Anda di halaman 1dari 29

HUBUNGAN ANTARA VENTILASI RUMAH DENGAN KEJADIAN

TB PARU DI WILAYAH UPT PUSKESMAS CIMANGGU II

BAB I : PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Menurut HL Blum ( 1974 ) derajat kesehatan itu dipengaruhi oleh beberapa faktor

yaitu lingkungan, perilaku, pelayanan medis dan keturunan. Pengaruh paling besar untuk

memenuhi persyaratan kesehatan adalah dari faktor lingkungan dan perilaku masyarakat

itu sendiri yang dapat merugikan kesehatan. Masyarakat terdiri atas masyarakat pedesaan

dan masyarakat perkotaan, karena kurangnya pengetahuan, dan kurangnya kemampuan

masyarakat dalam bidang kesehatan, ekonomi maupun teknologi dapat makin

memperjelek perilaku masyarakat itu sendiri dalam mempengaruhi derajat kesehatannya.

Lingkungan terdiri dari dua unsur pokok yang berkaitan erat mempengaruhi status

kesehatan sedangkan lingkungan sosial akibat dari kemiskinan dapat menimbulkan

penyakit-penyakit yang berbasis lingkungan (Dep. Kes RI, 2001).

Masalah kesehatan lingkungan selalu ada di lingkungan pemukiman, sekalipun

dalam skala kecil, hal ini tidak dapat diabaikan karena merupakan fokus permasalahan

didalam lingkungan yang lebih luas. Pemukiman dapat menjadi reservoir penyakit bagi

keseluruhan lingkungan. Timbulnya permasalahan kesehatan didalam lingkungan

pemukiman pada dasarnya disebabkan karena orang belum sependapat tentang fungsi

suatu rumah. Menurut Winslow (1994) dikutip dari Sumirat, (1994) bahwa rumah sehat

itu harus menuhi kriteria yaitu memenuhi kebutuhan fisiologis, kebutuhan psikologis dan

menghindari terjadinya kecelakaan. Kondisi rumah yang tidak sesuai dengan kesehatan
seperti rumah yang sempit memudahkan terjadinya penularan penyakit seperti penyakit

TB Paru.

Penyakit TB Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman

TBC (Mycobacterium tuberculosis). Kuman ini biasanya masuk ke dalam tubuh manusia

melalui udara pernafasan ke dalam paru (Dep. Kes, 2002). Penularan TB Paru terutama

adalah melalui udara, pada kondisi rumah yang pengap dan lembab akibat kurangnya

ventilasi dan pencahayaan. Sumber penularan pada saat batuk dan bersin. Pada penderita

TB Paru BTA positif pada saat batuk dan bersin menyebarkan kuman ke udara dalam

bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di

udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi TB Paru apabila

droplet tadi terhirup dan masuk kedalam saluran pernafasan. Kemampuan dan daya

penularan dari seorang penderita TB Paru BTA positif ditentukan oleh banyaknya kuman

yang dikeluarkan dari dalam parunya (Dep. Kes 2002).

Usaha penanggulangan penyakit TB Paru yang dapat dilakukan tidak lagi berkisar

pada menurunkan angka kesakitan, kematian dan penularannya. Tapi tindakan yang

dirasakan paling efektif adalah memutuskan mata rantai penularannya, sehingga penyakit

TB Paru tidak lagi dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.


2. Perumusan Masalah

Berdasarkan fakta diatas, maka penulis merumuskan suatu masalah sebagai berikut ;

Apakah ada hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian TB Paru.

3. Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian TB Paru di wilayah

UPT Puskesmas Cimanggu II

b. Tujuan Khusus

1. Mengetahui karakteristik responden di wilayah UPT Puskesmas Cimanggu II

2. Mengetahui jumlah kejadian TB Paru di wilayah UPT Puskesmas Cimanggu

II

3. Mengetahui kondisi ventilasi rumah di wilayah UPT Puskesmas Cimanggu II

4. Menganalisis hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian TB Paru di

wilayah UPT Puskesmas Cimanggu II

4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian secara khusus yaitu ;

1. Bagi Dinas Kesehatan, hasil penelitian ini memberikan informasi untuk mengambil

kebijakan dan perencanaan kesehatan dalam rangka mencegah atau mengeleminir

kejadian TB Paru dengan lebih memperhatikan kondisi lingkungan dan juga

kondisi masyarakat.

2. Bagi masyarakat, diharapkan dapat mengetahui sebab-sebab penyakit TB Paru dan

cara pencegahannya, menambah informasi dan pengetahuan bagi masyarakat

tentang peranan sarana dasar kesehatan lingkungan, memberikan informasi


tambahan bagi msyarakat agar dapat berperan aktif dalam mengantisipasi dan atau

menanggulangi mewabahnya penyakit TB Paru.

3. Bagi penulis, menambah wawasan dan pengetahuan tentang penyakit menular

terutama penyakit tuberkulosis paru di wilayah UPT Puskesmas Cimanggu II.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Tuberculosis

1. Definisi

Tuberculosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium tuberculosis. Organ tubuh yang paling sering terserang oleh kuman

ini adalah paru-paru, karena itu penyakit ini biasa disebut TB Paru. Tetapi tidak

berarti tidak ada organ lain yang bebas dari serangan nodus limfe, selaput otak dan

tulang peritoneum adalah organ lain selain paru-paru yang dapat terserang, terkadang

kuman Mycobacterium tuberculosis dapat menyerang seluruh tubuh. Kuman

Mycobacterium tuberculosis masuk kedalam tubuh manuisa melalui pernafasan.

2. Etiologi

Mycobacterium tuberculosis terdiri dari beberapa jenis Yaitu : M. Africanus, M.

Bovis, M. Kansasi Dan M. Avinum. Kesemua jenis ini dapat menyerang kepada

manusia.

Basil Tuberculosis tersusun oleh substansi lemak, protein, karbohidrat dan

mineral. Substansi lemaknya cukup tinggi dan sangat n terhadap bahan-bahan

kimiawi, sehingga masih tetap dapat bertahan hidup terhadap kondisi asam lambung

(Dep. Kes, 2002).

3. Perjalanan Penyakit
Sebagian besar orang yang terinfeksi dengan kuman Mycobacterium (80 – 90%)

belum tentu menjadi tuberculosisrmant. Untuk sementara waktu kuman yang ada

didalam tubuh berada dalam kondisi dormant (tidur). Dan keberadaan kuman yang

dormant tersebut hanya dapat diketahui dengan test tuberculin.

Dalam jangka waktu 3 – 6 bulan setelah terinfeksi oleh kuman, biasanya barulah

seseorang dinyatakan sakit dan disebut sebagai penderita tuberculosis. Untuk

seseorang yang terinfeksi dan tidak menjadi sakit, sepanjang hidupnya memiliki

resiko untuk menderita penyakit tuberculosis.

Kuman tuberculosis yang masuk kedalam paru dapat menyebar kebagian tubuh

lainnya dengan jalan yaitu :

1. Kuman tersebut dapat menyebar dari paru ke sistem peredaran darah.

2. Kuman tersebut dapat menyebar dari paru ke sistem saluran limfe.

Penyakit ini dapat terjadi pada semua kelompok umur, mulai dari balita sampai

dengan usia lanjut. Kuman penyebab tuberculosis, Mycobacterium tuberculosis,

berbentuk batang dan memiliki sifat istimewa yaitu tahan terhadap penghilangan

warna dengan asam dan alkohol. Kuman ini akan kelihatan dibawah mikroskop

apabila jumlah kuman paling sedikit ada 5.000 batang dalam 1 ml dahak. Dahak

yang baik untuk diperiksa adalah dahak yang mukopurulent, berwarna hijau

kekuningan dan jumlahnya harus 3-5 ml tiap pengambilan (Dep. Kes RI, 1999).

Tuberculosis paru pada manusia dapat dijumpai dalam 2 bentuk yaitu :

a. Tuberculosis primer yaitu bila terjadi penyakit infeksi pertama kali.

b. Tuberculosis pasca primer yaitu bila penyakit timbul setelah beberapa waktu

seseorang terkena infeksi primer dan dinyatakan telah sembuh.


Penyakit TB disebabkan oleh kuman dan dapat menyerang siapa saja, mulai dari

balita hingga usia lanjut. Penyakit TB lebih banyak menyerang masyarakat kurang

mampu dibandingkan dengan masyarakat mampu. Masyarakat yang hidupnya

berdesak-desakan, tinggal dirumah yang sumpek, kurang ventilasi udara, kurang

cahaya matahari, kuman TB senang sekali dengan kondisi seperti ini.

4. Faktor Resiko Penderita Penyakit TB Paru

a. Faktor Umur

Resiko seseorang untuk tertular penyakit dapat dikaitkan dengan umur

orang tersebut. Pada patogenesis TB Paru pada penderita umur tua berasal dari

reaktifitas fokus dormant yang telah terjadi berpuluh-puluh tahun lamanya. Hal

ini akan dipengaruhi lagi dengan keadaan sosial yang buruk, kekebalan tubuh

yang menurun karena ketuaan sehingga kondisi tubuh yang sudah lemah

(Ratnawati, 1996). Kemudian menurut Bloch (1989), membenarkan bahwa resiko

penyakit TB Paru di Amerika salah satunya adalah umur. Juga berdasarkan

penelitian Adams dan Brickner di New York yang dilaksanakan di penampungan

gelandangan menunjukan terdapat infeksi tuberculosis aktif dan meningkat secara

bermakna sesuai dengan umur. Pada umur lebih dari lima puluh tahun angka

infeksi 72,3% sedangkan pada umur 18-30 tahun angka infeksi hanya mencapai

27,5% (CDC, 1997). Semakin bertambah umur, akan semakin berpengaruh

terhadap turunnya daya tahan tubuh seseorang sehingga beresiko untuk terjadinya

TB Paru. Beda dengan permasalahan TB Paru di Indonesia, dimana sebagian

besar penyakit ini menyerang pada usia produktif yaitu 15-50 tahun (Dep.Kes RI,

2001). Hal ini disebabkan di Indonesia, pada usia 15-50 tahun merupakan pencari

nafkah keluarga, dimana pekerjaan yang dilakukan adalah menjadi buruh-buruh

kasar, sehingga sering kontak dengan penyebab timbulnya penyakit seperti debu.
Juga keadaan sosial ekonomi yang rendah dan kebiasaan merokok makin

mempermudah terjadinya penyakit TB Paru.

b. Faktor Jenis Kelamin

Di benua Afrika tuberculosis banyak menyerang pada kaum laki-laki. Pada

tahun 1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat

dibandingkan jumlah penderita TB Paru pada wanita, yaitu 42,23% pada laki-laki

dibandingkan pada wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan

merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB Paru (Dep.Kes RI, 2001).

c. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat pengetahuan sesorang.

Pengetahuan yang baik akan membuat seseorang mengetahui tentang syarat

rumah sehat yang memenuhi syarat kesehatan juga kondisi rumah yang beresiko

menyebabkan penularan kuman penyakit TB Paru. Dengan tingkat pendidikan

yang baik seseorang juga akan mau melaksanakan PHBS (Perilaku Hidup Bersih

dan Sehat) sehingga akan mengurangi resiko terjadinya penularan penyakit TB

Paru. Selain itu tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis

pekerjaan seseorang. Apabila seseorang memiliki pekerjaan yang tidak tetap akan

mempengaruhi kepada sumber pendapatan. Dengan pendapatan yang minim akan

sulit sekali untuk memenuhi kecukupan gizi dan pangan sehingga akan terjadi

kurang gizi. Kurang gizi akan mempengaruhi daya tahan tubuh, daya tahan tubuh

yang rendah memudahkan seseorang terserang infeksi TB Paru.

d. Pekerjaan
Jenis pekerjaan akan memberikan faktor resiko terhadap setiap individu.

Seseorang yang bekerja pada lingkungan yang berdebu akan mudah terpapar

dengan partikel debu dan beresiko untuk mengalami penyakit gangguan

pernafasan. Ware, J.H (1981) dikutip dari Ahmad Dahlan (2001), menyatakan

bahwa paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas,

terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya penyakit

TB Paru. Jenis pekerjaan seseorangpun akan mempengaruhi pada kepemilikan

rumah dalam hal ini pada kontruksi rumah. Kepala keluarga dengan penghasilan

dibawah UMR akan mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi yang rendah

sehingga berakibat pada kurangnya status gizi, hal ini mempermudah terjadinya

infeksi diantaranya TB Paru. Dengan pendapatan yang rendah kepala keluarga

juga tidak dapat membuat kontruksi rumah yang sesuai dengan syarat kesehatan

sehingga mempermudah terjadiny penularan TB Paru (Dep. Kes, RI, 1997).

e. Kebiasaan Merokok

Merokok diketahui mempunyai hubungan meningkatkan resiko terjadinya

resiko terkena kanker paru-paru, penyakit jantung koroner bronchitis kronik dan

kanker kandung kemih, Rasyid (1992) dikutip dari Imam Jaya (2000).

Snider (1989) dikutip dari Hermain (2001), mengemukakan bahwa

merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB Paru sebanyak 2,2 kali.

Prevalensi merokok pada hampir semua Negara berkembang lebih dari 50%

(WHO TRS, 1979) dikutip dari Imam Jaya (2000). Adanya kebiasaan merokok

akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru (Dep. Kes RI, 2001).

Kebiasaan merokok menyebabkan paru-paru dipenuhi dengan partikel-partikel

racun yang terdapat pada asap rokok. Hal ini memudahkan terjadinya infeksi TB
Paru, apalagi ditambah dengan kondisi tubuh yang lemah dan status gizi yang

kurang.

f. Kepadatan hunian terutama kamar tidur

Luas lantai bangunan rumah yang sehat harus sesuai dengan jumlah

penghuninya, ini dimaksudkan agartidak terjadi perjubelan (over crowded).

Perjubelan tidak sehat, pertama bisa menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen

yang kedua apabila ada salah satu anggota keluarga ada yang mengalami penyakit

infeksi mudah menularkan pada anggota keluarga yang lain. Luas minimum

perorangan tergantung pada kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia, untuk

rumah sederhana luasnya 10 m persegi/orang, untuk kamar 3m²/orang dan untuk

mencegah penularan penyakit pernafasan, jarak antara tepi tempat tidur yang satu

dengan yang lainnya adalah 90 cm. Kamar tidur sebaiknya dihuni tidak lebih dari

2 orang, kecuali suami istri dan seorang anak usia dibawah 5 tahun. Untuk

menjamin volume udara yang cukup disyaratkan juga langit-langit minimum

tingginya 2,75m. Dengan tingginya langit-langit rumah menyebabkan pertukaran

udara lebih leluasa. Udara bukanlah lingkungan yang baik bagi perkembangan

mikro beberapa waktu didalamnya. Lingkungan udara yang tidak bebas lebih

menguntungkan bagi agent hidup, karena lebih terlindung terhadap beberapa

faktor udara seperti kecepatan angin. Apabila tinggi langit-langit kurang dari

yang disyaratkan, kemungkinan agent dapat memasuki host akan lebih besar.

Kelompok agent yang dapat disebarkan oleh udara bebas didalam rumah

diantaranya penyakit TB Paru, Campak (Morbili), cacar air (varcella), protitis

epidemica (gondongan), influenza (Soemirat, 2000 : 80 -81).

g. Pencahayaan
Untuk memperoleh cahaya yang cukup pada siang hari diperlukan jendela

kaca minimum 20% luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang

leluasa dapat digunakan genteng kaca. Cahaya sangat penting karena dapat

membunuh kuman-kuman pathogen didalam rumah, misal basil TB. Intensitas

cahaya minimum yang dibutuhkan adalah 10 lilin atau kurang lebih 60 lux,

kecuali untuk kamar tidur diperlukan cahaya yang elbih redup. Semua jenis

cahaya dapat mematikan kuman, Cuma berbeda pada jenisnya. Cahaya yang sama

apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman lebih

cepat apabila dibandingkan apabila dipancarkan melalui kaca yang berwarna.

Penularan kuman TB Paru umasuk serta sirkulasi udara diatur maka resiko

penularan antar penghuni rumah akan sangat berkurang (Dep. Kes RI, 1999).

h. Ventilasi

Ventilasi adalah suatu bidang yang berfungsi masuknya udara bersih ke

dalam rumah dan keluarnya udara kotor secara alamiah maupun buatan. Ventilasi

mempunyai banyak fungsi. Pertama untuk menjaga aliran udara didalam rumah

tetap segar. Kurang ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen didalam

rumah. Disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban

didalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan

penyerapan. Kelembaban merupakan media yang baik untuk tempat pertumbuhan

bakteri-bakteri pathogen/bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TB. Kedua,

ventilasi berfungsi membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama

bakteri pathogen. Selain ventilasi berfungsi menjaga kelembaban kamar agar

tetap optimal (Notoatmojo, 1997). Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling

sedikit luas lubang ventilasi sebesar 10% dari luas lantai (Dep. Kes RI, 1999).
i. Jenis atap

Atap selain dari genteng seperti susunan elepah kelama mudah bagi debu-

debu untuk menempel, cepat lapuk dan lembab. Atap dari seng membuat suhu

udara didalam rumah menjadi panas sehingga penghuninya menjadi tidak

nyaman. Begitu pula apabila menggunakan asbes bisa menyebabkan asbestosis

yang memudahkan terjadinya penyakit TB Paru apabila terkena infeksi

mycobacterium tuberculosis.

j. Jenis lantai

Jenis lantai tanah tidak baik untuk kesehatan karena dapat mempengaruhi

kebersihan udara didalam rumah, dan kemungkinan dapat menyebabkan

terjadinya penyakit TB Paru. Masih diketemukannya didaerah pedesaan rumah

panggung yang menggunakan lantai darikayu sebaiknya dilapisi lagi dengan

bahan yang mudah dibersihkan. Sedangkan apabila dari tanah lantai menjadi

lembab, yang merupakan media yang baik untuk tempat berkembang biaknya

kuman Mycobacterium tuberculosis ( Dep. Kes RI, 1995).

k. Jenis dinding

Di Indonesia kita temui jenis dinding yang terbuat dari anyaman bambu,

papan, pasangan bata sampai kepada pasangan betn. Anyaman bambu masih

banyak kita temukan di pedesaan, dimana jenis dinding seperti ini masih dapat

ditembusi oleh udara juga sulit. Untuk dibersihkan dari tempelan debu-debu.

Dinding sebaiknya dibuat dari dinding permanen daari bahan yang mudah

dibersihkan dan kedap udara. Dalam hubungannya dengan penyakit TB Paru,

dinding yang terbuat dari bahan yang tidak permanen merupakan tempat
menempel debu-debu, sulit untuk dibersihkan sehingga merupakan media untuk

berkembangnya kuman Mycobacterium tuberculosis ( Dep. Kes RI, 1995).

l. Kelembaban udara

Kelembaban udara didalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan

diperlukan kelembaban optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar antara

22 - 30ºC. Kuman TB akan mati apabila terkena matahari langsung, tapi dalam

kondisi tempat yang lembab dan gelap kuman TB dapat bertahan hidup selama

beberapa jam (Dep. Kes RI, 2000)

m. Status gizi

Status gizi juga dapat mempengaruhi seseorang untuk terjangkit penyakit

TB Paru. Hasil penelitian menunjukan bahwa seseorang dengan status gizi yang

kurang mempunyai resiko 3,7 kali untuk terserang penyakit TB Paru berat

dibandingkan dengan seseorang yang mempunyai status gizi atau lebih.

Seseorang dengan ststus gizi yang kurang berdampak kepada kurangnya daya

tahan tubuh dan kurangnya respon imunologik tubuh terhadap penyakit.

n. Riwayat kontak

Adanyapenderita TB dalam satu rumah dapat menyebabkan terjadinya

kontak dengan anggota keluarga yang lain. Kontak dengan sumber penular

merupakan salah satu faktor resiko untuk terjadinya penyakit TB Paru. Salah satu

cara penularan kuman TB yaitu adanya sumber penular sebagai penderita TB

Paru BTA positif yang dapat menularkan kepada orang yang ada disekelilingnya

terutama kontak erat ( Dep. Kes RI, 2000). Ada beberapa upaya agar dapat
mengurangi kontak diantaranya yaitu penderita tuberculosis yaitu agar tidur

sendiri (tempat tidur sendiri) serta alat makan/minum yang khusus bagi penderita

terpisah dengan yang lain.

o. Keadaan sosial ekonomi

Keadaan ekonomi mempunyai pengaruh besar terhadap pendidikan,

keadaan sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan.

Penurunan pendapatan mempengaruhi kepada tingkat kemampuan daya beli, hal

ini akan mempengaruhi kepada konsumsi makanan, ini akan berdampak terhadap

status gizi seseorang. Kurang gizi buruk akan menurunkan daya kekebalan tubuh,

hal ini mempermudah terkenanya infeksi TB Paru.

p. Perilaku

Perilaku seseorang akan berpengaruh terhadap pengetahuan, skap dan

tindakan. Pengetahuan penderita TB Paru yang kurang tentang carapenularan,

bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan perilakunya

sebagai seseorang yang sedang sakit, hal ini menyebabkan ia dapat menjadi

sumber penularan bagi orang yang berada disekelilingnya.

5. Pengertian Rumah

Badan kesehatan dunia (WHO) mendefinisikan rumah sebagai tempat untuk

tumbuh dan berkembang biak secara jasmani dan rohani. Menurut Permenkes No.

829/1999 rumah sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan untuk

bererlindung dari gangguan iklim dan mahluk hidup lainnya, serta tempat

pengembangan kehidupan keluarga.


6. Pengertian Rumah Sehat

Pengertian rumah sehat menurut Permenkes No. 829/1999 adalah kondisi fisik,

kimia dan biologik didalam rumah, dilingkungan rumah dan perumahan, sehingga

memungkinkan penghuni atau masyarakat memperoleh derajat kesehatan yang

optimal. Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, disamping

kebutuhan sandang dan pangan. Rumah berfungsi pula sebagai tempat tinggal serta

digunakan untuk berlindung dari gangguan iklim dan makluk hidup lainnya. Selain

itu rumah juga merupakan pengembangan kehidupan dan tempat berkumpulnya

anggota keluarga untuk menghabiskan sebagian besar waktunya. Bahkan bayi, anak-

anak, orang tua, dan orang sakit menghabiskan waktunya dirumah. Rumah sehat dan

nyaman merupakan sumber inspirasi bagi penghuninya untuk berkarya sehiodukngga

dapat meningkatkan produktifitasnya.

Rumah yang sehat dan layak huni tidak harus berwujud rumah mewah dan besar

namun dari rumah yang sehat dan sederhana pun dibentuk menjadi rumah sehat dan

layak huni (Dep. Kes RI, 1995). Karena itu, bagian rumah yang mempengaruhi

kesehatan hendaknya .dipersiapkan dengan baik, khususnya :

a. Sirkulasi udara

b. Penerangan yang cukup

c. Terpenuhinya kebutuhan air bersih

d. Pengaturan pembuangan air limbah baik sehingga tidak menimbulkan

pencemaran.

e. Lantai dan dinding tidak lembab dan tidak terpengaruh oleh pencemaran seperti

bau, rembesan air kotor maupun udara kotor.

7. Persyaratan Rumah Sehat


Menurut Menteri Kesehatan RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang

persyaratan kesehatan rumah tinggal :

a. Bahan bangunan

1) Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan zat-zat yang dapat

membahayakan kesehatan, antara lain sebagai berikut :

a) Debu total tidak lebih dari 150 µg m³

b) Asbes bebas tidak melebihi 0,5 fiber/ m³/4jam

c) Timah hitam tidak melebihi 300mg/kgb

2) Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya

mikrooganisme pathogen.

b).Komponen dan penataan ruang

komponen rumah harus memenuhi persyaratan fisik dan biologis sebagai

berikut :

1). Lantai kedap air dan mudah untuk dibersihkan

2). Dinding

a). Diruang tidur, ruang keluarga dilengkapi dengan sarana ventilasi untuk

pengaturan sirkulasi udara.

b). Dikamar mandi dan tempat cuci tangan harus kedap air dan mudah

dibersihkan.

3). Langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan

4). Bumbung rumah yang memiliki tinggi 10 meter atau lebih harus dilengkapi

dengan penangkal petir


5). Ruang didalam rumah harus ditata agar berfungsi sebagai ruang tamu, ruang

keluarga, ruang makan, ruang tidur, ruang dapur, ruang mandi, dan ruang

bermain anak.

6). Ruang dapur harus dilengkapi dengan sarana pembuangan asap.

c. Pencahayaan

Pencahayaan alam atau buatan langsung atau tidak langsung dapat menerangi

seluruh bagian ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan.

a. Kualitas udara

Kualitas udara didalam rumah tidak melebihi ketentuan sebagai berikut ;

1). Suhu udara nyaman berkisar antara 18ºC sampai dengan 30 ºC

2). Kelembaban udara berkisar antara 40% sampai 70%

3). Konsentrasi gas SO2 tidak melebihi 0,10 ppm/24jam

4). Pertukaran udara

5). Konsentrasigas CO tidak melebihi 100ppm/8jam

6). Konsetrasi gas formaldehyde tidak melebihi 120mg/m³

e. Ventilasi

Luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanent minimal 10% dari luas

lantai.

f. Binatang penular penyakit

Tidak ada tikus yang bersarang dirumah.


g. Air

1). Tersedia air bersih dengan kapasitas minimal 60lt/hri/orang

2). Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan air minum

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

h. Tersedianya sarana penyimpanan makanan yang aman dan hygiene

i. Limbah

1). Limbah cair berasal dari rumah tidak mencemari sumber air, tidak

menimbulkan bau dan tidak mencemari permukaan tanah.

2). Limbah padat harus dikelola agar tidak menimbulkan bau, tidak

menyebabkan pencemaran terhadap permukaan tanah dan air tanah.

j. Kepadatan hunian ruang tidur

Luas ruang tidur 8m², dan tidak dianjurkan untuk digunakan lebih dari dua

orang kecuali dengan anak dibawah umur 5 tahun. sudah sewajarnya seluruh

lapisan masyarakat menempati rumah sehat dan layak huni. Rumah tidak cukup

hanya sebagai tempat tinggal dan berlindung dari panas cuaca dan hujan. Rumah

harus mempunyai fungsi sebagai :

1). Mencegah terjadinya penyakit

2). Mencegah terjadinya kecelakaan

3). Aman dan nyaman bagi penghuninya

4). Penurunan ketegangan jiwa dan sosial

5). Penyuluhan pemanfaatan rumah


Menurut Ditjen PPLP,1990, rumah sehat mempunyai beberapa indikator

sebagai berikut :

1. Kontruksi bangunan harus kuat dan memenuhi persyaratan teknis beberapa

indikator sebagai berikut :

a. Luas ventilasi 10% dari luas lantai ruangan

b. Luas lubang angin 0,35% dari luas lantai ruangan

c. Luas lantai untuk kediaman minimal 6m²/orang dengan lebar min 2m² dan

tinggi min 2,4m

d. Kelembaban udara 40-50%

e. Temperatur udara 20º - 25 ºC

f. Kecepatan aliran udara 5 – 20cm/det/volume

2. Harus ada halaman dan pekarangan bersih dan kering

3. Harus ada pagar halaman yang cukup kuat

4. Harus ada pintu masuk pagal halaman yang cukup kuat dan terkunci

5. Tidak terdapat serangga dan sarang tikus dalam rumah

6. Sistem pembuangan air kotor tidak menimbulkan pencemaran terhadap tanah, air

dan udara

7. Sistem pembuangan sampah diangkut dibuang ke tempat pembuangan akhir

secara teratur dan tertib

8. Sistem penyediaan air bersih memenuhi syarat kualitas dan kuantitas


8. Kesehatan Lingkungan Perumahan

Ruang lingkup kesehatan lingkungan tersebut antara lain mencakup perumahan,

pembuangan kotoran manusia (tinja), penyediaan air besih, pembuangan sampah,

pembuangan air kotor (air limbah, rumah hewan/ternak/kandang). Adapun yang

dimaksud dengan usaha untuk memperbaiki atau mengoptimumkan lingkungan hidup

manusia agar merupakan media yang baik untuk terwujudnya kesehatan yang

optimum bagi manusia yang hidup didalamnya (Notoatmojo, 1997).

Keadaan perumahan adalah suatu faktor yang menentukan keadaan hygiene dan

sanitasi lingkungan. Seperti yang dikemukakan oleh WHO bahwa perumahan yang

tidak cukup dan terlalu sempit mengakibatkan pula tingginya kejadian penyakit

dalam masyarakat (Entjang, 1997).

Upaya penyehatan lingkungan pemukiman adalah upaya untuk meningkatkan

kesehatan lingkungan pemukiman melalui upaya sanitasi dasar, pengawasan mutu

lingkungan dan tempat umum, termasuk pengendalian pencemaran lingkungan

dengan meningkatkan peran serta masyarakat dan keterpaduan pengelolaan

lingkungan melalui analisis dampak lingkungan.

Tempat-tempat yang mendukung kesehatan menurut Wahyuningsih (1999) yaitu :

a. Rumah, Desa, Tetangga

b. Sekolah

c. Tempat kerja

d. Pasar

e. Kota dan Kecamatan

f. Tempat olahraga dan taman bermain/tempat hiburan


9. Cara Pengendalian Faktor Resiko Lingkungan Penularan TB

Menurut Dep. Kes RI (2002) cara pengendalian faktor resiko lingkungan

penularan TB yaitu :

a. Menghindari percikan ludah atau percikan dahak melalui ventilasi yang efektif

dikendaraan umum, ruang tempat umum (sekolah, tempat ibadah, ruang kerja),

ruang-ruang dirumah dengan mengurangi konsentrat partikulat melayang

b. Pencahayaan didalam rumah, pencahayaan matahari langsung kedalam

rumah/ruang mematikan kuman TB karena sinar ultra violet atau panas sinar

matahari, mencegah kelembaban dalam ruang, antara lain dengan ventilasi yang

efektif.

c. Menghindari kepadatan hunian, kepadatan hunian bersama penderita TB aktif

dalam rumah memungkinkan kontak efektif untuk terjadinya infeksi baru pada

penghuni rumah.

d. Mencegah kepadatan hunian untuk menjamin ventilasi yang efektif.

e. Mencegah pencemaran udara yang bersumber dari dalam rumah, pemakaian

bahan bakar hayatitanpa ventilasi efektif dan merokok.

f. Menghindari adanya lantai tanah dalam rumah karena menambah kelembaban,

kelembaban memungkinkan perkembang biakan bakteri.

Menurut Crofton (2002) cara pengendalian faktor resiko lingkungan penularan TB

yaitu :

1. Sedapat mungkin hindari kerumunan orang banyak yang terlalu padat (sekaligus

dapat juga mengurangi pernafasan lain yang dapat menular, seperti pneumoni

pada bayi)

2. Tingkatkan ventilasi rumah


3. Ajaklah agar orang berpendapat bahwa meludah adalah suatu kebiasaan yang

menjijikan dan dapat menyebarkan penyakit.

10. Hubungan Rumah yang terlalu Sempit dan Kejadian Penyakit

Rumah yang sehat harus memenuhi persyaratan kesehatan lingkungan, ketertiban,

kelestarian lingkungan,. Komponen-komponen lingkungan yang mempengaruhi

kesehatan masyarakat hendaknya dilengkapi sesuai kebutuhan antara lain dengan

menyediakan prasarana lingkungan yang memadai dan sesuai dengan jumlah

penghuni, disamping itu harus diperhatikan juga keadaan rumah yang sempit agar

mengurangi terjadinya penyakit yaitu (Entjang, 1997) :

a. Kelembaban udara, karena rumah terlalu sempit ( terlalu banyak penghuninya)

maka ruangan-ruangan akan kekurangan oksigen sehingga menyebabkan

menurunnya daya tahan tubuh serta memudahkan terjadinya penyakit. Penularan

penyakit-penyakit saluran pernafasan misalnya TB akan mudah terjadi antara

penghuni rumah.

b. Fasilitas dalam rumah untuk tiap orang akan berkurang, misalnya penggunaan air

dan akan memudahkan terjadinya penyakit kulit.

c. Memudahkan terjadinya penularan penyakit, misalnya penyakit TBC, penyakit

kulit dan penyakit saluran pernafasan lainnya.

d. Privacy dari tiap anggota keluarga terganggu.


B. Kerangka Teori

Variabel independen Variabel Dependen

Lingkungan Fisik Rumah Berinteraksi


dengan
1. Jenis atap rumah Kejadian
Mycobacterium
2. Dinding rumah TB Paru
Tuberkulosis
3. Jenis lantai rumah BTA (+)
4. Ventilasi rumah
5. Pencahayaan rumah
6. Kepadatan hunian rumah
7. Kepadatan hunian kamar tidur

Faktor Karakteristik Individu

1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Tingkat pendidikan
4. Jenis pekerjaan
5. Riwayat kontak serumah
C. Kerangka Konsep

Kuman penyebab penyakit Tuberkulosis telah lama diketemukan, tetapi untuk

memberantas penyakit ini banyak kendala yang dihadapi, banyak faktor-faktor yang

berpengaruh didalamnya. Untuk kasus TB Paru BTA ( + ) dapat terjadi karena

adanya pengaruh dari lingkungan fisik rumah dan faktor individu.

Ventilasi rumah Kejadian Tuberkulosis

Keterangan :

1. ______________ : Ada Hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian

Tuberkulosis

D. Hipotesis Penelitian

Didalam penelitian ini disusun hipotesis sebagai berikut :

1. Ada hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian TB Paru di Wilayah UPT

Puskesmas Cimanggu
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analitik dengan

metode survey dan pendekatan case control. Studi analitik ini adalah riset epidemiologi

yang bertujuan untuk memperoleh penjelasan tentang hubungan kondisi rumah dengan

kejadian penyakit TB Paru. Pendekatan kasus kontrol yaitu suatu penelitian dimana

variabel-variebel yang termasuk efek (kepadatan hunian, ventilasi, sumber kontak,

kelembaban dan pencahayaan) diobservasi dalam waktu bersamaan. Ventilasi rumah

penderita TB Paru yang beresiko adalah sebanyak 37, dan ventilasi rumah penderita TB

Paru yang tidak beresiko adalah sebanyak 37.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita TB Paru yang telah

diperiksa BTA, dengan hasil pemeriksaan BTA positif dari bulan Januari –

Desember 2009 yang berada di wilayah kerja UPT Puskesmas Cimanggu II

Kabupaten Cilacap sebanyak jumlah penduduk per 1000 (37 orang) dan bukan

TB Paru.

2. Sampel

Sampel dalam penelitian diambil berdasarkan Arikunto 2006, Sedangkan

teknik sampling menggunakan teknik purposive sampling. Kasus adalah

penderita TB Paru yang berdasarkan pemeriksaan dahak di laboratorium


menunjukan BTA positif, bertempat tinggal di lokasi yang terpilih sebagai lokasi

penelitian. Kontrol adalah orang yang berada di sekeliling penderita BTA positif

dengan individu yang hampir sama dengan kasus. Dalam penelitian ini sampel

yang digunakan sebanyak 37 orang kasus, sedangkan kontrol sebanyak 37 orang,

jadi jumlah sampel seluruhnya adalah presentasi 74 sampel.

Kriteria Inklusi :

a. Penduduk yang tinggal di wilayah UPT Puskesmas Cimanggu II

b. Lama tinggal di wilayah UPT Puskesmas Cimanggu II minimal 10 tahun.

c. Bersedia menjadi subjek penelitian

C. Instrumen Penelitian

Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah lembar observasi yang

dibuat berdasarkan variabel-variabel yang akan diteliti.

D. Prosedur Penelitian

Survei awal dilakukan mulai dari penentuan subjek penelitian, yaitu penderita TB

Paru yang datanya diambil dari buku TB 03 Tahun 2009 yang ada di UPT Puskesmas

Cimanggu II. Pengumpulan data menggunakan teknik studi lapangan dengan

menggunakan instrumen penelitian berupa observasi dan wawancara kepada responden

dan mengobservasi serta mengukur aspek-aspek yang diteliti. Data yang diperoleh

kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak (software

computer) menggunakan metode SPSS for windows V.11.5. Setelah diperoleh hasil

analisis, data tersebut disajikan secara naratif dalam bentuk tabel, dan grafik.

E. Cara Pengumpulan Data


1. Sumber Data

Data primer diperoleh dari kuisioner melalui kegiatan observasi dan wawancara

langsung ke setiap rumah resonden. Sedangkan data sekunder diperoleh dari arsip

laporan DKK, laporan bulanan program P2TB Paru, laporan tahunan dan profil

UPTPuskesmas Cimanggu II Tahun 2009.

2. Cara Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data digunakan teknik studi lapangan. Teknik ini

merupakan teknik pengumpulan data di lapangan atau di lokasi penelitian dengan

menggunakan instrumen penelitian observasi dan wawancara. Data dikumpulkan

dengan cara observasi dan wawancara langsung dengan responden menggunakan

lembar onservasi dan wawancara. Responden menjawab sesuai dengan alternatif

jawaban yang tersedia. Untuk data tentang hasil pemeriksaan dahak diperoleh

dari register petugas TB Puskesmas dan laporan TB 04 petugas laboratorium.

Data tentang kepadatan hunian, kontak dengan penderita dan lain-lain diperoleh

dari jawaban responden yang didapatkan dengan mengisi lembar kuisioner. Data

tentang luas ventilasi, dan pencahayaan didapatkan dengan cara wawancara dan

pengamatan langsung di setiap rumah responden.

F. Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan Data

Data karakteristik responden dan kondisi fisik rumah diolah untuk dilihat

hubungan dengan kejadian penyakit TB Paru menggunakan perangkat lunak

(software komputer). Tahapan dalam pengolahan data adalah sebagai berikut :

a. Editing
Data yang sudah terkumpul diperiksa mengenai kelengkapan dan

ketepatan jawaban dan relevansinya, sehingga pengolahan data selanjutnya

menjadi lebih mudah.

b. Coding

Setelah proses editing, kemudian data diberi kode-kode angka sesuai

dengan yang telah ditetapkan sebelumnya pada definisi operasional.

c. Entry Data

Setelah data diberi kode, kemudian dimasukan ke dalam komputer

untuk dilakukan pengolahan data dengan menggunakan program statistik.

d. Cleaning Data

Sebelum data diolah dengan menggunakan komputer, terlebih dahulu

dilakukan cleaning data dengan maksud untuk melihat apakah data tersebut

sudah benar sesuai dengan kuesioner atau tidak dan apakah data tersebut

sudah lengkap atau tidak. Setelah data dikoreksi dan diperbaiki semuanya,

baru dilaksanakan pengolahan data.

2. Analisis Data

Tahapan berikutnya setelah pengolahan data adalah analisis data. Kegiatan ini

bertujuan untuk mengetahui gambaran distribusi frekuensi dari variabel yang

diteliti dan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara variabel dependen dan

variebel independen menggunakan SPSS for windows 15 yang terdiri dari :

a. Analisis Univariat

Dilakukan untuk mengetahui gambaran distribusi frekuensi dan

proporsi dari berbagai variabel yang diteliti, baik variabel dependen

maupun variabel independen.

b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilaksanakan melalui uji chisquare, uji ini dipilih

karena data berbentuk nominal.

G. Variabel Penelitian

1. Variabel Independen (variabel bebas)

Dalam penelitian ini faktor lingkungan fisik rumah sub variabelnya adalah :

a. Ventilasi rumah

2. Variabel Dependen (variabel terikat)

Kejadian penyakit TB Paru BTA (+) di UPT Puskesmas Cimanggu II pada tahun

2009 adalah sebanyak 37 kasus.

H. Definisi Operasional

Definisi
No Variabel Cara ukur Alat ukur Kategori skala
operasional
1. Ventilasi Semua Mengukur luas Meteran 1=kurang baik Nominal
rumah jendela/lubang ventilasi rumah bila luas
angin yang dan ventilasi < 10%
dapat membandingka luas lantai
dijadikan n dengan luas 2=baik bila
pertukaran lantai rumah luas ventilasi >
udara 10% luas lantai
2. Kejadian Ada tidaknya Px dahak Px Lab 1=positif bila Nominal
TB Paru sampel BTA hasil
(+) pemeriksaan
positif
terjangkit TB
2=negatif bila
hasil
pemeriksaan
negatif
terjangkit TB

Anda mungkin juga menyukai