Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tuberkulosis Paru

1. Definisi

Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

kuman dari kelompok Mycobacterium yaitu M. tuberculosis yang dapat

menyerang berbagai organ, terutama paru. (Ditjen PP&PL, 2014).

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis) sebagian besar kuman TB

menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lain. Kuman ini

berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam

pewarnaan, oleh karena itu disebut pula Basil Tahan Asam atau BTA

(Depkes RI, dalam PP&PL 2014).

2. Etiologi

TB paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh basil TBC

(Mycrobacterium Tuberculosi Humanis). Mycrobacterium tuberculosis

merupakan jenis kuman berbentuk batang berukuran sangat kecil dengan

panjang 1-4 μm dengan tebal 0,3-0,6 μm. Sebagian besar komponen

Mycrobacterium tuberculosis adalah berupa lemak atau lipid yang

menyebabkan kuman mampu bertahan terhadap asam serta zat kimia dan

faktor fisik. Kuman TBC bersifat aerob yang membutuhkan oksigen

untuk kelangsungan hidupnya. Mycrobacterium tuberculosis banyak

ditemukan di daerah yang memiliki kandungan oksigen tinggi. Daerah


tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit TB. Kuman

Mycrobacterium tuberculosis memiliki kemampuan tumbuh yang lambat,

koloni akan tampak setelah kurang dari dua minggu atau bahkan

terkadang setelah 6-8 minggu. Lingkungan hidup optimal pada suhu

37°C dan kelembaban 70%. Kuman tidak dapat tumbuh pada suhu 25°C

atau lebih dari 40°C (Widyanto & Triwibowo, 2013).

Mycrobacterium tuberculosis termasuk familie Mycrobacteria

Ceace yang mempunyai berbagai genus, satu diantaranya adalah

Mycrobacterium, yang salah satunya speciesnya adalah Mycrobacterium

tuberculosis. Basil TBC mempunyai dinding sel lipoid sehingga tahan

asam, sifat ini dimanfaatkan oleh Robert Koch untuk mewarnainya

secara khusus. Oleh karena itu, kuman ini disebut pula Basil Tahan Asam

(BTA). Basil TBC sangat rentan terhadap sinar matahari, sehingga dalam

beberapa menit saja akan mati. Ternyata kerentanan ini terutama

terhadap gelombang cahaya ultraviolet. Basil TBC juga rentan terhadap

panas-basah, sehingga dalam 2 menit saja basil TBC yang berada dalam

lingkungan basah sudah akan mati bila terkena air bersuhu 100°C. Basil

TBC juga akan terbunuh dalam beberapa menit bila terkena alkohol 70%

atau lisol 5% (Danusantoso,2013).

Kuman hidup didalam jaringan sebagai parasit intraseluler yakni

dalam sitoplasma makrofag. Sifat lain kuman tersebut adalah aerob. Sifat

ini menunjukan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi

kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian

apikal paru-paru lebih tinggi dari pada bagian lain, sehingga bagian
apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit Tuberkulosis (Depkes

RI, dalam PP&PL 2014)

3. Penyebaran

Beberpa spesies Mycobacterium yaitu : M. bovis, M. africanum, M.

microti, M. canetti dan M. tuberculosis umumnya bertransmisi ke

manusia melalui airborne (udara) (Department of Health, 2014). Sumber

penularan tuberkulosis adalah pasien TB paru dengan BTA positif yaitu

M. tuberculosis menyebar melalui droplet (percikan ludah) yang

infeksius ke udara pada saat batuk (sekitar 3.000 droplet), bersin (sekitar

1 juta droplet), berbicara atau bernyanyi (Wijaya, 2012; Ditjen PP&PL,

2014, Departement of Health, 2014), TB dengan hasil BTA positif 3

lebih infeksius dari BTA positif 1 (Departement of Health, 2014).

Droplet dapat juga diproduksi dari tindakan pemeriksaan seperti induksi

sputum, bronkoskopi, dan lesi jaringan (Departement of Health, 2014).

Droplet merupakan partikel kecil dengan diameter 1-5 μm berisi 1-

5 basil yang sangat infeksius dan di lingkungan tertutup droplet dapat

bertahan di udara sampai 4 jam (Departement of Health, 2014). Pasien

TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan

penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%,

pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan

pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto toraks negatif adalah 17%

(Ditjen PP&PL, 2014).

Transmisi TB biasanya terjadinya di dalam ruangan (indor), tempat

gelap, kurangnya ventilasi (Departement of Health, 2014) dan


dipengaruhi oleh jumlah basil dalam droplet, virulensi basil, paparan

basil terhadap sinar ultraviolet, konsentrasi basil di udara yang ditentukan

oleh volume ruangan dan ventilasi dan lama waktu pajanan menghirup

udara (aerosol) yang tercemar (Knechel, 2009). Sekali terinfeksi,

perkembangan menjadi untuk menjadi penyakit tergantung pada sistem

imun, dengan sistem imun normal, 90% tidak akan berlanjut menjadi

penyakit dan 10% dapat berkembang menjadi penyakit (Departement of

Health, 2014).

4. Patofisiologi

Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6-14 minggu setelah

infeksi akut. Setelah terpapar kuman TB ada empat keadaan yang bisa

terjadi yaitu pertama tidak terjadi infeksi (ditandai dengan tes tuberkulin

negatif), kedua terjadi infeksi kemudian menjadi TB yang aktif (TB

primer), ketiga menjadi TB laten dimana mekanisme imun mencegah

progresivitas penyakit menjadi TB aktif dan keempat menjadi TB laten

tetapi kemudian terjadi reaktivasi dan berkembang menjadi TB aktif

dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian. (Ditjen PP&PL,

2014).

TBC paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh basil TBC

(Mycrobacterium Tuberculosi Humanis). Karena ukurannya yang sangat

kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat

mencapai alveolus. Masuknya kuman TBC ini akan segera diatasi oleh

mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit

kuman TBC dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar


kuman TBC. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak

mampu menghancurkan kuman TBC dan kuman akan bereplikasi dalam

makrofag. Kuman TBC dalam makrofag yang terus berkembang biak,

akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama

koloni kuman TBC di jaringan paru disebut Fokus Primer. Waktu yang

diperlukan sejak masuknya kuman TBC hingga terbentuknya kompleks

primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TBC. Hal ini

berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu

waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala

penyakit. Masa inkubasi TBC biasanya berlangsung dalam waktu 4-8

minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi

tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah

yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler (Werdhani,

2012).

TBC primer adalah TBC yang terjadi pada seseorang yang belum

pernah kemasukan basil TBC. Bila orang ini mengalami infeksi oleh

basil TBC, walaupun segera difagositosis oleh makrofag, basil TBC tidak

akan mati. Dengan semikian basil TBC ini lalu dapat berkembang biak

secara leluasa dalam 2 minggu pertama di alveolus paru dengan

kecepatan 1 basil menjadi 2 basil setiap 20 jam, sehingga pada infeksi

oleh satu basil saja, setelah 2 minggu akan menjadi100.000 basil. TBC

sekunder adalah penyakit TBC yang baru timbul setelah lewat 5 tahun

sejak terjadinya infeksi primer. Kemungkinan suatu TBC primes yang

telah sembuh akan berkelanjutan menjadi TBC sekunder tidaklah besar,


diperkirakan hanya sekitar 10%. Sebaliknya juga suati reinfeksi endogen

dan eksogen, walaupun semula berhasil menyebabkan seseorang

menderita penyakit TBC sekunder, tidak selalu penyakitnya akan

berkelanjutan terus secara progresif dan berakhir dengan kematian. hal

ini terutama ditentukan oleh efektivitas sistem imunitas seluler di satu

pihak dan jumlah serta virulensi basil TBC di pihak lain. Walaupun

sudah sampai timbul TBC selama masih minimal, masih ada

kemungkinan bagi tubuh untuk menyembuhkan dirinya sendiri bila

sistem imunitas seluler masih berfungsi dengan baik. Jadi dapat

disimpulkan bahwa TBC pada anak-anak umumnya adalah TBC primer

sedangkan TBC pada orang dewasa adalah TBC sekunder (Danusantoso,

2013).

Kuman TBC menyebar melalui udara saat si penderita batuk,

bersin, berbicara, atau bernyanyi. Yang hebat, kuman ini dapat bertahan

di udara selama beberapa jam. Perlu diingat bahwa TBC tidak menular

melalui berjabat tangan dengan penderita TBC, berbagi

makanan/minuman, menyentuh seprai atau dudukan toilet, berbagi sikat

gigi, bahkan berciuman (Anindyajati, 2017). Lingkungan hidup yang

sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan yang kurang

memenuhi persyaratan kemungkinan besar telah mempermudah proses

penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TBC.

Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang

mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru


dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam

(BTA) (Sudoyo dkk, 2011)

5. Tanda dan Gejala

Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala

khusus yangtimbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara

klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit

untuk menegakkan diagnosa secara klinik (Werdhani, 2012).

a. Gejala sistemik atau umum:

1) Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan

darah)

2) Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya

dirasakan malam hari disertai keringat malam. Terkadang

serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul

3) Penurunan nafsu makan dan berat badan 4) Perasaan tidak enak

(malaise), lemah

b. Gejala khusus:

1) Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi

sumbatansebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru)

akibat penekanankelenjar getah bening yang membesar, akan

menimbulkan suara “mengi”,suara nafas melemah yang disertai

sesak.

2) Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru),

dapat disertai dengan keluhan sakit dada.


3) Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi

tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan

bermuara pada kulit diatasnya, pada muara ini akan keluar

cairan nanah.

4) Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak)

dandisebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya

adalah demamtinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-

kejang.

Keluhan-keluhan seorang penderita TBC sangat bervariasi,

mulai dari sama sekali tak ada keluhan sampai dengan adanya

keluhan-keluhan yang serba lengkap. Keluhan umum yang sering

terjadi adalah malaise (lemas), anorexia, mengurus dan cepat lelah.

Keluhan karena infeksi kronik adalah panas badan yang tak tinggi

(subfebril) dan keringat malam (keringat yang muncul pada jam-jam

02.30-05.00). Keluhan karena ada proses patologik di parudan/atau

pleura adalah batuk dengan atau tanpa dahak, batuk darah, sesak, dan

nyeri dada. Makin banyak keluhan-keluhan ini dirasakan, makin

besar kemungkinan TBC. Departemen Kesehatan dalam

pemberantasan TBC di Indonesia menentukan anamnesis resmi lima

keluhan utama yaitu batuk-batuk lama (lebih dari 2 minggu), batuk

darah, sesak, panas badan, dan nyeri dada (Danusantoso, 2013).

6. Diagnosis

Diagnosis tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakan

dengan ditemukannya BTA (Basil Tahan Asam) pada pemeriksaan dahak


secara mikroskopis selain tidak memerlukan biaya mahal, cepat, mudah

dilakukan dan akurat. Pemeriksaan mikroskopik merupakan teknologi

diagnostik yang paling sesuai karena mengidentifikasikan derajat

penularan. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua

dari tiga spesimen SPS (sewaktu-pagi-sewaktu) BTA hasilnya positif

(Depkes RI, dalam Ditjen PP&PL, 2014).

Foto toraks merupakan pemeriksaan penunjang pertama yang

membantu untuk menegakkan diagnosis TB paru, memonitor respon

pengobatan, dan membantu dalam menghambat penyebaran penyakit,

memberikan gambaran radiologis TB paru pada TB dengan BTA negatif

maupun BTA positif. Foto toraks dapat sebagai penyokong untuk

menegakkan diagnosis TB paru (Depkes RI, dalam Ditjen PP&PL,

2014).

7. Pencegahan dan Pengobatan

a. Pencegahan

1) Hindari saling berhadapan saat berbicara dengan penderita.

2) Cuci alat makan dengan desinfektan (misalnya : lysol, kreolin

dan lain-lain yang dapat diperoleh di apotik), atau jika tidak

yakin pisahkan alat makan penderita.

3) Olah raga teratur untuk menjaga daya tahan tubuh.

4) Memberikan penjelasan pada penderita untuk menutup mulut

dengan sapu tangan bila batuk serta tidak meludah atau

mengeluarkan dahak di sembarang tempat dan menyediakan

tempat ludah yang diberi lisol atau bahan lain yang dianjurkan
dan mengurangi aktivitas kerja serta menenangkan pikiran

(Depkes RI dalam PP&PL, 2014).

b. Pengobatan

1) Isoniasid (H)

Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh

kuman 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama

pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam

keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang.

Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB, sedangkan untuk

pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis

10 mg/kg BB.

2) Rifampisin (R)

Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi-dormant

(persister) yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniasid. Dosis 10

mg/kg BB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun

intermiten 3 kali seminggu.

3) Pirasinamid (Z)

Bersifat bakterisid, yang dapat membunuh kuman yang

berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang

dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan

intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg

BB.

4) Streptomisin (S)

Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15


mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali

seminggu digunakan dosis yang sama. Penderita berumur

sampai 60 tahun dosisnya 0,75g/hari, sedangkan untuk berumur

60 atau lebih diberikan 0,50g/hari.

5) Etambutol (E)

Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang

dianjurkan 15 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan

intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg BB

(Depkes RI dalam PP&PL, 2014).

B. Side Effect Pengobatan Tuberkulosis Paru

1. Definisi

Side effect atau efek samping adalah suatu dampak atau pengaruh

yang merugikan dan tidak diinginkan, yang timbul sebagai hasil dari

suatu pengobatan (dalam dosis terapi) atau intervensi lain seperti

pembedahan (Mercola, 2021).

Efek samping pengobatan adalah suatu pengaruh atau dampak

negatif ketika hal itu timbul sebagai efek sekunder dari efek terapi

utamanya. Jika efek itu muncul sebagai hasil dari dosis atau prosedur

yang tidak tepat maka disebut sebagai kesalahan medis. Efek samping

terkadang mengacu kepada Iatrogenik karena hal itu ditimbulkan oleh

pengobatan (Ramadhan, 2022).

Efek samping obat tuberkulostatik dapat dibagi menjadi efek

samping mayor dan minor. Jika timbul efek samping minor, maka
pengobatan dapat diteruskan dengan dosis biasa atau kadang-kadang

dosis perlu diturunkan, serta dapat diberikan pengobatan simptomatik.

Sedangkan jika timbul efek samping berat (mayor) maka pengobatan

harus dihentikan, pasien dengan efek samping mayor harus ditangani

pada pusat pelayanan khusus (BPOM RI, 2022).

2. Efek Samping Obat Tuberkulosis dan Penanganannya

a. Efek Samping Minor

Efek samping minor yang ditimbulkan OAT maka pengobatan

akan tetap diteruskan dan dilakukan pemeriksaan. Adapun efek

samping, kemungkinan penyebab dan penanganan pada efek

samping minor antara lain:

1) Anoreksia, mual, sakit perut; kemungkinan penyebab rifampisin,

penanganannya berikan obat pada malam hari sesudah makanan.

2) Nyeri sendi, kemungkinan penyebab Pirazinamid,

penanganannya aspirin.

3) Rasa panas di kaki, kemungkinan penyebab INH (isonicotinic

acid hydrazide), penanganannya berikan Piridoksin 100mg/hari.

4) Urin kemerahan, kemungkinan penyebab Rifampisin,

penanganannya Terangkan kepada pasien.

b. Efek Samping Mayor dan Penanganannya


Efek samping mayor yang ditimbulkan OAT maka obat

penyebab harus dihentikan. Adapun efek samping, kemungkinan

penyebab dan penanganan pada efek samping mayor antara lain:

1) Gatal-gatal, kemerahan di kulit. Kemungkinan penyebab

Tiasetazon, penanganannya hentikan obat.

2) Ketulian, kemungkinan penyebab Streptomisin, penanganannya

hentikan streptomisin, ganti dengan etambutol.

3) Pusing, vertigo. Nistagmus. Kemungkinan penyebab

Streptomisin, penanganannya hentikan streptomisin, ganti

dengan etambutol.

4) Ikterus (tanpa sebab lain), kemungkinan penyebab berbagai anti

TB, penanganannya hentikan anti TB

5) Muntah, bingung (kecurigaan gagal hati), kemungkinan

penyebab berbagai anti TB, penanganannya hentikan obat,

segera periksa fungsi hati dan waktu protrombin

6) Gangguan penglihatan, kemungkinan penyebab Etambutol,

penanganannya hentikan Etambutol

7) Syok, purpura, gagal ginjal akut. Kemungkinan penyebab

rifampisin, penanganannya hentikan rifampisin

Sedangkan menurut Bella (2022), efeksamping yang ditimbulkan

dari pengobatan berdasarkan jenis obatnya antara lain:

a. Efek samping isoniazid

Obat TBC isoniazid umumnya menyebabkan efek samping

berupa:
1) Kesemutan di tangan atau kaki

2) Tangan atau kaki terasa kebas

3) Sensai terbakar di tangan atau kaki

4) Kehilangan selera makan

5) Kelelahan

6) Rasa kantuk

7) Jerawat

b. Efek samping ethambutol

Beberapa efek samping obat TBC ethambutol meliputi:

1) Penurunan kualitas penglihatan

2) Sendi yang sakit atau bengkak

3) Gatal dan ruam pada kulit

4) Sakit kepala

c. Efek samping pirazinamid

Sementara itu, efek samping obat pirazinamid yang paling

umum meliputi:

1) Nyeri sendi

2) Sendi tampak bengkak dan kemerahan

3) Sendi terasa panas dan kaku

4) Kehilangan selera makan

d. Efek samping rifampisin

Beberapa efek samping obat TBC jenis rifampisin, yaitu:

1) Urine berwarna kemerahan

2) Mengigil
3) Kelelahan

4) Sakit kepala

5) Nyeri otot dan sendi

6) Pada wanita yang menggunakan kontrasepsi jenis pil KB dapat

mengurangi efektivitas pil KB.

Menurut Bella (2022) dengan mengetahui efek samping obat TBC,

penderita atau keluarga diharapkan bisa memantau kemungkinan

munculnya efek samping tersebut selama menjalani pengobatan. Selain

itu, efek yang ditimbulkan obat TBC tidak selalu sama pada setiap

penderitanya. Bila gejala efek samping muncul, pendeita atau keluarga

perlu memberi tahu tenaga medis yang merawat penderita. Tenaga medis

khususnya dokter akan memberikan obat-obatan untuk meredakan gejala,

menurunkan dosis obat antituberkulosis, atau menghentikan jenis obat

tertentu.

Penderita yang mengalami gejala ringan bisa tetap melanjutkan

pengobatan TBC sambil diberikan obat-obatan lainnya. Sebagai contoh,

gejala nyeri sendi bisa diatasi dengan obat antinyeri atau antiradang.

Sementara itu, keluhan kebas dan kesemutan akan diatasi dengan

pemberian vitamin B6 (Bella, 2022).

Meski jarang terjadi, beberapa penderita TB bisa mengalami gejala

berat maka penderita ini harus dihentikan pengobatan atau mengaganti

jenis obat (Bella, 2022).


C. Faktor yang Mempengaruhi Pemaparan Efek Samping Pengobatan

Tuberkulosis Paru

Menurut Ratnawati dkk (2018) faktor yang mempengaruhi timbulnya

efek samping pada penderita yang menjalani pengobatan TB paru diantaranya

yaitu:

1. Jenis Kelamin

Menurut Ratnawati dkk (2018) perempuan lebih berisiko

mengalami efek samping dari pengobatan TB paru dibanding laki-laki.

2. Usia

Menurut Ratnawati dkk (2018) usia >40 tahun berisiko terjadi efek

samping pengobatan TB paru khususnya gangguan pendengaran

dibanding dengan usia <40 tahun.

Bardien dkk (2009) juga menyatakan bahwa pemakaian OAT pada

usia tua merupakan salah satu faktor risiko timbulnya efek samping pada

penggunaan OAT jangka panjang.

Penelitian oleh Rakhmawati dkk (2015) menyatakan bahwa usia

merupakan faktor yang memengaruhi timbulnya efek samping OAT yaitu

gangguan pendengaran. Pertambahan usia berpengaruh pada proses

degenerasi sehingga pasien lanjut usia lebih rentan terjadi gangguan

pendengaran.

3. Berat Badan (IMT)

Sagwa dkk (2015) menyatakan berat badan rendah saat menjalani

pengobatan TB berpengaruh terhadap munculnya efek samping pada

pasien TB.
Penelitian Rinawati (2021) menyatakan bahwa pasien dengan IMT

awal underweight dan normal memiliki resiko mengalami efek samping

berat, sebesar 20 hingga 22,9%. Di lain sisi, pasien dengan IMT gemuk

atau pre obesitas justru memiliki resiko yang kecil terhadap kejadian efek

samping yang berat.

D. Kerangka Teori

Tuberkulosis Paru

Pengobatan

Isoniasid Rifampisin Pirasinamid Streptomisin Etambutol

Side Effect Pengobatan Tuberkulosis Paru

Side Effect Mayor :


Side Effect Minor : Gatal, kemerahan di kulit, ketulian,
Anoreksia, mual, sakit perut, nyeri
pusing, vertigo, nistagmus, ikterus,
sendi, rasa panas di kaki, urin muntah, bingung, gangguan penglihatan,
kemerahan Syok, HSP, gagal ginjal akut

Pengobatan diteruskan, Obat penyebab


dilakukan pemeriksaaan dihentikan

Jenis Kelamin Usia Berat Badan (IMT)


Gambar 2.1

Kerangka Teori

Sumber : Depkes RI dalam PP&PL, 2014; BPOM RI, 2022; Ratnawati dkk, 2018;

Badien dkk, 2009; Rakhmawati dkk, 2015; Sagwa dkk, 2015; Rinawati, 2021.

Anda mungkin juga menyukai