Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberlosis (TB) masih merupakan masalah penting bagi kesehatan karena
merupakan salah satu penyebab utama kematian. Diperkirakan sekitar sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Diperkirakan 95%
kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada negara-negara
berkembang. Data terbaru yang dikeluarkan WHO pada bulan Maret 2009 dalam
Global TB Control Report 2009, menunjukkan bahwa pada tahun 2008, prevalensi TB
dunia adalah 5-7 juta kasus, baik kasus baru maupun kasus relaps. Dari prevalensi ini,
2,7 juta diantaranya adalah kasus basil tahan asam (BTA) positif baru, dan 2,1 juta
kasus BTA (-) baru1.
Diberbagai negara insidens dan prevalensi tuberculosis berbeda, saat ini jumlah
penderita TB terbanyak di India 1.85 juta jiwa, di China 1,36 juta jiwa dan di
Indonesia sendiri

menduduki peringkat ketiga di dunia setelah India dan Cina.

Menurut WHO dalam Global TB Control Report (2009), prevalensi TB di Indonesia


pada tahun 2008 adalah 296.514 ribu kasus baru maupun relaps. Angka insidensi
kasus baru BTA positif TB di Indonesia berdasarkan hasil survei Depkes RI tahun
2007 pada 33 propinsi adalah 104 per 100.000 penduduk. Diperkirakan jumlah pasien
TB di Indonesia sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Menurut laporan
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2007 dalam Depkes RI (2009),
menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor dua setelah
penyakit kardiovaskuler (stroke) pada semua kelompok usia, dan nomor satu dari

golongan penyakit infeksi. Pada tahun 2008, angka temuan kasus baru (Case
Detection Rate/CDR) di Indonesia sebesar 72,8% atau didapati 166.376 penderita
baru dengan BTA positif. Penyebab paling penting peningkatan TB adalah
kemiskinan, ketidak patuhan terhadap program, diagnosis dan pengobatan yang tidak
adekuat, migrasi, endemic Human Immunodefisiency Virus (HIV), dan resistensi
ganda (Multi DrugResistance/MDR).1,2,3,4
Di Sulawesi Selatan, menurut laporan Subdin P2 & PL Dinkes Prov. Sulsel,
sampai dengan triwulan IV tahun 2004, Case Detection Rate (CDR) sebesar 69,5%
(target 60%), Conversion rate 93% (target 60%), jumlah suspek sebanyak 60.196
orang, kasus baru sebanyak 1.868 orang, yang kambuh 48 kasus dan penderita yang
diobati sebanyak 8.722 orang. Bila dibandingkan dengan tahun 2003 pada periode
yang sama terjadi peningkatan baik jumlah suspek, kasus baru, kambuh dan penderita
yang diobati. Keadaan tersebut disebabkan karena adanya kegitan sosialisasi, peran
serta lintas program dan lintas sector dalam pemberantasan penyakit ini. Di kota
Makassar tercatat pada tahun 2006 BTA positif sebanyak 6.902 penderita dan di tahun
2007 tercatat BTA positif sebanyak 6.659 penderita, sedangkan pada tahun 2008 dari
hasil pengumpulan data profil kasehatan tercatat BTA posif jumlahnya menurun yaitu
4.856 penderita dan kabupaten/kota yang tertinggi masih di kota Makassar.5
Salah satu alasan bagi peneliti ingin melakukan penelitian ini karena jumlah
penderita TB di kota Makassar khususnya di kabupaten Sidrap masih tinggi begitu
juga dengan angka kematian yang masih tinggi, maka penulis perlu melakukan
penelitian mengenai karakteristik pasien TB Paru di Sidrap khususnya di Puskesmas
Pangkajene pada periode Juni-Agustus 2016.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan maka diperlukan pengetahuan yang
lebih, maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut karakteristik
penderita TB di Puskesmas Pangkajene pada periode Juni-Agustus 2016.
1.3

Tujuan Penelitian

1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui karakteristik penderita TB di Puskesmas Pangkajene pada
periode Juni - Agustus 2016.
2

Tujuan Khusus

Untuk mendapatkan gambaran mengenai karakteristik TB Paru di

Puskesmas Pangkajene ditinjau dari jenis kelamin


Untuk mendapatkan gambaran mengenai karakteristik TB Paru di

Puskesmas Pangkajene ditinjau dari umur


Untuk mendapatkan gambaran mengenai karakteristik TB Paru di

Puskesmas Pangkajene ditinjau dari kategori pengobatan


Untuk mendapatkan gambaran mengenai karakteristik TB Paru di

Puskesmas Pangkajene ditinjau dari riwayat pengobatan OAT


Untuk mendapatkan gambaran mengenai karakteristik TB Paru di

Puskesmas Pangkajene ditinjau dari Sputum BTA 3x


1.4 Manfaat Penelitian
1 Manfaat Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan masukan bagi instansi terkait dalam menentukan kebijakan di
bidang kesehatan.
2

Manfaat Bagi Institusi

Sebagai bahan masukan bagi institusi digunakan dalam pengembangan program


pendidikan sehingga dapat memberikan pelayanan yang aktual dan profesional
pada masyarakat.
Sebagai bahan bacaan atau sumber informasi yang diharapkan dapat memberi
3

sumbangan pada penelitian selanjutnya.


Manfaat Bagi Peneliti
Merupakan pengalaman berharga dalam memperluas wawasan dan pengetahuan
dalam rangka penerapan ilmu pengetahuan yang diperoleh.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Tuberkulosis merupakan suatu penyakit
granulomatosa kronis menular dimana biasanya bagian tengah granuloma tuberkular
mengalami nekrosis perkijuan3,6,7.
2.2 Epidemiologi
Indonesia sekarang berada pada ranking kelima Negara dengan beban TB
tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus

adalah sebesar 660,000

(WHO, 2010) dan estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah
kematian akibat TB diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya.8
Penderita TB paru banyak ditemukan pada usia produktif 15-49 tahun dan
berdasarkan beberapa penelitian didapatkan bahwa jumlah penderita laki-laki
ditemukan lebih banyak dibandingkan perempuan. Pada laki-laki lebih tinggi aktivitas
fisik diluar, gaya hidup seperti merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat
menurunkan system pertahanan tubuh, dan lebih mudah dipaparkan dengan agen
penyebab TB Paru.9

2.3 Faktor Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis


Adapun beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kejadian tuberkulosis paru
adalah:
a. Umur
Insidensi tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai pada usia dewasa muda,
pada usia produktif, yaitu umur 15 44 tahun. Berdasarkan penelitian terdapat
suatu efek dosis respon, yaitu semakin tua umur akan meningkatkan risiko
menderita tuberculosis dengan odds rasio pada usia 25-34 tahun adalah 1, 36
dan odds rasio pada kelompok umur > 55 tahun adalah 4,08. Di Indonesia
sendiri diperkirakan 75% penderita TB paru adalah kelompok usia produktif .
Usia yang lebih tua, melebihi 60 tahun, memiliki 4-5 kali risiko terinfeksi
tuberkulosis, karena adanya defisit imun seiring dengan bertambahnya umur.
Namun, berdasarkan penelitian meta analisis tidak ada perbedaan gejala klinis
dan evaluasi diagnostik pada penderita TB dengan usia tua (>60tahun) dan
penderita TB dengan usia muda.3,10,11
b. Jenis Kelamin
Hampir tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan sampai pada umur
pubertas. Namun, menurut penelitian menunjukkan bahwa laki-laki mempunyai
risiko 2,58 kali untuk menderita tuberkulosis dibandingkan dengan wanita.
Mungkin hal ini berhubungan interaksi sosial. Walaupun insisden tuberkulosis
paru pada wanita lebih rendah dari pada pria, perkembangan infeksi TB paru
menjadi penyakit TB paru pada wanita lebih cepat dibandingkan dengan
pria.9,12.
c. Gizi

Terdapat bukti yang jelas bahwa gizi buruk mengurangi daya tahan tubuh
terhadap penyakit tuberkulosis. Faktor ini sangat penting, baik pada orang
dewasa maupun pada anak. orang yang menkonsumsi vitamin C lebih dari 90
mg/hari dan mengkonsumsi lebih dari rata-rata jumlah sayuran, buah-buahan,
dan berry, secara signifikan dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit
tuberculosis.10,13

d. Kondisi Lingkungan Rumah


Beberapa hal yang mempengaruhi kondisi lingkungan rumah dalam risiko
kejadian infeksi tuberkulosis adalah kepadatan rumah, intensitas cahaya yang
masuk, dan kelembapan udara.
Persentase rumah tangga di Indonesia yang masih tinggal di rumah yang padat
pada tahun 2004 adalah sebesar 20%, orang yang tinggal dengan tingkat
kepadatan yang tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko 3,8 kali
untuk menderita tuberkulosis dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan
kepadatan hunian yang memenuhi syarat kesehatan. luas lantai yang dibutuhkan
oleh 1 orang adalah 8,3 m2. Intensitas cahaya yang alami, yaitu sinar matahari,
sangat berperan dalam penularan kuman TB karena kuman TB relatif tidak
tahan terhadap terhadap sinar matahari. Rumah yang tidak masuk sinar matahari
mempunyai risiko 3,7 kali untuk menularkan tuberkulosis dibandingkan dengan
rumah yang tidak dimasuki sinar matahari. Kelembapan udara mempengaruhi
pertumbuhan bakteri. kelembapan udara dipengaruhi oleh ventilasi yang baik,
yaitu minimal 10% dari luas lantai. Rumah yang memiliki kelembapan lebih

dari 60% memiliki risiko terkena infeksi tuberculosis 10,7 kali dibandingkan
dengan rumah yang kelembapannya lebih kecil dari 60%.3,10,13
e. Pendidikan
Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perilaku kesehatan individu atau
masyarakat dan perilaku terhadap penggunaan/sarana pelayanan kesehatan yang
tersedia. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memanfaatkan pelayanan
kesehatan yang lebih tinggi. Proporsi kejadian TB lebih banyak terjadi pada
kelompok yang mempunyai pendidikan yang rendah, dimana kelompok ini
lebih banyak mencari pengobatan tradisional dibandingkan pelayanan medis.13
f. Pendapatan Keluarga
Pendapatan keluarga merupakan hal yang sangat penting dalam upaya
pencegahan penyakit, karena dengan pendapatan yang cukup maka akan ada
kemampuan menyediakan biaya kesehatan serta mampu menciptakan
lingkungan rumah yang sehat dan makanan yang bergizi. Kemiskinan
memudahkan infeksi tuberkulosis berkembang menjadi penyakit tuberkulosis.
Sembilan puluh persen penderita TB terjadi pada penduduk dengan status
ekonomi rendah dan umumnya terjadi pada negara berkembang termasuk
Indonesia. Orang yang memiliki penghasilan yang rendah memilki risiko 2,4
kali untuk menderita penyakit TB dibandingkan dengan orang yang memiliki
penghasilan yang tinggi.10,13
g. Riwayat Penyakit Penyerta
Beberapa penyakit penyerta tertentu rentan tertular penyakit tuberculosis seperti
penderita penyakit HIV/AIDS, hepatitis akut, kelainan hati kronik, gangguan
ginjal, diabetes melitus, dan penderita pengguna kortikosteroid. Penelitian yang
dilakukan mendapatkan bahwa dari 733 penderita TB paru, penderita juga
menderita diabetes melitus 11,7 %, hipertensi 9,28%, kelainan hati 2,7%,

kelainan jantung 1,9%, kelainan ginjal 0,9% dan struma 0,4%. Penderita
diabetes melitus memiliki risiko 2-3 kali lebih sering untuk terkena penyakit
tuberkulosis paru. Efek hiperglikemi pada penderita diabetes mellitus sangat
berperan terhadap mudahnya pasien diabetes melitus terkena infeksi. Pada
penderita TB paru dengan diabetes mellitus, kepekaan terhadap kuman TB
meningkat, reaktifitas fokus infeksi lama, cenderung lebih banyak kavitas dan
pada hapusan serta kultur sputum lebih banyak positif. Selain itu, pasien dengan
TB dengan diabetes melitus memiliki respon yang rendah terhadap pengobatan
OAT dan sering terjadi multi-drug resistant. Meningkatnya prevalensi
HIV/AIDS di Indonesia membawa dampak peningkatan insidens TB serta
masalah TB lainnya, seperti TB milier, TB ekstraparu, serta MDR-TB.
Adanya imunokompromais pada penderita HIV/AIDS menyebabkan mudahnya
penderita tersebut terinfeksi kuman TB dan cepatnya perkembangan infeksi TB
2.4

menjadi penyakit TB3,10,11.


Etiologi
Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman

berbentuk basil Dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Pada media
buatan, bentuk kokoid dan filamentous tampak bervariasi dari satu spesies ke spesies
lain. Mikobakteria tidak dapat dikelompokkan sebagai gram positif. Segera setelah
diwarnai dengan pencelup dasar mereka tidak dapat didekolorasi oleh alcohol, tanpa
memperhatikan pengobatan dengan iodine.15
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan
kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan atas
peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadi infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis
bisanya secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi yang paling sering

dibanding organ lain. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil
yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan
batuk darah atau berdahak yang mengandung Basil Tahan Asam (BTA). Sebagian
besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid). Kuman dapat tahan hidup pada
udara kering maupun dalam keadaan dingin. Hal ini terjadi karena kuman berada
dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan
menjadikan penyakit tuberculosis menjadi aktif lagi.14,15

2.5

Cara Penularan
Sumber penularan infeksi Mycobacterium tuberculosis adalah pasien TB dengan

BTA positif. Penularan ini terjadi secara inhalasi, yaitu bila pasien tersebut batuk atau
bersin, pasien akan menyebarkan kuman udara dalam bentuk percikan dahak
(dropletnuclei). Sekali penderita TB BTA (+) batuk, akan dapat menghasilkan sekitar
3000 percikan dahak3.
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Percikan ini dapat bertahan selama beberapa jam dalam
keadaan ruangan yang gelap dan lembab. Sedangkan ventilasi yang baik, akan dapat
mengurangi jumlah percikan, dan sinar matahari langsung dapat membunuh kuman
TB15.
2.6

Patogenesis

2.6.1 Tuberkulosis Primer


Tuberkulosis primer merupakan bentuk penyakit yang terjadi pada orang yang
belum pernah terpajan kuman TB, dengan sumber organisme adalah eksogen. Tiga

10

ribu droplet nuclei akan dikeluarkan oleh pasien TB dengan BTA (+) yang sedang
batuk dan berbicara selama 5 menit. Droplet nuclei ini dapat terinhalasi oleh orangorang yang ada disekitar penderita ini, sampai kejauhan sekitar 3m. Satu droplet
nuclei mengandung 3 basil

tuberculosis. Ukuran basil tuberkulosis yang kecil

(<5m), kuman TB yang ada dalam droplet nuclei yang terhirup, dapat menembus
sistem mukosilier saluran napas sehingga dapat mencapai dan bersarang di bronkus
dan alveoli. Oleh karena itu, paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus
infeksi TB. Infeksi tuberkulosis dimulai saat kuman TB sudah memasuki alveolus.
Pertama kali, kuman akan menghadapi neutrofil yang mengontrol penyebaran infeksi
melalui produksi kemokin yang merupakan faktor kemotaktik, menginduksi
pembentukan granuloma, dan mengarahkan molekul mikrobakteria ke makrofag.
Kebanyakan partikel ini akanmati atau dibersihkan oleh makrofag, keluar dari
percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya. Sebagian kuman
TB dapat bertahan hidup dengan cara menghambat pembentukan enzim-enzim
pencernaan makrofag7,14,15.
Fase terdini pada tuberkulosis primer (<3 minggu) pada orang yang belum
tersensitisasi ditandai dengan proliferasi basil tanpa hambatan di dalam makrofag
alveolus dan rongga udara. Pada tahap ini, sebagian besar pasien asimptomatik atau
mengalami gejala seperti flu. Kuman yang bersarang di jaringan paru ini akan
membentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau fokus
Ghon. Fokus Ghon merupakan suatu daerah konsolidasi peradangan abu-abu putih
sebesar 1-1,5 cm.7,15
2.6.2 Tuberkulosis Sekunder

11

Tuberkulosis sekunder adalah pola penyakit yang berkembang pada host yang
dahulunya sudah tersensitisasi. Biasanya (90%) dihasilkan dari reaktivasi (reinfeksi)
lesi primer dorman setelah beberapa dekade. Tuberkulosis sekunder terjadi karena
imunitas yang menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS
dan gagal ginjal. Lokasinya biasanya pada bagian apeks dari satu atau kedua lobus
paru, dimana berkaitan dengan tingginya tegangan oksigen di apeks sehingga
membantu kuman TB untuk tumbuh dengan baik. Sarang dini dapat menjadi beberapa
hal, tergantung dari jumlah kuman, virulensinya, dan imunitas pasien, sarang dini
dapat menjadi:7,10,15
1. Direabsorbsi kembali tanpa meninggalkan cacat.
2. Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera sembuh dengan serbukan jaringan
fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran.
Sarang dini meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan
ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek dan
membentuk suatu jaringan perkejuan (nekrosis kaseosa). Bila jaringan dibatukkan
keluar, maka akan terbentuk kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lamalama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblast dalam jumlah besar,
sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Secara keseluruhan akan terdapat 3
macam sarang, yakni15.
1. Sarang yang sudah sembuh. Sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi.
2. Sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu pengobatan yang lengkap dan
sempurna.

12

3. Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang bentuk ini dapat sembuh
spontan, tetapi mengingat kemungkinan terjadinya eksaserbasi, sebaiknya diberi
pengobatan yang lengkap dan sempurna.
2.7 Klasifikasi Tuberkulosis Paru
Terdapat beberapa klasifikasi TB paru, yaitu16
2.7.1 Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
1.

Tuberkulosis paru BTA (+), yaitu:


a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif.
b. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan
radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
c. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan
positif.
2. Tuberkulosis paru BTA (-), yaitu:
a. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan
kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif.
b. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
M.tuberculosis positif.

2.7.2 Berdasarkan tipe pasien


Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe pasien yaitu:
a. Kasus baru
yaitu pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah
pernah enelan OAT kurang dari 1 bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Yaitu pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan
positif.

13

c. Kasus defaulted atau drop out


Yaitu pasien yang telah menjalani pengobatan 1 bulan dan tidak mengambil
obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal
Yaitu pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif
pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir
pengobatan.
e. Kasus kronik
Yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang dengan kategori 2 dan dengan pengawasan yang baik.

f. Kasus Bekas TB
1. Hasil pemeriksaan BTA negatif dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi
TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap.
Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.
2. Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan
2.8

gambaran radiologi
Diagnosis Tuberkulosis Paru
Diagnosis tuberkulosis dapat

ditegakkan

berdasarkan

gejala

klinis,

pemeriksaanfisik, pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan


penunjang.
2.8.1 Gejala Klinis

14

Gejala klinis dari tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik dan gejala sistemik.
A.
1.
2.
3.
4.

Gejala Respiratorik
Batuk 2 minggu
Batuk darah
Sesak napas
Nyeri dada, timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura.
Gejala respiratorik sangat bervariasi, mulai dari tidak ada gejala sampai

gejalayang cukup berat, tergantung dari luas lesi16.


B.

Gejala Sistemik

1. Demam
2. Gejala sistemik lain seperti malaise, keringat malam, anoreksia, gangguan
menstruasi dan berat badan menurun.15,16
2.8.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan
pucatnya konjungtiva mata atau kulit pucat karena anemia, suhu demam subfebril,
badan kurus atau berat badan menurun. Tempat kelainan lesi tuberkulosis paru yang
paling dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak
luas maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan
ditemukan juga suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Tetapi
bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi vesikular
melemah. Pada keadaan konsolidasi dan fibrosis meningkatkan penghantaran getaran
sehingga pada palpasi didapati stem frenitus meningkat serta pada auskultasi suara
napas menjadi bronkovesikuler atau bronkhial. Bila tuberkulosis mengenai pleura,
sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit akan terlihat tertinggal dalam

15

pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi memberikan suara lemah


sampai tidak terdengar sama sekali15,17.
2.8.3 Pemeriksaan Bakteriologik
Pemeriksaan

dahak

berfungsi

untuk

menegakkan

diagnosis,

menilai

keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak


untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-PagiSewaktu (SPS). Untuk pemeriksaan Tuberkulosis WHO memberikan syarat
pengumpulan sampel dahak minimal 3 kali dengan rumus S-P-S yaitu Sewaktu Pagi
Sewaktu dan dikumpulkan dalam waktu 2 hari. Sewaktu (hari ke1) dahak
dikeluarkan saat berkunjung ke klinik, kemudian akan diberi pot dahak saat pulang
untuk pagi hari berikutnya. Pagi (hari ke2) mengumpulkan dahak segera setelah
bangun tidur dan bawa ke lab. Sewaktu (hari ke3) kumpulkan specimen ke3 di lab
saat kembali ke lab di hari ke2 dengan membawa dahak pagi. Pembacaan hasil
pemeriksaan sediaan dahak dilakukan dengan menggunakan skala International Union
Against Tuberculosis (IUAT). Pemeriksaan sputum untuk Basil Tahan Asam biasanya
dilakukan pemeriksaan terhadap sputum sewaktu, sputum pagi dan sputum sewaktu
(SPS). Hasil yang positif ditandai dengan sekurang kurangnya 2 dari 3 spesimen
sputum sewaktu, pagi, sewaktu adalah positif ditemukannya Basil Tahan Asam
(BTA). Pemeriksaan mikrokopis BTA ini digunakan untuk membantu diagnosis
penyakit tuberculosis. Metode yang dipakai biasanya dengan pengecatan langsung
(metode pewarnaan Ziehl Nelsen), dan metode penghitungan BTA dengan skala IUAT

16

(Intrenational Union Against Tuberculosis) yaitu dalam 100 lapang pandang tidak
ditemukan BTA disebut negatif. Ditemukan :
a.
b.
c.
d.

1-9 BTA dalam 100 lapangan pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan.
10-99 BTA dalam 100 lapangan pandang disebut + atau (1+).
1-10 BTA dalam 1 lapangan pandang disebut ++ atau (2+).
>10 BTA dalam 1 lapangan pandang disebut +++ atau (3+).
Penulisan gradasi hasil bacaan penting, untuk menunjuk keparahan penyakit dan

tingkat penularan penderita. Kekurangan dari pemeriksaan sputum adalah apabila


sampel yang dikirim terlalu sedikit maka hasil yang didapat bisa menimbulkan negatif
palsu. Selain itu syarat lain dari pemeriksaan sputum yaitu harus mukopurulen,
kuning kehijauan, lekosit >25 / LPB dan epitel <10 /LPB. Pemeriksaan bakteriologik
dari spesimen dahak dan bahan lainnya (cairan pleura, CSF, bilasan bronkus, bilasan
lambung, urin, feses, dan jaringan biopsy) dapat dilakukan dengan cara mikroskopis
dan biakan3,16.

2.8.4 Pemeriksaan Radiologi


Pemeriksaan radiologi adalah pemeriksaan yang sensitif tapi tidak spesifik
untuk mendiagnosa suatu tuberkulosis aktif18. Beberapa pembagian kelainan yang
dapat digunakan pada foto Rontgen adalah:19
1. Sarang berbentuk awan dengan densitas rendah atau sedang dan batas tidak
tegas. Sarang-sarang seperti ini biasanya menunjukkan bahwa proses aktif.

17

2. Lubang (kavitas) selalu berarti proses aktif kecuali bila lubang sudah sangat
kecil yang dinamakan lubang sisa (residual cavity).
3. Sarang seperti garis-garis (fibrotik) atau bintik-bintik kapur yang menunjukkan
bahwa proses telah tenang.
2.9

Pengobatan Tuberkulosis Paru


Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,

mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya


resistensi kuman terhadap OAT.3
2.9.1 Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut2.
1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan10. Pemakaian
OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT KDT) lebih menguntungkan dan sangat
dianjurkan.
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Adapun tahap dalam pengobatan TB:18
a. Tahap Intensif (2-3 bulan)
1. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
2. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
3. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam2
bulan.

18

4. Obat yang diberikan ada 4 jenis obat, yaitu isoniazid, rifampisin,


pirazinamide,dan etambutol (HRZE).
b. Tahap Lanjutan (4-7 bulan)
1. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama.
2. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan.
3. Obat-obatan yang diberikan adalah isoniazid dan rifampisin (HR).
2.9.2 Panduan Obat Antituberkulosis (OAT)
Pengobatan tuberkulosis dapat dibagi menjadi beberapa bagian, sesuai dengan
Kategorinya16.
1.

Kategori 1
a. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks terdapat lesi luas.
b. Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZE/4 RH atau 2 RHZE/6 HE atau
2RHZE/4R3H3

2.

Kategori 2

a.

TB paru kasus kambuh. Panduan obat yang dianjurkan :

1.
2.

RHZES/1 RHZE sebelum ada hasil uji resistensi.


Bila hasil uji resistensi telah ada, berikan obat sesuai dengan hasil uji resistensi.

b.

TB Paru kasus gagal pengobatan. Panduan obat yang dianjurkan adalah:


1. Obat lini 2 sebelum ada hasil uji resistensi (contoh: 3-6 bulan kanamisin,
ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid,
sikloserin).
2. Dalam keadaan

tidak

memungkinkan

fase

awal

dapat

diberikan

RHZES/1RHZE.
3. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi.
4. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi, dapat diberikan 5 RHE.
C. TB Paru kasus putus berobat.

19

1.
a.

Berobat 4 bulan
BTA saat ini negatif. Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka
pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis
lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga
kemungkinan panyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai
dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan

b.
2.

yang lebih lama (2 RHZES / 1 RHZE / 5R3H3E3).


BTA saat ini positif. Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang
lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
Berobat 4 bulan
a. Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih
kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES / 1RHZE /
5R3H3E3).
b. Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif, pengobatan diteruskan.

3.

Kategori 3

a.

TB paru (kasus baru), BTA negatif atau pada foto toraks terdapat lesi minimal.

b.

Paduan obat yang diberikan adalah 2 RHZE / 4 R3H3

4.

Kategori 4

a.

TB Paru kasus kronik. Paduan obat yang dianjurkan:

1.

Bila belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES.

2.

Bila telah ada hasil uji resistensi, berikan sesuai hasil uji resistensi (minimal
OAT yang sensitif ditambah obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan).

b.

MDR-TB, paduan obat yang dianjurkan sesuai dengan uji resistensi ditambah
OAT lini 2 atau H seumur hidup.

2.9.3 Multi-Drug Resistant (MDR)

20

Multi-drug resistant tuberculosis adalah resistensi obat terhadap obat anti


tuberkulosis (OAT) isoniazid dan rifampisin, dengan atau tanpa resistensi terhadap
OAT lainnya MDR-TB menyebabkan penyakit TB paru menjadi sangat fatal dan
mematikan, (terutama terjadi pada pasien TB dengan HIV), dengan perkiraan
terjadinya kematian 2-7 bulan setelah terinfeksi. MDR-TB dapat dibagi menjadi dua
tipe, yaitu primary dan acquired. Tipe primary disebabkan karena penderita tidak
diobati dengan OAT sebelumnya, sedangkan tipe acquired disebabkan karena adanya
pengobatan kemoterapi pada penderita TB paru. Terdapat tiga faktor risiko penting
yang mempengaruhi kejadian MDR-TB, yaitu:20
a. pengobatan dengan OAT yang tidak sesuai
b. pengobatan dengan OAT yang tidak lengkap
c. adanya kontak dengan komunitas penderita TB yang memiliki prevalensi
resistensi obat yang tinggi.
Faktor risiko lain yang berperan adalah ko-infeksi HIV, sosioekonomi rendah,
hidup

di

penjara,

penyalahgunaan

obat

intravena,

dan

keadaan-keadaan

imunokompromais seperti pasien tranplantasi, pasien dengan terapi anti-kanker,


HIV/AIDS, dan diabetes mellitus20.
Pengobatan dengan OAT yang lengkap (kombinasi isoniazid, rifampisin,
pirazinamid, dan etambutol) selama 6-9 bulan adalah salah satu pencegahan yang
utama MDR-TB. Bila MDR-TB telah terjadi, maka penatalaksanaan yang harus
dilakukan adalah memberikan OAT lini kedua seperti levofloksasin, aminoglikosida,
pirazinamid, etambutol, dan tioamida untuk jangka waktu yang lama, yaitu 18-24
bulan, dengan efek samping yang lebih lama dan biaya yang lebih mahal20.
2.10 Dasar pemikiran Variabel

21

Faktor-faktor penularan/infeksi penyakit TB merupakan variable-variabel yang


saling berhubungan. Berdasarkan kepustakaan dan penelitian sebelumnya, factorfaktor yang berhubungan dengan insiden terjadinya TB menurut umur,jenis kelamin,

pekerjaan, sputum BTA, kategori penderita, riwayat kontak, dan riwayat pengobatan.
Pada penelitian kali ini, variable yang akan diteliti meliputi :
Jenis kelamin
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya dimana angka penderita TB pada
2

laki-laki lebih banyak jumlahnya dibandingkan perempuan.


Umur
Terdapat kecenderungan penderita TB paru lebih sering ditemukan pada usia

produktif yaitu 15 49.


Pekerjaan
Pekerjaan merupakan salah satu kriteria yang berhubungan dengan keadaan
social masyarakat. Disini sangat erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian,
lingkungan perumahan ,lingkungan dan sanitasi tempat bekerja yang buruk
dapat memudahkan penularan TB. Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan
penularan TB, karena pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat hidup
layak dengan memenuhi syarat-syarat kesehatan dan tidak dapat mengakses
fasilitas kesehatan yang memadai, hal ini yang menyebabkan meluasnya

penularan TB.
Kategori penderita
Tingginya angka kejadian TB dengan kasus baru menyebabkan tingginya
kategori I dan III, hal ini dapat dilihat berdasarkan derajat berat ringannya

gejala klinis.
Riwayat Pengobatan OAT
Kasus TB yang pernah mendapat riwayat pengobatan OAT sebelumnya,

biasanya digolongkan dalam kategori II.


Sputum BTA 3X
Pemeriksaan sputum BTA menjadi diagnosis pasti dalam mendiagnosis TB.
Namun tidak menutup kemungkinan pemeriksaan sputum dengan BTA (-) juga

22

dapat didiagnosis sebagai penderita TB melihat gejala klinis dan hasil


pemeriksaan radiologi.
2.11 Kerangka Teori
Mengacu dari tinjauan teori tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
penyakit TB paru dan teori dari Achmadi (2008), tentang paradigma kesehatan
lingkungan dengan teori simpulnya, terjadinya penyakit TB paru pada manusia
dimulai dari bibit penyakit yang berasal dari sumbernya (simpul 1) yaitu bakteri
Mycobacterium tuberculosis selanjutnya media penularan melalui media transmisi
udara dalam rumah (simpul 2) yang dipengaruhi factor risiko lingkungan, bakteri
Mycobacterium tuberculosis akan masuk ke dalam tubuh manusia (simpul 3) yang
rentan, hingga akhirnya dapat menyebabkan penyakit TB paru. Sedangkan faktor lain
yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit TB paru adalah pelayanan kesehatan.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada kerangka teori di bawah ini:

sumber

Media

Manusia

Bakteri
Mycobacterium
Tuberculosis

Udara dalam
rumah

Umur
Tingkat
Pendidikan
- Upaya
Pencegahan
Penyakit
-Upaya
Sarana Pelayanan Kesehatan
Pengendalian
Penyakit

Dampak

Penderita TB
paru:
- BTA (+)
-BTA (-)

BAB III

23

METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yaitu melakukan deskripsi
mengenai karakteristik penderita TB Paru di Puskesmas Pangkajene periode Juni
Agustus 2016.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di RS.Ibnu sina Jl. Urip Sumiharjo km 05 Makassar.
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian terhitung dari Juni-Agustus 2016
3.3 Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua pasien yang
terdiagnosis TB Paru di Puskesmas Pangkajene periode Juni Agustus 2016.
2. Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua pasien yang
terdiagnosis TB Paru di Puskesmas Pangkajene periode Juni Agustus 2016.
3. Teknik Sampling
Teknik pengambilan sampel yang dilakukan adalah total sampling. Yakni
mengambil seluruh anggota populasi yang memenuhi kriteria sampel untuk dijadikan
sampel penelitian

3.4

Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif

a.

Penderita TB

24

Yang dimaksud penderita TB adalah penderita yang datang berobat di


Puskesmas Pangkajene, dan diagnosis sebagai TB paru oleh dokter berdasarkan gejala
klinik, pemeriksaan fisis, pemeriksaan radiologi, ataupun pemeriksaan BTA.
b.

Jenis kelamin
Jenis kelamin adalah perbedaan biologis dan fisiologis, keadaan fisik tertentu

juga kromosom dan genetika yang menentukan jenis kelamin seorang laki-laki atau
perempuan.Jenis kelamin bersifat biologis sesuatu yang dibawa sejak lahir sehingga
tidak bisa diubah.
Kriteria objektif :
1. Laki-laki
2. Perempuan
c.

Umur
Umur adalah usia responden pada saat dilakukan penelitian yang dihitung

berdasarkan kelahiran (dalam tahun)


Kriteria objektif :
1. <20 tahun
2. 21 60 tahun
3. >60 tahun
d.

Kategori penderita
1.

Kategori I

: a. kasus baru dengan sputum positif


b. kasus baru dengan bentuk TB berat

2.

Kategori II

: a. kasus kambuh
b. kasus gagal dengan sputum BTA positif

25

3.

Kategori III

: a. kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang


tidak luas
b. kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut
dalam kategori I

4.
e.

Kategori IV

: TB kronik

Riwayat Pengobatan OAT


Riwayat pengobatan adalah penderita yang sebelumnya atau sementara

mendapatkan terapi spesifik TB


Kriteria Objektif :
1. Pernah, apabila pernah atau sementara mendapatkan terapi spesifik TB
2. Tidak pernah, apabila tidak pernah mendapat terapi spesifik TB
f.

Sputum BTA 3x
Sputum BTA 3x adalah hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan,

dengan menggunakan pewarnaan Ziehl-Nielsen, dilakukan pada kelompok umur 15.


Kriteria objektif :

3.5

1.

positif, bila di dalam sputum terdapat bakteri BTA

2.

negatif, bila di dalam sputum tidak terdapat bakteri BTA.

Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari

semua rekam medik pasien yang telah terdiagnosis TB Paru di Puskesmas Pangkajene
periode Juni Agustus 2016.

26

3.6

Pengolahan Data

1. Penyuntingan data (editing).


Dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul. Yakni
upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau
dikumpulkan.
2. Pengkodean (coding).
Dilakukan untuk memudahkan pengolahan data. Coding merupakan kegitan
pemberian kode numeric (angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa
kategori. Pemberian kode ini sangat penting, biasanya dibuat juga daftar kode
untuk memudahkan kembali melihat lokasi dan arti suatu kode dari suatu
variabel.
3. Entri data.
Data entri adalah kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam
master tabel, kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana atau bisa juga
dengan membuat tabel kontigensi.
4. Melakukan teknik analisis.
Dalam melakukan teknik analisis, khususnya terhadap data penelitian akan
menggunakan ilmu statistik terapan yang disesuaikan dengan tujuan yang
hendak dianalisis. Apabila penelitiannya deskriptif, maka akan digunakan
statistik deskriptif. Statistik deskriptif (menggambarkan) adalah statistika yang
membahas cara-cara meringkas, menyajikan, dan mendeskripsikan suatu data
dengan tujuan agar mudah dimengerti dan lebih mempunyai makna.
3.7 Analisis Data
Data yang telah disunting kemudian diolah menggunakan analisis deskriptif.
Analisis deskriptif berfungsi untuk meringkas, mengklasifikasikan, dan menyajikan
data. Analisis ini merupakan langkah awal untuk melakukananalisis dan uji statistik

27

lebih lanjut. Data yang dikumpulkan diolah dengan menggunakan Microsoft excel
2007, kemudian disajikan dalam bentuk table secara deskriptif.

28

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Profil Komunitas Umum


4.1.1 Sosial Ekonomi dan Budaya
Dengan adanya

keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat

khususnya

keluarga miskin maka masyarakat dapat menggunakan fasilitas kesehatan di tingkat


puskesmas tanpa dipungut bayaran.
Untuk menjamin akses penduduk Sulawesi Selatan terhadap pelayanan kesehatan
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka sejak awal
agenda Pemerintahan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih berupaya untuk
mengatasi hambatan dan kendala tersebut melalui pelaksanaan kebijakan Program
Pelayanan Kesehatan Gratis yang tertuang pada Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan
Nomor 13 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Pelayanan
Kesehatan Gratis.
Secara sosial, untuk wilayah kerja Puskesmas Pangkajene didominasi oleh suku
bugis.

Dalam

melakukan

aktifitas,

masyarakatnya

berkomunikasi

dengan

menggunakan bahasa Indonesia dan juga bahasa Bugis. Agama yang dianut oleh
masyarakat 95 % agama Islam dan 5 % aliran kepercayaan. Mata pencahariannya
sebagian besar adalah petani.
4.2 Data Geografis
Kecamatan Maritengngae merupkan ibukota Kabupaten Sidenreng Rappang yang
terletak 200 km dari Makassar. Luas wilayah kerja Puskesmas Pangkajene adalah
65,90 km. Adapun batas-batas wilayah sebagai berikut :
-

Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Panca Rijang.

Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Watang sidenreng.

29

Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tellu LimpoE.

Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Wattangpulu.

4.3 Data Demografik


Jumlah Penduduk yang berada di wilayah kerja Puskesmas Pangkajene, yakni
Kecamatan Maritengae setiap tahun terjadi peningkatan pada tahun 2007 adalah
39.925 jiwa, tahun 2008 sebesar 40.406 jiwa, sedangkan pada tahun 2009 mengalami
penurunan sebesar 39.904 jiwa.

4.3.1

Pertumbuhan Penduduk

Jumlah kelurahan yang ada di wilayah kerja Puskesmas Pangkajene adalah 5 desa
dan 8 kelurahan dengan jumlah penduduk sebanyak 39.904 jiwa, dan jumlah Kepala
Keluarga 10.418 orang.
Jumlah penduduk yang besar selain merupakan modal dalam pembangunan juga
dapat merupakan beban pembangunan jika tidak disertai dengan kualitas yang
memadai.

4.3.2. Persebaran dan Kepadatan Penduduk


Penduduk di wilayah Puskesmas Pangkajene pada tahun 2009 tercatat sekitar
39.904 jiwa tersebar di 5 desa dan 8 kelurahan. Namun persebaran tersebut tidak
merata, kelurahan yang paling tinggi

jumlah penduduknya

adalah Kelurahan

Pangkajene yakni 5.732 jiwa dan yang paling rendah adalah Desa Takkalasi yakni
13.43 jiwa.
Kepadatan penduduk sangat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan rakyat
khususnya

kesejahteraan

anak.Tingginya

angka

kepadatan

penduduk

dapat

menyebabkan timbulnya berbagai masalah sosial ekonomi dan kesehatan seperti


kekurangan gizi, sanitasi lingkungan yang kurang baik dan timbulnya berbagai
penyakit menular.

30

Berdasarkan data dari Kantor Kecamatan MaritengngaE Kabupaten Sidrap, angka


kepadatan penduduk sebagai berikut:
- Tahun 2007 sebesar 39.925 orang/km2
- Tahun 2008 sebesar 40.406 orang/km2
- Tahun 2009 sebesar 39.904 orang/km2

4.4Sumber daya kesehatan yang ada


Secara keseluruhan jumlah tenaga kesehatan pada Puskesmas Pangkajene tahun
2016 adalah 38 orang (termasuk Pustu, Poskesdes dan Polindes).
1. Persebaran Tenaga kesehatan Menurut Unit Kerja
Persebaran Tenaga kesehatan Menurut Unit Kerja Puskesmas Pangkajene
(Termasuk Pustu, Polindes dan Poskesdes) antara lain : Tenaga medis ada 5 (13,89
%), Perawat & Bidan ada 26 (72,22 %), Farmasi ada 2 (5,56 %), Gizi ada 1 (2,78 %),
Teknisi Medis ada 2 (5,26 %), Sanitasi ada 1 (2,78 %) dan Kesehatan Masyarakat ada
1 (2,78 %).
2. Jumlah Tenaga kesehatan Di Puskesmas
Jumlah Tenaga kesehatan Di Puskesmas Pangkajene adalah sebanyak 38 orang.
3. Rasio Dokter Spesialis Per-10.000 Penduduk
Tidak adanya dokter spesialis di Puskesmas Pangkajene tahun 2016.
4.

Rasio Dokter Per-10.000 Penduduk


Rasio dokter terhadap penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pangkajene tahun
2016 sebesar 0,50 persepuluhribu penduduk (2 orang).
5. Rasio Dokter Gigi Per-10.000 Penduduk

31

Rasio dokter gigi terhadap penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pangkajene


tahun 2016 sebesar 0,75 persepuluhribu penduduk (3 orang).
6. Rasio Dokter Keluarga Per-10.000 Keluarga
Tidak adanya dokter keluarga di Puskesmas Pangkajene tahun 2016.
7. Rasio Apoteker Per-10.000 Penduduk
Rasio apoteker terhadap penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pangkajene tahun
2016 sebesar 0,25 persepuluhribu penduduk (1 orang).
8. Rasio Ahli gizi Per-10.000 Penduduk
Rasio ahli gizi terhadap penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pangkajene tahun
2016 sebesar 0,25 persepuluhribu penduduk (1 orang).
9. Rasio Perawat Per-10.000 Penduduk
Rasio tenaga perawat terhadap penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pangkajene
tahun 2016 sebesar 4,01 persepuluhribu penduduk (16 orang).
10. Rasio Bidan Per-10.000 Penduduk
Rasio tenaga bidan terhadap penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pangkajene
tahun 2016 sebesar 3,01 persepuluhribu penduduk (12 orang).
11. Rasio Ahli Kesehatan Masyarakat Per-10.000 Penduduk
Rasio ahli kesehatan masyarakat terhadap penduduk di wilayah kerja Puskesmas
Pangkajene tahun 2016 sebesar 0,25 persepuluhribu penduduk (1 orang).
12. Rasio Ahli Sanitasi Per-10.000 Penduduk
Rasio ahli sanitasi terhadap penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pangkajene
tahun 2016 sebesar 0,25 persepuluhribu penduduk (1orang).
13. Rasio Tenaga Teknisi Medis Per-10.000 Penduduk

32

Rasio Teknisi Medis terhadap penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pangkajene


tahun 2016 sebesar 0,50 persepuluhribu penduduk (2orang).
4.5 Sarana pelayanan kesehatan yang ada
Adapun sarana dan fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah di wilayah
kerja Puskesmas Pangkajene terdapat 1 Puskesmas, 1 Puskesmas Keliling, 28
Posyandu, 2 Pustu terletak di Desa Allakuang & Desa Sereang, 1 Polindes di Desa
Kanie, 2 Poskesdes di Desa Tanete dan Desa Sereang, serta 8 bidan desa sebagai
penanggungjawab di tiap Kelurahan/Desa.
Selain itu terdapat sarana pelayanan kesehatan milik swasta di wilayah kerja
Puskesmas Pangkajene tahun 2016 terdapat 4 Apotek dan 1 toko obat berizin.
4.6 Data kesehatan masyarakat
Berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari Petugas Kesehatan penyakit
menular Puskesmas Pangkajene Tahun 2015, terdapat sejumlah 101 pasien dengan TB
paru. Prevalensi pasien TB paru di wilayah kerja Puskesmas Pangkajene pada tahun
2015 adalah 101/48.313 penduduk.
4.7 Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian di Puskesmas Pangkajene didapatkan jumlah sampel 51
pasien. Berikut adalah distribusi table berdasarkan karakteristik pasien TB Paru di
Puskesmas Pangkajene periode Juni Agustus 2016.

Tabel 4.7.1. Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Jenis Kelamin yang


Berobat di Puskesmas Pangkajene periode Juni Agustus 2016
Jenis Kelamin

Jumlah

Laki-laki

27

52,9

Perempuan
Total

24
51

47,1
100

33

Sumber : Data Sekunder 2016


Pada Tabel 4.7.1 di atas diperoleh data distribusi penderita TB Paru berdasarkan
jenis kelamin terbesar pada kelompok laki-laki yaitu sebanyak 27 pasien (52,9%) dan
terkecil pada kelompok perempuan yaitu sebanyak 24 pasien (47,1%).

Tabel 4.7.2. Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Umur yang Berobat di


Puskesmas Pangkajene periode Juni Agustus 2016
Umur (tahun)
<20

Jumlah
2

%
3,9

21-60

43

84,3

>60
Total

6
51

11,8
100

Sumber : Data Sekunder 2016


Pada Tabel 4.7.2. di atas diperoleh data distribusi penderita TB Paru
berdasarkan umur terbanyak pada umur 21-60 tahun sebanyak 43 pasien (84,3%),
umur >60 tahun sebanyak 6 pasien (11,8%), kemudian umur <20 tahun 2 pasien
(3,9%).

34

Tabel 4.7.3. Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Kategori Pengobatan


yang Berobat di Puskesmas Pangkajene periode Juni Agustus 2016
Kategori
I

Jumlah
44

%
86,3

II

7,8

III

IV

3,9

Total

51

100

Sumber: Data Sekunder 2016


Pada Tabel 4.7.3 di atas diperoleh data distribusi penderita TB Paru berdasarkan
kategori pengobatan terbanyak kategori I sebanyak 44 pasien (86,3%), kemudian
kategori II sebanyak 4 pasien (7,8%), kategori IV sebanyak 2 (3,9%), dan terendah
pada III sabanyak 1 pasien (2%).
Tabel 4.7.4. Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Riwayat Pengobatan
OAT

yang Berobat di Puskesmas Pangkajene periode Juni

Agustus 2016
Riwayat Pengobatan

Jumlah

Pernah

9,8

Tidak Pernah
Total

46
45

90,2
100

Sumber : Data Sekunder 2016


Pada Tabel 4.7.4 di atas diperoleh data distribusi penderita TB Paru berdasarkan
riwayat pengobatan OAT terbanyak pada kelompok tidak pernah mendapatkan

35

pengobatan yaitu sebanyak 46pasien (90,2%), sedangkan yang terendah pada


kelompok yang pernah mendapatkan pengobatan yaitu sebanyak 5 pasien (9,8%)
Tabel 4.7.5. Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Pemeriksaan Sputum
BTA 3X yang Berobat di Puskesmas Pangkajene periode Juni
Agustus 2016
Pemeriksaan Sputum BTA 3X
Positif
Negatif
Sewaktu pertama

Jumlah
39

Pagi
27
Seawaktu kedua
16
Sumber : Data Sekunder 2016

Total

%
76,5

Jumlah
12

%
23,5

Jumlah
51

%
100

52,9
31,4

24
35

47,1
68,6

51
51

100
100

Pada Tabel 4.7.5 di atas diperoleh data distribusi penderita TB Paru berdasarkan
pemeriksaan sputum BTA 3X dengan hasil sputum sewaktu pertama positif sebanyak
39 pasien (76,5%) dan sputum sewaktu pertama negative 12 pasien (23,5%), sputum
pagi positif sebanyak 27 pasien (52,9%) dan sputum pagi negative sebanyak 24 pasien
(47,1%), sedangkan pada sputum sewaktu kedua positif sebanyak 16 pasien (31,4%)
dan sputum sewaktu kedua negatif sebanyak 35 pasien (68,6%).

36

BAB V
PEMBAHASAN
5.1 PEMBAHASAN
Penelitian ini berjudul Karakteristik Penderita Tuberculosis Paru di Puskesmas
Pangkajene periode Juni Agustus 2016. Penelitian ini termasuk dalam jenis
penelitian deskriptif dengan menggunakan data sekunder (rekam medik) dan
pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Microsoft excel. Sampel pada

37

penelitian ini adalah semua pasien yang berkunjung ke Puskesmas Pangkajene yang
telah didiagnosa oleh dokter sebagai Tuberkulosis Paru pada periode juni agustus
2016 yaitu sebanyak 51 pasien. Dari penelitian ini diperoleh data.
5.1.1. Jenis Kelamin
TB dapat menyerang siapa saja tanpa memandang laki-laki dan perempuan,
namun

laki-laki

dengan masalah-masalah kesehatan yang

lebih

kompleks

menyebabkan lebih mudah terinfeksi kuman TB. Pada penelian ditemukan bahwa
angka kejadian TB pada laki-laki lebih banyak ditemukan daripada perempuan yaitu
laki-laki sebesar 52,9% sedangkan perempuan sebesar 47,1%. Hasil penelitian ini
sesuai dengan data yang didapatkan oleh dinas kesehatan kota Makassar pada tahu
2008 dimana penderita TB lebih banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan3,5.
Pada laki-laki masalah kesehatan yang kerap kali terjadi seperti merokok dan
minum alcohol, Studi pada pekerja perkebunan di California, AS, menemukan
hubungan bermakna antara prevalensi reaktivitas tes tuberkulin

dan kebiasaan

merokok. Para perokok yang telah merokok 20 tahun atau lebih ternyata 2,6 kali lebih
sering menderita TBC daripada yang tidak merokok. Kebiasaan merokok
meningkatkan mortalitas akibat TBC sebesar 2,8 kali. Kaitan ini bisa dijelaskan
bahwa dengan racun yang dibawanya, rokok merusak mekanisme pertahanan paruparu. Bulu getar dan alat lain dalam paru-paru yang berfungsi menahan infeksi rusak
akibat asap rokok. Asap rokok meningkatkan tahanan pelan napas (airway resistance).
Akibatnya, pembuluh darah di paru mudah bocor. Juga merusak sel pemakan bakteri
pengganggu dan menurunkan respon terhadap antigen, sehingga bila benda asing

38

masuk ke dalam paru-paru, tidak ada pendeteksinya sehingga menurunkan pertahanan


tubuh seseorang dan mengurangi kapasitas fungsi paru-paru akibatnya lebih gampang
terinfeksi dengan kuman TB, pada laki-laki juga lebih banyak mobilitas dan aktifitas
di luar, mengingat fungsinya sebagai kepala rumah tangga yang menjadi tulang
punggung keluarga, sehingga lebih gampang terpapar kuman TB baik di lingkungan
pekerjaan, sekolah maupun lingkungan sekitar tempat tinggal16,21.
5.1.2. Umur
Ditinjau berdasarkan umur, penderita TB banyak ditemukan pada usia produktif.
Berdasarkan penelitian, usia produktif 21-60 tahun sebanyak 84,3%. Angka kejadian
TB banyak didapatkan pada kelompok umur 21-60. Hal ini sesuai dengan laporan dari
Sub Direktorat TB Depkes RI tahun 2006, yang menyatakan bahwa infeksi TB
sebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia produktif (1555
tahun). Data yang dikeluarkan oleh Depkes RI (2001) juga menunjukkan bahwa 75%
penderita TB paru berada pada kelompok usia produktif (1550 tahun) dengan tingkat
sosial ekonomi yang rendah2,4.
Kasus TB pada usia produktif lebih sering ditemukan karena banyaknya
aktifitas fisik yang dilakukan pada usia ini dimana aktivitas ini bisa dilakukan baik di
dalam maupun di luar rumah, akibatnya daya tahan tubuh menurun, mudah terpapar
dengan penderita TB lain baik itu lingkungan pekerjaan, sekolah maupun lingkungan
sekitar tempat tinggal. Angka kejadian TB berdasarkan kelompok umur banyak
didapatkan pada kelompok umur 21 60 tahun, hal ini disebabkan karena pada

39

kelompok umur ini memasuki usia produktif dimana antusias dalam beraktifitas diluar
sehingga lebih gampang terpapar kuman Tuberkulosis10,21.
5.1.3. Kategori Pengobatan
Berdasarkan data global TB pada 2006 tercatat 9,2 juta kasus baru, di Indonesia
sendiri temuan penderita baru setiap tahunnya tidak kurang dari 500.000 orang. Hal
ini menyebabkan angka kategori pengobatan I dan III semakin meningkat. Di
Sulawesi Selatan Menurut laporan Subdin P2 & PL Dinkes Prov. Sulsel, sampai
dengan triwulan IV tahun 2004, Case Detection Rate (CDR) sebesar 69,5% (target
60%), Conversion rate 93% (target 60%), jumlah suspek sebanyak 60.196 orang,
kasus baru sebanyak 1.868 orang, yang kambuh 48 kasus dan penderita yang diobati
sebanyak 8.722 orang. Bila dibandingkan dengan tahun 2003 pada periode yang sama
terjadi peningkatan baik jumlah suspek, kasus baru, kambuh dan penderita yang
diobati.Sedangkan dari hasil penelitian yang dilakukan di Puskesmas Pangkajene
kategori pengobatan terbanyak kategori I sebanyak 44 pasien (86,3%), kemudian
kategori II sebanyak 4 pasien (7,8%) dan terendah pada kategori IV sebanyak 2 pasien
(3,9%) dan di susul kategori III sabanyak1 pasien (2%). Hal ini disebabkan karena
penderita sensitive terhadap penyakit menular, mengalami malnutrisi, penggunaan
obat, mengonsumsi obat secara tidak teratur, kondisi tempat tinggal, pemaparan yang
terus-menerus seperti pada pekerja kesehatan, alkaholik, infeksi HIV5.

40

5.1.4. Riwayat Pengobatan


Riwayat pengobatan pada pasien TB yang sebelumnya telah menjalani
pengobatan datang kembali dengan keluhan yang sama, bahkan dengan hasil BTA (+)
ataupun pemeriksaan radiologi (+) . dari hasil penelitian didapatkan bahwa riwayat
pengobatan terbanyak pada kelompok yang tidak pernah yaitu (90,2%), sedangkan
yang terendah pada kelompok pernah mendapatkan pengobatan yaitu (9,8%). Ini
sesuai dengan jurnal TB Paru Indonesia yang Riwayat pengobatan menunjukkan
sebesar 66% penderita belum pernah mencari pengobatan sebelumnya Hal ini
berkaitan

erat

dengan

kepatuhan

penderita

dalam

menuntaskan

program

pengobatannya yaitu selama 6 bulan.Tingkat keberhasilan pengobatan TB paru sangat


dipengaruhi oleh kepatuhan penderita terhadap regimen pengobatan yang diberikan.
Kementerian Kesehatan RI telah menetapkan kebijakan dengan pemberian
pengobatan gratis sehingga diharapkan dapat merupakan perangsang bagi penderita
agar teratur berobat sesuai dengan jadwal sampai tercapainya kesembuhan. Tetapi
dalam

pelaksanaannya

banyak

penderita

yang

tidak

tekun

menyelesaikan

pengobatannya8,21.
5.1.5. Sputum BTA 3x
Sputum BTA 3x menjadi alat diagnosis pasti pada penderita TB dewasa.
Namun tidak menutup kemungkinan penderita TB dengan BTA negative. Hal ini
seperti pada penelitian yang diperoleh penderita TB Paru berdasarkan pemeriksaan
sputum BTA 3X dengan hasil pemeriksaan sputum sewaktu pertama sebanyak 39
pasien (76,5%) dan sputum sewaktu pertama negative 12 pasien (23,5%), sputum pagi
positif sebanyak 27 pasien (52,9%) dan sputum pagi negative sebanyak 24 pasien

41

(47,1%), sedangkan pada sputum sewaktu kedua positif sebanyak 16 pasien (31,4%)
dan sputum sewaktu kedua negatif sebanyak 35 pasien (68,6%). Hasil survey
prevalensi TB tahun 2004 menunjukkan angka prevalensi TB BTA positif secara
nasional 110/100.000 penduduk.Berdasarkan data di atas TB masih merupakan
masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia1,8.
Ditemukannya kasus BTA negative tidak menutup kemungkinan untuk
diagnosis TB,karena masih ada factor-faktor lain yang dapat menunjang diagnosis
TB,yaitu dengan melihat gejala klinis,hasil pemeriksaan radiologi. Klasifikasi BTA
positif dan BTA negative ini penting dalam pengelompokan kategori pengobatan.
Namun ada beberapa factor yang dapat menyebabkan sputum BTA negative yaitu
pengambilan sputum yang salah dan petugas laboratorium yang tidak akurat dalam
membaca hasil. Penderita dengan sputum BTA positif diberikan pengobatan dengan
kategori

I,

sedangkan

penderita

dengan

sputum

BTA negative

biasanya

dikelompokkan dalam 2 kategori yaitu I dan III, hal ini dilihat dari berat ringannya
penyakit21.

42

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. KESIMPULAN
1. Insiden kasus TB paru yang berobat di Puskesmas Pangkajene periode Juni
Agustus 2016 yaitu 51 pasien.
2. Karakteristik menurut jenis kelamin kasus TB Paru terbanyak pada laki-laki
yaitu sebanyak (52,9%), di RS Ibnu Sina Makassar.
3. Karakteristik berdasarkan kelompok umur kasus TB Paru tertinggi pada
usia 21 60 tahun yaitu (84,3%)
4. Karakteristik Berdasarkan pengelompokkan kategori pengobatan yang
tertinggi penderita TB Paru yang mendapat pengobatan kategori I yaitu
sebanyak (86,3%) di Puskesmas Pangkajene.
5. Karakteristik berdasarkan Penderita TB Paru yang sebelumnya yang pernah
mendapatkan pengobatan OAT yaitu sebanyak (9,8%) sedangkan yang
kelompok tidak pernah mendapatkan pengobatan OAT yaitu sebanyak
(90,2%) di Puskesmas Pangkajene.

43

6. Karakteristik berdasarkan Angka kejadian TB Paru yang melakukan


pemeriksaan sputum BTA 3x dengan hasil sputum sewaktu pertama positif
sebanyak 39 pasien (76,5%) dan sputum sewaktu pertama negative 12
pasien (23,5%), sputum pagi positif sebanyak 27 pasien (52,9%) dan
sputum pagi negative sebanyak 24 pasien (47,1%), sedangkan pada sputum
sewaktu kedua positif sebanyak 16 pasien (31,4%) dan sputum sewaktu
kedua negatif sebanyak 35 pasien (68,6%) di Puskesmas Pangkajene.

6.2 SARAN
1. Perlunya peran aktif pemerintah untuk membuat kebijakankebijakan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan TB agar
tidak meluas lebih banyak lagi di kalangan masyarakat.
2. Perlunya peran serta staf medis dalam memberikan pelayanan
kesehatan dan akses pengetahuan kesehatan pada masyarakat luas
berupa penyuluhan tentang bahaya TB, meningkatkan kinerja para
pengawas menelan obat agar lebih aktif lagi dalam mengawasi para
penderita TB, untuk mencegah penularan dan komplikasi lebih
lanjut dari TB, sehingga meningkatkan angka kesembuhan penderita
TB.
3. Perlunya peran serta keluarga dalam mendukung proses pengobatan
penderta TB. Dan mencegah penularan lebih luas dalam lingkungan
keluarga maupun lingkungan masyarakat.

44

4. Perlu adanya suatu protap yang jelas,sehingga pemberian kategori


pengobatan dengan kasus yang sama adalah seragam,tanpa adanya
perbedaan kategori untuk kasus yang sama.
5. Perlunya dilakukan penelitian yang lebih lanjut dan teratur untuk
periode tertentu agar mendapatkan hasil yang lebih akurat
mengingat penelitian dengan mengkaji data sekunder dapat
menimbulkan hasil yang tidak memuaskan, mengingat periode
penelitian yang sempit dan angka kejadian TB yang terus berubah
tiap tahunnya, juga karena banyaknya data rekam medic yang tidak
terisi lengkap menyebabkan sampel penelitian menjadi berkurang.

45

Anda mungkin juga menyukai