Tugas Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Stase Keperawatan Dasar Profesi
Disusun Oleh :
4. Manifestasi klinis
Gejala klinis meningitis tuberkulosis dapat dibagi dalam 3 (tiga) stadium
(Anderson, 2010) :
a. Stadium I : Prodormal
Selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala
infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering
tanpa demam, muntah muntah, nafsu makan berkurang, murung, berat
badan menurun, mudah tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur
terganggu dan gangguan keadaran berupa apatis. Pada orang dewasa
terdapat panas yang
hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia,
nyeri punggung, halusinasi, dan sangat gelisah.
b. Stadium II : Transisi
Berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala penyakit lebih berat
dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan kadang-kadang
disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan
meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-
tanda peningkatan intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah yang lebih
hebat.
c. Stadium III : Terminal
Ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran sampai koma.
Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu
5. Patofisiologi
Meningitis tuberkulosis terjadi akibat penyebaran infeksi secara
hematogen ke meningen. Dalam perjalanannya meningitis tuberkulosis
melalui 2 tahap yaitu mula-mula terbentuk lesi di otak atau meningen akibat
penyebaran basil secara hematogen selama infeksi primer. Penyebaran secara
hematogen dapat juga terjadi pada TB kronik, tetapi keadaan ini jarang
ditemukan. Selanjutnya meningitis terjadi akibat terlepasnya basil dan antigen
TB dari fokus kaseosa (lesi permukaan di otak) akibat trauma atau proses
imunologi, langsung masuk ke subaraknoid. Meningitis tuberkulosis biasanya
terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer (Schlossberg, 2011) . Kebanyakan
bakteri masuk ke cairan serebrospinal dalam bentuk kolonisasi dari nasofaring
atau secara hematogen menyebar ke pleksus koroid parenkim otak, atau
selaput meningen. Vena-vena yang mengalami penyumbatan dapat
menyebabkan aliran retrograde transmisi dari infeksi. Kerusakan lapisan dura
dapat disebabkan oleh fraktur, paska bedah saraf, infeksi steroid secara
epidural, tindakan anestesi, adanya benda asing seperti implan koklear, VP
shunt, dan lain-lain. Sering juga kolonisasi organisme pada kulit dapat
menyebabkan meningitis. Meskipun
meningitis dikatakan sebagai peradangan selaput meningen, kerusakan
meningen dapat berasal dari infeksi yang dapat berakibat edema otak,
peyumbatan vena dan menghalang aliran cairan serebospinal yang dapat
berakhir dengan hidrosefalus, peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi
(Schlossberg, 2011).
6. Pathway
7. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan CSF
M. Purulenta M. Serosa/TBC M. Viral
Tekanan Normal
Glukosa normal
8. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
1) Meningitis purulenta
a. Pemberian cairan secara intravena untuk menghindari
kekurangan cairan/elektrolit akibat muntah-muntah atau diare.
b. Bila pasien masuk dalam keadaan status konvulsivus, diberikan diazepam
0,5 mg/kg BB/ kali intravena, dan dapat diulang dengan dosis yang sama
15 menit kemudian. Bila kejang belum berhenti, ulangan pemberian
diazepam berikutnya (yang ketiga kali) dengan dosis yang sama diberikan
secara intramuskular.
c. Setelah kejang dapat di atasi, diberikan fenobarbital dosis awal untuk
neonatus 30 mg, anak kurang dari 1 tahun 50 mg dan di atas 1 tahun 75 mg.
Selanjutnya untuk pengobatan rumat diberikan fenobarbital dengan dosis 8-
9 mg/kg BB/hari di bagi dalam 2 dosis, diberikan selama 2 hari.
d. Berikan ampisisilin intravena sebanyak 400 mg/kg BB/ hari di bagi dalam
6 dosis di tambah kloramfenikol 100 mg/ Kg BB/hari intravena dibagi
dalam 4 dosis . Pada hari ke-10 pengobatan di lakukan pungsi lumbal
ulangan dan bila ternyata menunjukkan hasil yang normal pengobatan
tersebut di lanjutkan 2 hari lagi. Tetapi jika masih belum normal
pengobatan di lanjutkan dengan obat yang sama seperti di atas atau di ganti
dengan obat yang sesuai dengan hasil biakan dan uji resisten kuman.
2) Dasar pengobatan meningitis tuberkulosa ialah pemberian kombinasi
obat antituberkulosis dan ditambahkan dengan kortikosteroid,
pengobatan sitomatik bila terdapat kejang, koreksi dehidrasi akibat
masukan makanan yang kurang atau muntah dan fisioterapi. Umumnya
di pakai kombinasi streptomisin, PAS dan INH. Bila ada resisten
terhadap salah satu obat tersebut maka dapat digantikan dengan reserve
drugs. Streptomisin di berikan dengan dosis 30-50 mg/kg BB/hari
selama 3 bulan atau jika perlu di teruskan 2 kali seminggu selama 2-3
bulan lagi sampai likuor serebrospinalis menjadi normal. PAS dan INH
di teruskan paling sedikit sampai 2 tahun. Kortikostreoid biasanya di
berikan berupa prednison dengan dosis 2-3 mg/kg BB/hari (dosis
minimum 20 mg/ hari) dibagi 3 dosis selama 2-4 minggu, kemudian di
turunkan 1 mg/kg BB/hari setiap 1-2 minggu. Pemberian kortikosteroid
seluruhnya selama 3 bulan dan dihentikan bertahap untuk
menghindarkan terjadinya rebound phenomenon.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Masalah yang perlu diperhatikan pada pasien dengan meningitis
adalah gangguan kesadaran, resiko terjadi komplikasi, gangguan rasa aman
dan nyaman serta kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit.
a. Gangguan kesadaran
Pasien meningitis yang mengalami koma memerlukan pengawasan
tanda-tanda vital secara cermat karena pernapasannya sering cheyne-
Stokes sehingg terdapat gangguan O2. Untuk membantu pemasukan
O2perlu diberikan oksigen yaitu 1-2 liter/ menit. Selain itu pasien koma
juga mengalami inkontinensia urine maka perlu di pasang penampung
urine. Kebersihan kulit perlu di perhatiakn terutama sekitar genitalia
dan bagian tubuh yang tertekan. Oleh karena itu jika akan memasang
kateter urine harus konsultasi dahulu dengan dokter. Buat catatan
khusus jika belum ada catatan perawatan untuk mencatat hasil
observasi pasien.
b. Resiko terjadi komplikasi
Dehidrasi asidosis dapat terjadi pada pasien, oleh sebab itu untuk
memenuhi kebutuhan pasien perlu dilakukan pemasangan sonde tetapi
untuk kebutuhan elektroloit tidak akan cukup. Bila terjadi dehidrasi
cairan yang di berikan biasanya glukosa 10 % dan NACl 0,9% dalam
perbandingan 3:1. Pengawasan tetesan perlu dilakukan secara cermat
dan setiap mengganti cairan harus dicatat pada pukul berapa agar
mudah diketahui untuk memperhitungkan kecukupan cairan atau tidak.
Pengaturan posisi pada pasien juga perlu di perhatikan, teutama pada
pasien dengan penurunan kesadaran. Ubahlah sikap berbaringnya setiap
tiga jam, sekali-sekali lakukan gerakan pada sendi-sendi dengan
menekuk/meluruskan kaki dan tangan tetapi usahakan agar kepala tidak
ikut terangkat (bergerak).
c. Gangguan rasa aman dan nyaman
Gangguan aman dan nyaman perlu diperhatikan dengan selalu bersikap
lembut (jangan berpikir bahwa pasien koma tidak akan tahu). Salah
satu kesalahan yang sering terjadi ialah membaringkan pasien tersebut
menghadap cahaya matahari, sedangkan pasien koma matanya selalu
terbuka. Untuk menghindarkan silau yang terus menerus jangan
baringkan pasien kearah jendela. Untuk pasien yang akan melakukan
tindakan, ajak lah pasien berbicara sewaktu melakukan tindakan
tersebut walaupun pasien tidak sadar (Ngastiyah, 2012).
3. Penatalaksanaan kejang
a. Airway
1) Baringkan pasien ditempat yang rata, kepala dimiringkan dan
pasangkan sudip lidah yang telah dibungkus kasa atau bila
ada guedel lebih baik.
2) Singkirkan benda-benda yang ada disekitar pasien, lepaskan
pakaian yang mengganggu pernapasan
3) Berikan O2 boleh sampai 4 L/ mnt.
b. Breathing
1) Isap lendir sampai bersih
c. Circulation
1) Bila suhu tinggi lakukan kompres hangat secara intensif
2) Setelah pasien bangun dan sadar berikan minum hangat
(berbeda dengan pasien tetanus yang jika kejang tetap sadar).
B. Konsep Dasar Keperawatan
1. Data Fokus Pengkajian
1) Biodata
Terdiri dari identitas pasien: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, nomor register klien, tanggal
masuk dirawat, tanggal pengkajian, diagnosa medis.
2) Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Alasan dibawa ke rumah sakit karena mengalami demam tinggi, sakit
kepala berat, kejang dan penurunan kesadaran.
b. Riwayat penyakit saat ini
Biasanya pasien meningitis keluhan gejala awal berupa sakit kepala dan
demam. Keluhan kejang perlu mendapat perhatian untuk dilakukan
pengkajian lebih mendalam, bagaimana sifat timbulnya kejang,
stimulus apa yang sering menimbulkan kejang dan tindakan apa yang
telah diberikan dalam upaya menurunkan keluhan kejang tersebut.
Terkadang pada sebagian pasien mengalami penurunan atau perubahan
pada tingkat kesadaran, Keluhan perubahan perilaku juga umum
terjadi, sesuai dengan perkembangan penyakit dapat terjadi letargi,
tidak responsif dan koma.
3) Riwayat penyakit dahulu
Pasien meningitis biasanya pernah memiliki riwayat penyakit yang
meliputi; infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia
sel sabit dan hemoglobinopatis lain, tindakan bedah saraf, riwayat trauma
kepala dan adanya pengaruh imunologis pada masa sebelumya. Meningitis
tuberkulosis perlu dikaji tentang riwayat sakit TB. Selain itu pengkajian
tentang riwayat kehamilan pada ibu diperlukan untuk melihat apakah ibu
pernah mengalami penyakit infeksi pada saat hamil (Muttaqin, 2008).
4) Riwayat kesehatan keluarga
Orang tua, saudara kandung, anggota keluarga lain. faktor resiko tbc.
5) Keadaan psikologis : perilaku, pola emosional, konsep diri, penampilan
intelektual, pola pemecahan masalah, daya ingat.
6) Pola kebiasaan sehar-hari, terdiri dari: makan/minum, istirahat/tidur, pola
eliminasi BAB dan BAK, akativitas sehari-hari sebelum dan selama sakit.
7) Pemeriksaan Fisik
a. Tingkat Keadaran
Kesadaran anak menurun apatis sampai dengan koma. Nilai GCS yang
berkisar antara 3 sampai dengan 9 (GCS normal 15) (Riyadi &
Sukarmin, 2009).
b. Tanda-tanda vital
Pada pasien dengan meningitis biasanya di dapatkan peningkatan suhu
tubuh lebih dari normal. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan
dengan tanda-tanda peningkatan TIK, pernapasan meningkat > 30
x/menit dan tekanan darah biasanya normal atau meningkat karena
tanda-tanda peningktan TIK.(suhu normal 36,5-37,40 C, pernapasan
normal : untuk anak 2 bulan -< 12 bulan < 50 x/menit, 12 bulan-<
40x/menit) (Muttaqin,
2008).
c. Pemeriksaan fisik head to toe
a) Kepala
Pada neonatus di temukan ubun-ubun menonjol, sedangkan pada
anak yang lebih besar jarang di temukan kelainan. Pada pemeriksaan
meningeal dengan meningitis akan ditemukan kuduk kaku.
Terkadang perlu dilakukan pemeriksaan lingkar kepala untuk
mengetahui apakah ada pembesaran kepala pada anak (Wong, dkk,
2009).
b) Mata
Pada pasien dengan kesadaran yang masih baik fungsi dan reaksi
pupil biasanya tidak ada kelainan, sedangkan pada pasien dengan
penurunan kesadaran tanda-tanda perubahan dari fungsi dan reaksi
pupil mungkin akan ditemukan, dengan alasan yang tidak diketahui
pasien, meningitis mengeluh mengalami fotofobia atau sensitif yang
berlebihan terhadap cahaya.
c) Hidung
Biasanya tidak ditemukan kelainan.
d) Mulut
Mukosa bibir kering akibat kehilangan cairan melalui proses
evaporasi.
e) Telinga
Terkadang ditemukan keluarnya cairan dari telinga dengan
meningitis pneumokokus dan sinus dermal kongenital terutama di
sebabkan oleh infeksi E.colli
f) Dada
Thoraks
Inspeksi : akan nampak penggunaan otot bantu penapasan. 2
Palpasi : pada pasien dengan meningitis jarang dilakukan
dan biasanya tidak ditemukan kelainan.
Auskultasi : ditemukannya bunyi nafas tambahan seperti
ronkhi pada pasien dengan meningitis tuberkulosa
dengan penyebaran primer dari paru.
Jantung
Penurunan kesadaran pada pasien akan diikuti dengan denyut
jantung yang terkesan lemah < 100x/menit. (normal 100- 140x/i).
g) Kulit
Pada kulit saat inspeksi akan ditemukan ruam petekia dengan lesi
purpura sampai ekimosis pada daerah luas. Selain itu turgor kulit
mengalami penurunan akibat peningkatan kehilangan cairan.
h) Ekstremitas
Kekuatan otot menurun dan mengalami opistotonus. Pada tahap
lanjut apasien akan mengalami gangguan koordinasi dan
keseimbangan pada alat gerak.
i) Genitalia
Jarang ditemukan kelainan.
j) Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I : biasanya pada pasien dengan meningitis fungsi
penciuman tidak ada kelainan.
Saraf II :tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Pemeriksaan papiledema mungkin didapatkan terutama pada
meningitis supuratif disertai abses serebri dan efusi subdural
yang menyebabkan terjadinya peningkatan TIK berlangsung
lama.
Saraf III : IV dan VI, pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada
pasien dengan meningitis yang tidak disertai penurunan
kesadaran biasanya tanpa kelainan. Pada tahap lanjut
meningitis
yang telah mengganggu kesadaran, tanda-tanda perubahan dari
fungsi dan reaksi pupil akan di dapatkan. Dengan alasan yang
tidak di ketahui pasien meningitis mengeluh mengalami fotofobia
atau sensitif yang berlebihan terhadap cahaya.
Saraf V : pada pasien dengan meningitis biasanya tidak di
dapatkan paralis pada otot wajah dan refleks kornea
biasanya tidak ada kelainan.
Saraf VII : persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah
sismetris.
Saraf VIII : tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
Saraf IX dan X : kemampuan menelan baik.
Saraf XI : tidak ada atrofi otot strenokleidomastoideus dan
trapezius. Adanya usaha dari pasien untuk melakukan fleksi leher
dan kaku kuduk.
Saraf XII : lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan
tidak ada fasikulasi serta indra pengecap normal.
k) Sistem motorik Kekuatan otot menurun, mengalami gangguan
koordinasi pada alat gerak, anak bisa mengalami hemiplegi
dan/atau hemiparise.
l) Pemeriksaan ransangan meningeal
- Kaku kuduk
Kaku kuduk adalah tanda awal. Adanya upaya untuk fleksi kepala
mengalami kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher.
Fleksi paksaan menyebabkan nyeri berat.
- Tanda kernig positif
Ketika pasien di baringkan dengan paha dalam keadaan fleksi
kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna.
- Tanda brudzinski
Tanda ini di dapatkan apabila leher pasien di fleksikan, maka d
hasilnya fleksi lutut dan pinggul, bila di lakukan fleksi pasif pada
ekstremitas bawah pada salah satu sisi, maka gerakan yang sama
terlihat pada sisi ekstremitas yang berlawanan (Muttaqin, 2008).
8) Pemeriksaan penunjang
(2). Kekeruhan : tergantung pada jumlah sel dalam liquor, bila lebih
dari 200 mm3 liquor sedikit keruh.
- Warna : jernih.
9) Analisa Data
Masalah
No Data Etiologi
Keperawatan
1 Subjektif : Inhalasi Mycobacterium Perfusi jaringan
1. Klien mengatakan tuberculosis serebral tidak efektif
pusing dan anggota
gerak bagian kanan Fagositosis oleh makrofag
lemas alveolus paru
Objektif :
1. Kesadaran menurun Organisme masuk ke
2. GCS : 4-5-6, aliran darah
3. TD darah abnormal/
normal Invasi kuman ke selaput
otak
Reaksi peradangan
jaringan serebral
Odema cerebral
TIK
Perubahan tinggakt
kesadaran
Perfusi jaringan
serebral tidak efektif
2 Gejala dan Tanda Mayor : Eksudat meningen Pola napas tidak
Subjektif : Dispnea efektif
Objektif : Reaksi septicemia jaringan
2. Penggunaan otot bantu otak/infeksi
pernapasan.
3. Fase ekspirasi Metabolism tubuh
memanjang. meningkat
4. Pola napas abnormal
(mis. takipnea. Kenaikan konpensasi
bradipnea, hiperventilasi ventilasi
kussmaul cheyne-
stokes). Hiperventilasi
DO :
1. Pernapasan pursed-lip.
2. Pernapasan cuping
hidung.
3. Diameter thoraks
anterior—posterior
meningkat
4. Ventilasi semenit
menurun
5. Kapasitas vital menurun
6. Tekanan ekspirasi
menurun
7. Tekanan inspirasi
menurun
8. Ekskursi dada berubah
3 Gejala dan Tanda Mayor Reaksi peradangan Defisit nutrisi
Subjektif : (tidak tersedia) jaringan serebral
Objektif :
1. Berat badan menurun Odema cerebral
minimal 10% di bawah
rentang ideal . TIK
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif : Menstimulasi reflek
1. Cepat kenyang setelah vasogal
makan
2. Kram/nyeri abdomen Mual muntah
3. Nafsu makan menurun .
Objektif : Defisit nutrisi
1. Bising usus hiperaktif
2. Otot pengunyah lemah
3. Otot menelan lemah
4. Membran mukosa pucat
5. Sariawan
6. Serum albumin turun
7. Rambut rontok
berlebihan
8. Diare
2 Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
a. Perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan infeksi otak B.
b. Pola nafas tidak efektif b.d hambatan upaya nafas dibuktikan dengan pola
nafas abnormal
c. Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan menelan makanan dibuktikan
dengan berat badan menurun, otot pengunyah lemah
3 Intervensi Keperawatan
4 Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan sebuah fase dimana perawat
melaksanakan rencana atau intervensi yang sudah dilaksanakan sebelumnya.
Berdasarkan terminologi SIKI, implementasi terdiri atas melakukan dan
mendokumentasikan yang merupakan tindakan khusus yang digunakan untuk
melaksanakan intervensi (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).
Implementasi keperawatan berlangsung dalam tiga tahap. Fase pertama
merupakan fase persiapan yang mencakup pengetahuan tentang validasi rencana,
implementasi rencana, persiapan pasien dan keluarga. Fase kedua merupakan
puncak implementasi keperawatan yang berorientasi pada tujuan. Fase ketiga
merupakan transmitsi perawat dan pasien setelah implementasi keperawatan
selesai dilakukan.
5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah tahapan terakhir dari proses keperawatan untuk
mengukur respons klien terhadap tindakan keperawatan dan kemajuan klien ke
arah pencapaian tujuan (Potter & Perry, 2010). Evaluasi terdiri dari evaluasi
formatif yaitu menghasilkan umpan balik selama program berlangsung.
Sedangkan evaluasi sumatif dilakukan setelah program selesai dan mendapatkan
informasi efektivitas pengambilan keputusan (Deswani, 2011).
Evaluasi asuhan keperawatan didokumentasikan dalam bentuk SOAP yaitu
S (Subjektif) dimana perawat menemui keluhan pasien yang masih dirasakan
setelahdiakukan tindakan keperawatan, O (Objektif) adalah data yang berdasarkan
hasil pengukuran atau observasi perawat secara langsung pada pasien dan yang
dirasakan pasien setelah tindakan keperawatan, A (Assesment) yaitu interpretasi
makna data subjektif dan objektif untuk menilai sejauh mana tujuan yang telah
ditetapkan dalam rencana keperawatan tercapai. Dan yang terakhir adalah
planning
(P) merupakan rencana tindakan berdasarkan analisis. Jika tujuan telah dicapai,
maka perawat akan menghentikan rencana dan apabila belum tercapai, perawat
akan melakukan modifikasi rencana untuk melanjutkan rencana keperawatan
pasien. Evaluasi ini disebut juga evaluasi proses (Dinarti, Aryani, Nurhaeni,
Chairani, & Utiany., 2013).
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Mansjoer, dkk, 2000 . Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-3. FKUI,. Jakarta:
Medica Aesculpalus.
Harsono. 2005. Kapita Skeletal Neurologi. Edisi ke-2. Yogyakarta: Gajah Mada.
Schlossberg D, Editor. Tuberculosis. 3rd ed. New York: Springer-Verlag New York,
Inc; 2011
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2017), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 1, Jakarta, PersatuanPerawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI),
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia