Anda di halaman 1dari 15

1

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Tuberculosis Paru


2.1.1 Pengertian Tuberculosis Paru
Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh kuman
mycobacterium tuberculosis, yakni kuman aerob yang dapat hidup terutama
diparu atau diberbagai organ tubuh lainnya (Smeltzer&Bare, 2015). Tuberculosis
adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis yang
dapat hidup di paru dan diberbagai organ tubuh lainnya yang mempunyai tekanan
parsial oksigen yang tinggi (Tabrani Rab, 2010). Tuberculosis merupakan infeksi
yang disebab oleh kuman mycobacterium tuberculosis yang dapat menyerang
pada berbagai organ tubuh mulai dari paru-paru dan organ diluar paru seperti
kulit, tulang, persendian, selaput otak, usus serta ginjal (saputra, 2010).
Tuberculosis adalah infeksi penyakt menular yang disebabkan oleh
mycobacterium Tuberculosis yang menyerang paru-paru dan hampir seluruh
organ tubuh lainnya. Bakteri ini dapat masuk melalui saluran pernapasan dan
saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit, tetapi paling sering melalui
inhalasi droplet yang berasal dari orang yang terinfeksi bakteri tersebut (Nurarif &
Kusuma, 2015).
Tuberculosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobacterium
tuberculosis yang dapat hidup didalam organ tubuh manusia terutama pada paru-
paru, organ tubuh diluar paru seperti kulit, tulang, persendian, selaput otak, usus,
serta ginjal, dan organ tubuh lainnya yang memiliki tekanan parsial oksigen yang
tinggi, tuberculosis dapat menular melalui inhalasi droplet yang berasal dari orang
yang terinfeksi bakteri tuberculosis tersebut.
2.1.2 Klasifikasi
Menurut (Nurarif & Kusuma, 2015) klasifikasi tuberculosis adalah:
1. Klasifikasi tuberculosis dari sistem lama:
1) Pembagian secara patologis
2) Tuberculosis primer (childhood tuberculosis)
3) Tuberculosis post-primer (adult tuberculosis)

2
4) Pembagian secara aktivitas radiologi tuberculosis paru (Koch Pulmonum)
aktif, non aktif dan quiescent (bentuk aktif yang menyembuh).
5) Pembagian secara radiologis
6) Tuberculosis minimal
7) Moderately advanced tuberculosis
8) Far advanced tuberculosis
2. Klasifikasi menurut American thoracic society:
1) Kategori 0: Tidak pernah terpajan, dan tidak terinfeksi, riwayat kontak
negative, tes tuberculin negative.
2) Kategori 1: Terpajan tuberculosis, tapi tidak terbukti ada infeksi. Disini
riwayat kontak positif, tes tuberculin negative.
3) Kategori 2: Terinfeksi tuberculosis dan sakit.
3. Klasifikasi di Indonesia dipakai berdasarkan kelainan klinis, radiologis dan
makro biologis:
1) Tuberculosis Paru
2) Bekas Tuberculosis Paru
3) TB tersangka yang diobati: sputum BTA (-), tetapi tanda-tanda lain juga
meragukan.
2.1.3 Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan
Menurut tabrani Rab (2010) respirasi atau yang biasa disebut dengan
pernapasan adalah proses menghirup udara bebas yang mengandung O2
(Oksigen) dan mengeluarkan udara yang mengandung CO2 (Karbondioksida)
sebagai sisa oksidasi keluar dari tubuh. Proses menghirup oksigen ini disebut
insipirasi sedangkan proses mengeluarkan karbondioksida disebut ekspirasi.
Proses pernapasan, oksigen merupakan zat kebutuhan utama. Oksigen untuk
pernapasan diperoleh dari udara dilingkungan sekitar.
Organ yang berperan penting dalam proses respirasi adalah paru-paru.
Sistem respirasi terdiri dari hidung/nasal, faring, laring, trakea, bronkus,
bronkiolus dan alveolus. Respirasi adalah pertukaran O2 dan CO2 dalam paru-
paru, tepatnya dalam alveolus. Pernapasan sangat penting bagi kelanjutan dalam
hidup manusia. Apabila seseorang tidak bernapas dalam beberapa saat, maka

3
orang tersebut akan kekurangan oksigen (O2), hal ini dapat mengakibatkan orang
tersebut kehilangan nyawanya.
Adapun fungsi dari pernapasan atau respirasi antara lain:
1. Mengambil oksigen yang kemudian dibawa oleh darah ke seluruh tubuh (sel-
selnya) untuk mengadakan pembakaran.
2. Mengeluarkan karbondioksida yang terjadi sebagai sisa dari pembakaran,
kemudian dibawa oleh darah ke paru-paru untuk dibuang.
3. Menghangatkan dan melembabkan udara (Irianto, 2012)

Gambar 2.1 Anatomi Sistem Pernapasan


(Sumber: Reece et al. 2012)

2.1.4 Etiologi
Tuberculosis paru disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis yang
dapat ditularkan ketika seseorang penderita penyakit paru aktif mengeluarkan
organisme. Individu yang rentan menghirup droplet dan menjadi terinfeksi.
Bakteri di transmisikan ke alveoli dan bronkopneumonia, granuloma, dan jaringan
fibrosa (smeltzer & Bare, 2015).
Menurut Smeltzer & Bare (2015), individu yang beresiko tinggi untuk
tertular virus tuberculosis adalah :
1. Mereka yang sering terpapar langsung dengan seseorang yang mempunyai TB
aktif
2. Individu imunnosupresif (termasuk lansia, pasien dengan kanker, mereka yang
dalam terapi kortikosteroid, atau mereka yang terinfeksi dengan HIV).

4
3. Terpapar langsung oleh percikan bersin, dan batuk dahak dari penderita TB
Paru.
4. Individu yang tinggal didaerah yang perumahan sub standar kumuh.
5. Pekerjaan (misalkan tenaga kesehatan, terutama yang melakukan aktivitas yang
beresiko tinggi).
6. Penggunaan obat-obat IV dan alkoholik.
7. Individu tanpa perawatan yang adekuat dengan diagnosa medis yang sudah ada
sebelumnya (misalkan diabetes, gagal ginjal kronis, siliosis, penyimpangan
gizi).
2.1.5 Patofisiologi
Jalan masuknya kuman Mycobacterium Tuberculosis adalah saluran
pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi
terjadi melalui udara (air bone), yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung
kuman-kuman basil tuberkel yang terinfeksi. Basil tuberkel yang mencapai
alveolus dan diinhalasi biasanya terdiri atas satu sampai tiga gumpalan. Basil yang
lebih besar cenderung bertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkus,
sehingga tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus,
kuman akan mulai mengakibatkan peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak
memfagosit bakteri di tempat ini, namun tidak membunuh organisme tersebut.
Sesudah hari pertama, maka leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang
terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut.
Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa
yang tertinggal atau proses dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau
berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju
getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih
panjang dan sebagian bersatu, sehingga membentuk sel tuberkel epitoloit yang
dikelilingi oleh foist. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10-20 jam
(Ardiansyah, 2012).

5
Pathway Tuberculosis Paru berdasarkan teori

bagan: 2.1 Penyimpangan. KDM Tuberculosis Paru.


(Sumber: Somantri I, 2012)

6
2.1.6 Manifestasi Klinik
Menurut Amin,H (2015) tanda dan gejala dari tuberculosis adalah:
1. Demam 40-41°C, serta ada batuk/batuk darah
2. Sesak napas dan nyeri dada
3. Malaise, keringat malam
4. Suara khas pada perkusi dada, bunyi dada
5. Peningkatan sel darah putih dengan dominasi limfosit
6. Pada anak:
1) BB menurun secara drastis, 2 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas.
2) Demam tanpa sebab yang jelas.
3) Batuk berdahak/batuk kering/batuk berdarah.
4) Riwayat kontak dengan pasien TB Paru dewasa.
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada kasus Tuberculosis Paru menurut Alwi (2017)
adalah sebagai berikut:
1. Darah Lengkap: LED meningkat.
2. Pemeriksaan Sputum BTA: umtuk memastikan diagnostik paru, BTA sputum
positif minimal 2 dari 3 spesimen SPS
3. Becton Dickinson Diagnostic Instrument System (BACTEC) deteksi growth
indeks berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak oleh
mycobacterium tuberculosis.
4. Foto thoraks PA lateral (hasil bervariasi): infiltrasi, pembahasan kelenjar getah
bening (KGB) hilus/ KGB paratrakeal, militer, atelectasis, efusi pleura,
klasifikasi, bronkietaksis, kavitas destroyed lung.
5. Imuno-serologis: uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen staining
untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil tuberculosis.
6. Uji tubeculis: sensitivitas 93,6 %.
7. Tes PAP (Peroksidase Anti Peroksidase), ICT-TB: Positif
8. PCR : TB dari sputum (hanya menunjang klinis).

7
2.1.8 Penatalaksanaan Medis
Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada proses peneymbuhan
tuberculosis adalah sebagai berikut:
1. Prinsip pengobatan TB Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen
terpenting dalam pengobatan TB. Pengobatan TB adalah merupakan salah satu
upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB.
Pengobatan yang adekut harus memenuhi prinsip:
1) Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.
2) Diberikan dalam dosis yang tepat
3) Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas
Menelan Obat) sampai selesai pengobatan.
4) Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap
awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.
2. Tahapan pengobatan TB Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan
tahap awal dan tahap lanjutan dengan maksud:
1) Tahap awal: Pengobatan diberikan setiap hari, paduan pengobatan pada
tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah
kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari
sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien
mendapat pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru,
harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara
teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun
setelah pengobatan selama 2 minggu.
2) Tahap lanjutan: Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting
untuk membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya
kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya
kekambuhan.
3. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia sesuai rekomendasi WHO (2014)
terbagi menjadi beberapa bagian dan masing-masing bagian memiliki kategori
tersendiri, bagian dan kategori paduan OAT tersebut adalah sebagai berikut:

8
1. Paduan yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberculosis di
Indonesia yaitu:
1) Kategori 1: 2 (HRZE)/4(HR)3
2) Kategori 2: 2 (HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
3) Kategori Anak: 2 (HRS)/4(HR) atau 2HRZA(s)/4-10HR
4) Obat yang digunakan dalam tatalaksanaan pasien TB resisten obat di
Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu kanamisin, kepreomisin,
levofloksasin, etionamide, sikloserine, moksifloksasin, serta OAT lini-1,
yaitu rifampisin,INH, streptomisin, pirazinamid dan etambutol.
2. Paduan OAT KDT peruntukannya.
1) Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3 Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis, Pasien TB paru terdiagnosis
klinis dan pasien TB ekstra paru
2) Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3) Paduan OAT ini diberikan
untuk pasien BAT positif yang pernah diobati sebelumnya (pengobatan
ulang): Pasien kambuh, Pasien gagal pada pengobatan dengan panduan
OAT kategori 1 sebelumnya dan Pasien yang diobati kembali setelah putus
berobat.
Menurut KemenKes RI (2014) obat anti tuberkulosis (OAT) yang dipakai
sebagai tatalaksana lini pertama adalah rifampisin, isoniazid, pirazinamid,
streptomisin, dan etambutol, yang tersedia dalam tablet tunggal maupun dalam
sediaan dosis tetap (fixed dose combination). Jenis obat lini kedua adalah
kanamisin, kuinolon, dan derivat rifampisin dan isoniazid.
Dosis OAT adalah sebagai berikut :
1. Rifampisin (R) diberikan dalam dosis 10 mg/KgBB per hari secara oral, atau
10 mg/kgBB oral dua kali seminggu dengan perlakuan DOT, maksimal 600
mg/hari. Dikonsumsi pada waktu perut kosong agar baik penyerapannya.
2. Isoniazid (H) diberikan dalam dosis 5 mg/kg BB oral tidak melebihi 300 mg
per hari untuk TB paru aktif, sedangkan pada TB laten pasien dengan berat
badan >30 kg diberikan 300 mg oral. Pemberian isoniazid juga bersamaan
dengan Piridoksin (vitamin B6) 25-50 mg sekali sehari untuk mencegah
neuropati perifer

9
3. Pirazinamid (Z) pada pasien dengan HIV negatif diberikan 15-30 mg/kgBB per
hari secara oral dalam dosis terbagi, tidak boleh melebihi dua gram per hari.
Atau dapat diberikan dua kali seminggu dengan dosis 50 mg/kg BB secara oral
4. Etambutol (E) pada fase intensif dapat diberikan 20 mg/kgBB. Sedangkan pada
fase lanjutan dapat diberikan 15 mg/kgBB , atau 30 mg/kgBB diberikan 3 kali
seminggu, atau 45 mg/kgBB diberikan 2 kali seminggu
5. Streptomisin (S) dapat diberikan 15 mg/kgBB secara intra muskular, tidak
melebihi satu gram per hari. Atau dapat diberikan dengan dosis dua kali per
minggu, 25-30 mg/kgBB secara intra muskular, tidak melebihi 1,5 gram/hari.
Terapi MDR-TB : Gunakan sedikitnya 4-5 obat yang tidak pernah diberikan
sebelumnya, dimana obat-obat tersebut masih sensitif secara in vitro. Jangan
gunakan obat yang sudah resisten. Ada baiknya mengonsultasikan pasien dengan
MDR-TB kepada spesialis penyakit paru.
Berikut ini adalah pilihan obat yang dapat diberikan pada pasien dengan
MDR-TB, dengan catatan bahwa obat-obat ini masih sensitif :
Grup 1: first- lineterapi oral, misalnya: pirazinamid, etambutol, rifampisin
Grup 2: injeksi, misalnya: kanamisin, amikasin, capreomycin, streptomisin
Grup3:golongan fluoroquinolon, misalnya: levofloksasin, moxifloksasin,
ofloksasin
Grup 4: second- lineterapi oral bakteriostatik, misalnya: cycloserine, terizidone,
asam para aminosalisilat (PAS), etionamide, protionamide
Grup 5: obat-obat ini tidak dianjurkan oleh WHO untuk penggunaan rutin karena
efektifitasnya masih belum jelas. Namun diikutsertakan dengan alasan
bahwa bilamana ke 4 grup obat tersebut diatas tidak mungkin diberikan
kepada pasien, seperti pada XDR-TB.
Penggunaan obat ini mesti dikonsultasikan terlebih dahulu dengan spesialis
penyakit paru. Contoh obatnya: clofazimine, linezolid, amoksisilin klavulanat,
thiocetazone, imipenem/cilastatin, klaritromisin, INH dosis tinggi.

10
2.1.9 Komplikasi Tuberculosis
Tuberculosis Paru apabila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada penderita Tuberculosis Paru
dibedakan menjadi dua: Adapun komplikasi yang disebabkan oleh Tuberculosis
Paru menurut Alwi, (2017), adalah sebagai berikut:
1. Komplikasi stadium lanjut: yaitu atelectasis, hemoptysis, fibrosis,
bronkiektasis, pneumotoraks, gagal napas.
2. Komplikasi dini: yaitu pleuritis, efusi pleura, pericardium,
peritonitis, tuberculosis kelenjar limfe, kor pulmonal.
2.1.10 Pencegahan Tuberculosis
Menurut Erlina (2018). Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
mencegah terkena penyakit TBC Paru.
1. Hindari kontak dengan penderita TBC, sebisa mungkin hindari kontak dengan
penderita batuk khususnya TBC. Meski demikian, jangan sampai
mendiskriminasi para penderita.
2. Gunakan masker, selalu sediakan masker saat berada di tempat umum terutama
dalam ruangan tertutup seperti bus, pesawat, kereta api, dan mal. Masker dapat
mencegah penyebaran kuman TBC.
3. Ventilasi atau saluran udara yang baik, ventilasi dan saluran udara yang baik
dapat menghambat penyebaran kuman TBC. Bakteri tersebut dapat
berkembang biak di lingkungan yang lemban. Bakteri TBC juga bisa mati jika
terkena cahaya matahari langsung.
4. Menjaga daya tahan tubuh, sistem imun yang rendah membuat penularan TBC
akan semakin mudah. Hindari gaya hidup yang dapat membuat daya tahan
tubuh menurun seperti merokok dan begadang. Tingkatkan daya tahan tubuh
dengan istirahat yang cukup dan makan-makanan yang bergizi.
5. Pemeriksaan, jika terpapar dengan pasien TBC segera lakukan pemeriksaan
untuk mencegah penularan.

11
2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan anamnesa atau kumpulan informasi subyektif yang
diperoleh dari apa yang dipaparkan oleh pasien atau keluarga pasien terkait
dengan masalah kesehatan yang diderita oleh pasien sehingga menyebabkan
pasien berkunjung ke unit pelayanan kesehatan (Niman, 2014).
Menurut Muttaqin (2015), pengkajian pasien meliputi:
1. Identitas yang perlu untuk dikaji meliputi pengkajian mengenai identitas klien,
identitas orang tua yaitu ayah dan ibu klien.
2. Keluhan utama yaitu masalah utama atau hal yang paling mengganggu yang
sedang dihadapi klien saat dilakukan pengkajian.
3. Riwayat kesehatan yaitu pengkajian yang meliputi riwayat kesehatan
sekarang, riwayat kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan keluarga, riwayat

12
pengkaian yang meliputi riwayat imunisasi, riwayat tumbuh kembang, riwayat
psikososial, riwayat spiritual, riwayat hospitalisasi.
4. Riwayat keperawatan berdasarkan pola kesehatan fungsional yaitu aktivitas
sehari, nutrisi, cairan, eliminasi, istirahat tidur, personal hygiene, aktivitas
mobilitas fisik.
5. Pemeriksaan fisik yaitu pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui
masalah yang di alami klien dan untuk menegakkan diagnosa keperawatan
pada klien.
6. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk memastikan dan menegakkan
masalah yang didapati pada klien.
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
Menurut SDKI (2016) jenis diagnosa dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Diagnosa Aktual: respon klien terhadap kondisi kesehatan atau proses
kehidupannya yang menyebabkan klien mengalami masalah kesehatan.
Tanda/gejala mayor dan minor dapat ditemukan dan divalidasi pada klien.
2. Diagnosa Risiko: respon klien terhadap kondisi kesehatan atau proses
kehidupannya yang dapat menyebabkan klien berisiko mengalami masalah
kesehatan. Tidak ditemukan tanda/gejala mayor dan minor pada klien, namun
klien memiliki faktor risiko mengalami masalah kesehatan.
3. Diagnosa Promosi Kesehatan: adanya keinginan dan motivasi klien untuk
meningkatkan kondisi kesehatannya ke tingkat yang lebih baik dan optimal.
Diagnosa Keperawatan yang biasa muncul pada kasus TB Paru menurut
Nurarif (2015) yaitu:
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane alveolus-
kapiler
2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan spasme jalan napas
3. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas
4. Intoleransi aktivitas berhbungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen.

13
2.2.3 Intervensi Keperawatan
Intervensi Keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh
perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai
luaran (outcome) yang diharapkan (SIKI, 2018).
Menurut Judith M (2016) rencana keperawatan yang dapat dilakukan pada
kasus Tuberculosis Paru adalah sebagai berikut:
1. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi – perfusi.
1) Monitor frekuensi irama dan upaya napas
2) Monitor x-ray thoraks
3) Palpasi kesimetrisan ekpansi paru
4) menganjurkan posisi semifowler
5) pemantauan respirasi pasien
6) Dukungan ventilasi
7) kolaborasi pemberian O2
2. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d sekresi yang tertahan
Intervensi: rencana yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah adalah
sebagai berikut:
1) Monitor bunyi napas
2) Lakukan fisioterapi dada
3) Ajarkan teknik batuk efektif
4) Bersihkan sekret pada mulut, hidung dan trakea, jika perlu.
5) Lakukan pengisapan lendir kurang dari 15 detik jika diperlukan.
6) Berikan minum air hangat.
7) Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari
8) Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspetoran, jika perlu
3. Pola napas tidak efektif b.d hambatan upaya napas
Intervensi: rencana yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah adalah
sebagai berikut:
1) Monitor pola napas
2) Monitor hambatan upaya napas.
3) Pertahankan kepatenan jalan napas
4) Posisikan semi-fowler

14
5) Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari
6) Kolaborasi pemberian brokodilator, ekspetoran, atau mukolitik, jika perlu
4. Intoleransi aktivitas b.d tirah baring
1) Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
2) Monitor kelelahan fisik dan emosional
3) Monitor pola tidur
4) Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas
5) Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus
6) Lakukan latihan rentang gerak pasif/aktif
7) Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
8) Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
9) Kolaborasi dengan ahli gizi cara meningkatkan asupan makanan.

15

Anda mungkin juga menyukai