Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH DASAR KESEHATAN LINGKUNGAN

TENTANG PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN

Dosen pengampuh; Iwan Desimal, S.Si.M.KL

DI SUSUN OLEH ;

Elvira Samulana

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS PENDIDIKAN MANDALIKA
TAHUN AJARAN 2022/2023
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis (TBC) Refrensi Dahlgren Dan Whitehead (2006)

1. Pengertian penyakit tuberkulosis

Tuberkulosis (TBC) paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycrobacterium
tuberculosis yang menyerang paru-paru dan bronkus. TBC paru tergolong penyakit air borne
infection, yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernapasan ke dalam paru-paru.
Kemudian kuman menyebar dari paru-paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran limfe, melalui bronkus atau penyebaran langsung ke bagian tubuh lainnya (Widyanto
& Triwibowo, 2013)

Tuberkulosis (TBC) paru adalah suatu penyakit infeksi kronis yang sudah sangat lama dikenal
pada manusia, misalnya dia dihubungkan dengan tempat tinggal di daerah urban, lingkungan yang
padat, dibuktikan dengan adanya penemuan kerusakan tulang vertebra otak yang khas TBC dari
kerangka yang digali di Heidelberg dari kuburan zaman neolitikum, begitu juga penemuan yang
berasal dari mumi dan ukuriran dinding piramid di Mesir kuno pada tahun 2000 – 4000 SM.
Hipokrates telah memperkenalkan sebuah terminologi yang diangkat dari bahasa Yunani yang
menggambarkan tampilan penyakit TBC paru ini (Sudoyo dkk, 2010).

2. Etiologi tuberkulosis

TB paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh basil TBC (Mycrobacterium Tuberculosi
Humanis). Mycrobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk batang berukuran
sangat kecil dengan panjang 1-4 µ m dengan tebal 0,3-0,6 µ m. Sebagian besar komponen
Mycrobacterium tuberculosis adalah berupa lemak atau lipid yang menyebabkan kuman mampu
bertahan terhadap asam serta zat kimia dan faktor fisik. Kuman TBC bersifat aerob yang
membutuhkan oksigen untuk kelangsungan hidupnya. Mycrobacterium tuberculosis banyak
ditemukan di daerah yang memiliki kandungan oksigen tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat
yang kondusif untuk penyakit TB. Kuman Mycrobacterium tuberculosis memiliki kemampuan
tumbuh yang lambat, koloni akan tampak setelah kurang dari dua minggu atau bahkan terkadang
setelah 6-8 minggu. Lingkungan hidup optimal pada suhu 37°C dan kelembaban 70%. Kuman tidak
dapat tumbuh pada suhu 25°C atau lebih dari 40°C (Widyanto & Triwibowo, 2013).

3. Patogenesis tuberkulosis

TBC paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh basil TBC (Mycrobacterium Tuberculosi
Humanis). Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei)
yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TBC ini akan segera diatasi oleh
mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TBC dan biasanya
sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TBC. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus,
makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TBC dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.
Kuman TBC dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di
tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TBC di jaringan paru disebut Fokus Primer. Waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman TBC hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap
disebut sebagai masa inkubasi TBC. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses
infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit.
Masa inkubasi TBC biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara
2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104,
yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler (Werdhani, 2009)

TBC primer adalah TBC yang terjadi pada seseorang yang belum pernah kemasukan basil TBC.
Bila orang ini mengalami infeksi oleh basil TBC, walaupun segera difagositosis oleh makrofag,
basil TBC tidak akan mati. Dengan semikian basil TBC ini lalu dapat berkembang biak secara
leluasa dalam 2 minggu pertama di alveolus paru dengan kecepatan 1 basil menjadi 2 basil setiap 20
jam, sehingga pada infeksi oleh satu basil saja, setelah 2 minggu akan menjadi 100.000 basil. TBC
sekunder adalah penyakit TBC yang baru timbul setelah lewat 5 tahun sejak terjadinya infeksi
primer. Kemungkinan suatu TBC primes yang telah sembuh akan berkelanjutan menjadi TBC
sekunder tidaklah besar, diperkirakan hanya sekitar 10%. Sebaliknya juga suati reinfeksi endogen
dan eksogen, walaupun semula berhasil menyebabkan seseorang menderita penyakit TBC sekunder,
tidak selalu penyakitnya akan berkelanjutan terus secara progresif dan berakhir dengan
kematian.hal ini terutama ditentukan oleh efektivitas sistem imunitas seluler di satu pihak dan
jumlah serta virulensi basil TBC di pihak lain. Walaupun sudah sampai timbul TBC selama masih
minimal, masih ada kemungkinan bagi tubuh untuk menyembuhkan dirinya sendiri bila sistem
imunitas seluler masih berfungsi dengan baik. Jadi dapat disimpulkan bahwa TBC pada anak-anak
umumnya adalah TBC primer sedangkan TBC pada orang dewasa adalah TBC sekunder
(Danusantoso, 2013)

4. Penularan tuberkulosis

Menurut Dikjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (2014) cara penularan penyakit
Tuberkulosis adalah

a. Sumber penularan adalah pasien TBC BTA positif melalui percik renik dahak yang
dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TBC dengan hasil pemeriksaanBTA negatif
tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadioleh karena jumlah kuman
yang terkandung dalam contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/ccdahak sehingga sulit dideteksi melalui
pemeriksaan mikroskopis langsung. b. Pasien TBC dengan BTA negatif juga masih memiliki
kemungkinan menularkanpenyakit TBC. Tingkat penularan pasien TBC BTA positif adalah 65%,
pasien TBC BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TBC dengan
hasilkultur negatif dan foto toraks positif adalah 17%.

c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percik renikdahak
yang infeksius tersebut.

d. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentukpercikan dahak
(droplet nuclei / percik renik). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar3000 percikan dahak.
Kuman TBC menyebar melalui udara saat si penderita batuk, bersin, berbicara, atau bernyanyi.
Yang hebat, kuman ini dapat bertahan di udara selama beberapa jam. Perlu diingat bahwa TBC
tidak menular melalui berjabat tangan dengan penderita TBC, berbagi makanan/minuman,
menyentuh seprai atau dudukan toilet, berbagi sikat gigi, bahkan berciuman (Anindyajati, 2017).

5.Gejala tuberkulosis

Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yangtimbul sesuai
dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru,
sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik (Werdhani, 2009)

a. Gejala sistemik atau umum:

1) Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)

2) Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai
keringat malam. Terkadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul

3) Penurunan nafsu makan dan berat badan

4) Perasaan tidak enak (malaise), lemah

b. Gejala khusus:

1) Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi

sumbatansebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanankelenjar


getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “ mengi ” ,suara nafas melemah yang
disertai sesak.

2) Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertaidengan keluhan sakit
dada.

3) Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat
membentuk saluran dan bermuara pada kulit diatasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.

4) Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dandisebut sebagai meningitis
(radang selaput otak), gejalanya adalah demamtinggi, adanya penurunan kesadaran dan
kejang-kejang.

Keluhan-keluhan seorang penderita TBC sangat bervariasi, mulai dari sama sekali tak ada
keluhan sampai dengan adanya keluhan-keluhan yang serba lengkap. Keluhan umum yang sering
terjadi adalah malaise (lemas), anorexia, mengurus dan cepat lelah. Keluhan karena infeksi kronik
adalah panas badan yang tak tinggi (subfebril) dan keringat malam (keringat yang muncul pada
jam-jam 02.30-05.00). Keluhan karena ada proses patologik di parudan/atau pleura adalah batuk
dengan atau tanpa dahak, batuk darah, sesak, dan nyeri dada.

6. Pengobatan tuberkulosis
Terdapat enam macam obat esensial yang telah dipakai sebagai berikut : Isoniazid (H), para
amino salisilik asid (PAS), Streptomisin (S), Etambutol (E), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (P).
Faktor-faktor risiko yang sudah diketahui menyebabkan tingginya prevalensi TBC di Indonesia
antara lain : kurangnya gizi, kemiskinan dan sanitasi yang buruk (Sudoyo, 2010).

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:

a.OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,dalam jumlah cukup dan dosis
tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian
OAT-Kombinasi DosisTetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukanpengawasan langsung (DOT =


Directly Observed Treatment) olehseorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

c. Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif danlanjutan.

1) Tahap awal (intensif)

a) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung
untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

b) Pengobatan tahap intensif tersebut apabila diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak
menular dalam kurun waktu 2 minggu.

c) Sebagian besar pasien TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

2) Tahap lanjutan

a) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam!jangka waktu yang
lebih lama

b)Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan, 2014) 7.
Pencegahan tuberkulosis.

Tindakan pencegahan dapat dikerjakan oleh penderitaan, masayarakat dan petugas kesehatan.

a Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan

1) Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk dan membuang dahak
tidak disembarangan tempat.

2) Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan dengan terhadap bayi harus diberikan
vaksinasi BCG (Bacillus Calmete Guerin).

3) Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TBC yang antara lain
meliputi gejala bahaya dan akibat yang ditimbulkannya.

4) Isolasi, pemeriksaan kepada orang–orang yang terinfeksi, pengobatan khusus TBC. Pengobatan
mondok dirumah sakit hanya bagi penderita yang kategori berat yang memerlukan pengembangan
program pengobatannya yang karena alasan – alasan sosial ekonomi dan medis untuk tidak
dikehendaki pengobatan jalan.

5) Des-Infeksi, Cuci tangan dan tata rumah tangga keberhasilan yang ketat, perlu perhatian khusus
terhadap muntahan dan ludah (piring, tempat tidur, pakaian) ventilasi rumah dan sinar matahari
yang cukup.

6) Imunisasi orang–orang kontak. Tindakan pencegahan bagi orang–orang sangat dekat (keluarga,
perawat, dokter, petugas kesehatan lain) dan lainnya yang terindikasinya dengan vaksi BCG dan
tindak lanjut bagi yang positif tertular.

7) Penyelidikan orang – orang kontak. Tuberculin-test bagi seluruh anggota keluarga dengan foto
rontgen yang bereaksi positif, apabila cara–cara ini negatif, perlu diulang pemeriksaan tiap bulan
selama 3 bulan, perlu penyelidikan intensif.

8) Pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan yang tepat obat – obat
kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter di minum dengan tekun dan teratur, waktu yang lama
(6 atau 12 bulan). Diwaspadai adanya kebal terhadap obat-obat, dengan pemeriksaaan penyelidikan
oleh dokter.

b. Tindakan pencegahan.

1) Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor menjadi sakit, seperti kepadatan hunian,
dengan meningkatkan pendidikan kesehatan.

2) Tersedia sarana-sarana kedokteran, pemeriksaan pnderita, kontak atau suspect gambas, sering
dilaporkan, pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita, kontak, suspect, perawatan.

3) Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan terhadap penyakit inaktif dengan
pemberian pengobatan INH (Isoniazid) sebagai pencegahan.

4) BCG, vaksinasi diberikan pertama-tama kepada bayi dengan perlindungan bagi ibunya dan
keluarganya. Diulang 5 tahun kemudian pada 12 tahun ditingkat tersebut berupa tempat
pencegahan.

5) Memberantas penyakit TBC pada pemerah air susu dan tukang potong sapi dan pasteurisasi air
susu sapi

6) Tindakan mencegah bahaya penyakit paru kronis karena menghirup udara yang tercemar debu
para pekerja tambang, pekerja semen dan sebagainya.

7) Pemeriksaan bakteriologis dahak pada orang dengan gejala TBC paru.

8) Pemeriksaan screening dengan tuberculin test pada kelompok beresiko tinggi, seperti para
emigrant, orang – orang kontak dengan penderita, petugas dirumah sakit, petugas/guru disekolah,
petugas foto rontgen.

9) Pemeriksaan foto rontgen pada orang–orang yang positif dari hasil pemeriksaan tuberculin tes
(Hiswani, 2004).

B.Diare Refrensi Ansari (2003)

1. Pengertian diare

Diare merupakan penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja, serta
bertambahnya frekuensi buang air besar dari biasanya hingga 3 kali atau lebih dalam sehari.
Kandungan air dalam tinja lebih banyak dari biasanya (normal 100-200 ml per jam) atau frekuensi
buang air besar lebih dari 4 kali pada bayi dan 3 kali pada anak (Fida dan Maya, 2012). Diare
merupakan penyakit pada sistem pencernaan dengan pengeluaran tinja encer berwarna hijau atau
dapat pula bercampur lendir dan darah atau lendir saja (Ambarwati dan Nasution, 2012).

2. Etiologi diare

Diare disebabkan oleh faktor infeksi, malabsorpsi, makanan, dan faktor psikologis
(Djitowiyono dan Kristiyanasari, 2011). Infeksi merupakan penyebab utama diare akut akibat
bakteri, virus, dan parasit (Ridha, 2014). Menurut Dwienda (2014), faktor-faktor penyebab diare
adalah sebagai berikut.

a. Faktor infeksi

1) Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama pada anak.
Infeksi enternal disebabkan oleh:

a) Infeksi bakteri: vibrio, Escherichia coli, salmonella, shigella, campylobacter, dan yershinia.

b) Infeksi virus: enterovirus (virus ECHO, coxsackaie, poliomyelitis), adenovirus, retrovirus, dan
lain-lain.

c) Infeksi parasit: cacing (ascori, trichoris, oxyuris, histolitika, gardia lambia, tricomonas hominis),
jamur (candida albicans)

2) Infeksi parenteral yaitu infeksi diluar alat pencernaan makanan seperti Otitis Media Akut (OMA),
tonsillitis, aonsilotaringitis, bronco pneumonia, encetalitis.

b. Faktor malabsorsi

1) Malabsorpsi karbohidrat disakarida (intolerans laktosa, maltosa, dan sukrosa), monosakarida


(intolerans glukosa, fruktosa, dan galaktosa), pada bayi dan anak- anak yang terpenting dan
tersering adalah intoleransi laktosa.

2) Malabsorpsi lemak

3) Malabsorpsi protein

c. Faktor makanan: makanan basi, beracun, tidak higienis, tidak matang saat dimasak, dan alergi
terhadap makanan

d. Faktor psikologis: rasa takut, cemas, dan tegang pada anak dapat menyebabkan diare.
3. Tanda dan gejala diare

Menurut Kementerian Kesehatan RI (2015), tanda dan gejala diare pada anak adalah sebagai
berikut:

a. Diare akut

1) Diare dehidrasi berat: letargi/tidak sadar, mata cekung, tidak bisa minum/malas minum, cubitan
kulit perut kembali sangat lambat.

2) Diare dehidrasi ringan/sedang: gelisah, rewel, mudah marah, mata cekung, cubitan kulit perut
kembali lambat, selalu ingin minum/ada rasa haus.

3) Diare tanpa dehidrasi: keadaan umum baik dan sadar, mata tidak cekung, tidak ada rasa haus
berlebih, turgor kulit normal.

b. Diare persisten atau kronis dengan dehidrasi/tanpa dehidrasi

c. Diare disentri: ada darah dalam tinja

4. Klasifikasi diare

Menurut Dwienda (2014), klasifikasi diare dibedakan menjadi 3 yaitu sebagai berikut:

a. Diare akut: keluarnya tinja cair tanpa darah selama 7-14 hari.

b. Diare persisten atau diare kronis: keluarnya tinja cair selama 14 hari atau lebih dan dapat disertai
darah atau tidak. Diare persisten atau diare kronis dalam waktu lama akan mengakibatkan
dehidrasi.

c. Diare disentri: keluarnya tinja sedikit-sedikit dan sering dan mengeluh sakit perut saat BAB.
Diare disentri dapat mengakibatkan anoreksia, kehilangan berat badan yang cepat, dan kerusakan
mukosa usus karena bakteri.

5. Komplikasi diare

Menurut Dwienda (2014), komplikasi yang dapat diakibatkan oleh diare adalah sebagai berikut:

a. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik, hipertonik).

b. Hipokalemia (dengan gejala ineteorismus, lemah, bradikardi).

c. Hipoglikemi.

d. Kejang terutama pada dehidrasi hipertonik.

6. Pencegahan diare

Berdasarkan Kemenkes RI (2011), kegiatan pencegahan diare yang benar dan efektif adalah sebagai
berikut:

a. Pemberian ASI Eksklusif


ASI (Air Susu Ibu ) adalah makanan yang paling baik untuk bayi. ASI saja sudah cukup untuk
menjaga pertumbuhan sampai umur 6 bulan. ASI bersifat steril, berbeda dengan sumber susu lain
seperti susu formula atau cairan lain yang disiapkan dengan air atau bahan-bahan dapat
terkontaminasi dalam botol yang kotor. ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik
dengan adanya antibodi dan zat-zat lain yang dikandungnya.

b. Makanan pendamping ASI

Perilaku pemberian makanan pendamping ASI yang baik meliputi perhatian terhadap kapan,
apa, dan bagaimana makanan pendamping ASI diberikan. Saran untuk meningkatkan pemberian
makanan pendamping ASI yaitu:

1) Perkenalkan makanan lunak ketika anak berumur 6 bulan dan dapat diteruskan pengetahuan ASI.

2) Tambahkan minyak, lemak, dan gula kedalam nasi/bubur dan biji-bijian untuk energi.
Tambahkan hasil olahan kacang-kacangan, susu, telur, ikan, daging, buah-buahan, dan sayuran.

c. Menggunakan air bersih yang cukup.

d. Mencuci tangan dengan sabun, terutama setelah buang air besar, setelah membuang tinja anak,
sebelum menyiapkan makanan, dan sebelum menyuapi makan anak.

e. Membuang tinja bayi dengan benar

f. Pemberian imunisasi campak

Pemberian imunisasi campak pada bayi sangat penting untuk mencegah agar bayi tidak terkena
penyakit campak. Anak yang sakit campak sering disertai diare, sehingga pemberian imunisasi
campak juga dapat mencegah diare.

C.Demam Berdarah Dengue (DBD) Refrensi WHO Commission on Social Determinants of


Heaalth (WHOCSDH) (2007)

a. Pengertian

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh empat
serotype virus dengue dan ditandai dengan empat gejala klinis utama yaitu demam yang tinggi,
manifestasi pendarahan, hematomageli dan tanda-tanda kegagalan sirkulasi sampai timbulnya
renjatan (sindrom renjatan dengue) sebagai akibat dari kebocoran plasma yang dapat menyebabkan
kematian (Sucipto, 2011).

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue
yang tergolong Arthropod Borne Virus, genus Flavivirus, dan famili Flaviviridae. DBD ditularkan
melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes, terutama Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Penyakit
DBD dapat muncul sepanjang tahun dan dapat menyerang seluruh kelompok umur. Penyakit ini
berkaitan dengan kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat (Waris, 2013).

b. Gambaran Klinis
Penyakit DBD ditandai oleh empat manifestasi klinis yaitu demam tinggi, manifestasi pendarahan,
hematomageli dan

kegagalan sirkulasi (Sucipto, 2011).

c. Penyebab dan Vektor Penularan DBD

Virus penyebab DBD adalah flavivirus dan terdiri dari empat serotipe yaitu serotipe 1, 2, 3, dan 4
(dengue 1, 2, 3, 4), ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes yaitu Aedes aeygypti dan Aedes
albopictus (Sucipto, 2011).

d. Pencegahan dan Pengendalian

Ada berbagai cara dalam melakukan pencegahan, pengendaian dan penanggulangan penyakit DBD
yaitu :

1) Pencegahan

Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk
Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa
metode yang tepat, yaitu :

a)Eliminasi breeding place nyamuk

b) Larvasida

c) Insektisida

2) Pengendalian

Beberapa metode pengendalian vektor telah banyak diketahui dan digunakan oleh program
pengendalian DBD di tingkat pusat dan di daerah yaitu (Sukohar, 2014)

a) Pengendalian Lingkungan

Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk
hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan desain rumah. Sebagai contoh menguras bak
mandi/ penampungan air sekurang-kurangnya sekali seminggu, menutup dengan rapat tempat
penampungan air, mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah.

b) Pengendalian Biologis

Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik (ikan adu/ikan
cupang), dan bakteri.

c) Pengendalian Kimiawi

Cara pengendalian ini antara lain dengan pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion
dan fenthion), berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu,
memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air seperti, gentong air, vas
bunga, dan kolam. d) Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN-DBD).

Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan mengkombinasikan
cara-cara di atas, yang disebut dengan ” 3M Plus ” , yaitu menutup, menguras, mendaur ulang.
Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur
larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan
insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala dan
disesuaikan dengan kondisi setempat.

e. Strategi Pemberantasan DBD 1) Pemberdayaan Masyarakat

Meningkatnya peran aktif masyarakat dalam mencegah dan penanggulangan penyakit DBD
merupakan salah satu kunci keberhasilan upaya pemberantasan penyakit DBD. Untuk mendorong
meningkatnya peran aktif masyarakat, maka upaya- upaya pemasaran sosial, advokasi dan berbagai
upaya penyuluhan kesehatan lainnya dilaksanakan secara intensif dan berkesinambungan melalui
berbagai media massa maupun secara kelompok atau individual dengan memperhatikan aspek
sosial budaya yang lokal spesifik (Kemenkes, 2008).

2)Peningkatan Kemitraan Berwawasan Bebas dari Penyakit DBD

Upaya pemberantasan penyakit DBD tidak dapat dilaksanakan oleh sektor kesehatan saja, peran
sektor terkait pemberantasan penyakit DBD sangat menentukan. Oleh sebab itu maka identifikasi
stake-holders baik sebagai mitra maupun pelaku potensial merupakan langkah awal dalam
menggalang, meningkatkan dan mewujudkan kemitraan. Jaringan kemitraan di selenggarakan
melalui pertemuan berkala guna memadukan berbagai sumber daya yang tersedia dimasing-masing
mitra. Pertemuan berkala sejak dari tahap perencanaan sampai pelaksanaan, pemantauan dan
penilaian melalaui wadah Pokjanal DBD di berbagai tingkatan administrasi (Kemenkes, 2008).

3) Sumber Daya Profesionalisme Pengelola Program

Sumber daya manusia yang terampil dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
merupakan salah satu unsur penting dalam pelaksanaan program P2DBD. Pengetahuan mengenai
Bionomik vektor, virologi, dan faktor-faktor perubahan iklim, tatalaksana kasus harus dikuasai
karena hal-hal tersebut merupakan landasan dalam penyusunan kebijaksanaan program P2DBD
(Kemenkes, 2008).

f.Peran Serta Masyarakat Dalam Pencegahan Penyakit DBD.

Sasaran peran serta masyarakat terdiri dari keluarga melalui peran PKK, organisasi
kemasyarakatan, murid sekolah melalui kegiatan jumantik sekolah, pelatihan guru, tatanan institusi
(kantor, tempat-tempat umum, tempat-tempat ibadah), dan jumantik dengan sistem kontrak
diharapkan peran sektor terkait dan petugas sanitasi lingkungan serta masyarakat secara umum,
melakukan PSN melalui Gerakan 3 M Plus (Kemenkes, 2008).
PEMBAHASAN

1. Penyakit Tuberkulosis Menurut Refrensi Dahlgren Dan Whitehead (2006)

Tuberkulosis (TBC) paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman
Mycrobacterium tuberculosis yang menyerang paru-paru dan bronkus. TBC paru tergolong
penyakit air borne infection, yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernapasan ke
dalam paru-paru. Kemudian kuman menyebar dari paru-paru ke bagian tubuh lainnya melalui
sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, melalui bronkus atau penyebaran langsung ke bagian
tubuh lainnya.

● Menurut Dahlgren dan whitehead pada tahun 2006 menyebutkan bahwa ada tiga faktor
utama yang meliputi :

1.Umur

Mayoritas penderita TBC berasal dari usia produktif. Rinciannya, sebanyak 17,3% penderita
TBC berusia 45-54 tahun.Sebanyak 16,8% penderita TBC yang berusia 25-34 tahun. Kemudian,
sebanyak 16,7% penderita TBC berusia 15-24 tahun.

2.Jenis Kelamin

Hasil penelitian menunjukkan kelompok yang lebih beresiko terkena penyakit tuberculosis
adalah kelompok laki-laki dengan persentase Perempuan 27,43% dan Laki-laki 72,56%.

3.Genetik

TBC bukanlah penyakit keturunan. Jika terdapat beberapa orang yang tinggal dalam satu rumah
mengidap penyakit ini, hal tersebut dikarenakan penularan bakteri dan bukan karena genetis.

→ Kasus

Tn. K, 50 tahun, seorang pekerja petani karet datang dengan keluhan batuk tidak berdahak.
Pasien mengatakan batuk dirasakan lebih sering pada malam hari dibandingkan pagi atau siang hari.
Keluhan tersebut telah dirasakan sejak 3 bulan yang lalu. Awalnya pasien mengatakan batuk timbul
pada saat menyangkul dan bertambah berat pada saat menyemprot pestisida pada kebunnya. Pasien
juga mengatakan adanya demam, keringat malam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat
badan yang awalnya 50 kg menjadi 47 kg dalam satu bulan. Pasien mempunyai kebiasaan yang
tidak baik seperti membuang dahak sembarangan, tidak memakai masker pada saat batuk,
kurangnya pengetahuan penyakit yang diderita oleh pasien, dukungan keluarga yang kurang
terhadap pasien, dan keadaan rumah pasien yang lembab. Pasien juga mempunyai riwayat kontak
dengan penderita TB yaitu istrinya yang sudah meninggal dunia. Pada saat keluhan muncul pasien
dibawa oleh keluarganya ke RS kemudian dibawa ke Puskesmas untuk mendapatkan pengobatan.

Pemeriksaan fisik yang telah dilakukan kepada pasien didapatkan hasil berat badan pasien 47 kg,
tinggi badan 163 cm, IMT 18,0 (underweight), terlihat sakit ringan. Tekanan darah 110/70 mmHg,
nadi 80 x/menit, frekuensi napas 17 x/menit, suhu tubuh 37,0oC. Konjungtiva mata anemis, sklera
anikterik. Telinga dan hidung dalam batas normal. Pada mulut tampak gigi dan oral hygiene cukup.
Tenggorokan, jantung, dan abdomen dalam batas normal. Pada pemeriksaan paru, inspeksi dalam
batas normal, palpasi dalam batas normal, perkusi dalam batas normal, auskultasi adanya suara
ronkhi pada pulmo dekstra dan sinistra. Ekstremitas superior dan inferior dalam batas normal,tidak
sianosis, tidak oedem, dan akral hangat. Status neurologis: Reflek fisiologis normal, reflek
patologi(-).

Di RS pasien telah dilakukan pemeriksaan foto rontgen anterior posterior (AP) dan didapatkan
adanya kavitas pada pulmo dekstra dan sinistra.

Setelah dilakukan foto rontgen, pasien datang ke Puskesmas untuk pengambilan dahak.
Pengambilan dahak dilakukan sebanyak dua kali dengan hasil yang pertama negatif kemudian
diulangi dan didapatkan hasilnya +2.

Pasien diberikan obat paket berupa Rifampicin 150 mg, Isoniazid 75 mg, Pirazinamid 400 mg,
Etambutol 275 mg. Pasien sudah mendapatkan pengobatan selama 1 bulan. Pasien merasakan gatal
setelah minum obat tersebut, namun untuk menguranginya pasien biasanya minum teh yang hangat
dan pada saat BAK berwarna merah.

2.Penyakit Diare Menurut Refrensi Ansari (2003)

Diare adalah penyakit yang membuat penderitanya menjadi sering buang air besar dengan
kondisi tinja yang encer atau berair. Diare umumnya terjadi akibat mengonsumsi makanan dan
minuman yang terkontaminasi virus, bakteri, atau parasit. Diare biasanya berlangsung tidak lebih
dari 14 hari (diare akut). Namun, pada sebagian kasus, diare dapat berlanjut hingga lebih dari 14
hari (diare kronis).

● Menurut ansari pada tahun (2003) menyebutkan bahwa terdapat empat faktor utama yang
mempengaruhi timbulnya penyakit pada masyarakat yaitu :

1.Status Sosial

Status sosial ekonomi dapat menjadi faktor risiko yang menyebabkan timbulnya penyakit diare.
Status sosial ekonomi merupakan gabungan antara posisi ekonomi dan sosial individu maupun
keluarga dalam masyarakat berdasarkan pendapatan, pendidikan dan pekerjaan (Soekanto, 2013).
Penelitian sebelumnya (Fathia, 2015) menyatakan bahwa pendidikan ibu rendah mempuyai
pengaruh tinggi terhadap kejadian diare pada anak. Penelitian Ariesta (2016) menyatakan bahwa
ada pengaruh antara pekerjaan ibu dengan kejadian diare pada anak. Penelitian Cahyaningrum
(2018) menyatakan bahwa anak-anak dalam keluarga berpendapatan rendah mempunyai risiko 1,52
kali menderita diare dibandingkan dengan anak-anak dalam keluarga berpendapatan tinggi.

2.Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan yang meliputi biaya,informasi dan jarak juga dapat menjadi faktor risiko
yang dapat menyebabkan penyakit diare menjadi memburuk dan bisa menyebabkan komplikasi
yang fatal jika tidak ditangani dengan tepat dan baik.Komplikasi yang akan ditimbulkan akan
diantaranya seperti dehidrasi, renjantan hipovolemik, hipokalemia, kejang dan malnutrisi dan hal
terburuk seperti kematian bisa terjadi jika diare tidak cepat ditangani ataupun tidak ditanggulangi
penyebabnya.

3.Perilaku timbulnya penyakit

Prilaku masyarakat yang bisa menyebabkan timbulnya penyakit diare yaitu kebiasaan mencuci
tangan yang tidak tepat, cara pemberian makanan terutama pada bayi dan balita, kebiasaan
memasak air minum, dan tidak memakai jamban untuk buang air besar (BAB).

4.Status Kesehatan

Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap status kesehatan anak atau individu adalah
lingkungan sosial ekonomi, lingkungan fisik, dan perilaku individu. Salah satu faktor yang
berperan besar adalah faktor lingkungan seperti keadaan tempat tinggal, kondisi lingkungan sekitar
individu.

Kualitas kesehatan lingkungan merupakan salah satu faktor yang memberikan peran terbesar
bagi kesehatan masyarakat. Aspek kesehatan lingkungan meliputi akses air bersih, akses sanitasi
dasar yang layak, penanganan limbah, vektor penyakit. Apabila terdapat ketidak seimbangan faktor
kesehatan lingkungan maka akan berdampak pada kondisi kesehatan individu dan dapat
menimbulkan penyakit berbasis lingkungan seperti diare

→ Kasus

Hasil pengkajian yang dilakukan di dapatkan data yang mengacuh pada masalah yang di
hadapai An” R” yaitu BAB 5 x sehari, dengan konsistensi encer, berampas, anak malas makan,
anak malas minum, berat badan menurun, suhu badan 37,4oC, mata cekung, turgor kulit kurang
elastis, keadaan umum lemah, bibi kering, membran mukosa kering, anus kemerahan, tingkat
dehidrasi dengan skor 5: sedang, Berat badan 10 kg. Sedangkan pengkajian yang ada pada teori tapi
tidak ada pada kasus adalah adanya distensi abdomen, ubun-ubun besar.

Menurut (Sugiyarti, 2019) hasil observasi pada kasus pasien 1 usia 2,5 tahun dengan keluhan
diare, muntah dan panas dengan suhu 38,3oC. Pada kasus pasien 2 usia 3 tahun dengan keluhan
diare dan muntah. Diagnosa keperawatan dari kedua kasus yaitu diare berhubungan dengan
inflamasi usus. Intervensi yang direncanakan yaitu memanagement diare, memonitor tanda tanda
vital, kelola terapi obat. Impikasi dari penelitian dari penelitian ini adalah optimalisasi manajemen
diare dalam asuhan keperawatan pada anak usia Toodler dengan diare cair akut dengan dehidrasi
ringan sampai sedang

Berdasarkan pengkajian diagnose keperawatan yang ditemukan; kekurangam volume cairan


berhubungan dengan asupan cairan yang tidak adekuat, kekurangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan penurunan intake makanan, anoreksia Ansietas berhubungan dengan
kurangnya informasi tentang penyakit anaknya.
Menurut (Sodikin, 2011) bahwa diagnosa keperawatan yang sering muncul pada Diare
kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan yang berlebihan dari traktus
gastrointestinal dalam feses atau muntahan (emesis). Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan kehilangan cairan akibat diare, dan asupan cairan yang tidak adekuat.
Resiko menularkan infeksi berhubungan dengan mikroorganisme yang menginvasi traktus
gastroentestinal. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan iritasi karena defekasi yang sering
dan feses yang cair. Ansietas (takut) berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua, lingkungan
tidak kenal, prosedur yang menimbulkan stress.

(Fatonah, 2012) berpendapat bahwa setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam
didapatkan hasil nutrisi pasien adekuati, volume cairan terpenuhi, dan tidak terjadi infeksi. Dalam
melakuakan asuhan keperawatan pada pasien diperlukan kerjasama baik dari tim kesehatan, pasien,
maupun keluarga karena sangat diperlukan untuk keberhasilan asuhan keperawatan pada pasien.
Komunikasi terapeutik dapat mendorong pasien lebih kooperatif.

3.Penyakit Demam Berdarah Dengue Menurut Refrensi WHO Commision On Social


Determinants Of Health (WHOCSDH) (2007)

● Menurut WHO Commision On Social Determinants Of Health (WHOCSDH) (2007)


menyebutkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi timbulnya penyakit yaitu:

1.Berdasarkan Determinan Sosial Kesehatan

Determinan sosial yang berhubungan dengan kejadian DBD dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan bermakna antara tindakan PSN, kebiasaan menggantung pakaian, penggunaan obat
nyamuk di siang hari, penggunaan kelambu, kepadatan penghuni, dan tempat perindukan dengan
kejadian penyakit DBD.

Disarankan bahwa perlu dilakukan penyuluhan yang lebih luas cakupan sasarannya yang
dilengkapi dengan alat bantu penyuluhan seperti brosur, leaflet dan sejenisnya agar dampak positif
penyuluhan lebih besar. Pihak pemegang program juga harus meningkatkan cakupan program
pemberantasan penyakit DBD dan pemantauan kinerja petugas pelaksana program di unit
pelaksana program. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai bioteknologi tentang DBD
serta dengan mempertimbangkan isu-isu terbaru mengenai masalah DBD sehingga program
pemberantasan DBD lebih optimal. Selain itu masyarakat harus lebih aktif mencari informasi
mengenai DBD secara mandiri, meningkatkan pelaksanaan PSN dan membiasakan menggunakan
repellent (lotion anti nyamuk), obat nyamuk atau kelambu di saat tidur pada pagi/siang hari, serta
menghindari kebiasaan menggantung pakaian bekas pakai ataupun sejenisnya.

→ Kasus

Anak, usia 6 tahun, berat badan 20 Kg, datang dengan keluhan mengalami demam selama 3 hari
sebelum masuk Rumah Sakit Abdul Moeloek (RSAM). Demam tinggi secara mendadak dan
menetap tanpa pernah mengalami penurunan, tidak ada perbedaan demam pada pagi, siang,
ataupun malam hari. Demam tanpa disertai menggigil dan kejang. Pada hari kedua demam, siang
harinya pasien mulai mengalami nyeri kepala, mual, dan muntah. Muntah sebanyak 1⁄4-1⁄2 gelas
belimbing sebanyak 3x berisikan air liur dan sisa makanan. Muntah darah tidak pernah dialami
pasien. Kemudian pada malam harinya, pasien mengeluhkan nafsu makannya mulai berkurang
pada saat makan malam dan merasakan nyeri saat menelan.

Pada hari ketiga demam, keluhan hari sebelumnya masih dirasakan dan pasien mulai merasakan
nyeri di daerah punggung dan perutnya. Nyeri perut dirasakan di daerah sekitar ulu hati yang
dirasakan hilang timbul. Ibu pasien juga bercerita bahwa anaknya belum pernah BAB semenjak
sakit. Keesokan harinya keluarga pasien memutuskan membawa anaknya ke Rumah Sakit Umum
Abdul Moeloek untuk mendapatkan perawatan.

Riwayat pendarahan gusi, mimisan atau ruam-ruam merah pada kulit juga tidak tidak ada.
Batuk dan pilek, sesak tidak ada keluhan. Riwayat buang air besar berwarna hitam atau darah, juga
tidak ada sebelumnya. Keluhan pada buang air kecil juga tidak ada.

Pasien jarang mengalami sakit. Biasanya pasien mengalami batuk-pilek ringan. Riwayat sakit
dan dirawat di rumah sakit sebelumnya disangkal. Riwayat keluarga maupun tetangga dengan
keluhan penyakit serupa pun disangkal. Pasien merupakan anak kedua. Kehamilan pasien adalah
kehamilan yang diinginkan oleh kedua orang tua. Selama hamil ibu sehat, kontrol teratur ke bidan
dan puskesmas setiap bulan. Ibu hanya minum vitamin dari bidan dan tidak pernah mengkonsumsi
obat-obatan lainnya. Pasien lahir, spontan, cukup bulan, ditolong bidan, lahir langsung menangis,
berat badan lahir 3000 gram, panjang badan 50 cm. Saat dan setelah lahir pasien tidak tampak sesak
nafas, kuning atau biru atau mengalami kelainan lainnya.

Riwayat imunisasi dasar lengkap sesuai umur. Imunisasi Bacille Calmette-Guerin (BCG) telah
diberikan sebanyak 1x pada umur 0 bulan, dengan diameter scar 0,5 cm. Imunisasi lainnya seperti
Polio juga didapatkan sebanyak 3x pada umur 0, 2, 3 bulan dan juga Difteri Pertusis Tetanus (DPT)
sebanyak 3x pada umur 2,3,4 bulan. Imunisasi Campak diberikan 1x, pada umur 9 bulan, sedangkan
imunisasi Hepatitis B sebanyak 4x pada umur 0, 2, 3, 4 bulan.

Pada pemeriksaan fisik diperoleh keadaan umum sakit sedang, kesadaran kompos mentis, nadi
133 x/menit, napas 30 x/menit, suhu 36,1 oC, tekanan darah 80/50 mmHg. Capillary Refill Time
(CRT) 6 detik. Diuresis 0,95 KgBB/jam. Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik. Thorak
dalam batas normal. Pada abdomen terdapat nyeri tekan pada daerah epigastrium (+), hepar dan
lien tidak teraba. Ekstremitas angkral dingin dan lembab. Tanda pendarahan kulit seperti ptekie,
ruam, purpura, dan echimocis tidak ditemukan namun pada saat dilakukan uji torniquet didapatkan
hasil uji positif.

Pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 14,6 gr/dl, hematokrit serial didapatkan kenaikan 37%
menjadi 41%. Leukosit 4.900/uL, trombosit serial didapatkan hasil tertinggi 174.000/uL dan
terendah didapatkan 94.000/uL. Tes Widal dengan hasil Typhi H Antigen (-), Typhi O Antigen (-),
Paratyphi A-O Antigen (-), Paratyphi B-O Antigen (-). Pemeriksaan Dengue Fever IgM dan IgG
(+).
Diagnosis kerja pasien adalah DBD derajat III. Penatalaksanaan yang dapat diberikan yaitu terapi
istirahat total, diet biasa, dianjurkan tambahan pemberian cairan per oral (air putih, jus buah, sirup,
dan susu), resusitasi cairan sesuai dengan guideline DHF grade III, antipiretik seperti parasetamol
sirup 3x250 mg jika demam (suhu >38,5 oC). Juga penting dilakukan monitoring per 6 jam, yakni
tekanan darah, nadi, suhu, napas, awasi adanya tanda- tanda perdarahan dan pemeriksaan Hb, Ht,
dan trombosit serial.
DAFTAR PUSTAKA

http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1045/7/4%20BAB%202%20OK.pdf

http://repositori.unsil.ac.id/3328/5/BAB%20II.pdf

http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/240/2/BAB%20II%20Tinjauan%20Pustaka.pdf

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/e1cf67b8122c12a4d2a95d6ac50137ff.pdf

https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/download/1512/pdf

https://akper-sandikarsa.e-journal.id/JIKSH/article/download/324/251

httphttps://media.neliti.com/media/publications/260357-none-d969395c.pdf

Anda mungkin juga menyukai