Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan
di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO)
memperkirakan sepertiga dari populasi dunia telah terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis masih merupakan salah satu
masalah kesehatan yang utama di dunia. Setiap tahun terdapat 9 juta kasus
baru dan kasus kematian hampir mencapai 2 juta manusia. Di semua negara
telah terdapat penyakit ini, tetapi yang terbanyak di Afrika sebesar 30%,
Asia sebesar 55%, dan untuk China dan India secara tersendiri sebesar 35%
dari semua kasus tuberkulosis.(Universitas Sumatera Utara)
Laporan WHO (global reports 2010), menyatakan bahwa pada tahun
2009 angka kejadian TB di seluruh dunia sebesar 9,4 juta (antara 8,9 juta
hingga 9,9 juta jiwa) dan meningkat terus secara perlahan pada setiap
tahunnya dan menurun lambat seiring didapati peningkatan per kapita.
Prevalensi kasus TB di seluruh dunia sebesar 14 juta (berkisar 12 juta
sampai 16 juta). Jumlah penderita TB di Indonesia mengalami penurunan,
dari peringkat ke tiga menjadi peringkat ke lima di dunia, namun hal ini
dikarenakan jumlah penderita TB di Afrika Selatan dan Nigeria melebihi
dari jumlah penderita TB di Indonesia. Estimasi prevalensi TB di Indonesia
pada semua kasus adalah sebesar 660.000 dan estimasi insidensi berjumlah
430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan
61.000 kematian per tahun. Selain itu, kasus resistensi merupakan tantangan
baru dalam program penanggulangan TB. Pencegahan meningkatnya kasus
TB yang resistensi obat menjadi prioritas penting. (Universitas Sumatera
Utara)
Laporan WHO tahun 2007 menyatakan persentase resistensi primer
di seluruh dunia telah terjadi poliresistensi 17,0%, monoresistensi terdapat
10,3%, dan Tuberculosis - Multidrug Resistant (TB-MDR) sebesar 2,9 %.
Sedangkan di Indonesia resistensi primer jenis MDR terjadi sebesar 2%.
Kontak penularan M. tuberculosis yang telah mengalami resistensi obat
akan menciptakan kasus baru penderita TB yang resistensi primer, pada
akhirnya mengarah pada kasus multi-drug resistance (MDR). Ketika
dilaporkan adanya beberapa kasus resistensi obat TB di beberapa wilayah di
dunia hingga tahun 1990-an, masalah resistensi ini belum dipandang sebagai
masalah yang utama.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tuberculosis (TB)
Tuberculosis adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang
parenkim paru. Tuberculosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya,
terutama meningens, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Suddarth, 2003).
Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis dengan gejala yang bervariasi, akibat kuman
mycobacterium tuberkulosis sistemik sehingga dapat mengenai semua organ
tubuh dengan lokasi terbanyak di paru paru yang biasanya merupakan lokasi
infeksi primer (Mansjoer, 2000).
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi yang menyerang pada saluran
pernafasan yang disebabkan oleh bakteri yaitu mycobacterium tuberculosis,
(Smeltzer, 2002). dapat  menyimpulkan bahwa, TB Paru adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh kuman mycobakterium tuberculosis yang
menyerang saluran pernafasan terutama parenkim paru.

Gambar paru-paru yang terkena Tuberculosis


B. Etiologi
Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sejenis
kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 4 µm dan tebal 0,3
– 0,6 µm dan digolongkan dalam basil tahan asam (BTA). (Suyono, 2001).
Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan
asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini
pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882,
sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil Koch.
Bahkan, penyakit TBC pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch
Pulmonum (KP)
Bakteri Mikobakterium tuberkulosa dapat menular lewat percikan dahak
yang keluar saat batuk, bersin atau berbicara karena penularannya melalui
udara yang terhirup saat bernapas (Rachmawati, 2007). Diperkirakan, satu
orang menderita TB paru BTA positif yang tidak diobati akan menulari
10-15 orang setiap tahunnya (Aditama, 2006).

C. Klasifikasi
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan suatu
“definisi kasus” yang meliputi empat hal , yaitu:
1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif
atau BTA negatif;
3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati

D. Patofisiologi
Individu rentan yang menghirup basil tuberculosis dan terinfeksi.
Bakteri dipindahkan melalui jalan nafas ke alveoli untuk memperbanyak diri,
basil juga dipindahkan melalui system limfe dan pembuluh darah ke area paru
lain dan bagian tubuh lainnya.
Sistem imun tubuh berespon dengan melakukan reaksi inflamasi.
Fagosit menelan banyak bakteri, limfosit specific tuberculosis melisis basil
dan jaringan normal, sehingga mengakibatkan penumpukkan eksudat dalam
alveoli dan menyebabkan bronkopnemonia. Massa jaringan paru/granuloma
(gumpalan basil yang masih hidup dan yang sudah mati) dikelilingi makrofag
membentuk dinding protektif.
Granuloma diubah menjadi massa jaringan fibrosa, yang bagian
sentralnya disebut komplek Ghon. Bahan (bakteri dan makrofag) menjadi
nekrotik, membentuk massa seperti keju. Massa ini dapat mengalami
klasifikasi, membentuk skar kolagenosa. Bakteri menjadi dorman, tanpa
perkembangan penyakit aktif.
Individu dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau respon
inadekuat sistem imun, maupun karena infeksi ulang dan aktivasi bakteri
dorman. Dalam kasus ini tuberkel ghon memecah, melepaskan bahan seperti
keju ke bronki. Bakteri kemudian menyebar di udara, mengakibatkan
penyebaran lebih lanjut. Paru yang terinfeksi menjadi lebih membengkak
mengakibatkan bronkopnemonia lebih lanjut (Smeltzer, 2001).
E. Manifestasi klinik
Gambaran klinis tuberculosis mungkin belum muncul pada infeksi awal
dan mungkin tidak akan pernah timbul bila tidak terjadi infeksi aktif. Bila
timbul infeksi aktif klien biasanya memperlihatkan gejala : batuk purulen
produktif disertai nyeri dada, demam (biasanya pagi hari), malaise, keringat
malam, gejala flu, batuk darah, kelelahan, hilang nafsu makan dan penurunan
berat badan (Corwin, 2001).

F. Tanda Dan Gejala


1. Tanda
a. Penurunan berat badan
b. Anoreksia
c. Dispneu
d. Sputum purulen/hijau, mukoid/kuning.
2. Gejala
a. Demam
Biasanya menyerupai demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi
oleh daya  tahan tubuh penderita dengan berat-ringannya infeksi kuman
TBC yang masuk.
b. Batuk
Terjadi karena adanya infeksi pada bronkus. Sifat batuk dimulai dari
batuk kering  kemudian setelah timbul peradangan menjadi batuk
produktif (menghasilkan  sputum). Pada keadaan lanjut berupa batuk
darah karena terdapat pembuluh darah  yang pecah. Kebanyakan batuk
darah pada ulkus dinding bronkus.
c. Sesak nafas.
Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut dimana
infiltrasinya sudah setengah bagian paru.
d. Nyeri dada
Timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura (menimbulkan
pleuritis)
e. Malaise
Dapat berupa anoreksia, tidak ada nafsu makan, berat badan turun, sakit
kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam
G. Farmakoterapi
Tuberkulosis (TBC) dapat menyerang berbagai organ tubuh. Tujuan
pengobatan TBC ialah memusnahkan basil tuberkulosis dengan cepat dan
mencegah kambuh. Idealnya pengobatan dengan obat TBC dapat
menghasilkan pemeriksaan sputum negatif baik pada uji dahak maupun
biakan kuman dan hasil ini tetap negatif selamanya.
Dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course).
Terdiri dari 5 komponen:
a. Komitmen politis
b. Pemeriksaan dahak mikroskopik
c. Pengobatan jangka pendek dan Pengawasan langsung pengobatan
d. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu
e. Sistem pencatatan penilaian hasil pengobatan
Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1996 dan telah diimplementasikan secara meluas
dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat. Sampai dengan tahun 2001,
98% dari populasi penduduk dapat mengakses pelayanan DOTS di
puskesmas. Strategi ini diartikan sebagai "pengawasan langsung menelan
obat jangka pendek oleh pengawas pengobatan" setiap hari.

H. Penatalaksanaan
1. Penggolongan obat TB
I. Lini pertama
a. Isoniazid
Isoniazid bersifat bakterisid terhadap basil yang sedang tumbuh
pesat, aktif terhadap kuman yang berada intraseluler dalam
makrofag maupun diluar sel (ekstraseluler).
 Mekanisme kerja
Dengan menghambat biosintesis asam mikolat (micolic acid)
yang merupakan unsur penting dingding sel mikrobakterium.
 Efek samping
Mengakibatkan gatal-gatal dan ikterus juga polyneuritis, yakni
radang saraf dengan gejala kejang dan gangguan penglihatan,
perasaan tidak sehat, letih dan lemah serta anoreksia.
 Farmakokinetik
Dari usus sangat cepat difusinya ke dalam jaringan dan cairan
tubuh, di dalam hati, INH diasetilasi oleh enzim asetiltransferase
menjadi metabolit inaktif. PP-nya ringan sekali, plasma-t ½ nya
antara 1 dan 4 jam tergantung pada kecepatan asetilasi.
Eksresinya terutama melalui ginjal dan sebagian besar sebagai
asetilisoniazid.
b. Rifampisin
Antibiotikum ini adalah derivat semi sintetis dari rifampisin B
(1965) yang dihasilkan oleh Streptomyces mediterranei. Rifampisin
berkhasiat bakterisid luas, baik yang berada diluar maupun di dalam
sel (ekstra-intraseluler).
 Mekanisme kerja
Berdasarkan perintangan spesifik dari suatu enzim bakteri RNA-
polymerase, sehingga sintesa RNA terganggu.
 Efek samping
Penyakit kuning (icterus), terutama bila dikombinasikan dengan
INH yang juga agak toksis bagi hati. Rifampisin juga dapat
menyebabkan gangguan saluran cerna seperti mual, muntah, sakit
ulu hati, kejang perut dan diare, begitu pula gejala gangguan SSP
dan reaksi hipersensitasi.
 Farmakokinetik
Reabsorpsinya di usus sangat tinggi, distribusi ke jaringan dan
cairan tubuh juga baik. Plasma-t½ nya berkisar antara 1,5 sampai
5 jam. Ekskresinya khusus melalui empedu, sedangkan melalui
ginjal berlangsung secara fakultatif.
c. Etambutol
Etambutol bersifat bakteriostatik. Obat ini tetap menekan
pertumbuhan kuman tuberculosis yang telah resisten terhadap
isoniazid dan streptomisin.
 Mekanisme kerjA
Etambutol bekerjanya menghambat sintesis metabolit sel
sehingga metabolisme sel terhambat dan sel mati.
 Efek samping
Etambutol jarang menimbulkan efek samping. Dosis harian
sebesar 15 mg/kg BB menimbulkan efek toksis yang minimal.
Pada dosis ini kurang 2% pasien akan mengalami efek samping
yaitu penurunan ketajaman penglihatan, ruam kulit dan demam.
 Farmakokinetik
Pada pemberian oral sekitar 75-80% etambutol di serap dari
saluran cerna. Kadar puncak dari plasma di capai dalam waktu 2-
4 jam setelah pemberian. Dosis tunggal 15 mg/kg BB
menghasilkan kadar plasma sekitar 5 ml pada 2-4 jam.
d. Pirazinamid
Analogon pirazin dari nikotinamida ini (1952) bekerja bakterisid
pada suasana asam atau bakteriostatik, tergantung pada pH dan
kadarnya di dalam darah. Spektrum kerjanya sangat sempit dan
hanya meliputi M.tuberculosis.
 Mekanisme kerja
Berdasarkan pengubahannya menjadi asam pirazinat oleh enzim
pyrazinamidase yang berasal dari basil TBC. Begitu pH dalam
makrofag di turunkan, maka kuman yang berada di “sarang”
infeksi yang menjadi asam akan mati .
 Efek samping
Kerusakan hati dengan ikterus (hepatotoksis) terutama pada dosis
diatas 2 g sehari. Dapat pula menimbulkan serangan encok (gout)
juga gangguan pada lambung-usus, fotosensibilisasi, artralgia,
demam, malaise dan anemia, juga menurunkan kadar gula darah.
 Famakokinetik
Reabsorpsinya cepat & sempurna, kadar maksimal dalam plasma
dicapai dalam waktu 1-2 jam . Distribusinya ke jaringan dan
cairan serebrospinal baik. Kurang lebih 70% pirazinamida
diekskresikan lewat urin.
e. Streptomisin
Suatu aminoglikosida , diperoleh dari Streptomyces griseus (1944),
senyawa ini bersifat bakterisid terhadap banyak kuman Gram
negatif dan Gram positif.
 Mekanisme kerja
Berdasarkan penghambatan sintesa protein kuman dengan jalan
pengikatan pada RNA ribosomal. Antibiotik ini toksis untuk
organ pendengaran dan keseimbangan.
 Efek samping
Gangguan penglihatan berupa Neuritis optica (radang saraf mata)
dan bersifat reversible bila pengobatan dihentikan. Sebaiknya
jangan diberikan pada anak kecil, karena kemungkinan gangguan
penglihatan (visus) sulit di deteksi.
 Farmakokinetik
Reabsorpsinya baik (75-80%) , plasma-t½ nya 3-4
jam .Ekskresinya lewat ginjal (80%).

II. Lini Kedua


a. Ofloxacin
Suatu senyawa antibakteri sintetik dari golongan kuinolon yang
bersifat bakterisida. Ofloksasin aktif terhadap bakteri aerobik gram
positif termasuk penghasil penisilinase
 Mekanisme kerja
Menghambat DNA girase, suatu enzim essensial yang merupakan
katalitas penting dalam duplikasi dan transkripsi DNA bakteri.
 Efek samping
Mual, muntah, diare, sakit kepala, ruam dan gatal
b. Levofloxacin
Levofloxacin memiliki spectrum antibakteri yang luas, yang aktif
terhadap bakteri gram positif dan gram negative.
 Mekanisme kerja
Dengan cara menghambat replikasi dan transkripsi DNA bakteri
 Efek samping
Mual, muntah, diare, konstipasi, sakit kepala, insomnia,
mengantuk, gatal, keringat berlebih dan lelah.
 Farmakokinetik
Pada pemberian oral, levofloxacin diabsorpsi secara cepat dan
hamper sempurna. Konsentrasi plasma tertinggi biasanya dicapai
1-2 jam setelah minum obat. Penetrasi levofloxacin pada jaringan
paru sangat baik
c. Ciprofloxacin
Ciprofloxacin merupakan suatu anti infeksi sintetik golongan
quinolon, ciprofloxacin efektif terhadap bakteri gram-negatif dan
gram-positif.
 Mekanisme kerja
Dengan cara menghambat DNA topoisomerase yang biasa disebut
DNA girase.
 Efek samping
Mual, muntah, diare, sakit kepala, letih, gangguan penglihatan
dan anemia.
 Farmakinetik
Ciprofloxacin diabsorpsi dengan baik oleh saluran pencernaan.
Ciprofloxacin dan metabolitnya di eksresikan melalui urin dan
feses.

2. FDC (Fixed Dose Combination)


FDC juga dapat di sebut sebagai KDT (kombinasi dosis tetap) yang
berarti gabungan antara beberapa obat anti tuberculosis dalam satu
macam obat.
Pengobatan Tuberulosis diberikan dalam dua tahap, yaitu :
 Tahap intensif
a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intesif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun
waktu 2 minggu.
c. Sebagian besar pasien Tuberkulosis BTA positif menjadi BTA
negatif (konversi) dalam 2 bulan.
 Tahap lanjutan
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama.
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

a. FDC kategori 1
Tahap intensif terdiri dari 2RHZE (Rifampisin, Isoniazid,
Pyrazinamid, Etambutol). Obat-obat tersebut di berikan setiap hari
selama 2 bulan Kemudian di teruskan dengan tahap intermiten
(lanjut) yang terdiri dari 4RH3 (Rifampisin dan Isoniazid), di
berikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan, di berikan untuk :
- Pasien Baru TB paru BTA
-Pasien Paru BTA (-) ronsen (+)
-Pasien TB Ekstra Paru
b. FDC kategori 2
Tahap intensif terdiri dari 2RHEZS (Rifampisin, Isoniazid,
Ethambutol, Pirazinamid, Streptomisin). Dan obat-obat tersebut
diberikan setiap hari selama 2 bulan, kemudian diteruskan dengan
RHEZ (Rifampisin, Isoniazid, Ethambutol, pirazinamid) yang
diberikan setiap hari selama satu bulan.
Tahap lanjutan terdiri dari 5R3H3E3 (Rifampisin, Isoniazid,
Ethambutol) yang diberikan tiga kali seminggu dalam waktu 5 bulan.
Paduan OAT ini di berikan untuk pasien BTA positif yang telah
diobati sebelumnya :
a.       Pasien kambuh
b.      Pasien gagal
c.       Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)
c. FDC kategori anak
Tahap intensif terdiri dari 2RHZ (Rifampicin, Isoniazid,
pirazinamid) yang di berikan setiap hari selama 2 bulan. Tahap
lanjutan terdiri dari 4RH (Rifampisin, Isoniazid) yang diberikan 3
kali seminggu selama 4 bulan.
3. Pengaruh makanan terhadap obat
 Susu: kalsium pada susu dapat mengurangi penyerapan Tetrasiklin
pada obat terutama pada obat infeksi pernapasan
 Kafein: kafein yang terdapat pada kopi dan teh akan mempertinggi
resiko overdosis antibiotic, (tremor, keringat dingin, halusinasi),
sedangkan TBC membutuhkan banyak antibiotic
 Jus jeruk: menghambat enzim yang terlibat dalam metabolism obat
sehingga obat diserap lebih dari yang diharapkan, misal obat
antiinflamasi+jeruk akan mempertinggi penyerapan bahan aktif
sehingga merusak otot dan perut akan panas.
 Alkohol
H. Terapi Non Farmakologi
Kegiatan pemberian konseling, edukasi kesehatan, dan motivasi pada
pasien TB MDR dan anggota keluarga mereka tentang penyakit dan
perlunya pengobatan teratur sampai selesai adalah sangat penting.
Dukungan psikososial kepada pasien TB MDR untuk tercapainya
keberhasilan pengobatan. Penyuluhan khusus juga diberikan kepada pasien
mengenai etika batuk / higiene respirasi (menutup mulut dengan tangan
ketika batuk atau bersin, atau lebih disarankan menggunakan masker,
mencuci tangan dengan sabun setelah batuk atau bersin) (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
TABLE INTERAKSI OBAT

N OBAT 1 OBAT 2 INTERAKSI GEJALA KLINIK MEKANISME REKOMENDAS KESIMPULA


O I N
1. Rifampisin Golongan Kadar serum Sebuah studi Interaksi antara Monitoring yang Interaksi
glikosida digoksin dapat banding 21 pasien digoksin dan baik untuk farmakokinetik
jantung dibagi dua oleh TB dan 19 jets sub rifampisin interaksi antara digoksin
rifampisin. sehat mengambil hampir pasti farmakokinetik dan rifampisin
- Digitalis digoksin 100 disebabkan oleh antara digoksin tidak relevan
Glikosida mikrogram setiap peningkatan dan rifampisin, secara klinis
hari menemukan metabolisme dimana rifampisin dan menjadi
kadar serum digitoxin mengurangi peringatan
digitoksin dari disebabkan oleh tingkat digoksin. untuk
pasien yang rifampisin,yang meningkatkan
memakai rifampisin merupakan dosis digoksin.
sekitar setengah dari enzim inducer
subjek sehat tidak kuat. Digoksin
mengambil sebagian besar
rifampisin di ekresikan
(18,4nanogram/ml sebagian besar
dibandingkan 39,1 tidak berubah
nanogram/ml). dalam urin dan
Waktu paruh dari interaksin
digitoksin itu dengan
kembali tekanannya rifampisin
8,2-4,5 hari oleh tampaknya
rifampisin. Ada terutama karena
laporan kasus di-duction dari
firming con- bahwa p-glikoprotein,
rifampisin nyata sehingga
dapat mengurangi mengurangi
tingkat digitoksin penyerapan
serum. digoksin dari
usus.
2. Amiodarone Rifampisin Seorang wanita Rifampicin Pemantauan
menurunkan dengan penyakit adalah enzim terhadap
kadar serum jantung bawaan inducer kuat dan penggunaan
amiodarone dan mungkin telah rifampisin dan
metabolitnya N- meningkatkan amiodarone
darone metabolisme bersamaan harus
desethylamino. dan dipantau dengan
pembersihan baik.
amiodarone
3. Mycophenola Rifampisin Seorang pasien Mikofenolat Efek dari kadar Analisis
te mengurangi transplantasi ginjal adalah pro obat asam mikofenolat farmakokinetik
kadar asam mengambil dan di berkurang bisa mikofelonat,
mikofenolat mikrofenolat 750mg metabolisme menjadi sebelum dan
(metabolit aktif 2xsehari diberi dalam bentuk signifikan dalam 13 hari setelah
dari rifampisin 600 mg aktifnya asam hal penolakan rifampisin
Mycophenolate) setiap hari, mikofenolat, graft akut, juga dihentikan,
dan ditemukan selama 8 yang mengalami peningkatan dimana efek 0-
meningkatkan hari menurunkan Glucuronidation metabolit 12 hari
kadar metabolit AUC 0-12 dan oleh uridin glucuronide bisa meningkat
berhubungan tingkat puncak asam difosfat ferases- terjadi resiko efek sebesar 221%
dengan efek fenolik cendawan glucuronosyltra samping lebih
samping 17,5% dan 18,5% ns (UGTs) di besar. Meskipun
mikofenolat. masing-masing. ahti, ginjal & dalam studi ini
Tingkat glukuronida usus. Rifampisin tidak terlihat,
meningkat, telah menginduksi Mycophenolate
dikaitkan dengan usus , ginjal dan harus dimonitor
peningkatan efek Glucuronidation selama
mikofelonat 193% hati asam penggunaan
dan 121% masng- mikofenolat bersama
masing. oleh UGT dan Rifampisin baik
mengurangi itu sebelum
rekursilasi dan maupun setelah
penyerapan dengan
enteropaticnya. Rifampisin.
4. Startin Rifampisin Rifampisin
menurunkan mengurangi
kadar serum AUC dan kadar
atovarstatin, serum
pravastatin, maksimum
simvastatin. astatin fluv-
sebesar 51% dan
59% masing-
masing.
5. Sulfasalazine Rifampisin Sebuah uji coba Sulfasalazine Informasi
(Ampisilin) nyata Crossover pada 11 dibagi oleh mengenai
mengurangi pasien dengan bakteri anaerob antibakteri ini
pelepasan kolon penyakit Crohn dalam usus benar-benar
dari 5- menerima besar dan mengurangi
aminosalisilat pengobatan jangka melepaskan efektifitas
(obat aktif) dari panjang dari asam icylic 5- Sulfasalazine
sulfasalazine Sulfasalazine aminosal- dan pada penyakit
menemukan bahwa sulphapyridine, Crohn masih
Rifampisin dan yang terakhir terbatas, tetapi
etambutol setiap hari merupakan telah terlihat
mengurangi kadar metabolit tipe interaksi
plasma dari kedua ac- yang antibakteri
asam icylic 5- bertindak secara terhadap hewan
aminosal- dan lokal dalam studi yang
sulphapyridine. pengobatan mempengaruhi
penyakit aktivitas flora
inflamasi usus. usus.
Antibakteri yang
memusnahkan
flora usus dapat
mengurangi
kadar plasma.
Rifampisin juga
mungkin
meningkatkan
metabolisme
sulphapyridine
tersebut.
6. ACE Adanya Seorang pria Rifampisin Pentingnya Interaksi
Inhibitor kenaikan mengambil enalapril mengurangi interaksi ini tidak farmakokinetik
-Enalapril tekanan darah dan berbagai obat kadar dalam pasti. Mekanisme
jika dikonsumsi lain (warfalin, ace plasma kembali terisolasi
bersama dengan butolol, metabolit aktif dengan enalapril
enalapril dan bendromethiazide, dari imidapril, menyarankan
mengurangi dipyridamole, dan spirapril. relevansi klinis
kadar plasma metoclopramide, dan Adanya laporan minor
darah dari gaviscon) mengatakan
metabolit aktif mengalami demam. bahwa tekanan
imidapril dan Kemudia ia diberi darah tidak
spirapril streptomisin, terkontrol saat
oxytetracyclin dan dikonsumsi
rifampisin, karna dengan enalapril
kemungkinan ada
infeksi brucella
abortus dimana
tekanan darah naik
dari 164/104 ke 180/
115 mmHg selama
5-6 hari berikutnya.
Diduga bahwa
adanya interaksi
dengan rifampisin
dengan enalapril
sehingga enalapril
gagal mengontrol
tekanan darah pada
pasien.
7. Antasida Antasida Peningkatan pH Penyerapan Jika rifampisin Interaksi
menyebabkan dalam perut oleh rifampisin dapat tetap diberikan farmakokinetik
penurunan antasida dapat dikurangi efek akan kurang
penyerapan mengurangi disolusi hingga sekitar efektif jauh dari
rifampisin rifampisin sehingga sepertiga oleh yang diharapkan.
berkurang. dapat menghambat antasida, tetapi Berikan
Antasida absorpsi obat pentingnya rifampisin 1 jam
menyebabkan klinis ini tidak sebelum
penurunan pasti. pemberian
ekskresi antasida
rifampisin
sebagai berikut:
15 atau 30 mL
aluminium
hidroksida gel
29-31 %; 2 atau
4 g magnesium
trisili-cate 31-36
%; dan 2 g
natrium
bikarbonat 21%.
8. Metadone Tingkat Seorang mantan Meningkatkan Penggunaan Interaksi
metadon serum pecandun heroin aktivitas enzim bersamaan tidak farmakokinetik
dapat nyata mengkonsumsi – enzim usus perlu dihindari,
dikurangi metadone dan hati yang tetapi efeknya
dengan mengeluhkan gejala dapat harus dipantau
rifampisin, dan penarikan dan menurunkan dan dosis obat
gejala penarikan membuat para kadar serum ditingkat jika
telah terjadi peneliti melakukan metadone perlu (sebanyak
pada beberapa studi dalam 30 dua hingga tiga
pasien. Utin pasien yang kali lipat).
Rifab- muncul memakai metadone.
untuk Gejala penarikan
berinteraksi berkembang pada 21
sama, tetapi orang dari 30 orang
pada tingkat dalam 1 sampai 33
lebih rendah. hari setelah mulai
mengkonsumsi
rifampisin 600 mg
sampai 900 mg dan
isoniazid setiap hari.
Studi lain
menjelaskan bahwa
56 pasien yang
mengkonsumsi obat
antituberculosis
(termasuk isoniazid
tanpa rifampicin)
tidak mengalami
gejala apapun. Studi
lain juga
menjelaskan bahwa
pasien meningkatkan
dosis metadone 2
sampai 3x ketika
mengkonsumsi
rifampisin untuk
mengontrol gejala
yang muncul.
9. Walfarin Efek Dalam satu Rifampisin dosis mungkin Interaksi
antikoagulan penelitian terkontrol meningkatkkan perlu ditingkatkan farmakokinetik
dari warfarin pada 8 subjek sehat, metabolisme secara nyata (dua
yang nyata rifampisin 600 mg dan pengeluaran hingga lima kali
berkurang oleh setiap hari selama 21 warfarin dari lipat) selama
fampicin RI- hari mengurangi tubuh sehingga beberapa minggu
(rifampin), kadar warfarin dalam mengurangi efek untuk mengatasi
dengan dua plasma sebesar 85%. obat warfarin interaksi ini, dan
sampai lima kali Selain itu, rifampisin dikurangi secara
lipat menghilangkan efek perlahan dengan
peningkatan antikoagulan jumlah yang
dosis yang warfarin (waktu setara setelah
diperlukan protrombin normal penarikan
untuk rata-rata 27% ketika rifampisin.
mempertahanka menggunakan
n keberhasilan warfarin saja, dan
dalam sejumlah 85% ketika
laporan kasus. menggunakan
Acenocoumarol dengan rifampisin.
dan Pengurangan efek
phenprocoumon antikoagulan
sama-sama diharapkan hanya
terpengaruh satu minggu tetapi
pengurangan efek
obat masih ada 2-5
minggu setelah
penggunaan
rifampisin
dihentikan
10. Digoksin Kadar serum sebuah laporan Rifampisin ukur kadar Interaksi
digitoxin dapat menjelaskan bahwa penginduksi digoxin sebelum farmakokinetik
dibagi dua oleh 2 pasien menjalani enzim kuat terapi dengan
rifampisin (RI- dialisis ginjal dimana menginduksi P- rifampisin da
fampin). kadar dosis digoxin glycoprotein setelah terapi
serum digandakan ketika yang dapat rifampisin. Dosis
digoxin yang mereka mengurangi digoxin dapat
sederhana menggunakan absorpsi digoxin dinaikkan jika
dikurangi rifampisin dan di usus. perlu untuk
dengan fampicin berkurang ketika Rifampicin juga menjaga tingkat
RI-. penggunaan meningkatkan teraupetik.
rifampisin pembersihan
dihentikan. dan mengurangi
kadar serum dari
obat bisoprolol,
carvedilol,
celiprolol,
metoprolol,
propranolol,
tertatolol dan
talinolol.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1998, Kamus Saku Kedokteran Dorland, Edisi 25, ECG, Jakarta


Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, 431, 432, Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Simon, Harvey E., 2002, Infections due to Mycobacteria, in Infectious Disease:
The Clinician’s Guide to Diagnosis, Treatment, and Prevention, WebMD
Profesional Publishing

Anda mungkin juga menyukai