Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS DOKTER INTERNSHIP

KETOACIDOSIS DIABETIKUM

Disusun oleh:

Bernita Nur Cahyani

Pembimbing :

dr. Sumardjo, Sp.PD

ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI

2019
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS DOKTER INTERNSHIP

KETOACIDOSIS DIABETIKUM

Disusun oleh:

Bernita Nur Cahyani

Telah disetujui dan disahkan oleh:

Pembimbing

dr. Sumardjo, Sp.PD

ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI

2019
BAB I

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
No. RM : 195844xx
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 28 tahun
Pendidikan : SD
Alamat : Selo, Boyolali
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Suku : Jawa
Tanggal Masuk IGD: 28 Januari 2019

B. Anamnesis
 Keluhan Utama
Sesak Nafas

 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak ±1 hari yang lalu. Keluhan ini baru
dirasakan pertama kali dan masih menetap saat dibawa ke IGD rumah sakit. Sesak nafas
dirasakan terus menerus dan tidak membaik dengan perubahan posisi. Pasien juga
mengeluhkan nyeri tekan bagian ulu hati (+). Pasien mengatakan BAB normal, BAK
normal, mual (-), dan muntah (-).

 Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat hipertensi (-)
Riwayat DM (-)
Riwayat alergi obat (-), asma (-)
Riwayat keluhan serupa sebelumnya (-)

 Riwayat Penyakit Keluarga


Keluhan serupa disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat penyakit DM disangkal
Riwayat keganasan disangkal
Riwayat alergi disangkal

 Review Anamnesis Sistem


Umum : demam (-)
Kulit : tidak ada keluhan
Kepala & leher : tidak ada keluhan
Mata : tidak ada keluhan
Telinga : tidak ada keluhan
Hidung : tidak ada keluhan
Mulut : tidak ada keluhan
Tenggorokan : tidak ada keluhan
Pernafasan : sesak nafas sejak 1 HSMRS
Jantung : tidak ada keluhan
Vaskuler : tidak ada keluhan
Abdomen : nyeri tekan ulu hati (+)
Hematologi : tidak ada keluhan
Endokrin : tidak ada keluhan
Musculoskeletal : tidak ada keluhan
Sistem syaraf : tidak ada keluhan
Status psikologis : tidak ada keluhan
Ekstremitas : tidak ada keluhan

C. Pemeriksaan
PEMERIKSAAN FISIK
- Keadaan umum: tampak sakit sedang
- Kesadaran : Compos Mentis
- TTV : TD: 130/80 mmHg
N: 100 x/menit, cukup, teratur, kuat
R: 36 x/menit, tipe napas Kussmaul
T: 36,7
- Kepala : normocephal
- Mata : conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-. Respon cahaya +/+, pupil isokor
- Telinga : membrane timpani intak (+), hiperemis -/-, discharge -/-
- Hidung : deviasi septum -, rinorhea -/-
- Tenggorokan : faring hiperemis (-)
- Mulut : bibir kering (-), deviasi uvula (-)
- Leher : JVP 5+3 cmH2O
- Thorax
Pulmo:
Inspeksi : pergerakan dada simetris, ketinggalan gerak (-), tipe napas Kussmaul
Palpasi : nyeri tekan (-), vocal fremitus simetris, tactil fremitus simetris
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara napas vesikuler +/+, wheezing -/-, RBB -/-, RBK -/-
Cor:
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V line midclavicularis sinistra
Perkusi : batas jantung normal, cardiomegaly (-)
Auskultasi : BJ1-2 normal, regular, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen
Inspeksi : datar, caput medusa (-), spider navy (-)
Auskultasi : BU (+), metallic sound (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan region epigastrium (+), hepatomegaly (-),
splenomegaly (-), ascites (-)
Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen
- Ekstremitas: akral hangat, edema -/-
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi
Darah Lengkap
Hb 14.2 g/dl 12 - 16
Leukosit 24750 /uL 4800-10800
LED /mm 0-20
Hitung Jenis Sel
Eosinofil% 0 % 1- 3
Basofil% % 0- 1
Neutrofil Batang% % 1- 6
Neutrofil Segmen% 84 % 50 - 70
Limfosit% 11.6 % 20 - 40
Monosit% 4.2 % 2- 8
Hematokrit 42.1 % 33 - 45
Protein Plasma g/dl 6- 8
Trombosit 391 10^3/uL 150 - 450
Eritrosit 5.29 10^6/uL
MCV 79.5 fL 80 - 100
MCH 26.9 pg 27 - 32
MCHC 33.9 g/dl 32 - 36
RDW 11.8 %
KIMIA
Ureum 64 mg/dl 10 - 50
Creatinin 1.12 mg/dl 0.6 - 1.1
Elektrolit
Natrium 135 mmol/L 135 - 148
Kalium 6 mmol/L 3.5 - 5.3
Chloride 99 mmol/L 98 - 107
Gula Darah Sewaktu 639 mg/dL 70 - 125
IMMUNOSEROLOGI
HBsAG Non Reaktif - Non Reaktif
URINE
Benda Keton +2 - Negatif

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


BGA PAKET ELEKTROLIT
O2 Saturasi % 94 - 98
Suhu 36.7 Celcius
FiO2 33 %
pH 6,91 - 7.35 - 7.45
pCO2 7 mmol/L 35 - 45
pO2 156 mmol/L 80 - 100
Total CO2 Plasma (TCO2) mmol/L 24 - 31
Base Excess (BEb) mmol/L 0 - 2.5
A-aDO2 71 mmHG 0 - 2.5
O2 Cap mL/dL 10 - 20
O2 Ct - Negatif
HCO3 mmol/L 22 - 26
Natrium 135 mmol/L 135 - 148
Kalium 4.5 mmol/L 3.5 - 5.3
Calsium 0.32 mmol/L
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
BGA PAKET ELEKTROLIT
O2 Saturasi 99 % 94 - 98
Suhu 36.7 Celcius
FiO2 41 %
pH 7.29 - 7.35 - 7.45
pCO2 13 mmol/L 35 - 45
pO2 175 mmol/L 80 - 100
Total CO2 Plasma (TCO2) 6.7 mmol/L 24 - 31
Base Excess (BEb) -17.6 mmol/L 0 - 2.5
A-aDO2 71 mmHG 0 - 2.5
O2 Cap mL/dL 10 - 20
O2 Ct - Negatif
HCO3 11.2 mmol/L 22 - 26
Natrium 143 mmol/L 135 - 148
Kalium 3.1 mmol/L 3.5 - 5.3
Calsium 0.25 mmol/L

D. Resume
Pasien wanita usia 28 tahun datang dengan keluhan sesak nafas sejak 1 hari yang lalu. Sesak
dirasakan terus menerus dan tidak membaik dengan perubahan posisi. Riwayat keluhan serupa
sebelumnya disangkal. Tidak ada riwayat penyakit kronis baik pada pasien maupun keluarga.
Pada pemeriksaan ditemukan kecepatan napas 36 x/menit dengan tipe pernapasan Kussmaul.
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan gula darah sewaktu menunjukkan nilai high. Selain
itu terdapat peningkatan angka leukosit dan kalium yang naik.

E. Daftar Masalah
1. Dyspnea
2. Hiperglikemia
3. Ketoacidosis Diabetikum

F. Pengkajian
1. Dyspnea
Atas dasar:
- Anamnesis: pasien mengeluhkan sesak nafas sejak 1 hari SMRS. Sesak nafas
dirasakan pertama kali dan menetap.
- Pemeriksaan fisik: kecepatan pernapasan 36 kali/menit, SpO2: 98%
Planning:
- Terapi: O2 3lpm
2. Hiperglikemia
Atas dasar
- Pemeriksaan gula darah sewaktu menunjukkan nilai high
Planning
- Infus NaCl 0,9% guyur
- Insulin syringe pump 4 IU/jam
- Cek GDS ulang tiap jam
3. Ketoasidosis metabolic
Atas dasar
- Pemeriksaan fisik ditemukan napas cepat tipe Kussmaul. Pemeriksaan AGD
didapatkan pH turun (7,29), dan HCO3 turun (11,2). PCO2 didapatkan menurun
tetapi pH belum kembali ke normal, sehingga saat dilakukan pemeriksaan AGD
kondisi pasien adalah asidosis metabolic terkompensasi sebagian.
Planning
- Natrium bikarbonat 2 fl dalam 100cc Nacl drip pelan

G. Prognosis
Ad vitam : dubia
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DIABETES MELITUS

A. Definisi Diabetes Melitus


Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang dikarakteristikkan
dengan hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya.
Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus akan disertai dengan kerusakan,
gangguan fungsi beberapa organ tubuh khususnya mata, ginjal, saraf, jantung, dan
pembuluh darah. Walaupun pada diabetes melitus ditemukan gangguan
metabolisme semua sumber makanan tubuh kita, kelainan metabolisme yang
paling utama ialah kelainan metabolisme karbohidrat. Oleh karena itu diagnosis
diabetes melitus selalu berdasarkan tingginya kadar glukosa dalam plasma darah.

B. Klasifikasi Diabetes Melitus


DM adalah kelainan endokrin yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa
darah. Secara etiologi DM dapat dibagi menjadi DM tipe 1, DM tipe 2, DM dalam
kehamilan, dan diabetes tipe lain.
1. DM tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel β pankreas (reaksi autoimun).
Sel β pankreas merupakan satu-satunya sel tubuh yang menghasilkan insulin
yang berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam tubuh. Bila kerusakan
sel β pankreas telah mencapai 80- 90% maka gejala DM mulai muncul.
Perusakan sel ini lebih cepat terjadi pada anak-anak daripada dewasa.
Sebagian besar penderita DM tipe 1 sebagian besar oleh karena proses
autoimun dan sebagian kecil non autoimun. DM tipe 1 yang tidak diketahui
penyebabnya juga disebut sebagai type 1 idiopathic, pada mereka ini
ditemukan insulinopenia tanpa adanya petanda imun dan mudah sekali
mengalami ketoasidosis. DM tipe 1 sebagian besar (75% kasus) terjadi
sebelum usia 30 tahun dan DM Tipe ini diperkirakan terjadi sekitar 5-10 %
dari seluruh kasus DM yang ada.
2. DM tipe 2 merupakan 90% dari kasus DM yang dulu dikenal sebagai non
insulin dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Bentuk DM ini bervariasi
mulai yang dominan resistensi insulin, defisiensi insulin relatif sampai defek
sekresi insulin. Pada diabetes 2 ini terjadi penurunan kemampuan insulin
bekerja di jaringan perifer (insulin resistance) dan disfungsi sel β. Akibatnya,
pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang cukup untuk
mengkompensasi insulin resistance. Kedua hal ini menyebabkan terjadinya
defisiensi insulin relatif. Kegemukan sering berhubungan dengan kondisi ini.
DM tipe 2 umumnya terjadi pada usia > 40 tahun. Pada DM tipe 2 terjadi
gangguan pengikatan glukosa oleh reseptornya tetapi produksi insulin masih
dalam batas normal sehingga penderita tidak tergantung pada pemberian
insulin. Walaupun demikian pada kelompok diabetes melitus tipe-2 sering
ditemukan komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler.4
3. DM dalam kehamilan (Gestational Diabetes Mellitus - GDM) adalah
kehamilan yang disertai dengan peningkatan insulin resistance (ibu hamil
gagal mempertahankan euglycemia). Pada umumnya mulai ditemukan pada
kehamilan trimester kedua atau ketiga. Faktor risiko GDM yakni riwayat
keluarga DM, kegemukan dan glikosuria. GDM meningkatkan morbiditas
neonatus, misalnya hipoglikemia, ikterus, polisitemia dan makrosomia. Hal
ini terjadi karena bayi dari ibu GDM mensekresi insulin lebih besar sehingga
merangsang pertumbuhan bayi dan makrosomia Kasus GDM kira-kira 3-5%
dari ibu hamil dan para ibu tersebut meningkat risikonya untuk menjadi DM
di kehamilan berikutnya.
4. Subkelas DM lainnya yakni individu mengalami hiperglikemia akibat
kelainan spesifik (kelainan genetik fungsi sel beta), endokrinopati (penyakit
Cushing’s, akromegali), penggunaan obat yang mengganggu fungsi sel beta
(dilantin), penggunaan obat yang mengganggu kerja insulin (b-adrenergik)
dan infeksi atau sindroma genetik (Down’s, Klinefelter’s).

C. Diagnosis diabetes mellitus


Diagnosis DM umumnya dikaitkan dengan adanya gejala khas berupa poliuria,
polidispia, lemas dan berat badan menurun. Gejala lain yang mungkin
dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensia pada
pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan dan gejala khas,
ditemukan pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Umumnya hasil pemeriksaan satu kali saja glukosa
darah sewaktu abnormal belum cukup kuat untuk diagnosis klinis DM.

D. Kriteria Diabetes Melitus


1. Gejala klasik dengan kadar glukosa sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol).
2. Glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/L), pada keadaan puasa
sedikitnya 8 jam, atau
3. Dua jam setelah pemberian, glukosa darah ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol) pada saat
TTGO.
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis
tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis
DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa
secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh
(wholeblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai
pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan
dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung
pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi
glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan
glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL (7,8-11,0
mmol/L).
2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma
puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/L) dan
pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.
KOMPLIKASI DIABETES MELITUS
Menurut PERKENI komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
Komplikasi akut
1. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah kumpulan gejala klinis yang disebabkan konsentrasi glukosa
darah yang rendah. Batas konsentrasi glukosa darah untuk mendiagnosis
hipoglikemia tidak sama setiap orang. Gejala umum hipoglikemia adala lapar,
gemetar, mengeluarkan keringat, berdebar-debar, pusing, pandangan menjadi
gelap, gelisah serta bisa koma. Apabila tidak segera ditolong akan terjadi
kerusakan otak dan akhirnya kematian. Kadar gula darah yang terlalu rendah
menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak
berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan. Hipoglikemia lebih sering terjadi
pada penderita DM tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per minggu, survei yang
dilakukan di Inggris diperkirakan 2-4% kematian pada penderita DM tipe 1
disebabkan oleh serangan hipoglikemia.
2. Hiperglikemia
Hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tiba tiba. Gejala
hiperglikemia adalah poliuria, polidipsia, polifagia, kelelahan yang parah, dan
pandangan kabur. Hiperglikemia yang berlangsung lama dapat berkembang
menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetic
(KAD), Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis.
Ketoasidosis diabetik diartikan tubuh sangat kekurangan insulin dan sifatnya
mendadak. Akibatnya metabolisme tubuh pun berubah. Kebutuhan tubuh
terpenuhi setelah sel lemak pecah dan membentuk senyawa keton, keton akan
terbawa dalam urin dan dapat dicium baunya saat bernafas. Akibat akhir adalah
darah menjadi asam, jaringan tubuh rusak, tak sadarkan diri dan mengalami koma.
Komplikasi KHNK adalah terjadi dehidrasi berat, hipertensi, dan syok.
Komplikasi ini diartikan suatu keadaan tubuh tanpa penimbunan lemak, sehingga
penderita tidak menunjukkan pernafasan yang cepat dan dalam, sedangkan
kemolakto asidosis diartikan sebagai suatu keadaan tubuh dengan asam laktat
tidak berubah menjadi karbohidrat. Akibatnya kadar asam laktat dalam darah
meningkat (hiperlaktatemia) dan akhirnya menimbulkan koma.

Komplikasi kronis
1. Komplikasi makrovaskuler
Komplikasi makrovaskuler yang umum berkembang pada penderita DM adalah
trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak), mengalami penyakit
jantung koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan stroke. Pencegahan
komplikasi makrovaskuler sangat penting dilakukan, maka penderita harus
dengan sadar mengatur gaya hidup termasuk mengupayakan berat badan ideal,
diet gizi seimbang, olahraga teratur, tidak merokok, dan mengurangi stress.
2. Komplikasi mikrovaskuler
Komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi pada penderita DM tipe 1.
Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk
HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah semakin lemah dan menyebabkan
penyumbatan pada pembuluh darah kecil, seperti nefropati, diabetik retinopati
(kebutaan), neuropati, dan amputasi.

PENATALAKSANAAN DM
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama
beberapa waktu (24 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,
dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau
suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal
atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik
berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan
adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan
perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya
peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri,
tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada
pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus.

2. Terapi Nutrisi Medis


Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes
secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari
anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan
keluarganya). Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai
dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan
pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat
umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat
gizi masingmasing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah
makanan, ter utama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah
atau insulin.

3. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani seharihari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM
tipe 2. Kegiatan Seharihari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga,
berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran
juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin,
sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki,
bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan
dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat,
intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat
komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak
atau bermalasmalasan Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan
makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat).

4. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.


Obat hipoglikemik oral Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5
golongan:
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonylurea dan glinid
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion
c. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
e. DPPIV inhibitor

Suntikan Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan: penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia
berat yang disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non
ketotik, Hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO dosis
optimal, stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke), kehamilan dengan
DM/diabetes melitus gestasionalyang tidak terkendali dengan perencanaan makan,
gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat, kontraindikasi dan atau alergi terhadap
OHO.
Jenis dan lama kerja insulin
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:
1. Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
2. Insulin kerja pendek (short acting insulin)
3. Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
4. Insulin kerja panjang (long acting insulin)
5. Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).

Efek samping terapi insulin


Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
KETOACIDOSIS DIABETIKUM

A. Definisi
Ketoasidosis diabetic (KAD) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolic yang ditandai
oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut
atau relative. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes mellitus (DM) yang
serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotic, KAD biasanya
mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok.
Ketoasidosis diabetic (KAD) dan hyperosmolar hiperglikemik state (HHS) dibedakan dengan
tidak adanya ketoasidosis dan biasanya hiperglikemia lebih tinggi pada HHS. Kriteria diagnosis
oleh American Diabetes Association (ADA) untuk KAD dan HHS ringan, sedang, dan berat
adalah:

KAD dicirikan dengan trias hiperglikemia, asidosis metabolic anion gap, dan ketonemia.
Asidosis metabolic sering menjadi penemuan utama. Konsentrasi glukosa serum biasanya
kurang dari 800 mg/dL dan umumnya antara 350-500 mg/dL. Namun, konsentrasi glukosa
serum dapat melebihi 900 mg/dL pada pasien KAD yang koma. Pada keadaan tertentu, seperti
kelaparan, kehamilan, pengobatan dengan insulin sebelum kedatangan ke rumah sakit, dan
penggunaan sodiumglucose co-transportet 2 (SGLT2) inhibitor, nilai glukosa dapat hanya naik
sedikit atau bahkan normal.
Pada HHS, ada sedikit atau tidak ada akumulasi ketoasid, konsentrasi glukosa sering melebihi
1000 mg/dL, osmolalitas plasma dapat mencapai 380 mosmol/kg, dan abnormalitas neurologis
sering ditemukan. Sebagian besar pasien dengan HHS mempunyai pH >7,3 saat masuk,
bikarbonat serum >20 mEq/L, glukosa serum >600 mg/dL, dan tes keton negative pada serum
dan urine, walaupun bisa ada ketonemia ringan.
B. Epidemiologi
Ketoasidosis diabetic (KAD) secara khas berhubungan dengan diabetes tipe I. Keadaan ini juga
terjadi pada diabetes tipe II dibawah kondisi ekstrim seperti infeksi serius, trauma, kegawatan
kardiovaskular atau lainnya, dan sebagai manifestasi dari diabetes mellitus rawan ketosis.
KAD lebih sering terjadi pada pasien usia muda (<65 tahun), sedangkan hyperosmolar
hiperglikemik state (HHS) lebih sering terjadi pada individu >65 tahun. Berdasarkan Diabetes
Surveillance System dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC), secara
keseluruhan, tingkat rawat inap KAD yang disesuaikan usia sedikit menurun dari tahun 2000
hingga 2009, kemudian sebaliknya, terus meningkat dari 2009 hingga 2014 dengan tingkat
tahunan rata-rata 6,3 persen. Angka fatalitas kasus rumah sakit menurun secara konsisten selama
periode studi dari 1,1 menjadi 0,4 persen.
Tingkat admisi rumah sakit untuk HHS lebih rendah dari KAD dan menyumbang <1% dari
semua admisi diabetes primer. Mortalitas pasien HHS antara 10-20%, yang kira-kira 10 kali
lebih tinggi daripada KAD. Motalitas untuk krisis hiperglikemia menurun antara 1980 dan 2009.
Mortalitas pada krisis hiperglikemia terutama karena penyakit yang mendasari dan jarang karena
komplikasi metabolic dari hiperglikemia atau ketoasidosis. Prognosis krisis hiperglikemia secara
substansial lebih buruk pada usia ekstrem dan pada adanya koma dan hipotensi.

C. Faktor Pencetus
Ada sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk pertama kali. Pada
pasien KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat dikenali adanya factor pencetus.
Mengatasi factor pencetus ini penting dalam pengobatan dan pencegahan ketoasidosis berulang.
Factor pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD adalah infeksi, infark miokard akut,
pankreatitis akut, penggunaan obat golongan steroid, menghentikan atau mengurangi dosis
insulin. Sementara itu 20% pasien KAD tidak didapatkan factor pencetus.
D. Patogenesis
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relative dan
peningkatan hormon kontra regulator (glucagon, katekolamin, kortisol dan hormone
pertumbuhan); keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan utilisasi
glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia
sangat bervariasi dan tidak menentukan berat-ringannya KAD.

-
Konsentrasi ekstraseluler glukosa diatur oleh dua hormone: insulin dan glucagon. Ketika
konsentrasi glukosa serum naik setelah makan glukosa, glukosa memasuki sel beta pancreas,
menginisiasi urutan event yang akan menyebabkan pelepasan insulin.
Insulin mengembalikan normoglikemia dengan mengurangi produksi glukosa hepar via reduksi
pada glikogenolisis dan gluconeogenesis dan dengan meningkatkan uptake glukosa oleh otot
skelet dan jaringan adipose. Penghambatan sekresi glucagon yang diinduksi oleh insulin
berkontribusi terhadap penurunan produksi glukosa hepar, efek ini dimediasi oleh inhibisi
langsung sekresi glucagon dan gen glucagon dalam sel alpha pancreas.

Spektrum abnormalitas metabolic


Dua abnormalitas hormonal bertanggungjawab besar terhadap berkembangnya KAD dan HHS
pada pasien dengan diabetes tidak terkontrol:
- Defisiensi dan/atau resistensi insulin
- Kelebihan glucagon, yang dapat terjadi akibat hilangnya efek supresi normal dari insulin.
Walaupun kelebihan glucagon berkontribusi pada berkembangnya KAD, hal ini bukanlah satu-
satunya penyebab. Sebagai contoh, pasien dengan pankreatectomi komplit dan yang tidak
mempunyai glucagon pancreas akan mengalami KAD jika insulin ditahan; namun
membutuhkan waktu lebih lama untuk terjadi KAD dibandingkan dengan pasien diabetes
mellitus tipe I.
Sebagai tambahan pada factor primer ini, peningkatan sekresi katekolamin, kortisol, dan growth
hormone, yang menentang aksi insulin, juga berkontribusi pada peningkatan glukosa dan
produksi ketoasid.

Defisiensi insulin (baik absolut atau relatif yang disebabkan karena kelebihan hormone
counterregelatory) lebih parah pada KAD dibandingkan dengan HHS. Karena penekanan
lipolysis dan ketogenesis lebih sensitive terhadap insulin daripada penghambatan
gluconeogenesis, sekresi insulin residu dan aktivitas sistemiknya dalam HHS cukup untuk
meminimalkan perkembangan ketoasidosis tetapi tidak cukup untuk mengendalikan
hiperglikemia. Peningkatan kadar dan aktivitas glucagon juga lebih sedikit pada HHS yang
menghasilkan penurunan lebih kecil pada rasio insulin/glucagon, yang menghasilkan stimulus
lebih sedikit pada ketogenesis.
Pada pasien dengan defisiensi insulin absolut atau relative, KAD dan HHS biasanya disebabkan
oleh stress yang bertindak sebagian dengan meningkatkan sekresi glucagon, katekolamin, dan
kortisol.
KAD dan HHS adalah dua spectrum ekstrem dari krisis hiperglikemia, dan pasien dapat hadir
dimana saja sepanjang kelainan metabolisme diabetes.

Hiperglikemia
Konsentrasi glukosa serum pada HHS sering melebihi 1000 mg/dL, tetapi pada KAD umumnya
dibawah 800 mg/dL dan serring pada 350-450 mg/dL.
Paling tidak ada dua factor yang berkontribusi pada hiperglikemia yang lebih ringan pada KAD
daripada HHS:
- Pasien pada KAD sering datang lebih awal karena penyakit akut dengan gejala ketoasidosis
(contohnya sesak nafas, nyeri perut, dan mual dan muntah), daripada lebih terlambat karena
hiperosmolaritas.
- Pasien pada KAD seringnya lebih muda dan mempuyai GFR lebih tinggu. Selama
beberapa tahun pertama diabetes, pasien mungkin memiliki GFR supranormal, dngan
tingkat sebesar 50 persen diatas prediksi. Sebagai hasilnya, pasien dengan KAD umumnya
mempunyai kapasitas lebih besar untuk mengekskresikan glukosa daripada pasien yang
lebih tua dengan HHS. Tingkat glukosuria yang parah ini membatasi keparahan
hiperglikemia.
Walaupun glukosuria berhubungan dengan KAD (dan HHS) awalnya meminimalkan kenaikan
glukosa serum, diuresis osmotic yang disebabkan oleh glukosuria biasanya menyebabkan
penurunan volume dan reduksi GFR yang membatasi ekskresi glukosa lebih lanjut. Efek ini
lebih jelas pada HHS, yang menghasilkan glukosa serum lebih tinggi daripada yang terlihat pada
KAD.
Perubahan hormone pada KAD dan HHS menghasilkan hiperglikemia karena efeknya pada tiga
proses fundamental dalam metabolisme glukosa:
- Gangguan pemanfaatan glukosa dalam jaringan perifer
- Peningkatan gluconeogenesis hepar dan ginjal
- Peningkatan glikogenolisis
Defisiensi dan/atau resistensi insulin pada pasien diabetes mengganggu utilisasi glukosa perifer
pada otot skelet. Namun, penurunan utilisasi glukosa saja hanya akan menyebabkan
hiperglikemia postprandial; glikogenolisis dan peningkatan gluconeogenesis juga diperlukan
untuk perkembangan dari hiperglikemia puasa yang berat dimana terjadi pada KAD dan HHS.
Defisiensi dan/atau resistensi insulin meningkatkan dan mempercepat gluconeogenesis hepar
karena beberapa alasan:
- Meningkatkan pengiriman precursor glukoneogenik (gliserol dari lemak dan alanine dan
asam amino lainnya dari otot) ke liver.
- Mengaktifkan beberapa enzim di jalur metabolisme glukoneogenik
- Meningkatkan kadar glucagon dengan menghilangkan efek penghambatan insulin pada
sintesis dan sekresi glucagon
Oksidasi asam lemak, yang dikirim dalam jumlah besar ke liver karena lipolysis simpanan
lemak, menyediakan energy metabolisme yang dibutuhkan untuk mendorong gluconeogenesis.

Produksi Keton
Defisiensi insulin dan kelebihan glucagon berkontribusi pada munculnya KAD. Glucagon turut
berkontribusi, tetapi tidak selalu esensial untuk terjadinya KAD. Defisiensi dan resistensi insulin
(misalnya karena kadar katekolamin tinggi) akan menyebabkan peningkatan lipolysis dari
cadangan lemak perifer, sebagian besar terkait dengan peningkatan aktivitas hormone sensitive
lipase, yang melepaskan asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak diangkut, terutama
berikatan pada albumin, ke splanchnic bed dan diambil oleh hepatosit. Di dalam sitoplasma
hepatosit, mereka diaktifkan oleh hubungan asam lemak dengan koenzim A (CoA), membentuk
acyl-CoA (yaitu asam lemak-CoA). Kombinasi insulin rendah dan peningkatan aktivitas
glucagon pada sel liver menyebabkan kondisi yang mempercepat masuknya acyl-CoA ke
miokondria, Pengangkutan ini dimediasi oleh sepasang reaksi transferase karnitin palmityl.
Di dalam mitokondria, beta-oksidasi membagi asam lemak menjadi beberapa unit dua-karbon
dari asetik-KoA. Molekul ini busa mengalami salah satu dari:
- Memasuki siklus Krebs untuk dioksidasi menjadi karbon dioksida (CO2) dan air (H2O),
sehingga menciptakan adenosine trifosfat (ATP)
- Diekspor secara tidak langsung ke sitoplasma dimana asetil-KoA digunakan untuk
mensintesis asam lemak
- Memasuki jalur metabolisme ketogenic untuk membentuk asam asetoasetat
Ketika pengiriman asam lemak ke mitokondria tinggi, maka beta oksidasi dari asam lemak
biasanya terjadi dalam lingkungan hormone yang ditandai dengan insulin rendah dan aktivitas
glucagon yang tinggi. Dalam kondisi ini, masuknya asetil-KoA ke dalam siklus Krebs menjadi
terbatas, dan sebaliknya asetil-KoA dikonversi menjadi asam asetoasetat. Ketoasid sejati ini
adalah badan keton pertama yang terbentuk. Asam asetoasetat kemudian direduksi menjadi
asam beta-hidroksibutirat, yang juga merypakan asam organic, atau didekarboksilasi secara non-
enzimatik menjadi aseton, yang bukan asam. Keton menyediakan sumber energy larut air ketika
ketersediaan glukosa berkurang.
Factor-faktor yang menyebabkan tidak adanya ketogenesis pada HHS belum sepenuhnya
dimengerti. Namun, satu masalah penting adalah sensitivitas diferensial dari metabolisme lemak
dan metabolisme glukosa terhadap efek insulin. Penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi
insulin yang diperlukan untuk menekan lipolysis hanya sepersepuluh yang diperlukan untuk
mendorong utilisasi glukosa. Dengan demikian, defisiensi insulin yang kurang parah, seperti
terjadi pada HHS dibandingkan dengan KAD, mungkin berhubungan dengan aktivitas insulin
yang cukup untuk meminimalkan lipolysis (dan karena itu pembentukan ketoasid) tetapi tidak
cukup untuk memblokir gluconeogenesis, meningkatkan utilisasi glukosa, dan dengan demikian
mencegah perkembangan hiperglikemia. Peningkatan kadar glucagon yang kurang jelas dan
karenanya rasio insulin/glucagon yang lebih tinggi juga meminimalkan ketogenesis.
Ada beberapa pengamatan yang sesuai dengan hipotesis umum ini. KAD cenderung terjadi pada
pasien dengan diaberes tipe I, yang memproduksi sedikit atau tidak memproduksi insulin. HHS
ditemukan pada pasien yang lebih tua dengan diabetes tipe II, yang mengalami penurunan,
bukan absen, efek insulin. Namun perbedaan ini tidak absolut, karena KAD dapat terjadi pada
pasien dengan diabetes tipe II.
Anion gap metabolic asidosis
KAD biasanya muncul sebagai asidosis metabolic anion gap meningkat. Hal ini disebabkan oleh
produksi dan akumulasi asam beta-hidroksibutirat dan asam asetoasetat. Anion gap dihitung
dengan mengurangi konsentrasi serum klorida dan bikarbonat dari konsentrasi natrium.
Serum anion gap = serum sodium - (serum chloride + bicarbonate)
Keparahan dari asidosis metabolic dan peningkatan anion gap bergantung pada beberapa factor:
- Tingkat dan durasi produksi ketoasid
- Tingkat metabolisme ketoasid
- Tingkat kehilangan anion ketoasid dalam urin
- Volume distribusi anion ketoasid
- Tingkat ekskresi asam ginjal
Tingkat ekskresi anion ketoasid bergantung pada status volume pasien, fungsi renal, dan sejauh
mana filtrasi glomerular dipertahankan. Pasien dengan volume cairan ekstraseluler (ECF) yang
relative terjaga dan fungsi ginjal yang lebih tinggi dapat mengekskresikan ketoasid dalam jumlah
besar (sebanyak 30 persen dari beban ketoasid), dan dengan demikian meminimalkan
peningkatan anion gap.
Ekskresi anion ketoasid renal meningkat ketika pasien diobati dengan cairan isotonic intravena
untuk memperbaiki hypovolemia. Ekskresi anion ketoasid mengurangi anion gap, tetapi sejauh
diekskresikan sebagai garam natrium dan kalium, keparahan dari asidemia sistemik tidak
berubah. Garam natrium atau kalium ketoanion mewakili bikarbonat terurai dan juga bikarbonat
potensial. Ketika ketoasid dihasilkan, proton utamanya bergabung dengan bikarbonat untuk
membentuk CO2. Jadi, pada intinya, anion bikarbonat pada serum diganti dengan anion
ketoasid (bikarbonat terurai). Jika ketoasid dimetabolisme, maka anion bikarbonat diregenerasi
(bikarbonat potensial). Oleh karena itu, hilangnya ketoasid dalam urin sebagai garam natrium
atau kalium mewakili hilangnya bikarbonat potensial. Lebih jauh lagi, ekskresi beta
hidroksibutirat dan asetoasetat sebagai garam natrium dan kalium akan mengurangi anion gap
dan mengubah asidosis anion gap menjadi asidosis hiperkloremik, atau non gap. Dengan
demikian, hamper semua pasien dengan KAD yang memiliki fungsi renal relative intak akan
mengalami beberaoa derajat asidosis metabolic hiperkloremik (normal anion) ketika mereka
diobati dengan salin isotonic dan insulin, karena kehilangan urin dari bikarbonat potensial.
Penelitian menunjukkan bahwa sebagian dari asidosis anion gap pada sebagian pasien dengan
KAD adalah karena asam organic lain: asam D-laktat. Sejumlah kecil, tetapi signifikan secara
klinis, fraksi dari ketoasid, aseton, dan fosfat dihidroksiaseton (produk glikolisis) dapat diubah
menjadi asam D-laktat. Asam D-laktat dapat menyumbang 8 sampai 10 mEq/L dari
peningkatan anion gap dan penurunan bikarbonat pada pasien dengan KAD berat.
Osmolalitas plasma dan natrium
Osmolalitas plasma selalu meningkat pada pasien dengan HHS tetapi lebih sedikit dengan KAD.
Peningkatan osmolalitas plasma diciptakan oleh hiperglikemia menarik air keluar dari sel,
memperluas ECF, dan dengan demikian mengurangi konsentrasu natrium plasma. Jika pasien
dengan elektrolit serum normal (Na=140 mEq/L) dengan cepat mengalami konsentrasi glukosa
1000 mg/dL dan tidak ada urin dibuat, maka konsentrasi natrium serum pasien akan turun ke
nilai antar 119 dan 126 mEq/L dan osmolalitas akan meningkat ke level antara 294 dan 308
mosmol/L.namun, osmolalitas biasanya meningkat lebih tinggi karena volume besar dari uin
yang relative kekurangan elektrolit diekskresikan selama evolusi keadaan hiperglikemik.
Hilangnya air bebas elektrolit ini semakin meningkatkan osmolalitas. Pada pasien dengan
ketoasidosis, kadar aseton plasma yang tinggi juga berkontribusi terhadap peningkatan
osmolalitas.
Konsentrasi natrium serum yang diukur pada diabetes mellitus tidak terkontrol dipengaruhi oleh
interaksi beberapa factor, beberapa menurunkan dan yang lainnya meningkatkannya:
- Hiperglikemia meningkatkan osmolalitas ECF (dan tonisitas) dan memindahkan air dari
ruang cairan intraseluler (ICF) ke ruang ECF. Perluasan ECF mencairkan serum natrium
dan mengurangi konsentrasinya.
- Glukosuria menghasilkan diuresis osmotic yang menyebabkan ekskresi dari garam
natrium dan kalium, serta air. Jumlah konsentrasi garam natrium dan kalium pada urin
umumnya jauh lebih rendah daripada konsentrasi natrium dalam darah. Hal ini
menunjukkan bahwa air bebas elektrolit diekskresikan dalam urin. Kehilangan air bebas
elektrolit akan meningkatkan konsentrasi natrium serum dan osmolalitas plasma. Asupan
air dan hilangnya air pada vomitus atau suction nasogastric juga akan berdampak pada
konsentrasi natrium serum dan osmolalitas plasma.
Perhitungan fisiologis menunjukkan bahwa, dengan tidak adanya kehilangan urin, konsentrasu
natrium serum bisa turun sekitar 1,6 mEq/L untuk setiap peningkatan 100mg/100mL (5,5
mmol/L) konsentrasi glukosa.

Kalium
Pasien dengan KAD atau HHS memiliki deficit kalium yang rata-rata 300-600 mEq. Sejumlah
factor berkontribusi pada deficit ini, terutama peningkatan kehilangan pada urin karena diuresis
osmotic dan ekskresi garam anion kalium ketoasid (anion ketoasid disaring terutama sebagai
garam natrium, tetapi beberaoa natrium diserap kembali dalam tubulus renal distal dengan
imbalan kalium sebagai hasil dari hipoaldosteronisme sekunder terkait kontraksi volume).
Kehilangan gastrointestinal dan hilangnya kalium dari sel karena glikogenolisis dan proteolysis
juga dapat memainkan peran.
Meskipun deficit kalium tubuh total, konsentrasi kalium serum biasanya normal, atau, pada
sepertiga pasien, meningkat saat admisi. Hal ini karena hiperosmolalitas dan defisiensi insulin.
- Naiknya osmolalitas plasma menyebabkan perpindahan air osmotic keluar dari sel.
Kalium juga berpindah ke ECF sebagai hasil dai paling tidak dua mekanisme:
 Kontraksi dari ruang ICF meningkatkan konsentrasi kalium intraseluler dan
membantu kalium keluar secara pasie melalui saluran kalium di membrane sel.
 Gaya geskan antara pelarut (air) dan zat terlarut menghasilkan kalium yang dibawa
melintasu membrane sel dengan air (proses ini disebut solvent drag).
- Insulin normalnya menaikkan uptake kalium oleh sel. Sehingga, defisiensi insulin
menyebabkan peningkatan level kalium serum.
Asidemia per se memainkan peran kecil dalam pergeseran kalium dari ICF ke ECF pada pasien
dengan KAD. Meskipun pertukaran transeluler dari kalium dengan ion hydrogen memang
meningkatkan kalium serum dalam nenerapa bentuk asidosis metabolic “inorganic”, kurang
penting dalam asidosis metabolic organic seperti ketoasidosis atau asidosis laktat. Peran penting
dari hiperosmolalitas dan defisiensiinsulin diilustrasikan oleh pengamatan bahwa hyperkalemia
juga sering terjadi pada HHS, meskipun tidak ada asidosis.

Inflamasi
Krisis hiperglikemia adalah keadaan proinflammatory yang memicu pembentukan reactive
oxygen species dan stress oksidatif. Penelitian menunjukkan peningkatan sitokin proinflamasi
termasuk tumor necrosis factor-alpha dan interleukin (IL)-1B, IL-6, dan IL-8. Penanda
peroksidasi lipid, serta penghambat activator plasminogen-1 dan C-reactive protein (CRP), juga
meingkat. Factor proinflamasi kembali ke level normal dalam 24 jam dari terapi insulin dan
resolusi hiperglikemia. Keadaan proinflamasi pada KAD menyebabkan aktivasi limfosit T in
vivo dengan munculnya factor pertumbuhan secara de novo.
Berbagai eicosanoid, termasuk prostaglandin, terlibat dalam pathogenesis diabetes mellitus dan
komplikasinya.

E. Gejala Klinis
Sekitar 80% pasien KAD adalah pasien DM yang sudah dikenal. Kenyataan ini tentunya sangat
membantu untuk mengenali KAD akan lebih cepat sebagai komplikasi akut DM dan segera
mengatasinya.
Sesuai dengan patofisiologi KAD, maka pada pasien KAD dijumpai pernapasan cepat dan
dalam (Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering),
kadang-kadang disertai hypovolemia sampai syok. Bau aseton dari hawa napas tidak terlalu
mudah tercium.
Areataeus menjelaskan gambaran klinis KAD sebagai berikut keluhan poliuri dan polidipsi
sering kali mendahului KAD serta didapatkan riwayat berhenti menyuntik insulin, demam, atau
infeksi. Muntah-muntah merupakan gejala yang sering dijumpai terutama pada KAD anak.
Dapat pula dijumpai nyeri perut yang menojol dan hal itu berhubungan dengan gastroparesis-
dilatasi lambung.
Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai kompos mentis, delirium, atau depresi sampai
dengan koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan kesadaran
lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alcohol).
Infeksi merupakan factor pencetus yang paling sering. Infeksi yang sering ditemukan adalah
infeksi saluran kemih dan pneumonia. Walaupun factor pencetusnya adalah infeksi, kebanyakan
pasien tidak mengalami demam. Bila dijumpai adanya nyeri abdomen, perlu dipikirkan
kemungkinan kolesistitis, iskemia usus, apendisitis, diverticulitis, atau perforasi usus. Bila
ternyata pasien tidak menunjukkan respons yang baik terhadap pengobatan KAD, maka perlu
dicari kemungkinan infeksi tersembunyi (sinusitis, abses gigi, abses perirectal).

F. Diagnosis
Ketoasidosis diabetic perlu dibedakan dengan ketosis diabetic ataupun hiperglikemia
hyperosmolar nonketotik. Beratnya hiperglikemia, ketonemia, dan asidosis dapat dipakai dengan
kriteria diagnosis KAD. Walau demikian penilaian kasus per kasus selalu diperlukan untuk
menegakkan diagnosis.

Evaluasi awal
Langkah pertama yang harus diambil pada pasien dengan KAD terdiri dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti dengan terutama memperhatikan patensi jalan napas,
status mental, status ginjal dan kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus
dapat menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan, sehingga
penatalaksanaan dapat segra dimulai tanpa adanya penundaan.
Pemeriksaan laboratorium yang paling penting dan mudah untuk segera dilakukan setelah
dilakukannya anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan konsentrasi glukosa darah
dengan glucose sticks dan pemeriksaan urine dengan menggunakan urine strip untuk melihat
secara kualitatif jumlah glukosa, keton, nitrat, dan leukosit dalam urine. Pemeriksaan
laboratorium awal pada pasien dengan kecurigaan KAD atau HHS seharusnya meliputi:
- Glukosa serum
- Elektrolit serum (dengan penghitungan anion gap), BUN, dan kreatinin
- Darah lengkap
- Urinalisis dan keton urin dengan dipstick
- Osmolalitas plasma
- Keton serum
- AGD jika bikarbonat serum berkurang atau dicurigai hipoksia
- Elektrokardiogram
Pemeriksaan hemoglobin terglikasi dapat berguna untuk menentukan apakah episode akut
adalah puncak dari proses evolusi pada diabetes yang sebelumnya tidak terdiagnosis atau kurang
terkontrol atau benar-benar episode akut pada pasien yang terkontrol dengan baik.

Penemuan laboratorium

G. Penatalaksanaan
Penanganan KAD dan HHS mirip, meliputi koreksi cairan dan abnormalitas elektrolit yang
biasanya muncul (hiperosmolalitas, hypovolemia, asidosis metabolic (pada KAD), dan deplesi
kalium) dan administrasi insulin.
- Koreksi cairan dan abnormalitas elektrolit
Langkah pertama dalam penatalaksanaan KAD atau HHS adalah infuse salin isotonic
untuk memperluas volume ekstraseluler dan menstabilkan status kardiovaskular. Hal ini
juga meningkatkan respon insulin dengan menurunkan osmolalitas plasma (Posm),
mengurangi vasokonstriksi dan meningkatkan perfusi, dan mengurangi tingkat hormone
stress. Langkah selanjutnya adalah koreksi deficit kalium. Pilihan cairan pengganti harus
dipengaruhi oleh deficit kalium. Efek osmotic dari kalium harus dipertimbangkan karena
kalium aktif secra osmotic seperti halnya natrium.
- Administrasi insulin
Insulin dosis rendah intravena (IV) harus diberikan pada semua pasien dengan KAD
sedang hingga berat yang memilik serum kalium ≥ 3,3 mEq/L. Jika serum kalium kurang
dari 3,3 mEq/L, terapi insulin ditunda sampai penggantian kalium dumulai dan konsentrasi
serum kalium meningkat. Penundaan diperlukan karena insulin akan memperburuk
hypokalemia dengan memindahkan kalium ke dalam sel, dan hal ini dapat memicu aritmia
jantung.
Terapi memerlukan monitoring klinis dan laboratorium dan identifikasi dan penanganan dari
gejala pencetus, termasuk infeksi.

Penggantian cairan
Penggantian cairan biasanya dimulai dengan salin isotonic (0,9% NaCl). Tingkat optimal infus
salin isotonic bergantung pada keadaan klinis pasien. Salin isotonic harus diinfuskan secepat
mungkin pada pasien dengan syok hipovolemik.
Pada pasien hipovolemik tanpa syok (dan tanpa gagal jantung), saline isotonic diinfuskan pada
kecepatan 15-20 mL/kgBB per jam (kira-kira 1000 mL/jam pada orang rata-rata) untuk
beberapa jam pertama, dengan maksimal <50 mL/kg pada empat jam pertama.
Pada jam kedua atau ketiga, penggantian cairan optimal tergantung pada keadaan hidrasi, level
elektrolit serum, dan urine output. Komposisi cairan IV yang paling tepat ditentukan oleh
konsentrasi natrium yang “dikoreksi” untuk tingkat hiperglikemia. Konsentrasi natrium
terkoreksi dapat diperkirakan dengan menambahkan 2 mEq/L ke konsentrasi natrium plasma
untuk setiap peningkatan 100 mg/100 mL (5,5 mmol/L) di atas normal dalam konsentrasi
glukosa. Jika konsentrasi natrium serum terkoreksi adalah:
- Kurang dari 135 mEq/L, saline isotonic dilanjutkan pada kecepatan kira-kira 250-500
mL/jam.
- Normal atau meningkat, cairan IV biasanya diganti ke setengah saline isotonic dengan
kecepatan 250-500 mL/jam untuk menyediakan air bebas elektrolit.
Waktu terapi setengah saline isotonic juga dapat dipengaruhi oleh keseimbangan kalium. Replesi
kalium mempengaruhi larutan salin yang diberikan karena kalium sama aktifnya secara osmotic
dengan natrium. Dengan demikian, penggantian kalium bersamaan dapat menjadi indikasi lain
untuk penggunaan setengah saline isotonic.
Tambahkan dekstrosa ke larutan saline ketika glukosa serum mencapai 200 mg/dL pada KAD
atau 250-300 mg/dL pada HHS. Pasien dengan euglikemik KAD biasanya memerlukan insulin
dan glukosa untuk mengobati ketoasidosis dan mencegah hipoglikemia, dan pada pasien
tersebut, dekstrosa ditambahkan ke cairan IV pada permulaan terapi.
Rehidrasi yang adekuat dari keadaan hyperosmolar dapat meningkatkan respons terhadap terapi
insulin dosis rendah. Kecukupan penggantian cairan dinilai dengan pemantauan hemodinamik
dan laboratorium. Pada pasien dengan fungsi ginjal atau jantung yang abnormal, pemantauan
yang lebih sering harus dilakukan untuk menghindari kelebihan cairan iatrogenic. Tujuannya
adalah untuk mengoreksi estimasi deficit dalam 24 jam pertama. Namun, osmolalitas tidak boleh
dikurangi terlalu cepat, karena ini dapat mennyebabkan edema serebral.

Penggantian kalium
Penggantian kalium segera dimulai jika serum kalium <5,3 mEq/L. Hampir semua pasien
dengan KAD atau HHS mempunyai deficit kalium, biasanya karena kehilangan dari urine yang
disebabkan karena osmotic diuresis glukosa dan hyperaldosteronism sekunder. Disamping
deficit kalium tubuh total, konsentrasi kalium serum biasanya normal, atau, pada kira-kira
sepertiga kasus, meningkat saat datang. Hal ini terutama karena defisiensi insulin dan
hiperosmolalitas, masing-masing menyebabkan perpindahan kalium keluar dari sel.
- Jika kalium serum awal dibawah 3,3 mEq/L, KCl IV (KCl; 20-40 mEq/jam, yang biasanya
memerlukan 20-40 mEq/L ditambahkan ke saline) dapat diberikan. Pemilihan cairan
pengganti (saline isotonic atau setengah saline isotonic) bergantung pada keadaan hidrasi,
konsentrasi natrium terkoreksi, dosis KCl, tekanan darah, dan pemeriksaan klinis dari
keseluruhan status volume. Pasien dengan hypovolemia yang jelas memerlukan
penggantian kalium agresif (40 mEq/jam, dengan suplementasi tambahan berdasarkan
pengukuran kalium serum tiap jam) untuk meningkatkan konsentrasi kalium serum ke nilai
normal antara 4-5 mEq/L.
- Jika kalium serum awal antara 3,3 dan 5,3 mEq/L, IV KCl (20-30 mEq) ditambahkan pada
setiap liter cairan IV pengganti dan dilanjutkan sampai konsentrasi kalium serum
meningkat ke angka 4-5 mEq/L.
- Jika konsentrasi kalium serum awal lebih dari 5,3 mEq/L, kemudian penggantian kalium
ditunda sampai konsentrasi dibawah nilai ini.
Kalium ditambahkan ke cairan IV mempunyai efek osmotic yang sama seperti garam natrium,
dan hal ini harus dipertimbangkan ketika menentukan potensi dampak infus cairan IV pada
osmolalitas. Sebagai contoh, 40 mEq dari KCl yang ditambahkan ke 1 L cairan menimbulkan
osmolalitas elektrolit 80 mOsmol/L. Penambahan 40 mEq dari kalium ke 1 L setengah saline
isotonic menyebabkan larutan dengan osmolalitas 234 mOsmol/L (77 mEq NaCl dan 40 mEq
KCl), dimana secara osmotic sama dengan ¾ saline siotonik. (Osmolalitas saline isotonic adalah
308 mOsmol/L). namun, KCl tidak akan mempunyai efek perluasan cairan ekstraseluler (ECF)
seperti NaCl, karena sebagian kalium akan berpindah dengan cepat ke dalam sel.
Distribusi kalium yang diubah dengan administrasi insulin dapat mengakibatkan penurunan
konsentrasi kalium serum yang dramatis, disamping penggantian kalium. Namun, penggantian
kalium harus dilakukan dengan hati-hati jika fungsi ginjal tetap tertekan dan/atau produksi urin
tidak meningkat ke level >50 mL/jam. Pemantauan cermat kalium serum sangat penting dalam
manajemen KAD dan HHS.

Insulin
Indikasi untuk menunda pemberian terapi insulin adalah jika kalium serum di bawah 3,3 mEq/L
karena insulin akan memperburuk hypokalemia dengan memindahkan kalium ke dalam sel.
Pasien dengan kalium serum awal di bawah 3,3 mEq/L harus mendapatkan penggantian cairan
dan kalium agresif sebelum terapi dengan insulin. Terapi insulin ditunda sampai kalium serum
diatas 3,3 mEq/L untuk mencegah komplikasi seperti aritmia jantung, henti jantung, dan
kelemahan otot pernapasan.
IV insulin regular dan analog insulin rapid-acting sama-sama efektif untuk penanganan KAD.
Pemilihan insulin IV karena preferensi institusi, pengalaman dokter, dan pertimbangan biaya.
Terapi insulin menurunkan konsentrasi glukosa serum (dengan mengurangi produksi glukosa
hepar, efek mayor, dan meningkatkan utilisasi perifer, efek minor), mengurangi produksi keton
(dengan mengurangi lipolysis dan sekresi glucagon), dan dapat meningkatkan pemanfaatan
keton. Penghambatan lipolysis memerlukan level insulin yang jauh lebih rendah daripada yang
diperlukan untuk mengurangi konsentrasi glukosa serum. Sehingga, jika pemberian insulin
dapat menurunkan konsentrasi glukosa, hal ini lebih dari cukup untuk menghentikan produksi
keton.

Insulin regular intravena


Pada HHS atau KAD sedang sampai berat, terapi dapat dimulai dengan bolus IV insulin regular
(0,1 unit/kgBB) diikuti dalam 5 menit dengan infus kontinyu dari 0,1 unit/kg per jam. Sebagai
alternative, dosis bolus dapat dihilangkan jika insulin regular IV dengan dosis lebih tinggi
diberikan (0,14 unit/kg per jam, sama dengan 10 unit/jam pada pasien 70 kg). Dosis insulin sama
baik pada KAD maupun HHS.
Dosis insulin regular IV ini biasanya menurunkan konsentrasi glukosa serum kira-kira 50-70
mg/dL per jam. Dosis yang lebih tinggi tidak langsung menimbulkan efek hipoglikemik yang
lebih jelas, mungkin karena reseptor insulin sepenuhnya tersaturasi dan diaktifkan oleh dosis
yang lebih rendah. Namun, jika glukosa serum tidak turun paling tidak 50-70 mg/dL dari nilai
awal pada satu jam pertama, cek akses IV untuk meyakinkan bahwa insulin telah diberikan dan
tidak ada filter IV line yang dapat mengikat insulin yang dimasukkan. Setelah kemungkinan ini
disingkirkan, kecepatan infus insulin dapat dinaikkan dua kali lipat tiap jam sampai penurunan
glukosa serum yang tetap didapatkan.
Penurunan serum glukosa adalah hasil dari aktivitas insulin dan efek menguntungkan dari replesi
volume. Penggantian volume saja dapat menurunkan glukosa serum 35-70 mg/dL per jam
karena perluasan dan pengenceran ECF; meningkatkan kehilangan dari urin disebabkan karena
peningkayan perfusi ginjal dan filtrasi glomerular; dan perbaikan tingkat “hormone stress” yang
tinggi, yang menentang efek insulin, sebagaimana volume ECF dipulihkan. Kadar glukosa
serum sering turun lebih cepat pada pasien dengan HHS yang biasanya lebih banyak volume
yang berkurang.
Ketika glukosa serum mencapai 200 mg/dL pada KAD atau 250-300 mg/dL pada HHS, larutan
saline IV diganti dengan dextrose dalam saline, dan mungkn untuk menurunkan kecepatan infus
insulin ke 0,02 sampai 0,05 unit/kg/jam. Jika mungkin, jangan biarkan glukosa serum turun
sampai dibawah 200 mg/dL pada KAD atau 250-300 mg/dL pada HHS karena dapat
menyebabkan edema serebral.
Bikarbonat dan asidosis metabolic
Walaupun indikasi untuk terapi natrium bikarbonat untuk membantu memperbaiki asidosis
metabolic adalah kontroversi, ada beberapa pasien yang dapat mendapatkan keuntungan dari
terapi alkali. Mereka yaitu:
- Pasien dengan pH arteri ≤6,9 dimana penurunan kontraktilitas jantung dan vasodilatasi
dapat mengganggu perfusi jaringan. Pada pH arteri diatas 7,0, sebagian besar ahli setuju
bahwa terapi bikarbonat tidak diperlukan karena terapi dengan insulin dan perluasan
volume akan memperbaiki asidosis metabolic
Untuk pasien dengan pH ≤6,9, berikan 100 mEq dari natrium bikarbonat pada 400 mL air
steril diberikan dalam 2 jam. Jika serum kalium kurang dari 5,3 mEq/L, tambahkan 20 mEq
KCl. Ketika konsentrasi bikarbonat, kalium serum dapat turun dan penggantian KCl yang
lebih agresif dapat diperlukan.
- Pasien dengan hyperkalemia yang mengancam jiwa, karena pemberian bikarbonat pada
pasien asidemik dapat memindahkan kalium ke sel, sehingga menurunkan konsentrasi
kalium serum. Level kalium tepat yang dapat memicu intervensi ini belum dapat
didefinisikan; berikan natrium bikarbonat jika level kalium >6,4 mEq/dL.
pH vena dan konsentrasi bikarbonat harus diawasi setiap 2 jam, dan dosis bikarbonat dapat
diulang sampai pH naik diatas 7,0.
Indikasi terapi bikarbonat pada KAD masih kontroversial, dan bukti manfaat masih kurang.
Pemberian bikarbonat juga masih kontroversial karena, sebagai tambahan dari kurangnya bukti
untuk manfaat, ada beberapa efek yang potensial membahayakan:
- Jika infus bikarbonat berhasil menaikkan konsentrasi bikarbonat darah, hal ini dapat
menurunkan hiperventilasi, yang akan menaikkan tekanan parsial darah dari karbon
dioksida (pCO2). Peningkatan karbon dioksida darah (CO2) lebih cepat tercermin pada
sawar darah otak daripada peningkatan bikarbonat arteri. Hal ini dapat menyebabkan
penurunan paradoksikal pada pH serebral. Walaupun kerusakan neurologis telah dikaitkan
dengan mekanisme ini, ini tetap merupakan efek yang sangat kontroversial dan, jika terjadi,
masih jarang.
- Pemberian alkali dapat memperlambat kecepatan pemulihan ketosis.
- Pemberian alkali dapat memicu pada alkalosis metabolic post treatment karena
metabolisme dari anion ketoasid dengan insulin menyebabkan pembentukan bikarbonat
dan koreksi spontan dari sebagian dengan asidosis metabolic.

H. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan KAD ialah sebagai berikut:
edema paru, hipertrigliseridemia, infark miokard akut dan komplikasi iatrogenic. Komplikasi
iatrogenic tersebut ialah hipoglikemia, hypokalemia, hiperkloremia, edema otak dan
hipokalsemia.
Komplikasi dari terapi yang tidak adekuat meliputi oklusi vascular, infark miokard, low-flow
syndrome, disseminated intravascular coagulopathy dan rabdomiolisis. Overhidrasi dapat
menyebabkan adult respiratory distress syndrome dan edema serebri, yang jarang ditemukan
namun fatal pada anak-anak dan dewasa muda. Edema serebri ditatalaksana dengan infus
mannitol dengan dosis 1-2g/kgBB selama 30 menit dan pemberian deksametason intravena.
Memperlambat koreksi hyperosmolar pada anak-anak, dapat mencegah edema serebri.

I. Prognosis
Biasanya buruk, tetapi sebenarnya kematian pasien bukan disebabkan oleh sindrom
hyperosmolar sendiri tetapi olej penyakit yang mendasari atau menyertainya. Angka kematian
berkisar antara 30-50%. Di negara maju dapat dikatakan penyebab utama kematian adalah
infeksi, usia lanjut dan osmolaritas darah yang sangat tinggi. Di negara maju, angka kematian
dapat ditekan menjadi sekitar 12%.
DAFTAR PUSTAKA

1. American Diabetes Association. Pharmacologic Approaches to Glycemic


Treatment: Standards of Medical Care in Diabetes. 2018.
2. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia. Jakarta: Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia;
2015
3. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetic. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. P. 1896-9.
4. Suyono S. Diabetes Melitus di Indonesia. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. IV
ed. Jakarta: Pusat penerbitan Ilmu Penyakit dalam FK UI; 2006.
5. https://www.uptodate.com/contents/diabetic-ketoacidosis-and-hyperosmolar-
hyperglycemic-state-in-adults-clinical-features-evaluation-and-
diagnosis?search=ketoacidosis%20diabetic&topicRef=1794&source=see_link (diakses
pada 22/02/2019)
6. https://www.uptodate.com/contents/diabetic-ketoacidosis-and-hyperosmolar-
hyperglycemic-state-in-adults-
treatment?search=ketoacidosis%20diabetic&topicRef=1794&source=see_link (diakses
pada 22/02/2019)
7. https://www.uptodate.com/contents/diabetic-ketoacidosis-and-hyperosmolar-
hyperglycemic-state-in-adults-epidemiology-and-
pathogenesis?search=ketoacidosis%20diabetic&source=search_result&selectedTitle=5~1
50&usage_type=default&display_rank=5 (diakses pada 22/02/2019)

Anda mungkin juga menyukai