Anda di halaman 1dari 45

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN PRILAKU MASYARAKAT

TERHADAP ANGKA KEJADIAN HIPERTENSI DI DESA PASIR


MUNCANG WILAYAH UPTD PUSKESMAS CIKAUM

Untuk Memenuhi Tugas Program Dokter Internship

Disusun oleh:
dr. Putu Eka Novantara
dr. Angga Permana Darma S
dr. Yuny Hafitry
dr. Gusti Legawa
dr. Deviani Nur Amalina

PROGRAM DOKTER INTERNSIP


PERIODE 13 SEPTEMBER 2018 – 13 JANUARI 2019
PUSKESMAS CIKAUM
2018

ii
MINI PROJECT

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN PRILAKU MASYARAKAT


TERHADAP ANGKA KEJADIAN HIPERTENSI DI DESA PASIR
MUNCANG WILAYAH UPTD PUSKESMAS CIKAUM

Disusun oleh:
dr. Putu Eka Novantara
dr. Angga Permana Darma S
dr. Yuny Hafitry
dr. Gusti Legawa
dr. Deviani Nur Amalina

Telah disetujui dan di presentasikan pada tanggal Desember 2018

Tim Penguji Mini Project

Kepala UPT Puskesmas Cikaum Pendamping PIDI

Wawan dr. Ade Wawan


196012281990112001 19720204200212200

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas

berkat dan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas mini project ini.

Penulisan mini project ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat

tugas program dokter internship. Kami menyadari sangat sulit bagi kami untuk

menyelesaikan mini project ini tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak

serta penyusunan mini project sampai dengan terselesaikannya laporan hasil

penelitian mini project ini. Bersama ini kami menyampaikan terimakasih yang

sebesar-besarnya serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Kepala Puskesmas Cikaum Wawan yang memberikan kesempatan kepada

kami untuk menimba ilmu di Puskesmas Cikaum.

2. Dokter pendamping serta pembimbing dr. Ade Wawan yang telah

menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing kami dalam

penyusunan mini project ini.

3. Kepala Program PTM Puskesmas Cikaum Lia yang telah menyediakan waktu,

tenaga dan pikiran untuk membimbing kami dalam penyusunan mini project

ini.

4. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan mini project

ini.

Penulis menyadari bahwa mini project ini masih banyak kekurangan. Saran

dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk membuat mini project

ini menjadi lebih baik lagi. Akhir kata, kami berharap Tuhan Yang Maha Esa

iv
berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga

mini project ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Wassalamualaikum Wr.Wb

Subang, Desember 2018

Penulis

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tekanan darah tinggi (Hipertensi) merupakan tantangan besar, tidak hanya di negara

barat tetapi juga di Indonesia. Hipertensi merupakan kondisi yang sering ditemukan di

fasilitas kesehatan primer. Menurut Riskesdas 2013, prevalensi hipertensi di Indonesia

mencapai 26,5%. Berdasarkan data tersebut, dari 26,5% pasien hanya 1/3 pasien yang

terdiagnosis menderita hipertensi dan 0,7% yang mendapatkan pengobatan. Hal ini

menggambarkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat tentang bahaya hipertensi dan perlunya

pengobatan yang teratur masih sangat rendah.1

Definisi hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah

sistolik ≥ 130 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg pada dua kali pengukuran

dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang.2 Peningkatan tekanan

darah yang terus menerus dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan kerusakan pada

organ tubuh seperti ginjal, jantung, dan otak bila tidak dideteksi secara dini dan mendapat

pengobatan yang teratur. Oleh karena itu, partisipasi semua pihak, baik dokter, pemerintah,

swasta maupun masyarakat, terutama tingkat pengetahuan dan prilakunya diperlukan agar

kejadian hipertensi dapat dikendalikan.3

Ada dua jenis terapi yang dapat dilakukan untuk mengontrol hipertensi yaitu terapi

farmakologis dan terapi non farmakologis. Terapi farmakologis yaitu dengan menggunakan

obat-obatan antihipertensi yang terbukti dapat menurunkan tekanan darah, sedangkan terapi

non farmakologis yang meliputi modifikasi diet, menghindari minuman berkafein dan

6
beralkohol, meningkatkan aktivitas fisik atau olahraga, mengurangi kelebihan berat badan,

berhenti merokok, mengurangi stress dan istirahat yang cukup.4

Keberhasilan dalam mengendalikan tekanan darah tinggi merupakan usaha bersama

antara pasien dan dokter yang menanganinya. Salah satu faktor yang menentukan

keberhasilan terapi hipertensi adalah kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat-obatan

antihipertensi. Menurut World Health Organization (WHO), rendahnya tingkat pengetahuan

dan perilaku merupakan salah satu faktor penyebab tingginya angka hipertensi.5 Hal ini

menunjukkan pentingnya kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat-obatan antihipertensi

untuk mencegah komplikasi.

Hal ini disebabkan karena hipertensi merupakan penyakit yang paling banyak
dialami oleh masyarakat tanpa ada gejala yang signifikan dan juga merupakan penyakit yang
menimbulkan penyakit lain yang berbahaya bila tidak diobati secepatnya..
Berdasarkan dari data rekapan program kegiatan puskesmas keliling selama tahun
2018, bahwa kasus penyakit tidak menular, khususnya penyakt Hipertensi yang beradaa di
Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Cikaum, di Desa Pasirmuncang menduduki peringkat
pertama dengan tingkat kejadian Hipertensi paling banyak.

Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul Hubungan Pengetahuan dan Perilaku terhadap Angka Kejadian Hipertensi di
Desa Pasirmuncang di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Cikaum.

1.2. Identifikasi Masalah

1. Bagaimanakah pengetahuan masyarakat terhadap kejadian hipertensi di desa Pasir

Muncang Wiayah UPTD Puskesmas Cikaum ?

2. Bagaimanakah perilaku masyarakat terhadap kejadian hipertensi di desa Pasir

Muncang Wiayah UPTD Puskesmas Cikaum ?

7
3. Bagaimana hubungan tingkat pedidikan dan perilaku masyarakat terhadap tingkat

kejadian hipertesi di desa pasie mucang wilayah uptd Puskesmas Cikaum periode

November 2018.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pedidikan dan perilaku

masyarakat terhadap tingkat kejadian hipertesi di desa pasir mucang wilayah UPTD

Puskesmas Cikaum periode November 2018.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman bagi penulis dalam

meneliti secara langsung di lapangan.

b. Untuk memenuhi salah satu tugas peneliti dalam menjalani program internship

dokter umum Indonesia.

2. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan agar masyarakat tahu dan mengerti tentang

cara mencapai tekanan darah terkontrol pada penyakit hipertensi.

3. Bagi Tenaga Kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi Puskesmas Cikaum.

dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya penyakit hipertensi.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi
2.1.1. Definisi

Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah ≥140/90 mmHg secara kronis. Ia


dapat dibagi menjadi hipertensi primer, esensial, atau idiopatik dimana penyebabnya tidak
diketahui dan hipertensi sekunder dimana ia berasosiasi dengan penyakit lain.
Hipertensimerupakan penyakit genetik yang kompleks karena dapat menyebabkan berbagai
kerusakan pada target organ seperti sistem saraf pusat, ginjal, jantung, dan mata. Jika
hipertensi disuspek pada individu, haruslah dilakukan pengukuran tekanan darah sekurang-
kurangnya 2 kali di waktu yang berlainan.6

2.1.2. Klasifikasi
Terdapat beberapa klasifikasi untuk hipertensi seperti dari World Health Organization
(WHO), International Society of Hypertension (INH), European Society of Hypertension
(ESH), British Hypertension Society (BSH), Canadian Hypertension Education Program
(CHEP) tetapi umumnya digunakan JNC VII.7

Tabel 2.1. Klasifikasi menurut Joint National Committee VII (2003)

Klasifikasi Sistolik (Mmhg) Diastolik (Mmhg)


Normal <120 dan <80
Prehipertensi 120 – 139 atau 80 -89
Hipertensi stage 1 140 – 159 atau 90 – 99
Hipertensi stage 2  160 atau  100

Klasifikasi tekanan darah diatas adalah untuk dewasa dengan usia ≥ 18 tahun.
Klasifikasi ini berdasarkan rata-rata dari dua atau lebih pengukuran, dalam keadaan duduk,
pada dua kunjungan atau lebih. Prehipertensi tidak termasuk dalam kategori penyakit tetapi
berfungsi untuk mengidentifikasi individual yang beresiko untuk terjadi hipertensi agar
dokter dan pasien dapat mengambil langkah prevensi terhadaap peningkatan tekanan darah
lebih lanjut. Individu pada kelompok ini tidak disarankan untuk mendapatkan pengobatan

9
tetapi cukup dengan hanya memodifikasi pola hidup untuk menurunkan resiko mengalami
penyakit hipertensi pada masa akan datang. 8

2.1.3. Epidemiologi
Hipertensi diperkirakan diderita oleh 20 % orang dewasa di seluruh dunia dan
meningkat pada usia lebih dari 60 tahun.9 Prevalensi hipertensi mencapai 1 miliyar di dunia
dan menyebabkan kematian pada 9.4 juta penduduk dunia setiap tahunnya.10 Angka kejadian
hipertensi diperkirakan akan meningkat sebesar 60% pada tahun 2025.5 Secara umum angka
kejadian hipertensi lebih tinggi di negara berkembang dibanding dengan negara maju.12
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, hipertensi merupakan masalah
kesehatan dengan prevalensi yang tinggi, yaitu sebesar 25,8%.13
Prevalensi hipertensi juga tergantung dari komposisi ras populasi yang dipelajari dan
kriteria yang digunakan.Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan pada populasi kulit hitam.
Pada wanita, prevalensinya berhubungan erat dengan usia, dengan terjadinya peningkatan
setelah usia 50 tahun. Peningkatan ini mungkin berhubungan dengan perubahan hormone saat
menopause, meskipun mekanismenya masih belum jelas. Dengan demikian, rasio frekuensi
hipertensi pada wanita disbanding pria meningkat dari 0,6 sampai 0,7 pada usia 30 tahun
menuju 1,1 sampai 1,2 pada usia 65 tahun.6

2.1.4. Etiologi & Faktor Resiko


Hipertensi primer merupakan hasil dari interaksi antara faktor-faktor genetik dan
lingkungan walaupun mekanisme patogenik dari hipertensi pada mayoritas individu masih
tidak diketahui.6 Faktor-faktor resiko yang mendorong timbulnya kenaikan tekanan darah
tersebut adalah:

1. Faktor resiko, seperti:


 diet dan asupan garam
 stress
 ras
 obesitas
 merokok
 genetis
2. Sistem saraf simpatis
 Tonus simpatis
 Variasi diurnal

10
3. Keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan vasokontriksi:
 Endotel pembuluh darah berperan utama, tetapi remodelling dari endotel, otot
polos, dan interstisium juga memberikan kontribusi akhir baik dalam
meningkatkan resistensi perifer maupun peningkatan
4. Pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem renin, angiotensin, dan
aldosteron.14

2.1.5. Patogenesis
Hipertensi terjadi apabila keseimbangan antara curahan jantung dan tahanan perifer
terganggu.25 Beberapa faktor yang berperan dalam pengendalian tekanan darah yang
mempengaruhi rumus dasar : Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer, dapat
dilihat pada gambar:8

Sejumlah faktor secara khusus terlibat dalam terjadinya hipertensi, termasuk asupan
garam, obesitas, pekerjaan, asupan alkohol, ukuran keluarga, dan kepadatan.Faktor ini
penting dalam peningkatan tekanan darah bersamaan dengan bertambahnya usia pada
masyarakat yang lebih makmur, sebaliknya tekanan darah menurun dengan bertambahnya
usia pada kebudayaan yang lebih primitif.6

11
Gambar 2.1. Faktor-Fakor yang Berpengaruh pada Pengendalian Tekanan Darah8

a) Sensitivitas terhadap Garam

Faktor lingkungan yang mendapat perhatian paling besar adalah asupan garam.
Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan asupan garam minimal.8
Bahkan faktor ini menggambarkan sifat heterogen dari populasi hipertensi essensial.
Penyebab sensitivitas khusus terhadap berbagai jenis garam ini, dengan aldosteronisme
primer, stenosis arteri renalis bilateral, penyakit parenkim ginjal, atau hipertensi esensial
rendah-renin bertanggung jawab terhadap sekitar separuh pasien. Sisanya, patofisiologinya
masih belum diketahui tetapi terdapat beberapa postulated contributing factors termasuk
asupan klorida, asupan kalsium, defek membran sel yang menyeluruh, resistensi insulin dan
nonmodulation.7

Pengaruh asupan garam terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan


volume plasma dan secara tidak langsung meningkatkan curah jantung, dan tekanan darah.
Biasanya peningkatan asupan garam ini akan diikuti oleh peninggian ekskresi garam
sehingga tercapai keadaan hemodinamik yang normal tetapi pada pasien hipertensi essensial,
mekanisme peningkatan ekskresi garam tersebut terganggu.7

b) Ion Natrium, Klorid, dan Kalsium

Sebagian besar penelitian menilai peranan garam pada proses hipertensi disimpulkan
bahwa ion natrium yang penting. Akan tetapi, beberapa peneliti menunjukkan bahwa ion
klorida mungkin sama pentingnya. Kesimpulan ini berdasarkan observasi pemberian garam
natrium bebas klorida pada hewan coba hipertensi yang sensitif terhadap garam gagal
menaikkan tekanan arteri. Kalsium juga terlibat dalam patogenesis beberapa bentuk
hipertensi esensial. Asupan kalsium yang rendah disertai dengan kenaikan tekanan darah
pada penelitian epidemiologik; kenaikan kadar kalsium sitosolik leukosit dilaporkan pada
beberapa penderita hipertensi; dan akhirnya, penghambat jalan masuk kalsium merupakan
obat hipertensi yang efektif. Beberapa pcnelitian melaporkan hubungan potensial antara
bentuk hipertensi yang sensitif terhadap garam dan kalsium. Disimpulkan bahwa dengan
beban garam dan defek kemampuan ginjal untuk mengekskresinya, terjadi kenaikan sekunder
dalam faktor natriuretik sekunder. Salah satu dari ini, disebut faktor natriuretik seperti digi-
talis, menghambat ATPase kalium-natrium yang sensitif ouabain dan dengan demikian
mengakibatkan akumulasi Icalsium, intraseluler dan otot polos vaskuler hiperreaktif.6

12
c) Defek Membran Sel

Penjelasan lain untuk hipertensi yang sensitif terhadap garam adalah defek membran
sel yang menyeluruh. Disimpulkan bahwa abnormalitas ini menunjukkan perubahan
membrana seluler yang tidak dapat dijelaskan dan defek ini terjadi pada beberapa, mungkin
semua, sel tubuh, terutama otot polos vaskuler. Karena defek ini, selanjutnya terdapat
akumulasi kalsium yang abnormal dalam otot polos vaskuler, mengakibatkan responsivitas
vaskuler yang tinggi terhadap obat vasokonstriktor.6

d) Resistensi Insulin

Resistensi insulin dan/atau hiperinsulinemia diduga bertanggung jawab terhadap


kenaikan tekanan arteri pada beberapa pasien dengan hipertensi. Hiperinsulinisme
menunjukkan adanya gangguan pengambilan glukosa oleh jaringan, Kadar glukosa darah
yang tinggi menyebabkan peningkatan produksi insulin oleh sel beta pankreas sehingga
terjadilah keadaan hiperinsulinisme tersebut. Sifat ini menjadi lebih luas dikenal sebagai
bagian dari sindroma X, atau sindroma metabolik, yang juga ditandai dengan obesitas,
dislipidemia (khususnya peningkatan trigliserida), dan tekanan darah yang tinggi. Resistensi
insulin biasa pada pasien dengan diabetes mellitus tipe II atau obesitas. Obesitas maupun
diabetes mellitus terjadi lebih sering pada penderita hipertensi dibandingkan normotensi.
Akan tetapi, beberapa penelitian menemukan bahwa hiperinsulinemia dan resistensi insulin
lebih daripada hal kebetulan, karena terjadi bahkan pada pasien hipertensi kurus yang bebas
dari diabetes mellitus.6

Hiperinsulinemia dapat meningkatkan tekanan arteri oleh satu atau lebih dari empat
mekanisme. Asumsi yang mendasarinya pada masing-masing adalah beberapa, tetapi tidak
semua, jaringan target insulin resisten terhadap efeknya. Khususnya jaringan yang terlibat
dalam homeostasis glukosa yang resisten (dengan demikian menimbulkan hiperinsulinemia.
Mula-mula, hiperinsulinemia menghasilkan retensi natrium ginjal (paling sedikit secara akut)
dan meningkatkan aktivitas simpatik. Salah satu atau keduanya dapat mengakibatkan
kenaikan tekanan arteri. Mekanisme lain adalah hipertrofi otot polos vaskuler sekunder
terhadap kerja mitogenik insulin. Akhimya, insulin juga mengubah transpor ion melalui
membran sel, dengan demikian secara potensial meningkatkan kadar kalsium sitosolik dari
jaringan vaskuler atau ginjal yang sensitif terhadap insulin. Melalui mekanisme ini, tekanan
arteri ditingkatkan karena alasan yang sama dengan yang dijelaskan di atas untuk hipotesis
defek-membran. Akan tetapi, penting menunjukkan bahwa peranan insulin dalam

13
mengendalikan tekanan arteri adalah hanya dimengerti samar-samar, dan oleh karena itu,
potensinya sebagai faktor patogenik dalam hipertensi tetap tidak jelas.6

e) Nonmodulation

Ini adalah kelompok individu dengan hipertensi yang sensitive terhadap garam tetapi
penurunan respon adrenal terhadap restriksi sodium. Pada individual ini, asupan garam tidak
mempengaruhi respon vascular dari adrenal ataupun renal terhadap angiotensin II. Individu
ini mempresentasi 25 – 30% dari populasi hipertensi, dimana aktivitas plasma reninnya
normal atau tinggi jika diukur pada individu dengan diet rendah garam, dan adalah hipertensi
sensitive garam karena defek pada ginjal untuk mensekresi garam dengan sempurna.
Nonmodulation ini lebih sering dietemukan pada pria dan wanita posmenopause.6

f) Genetik
Satu pendekatan untuk menilai hubungan tekanan darah dalam keluarga (agregasi
familial). Dari penelitian ini, ukuran minimum faktor genetik dapat dinyatakan dengan
koefisien korelasi kurang lebih 0,2. Akan tetapi, variasi ukuran faktor genetik dalam
penelitian yang berbeda menekankan kembali kemungkinan sifat heterogen populasi
hipertensi esensial. Selain itu, sebagian besar penelitian mendukung konsep bahwa keturunan
mungkin bersifat multifaktorial atau jumlah defek genetiknya naik.6

Telah ditemukan gene yang bertanggungjawab terhadap 3 distinct tetapi jarang


monogenic hipertensif sindrom, dimana 2 daripadanya diturunkan secara dominan.

1) Pasien dengan glucocorticoid-remediable hypertension (GRA) cenderung terjadi


onset yang lebih awal dengan peningkatan frekuensi untuk terjadinya stroke dan
terdapat bukti adanya hiperaldosteronism. Plasma aldosteron tinggi, plasma rennin
rendah, dan hipokalemi adalah sering. Telah ditemukan chimeric gene yang
mempunyai promoter kepada 11-hydroxylase gene dan coding sequence untuk
aldosterone synthase gene pada pasien ini yang menyebabkan produksi aldosterone
yang ektopik, dimana ia adalah corticosteroid dependent.

2) Mutasi pada epithelial amiloride-sensitive sodium channel yang terletak di collecting


cortical tubule. Pasien juga mempunyai aktivitas aldosteron yang tinggi, penekanan
plasma rennin, dan hipokalemi.

14
3) Syndrome of apparent minerelocorticoid excess (AME) yang disebabkan oleh defek
pada renal 11-hydroxysteroid dehydrogenase. Pada pasien ini protective conversion
dari corstisol kepada cortisone yang tidak aktif tidak terjadi, dan cortisol lokal
bergabung dengan receptor minerelocorticoid pada renal.6

2.1.6. Komplikasi
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Kerusakan organ – organ target yang umum ditemui pada pasien hipertensi
adalah : jantung (hipertrofi ventrikel kiri, angina / infark miokardium, gagal jantung), otak
(strok, transient ischemic attack), penyakit ginjal kronis, penyakit arteri perifer, retinopati.6
Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ – organ tersebut
dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek tidak
langsung, antara lain adanya autoantibodi aterhadap reseptor AT I angiotensinogen II, stres
oksidatif, down regulation dari ekspresi nitric oxide synthase, dan lain – lain.
Jantung
Adanya kerusakan organ target, terutama pada jantung dan pembuluh darah, akan
memperburuk prognosis pasien hipertensi. Tingginya morbiditas dan mortalitas pasien
hipertensi terutama disebabkan tibulnya penyakit kardiovaskular.
Faktor resiko :
1. Merokok
2. Obesitas
3. Kurangnya aktivitas fisik
4. Dislipidemia
5. Diabetes mellitus
6. Mikroalbuminuria atau LFG < 60 mL/menit
7. Usia (laki-laki > 55 tahun, perempuan > 65 tahun)
8. Riwayat keluarga dengan penyakit jantung kardiovaskular prematur (laki-laki <
55 tahun, perempuan < 65 tahun)8
Penyakit jantung adalah penyebab kematian yang paling umum pada pasien
hipertensi. Penyakit jantung hipertensif merupakan adaptasi fungsi dan struktur yang
mengarah pada hipertrofi ventrikel kiri, disfungsi diastolik, gagal jantung kronik,
abnormalitas gangguan darah akibat penyakit jantung koroner aterosklerotik, penyakit
mikrovaskuler, dan aritmia jantung.6

15
Baik faktor genetik maupun hemodinamik berpengaruh terhadap hipertrofi ventrikel
kiri.Seseorang dengan hipertrofi ventrikel kiri beresiko tinggi untuk strok, gagal jantung
kronik, dan mati mendadak.Pengendalian hipertensi yang agresif dapat menekan atau
melawan perkembangan hipertrofi ventrikel kiri dan mengurangi resiko penyakit
kardiovaskular. Hipertrofi ventrikel kiri dapat dievaluasi dengan elektrokardiogram.6
Abnormalitas fungsi diastolik, meliputi penyakit jantung tanpa gejala sampai gagal
jantung yang jelas terlihat, umum ditemukan pada pasien hipertensi.Pasien dengan gagal
jantung diastolik memiliki fraksi ejeksi yang tetap, yang mana merupakan ukuran untuk
fungsi sistolik.Kurang lebih 1/3 dari pasien dengan gagal jantung kronik tidak memiliki
gangguan pada fungsi sistolik namun memiliki abnormalitas fungsi diastolik. Abnormalitas
fungsi diastolik merupakan konsekuensi awal dari penyakit jantung yang berhubungan
dengan hipertensi dan dipicu oleh hipertrofi dan iskemia ventrikel kiri. Fungsi diastolik dapat
dievaluasi dengan ekokardiografi dan angiografi radionuklir.6

Otak
Hipertensi adalah sebuah faktor resiko untuk infark dan perdarahan otak.Kurang lebih
85 % dari pasien stroke disebabkan infark dan sisanya disebabkan perdarahan, baik
intraserebral maupun sub araknoid.Insidensi strok meningkat secara progresif dengan
meningkatnya tekanan darah, khususnya pada tekanan sistolik individu berusia > 65 tahun.
Pengobatan hipertensi secara pasti menurunkan resiko strok baik iskemik dan perdarahan.6
Hipertensi juga berhubungan dengan gangguan fungsi kognitif pada populasi usia
lanjut, dan penelitian longitudinal memberi kesan bahwa adanya hubungan antara hipertensi
usia pertengahan dengan penurunan kognitif usia lanjut. Gangguan kognitif yang
berhubungan dengan hipertensi dan pikun bisa jadi merupakan sebuah konsekuensi dari
infark tunggal akibat penyumbatan pada pembuluh darah besar atau infark lakunar yang
banyak akibat penyumbatan pembuluh darah kecil yang berdampak iskemia substansi alba
sub kortikal. Beberapa uji klinis menyatakan bahwa terapi anti-hipertensif memiliki efek
menguntungkan pada fungsi kognitif, walaupun hal ini masih dalam penyelidikan.6
Aliran darah serebral tetap tidak berubah di sekitar jarak luas tekanan arteri ( tekanan
arteri rata-rata 50 – 150 mmHg) melalui sebuah proses yang disebut autoregulasi aliran darah.
Pada pasien dengan sindroma klinis hipertensi maligna, ensefalopati berhubungan dengan
kegagalan autoregulasi aliran darah serebral pada ambang batas atas tekanan, yang
mengakibatkan vasodilatasi dan hiperperfusi. Gejala dan tanda ensefalopati hipertensif dapat
meliputi sakit kepala berat, mual dan muntah ( biasanya proyektil), tanda neurologis fokal,

16
dan perubahan status mentalis. Tidak diobati, ensefalopati hipertensif dapat berkembang
menjadi stupor, koma, kejang, dan kematian dalam hitungan jam. Sangat penting untuk
membedakan ensefalopati hipertensif dari sindroma neurologis yang mungkin berhubungan
dengan hipertensi, seperti iskemia serebral, strok perdarahan atau trombotik, gangguan
kejang, lesi massa, pseudotumor cerebri, delirium tremens, meningitis, porfiria intermiten
akut, kerusakan otak akibat trauma atau zat kimia, dan ensefalopati uremikum.6

Ginjal
Penyakit ginjal primer adalah penyebab hipertensi sekunder paling umum.Sebaliknya,
hipertensi adalah sebuah faktor resiko untuk kerusakan ginjal dan Penyakit Ginjal Stadium
Akhir.Penigkatan resiko berhubungan dengan tekanan darah yang tinggi bertahap, terus –
menerus, dan ada pada seluruh distribusi tekanan darah di atas nilai optimal. Resiko ginjal
tampak lebih erat hubungannya dengan tekanan sistolik daripada diastolik, dan orang kulit
hitam lebih beresiko menjadi Penyakit Ginjal Stadium Akhir dibanding orang kulit putih pada
seluruh tingkat tekanan darah.6
Lesi vaskuler aterosklerotik yang berhubungan dengan hipertensi pada ginjal pada
awalnya mempengaruhi arteriol preglomerular, mengakibatkan perubahan iskemik pada
glomerulus dan struktur postglomerular.Kerusakan glomerulus dapat juga merupakan
konsekuensi dari kerusakan langsung pada kapiler glomerulus akibat hipoperfusi pada
glomerulus.Patologi glomerulus berkembang menjadi glomerulosklerosis, dan tubulus renalis
dapat juga menjadi iskemik dan secara perlahan menjadi atrofi. Lesi ginjal yang berhubungan
dengan hipertensi maligna terdiri dari nekrosis fibrinoid dari arteriol aferen, terkadang
memanjang hingga ke glomerulus, dan dapat mengakibatkan nekrosis fokal pada
glomerulus.6
Secara klinis, makroalbuminuria (rasio albumin/kreatinin sewaktu >300 mg / g) atau
mikroalbuminuria (rasio albumin / kreatinin urin sewaktu 30 – 300 mg / g) adalah petanda
awala dari kerusakan ginjal. Ini juga merupakan faktor resiko untuk berkembanganya
penyakit ginjal dan penyakit kardiovaskuler.6
Arteri perifer
Sebagai tambahan untuk yang berperan dalam patogenesi hipertensi, pembuluh darah
mungkin merupakan organ target penyakit aterosklerotik yang muncul akibat meningkatnya
tekanan darah dalam waktu yang lama.Pasien hipertensi dengan penyakit arteri pada tungkai
bawah memilki resiko yang meningkat untuk penyakit kardiovakular di masa
mendatang.Walaupun pasien dengan lesi stenosis pada tungkai bawah bisa jadi tanpa gejala,

17
klaudikasi intermiten adalah gejala klasik penyakit arteri perifer.Hal ini dikarakteristikan
dengan sakit nyeri pada betis atau bokong saat berjalan yang hilang dengan
beristirahat.Ankle-brachial Index adalah metode yang efektif untuk mengevaluasi penyakit
arteri perifer dan diartikan sebagai rasio tekanan sistolik arteri pada pergelangan kaki
terhadap lengan.Ankle-brachial index< 0,9 dianggap sebagai diagnosis penyakit arteri perifer
dan berhubungan dengan > 50 % stenosis pada paling tidak satu pembuluh darah utama
tungkai bawah. Beberapa penelitian menyatakan bahwa ankle-bracial index < 0,8
berhubungan dengan peningkatan tekanan darah, khususnya tekanan darah sistolik.6

2.1.7 Diagnosis
2.1.7.1 Anamnesis
Penilaian awal pasien hipertensi harus mencakup riwayat lengkap dan pemeriksaan
fisik untuk memastikan diagnosis hipertensi, menyaring faktor resiko penyakit kardiovaskuler
yang lain, menyaring penyebab sekunder hipertensi, identifikasi konsekuensi kardiovaskuler
dari hipertensi dan komorbid yang lain, menilai tekanan darah-berhubungan dengan gaya
hidup, dan menentukan kekuatan untuk intervensi.15
Kebanyakan pasien dengan hipertensi tidak memiliki gejala khusus yang dapat
merujuk pada peningkatan tekanan darahnya.Walaupun sangat lazim dianggap sebuah gejala
peningkatan tekanan arteri, sakit kepala secara umum terjadi hanya pada pasien dengan
hipertensi berat.Secara karakteristik,sakit kepala terjadi pada pagi hari dan terlokalisasi pada
daerah oksipital. Gejala tidak spesifik lainnya yang dapat berkaitan dengan peningkatan
tekanan darah termasuk pusing, berdebar – debar, mudah lelah, dan impotensi. Saat gejala
muncul, secara umum berhubungan dengan penyakit kardiovaskular atau manifestasi dari
hipertensi sekunder.15

Riwayat relevan dari pasien


1. Durasi hipertensi

2. Terapi sebelumnya : respon dan efek samping

3. Riwayat keluarga penyakit hipertensi atau penyakit kardiovaskular

4. Riwayat pola makan dan psikososial

5. Faktor resiko lain : perubahan berat badan, dislipidemia, merokok, diabetes, inaktif
fisik

18
6. Bukti hipertensi sekunder : riwayat penyakit ginjal, perubhan penampilan, lemah otot,
berkeringat, berdebar – debar, tremor, erratic sleep, mendengkur, tidur di siang
bolong, gejala hipo- atau hipertiroid, pemakain agen yeng meningkatkan tekanan

7. Bukti kerusakan oragan target: riwayat serangan iskemik sementara, stroke, buta
sementara, sakit dada, infark miokard, gagal jantung kongestif, fungsi seksual

8. Komorbid lainnya

2.1.7.2 Pengukuran tekanan darah


Pengukuran tekanan darah yang nyata bergantung pada perhatian terhadap detil teknik
dan kondisi pengukuran. Akurasi intstrumen tekanan darah terotomatisasi harus
dipastikan.Sebelum mengukur, seseorang harus duduk tenang selama 5 menit di tempat yang
pribadi, tenang dengan suhu ruangan yang nyaman. Pusat dari cuff harus pada ketinggian
jantung, dan lebar dari cuff harus paling tidak menutup 40% lingkar lengan; panjang cuff
harus mengelilingi paling tidak 80 % lingkar lengan. Penting untuk memperhatikan
penempatan cuff, penempatan stetoskop, dan kecepatan pengempisan cuff(2 mmHg/s).
Tekanan darah sistolik adalah yang pertama pada paling tidak dua denyut regular bunyi
korotkoff, dan tekanan diastolik pada titik dimana bunyi korotkoff terakhir terdengar.15

Pemeriksaan Fisik
Bentuk tubuh, termasuk tinggi dan berat badan, harus dicatat.Pada pemeriksaan awal,
tekanan darah harus diukur pada kedua lengan, dan lebih baik pada posisi berbaring, duduk,
dan berdir untuk mengevasluasi hipotensi postural. Bahkan jika pulsasi femoralis normal
pada palpasi, tekanan arteri harus diukur paling tidak sekali di tungkai bawah pada pasien
yang hipertensi ditemukan sebelum usia 30 tahun. Denyut jantung harus dicatat.Seseorang
hipertensi mengalami peningkatan prevalensi fibrilasi atrium.Leher harus dipalpasi untuk
pembesaran kelenjar tiroid, dan pasien harus dinilai untuk tanda- tanda hipo- dan hipertiroi.
Pemerikasaan pembuluh darah dapat memeberikan petunjuk tentang penyakit vaskular yang
mendasari dan harus mencakup pemeriksaan funduskopi, aukultasi untuk bising pada arteri
karotis dan femoralis., dan palpasi pada pulsasi femoralis dan pedalis. Retina adalah satu-
satunya jaringan yang mana arteri dan arteriol dapat diperiksa secara langsung.Dengan
meningkatnya keparahan hipertensi dan penyakit aterosklerotik, perubahan funduskopi yang
progresif termasuk meningkatnya refleks cahaya arteriolar, defek penyilangan arteriovenosus,
perdarahan dan eksudat, dan pada pasien dengna hipertensi maligna, papiledema.

19
Pemeriksaan jantung dapat menunjukkan S2 mengeras karena penutupan katup aorta dan
sebuah S4 gallop, kontraksi atrial melawan ventrikel kiri yang tidak kompliens. Hipertrofi
ventrikel kiri dapat dideteksi dengan membesarnya, memanjanganya dan berpindah ke
lateralnya iktus kordis.Bising abdomen, khususnya yang menyamping dan memanjang
sepanjang sistol hingga diastol, meningkatkan kemungkinan hipertensi renovaskuler.Ginjal
pada pasien dengan penyakit ginjal polikista dapat teraba di abdomen. Pemeriksaan fisik
harus mencakup evaluasi tanda-tanda gagal ginjal kronik ddan pemeriksaan neurologis.15

2.1.7.3 Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan laboratoirum yang direkomendasikan bertujuan untuk memeriksa
komplikasi yang sedang atau telah terjadi.16
Tabel 2.2. Pemeriksaan yang direkomendasikan pada evaluasi awal pada pasien
hipertensi
Sistem Organ Pemeriksaan

Ginjal Urinalisis mikroskopik, ekskresi albumin, serum BUN dan/atau kreatinin

Endokirn Serum sodium, potassium, calcium, TSH

Metabolik Gula darah puasa, total cholesterol, HDL dan LDL, cholesterol, triglycerides

Lainnya Hematokrit, elektrokardiogram

Pengukuran ulang fungsi renal, elektrolit serum, glukosa puasa, dan lipid harus dilakukan
setelah pemakaian agen antihipertensif yang baru dan per tahun, atau lebih sering jika
indikasi klinis.15

2.1.8. Tatalaksana
Tujuan dan Target Terapi

Tujuan utama dari pengobatan pasien hipertensi adalah untuk menurunkan morbiditas
dan mortalitas kardiovaskular dan renal. Pada percobaan klinik, menurunkan tekanan darah
dapat menurunkan resiko pada (1) Insidensi stroke sebesar 35-40%; (2) infark myokard
sebesar 20-25 %; dan (3) gagal jantung sebesar > 50%.7

Fokus utama dari terapi hipertensi adalah mencapai target tekanan darah sistolik.
Target tekanan darah adalah <140/90 mmHg sedangkan untuk individu dengan diabetes dan
penyakit ginjal, maka targetnya adalah < 130/80 mmHg.8 Berdasarkan JNC VIII, saat ini,

20
seluruh target terapi hipertensi, baik untuk pasien diabetes dan penyakit ginjal adalah
<140/90 mmHg.17

Indikasi Terapi

Pasien dengan tekanan darah diastolik >90 mmHg atau tekanan sistolik >140 mmHg dan
telah diukur berulang kali, harus memulai pengobatan kecuali bila terdapat kontraindikasi
yang spesifik.15 Tatalaksana hipertensi dapat dimulai dengan modifikasi gaya hidup, namun
terapi antihpertensi dapat langsung dimulai untuk hipertensi derajat 1 dengan penyerta dan
hipertensi derajat 2.16 Terapi non farmakologis berupa modifikasi gaya hidup
direkomendasikan pada semua individu dengan pre-hipertensi dan sebagai keharusan
tambahan selain terapi farmakologis pada penderita hipertensi.15

Terapi Non Farmakologis

Terapi non farmakologi bagi penderita hipertensi adalah dengan memodifikasi gaya
hidup.Berikut adalah langkah-langkah intervensi gaya hidup dalam pencegahan dan terapi
hipertensi sesuai yang direkomendasikan JNC 7:

1. Menurunkan berat badan


- Rekomendasi: menurunkan hingga menjaga berat badan normal (IMT 18.5 –
24.9 kg/m16
- Kisaran pengurangan tekanan sistolik: 5-20 mmHg/10 kg
2. Mengadopsi pola makan DASH (Dietary Aproaches to Stop Hypertension)
- Rekomendasi: Meningkatkan konsumsi buah, sayur, produk susu rendah
lemak dengan kandungan lemak jenuh dan lemak total yang sudah dikurangi.
- Kisaran pengurangan tekanan sistolik: 8-14 mmHg
3. Menurunkan asupan garam pada diet
- Rekomendasi: Mengurangi pemasukan garam sampai tidak lebih dari 100
mmol per hari ( 2.4 gram natrium atau 6 gram natrium klorida)
- Kisaran pengurangan tekanan sistolik: 2-8 mmHg
4. Meningkatkan aktifitas fisik
- Rekomendasi: Aktifitas fisik aerobic secara reguler seperti berjalan minimal
30 menit per hari dan hampir setiap hari dalam satu minggu.
- Kisaran pengurangan tekanan sistolik: 4-9 mmHg
5. Mengurangi konsumsi alkohol yang berlebih

21
- Membatasi konsumsi alkohol sampai tidak lebih dari 2 porsi minuman per hari
untuk pria dan tidak lebih dari 1 porsi untuk wanita.
- Kisaran pengurangan tekanan distolik: 2-4 mmHg.16
-
Terapi Farmakologis

Pemilihan agen obat anti hipertensi dan kombinasi nya harus mempertimbangkan
kondisi setiap individu dan melihat berbagai faktor seperti umur, derajat hipertensi, resiko
penyakit kardiovaskuler lainya, kondisi komorbid, dan memperhitungkan hal seperti biaya,
frekuensi dosis dan efek samping.15

Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis yang dianjurkan oleh JNC 7:

 Diuretika, terutama jenis Thiazide atau Aldosterone Antagonist


 Beta Blocker
 Calcium Channel Blocker atau Calcium antagonist (CCB)
 Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
 Angiotensin II Receptor Blocker 8

Sekali terapi antihipertensi dimulai, pasien harus rutin kontrol dan mendapat pengaturan
dosis setiap bulan sampai target tekanan darah tercapai. Frekuensi kontrol untuk hipertensi
derajat 2 disarankan lebih sering. Setelah tekanan darah mencapai target dan stabil, frekuensi
kunjungan dapat diturunkan hingga menjadi 3-6 bulan sekali. Namun, jika belum tercapai,
diperlukan evaluasi terhadap pengobatan dan gaya hidup, serta pertimbangan terapi
kombinasi.Setelah tekanan darah tercapai, pengobatan harus dilanjutkan dengan teteap
memperhatikan efek samping dan komplikasi hipertensi. Pasien perlu diedukasi bahwa terapi
antihipertensi ini bersifat jangka panjang (seumur hidup) dan terus dievaluasisecara berkala.16

Menurut JNC VIII, pilihan antihipertensi didasarkan pada usia, ras, serta ada atau tidaknya
DM dan penyakit ginjal. Pada rasa kulit hitam, penghambat ACE dan ARB tidak menjadi
pilihan kecuali terhadap PGK, dengan atau tanpa DM.Algoritma terapi farmakologis
berdasarkan JNC VIII adalah sebagai berikut.17
Pasien hipertensi ≥ 18 tahun

Intervensi gaya hidup

22
Tetapkan target tekanan darah dan mulai antihipertensi berdasarkan usia, ada tidaknya DM serta
Penyakit Ginjal Kronis

Usia ≥ 60 tahun Usia ≤ 60 tahun Semua usia dengan Semua usia PGK,
Target tekanan darah Target tekanan darah DM, tanpa PGK dengan atau tanpa DM
sistolik <150 mmHg sistolik <140 mmHg Target tekanan darah Target tekanan darah
diastolik <90 mmHg diastolik <90 mmHg sistolik <140 mmHg sistolik <140 mmHg
diastolik <90 mmHg diastolik <90 mmHg
Bukan ras kulit Ras kulit hitam
hitam
Diuretik golongan tiazid atau Diuretik golongan penghambat ACE atau
penghambat ACE atau ARB tiazid CCB tunggal atau ARB, tunggal atau
atau CCB tunggal atau kombinasi kombinasi dengan obat
Pilih strategi titrasi obat kelas lain
kombinasi

A. Maksimalkan dosis obat pertama sebelum menambahkan obat kedua


B. Tambahkan obat kedua sebelum obat pertama mencapai dosis maksimal
C. Mulai dengan 2 obat beda kelas atau dalam bentuk obat kombinasi

Tekanan darah sesuai target? Ya


Tidak
Kembali tekankan modifikasi gaya hidup dan pengobatan
Untuk strategi A dan B, tambahkan titrasi tiazid, penghambat ACE, ARB, atau CCB
(gunakan obat dari kelas yang belum digunakan dan hindari kombinasi ACE ARB)
Untuk strategi C, tritrasi dosis obat sampai maksimal

Tekanan darah sesuai target? Ya


Tidak
Kembali tekankan modifikasi gaya hidup dan pengobatan
Untuk strategi A dan B, tambahkan titrasi tiazid, penghambat ACE, ARB, atau CCB
(gunakan obat dari kelas yang belum digunakan dan hindari kombinasi ACE ARB)
Untuk strategi C, tritrasi dosis obat sampai maksimal

Tekanan darah sesuai target? Ya


Tidak
Kembali tekankan modifikasi gaya hidup dan pengobatan
Tambahkan obat dari kelas baru (misalnya beta bloket, agonis aldosteron, atau yang lain) dan/atau
rujuk ke dokter spesialis
Tidak
Tekanan darah sesuai target?

Ya
Lanjutkan pengobatan dan kontrol

23
Gambar 2.2. Algoritma Tatalaksana Hipertensi berdasarkan JNC VIII16

Diuretika

Diantara obat oral antihipertensi yang tersedia, diuretika telah digunakan lebih sering
dari lainnya karena keefektivitasannya dan dengan dosis yang lebih rendah, efek sampingnya
dapat dikurangi.Diuretika terdiri dari berbagai tipedilihat dari struktur dan tempat kerja pada
nefron.Agen diuretika yang bekerja pada tubulus proksimal (inhibitor karbonik anhidrase)
jarang digunakan untuk terapi hipertensi.15,18

Terapi biasanya dimulai dengan memberikan jenis Thiazide dalam dosis rendah,
sendiri atau dikombinasikan dengan obat anti hypertensive lainnya. Thiazide menghambat
pompa Na+/Cl– pada tubulus konvolusi distal sehingga meningkatkan ekskresi natrium.
Untuk jangka panjang, mereka juga dapat bekerja sebagai vasodilator.Thiazide aman untuk
digunakan, efektif dan tidak mahal. Efek untuk menurunkan tekanan darahnya dapat
bertambah jika dikombinasikan dengan beta blockers, ACE inhibitors, atau angiotensin
receptor blockers.Dosis hydrochlorothiazide yang biasa digunakan berkisar dari 6.25 sampai
50 mg/hari.15,18

Jika fungsi renal terganggu (contoh: serum kreatinin > 1.5 mg/dL) maka diuretika
loop atau metolazone dapat digunakan. Target utama dari agen ini adalah kotransporter Na+-
K+-2Cl– pada bagian tebal dari lengkung Henle. Selain itu diuretika loop juga digunakan
pada pasien dengan retensi natrium dan edema. Agen yang menjaga kadar kalium
(Potassium-sparing agent) bekerja dengan menghambat kanal sodium di epitel pada nefron
distal. Agen tipe ini merupakan agen antihipertensif yang lemah tetapi dapat dikombinasikan
dengan thiazide untuk memproteksi terjadinya hipokalemia.dapat diberikan untuk
mengurangi resiko terjadinya hipokalemia.15,18

24
Gambar 2.3. Nefron dan Tempat Kerja Berbagai Tipe Agen Diuretika18

Blocker dari sistem Renin-Angiotensin

ACE inhibitor bekerja dengan menurunkan produksi dari angiotensin II sehingga


mengurangi efek vasokonstriksi. ACE inhibitor juga mempunyai mekanisme lain yang
berkontribusi pada efek antihipertensif yaitu menaikkan level bradikinin, mengurangi
aktifitas sistem saraf simpatis dan menaikkan ekskresi natrium dari renal. Angiotensin II
receptor blocker mengeblok secara selektif terhadap reseptor Angiotensin I yang bersifat
vasokonstriktor, dan efek angiotensin II yang terikat pada reseptor Angiotensin 2 berupa
vasodilatasi semakin diperkuat. Kedua tipe ini efektif sebagai agen hipertensif dan daapat
digunakan sebagai monoterapi atau kombinasi dengan diuretika, calcium antagonistsdan
alpha-blocking agents. 15,18

Efek samping dari ACE inhibitor dan Angiotensin receptor blocker termasuk
insufisiensi fungsi renal karena terjadi dilatasi arteriol eferen pada ginjal dengan lesi stenotic
di arteri renal. Pada pasien yang meminum ACE inhibitor, batuk kering muncul pada sekitar
15% pasien dan angioedema muncul pada <1%. Hiperkalemia seringkali muncul sebagai efek
samping pada ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker.15,18

Beta Blockers

β-Adrenergic receptor blockers menurunkan tekanan darah dengan mengurangi output


jantung dengan sebelumnya mengurangi detak jantung dan kontraktilitas. Selain itu Beta
blocker juga mempunyai efek terhadap sistem saraf pusat dan menghambat pelepasan
renin.Beta blocker efektif pada pasien hipertensi dengan takikardia, dan potensi hipotensif
dari agen ini dapat diperkuat dengan penambahan diuretika. Pada pasien dengan gagal

25
jantung kongestif, beta blocker telah terbukti dapat menurunkan resiko untuk rawat inap dan
mortalitas.15

Calcium Channel Blocker

Calcium antagonist mengurangi resistansi vaskuler melalui blockade kanal-L pada pembuluh
darah sehingga mengurangi kalsium intraseluler dan menurunkan vasokonstriksi.Ada tiga
kelas pada agen antihipertensif ini: phenylalkylamines (verapamil), benzothiazepines
(diltiazem) dan 1,4-dihydropyridines (nifedipine-like). Digunakan sebagai monoterapi atau
kombinasi dengan agen lainnya (ACE inhibitors, beta blockers), calcium antagonists secara
efektif menurunkan tekanan darah. Efek samping yang dapat muncul adalah muka
kemerahan, sakit kepala, edema pada penggunaan dihydropyridine terkati dengan potensinya
sebagai dilator arteriolar, dan edema karena peningkatan pada gradient tekanan trans
kapiler.15

Tabel 2.3. Jenis Antihipertensi Oral2


Kelas Obat Subkelas Contoh obat Dosis/hari Efek Samping
Diuretik Tiazid HCT 12.5-50 mg Hipokalemia,
Klortalidon 12.5-2.5 hiperurisemia,
Loop diuretic Furosemid mg hipoglikemia,
Iduretik hemat Amilorid 20-40 mg peningkatan
kalium 5-10 mg kolesterol dan
trigiliserid
Penyekat β Propoanolol 40-160 mg Bronkospasme,
Atenolol 25-100 mg bradikardia, blok
Bisoprolol 2.5-10 mg jantung, rasa
lelah, peningkatan
trigliserid
Penghambat Captoprol 25-100 mg Batuk-batuk,
ACE Ramipil 2.5-20 mg hiperkalemia,
Lisinopril 10-40 mg azotemia,
angioedema
ARB Valsartan 80-320 mg Hiperkalemia,
Irbesartan 150-300 azotemia
Losartan mg

26
25-100 mg
CCB Nonhididropiridin Verapamil 120-360 Edema,
Dihidropiridin Diltiazem mg konstipasie,
Amlodipin 120-540 bradikaria, blok
Nifedipin mg jantung
2.5-10 mg
30-60 mg
Agonist α Klonidin 0.1-0.8 mg Mulut kering,
sentral pusing, sedasi
ringan, kelellahan,
depresi, edema
Reserpin 0.1-0.25 Depresi, mimpi
mg buruk, diskinesia,
letargi
Agonis Spironolakton 25-50 mg Hiperkalemia,
aldosterone ginekomastia,
hiponatremia,
ruam

2.2 Pengetahuan
2.2.1 Definisi Pengetahuan19
Menurut Notoatmodjo pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah
orang tersebut melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata
dan telinga. Pengetahuan kognitif adalah domain yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang (over behavior). Dari hasil pengalaman serta penelitian terbukti bahwa
perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak
didasari oleh pengetahuan. Penelitian yang dilakukan oleh Rogers (1974) mengungkapkan
bahwa sebelum seseorang mengadaptasi perilaku yang baru didalam diri orang tersebut
terjadi proses yang beruntun yaitu:
a. Awarenes (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih
dahulu terhadap stimulus (objek).

27
b. Interest (merasa tertarik) merasa tertarik terhadap stimulus atau objek tersebut disini
sikap subjek sudah mulai timbul.
c. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya) hal ini
berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
d. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh stimulus.
e. Adaption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran
dan sikapnya terhadap stimulus.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang, karena dari pengalaman dan penelitian yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.

2.2.2 Tingkatan Pengetahuan19


Menurut Bloom (1987) dikutip oleh Notoatmodjo (2007), pengetahuan yang dicakup
didalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu:
a. Tahu (Know) diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali
(recall), terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima.
b. Memahami (Comprehension) diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi
tersebut secara benar.
c. Aplikasi (Aplication) diartikan kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).
d. Analisis (Analysis) merupakan suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur
organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (Syntesis) menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
f. Evaluasi (evaluation) berkaitan dengan kemajuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek.

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan19

28
Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu :
a. Pengalaman, dimana dapat diperoleh dari pengalaman diri sendiri atau orang lain.
Misalnya, jika seseorang pernah merawat seorang anggota keluarga yang sakit hipertensi,
umumnya menjadi lebih tahu tindakan yang harus dilakukan jika terkena hipertensi.
b. Tingkat pendidikan, dimana pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan
seseorang. Secara umum, seseorang yang memiliki pengetahuan yang tingi akan
mempunyai pengalaman yang lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang tingkat
pendidikannya lebih rendah.
c. Sumber informasi, keterpaparan seseorang terhadap informasi mempengaruhi tingkat
pengetahuaannya. Sumber informasi yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang,
misalnya televise, radio, Koran, buku, majalah dan internet.

2.2.4 Pengukuran Pengetahuan19


Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang
menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita
ketahui dapat disesuaikan dengan tingkat domain diatas.

2.3 Perilaku
2.3.1 Definisi Perilaku19
Menurut Notoatmodjo (2007) perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia,
baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Menurut
Robert kwick (1974) perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat
diamati bahkan dapat dipelajari.
Menurut Ensiklopedia Amerika perilaku diartikan sebagai suatu aksi dan reaksi
organisme terhadap lingkungannya. Skiner (1938) seorang ahli psikologi merumuskan bahwa
perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).
Namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau
faktorfaktor lain dari orang yang bersangkutan. Faktor-faktor yang membedakan respons
terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku dibedakan
menjadi dua yaitu :
1) Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan yang
bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis
kelamin, dan sebagainya.

29
2) Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya,
ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini merupakan faktor dominan yang
mewarnai perilaku seseorang.

2.2.2 Determinan Perilaku19


Green (1980), mencoba menganalisis perilaku manusia berangkat dari tingkat
kesehatan. Bahwa kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok,
yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior causes).
Perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor, yakni :
1) Faktor-faktor Predisposisi (predisposing factors)
Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi
dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem
nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.
Ikhwal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: untuk berperilaku kesehatan, misalnya
pemeriksaan kehamilan bagi ibu hamil diperlukan pengetahuan dan kesadaran ibu
tersebut tentang manfaat periksa hamil, baik bagi kesehatan ibu sendiri dan janinnya. Di
samping itu, kadang-kadang kepercayaan, tradisi, sistem nilai masyarakat juga dapat
mendorong atau menghambat ibu untuk periksa hamil, misalnya orang hamil tidak boleh
disuntik (periksa hamil termasuk memperoleh suntikan anti tetanus), karena suntik bisa
menyebabkan anak cacat. Karena faktor ini terutama yang positif mempermudah
terwujudnya perilaku, maka sering disebut faktor pemudah.
2) Faktor-faktor sarana dan prasarana (enabling factors)
Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan
bagi masyarakat, misalnya: air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan
tinja, ketersediaan makanan yang bergizi, dan sebagainya.

30
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui hubunngan
pengetahuan dan perilaku masyarakat terhadap penderita hipertensi di Desa Pasir Muncang Wilayah
Kerja UPTD Puskesmas Cikaum periode November 2018. Penelitian ini disajikan dalam bentuk
distribusi frekuensi terhadap variabel yang diteliti yaiu variabel pengetahuan dan variabel perilaku.

3.2. Subjek Penelitian


3.2.1 Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua masyarakat di Desa Pasir Muncang Wilayah
UPTD Puskesmas Cikaum.
3.2.2. Kriteria Inklusi

 Masyarakat di Desa Pasir Muncang Wilayah UPTD Puskesmas Cikaum


 Usia lebih dari 18 tahun
 Subyek bersedia mengikuti wawancara

3.2.3. Kriteria Eksklusi

 Masyarakat di Desa Pasir Muncang Wilayah UPTD Puskesmas Cikaum yang tidak menjawab
kuesioner secara lengkap

31
3.3 Variabel dan Definisi Operasional
3.5 Variabel Penelitian
Variabel penelitian merupakan objek penelitian atau apa yang menjadi perhatian dalam suatu
penelitian.
3.5.1 Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini pengetahuan dan prilaku
3.5.2 Variabel terikat
Variabel Terikat dalam penelitian ini adalah hipertensi.

Definisi Alat Skala


No Variabel Cara ukur Hasil Ukur
Operasional Ukur Ukur

1 Pengetahuan Aspek yang Kuesioner Wawancara Baik, jika Ordinal


diketahui dan responden dapat
mampu diingat menjawab ≥
oleh responden mean (kode 1).
tentang upaya
mencegah Kurang, jika
kekambuhan responden tidak
penyakit bisa mejawab <
hipertensi. mean (kode 2).

2. Prilaku Segala Kuesioner Wawancara Positif, jika Ordinal


pandangan atau responden dapat
pendapat menjawab ≥
responden yang mean (kode 1).
berkaitan
dengan upaya Negatif, jika
mencegah responden tidak
kekambuhan bisa mejawab <
penyakit mean (kode 2).
hipertensi.

3.4 Cara sampling

32
Pengambilan sampel ini dilakukan dengan cara simple random sampling dimana masyarakat
yang dipilih dalam populasi terjangkau mempunyai kesempatan yang sama untuk ikut serta sebagai
sempel. (Notoatmodjo, 2010).

3.4.5 Besar sampel


Besar sampel ditentukan dengan rumus Slovin. Formula sampelnya adalah sebagai
berikut
N
𝑛=
1 + 𝑁 (𝑑²)

n : jumlah sampel
N : besar populasi
d : tingkat pengetahuan yang digunakan 0,1
Jumlah masyarakat yang menderita hipertensi terpilih sebanyak 75 orang, maka didapatkan
:

n= N n= 7247
1 +7247 (0,12)
1+ N (d2)

n= 7247
73,47 Jadi n = 99 hipertensi

n = 98,6

3.7 Prosedur Penelitian


3.7.1 Teknik Pengumpulan Data
Data diperoleh dari pengisian kuesioner yang telah disiapkan oleh peneliti dengan
menggunakan teknik wawancara dan pegisian kuesioner secara mandiri.
3.7.2 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian berupa kuesioner yang berisi pertanyaan tertulis tentang pengetahuan
dan perilaku penderita hipertensi. Pengetahuan reponden dianggap baik apabila benar dalam
menjawab 8 pertanyaan dan buruk bila hanya menjawab ≤ 7 pertanyaan. Perilaku responden
dianggap baik apabila melakukan ≥ 7 perilaku dan kurang baik bila melakukan ≤ 6.

3.7.3 Teknik Pengolahan Data


a. Pengolahan Data (editing)

33
Meneliti kembali apakah lembar kuesioner sudah cukup baik sehingga dapat di proses lebih
lanjut. Editing dapat dilakukan di tempat pengumpulan data sehingga jika terjadi kesalahan
maka upaya perbaikan dapat segera dilaksanakan.
b. Pengkodean (Coding)
Usaha mengklarifikasi jawaban-jawaban yang ada menurut macamnya, menjadi bentuk yang
lebih ringkas dengan menggunakan kode.
c. Pemasukan Data (Entry)
Memasukan data ke dalam perangkat komputer sesuai dengan kriteria.
d. Pembersihan Data (Cleaning data)
Data yang telah di masukan kedalam komputer diperiksa kembali untuk mengkoreksi
kemungkinan kesalahan.

3.7.4 Tehnik Analisis Data


Pada penelitian ini digunakan analisa univariat yaitu analisa yang dilakukan terhadap setiap variabel
dari hasil penelitian dalam analisa ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel
yang diteliti yaitu variabel pengetahuan, dan variable perilaku.

3.7.5. Penyajian Data

Data yang telah terkumpul secara deskriptif akan disajikan dalam bentuk tabel dan diagram

3.7.6. Seminar hasil penelitian

Seminar penelitian dalam bentuk presentasi untuk mempublikasikan hasil penelitian yang telah

disusun.

3.7 Lokasi dan Waktu Penelitian


3.7.1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Pasir Muncang Wilayah UPTD Puskesmas Cikaum,
Kabupaten Subang.

3.7.2. Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan Bulan November 2018.

3.9.2 Analisis Univariat


Analisis Univariate dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Pada umumnya
dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel.

34
3.9.3 Analisis Bivariat
Uji normalitas data digunakan untuk menilai distribusi data mempunyai distribusi normal atau
tidak secara analsis. Uji normalitas dilakukan dengan Kolmogorov-Smirnov atau Shapiro-Wilk. Uji
Komologrov-Smirnov digunakan unruk sampel yang besar (lebih dari 50) sedangkan Shapiro-Wilk
untuk sampel yang sedikit (kurang atau sama dengan dari 50), maka dari itu penelitian ini
mengunakan uji Shapiro-Wilk.
Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui korelasi antara dua variabel yaitu variabel bebas
maupun variabel terikat, uji yang digunakan adalah uji korelasi mann whitney jika distribusi normal
terpenuhi. Jika syarat distribusi normal tidak terpenuhi (p<0,05) akan digunakan uji chi square.

3.8 Jadwal Penlitian

2018 2019
Jadwal Bulan
No
Penelitian Septembe Oktober November Januari
Desember
r
1 Penentuan judul
2 Pengumpulan
literatur
3 Penyusunan
MiniProject
Penelitian
5 Pengumpulan
data
6 Pengolahan data
7 Penyusunan
Mini Project
8 Seminar hasil
Mini Project

BAB IV
HASIL

4.1 Profil UPTD Puskesmas Cikaum

35
Letak geografis UPTD Puskesmas DTP Cikaum berada di Desa Tanjung
Sari Barat Kecamatan Cikaum Kabupaten Subang dengan luas wilayah kerja
seluas 10.018,32 Km², merupakan daerah dijalur alternative kecamatan yang tidak
dilalui jalur protokoler baik jalur propinsi ataupun jalur kabupaten dengan Jumlah
KK 13824, Jumlah Rw. 45 Jumlah Rt.181 batas wilayah :

Sebelah Barat : Berbatasan dengan Puskesmas Rancabango

Sebelah Utara : Berbatasan dengan Puskesmas Wanajaya

Sebelah Timur : Berbatasan dengan Puskesmas Binong

Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Puskesmas Purwadadi

Puskesmas Cikaum meliputi 9 (sembilan) desa binaan yaitu :

1. Desa Tanjung Sari Barat, jarak ke Puskesmas ±100 m.


2. Desa Tanjung Sari Timur, jarak ke Puskesmas ± 1.000 m.
3. Desa Gandasari, jarak ke Puskesmas ± 1.300 m.
4. Desa Mekarsari, jarak ke Puskesmas ± 2.600 m.
5. Desa Cikaum Barat, jarak ke Puskesmas ± 3.100 m.
6. Desa Cikaum Timur, jarak ke Puskesmas ± 3.750 m.
7. Desa Sindangsari, jarak ke Puskesmas ± 5.560 m.
8. Desa Kaunganten, jarak ke Puskesmas ± 6.230 m.
9. Desa Pasir Muncang, jarak ke Puskesmas ± 7.710 m.
JML. JML. JML.
NO DESA
KK RW RT

1 KAUNGANTEUN 1.121 6 24

2 SINDANGSARI 1.386 7 27

3 CIKAUM TIMUR 906 3 10

4 CIKAUM BARAT 1.269 3 14

5 PASIRMUNCANG 1.429 6 20

6 GANDASARI 1.713 5 18

7 MEKARSARI 2.561 7 31

36
8 TJS. BARAT 1.498 4 13

9 TJS. TIMUR 1.941 4 25

JUMLAH 13.824 45 182

4.1.1 Kependudukan
Jumlah penduduk Puskesmas Cikaum pada tahun 2017 berjumlah 13.824 KK
dengan 48.824 jiwa (sumber Data Pendataan keluarga tingkat kecamatan tahun 2016),
terdiri dari 23.563 laki-laki dan 25.261 perempuan, sehingga sex ratio sebesar 93,42 %
yang artinya rata-rata setiap 93 orang perempuan terdapat 100 laki-laki. Dengan luas
wilayah 13.819 Km², Kepadatan penduduk sangat erat kaitannya dengan penyebaran
penyakit disuatu wilayah, tingginya kasus – kasus penyakit infeksi dan menular adalah
dampak dari kepadatan penduduk yang tinggi dan kondisi lingkungan yang buruk.

Tingkat kepadatan penduduk juga dipengaruhi oleh mobilitas penduduk, baik emigrasi
maupun imigrasi. Pola mobilitas penduduk di Puskesmas Cikaum adalah jumlah
imigrasi lebih Kecil daripada emigrasi, hal ini erat dikarenakan Mobilitas penduduk
berkaitan erat dengan masalah-masalah kesehatan yang bersifat lintas batas wilayah,
seperti: HIV/AIDS, malaria, Demam Berdarah, keracunan makanan, dan lain-lain.
4.1.2 Lingkungan Sosial Ekonomi dan Budaya.
Lingkungan sosial ekonomi di wilayah UPTD Puskesmas DTP Cikaum beraneka
ragam dari Masyarakat miskin sampai Masyarakat yang tergolong berada secara
ekonomi. Semuanya dipengaruhi oleh mata pencaharian dari masing-masing kepala
keluarganya.
Mata pencaharian penduduk di wilayah UPTD Puskesmas DTP Cikaum sebagian besar
terdiri dari Buruh tani, Petani Pemilik, wiraswasta, Pedagang, Pegawai swasta, Pegawai
Negeri, Buruh kasar, dan TKI serta buruh tidak tetap.
Jumlah penduduk miskin di wilayah kerja Puskesmas Cikaum pada tahun 2017 adalah
sebanyak 1979 3 jiwa dengan penyebaran terbanyak terdapat di Desa Pasirmuncang
dengan jumlah 3079 jiwa dan terendah di desa Cikaum Timur dengan jumlah 1449
jiwa.
4.1.3 Lingkungan Fisik
Puskesmas Cikaum mempunyai wilayah kerja seluas 10.018,32 Km², yang terdiri dari 9
Desa, dengan batas wilayah :

37
Sebelah Barat : Berbatasan dengan Puskesmas Rancabango

Sebelah Utara : Berbatasan dengan Puskesmas Wanajaya

Sebelah Timur : Berbatasan dengan Puskesmas Binong

Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Puskesmas Purwadadi

Adapun daerah rawan di wilayah UPTD Puskesmas DTP Cikaum baik dari segi
sosial ekonomi maupun sarana jalan dan Akses ke Pusat Kesehatan Masyarakat yaitu
Desa Pasirmuncang.

Katagori Desa, Jumlah Rt/Rw, jarak ke Pasilitas kesehatan dan rata-rata waktu tempuh
dan kondisi keterjangkauan di wilayah UPTD Puskesmas DTP Cikaum terdapat pada
tabel di bawah ini.

Peta Puskesmas Cikaum dapat dilihat pada Gambar 2.1.

4.2 Data Geografis Desa Pasirmuncang

Wilayah Desa Pasirmuncang

Luas wilayah : 1.980664 Ha

Jarak ke Puskesmas : 8 Km

38
Jarak ke Rumah Sakit : 25 Km

Jumlah Dusun :6

Jumlah RT : 20

Jumlah RW : 6 (Enam)

Batas Wilayah

Sebelah Utara berbatasan engan Desa Gandasari

Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Prapatan

Sebelah timur Berbatasan dengan Desa Cikuam Barat

Sebelah Barat berabatasan dengan Desa Pasirbungur

4.2.1 Data Demogarafik

Jumlah Penduduk : 7247 Jiwa

Laki-laki : 3646 Jiwa

Perempuan : 3601 Jiwa

Jumlah Kepala Keluarga : 2469 KK

Jumlah Penduduk Miskin/KK Miskin : 703 Orang

Askeskin : 985 Orang

Jumlah Ibu Hamil : 15 Orang

Jumlah Ibu Bersalin :12 Orang

Jumlah Ibu Nifas : 9 Orang

Jumlah Ibu Menyusui : 31 Orang

Jumlah Bayi : 12 Orang

Jumlah Balita : 394 Orang

39
Jumlah WUS : 716 Orang

Jumlah PUS : 1221 Orang

Jumlah Suami Siaga : 15 Orang

4.2.2 Sumber Daya Kesehatan yang ada

Bidan Desa : 2 Orang

Perawat : -

Pos KB : 1 Orang

PL KB : 1 Orang

Dokter Praktek : -

4.2.3 Sarana Pelayanan Kesehatan yang ada

Polindes: 1

4.2 Hasil Penelitian


Hasil penelitian yang diperoleh berdasarkan kuesioner yang dibagikan kepada 98
responden di Wilayah Kerja Puskesmas Cikaum adalah sebagai berikut:

4.2.1 Tingkat Kejadian Hipertensi


Berdasarkan hasil pengumpulan data penelitian yang dilakukan pada responden di
Puskesmas Cikaum, Kabupaten Subang, Jawa Barat, diperoleh angka kejadian Hipertensi
sebagai berikut :

40
No Penyakit Jumlah Presentase
1 Hipertensi 61 62.24%
2 Non Hipertensi 37 37.75%
Jumlah 98 100%
4.1 Tabel Angka Kejadian Hipertensi di Desa Pasirmuncang, Wilayah Kerja Puskesmas
Cikaum

Berdasarkan tabel diatas dari 98 responden di Desa Pasirmuncang, Wilayah Kerja Puskesmas
Cikaum angka kejadian Hipertensi yaitu berjumlah 61 orang (62.2%). Sedangkan responden
yang tidak memiliki penyakit hipertensi yaitu berjumlah 37 orang (3.7%). Hal ini sesuai
berdasarkan dari data rekapan program kegiatan puskesmas keliling selama tahun 2018,
bahwa kasus penyakit tidak menular, khususnya penyakt Hipertensi yang beradaa di Wilayah
Kerja UPTD Puskesmas Cikaum, di Desa Pasirmuncang menduduki peringkat pertama
dengan tingkat kejadian Hipertensi paling banyak

4.2.2 Pendidikan Terakhir


Berdasarkan hasil pengumpulan data penelitian yang dilakukan pada responden di
Puskesmas Cikaum, Kabupaten Subang, Jawa Barat, diperoleh gambaran karekteristik
responden berdasarkan pendidikan terakhir seperti tabel dibawah ini.

No Tingkat pendidikan Jumlah Persentase

1 SD 74 75.5%

2 SMP 18 18.4%

3 SMA 5 5.1%

4 D3 1 1%

Jumlah 98 100%

4.2 Tabel karakteristik sampel penelitian berdasarkan pendidikan terakhir

Berdasarkan tabel karakteristik diatas responden dengan pendidikan terkahir D3


berjumlah 1 orang (1%). Responden dengan pendidikan terakhir SMA berjumlah 5 orang
(5.1%). Responden dengan pendidikan terakhir SMP berjumlah 18 (18.4%). Responden
terbanyak dengan penelitian terakhir adalah SD yang berjumlah 74 orang, dengan presentase
75.5 %. Berdasarkan hal tersebut

41
4.3.2 Tingkat Pengetahuan

Berdasarkan pengisian kuisioner melalui wawancara langsung lalu dinilai. Responden dinyatakan
dengan pengetahuan yang Baik, jika responden dapat menjawab ≥ 9mean (kode 1). Dan dinyatakan
dengan pendidikan kurang, jika responden tidak bisa mejawab <2 mean (kode 0).

No Pengetahuan Jumlah Persentase

1 Baik 82 83.7%

2 Kurang baik 16 16.3%

Jumlah 98 100%

4.2 Tabel distribusi frekuensi responden menurut Pengetahuan di wilayah

Kerja Puskesmas Cikaum Tahun 2018

Tabel diatas memperlihatkan hasil penelitian dari 98 responden di wilayah Kerja


Puskesmas Cikaum Tahun 2018 diketahui bahwa responden yang berpengetahuan
baik sejumlah 82 responden (83.7%), dan sisanya berpengetahuan kurang baik
sejumlah 16 responden (16.3%). Hal tersebut menunjukan bahwa sebagian besar
responden berpengetahuan baik.

4.3 Tabel distribusi frekuensi pengetahuan pada responden pada Penderita Hipertensi

dalam di wilayah Kerja Puskesmas Cikaum Tahun 2018

Pengetahuan Jumlah Persentase

1 Baik 50 81.96%

2 Kurang baik 11 18.03%

Jumlah 61 100%

Tabel diatas memperlihatkan hasil penelitian dari 61 responden yag menderita hipertesi
diketahui bahwa responden yang berpengetahuan baik sejumlah 50 responden
(81.96%), dan sisanya berpengetahuan kurang baik sejumlah 11 responden (18.03%).
Hal tersebut menunjukan bahwa sebagian besar responden yang merupakan penderita
hipertensi berpengetahuan kurang baik.

4.4 Tabel distribusi frekuensi pengetahuan responden yang bukan Penderita Hipertensi

di wilayah Kerja Puskesmas Cikaum Tahun 2018

42
Pengetahuan Jumlah Persentase

1 Baik 32 86.5%

2 Kurang baik 5 13.5%

Jumlah 37 100%

Tabel diatas memperlihatkan hasil penelitian dari 37 responden yang bukan


penderita hipertensi diketahui bahwa responden yang berpengetahuan baik sejumlah 32
responden (86.48%), dan sisanya berpengetahuan kurang baik sejumlah 5 responden
(13.5%). Hal tersebut menunjukan bahwa sebagian besar responden yang bukan
penderita hipertensi berpengetahuan baik.

4.3 Perilaku responden


Perilaku penderita hipertensi dalam diperoleh hasil sebagaimana ditampilkan pada

tabel 4.2. Responden dinyatakan dengan perilaku yang Baik, jika responden dapat

menjawab ≥ 6 mean (kode 1). Dan dinyatakan dengan perilaku kurang baik, jika

responden bisa mejawab <5 mean (kode 2).

Tabel 4.6 Distribusi frekuensi responden menurut perilaku pada masyrakat di Wilayah Kerja
Puskesmas Cikaum, Tahun 2018

No Perilaku Jumlah Persentase

1 Positif 63 64.3%

2 Negatif 35 35.7%

Jumlah 98 100%

Tabel menunjukan bahwa responden yang memiliki perilaku positif


sejumlah 63 responden dengan presentasi 64.3% dan penderita hipertensi yang
memiliki perilaku negatif sejumlah 35 responden dengan presentase 35.7%.

4.3 Tabel distribusi frekuensi perilaku pada responden pada Penderita Hipertensi

43
dalam di wilayah Kerja Puskesmas Cikaum Tahun 2018

Pengetahuan Jumlah Persentase

1 Positif 16 26.22%

2 Negatif 45 73.7%

Jumlah 61 100%

Tabel diatas memperlihatkan hasil penelitian dari 61 responden yag menderita hipertesi
diketahui bahwa responden yang berperilaku positif sejumlah 16 responden (26.22%),
dan sisanya berperilaku negatif sejumlah 45 responden (73.3%). Hal tersebut
menunjukan bahwa sebagian besar responden yang merupakan penderita hipertensi
berperilaku negatif.

4.7 Tabel distribusi frekuensi pengetahuan responden yang bukan Penderita Hipertensi

di wilayah Kerja Puskesmas Cikaum Tahun 2018

Pengetahuan Jumlah Persentase

1 Positif 29 78.3%

2 Negatif 8 21.6%

Jumlah 37 100%

Tabel diatas memperlihatkan hasil penelitian dari 37 responden yang bukan penderita
hipertensi diketahui bahwa responden yang berperilaku positif sejumlah 29 responden
(78.3%), dan sisanya berperilaku negatif sejumlah 8 responden (21.%). Hal tersebut
menunjukan bahwa sebagian besar responden yang bukan penderita hipertensi
berperilaku positif.

4.4 Hubungan pengetahuan responden terhadap tingkat kejadian hipertensi di


wilayah Kerja Puskesmas Cikaum Tahun 2018

Berdasarkan hasil analisis data dari penelitian yang dianalisis menggunakan


uji Chi Square dengan program SPSS versi 17.0. Nilai yang dipakai pada Chi Square
adalah jika nilai p < 0.05 berarti menunjukan hasil bermakna atau terdapat korelasi.

44
Pada penelitian ini didapatkan hasil nilai p adalah 0,557, karena nilai p < 0.05 maka
artinya tidak ada hubungan antara pengetahuan pasien dengan tingkat kejadian
hipertensi. Dalam hal ini pengetahuan responden baik yang menderita hipertensi
maupun bukan penderita hipertensi di desa pasir muncang sudah cukup baik. Hal ini
sesuai dengan program pengendalian dan pemberantasan penyakit Menular dan tidak
menular (P2M) yang selalu mengadakan program rutin khususnya untuk penyakit
hipertensi. Program tersebut juga mencakup pelaksanaan kegiatan penyuluhan
mengenai berbagai penyakit untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat terutama
terhadap penyakit hipertensi.

4.4 Hubungan perilaku responden terhadap tingkat kejadian hipertensi di wilayah


Kerja Puskesmas Cikaum Tahun 2018
Berdasarkan hasil analisis data dari penelitian yang dianalisis menggunakan uji Chi
Square dengan program SPSS versi 17.0. Nilai yang dipakai pada Chi Square adalah
jika nilai p < 0.05 berarti menunjukan hasil bermakna atau terdapat korelasi. Pada
penelitian ini didapatkan hasil nilai p adalah 0,000, karena nilai p < 0.05 maka artinya
terdapat hubungan antara perilaku pasien dengan tingkat kejadian hipertensi.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Desa

Pasir Muncang memiliki pengetahuan yang mayoritas pasien hipertensi di Poliklinik Umum

45
Puskesmas Citeureup memiliki tingkat kepatuhan yang rendah dalam penggunaan obat

antihipertensi yaitu sebanyak 37 orang (74%).

5.2. Saran

Rendahnya tingkat kepatuhan penggunaan obat antihipertensi di Puskesmas Citeureup


menjadi alasan perlunya diadakan penyuluhan oleh tenaga kesehatan tentang kepatuhan
penggunaan obat pada pasien hipertensi untuk meningkatkan keberhasilan terapi. Penelitian
ini belum menentukan faktor demografi apa saja yang mempengaruhi tingkat kepatuhan
pasien hipertensi dalam mengkonsumsi obat antihipertensi sehingga diperlukan penelitian
lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar untuk mengetahui faktor demografi yang
berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan penggunaan obat. Hubungan tingkat kepatuhan
penggunaan obat antihipertensi dan tekanan darah pasien hipertensi dapat diteliti lebih lanjut
untuk mengetahui adakah hubungan antara tingkat kepatuhan penggunaan obat antihipertensi
terhadap keberhasilan terapi pasien hipertensi.

46

Anda mungkin juga menyukai