Kegiatan
Intervensi
Masyarakat
di Kecamatan
Poncokusumo
ERADIKASI SKABIES
Tanggal Pelaksanaan:
17 Desember 2014
Tempat:
Pondok Pesantren Al-Ittihad, Desa
Belung, Kec.Poncokusumo
Tanggal Evaluasi:
15 Januari 2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Skabies atau yang umum dikenal dengan penyakit gudik adalah penyakit yang
kulit menular akibat infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes scabei yang berada
dalam terowongan di stratum korneum kulit manusia. Gejala yang ditimbulkan hanya
rasa gatal terutama pada malam hari, muncul meruntus-meruntus di kulit, dan bersifat
menular dengan cepat dalam serumah. Memang gejala yang ditimbulkan ringan dan
tidak menunjukan efek yang signifikan secara langsung, namun berikut akan dijabarkan
sebagian efek jangka panjang yang ditimbulkan dari penyakit akibat kutu ini.
Bila dipelajari lebih lanjut, orang-orang yang menderita scabies akan
mengalami kesulitan tidur di malam hari, yang akan berdampak pada penurunan kinerja
da efektivitas kerja/studi yang akan dijalani hari esoknya, jika berkepanjangan akan
mengakibatkan penurunan prestasi dan daya saing. Dimana jika dibiarkan saja,
penyakit ini dapat menyebar luas dengan cepat dan menurunkan kualitas SDM dalam 1
lingkungan yang semakin meluas. Bila suatu lingkungan dinyatakan banyak
kutu/scabies, maka otomatis devisa wilayah tersebut akan turun dari turis dan
pengunjung. Selain itu, meruntus-meruntus yang muncul di kulit menimbulkan rasa
kurang percaya diri bagi penderitanya, ditambah lagi bila terjadi infeksi sekunder
kuman komensal yang membuat penampakan kelainan kulit menjadi memberat. Rasa
tidak percaya diri akan menimbulkan gangguan kepribadian yang berkepanjangan jika
dibiarkan terus-menerus.
Di kecamatan Poncokusumo, penulis menemukan banyak kasus scabies,
terutama berasal dari daerah Belung, Pajaran, dan Karanganyar. Dalam situasi
demikian, penulis mengumpulkan informasi yang menunjang temuan di poli umum
Puskesmas Poncokusumo, yakni di daerah-daerah tersebut terdapat banyak tempat
tinggal bersama berupa pondok-pondok pesantren. Penulis menemukan kasus sebanyak
33 kasus scabies dalam kurun waktu satu bulan sejak penulis menjalankan tugas
sebagai dokter di poli pengobatan umum. Penulis pun tergerak untuk melakukan
intervensi terhadap temuan ini, yang pula terdapat kasus kambuhan. Intervensi yang
dilakukan sebagai sebuah tahap awal penerapan program kesehatan pemerintah, yakni
kesehatan lingkungan dan pembinaan instansi berupa poskestren. Sehubungan dengan
cara pengobatan yang sederhana dan efisien, serta memungkinkan untuk dilakukan
secara serentak sangat disayangkan bila penderita tidak tertangani dan mengalami
akibat yang begitu luas, seperti insomnia berkepanjangan, penurunan prestasi, dan
kualitas hidup. Maka, alangkah baiknya sebagai tenaga kesehatan mampu
mengeradikasi scabies.
1.2.
I.
RUMUSAN MASALAH
Ditemukan angka kasus kejadian Skabies yang tinggi, yakni 33 kasus dalam satu
bulan di Puskesmas Poncokusumo, yang mayoritas berasal dari pondok-pondok
pesantren.
II.
III.
1.3.
I.
II.
III.
IV.
BAB II
MATERI dan METODE
2.1.
SUMBER DATA
1) Data Kasus Skabies
Data kasus scabies yang dikumpulkan penulis secara primer, yakni langsung dari
temuan di Poliklinik Umum yang terdapat di Puskesmas Poncokusumo.
2) Data Umum
Data umum yang dikumpulkan penulis adalah data geografis, demogrrafis, tenaga
dan fasilitas kesehatan yang tersedia.
Data Geografis
Poncokusumo adalah kecamatan dengan luas wilayah berkisar 157,94
2
km dengan wilayah cakupan berjumlah 17 desa. Pada kecamatan ini terdapat
sebuah Unit Pelaksana Teknis Dinas berupa sebuah Puskesmas. Puskesmas ini
merupakan 1 dari 38 UPTD yang ada di Kabupaten Malang. Menurut SK Bupati
No. 35 tahun 2001, UPTD Puskesmas Poncokusumo berhak melaksanakan
pembangunan bidang kesehatan secara mandiri dan mempunyai kewenangan
mengelola sumber daya, merencanakan, dan mendisain bentuk pembangunan
kesehatan di wilayah kecamatannya sesuai dengan situasi, kondisi, kultur budaya,
dan potensi setempat. Kecamatan Poncokusumo berada pada ketinggian 600
meter di atas permukaan laut dengan suhu minimum/maksimum : 18oC / 30oC.
Batas-batas wilayah:
Utara
: Kecamatan Tumpang
Timur
: Kecamatan Lumajang
Selatan
: Kecamatan Wajak
Barat
: Kecamatan Tajinan
Luas wilayah Poncokusumo 157,94 km2 dengan pembagian:
o Pemukiman : 18,10 km2
o Persawahan : 79,85 km2
o Perhutanan : 32,87 km2
o Lain-lain
: 27,12 km2
o
o
o
o
o
o
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Data Demografik
Menurut data kependudukan tahun 2013, kecamatan Poncokusumo memiliki:
Jumlah Penduduk
: 94.287 jiwa
Jumlah KK
: 32.742 KK
Laki-laki
: 46.753 jiwa
Perempuan
: 47.534 jiwa
Bayi
: 1.558 jiwa
Balita
: 14.022 jiwa
Ada 17 desa yang termasuk dalam wilayah kerja Puskesmas Poncokusumo:
Argosuko
Belung
Dawuhan
Gubugklakah
Jambesari
Karanganyar
7. Karangnongko
8. Ngadas
9. Ngadireso
10. Ngebruk
11. Pajaran
12. Pandansari
13. Poncokusumo
14. Sumberejo
15. Wonomulyo
16. Wonorejo
17. Wringinanom
1 Sanitarian
1 Nutritionis
1 Analis Laborat
1 Asisten Apoteker
1 Driver
1 Pesuruh
3 Magang
METODE
Data kasus scabies yang dikumpulkan penulis adalah hasil pencatatan dari temuan
kasus Skabies didapatkan secara primer/langsung di Poli Umum (accidental) dan
digabung dengan hasil wawancara penderita. Wawancara dilakukan sehubungan dengan
cara penularan penyakit, yakni orang-orang serumah, sehingga penulis mendorong
penderita untuk mengajak seluruh anggota keluarganya yang serumah berobat ke
Puskesmas (active case finding) dan menjalankan gerakan bersih scabies/gudik
(visitasi).
BAB III
LANDASAN dan KERANGKA TEORI
3.1. GAMBARAN SKABIES
Menurut Juanda, Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi
dan sensitisasi kulit terhadap Sarcoptes scabiei dan produknya. Parasit ini menggali
paritparit di dalam epidermis sehingga menimbulkan gata-gatal dan merusak kulit
penderita. Menurut Wahidayat, skabies adalah penyakit kulit yang mudah menular dan
ditimbulkan oleh infestasi kutu Sarcoptes scabiei var homini yang membuat
terowongan pada stratum korneum kulit, terutama pada tempat predileksi.
Sarcoptes scabiei adalah parasit yang termasuk dalam filum artropoda
(serangga). Secara morfologi, merupakan tungau kecil berbentuk oval, punggungnya
cembung dan bagian perutnya rata. Berwarna putih kotor, ukuran yang betina berkisar
330-450 mikron x 250-350 mikron, sedangkan yang jantan lebih kecil, yakni 200-240
mikron x 150-200 mikron.
Siklus hidup tungau ini adalah sebagai berikut, setelah kopulasi yang terjadi di
atas kulit, tungau jantan akan mati. Tungau betina yang telah dibuahi akan menggali
terowongan dalam stratum korneum dengan kecepatan 2-3 milimeter perhari dan
meletakkan telurnya 2-4 butir sehari sampai mencapai jumlah 40-50 butir telur. Telur
akan menetas biasanya dalam waktu 3-5 hari dan menjadi larva. Larva ini dapat tinggal,
tetapi dapat juga keluar. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa
memerlukan waktu antara 8-12 hari.
Skabies umumnya menyerang bagian lipatan tubuh. Gejala gatal-gatal,
menyerang pada bagian kulit di malam hari. Penyakit skabies, disebabkan faktor
kebersihan yang kurang dipelihara secara baik. Alat tidur berupa kasur, sprei, bantal,
tempat tidur dan kondisi kamar yang pengab, dapat memicu terjadinya gatal-gatal.
Penyakit gatal-gatal ini mudah menyerang siapapun yang jarang mandi. Karena itu, jika
ingin menghindar dari serangan penyakit gatal-gatal, maka harus menjaga kebersihan.
Bahkan skabies dapat menjangkit siapa saja yang bersentuhan tubuh dengan penderita.
Skabies sering dikaitkan sebagai penyakitnya anak pesantren alasannya karena
anak pesantren suka/gemar bertukar, pinjam meminjam pakaian, handuk, sarung,
bahkan bantal, guling dan kasurnya kepada sesamanya, sehingga disinilah kunci
akrabnya penyakit ini dengan dunia pesantren.
3.2. FAKTOR PREDISPOSISI
Banyak faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini, antara lain sosial
ekonomi yang rendah, hygiene yang buruk, hubungan seksual dengan berganti-ganti
pasangan, perkembangan demografis serta ekologis. Penyakit skabies disebut juga
penyakit masyarakat karena mudah menular dan sangat cepat perkembangannya,
terutama di tempat yang padat penduduk.
Kelainan kulit ini tidak hanya dapat disebabkan oleh tungau skabies, tetapi
juga oleh garukan penderita sendiri. Gatal yang terjadi di sebabkan oleh sensitisasi
terhadap sekreta dan ekskreta tungau. Kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan
ditemukannya papula, vesikel, urtika, dll. Dengan garukan dapat timbul erosi,
ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder.
Pasien dengan skabies mempunyai gejala yang sangat khas. Ini berbeda
dengan penyakit kulit yang lain. Gejala tersebut antara lain :
1) Proritus nocturna, yakni gatal pada malam hari. Ini terjadi karena aktivitas tungau
lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas, dan pada saat hospes dalam
keadaan tenang atau tidak beraktivitas.
2) Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok. Misalnya dalam sebuah
keluarga, biasanya seluruh anggota keluarga dapat terkena infeksi. Begitu pula
dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya, misalnya asrama,
pesantren dan penjara.
3) Adanya lesi yang khas, berupa terowongan (kurnikulus) pada tempat-tempat
predileksi; berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelokkelok, rata-rata panjang 1cm. pada ujung terowongan ditemukan papul dan
vesikel. Tempat predileksinya adalah kulit dengan stratum korneum yang tipis
yaitu sela-sela jari tangan, pergelangan tangan, siku bagian luar, lipatan ketiak
bagian depan, areola mammae (wanita), umbilicus, bokong, genetalia eksterna
(pria), dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat mengenai telapak tangan dan
kaki.
4) Ditemukannya tungau merupakan penentu utama diagnosis.
Diagnosis penyakit skabies dapat dibuat jika ditemukan 2 dari 4 tanda kardinal di atas.
3.3. EPIDEMIOLOGI SKABIES
Skabies merupakan penyakit kulit yang endemis di wilayah beriklim tropis dan
subtropics, seperti Afrika, Amerika selatan, Karibia, Australia tengah dan selatan, dan
Asia. Prevalensi skabies pada anak berusia 6 tahun di daerah kumuh di Bangladesh
adalah 23-29% dan di Kamboja 43%. Studi di rumah kesejahteraan di Malaysia tahun
2010 menunjukkan prevalensi 30% dan di Timor Leste prevalensi skabies 17,3%.
Ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun terjadi epidemi skabies. Banyak
faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini, antara lain: sosial ekonomi yang
rendah, hygiene yang buruk dan perkembangan demografik serta ekologik. Penyakit
skabies dapat terjadi pada satu keluarga, tetangga yang berdekatan, bahkan dapat terjadi
di seluruh kampung.
Skabies sering diabaikan karena tidak mengancam jiwa sehingga prioritas
penanganannya rendah, namun sebenarnya skabies kronis dan berat dapat menimbulkan
komplikasi yang berbahaya. Skabies menimbulkan ketidaknyamanan karena
menimbulkan lesi yang sangat gatal. Akibatnya, penderita sering menggaruk dan
mengakibatkan infeksi sekunder terutama oleh bakteri Group A Streptococci (GAS)
serta Staphylococcus aureus. Komplikasi akibat infestasi sekunder GAS dan S. aureus
sering terdapat pada anak-anak di negara berkembang.
Penyebab dan proses terjadinya penyakit skabies berkembang dari rantai sebab
akibat ke suatu proses kejadian penyakit, yakni proses interaksi antara manusia
(pejamu) dengan berbagai sifatnya (biologis, fisiologis, psikologis, sosiologis dan
antropologis) dengan penyebab (agent) serta dengan lingkungan (environment).
Faktor yang berperan pada tingginya prevalensi skabies di negara berkembang
terkait dengan kemiskinan yang diasosiasikan dengan rendahnya tingkat kebersihan,
akses air yang sulit, dan kepadatan hunian. Tingginya kepadatan hunian dan interaksi
atau kontak fisik antar individu memudahkan transmisi dan infestasi tungau skabies.
Oleh karena itu, prevalensi skabies yang tinggi umumnya ditemukan di lingkungan
dengan kepadatan penghuni dan kontak interpersonal tinggi seperti penjara, panti
asuhan, dan pondok pesantren.
Pondok pesantren adalah sekolah Islam dengan sistem asrama dan pelajarnya
disebut santri. Pelajaran yang diberikan adalah pengetahuan umum dan agama tetapi
dititikberatkan pada agama Islam. Di Indonesia, sebagai negara dengan jumlah
penduduk muslim terbanyak di dunia, terdapat 14.798 pondok pesantren dengan
prevalensi skabies cukup tinggi. Pada tahun 2003, prevalensi skabies di 12 pondok
pesantren di Kabupaten Lamongan adalah 48,8% dan di Pesantren An- Najach
Magelang pada tahun 2008 prevalensi skabies adalah 43%.
Santri yang mengidap skabies terganggu kualitas hidupnya karena keluhan
gatal yang hebat serta infeksi sekunder. Keluhan tersebut menurunkan kualitas hidup
dan prestasi akademik. Pada tahun 2008 sebanyak 15,5% santri penderita skabies di
Provinsi Aceh menurun nilai rapornya. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Sudarsono
di Medan pada tahun 2011 yang menunjukkan prestasi belajar santri menjadi lebih
rendah dibandingkan sebelum menderita skabies. Di Jakarta Timur, terdapat pesantren
padat penghuni dan santrinya banyak yang mengeluh kudisan. Untuk mengetahui
apakah keluhan tersebut adalah skabies, perlu dilakukan survei dan jika penyakit kulit
yang diderita adalah skabies, santri perlu diobati.
Pengobatan skabies, mudah dilakukan dengan cure rate yang tinggi, namun
jika tidak secara masal dan serentak, maka rekurensi segera terjadi. Dengan demikian,
pengobatan skabies harus diikuti dengan penyuluhan kesehatan agar santri dapat
mencegah rekurensi skabies. Agar penyuluhan kesehatan memberikan hasil yang baik,
penyuluhan harus disesuaikan dengan karakteristik demografi santri antara lain jenis
kelamin dan pendidikan.
3.4. KORELASI SKABIES INSOMNIA
Insomnia adalah suatu kondisi dimana seseorang mengalami kurang tidur atau
memiliki masalah tidur. Umumnya, orang tersebut merasa lelah pada hari berikutnya
atau merasa seolah-olah ia tidak memiliki cukup tidur. Sekitar sepertiga dari populasi
orang dewasa di dunia mengalami insomnia dalam hidup mereka. Menurut National
Center for Sleep Disorders Research di National Institutes of Health sekitar 30-40%
orang dewasa pernah mengalami insomnia dalam beberapa tahun tertentu dan sekitar
10-15% mengidap insomnia kronis.
Apa Penyebab Insomnia?
Insomnia dapat disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa penyebab utama insomnia
meliputi:
Obat dan zat tertentu: Ini termasuk, kafein, alkohol nikotin, dan obat-obatan
seperti benzodiazepin, kokain, ekstasi, heroin, dll
Faktor Fisik: Insomnia dapat disebabkan oleh kondisi fisik yang mendasari, antara
lain: Penyakit jantung, penyakit pernapasan, penyakit saraf, seperti penyakit
5.
6.
7.
8.
Kecelakaan
Penelitian telah menunjukkan bahwa insomnia memainkan peran utama dalam
kecelakaan mobil. Setiap tahun, lebih dari 100.000 kecelakaan mobil di jalan raya
disebabkan oleh kantuk atau insomnia.
Antibodi menjadi lemah
Berdasarkan studi JAMA, mereka yang tidur kurang dari 7 jam per malam bisa 3
kali lebih rentan mengalami rasa dingin. Penelitian lain menemukan, pada pria
yang kurang tidur akan mengalami kegagalan untuk menjaga respon imun atau
kekebalan tubuh secara normal setelah menerima suntikan flu. Mereka yang kurang
tidur, antibodi yang bekerja setelah dilakukan vaksinasi hanya bisa bertahan paling
lama 10 hari. Kondisi tersebut sangat berbahaya, karena itu, perbaiki kualitas tidur,
untuk meningkatkan kekebalan tubuh Anda. Jika terlalu sedikit waktu tidur Anda
sistem kekebalan tubuh bisa terganggu.
BAB IV
PENYAJIAN DATA
Topik Utama Masalah
Data Temuan Kasus Skabies
Tanggal
Temuan
Tanggal
21-10-14
3
04-11-14
22-10-14
0
05-11-14
23-10-14
0
06-11-14
24-10-14
0
07-11-14
25-10-14
0
08-11-14
27-10-14
4
10-11-14
28-10-14
1
11-11-14
29-10-14
2
12-11-14
30-10-14
0
13-11-14
31-10-14
0
14-11-14
01-11-14
2
15-11-14
03-11-14
2
17-11-14
Temuan
1
2
0
0
0
0
2
1
0
1
1
0
Tanggal
18-11-14
19-11-14
20-11-14
21-11-14
22-11-14
24-11-14
25-11-14
26-11-14
27-11-14
28-11-14
29-11-14
Total
Pencapai
an
pemeriksaan kesehatan siswa SD
99.8%
pelayanan kesehatan remaja
68%
pelayanan kesehatan usia lanjut
60%
kesehatan lingkungan institusi yang 82%
Temuan
0
0
0
0
0
3
5
0
0
2
1
33
Topik Masalah
Target
Cakupan
Cakupan
Cakupan
Cakupan
dibina
Cakupan promkes desa dengan program PHBS
100%
70%
65%
100%
47%
50%
Solusi Penatalaksanaan
A. Gerakan bersih Pondok bersama-sama:
- Membersihkan/mengebas alas tidur, kamar, dan tempat tidur.
- Merendam pakaian dengan air panas sekali sebulan.
B. Melakukan gerakan mandi dengan sabun sulfur.
C. Membagikan salep Skabisid 6 bulan sekali untuk seluruh warga
Pondok.
D. Mengadakan acara kebersamaan di Pemandian Air Panas 1 tahun
sekali.
E. Penempelan poster tentang gejala dan cara membasmi Skabies di
Pondokan dan Sekolah-sekolah.
F. Penyuluhan ke kelas-kelas tiap 6 bulan sekali.
G. Segera melapor dan memeriksakan diri bagi warga pondok yang
memiliki gejala scabies.
H. Gerakan Aktif Penjaga Persaudaraan: dibentuk kesadaran bahwa
kesehatan pribadi adalah kesehatan bersama, jadi mengajak untuk
saling memperhatikan teman yang merupakan saudara di pondok
maupun sekolah.
Solusi yang Mungkin Dilaksanakan
1. Gerakan Bersih Pondok.
2. Penyuluhan ke kelas-kelas tiap 6 bulan sekali.
3. Penempelan poster tentang gejala dan cara membasmi Skabies di
Pondokan dan Sekolah-sekolah
4. Segera melapor dan memeriksakan diri bagi warga pondok yang
mengalami gejala scabies.
5. Gerakan Aktif Penjaga Persaudaraan
BAB V
INTERVENSI dan KESIMPULAN
17 Desember 2014 Pelaksanaan Intervensi
SESUDAH
SEBELUM
SESUDAH
SEBELUM
SESUDAH
SEBELUM
SESUDAH
SEBELUM
SESUDAH
SEBELUM
SESUDAH
SEBELUM
SESUDAH
SEBELUM
SESUDAH
Kesimpulan
Terdapat perubahan perilaku yang cukup signifikan, yakni dari penambahan jumlah tempat
menjemur dan tidak lagi menjemur pakaian di tanah ataupun rumput. Meski belum
sepenuhya terjadi perubahan, namun dapat dinilai bahwa intervensi penyuluhan yang
diberikan telah menambah pengertian dan merubah sikap serta perilaku bagi santri-santri di
Pondok Pesantren.
Daftar Pustaka
1. Ratnasari AF, Sungkar S. Prevalensi Skabies dan Faktor-Faktor yang Berhubungan di
Pesantren X, Jakarta Timur. Vol 2, No. 1. Jakarta: Departemen Parasitologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2014.
2. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Skabies. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
3. Mayoclinician.
Insomnia
Definitions
and
Basics.
Diunduh
dari
www.mayoclinic.org/diseases-conditions/insomnia/basics/definition/con-20024293
+ved=0CE4QFjAH+usg=AFQjCNFy-IhpHoW7df0lIbUUEZvI98T _LQ+sig2eUpohFc
7NeD6YwulIToL4w. Diunduh tanggal 1 Januari 2015.
4. National
Health
Service.
Insomnia.
Diunduh
dari
www.nhs.uk/conditions/Insomnia/pages/Introduction.aspx+ved=0CEkQFjAG+usg=AF
QjCNFy72hHiPtyGfiNwA0RzEa9MyMng+sig2=MO0Y-O5TGXJgetURiI6EDQ.
Diunduh tanggal 1 Januari 2015.
5. Steer AC, Jenney AWJ, Kado J, Batzloff MR, Vincent SL, Waqatakirewa L, et al. High
burden of impetigo and scabies in a tropical country. PLoS Negl Trop Dis. 2009;3:e467.
6. Baker F. Scabies management. Paediatric Child Health. 2010;6:775-7.
7. Shelley FW, Currie BJ. Problems in diagnosing scabies, a global disease in human and
animal populations. CMR. 2007;268-79.
8. Hengge UR, Currie BJ, Jger G, Lupi O, Schwartz RA. Scabies: a ubiquitous neglected
skin disease. Lancet Infect Dis. 2006;6:769-79.
9. Zayyid M, Saadah S, Adil AR, Rohela, Jamaiah M. Prevalence of scabies and head lice
among children in a welfare home in Pulau Pinang, Malaysia. Tropical Biomedicine.
2010; 27:4426.
10. WHO. Epidemiology and management of common skin disease in children in
developing countries. [serial di internet]. 2005. [diakses 8 April 2012]. Diunduh dari:
http://whqlibdoc.who.int/hq/2005/WHO_FCH_CAH_05.12_eng.
11. Golant AK, Levitt JO. Scabies: a review of diagnosis and management based on mite
biology. Pediatr Rev. 2012;33:e1-e12.
12. Gilmore SJ. Control strategies for endemic childhood scabies. PloS One.
2011;6:e15990.
13. Johnstone P, Strong M. Scabies. BMJ. 2008;8:1707.
14. Haningsih S. Peran strategis pesantren, madrasah, dan sekokah Islam di Indonesia. El
Tarbawi Jurnal Pendidikan Islam. 2008;1:1.
15. Departemen Kesehatan RI. Pedoman penyelenggaraan dan pembinaan pos kesehatan
pesantren. 2007. Diunduh dari: http://perpustakaan.depkes.go.id.
16. Marufi I, Keman S, Notobroto HB. Faktor sanitasi lingkungan yang berperan terhadap
prevalensi penyakit skabies. Jurnal Unair. 2005;2:1.
17. Saad. Pengaruh faktor higiene perorangan terhadap kejadian skabies di Pesantran AnNajach Magelang. Semarang: Universitas Diponegoro; 2008.
18. Muzakir. Faktor yang berhubungan dengan skabies di pesantren Kabupaten Aceh Besar
tahun 2007 [skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2008.
19. Sudarsono. Tanjung C. Lakswinar S. Yusuf EA. Pengaruh skabies terhadap prestasi
belajar santri di Medan. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2011.
20. Hilmi F. Prevalensi skabies dan hubungannya dengan karakteristik santri Pesantren X
Jakarta Timur [skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2011.
21. Wahjoedi I. Faktor risiko kejadian penyakit scabies di pesantren Kabupaten Kulon
Progo [skripsi].Yogyakarta: Universitas Gajah Mada; 2008.