Anda di halaman 1dari 13

ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

DENGAN MASALAH TB PARU PADA TN.I


DI RS MEDIKA KAB. KUNINGAN

Try Rahayu

P2.06.20.2.18.078

3B Keperawatan

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES TASIKMALAYA
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN CIREBON
JALAN PEMUDA NO 38 KOTA CIREBON 45132
2020
LATAR BELAKANG

Penyakit menular adalah suatu penyakit yang dapat ditularkan dari satu orang ke
orang lain atau dari binatang ke orang dan sebaliknya, baik langsung maupun tidak langsung.
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius yang biasanya menyerang parenkim paru.
Tuberkulosis dapat menyerang organ lain seperti meninges, ginjal, tulang, dan nodus limfe.
Penyebab TB Paru itu adalah mycobacterium Tuberkulosis, bakteri yang tumbuh dengan
lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar ultraviolet (Smeltzer & Bare, 2013).

Masalah TBC di Indonesia berada pada peringkat ke-3 di dunia selama bertahun tahun
dan pada tahun 2009 indonesia turun keperingkat 5 dengan jumlah penderita TB sebesar 429
ribu orang dengan jumlah prevelensi tahunan dari semua kasus TB 224 per 100.000 dan di
perkirakan insiden kasus baru 228 per 100.000 penduduk . Total prevalensi TB di Indonesia
tahun 2009 di temukan sebanyak 294.371 kasus,dengan perincian kasus TB BTA positif
169.213 dan kasus TB BTA negative 108.616 kasus.Penderita TB ektra paru juga
teridentifikasi sebanyak 11.215 kasus,kasus TB kambuh 3.709 dan pengobatan di luar kasus
kambuh berjumlah 1.978 penderita. Tuberculosis (TB) adalah penyakit menular yang di
sebabkan oleh Mycobakterium Tuberculosis.Tb termasuk penyakit yang terburuk dengan
kemiskinan dan umumnya menyerang penduduk yang termasuk dalam rentang usia produktif
(Andani, 2014).

Pada tahun 2016, Indonesia sebagai negara dengan kasus TB Paru terbesar kedua di
dunia dan tahun 2017 berdasarkan laporan Global Tuberkulosis Report WHO, Indonesia
tercatat sebagai negara kedua dengan penderita TBC terbanyak di dunia, kemudian tahun
2018 sebagai negara ketiga dengan penderita TBC terbanyak di dunia. Dimana kasus TB Paru
baru di Indonesia tahun 2015 sebesar 188.405 orang, tahun 2016 sebesar 156.723 orang dan
tahun 2017 terus meningkat menjadi 420.994 orang dan tahun 2018 meningkat menjadi
759.000 orang (Kemenkes RI, 2015; Kemenkes RI, 2016; Kemenkes RI, 2017; Kemenkes RI,
2018).
Penularan bakteri Mycobacterium Tuberculosis terjadi ketika pasien TB paru
mengalami batuk atau bersin sehingga bakteri Mycobacterium Tuberculosis juga tersebar ke
udara dalam bentuk percikan dahak atau droplet yang dikeluarkan penderita TB paru. Jika
penderita TB paru sekali mengeluarkan batuk maka akan menghasilkan sekitar 3000 percikan
dahak dan percikan dahak tersebut telah mengandung bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Pasien suspek TB paru yang mengalami gejala batuk lebih dari 48 kali/malam akan
menginfeksi 48% dari orang yang kontak dengan pasien suspek TB paru, sedangkan pasien
suspek TB paru yang mengalami batuk kurang dari 12 kali/malam maka akan dapat
menginfeksi 28% dari orang yang kontak dengan pasien yang suspek TB paru (Kemenkes RI,
2016).
TEORI
A. Pengertian
Tuberkulosis adalah penyakit infeksius terutama menyerang parenkim paru. TB paru
adalah suatu penyakit yang menular yang disebabkan oleh bacil Mycobacterium tuberculosis
yang merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan bagian bawah. Sebagian besar bakteri
M. tuberculosis masuk ke dalam jaringan paru melalui airbone infection dan selanjutnya
mengalami proses yang dikenal sebagai focus primer (Wijaya & Putri, 2013).
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman M. tuberculosis atau
dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam ( BTA ).Untuk bakterologis yang bisa mengidentifikasi
kuman M. tuberculosis menjadi sarana yang diagnosis yang ideal untuk TB (Kementerian
Kesehatan RI, 2014).
Tuberculosis paru adalah penykit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
Tuberkulosis (Mycobacterium Tuberculosis) yang sebagian besar kuman Tuberkulosis
menyerang paru-paru namun dapat juga menyerang organ tubuh lainnya. Kuman tersebut
berbentuk batang yang mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan.
Oleh karena itu, disebut juga sebagai Basil Tahan Asam (BTA) dan cepat mati jika terpapar
sinar matahari langsung namun dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan
lembab (Muttaqin, 2012).

B. ETIOLOGI
Etiologi tuberkulosis paru adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini
berbentuk batang yang tahan asam atau sering disebut sebagai basil tahan asam, intraseluler,
dan bersifat aerob. Basil ini berukuran 0,2-0,5 µm x 2-4 µm, tidak berspora, non motil, serta
bersifat fakultatif. Dinding sel bakteri mengandung glikolipid rantai panjang bersifat mikolik,
kaya akan asam, dan fosfolipoglikan. Kedua komponen ini memproteksi kuman terhadap
serangan sel liposom tubuh dan juga dapat menahan zat pewarna fuchsin setelah pembilasan
asam (pewarna tahan asam) (Jahja, 2018).
Agen infeksius utama, M. tuberculosis adalah batang aerobic tahan asam yang tumbuh
dengan lambat dan sensitive terhadap panas dan sinar matahari. M. bovis dan M. avium
adalah kejadian yang jarang yang berkaitan dengan terjadinya infeksi tuberkulosis (Wijaya &
Putri, 2013).
M. tuberculosistermasuk famili Mycobacteriaceace yang mempunyai berbagai genus,
salah satunya adalah Mycobaterium dan salah satu speciesnya adalah M. tuberculosis. Bakteri
ini berbahaya bagi manusia dan mempunyai dinding sel lipoid sehingga tahan asam. Bakteri
ini memerlukan waktu untuk mitosis 12 – 24 jam. M. tuberculosis sangat rentan terhadap
sinar matahari dan sinar ultraviolet sehingga dalam beberapa menit akan mati. Bakteri ini
juga rentan terhadap panas – basah sehingga dalam waktu 2 menit yang berada dalam
lingkungan basah sudah mati bila terkena air bersuhu 1000 C. Bakteri ini juga akan mati
dalam beberapa menit bila terkena alkhohol 70% atau Lysol 5% (Danusantoso, 2012).

C. PATOFISIOLOGI
Kuman Mycrobacterium tuberculosis menyerang melalui jalan napas ke alveoli, di mana
pada daerah tersebut bakteri bertumpuk dan berkembang biak. Penyebaran basil ini juga
melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lain (ginjal, tulang, korteks serebri) dan
area lain dari paru-paru (lobus atas). Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10 minggu
setelah terpapar. Penyakit akan berkembang menjadi aktif setelah infeksi awal, karena
respons sistem imun yang tidak adekuat. Penyakit aktif dapat juga timbul akibat infeksi ulang
atau aktifnya kembali bakteri yang tidak aktif. Pada kasus ini, terjadi ulserasi pada ghon
tubercle, dan akhirmya menjadi perkijuan. Tuberkel yang mengalami proses penyembuhan
membentuk jaringan parut. Paru-paru yang terinfeksi kemudian meradang, mengakibatkan
bronkopneumonia, pembentukan tuberkel, dan seterusnya. Basil juga menyebar melalui
kelenjar getah bening. Makrofag yang mengadakan infiltrasin menjadi lebih panjang dan
sebagian bersatu membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit
(membutuhkan 10-2- hari). Daerah yang mengalami nekrosis serta jaringan granulasi yang
dikelilingi sel epiteloid dan fibroblast akan menimbulkan respons berbeda dan akhirnya
membentuk suatu kapsul yang dikelilingi tuberkel (Somantri, 2012).

D. KLASIFIKASI
Klasifikasi Tuberkulosis Menurut Depkes RI (2011), ada tiga klasifikasi Tuberkulosis
1. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh (anatomical site) yang terkena :
a. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru,
tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
b. Tuberkulosis extra paru
Tuberkulosis ini yang menyerang organ tubuh lain selain paru. Misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian kulit,
usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
2. Klasifikasi berdasrkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis :
a. Tuberkulosis paru BTA positif
Sekurang-kurangnya dari 3 spesimen dahak sewaktu-pagi-sewaktu (SPS) hasilnya
BTA positif. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif
dan biakan kuman TB positif. Dan 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif
setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif
dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
b. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik
TB paru BTA negatif harus meliputi: paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya
BTA negatif, foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis, tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT bagi pasien dengan HIV negatif,
dan ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
3. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya :
a. Kasus baru.
Pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT
kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif.
b. Kasus yang sebelumnya diobati
1) Kasus kambuh (Relaps).
Pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis
dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali
dengan BTA positif (apusan atau kultur).
2) Kasus setelah putus berobat (Default ).
Pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
3) Kasus setelah gagal (Failure).
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
c. Kasus Pindahan (Transfer In). Pasien yang dipindahkan keregister lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
d. Kasus lain: Semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti yang tidak
diketahui riwayat pengobatan sebelumnya, pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil
pengobatannya, dan kembali diobati dengan BTA negatif.
E. MANIFESTASI KLINIK
Tuberculosis sering dijuluki “the great imitator” yang artinya suatu penyakit yang
mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala umum
seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul tidak jelas sehingga
diabaikan bahkan kadang-kadang asimtomatik (Muttaqin, 2012).
Gejala klinik Tuberkulosis paru dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu gejala respiratorik
dan gejala sistemik :
1. Gejala Respiratorik, meliputi :
a. Batuk Gejala batuk timbul paling dini dan gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi
karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-
produk radang keluar. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non produktif) kemudian
setelah timbul peradangan kemudian menjadi produktif (menghasilkan sputum) ini
terjadi lebih dari 3 minggu. Keadaan yang selanjutnya adalah batuk darah (hemoptoe)
karena terdapat pembuluh darah yang pecah.
b. Batuk darah Pada saat baruk darah yang dikeluarkan yaitu dahak bervariasi, mungkin
tampak berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpalan darah atau darah segar
dalam jumlah sangat banyak. Batuk darah terjadi karena pecahnya pembuluh darah.
Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang
pecah. Gejala klinis Haemoptoe : Kita harus memastikan bahwa perdarahan tersebut
dari nasofaring dengan cara membedakan ciri-ciri sebagai berikut :
1) Batuk darah
a) Darah dibatukkan dengan rasa panas ditenggorokkan.
b) Darah berbuih bercampur udara.
c) Darah segar berwarna merah muda.
d) Darah bersifat alkalis.
e) Anemia kadang-kadang terjadi.
f) Benzidin test negative.
2) Muntah darah
a) Darah dimuntahkan dengan rasa mual.
b) Darah bercampur sisa makanan.
c) Darah berwarna hitam karena bercampur asam lambung.
d) Darah bersifat asam.
e) Anemia sering terjadi.
f) Benzidin test positif.
3) Epistaksis
a) Darah menetes dari hidung.
b) Batuk pelan kadang keluar.
c) Darah berwarna merah segar.
d) Darah bersifat alkalis.
e) Anemia jarang terjadi.
4) Sesak nafas
Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, dimana infiltrasinya
sudah setengah bagian dari paru-paru. Gejala ini ditemukan apabila terjadi
kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti
efusi pleura, pneumothoraks, anemia dan lain-lain.
5) Nyeri dada
Nyeri dada pada Tuberkulosis paru termasuk nyeri pleuritic yang ringan. Gejala
nyeri dada ini timbul apabila system persarafan di pleura terkena.
2. Gejala Sistemik, meliputi :
1) Demam Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Namun kadang-kadang
panas bahkan dapat mencapai 40-41ºC. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya
tahan tubuh penderita dan berat ringannya infeksi kuman tuberculosis yang masuk.
Demam merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore hari dan
malam hari mirip dengan deman influenza, hilang timbul dan semakin lama
semakin panjang serangannya sedangkan masa bebas serangan semakin pendek.
2) Gejala sistemik lain Gejala sistemik lainnya adalah keringat malam, anoreksia,
penurunan berat badan serta malaise (gejala malaise sering ditemukan berupa :
tidak nafsu makan, sakit kepala, meriang, nyeri otot, dll). Timbulnya gejala ini
biasanya berangsurangsur dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan, tetapi
penampilan akut dengan batuk, panas, sesak napas walaupun jarang dapat juga
timbul menyerupai gejala pneumonia (naga, S , 2012).

F. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penyakit Tuberkulosis Paru


Kondisi social ekonomi, status gizi, umur, jenis kelamin dan faktor toksis pada manusia
merupakan faktor penting dari penyebab penyakit tuberculosis yaitu sebagai berikut (Naga,
2014) :
1. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan sangat berpengaruh dalam penularan penyakit Tuberkulosis yaitu
kaitannya dengan kondisi rumah, kepadatan hunian, lingkungan perumahan, serta
lingkungan dan sanitasi tempat bekerja yang buruk. Semua faktor tersebut dapat
memudahkan penularan penyakit tuberculosis.
2. Faktor social ekonomi
Pendapatan keluarga juga sangat mempengaruhi penularan penyakit tuberculosis
karena dengan pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat hidup dengan layak
seperti tidak mampu mengkonsumsi makanan yang bergizi dan memenuhi syarat-
syarat kesehatan.
3. Status gizi
Kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi, dan lain-lain (malnutrisi), akan
mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang, sehingga rentan terhadap berbagai
penyakit termasuk tertular penyakit tuberculosis paru. Keadaan ini merupakan faktor
penting yang berpengaruh di negara miskin, baik pada orang dewasa maupun anak-
anak.
4. Umur
Penyakit tuberculosis paru ditemukan pada usia muda atau usia produktif, dewasa,
maupun lansia karena pada usia produuktif orang yang melakukan kegiatan aktif
tanpa menjaga kesehatan berisiko lebih mudah terserang tuberkulosis. Dewasa ini,
dengan terjadinya transisi demografi akan menyebabkan usia harapan hidup lansia
menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut atau lebih dari 55 tahun, system imunologis
seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit termasuk
penularan penyakit tuberculosis.
5. Jenis kelamin
Menurut WHO penyakit tuberculosis lebih banyak di derita oleh laki-laki dari pada
perempuan, hal ini dikarenakan pada laki-laki lebih banyak merokok dan minum
alcohol yang dapat menurunkan system pertahanan tubuh, sehingga wajar jika
perokok dan peminum beralkohol sering disebut agen dari penyakit tuberculosis paru.

G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Kultur sputum : Mikrobacterium Tuberkulosis positif pada tahap akhir penyakit.
2. Tes tuberkulin : Mantoux test reaksi positif (area indurasi 10-15 mm terjadi 48-72 jam )
3. Foto torak : Infiltrasi pada area paru atas
4. Bronchografi : untuk melihat kerusakan bronkus atau kerusakan paru karena TB paru.
5. Darah : peningkatan leukosit dan Laju Endap Darah (LED)
6. Spirometri : penurunan fungsi paru dan dengan kapasitas vital menurun.

H. Penatalaksanaan Pengobatan TB paru dan efek samping dari OAT


Penatalaksanaan Pengobatan TB paru dan efek samping dari OAT menurut Somantri
(2013), sebagai berikut :
1. Pengobatan TB paru
Pengobatan tuberculosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3) dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama
dan tambahan.
a. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah : Rifampisin, INH, Pirazinamid,
Streptomisin, Etambutol.
b. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)
c. Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari : Empat obat antituberkulosis dalam satu
tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan
etambutol 275 mg dan tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin
150 mg, isoniazid 75 mg dan pirazinamid 400 mg.
d. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) Kanamisin Kuinolon. Obat lain masih dalam
penelitian : makrolid, amoksilin + asam klavulanat, Derivat rifampisin dan INH.
2. Efek samping obat
Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping.
Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan
kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan dapat
diatasi dengan obat simtotatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.
a. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda –tanda keracunan pada syaraf tepi,
kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan
pemberian pridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B
kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah
menyerupai defisiensi pridoksin (syndrom pellagra). Efek samping berat dapat
berupa hepatitis yang dapat timbul kurang lebih 0,5% penderita. Bila terjadi
hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai
denganpedoman TB pada keadaan khusus.
b. Rifampisin
Efek samping ringan yag dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simtomatik ialah : Sindrom flu berupa demam, menggigil, dan nyeri tulang,
sindrom perut berupa sakit perut , mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang
diare dan sindrom kulit seperti gatal-gtal kemerahan. Efek samping yang berat tapi
jarang terjadi ialah : Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT
harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai dpedoman TB pada keadaan khusus,
purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari
gejala ini, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun
gejalanya telah menghilang. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak nafas.
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air
liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak
berbahaya. Hal ini harus diberikan kepada penderita agar dimengerti dan tidak
perlu khawatir.
c. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman
TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-
kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan
disebabkan berkurangnya eksresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang
terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
d. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian
keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi
bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali
seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu
setelah obat dihentikan. Sebaiknya etembutol tidak diberikan pada anak karena
risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi.
e. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat
seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur penderita).
I. Komplikasi
a. Hemomtisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan
kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan napas.
b. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial
c. Bronkiektasis (peleburan bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat
pada proses pemulihan atau reaktif ) pada paru.
DAFTAR PUSTAKA

Andani, S. 2014. Penatalaksanaan asuhan keperawatan pada pasien tb paru diruang penyakit
dalam rumah sakit 32 Jurnal Riset Hesti Medan, Vol. 4, No. 1, Juni 2019 umum
daerah kayu agung. Jurnal Keperawatan Bina Husada .Vol.1 No 1, diakses pada
tanggal 15 april 2018 (http.www.dinkes.go.id). (diakses pada tanggal 20 agustus 2020)
Smeltzer, Suzanne C & Brenda G Bare. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal- Bedah
Brunner & Suddarth edisi 12. Jakarta : EGC, diakses pada tangal 20 agustus 2020
Kemenkes RI. (2016). Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB anak. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI. Diakses pada tanggal 20 agustus 2020
(https://bit.ly/2CMPol)
Wijaya, A.S dan Putri, Y.M. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan Dewasa
Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika
DEPKES RI 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. 2014.
Danusantoso, H., 2012, Buku Saku Ilmu Penyakit Paru, Hipokrates, Jakarta.
Muttaqin, A. 2012. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
Jahja, Riwati. Etiologi dan Patofisiologi Tuberkulosis Paru. Alomedika, 2018. Diakses pda
tanggal 20 agustus 2020 (https://bit.ly/2CN1pYi)
Somantri, Irman. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.
Naga, Sholeh. S. 2013. Buku Panduan lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Jogjakarta: DIVA
Press.

Anda mungkin juga menyukai