif dan perilaku yang mendukung upaya
pemerintah dalam menyelenggarakan upaya kesehatan.
c. Membantu pemerintah dalam hal pengaturan profesi kesehatan tanpa mengurangi
kewenangan pemerintah dalam fungsi pengaturan profesi, dan lain-lain.
d. Berbagai upaya lain yang berhubungan dengan kesehatan.

Tingkatan Pencegahan
Tujuan ilmu kedokteran adalah untuk mempromosikan kesehatan, menjaga kesehatan,
dan memulihkan kesehatan bila terganggu, dan untuk meminimalisir kesengsaraan dan
penderitaan. Tujuan-tujuan tersebut diwujudkan dalam pencegahan. Beberapa tingkat
pencegahan yang dapat diterapkan dalam ilmu kedokteran. Menurut Leavell dan Clark, terdapat
tiga tingkatan pencegahan, yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan
tersier.21
1. Pencegahan primer dapat diartikan sebagai tindakan yang dilakukan sebelum
terjadinya onset penyakit, yang menyingkirkan kemunkinan penyakit dapat terjadi.
Pencegahan primer dapat diwujudkan dengan mempromosikan kesehatan dan
kesejahteraan, serta kualitas hidup dengan tindakan perlindungan khusus. Selain dari
mencegah penyakit, pencegahan primer juga memiliki konsep yang mendorong
pencapaian serta pemeliharaan tingkat kesehatan yang dapat diterima sehingga setiap
individu dapat menjalankan kehidupan secara ekonomis dan sosial. Pencegahan
primer juga menyangkut sikap terhadap kehidupan dan kesehatan dan inisiatif yang
diambil untuk melakukan tindakan yang positif dan bertanggung jawab untuk dirinya
sendiri, keluarga, dan juga komunitas. Contoh tindakan kesehatan masyarakat berupa
sanitasi, pemberantasan infkeis, imunisasi, sumber makanan serta air yang baik,
kesehatan lingkungan, dan lainnya. 21
2. Pencegahan sekunder dapat diartikan sebagai tindakan yang memberhentikan
kelanjutan suatu penyakit yang baru saja terjadi dan mencegah terjadinya komplikasi.
Intervensi yang dilakukan dalam tahap ini berupa diagnosis awal dan pentalaksanaan
yang baik. Pencegahan sekunder bertujuan untuk menghambat proses penyakit dan
memberikan tatalaksana sebelum perubahan patologis yang ireversibel terjadi dan
sebelum penyakit infeksius menyebar. Pencegahan tingkat ini juga dapat melingdungi
individu lain dalam suatu komunitas. Pada tahap inilah ilmu kedokteran klinis
dilakukan. 21
3. Pencegahan tersier dapat diartikan sebagai tindakan yang meminimalisir penderitaan
yang disebabkan kesehatan yang tidak baik dan mempromosikan penyesuaian diri
pasien terhadap kondisi yang ireversibel. Selain itu, jika kondisi pasien sudah stabil,
maka rehabilitasi dapat memainkan peran juga. 21

Tabel 13. Tingkat pencegahan menurut Leavell dan Clark.22

Tabel 14. Tingkat pencegahan menurut Leavell dan Clark22


Pencegahan yang dapat dilakukan untuk TB adalah:23
a. Primer23
 Tersedia sarana-sarana kedokteran, pemeriksaan penderita, kontak atau suspect
gambas, sering dilaporkan, pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita,
kontak, suspek, perawatan.
 Petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB yang
antara lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang ditimbulkannya.
 Pencegahan pada penderita dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu
batuk dan membuang dahak tidak disembarangan tempat.
 Pencegahan infeksi dengan cuci tangan dan praktek menjaga kebersihan rumah
harus dipertahankan sebagai kegiatan rutin. Tidak ada tindakan pencegahan
khusus untuk barang-barang (piring, sprei, pakaian dan lainnya). Dekontaminasi
udara dengan cara ventilasi yang baik dan bisa ditambahkan dengan sinar UV.
 Imunisasi orang-orang kontak. Tindakan pencegahan bagi orang-orang sangat
dekat (keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan lain) dan lainnya yang
terindikasi dengan vaksin BCG dan tindak lanjut bagi yang positif tertular.
 Mengurangi dan menghilangkan kondisi sosial yang mempertinggi risiko
terjadinya infeksi misalnya kepadatan hunian.
 Lakukan eliminasi terhadap ternak sapi yang menderita TB bovinum dengan cara
menyembelih sapi-sapi yang tes tuberkulinnya positif. Susu dipasteurisasi
sebelum dikonsumsi.
 Lakukan upaya pencegahan terjadinya silikosis pada pekerja pabrik dan tambang
b. Sekunder23
 Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan terhadap penyakit
inaktif dengan pemberian pengobatan INH sebagai pencegahan.
 Isolasi, pemeriksaan kepada orang-orang yang terinfeksi, pengobatan khusus TB.
Pengobatan mondok dirumah sakit hanya bagi penderita yang kategori berat yang
memerlukan pengembangan program pengobatannya yang karena alasan-alasan
sosial ekonomi dan medis untuk tidak dikehendaki pengobatan jalan.
 Pemeriksaan bakteriologis dahak pada orang dengan gejala TB paru.
 Pemeriksaan screening dengan tubercullin test pada kelompok beresiko tinggi,
seperti para emigrant, orang-orang kontak dengan penderita, petugas di rumah
sakit, petugas/guru disekolah, petugas foto rontgen.
 Pemeriksaan foto rontgen pada orang-orang yang positif dari hasil pemeriksaan
tuberculin test.
 Pengobatan khusus. Penderita dengan TB aktif perlu pengobatan yang tepat.
Obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter diminum dengan tekun
dan teratur, waktu yang lama (6 atau 12 bulan). Diwaspadai adanya kebal
terhadap obat-obat, dengan pemeriksaan penyelidikan oleh dokter.
c. Tersier23
 Tindakan mencegah bahaya penyakit paru kronis karena menghirup udara yang
tercemar debu para pekerja tambang, pekerja semen dan sebagainya.
 Rehabilitasi.

Pencegahan yang dapat dilakukan untuk HIV/AIDS adalah:24


a. Primer24
 Pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja dan ibu rumah tangga seperti tikda
melakukan hubungan seks dengan berganti pasangan.
 Pendidikan seks aman bagi wanita pekerja seksual.
 Penggunaan jarum suntuk steril bagi pengguna narkoba suntik atau tidak berbagi
jarum suntik kepada pengguna lain
 Penggunaan kondom bagi kelompok yang melakukan seks berisiko.
 Tes darah bagi donor darah dimana hanya tes negatif yang digunakan. Orang yang
mempunyai perilaku risiko tinggi terkena HIV sebaiknya tidak mendonorkan
darah, plasma, transplantasi organ, sel, jaringan, cairan semen, dan sebagainya.
 Melakukan Tindakan Kewaspadaan Universal bagi petugas kesehatan. Harus
berhati-hati dalam menangani pasien, memakai dan membuang jarum suntik agar
tidak tertusuk, menggunakan APD untuk menghindari kontak dengan darah atau
cairan yang terinfeksi HIV.
b. Sekunder24
 Tes dan Konseling Sukarela (Voluntary Counselling and Testing) dan terpadu.
Disarankan untuk semua orang yang terkena salah satu faktor risiko sehingga
mereka mengetahui status infeksi sehingga dapat melakukan pencegahan dan
pengobatan dini.
 Terapi dan pengobatan ARV.
c. Tersier24
 Pengobatan dan pencegahan infeksi oportunistik.
 Psikologis, motivasi ODHA, merangkul ODHA, tidak stigma dan diskriminasi.

Pencegahan yang dapat dilakukan untuk penyalahgunaan napza adalah:25


a. Primer25
 Penyuluhan tatap muka dan penyuluhan melalui media cetak.
 Penyuluhan dengan mengintegrasikan informasi mengenai bahaya napza ke dalam
kegiatan seperti pendidikan agama dan lainnya.
b. Sekunder25
 Penyuluhan dengan teknik ceramah, sarasehan, atau diskusi, bimbingan sosial
melalui kunjungan rumah.
 Konseling perorangan atau keluarga bermasalah penyalahgunaan narkoba.
c. Tersier25
 Bimbingan sosial dan konseling terhadap yang bersangkutan atau keluarganya.
 Penciptaan lingkungan sosial dan pengawasan sosial yang menguntungkan eks
korban untuk mantapnya kesembuhan.
 Pengembangan minat, bakat, dan keterampilan bekerja atau berusaha bagi eks
korban.
 Pelayanan penempatan kerja dan bantuan modal kerja bagi pada eks korban.
 Rehabilitas dengan memperbaiki segi psikologis dan fisik penyalahguna dapat
dengan cara mengkarantina dan memberikan perawatan yang intensif.

Kesimpulan

Penyakit dapat timbul karena adanya ketidak seimbangan antara faktor agent host dan
environment. Puskesmas sebagai layanan kesehatan primer memiliki program untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat dan melakukan pencegahan penyakit. Untuk
menanggulangi suatu penyakit bukan hanya tanggung jawab dari puskesmas saja, tapi tanggung
jawab bersama antara individu, masyarakat, puskesmas dan juga pemerintah. Program
pemerintah seperti Jaminan Kesheatan Nasional juga dapat membantu penanggulangan penyakit
bagi masyarakat yang kurang mampu.
Daftar pustaka
1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2014 Tentang Pusat
Kesehatan Masyarakat. [Cited 18 Juni 2021]. Available from:
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK%20No.%2075%20ttg
%20Puskesmas.pdf
2. Zuriya Y. Hubungan antara faktor host dan lingkungan dengan kejadian TB paru di
wilayah kerja puskemas pamulang tahun 2016. BS thesis. FKIK UIN Jakarta, 2016.
[Cited 17 June 2021]. Available from:
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34348/1/YUFA%20ZURIYA-
FKIK.pdf
3. Liwang F, Yuswar PW, Wijaya E, Sanjaya NP, editor. Kapita selekta kedokteran. Jilid I.
5th ed. Jakarta: Media Aesculapius; 2020. p. 418.
4. Guterres M. Beberapa faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadiian HIV/AIDS pada
laki-laki umur 25 – 44 tahun (studi kasus di kota dili, timor leste. Doctoral dissertation.
FK Undip Semarang, 2015. [Cited 18 June 2021]. Available from:
http://eprints.undip.ac.id/46430/3/BAB_II.pdf
5. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama. Jakarta: Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia;
2017. p. 54
6. Irwan. Epidemiologi penyakit menular. Yogyakarta: CV Absolute Media; 2017. p. 73 – 9
7. Penggunaan Narkotika di Kalangan Remaja Meningkat [Internet]. Badan Narkotika
Nasional RI. 2021 [cited 20 June 2021]. Available from: https://bnn.go.id/penggunaan-
narkotika-kalangan-remaja-meningkat/
8. Departemen Kesehatan RI. Pedoman penyuluhan masalah narkotika, psikotropika dan zat
adiktif lainnya (napza) bagi petugas kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2006.
p. 36 – 41
9. Promosi Kesehatan [Internet]. Direktorat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
2021 [cited 20 June 2021]. Available from: https://promkes.kemkes.go.id/promosi-
kesehatan
10. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2015 Tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Lingkungan Di Puskesmas. [Cited 19 Juni 2021].
Available from: https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/114918/permenkes-no-13-
tahun-2015
11. Sugiharto M, Oktami RS. Pelaksanaan klinik sanitasi di puskesmas gucialit dan
puskesmas gambut dalam menanggulangi penyakit berbasis lingkungan. Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan, 2018;21(4), 261-270.
12. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. [Cited
19 Juni 2021]. Available from: http://www.bphn.go.id/data/documents/92uu023.pdf
13. Sa’pang M, Sitoayu L, Novianti A. Prinsip asuhan gizi dan dietik. [Cited 19 Juni 2021].
Available from: https://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Course-10597-7_0312.pdf
14. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional pengendalian
tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2011.
15. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Program pengendalian HIV AIDS dan
PIMS fasilitas kesehatan tingkat pertama. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia; 2017.
16. Kebijakan program dan kegiatan direktorat pencegahan dan pengendalian masalah
kesehatan jiwa dan napza (dit. P2mkjn) pada rakontek tahun 2021 [Internet].
Docplayer.info. 2021 [cited 20 June 2021]. Available from:
https://docplayer.info/73136897-Kebijakan-program-dan-kegiatan-direktorat-
pencegahan-dan-pengendalian-masalah-kesehatan-jiwa-dan-napza-dit-p2mkjn-pada-
rakontek-tahun-2018.html
17. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis rencana pengamanan air
minum (RPAM) komunal. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2017.
18. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. Tata cara dan persyaratan teknis
penyimpanan dan pengumpulan limbah B3. 2010;
19. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1077/Menkes/PER/V/2011
Tentang Pedoman Penyehatan Udara dalam Ruang Rumah. [Cited 20 Juni 2021].
Available from: http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK%20No.
%201077%20ttg%20Pedoman%20Penyehatan%20Udara%20Dalam%20Ruang
%20Rumah.pdf
20. Baqie A, editor. Teknolimbah buletin pusat pengembangan teknologi tepat guna
pengolahan limbah cair. 4th ed. Yogyakarta: Pusteklim Yogya; 2013. p. 2–7. Available
from: https://issuu.com/pusteklimyogya/docs/tekno_limbah_vol-4
21. Park JE. Park’s textbook of preventive and social medicine. 25th ed. India: Banarsidas
Bhanot. 2019. p. 47 – 9
22. Bae J-M. Implementation of Quaternary prevention in the Korean healthcare system:
Lessons from the 2015 middle east respiratory syndrome Coronavirus outbreak in the
republic of Korea. J Prev Med Public Health. 2015;48(6):271–3.
23. Najmah. Epidemiologi penyakit menular. Jakarta: Trans Info Medial; 2016. p. 90 – 2
24. Najmah. Epidemiologi penyakit menular. Jakarta: Trans Info Medial; 2016. p. 135 - 8
25. Hidayat MR. Pencegahan dan penanggulanan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkoba. Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, 2019;25(12).

Anda mungkin juga menyukai