Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN TUBERCULOSIS PARU

DI RUANG POLI ANAK RSUD HAJI


KOTA MAKASSAR

Disusun Oleh :

MUHAMMAD IRSYAD MA’ARIF


14420222160

Preceptor Lahan Preceptor Institusi

(……………………………….) (……………………………….)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2023
A. Konsep Medis

1. Pengertian
Tuberkulosis ialah penyakit menular secara langsung yang disebabkan
oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, namun dapat juga menyerang organ tubuh lainnya. TB paru
adalah penyakit yang bisa menular melalui udara (airborne disease). Kuman TB
menular dari orang ke orang melalui percikan dahak (droplet) ketika penderita TB
paru aktif batuk, bersin, bicara atau tertawa. Kuman TB dapat dengan cepat mati
dengan sinar matahari langsung, tetapi bisa bertahan hidup beberapa jam pada
kondisi tempat yang gelap serta lembab. pada jaringan tubuh, kuman ini dapat
tertidur lama (domaint) selama beberapa tahun (Kemenkes RI, 2012) dikutip
dalam (Mursyaf et al., 2018).
Pada konferensi dunia yang dilakukan oleh WHO dalam agenda SDGs yang
dilakukan pada Desember 2016 dikatakan bahwa tuberkulosis merupakan salah
satu dari 10 penyebab kematian diseluruh dunia. Pada tahun 2015 diperkirakan
kasus tuberkulosis mencapai 10,4 juta kasus dan menyebabkan 1,8 juta kematian
(WHO, Global Tuberculosis Report, 2016) dikutip dalam (Maulana et al., 2021).
Penyakit tuberkulosis paling banyak terdapat pada wilayah perkotaan yang
lingkungan penduduknya padat. Penderita tuberkulosis paru yang mengalami
gejala batuk selama >48 kali/malam mampu menularkan kurang lebih 48% pada
orang yang memiliki kontak dengan penderita tuberkulosis tersebut, sedangkan
bagi penderita tuberkulosis yang mengalami batuk selama <12 kali/malam maka
dapat menularkan 28% pada orang yg mempunyai kontak dengan penderita
tuberculosis tersebut (Kemenkes RI, 2016) dikutip dalam (Rita et al., 2020).

2. Etiologi

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang umum terjadi yang


merupakan penyakit menular yang umumnya disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis (MTB). Infeksi TB aktif dapat dipersulit oleh trombosis vena dan
arteri yang sering kali tidak dikenali (Ng et al., 2021).
Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh bakteri M. tuberculosis yang termasuk famili
Mycobacteriaceace yang berbahaya bagi manusia. bakteri ini mempunyai dinding sel
lipoid yang tahan asam, memerlukan waktu mitosis selama 12-24 jam, rentan terhadap
sinar matahari dan sinar ultraviolet sehingga akan mengalami kematian dalam waktu yang
cepat saat berada di bawah matahari, rentan terhadap panas basah sehingga dalam waktu
2 menit akan mengalami kematian ketika berada di lingkungan air yang bersuhu 1000oC,
serta akan mati jika terkena alkohol 70% atau lisol 50% (Sigalingging et al., 2019).
3. Patofisiologi

Seseorang yang menghirup bakteri M. tuberculosis yang terhirup akan


menyebabkan bakteri tersebut masuk ke alveoli melalui jalan nafas, alveoli adalah tempat
bakteri berkumpul dan berkembang biak. M. tuberculosis juga dapat masuk ke bagian
tubuh lain seperti ginjal, tulang, dan korteks serebri dan area lain dari paru-paru (lobus
atas) melalui sistem limfa dan cairan tubuh. Sistem imun dan sistem kekebalan tubuh
akan merespon dengan cara melakukan reaksi inflamasi. Fagosit menekan bakteri, dan
limfosit spesifik tuberkulosis menghancurkan (melisiskan) bakteri dan jaringan normal.
Reaksi tersebut menimbulkan penumpukan eksudat di dalam alveoli yang bisa
mengakibatkan bronchopneumonia. Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10
minggu setelah terpapar bakteri (Kenedyanti & Sulistyorini, 2017) dikutip dalam
(Mar’iyah & Zulkarnain, 2021).

Interaksi antara M. tuberculosis dengan sistem kekebalan tubuh pada masa awal
infeksi membentuk granuloma. Granuloma terdiri atas gumpalan basil hidup dan mati
yang dikelilingi oleh makrofag. Granulomas diubah menjadi massa jaringan jaringan
fibrosa, Bagian sentral dari massa tersebut disebut ghon tuberculosis dan menjadi
nekrotik membentuk massa seperti keju. Hal ini akan menjadi klasifikasi dan akhirnya
membentuk jaringan kolagen kemudian bakteri menjadi dorman. Setelah infeksi awal,
seseorang dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau respon yang inadekuat
dari respon sistem imun. Penyakit dapat juga aktif dengan infeksi ulang dan aktivasi
bakteri dorman dimana bakteri yang sebelumnya tidak aktif kembali menjadi aktif. Pada
kasus ini, ghon tubrcle memecah sehingga menghasilkan necrotizing caseosa di dalam
bronkhus. Bakteri kemudian menjadi tersebar di udara, mengakibatkan penyebaran
penyakit lebih jauh. Tuberkel yang menyerah menyembuh membentuk jaringan parut.
Paru yang terinfeksi menjadi lebih membengkak, menyebabkan terjadinya
bronkopneumonia lebih lanjut (Sigalingging et al., 2019).
4. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala penyakit TB diantaranya berupa batuk yang berlangsung
selama lebih dari 2-3 minggu, produksi dahak, batuk darah, demam, berkeringat pada
malam hari, berat badan menurun, kurangnya nafsu makan, mudah lelah, suara serak,
nyeri dada dan pembengkakan kelenjar getah bening terutama di leher. Sedangkan gejala
TB yang sering dijumpai pada anak adalah batuk persisten, berat badan turun atau gagal
tumbuh, demam lama, lesu dan anak menjadi tidak aktif. Gejala TB bersifat khas yaitu
menetap lebih dari 2 minggu walaupun sudah diberikan terapi dan nutrisi yang adekuat
(Aziz, 2018).
5. Komplikasi
Komplikasi tuberculosis dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu
komplikasi dini dan komplikasi lanjut. Gangguan yang termasuk dalam
komplikasi dini diantaranya adalah: pleurutis, efusi pleura, empiema, laringitis,
usus, Poncet’s arthropathy. Sedangkan Gangguan yang termasuk dalam
komplikasi lanjut diantaranya yaitu: obstruksi jalan napas hingga sindrom gagal
napas dewasa (ARDS), Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis, kerusakan
parenkim yang sudah berat, fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis,
karsinoma pada paru, dan komplikasi paling pada beberapa organ akibat TBC
milier (Sudoyo et al., 2014). Komplikasi penderita yang termasuk stadium
lanjut adalah hemoptisis berat atau perdarahan dari saluran napas bagian
bawah. Dikatakan stadium lanjut karena dapat berakibat kematian yang
disebabkan oleh adanya syok, kolaps spontan akibat kerusakan jaringan paru,
serta penyebaran infeksi ke organ tubuh lain seperti otak, tulang, persendian,
ginjal, dan lain sebagainya (Zulkoni, 2010) dikutip dalam (Pratiwi, 2020).
6. Pemeriksaan Penunjang.

Pemeriksaan laboratorium khususnya pemeriksaan jumlah sel lekosit pada


penderita Tuberkulosis paru merupakan salah satu pemeriksaan penunjang, karena
dengan dilakukannya pemeriksaan lekosit dapat menggambarkan kejadian dari proses
penyakit (Dicky & Ahmad, 2019).

Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan berdasar pemeriksaan


bakteriologis dan foto toraks. Pemeriksaan bakteriologis adalah pemeriksaan BTA yang
dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen dahak sewaktu-pagi-sewaktu
BTA hasilnya positif.Jumlah bakteri yang ada dalam dahak atau sputum pasien
berhubungan langsung dengan tingkat infeksi. Pemeriksaan foto toraks adalah cara yang
praktis dan tidak invasif untuk menemukan lesi tuberkulosis. Klasifikasi luas lesi yang
tampak pada foto toraks, yaitu minimal, moderate advanced, dan far advanced lesion.
Pemeriksaan foto toraks diperlukan terutama untuk mendiagnosis TB paru pada pasien
dengan BTA negatif yang tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non-OAT
(obat antituberkulosis) (Triandini et al., 2019).

7. Penatalaksanaan

Intervensi yang diberikan pada pasien ini adalah intervensi terhadap faktor
risiko internal dan faktor risiko eksternal. Intervensi dilakukan dengan memberikan
edukasi dan konseling mengenai penyakit TB. Ada beberapa penatalaksanaan yang dapat
diberikan pada penderita TB, Yaitu secara Farmakologi dan non farmakologi.
a. Farmakologi :
1) OAT – FDC kategori I (2RHZE/4RH), diberikan setiap hari dengan pemberian 4
tablet yang diminum dalam satu waktu hingga 2 bulan, lalu dilakukan
pengecekan dahak kembali.
2) Antasida tab 3 x 1 diminum 30 menit sebelum makan.
b. Non Farmakologi
1) Edukasi mengenai penyakit TB dan dispepsia pada pasien, baik gejala serta
pencegahannya.
2) Edukasi mengenai pemberian pengobatan pada pasien, kepatuhan minum obat,
efek samping yang mungkin terjadi, serta kondisi-kondisi tertentu.
3) Edukasi mengenai kontrol rutin terhadap penyakitnya, serta evaluasi penyakit TB
paru.
4) Edukasi gizi pada penyakit TB paru berupa diet tinggi kalori tinggi protein.
5) Edukasi mengenai pola makan seimbang yang teratur dan menghindari makanan
pedas, asam, dan berminyak.
6) Edukasi mengenai pola perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), serta pentingnya
menjaga kebersihan rumah dan lingkugan agar mencegah penularan TB paru.
7) Edukasi mengenai pencegahan penularan pada orang lain dengan menggunakan
masker dan personal hygiene.
8) Rencana pemeriksaan tes HIV.
Penatalaksanaan tidak hanya bersifat fokus pada pasien itu sendiri, tetapi juga
memperhatikan aspek family focus serta community oriented. Dimana pada aspek family
focus, terdiri atas :
a. Edukasi keluarga mengenai kondisi klinis pasien.
b. Memberikan edukasi kepada keluarga untuk berperan dalam pengawasan minum
obat.
c. Edukasi keluarga pasien untuk segera berobat jika terdapat keluhan yang sama
dengan pasien.
d. Melakukan edukasi dan motivasi untuk meningkatkan dukungan anggota keluarga
terhadap perbaikan penyakit dan keadaan pasien.
e. Edukasi pasien dan keluarga untuk rutin melakukan pengecekan status gizi.
f. Edukasi keluarga untuk mendampingi pasien baik secara psikis maupun emosional.
Kemudian pada aspek community oriented, terdiri atas :
a. Konseling mengenai pencegahan dan penularan penyakit tuberkulosis yang dapat
menular ke tetangga seperti pemakaian masker saat di rumah dan ke luar rumah serta
edukasi mengenai etika batuk yang benar.
b. Konseling mengenai cara meningkatkan status gizi pasien TB agar dapat menunjang
kesembuhan.
c. Kontrol penyakit yang dapat dilakukan di Puskesmas. (Pingkan, 2019)

Mengendalikan kasus TB berbagai upaya telah dilakukan pemerintah antara lain


dimulai dengan proses penjaringan suspek, deteksi dan pencatatan kasus, pengobatan
pasien dan tata laksana multi drug resistence (MDR). Hal tersebut merupakan cara
penting pada program penanggulangan tuberkulosis yaitu dengan

Melakukan diagnosis dini dan memberikan pengobatan yang tepat dan cepat.
Penting untuk segera dilakukan hal tersebut dikarenakan keterlambatan yang terjadi
dalam penegakan diagnosis TB Paru dapat berisiko meningkatkan transmisi penularan
infeksi secara luas dan berkepanjangan, dapat meningkatkan risiko kematian, serta dapat
berpotensi memperburuk keadaan ekonomi pasien dan keluarga (Suarnianti et al., 2021)
B. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian Keperawatan
Tahap pengkajian merupakan tahap yang paling awal dari proses
keperawatan yang merupakan dasar dari kegiatan selanjutnya, yang
dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan sistematis dalam mengumpulkan
data dan menganalisisnya sehingga dapat diketahui kebutuhan klien sesuai
dengan masalah yang ada (Nursalam, 2016). Pengkajian keperawatan meliputi :
a. Identitas
Meliputi nama klien, umur, pendidikan, pekerjaan, agama, suku bangsa,
dan alamat klien
b. Riwayat kesehatan, meliputi :
1) Riwayat kesehatan sekarang
Nyeri dada yang bersifat lokal atau pleuritik, batuk produktif,
dahak mukoid atau purulen, batuk berdarah, anorexia,penurunan berat
badan, sesak napas
2) Riwayat kesehatan dahulu
Kaji apakah klien memiliki riwayat penyakit paru dan penyakit
menular atau menurun sebelumnya. Penyakit paru seperti tuberkulosis
dan penyakit par obstruktif kronik juga dapat menjadi risiko tumor paru.
Seseorang dengan penyakit paru obstruktif kronik beresiko empat sampai
enam kali lebih besar terkena tumor paru.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Kaji apakah terdapat riwayat keluarga sebelumnya yang
mengidap tumor paru, penyakit menular ataupun penyakit menurun.
c. Kebutuhan dasar
1) Makanan dan cairan
Kehilangan nafsu makan, mual/muntah, kesulitan menelan
mengakibatkan kurangnya asupan makanan, kurus, penurunan BB
2) Eliminasi
Diare, peningkatan frekuensi, jumlah urine
3) Hygiene/pemeliharaan kesehatan
Kebiasaan merokok, konsumsi bahan pengawet, penurunan
toleransi dalam melakukan aktivitas personal hygiene
4) Aktivitas/istirahat
Kesulitan beraktivitas, mudah lelah, susah untuk istirahat, nyeri,
sesak, kelesuan, insomnia
2. Pengkajian Fisik
a. Integumen
Pucat atau sianosis yang dapat dilihat pada bibir atau ujung jari/kuku
b. Kepala dan leher
Peningkatan tekanan vena jugularis, deviasi trakea
c. Telinga
Biasanya tidak ada kelainan
d. Mata
Pucat pada konjungtiva sebagai akibat anemia atau gangguan nutrisi
e. Muka, hidung, dan rongga mulut
Pucat atau sianosis pada bibir, ketidakmampuan menelan, suara serak
f. Thoraks dan paru-paru
Pernafasan takipnea, napas dangkal, peningkatan otot aksesori
pernapasan, batuk kering/nyaring/batuk terus menerus dengan atau tanpa
sputum, peningkatan fremitus, krekels inspirasi atau ekspirasi
g. Sistem Cardiovaskuler
Frekuensi jantung mungkin meningkat/takikardia pada saat istirahat,
bunyi gerakan pericardial
h. Abdomen
Bising usus meningkat/menurun
i. Sistem Urogenital/urin
Peningkatan frekuensi atau jumlah urine
j. Sistem Reproduksi
Ginekomastia, amenorhea, impotensi
k. Sistem Limfatik
Pembesaran kelenjar limfe regional : leher, ketiak (metastase)
l. Sistem Muskuloskeletal
Penurunan kekuatan otot, jari tabuh (clubbing finger)
m.Sistem Persyarafan
Perubahan status mental/kesadaran apatis, letargi, bingung, disorientasi

3. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis
mengenai respon klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang
dialaminya baik yang berlangsung actual maupun potensial. Diagnosis
keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respon pada klien, individu,
keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan
kesehatan(Hidayati, 2020).

4. Fokus Intervensi
Pada perencanaan tindakan keperawatan pada pasien
kanker/tumor paru dengan masalah nyeri sangat perlu dukungan serta peran
keluarga. Keluarga adalah kelompok sosial yang mempunyai kebersamaan, yang
mana pertalian darah/ikatan keluarga, emosional, memberikan perhatian,
kepentingan bersama, dan memberikan asuhan berkembang (Nadirawati, 2018).
Dukungan keluarga merupakan keikutsertaan keluarga untuk
memberikan bantuan kepada salah satu anggota keluarga yang membutuhkan
pertolongan baik dalam hal pemecahan masalah, pemberian keamanan, dan
peningkatan harga diri. Dukungan keluarga merupakan unsur yang paling
penting dalam membantu anggota keluarga dalam menyelesaikan semua
masalah yang dihadapi, termasuk penyakit yang sedang dialami. Apabila ada
dukungan dari keluarga, maka rasa percaya diri akan bertambah dan motivasi
untuk menghadapi masalah yang terjadi akan meningkat. Seorang dengan
dukungan keluarga yang tinggi akan lebih berhasil menghadapi dan mengatasi
masalahnya dibanding dengan yang tidak mendapatkan dukungan (Ndore, 2017)
Bentuk dukungan keluarga yaitu dukungan emosional, dukungan
penghargaan, dan dukungan informasional. Dukungan keluarga berpengaruh
penting dalam pelaksanaan pengobatan berbagai jenis penyakit dan dukungan
keluarga sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental anggota keluarganya.
Melalui dukungan keluarga, pasien akan merasa lebih ada yang memperhatikan.
Dukungan keluarga ini dapat diwujudkan dengan memberikan perhatian,
bersikap empati, memberikan dorongan, memberikan saran, memberikan
pengetahuan, dan sebagainya (Anggraeni, 2017).
Perencanaan keperawatan pada pasien Tumor Paru menurut
Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) PPNI (2018) dan Standar
Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) DPP PPNI (2018), yaitu :
Luaran utama : Tingkat nyeri (L.08066) Kriteria hasil :
a. Menurunnya keluhan nyeri
b. Menurunnya gelisah
c. Menurunnya meringis
Intervensi utama : Manajemen Nyeri (I. 08238) Tindakan :
a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
b. Identifikasi respon nyeri non verbal
c. Berikan tehnik non farmakalogi untuk mengurangi
rasa nyeri (misalnya hipnosis, akupresure, terapi
musik, terpai pijat, tehnik imajinasi terbimbing,
relaksasai nafas dalam, kompres hangat/dingin)
d. Ajarkan tehnik non farmakologi untuk mengurangi nyeri
e. Kolaborasi pemberian analgetik jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, K. K. (2018). Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Pada Anak.
Jurnal Info Kesehatan, 16(2), 236–243.
Dicky, Y. W., & Ahmad, H. R. (2019). Pemeriksaan Jumlah Sel Leukosit Pada Penderita Tuberkulosis
Paru di upt Kesehatan Paru Masyarakat Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Analis
Laboratorium Medik, 4(2), 31–35. http://e-journal.sari-mutiara.ac.id
Hidayati, R. (2020). Jurnal Ilmu Kesehatan. Jurnal Ilmu Kesehatan Karya STIKES KEDIRI. Jurnal Ilmu
Kesehatan Karya STIKES KEDIRI, 11.
Mar’iyah, K., & Zulkarnain. (2021). Patofisiologi penyakit infeksi tuberkulosis. Prosiding Seminar
Nasional Biologi, 7(November), 88–92.
Maulana, A., Azniah, & Suarnianti. (2021). Pengaruh Intervensi Teknik Batuk Efektif Dengan
Pengeluaran Sputum Pada Pasien Tuberkulosis. Jurnal Ilmiah Mahasiswa & Penelitian
Keperawatan, 1(1), 77–82.
Mursyaf, N. A. S., Nurdiyanah, & Ibrahim, H. (2018). Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis ( TB ) Paru
di Wilayah Kerja Puskesmas Panambungan Kota Makassar. Higiene, 4(1), 32–40. journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/higiene/article/download/5837/5068
Ng, B. H., Yu-Lin, A. B., Hamid, M. F. A., Abeed, N. N. N., & Low, H. J. (2021). Clots in tuberculosis.
Medical Journal of Malaysia, 76(6), 953–955.
Pingkan, R. (2019). enatalaksanaan Holistik Pasien Pria 47 Tahun Dengan Tuberkulosis Paru Dan
Dispepsia Melalui Pendekatan Dokter Keluarga. Jurnal Penelitian Perawat Profesional, 1(1), 61–
70. http://jurnal.globalhealthsciencegroup.com/index.php/JPPP/article/download/83/65
Pratiwi, R. dian. (2020). Gambaran Komplikasi Penyakit Tuberkulosis Berdasarkan Kode International
Classification of Disease 10. Jurnal Kesehatan Al-Irsyad Vol XIII, XIII(2), 93–101. http://e-
jurnal.stikesalirsyadclp.ac.id/index.php/jka/article/view/136
Rita, E., Saputri, I. N., Widakdo, G., Permatasari, T. A. E., & Kurniaty, I. (2020). Contact history and
poor nutritional status CSN increase the incidence of tuberculosis in children (case study on adult
contacts of adult tuberculosis patients). Jurnal Kesehatan Masyarakat Khatulistiwa, 7(1), 20–29.
Sigalingging, I. N., Hidayat, W., & Tarigan, F. L. (2019). Pengaruh Pengetahuan, Sikap, Riwayat Kontak
dan Kondisi Rumah terhadap kejadian TB Paru di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Huturakyat
Kabupaten Dairi Tahun 2019. Jurnal Ilmiah Simantek, 3(3), 87–99.
Suarnianti, Haskas, Y., & Ratna. (2021). Pengabdian Masyarakat Tentang Pendampingan Penderita TB
Paru Beserta Keluarganya Dalam Pencegahan Penularan Penyakit. Matappa: Jurnal Pengabdian

11
Kepada Masyarakat, 4(4), 516–523.
Triandini, N., Hadiati, D. E., Husin, U. A., Roekmantara, T., & Masria, S. (2019). Hubungan Hasil
Pemeriksaan Sputum Basil Tahan Asam dengan Gambaran Luas Lesi Radiologi Tuberkulosis Paru
di Rumah Sakit Al Islam Bandung. Jurnal Integrasi Kesehatan & Sains, 1(1), 87–91.
https://doi.org/10.29313/jiks.v1i1.4329

12

Anda mungkin juga menyukai