Anda di halaman 1dari 64

PRESENTASI KASUS

SEORANG PRIA USIA 64 TAHUN DENGAN CHF NYHA III, TRIKUSPID


REGURGITASI MILD DAN GERIATRI DENGAN IMMOBILISASI

Oleh :
Arina Sabila Haqq

G99152101

Fenti Endriyani

G99152104

Pembimbing :
DR.Dr Noer Rachma, Sp. KFR

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2017
STATUS PENDERITA

I. ANAMNESIS
A.

Identitas Pasien
Nama

: Tn. S

Umur

: 64 tahun

Jenis Kelamin

: Pria

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Buruh

Alamat

: Surakarta

Status

: Menikah

Masuk Rumah Sakit: 31 Desember 2016

B.

Tanggal Periksa

: 5 Januari 2017

No CM

: 0136xxxx
Keluhan Utama

Sesak nafas yang memberat


C.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien merupakan konsulan dari TS Interna dengan keluhan sesak
nafas yang memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
Saat pemeriksaan tanggal 5 Januari 2016, pasien mengeluhkan
sesak nafas yang berat sehingga pasien hanya bisa berbaring di tempat
tidur dengan posisi setengah berbaring. Pasien tidak dapat melakukan
aktivitas sendiri seperti berjalan ke kamar mandi dikarenakan sesak,
sehingga bila berjalan harus dibantu oleh keluarganya.
Keluhan sesak nafas tersebut sudah dialami pasien sejak 1 bulan
sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan terus menerus dan semakin
lama semakin memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak
semakin memberat jika digunakan untuk beraktifitas dan sedikit
berkurang jika beristirahat. Sesak nafas tidak dipengaruhi oleh debu,
makanan perubahan cuaca, dan udara dingin. Sesak nafas juga tidak
disertai batuk, demam maupun mengi. Pasien mengaku nyaman tidur

dengan 3 bantal. Pasien sering terbangun pada malam hari tiba-tiba


karena keluhan sesaknya tetapi tidak berkeringat dingin malam hari.
Pasien juga mengeluhkan kakinya bertambah bengkak akhir-akhir
ini. BAK pasien tidak lancar, keluar sedikit-sedikit dan berwarna kuning
pekat. Pasien merasa tidak lampias setelah BAK. BAB pasien juga tidak
lancar, dalam sehari hanya BAB satu kali, sedikit, konsistensi keras dan
tidak lampias.
D.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Trauma

: disangkal

Riwayat Hipertensi

: disangkal

Riwayat DM

: disangkal

Riwayat Alergi obat/makanan

: disangkal

Riwayat Mondok

: (+) satu kali di RSDM dengan keluhan


sesak

E.

F.

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat Keluhan Serupa

: disangkal

Riwayat Hipertensi

: disangkal

Riwayat DM

: disangkal

Riwayat Penyakit Jantung

: disangkal

Riwayat Alergi

: disangkal

Riwayat Asma

: disangkal

Riwayat Kebiasaan dan Gizi


Riwayat Merokok

: disangkal

Riwayat Minum Alkohol

: disangkal

Riwayat Olahraga

: pasien jarang berolahraga

G.

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah seorang suami dengan 3 orang anak. Pasien tinggal bersama
istri dan ketiga anaknya. Pasien merupakan seorang buruh. Saat ini dirawat
di RSDM dengan fasilitas BPJS.

II. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Generalis
Keadaan umum sakit sedang, Compos Mentis E4V5M6, gizi kesan cukup
B.

C.

Tanda Vital
Tekanan darah

: 160/90 mmHg

Nadi

: 98x/ menit, isi cukup, irama teratur, simetris

Respirasi

: 24x/menit, irama teratur, tipe thoracoabdominal

Suhu

: 36,70C per aksiler

Kulit
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), venectasi (-),
spider naevi (-), striae (-), hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-).

D.

Kepala
Bentuk mesocephal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut hitam
beruban, tidak mudah rontok, tidak mudah dicabut, atrofi otot (-).

E.

Mata
Conjunctiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung
dan tak langsung (+/+), pupil isokor (3 mm/ 3mm), oedem palpebra (+/
+), sekret (-/-)

F.

Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)

G.

Telinga
Deformitas (-/-),darah (-/-), sekret (-/-)

H.

Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-),lidah simetris, lidah tremor (-),
stomatitis (-), mukosa basah (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-)

I.

Leher
Simetris, trakea di tengah, step off (-), JVP

(R+5),limfonodi tidak

membesar, nyeri tekan (-), benjolan (-)


J.

Thoraks
a.

Retraksi (-)

b.

Jantung
Inspeksi

: Ictus Cordis tidak tampak

Palpasi

: Ictus Cordis tidak kuat angkat teraba di SIC V 2 cm


lateral LMCS

Perkusi

: Batas jantung kesan melebar caudolateral

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler,


bising (-)
c. Pulmo
Inspeksi

: Pengembangan dada kanan = kiri, gerakan


paradoksal (-)

Palpasi

: Fremitus raba kanan = kiri

Perkusi

: Sonor seluruh lapang paru

Auskultasi : Suara dasar ( vesikuler / vesikuler ), RBH (+/+), RBK


(-/-)
K. Abdomen

: Inspeksi : Dinding perut sejajar daripada


dinding dada, striae (-), venektasi (-)
Auskultasi: Peristaltik (+) menurun
Perkusi : Timpani, ascites (-), pekak alih/pekak sisi
(-/-), undulasi (-), edema scrotal (-)
Palpasi : Supel, (-), nyeri tekan (-), hepar lien tidak
teraba
: Kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-), nyeri ketok
costovertebral (+).

L. Punggung

M.Ekstremitas
Oedem
+

Akral dingin

N. Status Psikiatri
Deskripsi Umum
1. Penampilan : Pria, tampak sesuai umur, berpakaian rapi, perawatan
diri baik.
2. Kesadaran : compos mentis
3. Perilaku dan Aktivitas Motorik : normoaktif
4. Pembicaraan : koheren, menjawab pertanyaan
5. Sikap Terhadap Pemeriksa : Kooperatif, kontak mata cukup
Afek dan Mood
-

Afek

: appropiate

Mood : eutimik

Gangguan Persepsi
-

Halusinasi (-)

Ilusi (-)

Proses Pikir
-

Bentuk : realistik

Isi

: waham (-)

Arus

: koheren

Sensorium dan Kognitif


-

Daya Konsentrasi : baik

Orientasi

: Orang : baik
Waktu : baik
Tempat : baik

Daya Ingat

: Jangka pendek : baik


Jangka panjang : baik

Daya Nilai

: Daya nilai realitas dan sosial baik

Insight

: Derajat 5

Taraf dapat dipercaya

: Dapat dipercaya

O. Status Neurologis
Kesadaran

: GCS E4V5M6
6

Fungsi Luhur

: dalam batas normal

Fungsi Vegetatif : terpasang IV line, DC


Fungsi Sensorik
Rasa Eksteroseptik

: suhu, nyeri, dan raba dalam batas normal

Rasa Propioseptik

: getar, posisi, dan tekan dalam batas normal

Rasa Kortikal

: stereognosis, barognosis, pengenalan dua titik


dalam batas normal

Fungsi Motorik dan Reflek :


Kekuatan

Tonus

R.Fisiologis

R.patologis

+2

+2

+2

+2

Nervus Cranialis
N. II, III

reflek cahaya (+ /+), diameter pupil (3mm/3mm)

N. III, IV, VI

gerakan bola mata dalam batas normal

N. VII

dalam batas normal

N. XII

dalam batas normal

Range of Motion (ROM)


NECK

ROM Pasif
0 - 70
0 - 40
0 - 60
0 - 60
0 - 90
0 - 90

Fleksi
Ekstensi
Lateral bending kanan
Lateral bending kiri
Rotasi kanan
Rotasi kiri

ROM Pasif

Ektremitas Superior

Shoulder

Elbow

Fleksi
Ektensi
Abduksi
Adduksi
Eksternal Rotasi
Internal Rotasi
Fleksi
Ekstensi

ROM Aktif
0 - 70
0 - 40
0 - 60
0 - 60
0 - 90
0 - 90
ROM Aktif

Dekstra

Sinistra

Dekstra

Sinistra

0-90
0-50
0-180
0-75
0-90
0-90
0-150
0

0-90
0-50
0-180
0-75
0-90
0-90
0-150
0

0-90
0-50
0-180
0-75
0-90
0-90
0-150
0

0-90
0-50
0-180
0-75
0-90
0-90
0-150
0

Wrist
Finger

Trunk

Pronasi
Supinasi
Fleksi
Ekstensi
Ulnar Deviasi
Radius deviasi
MCP I Fleksi
MCP II-IV fleksi
DIP II-V fleksi
PIP II-V fleksi
MCP I Ekstensi
Fleksi
Ekstensi

0-90
0-90
0-90
0-90
0-90
0-90
0-70
0-70
0-30
0-30
0-20
0-20
0-50
0-50
0-90
0-90
0-90
0-90
0-100
0-100
0-30
0-30
0-90
0-90
0-30
0-30
0-35
0-35
0-35
0-35
ROM Pasif

0-90
0-90
0-90
0-90
0-90
0-90
0-70
0-70
0-30
0-30
0-20
0-20
0-50
0-50
0-90
0-90
0-90
0-90
0-100
0-100
0-30
0-30
0-90
0-90
0-30
0-30
0-35
0-35
0-35
0-35
ROM Aktif

Dekstra

Sinistra

Dekstra

Sinistra

0-120
0-30
0-45
0-45
0-30
0-30
0-120
0
0-30
0-30
0-50
0-40

0-120
0-30
0-45
0-45
0-30
0-30
0-120
0
0-30
0-30
0-50
0-40

0-120
0-30
0-45
0-45
0-30
0-30
0-120
0
0-30
0-30
0-50
0-40

0-120
0-30
0-45
0-45
0-30
0-30
0-120
0
0-30
0-30
0-50
0-40

Right Lateral Bending


Left Lateral Bending

Ektremitas Inferior

Hip

Knee
Ankle

Fleksi
Ektensi
Abduksi
Adduksi
Eksorotasi
Endorotasi
Fleksi
Ekstensi
Dorsofleksi
Plantarfleksi
Eversi
Inversi

Manual Muscle Testing (MMT)


NECK
Fleksor M. Sternocleidomastoideum
Ekstensor M. Sternocleidomastoideum
TRUNK
Fleksor
M. Rectus Abdominis
Thoracic group
Ektensor
Lumbal group
Rotator
M. Obliquus Eksternus
Pelvic Elevation
Ektremitas Superior
Shoulder
Fleksor

Abdominis
M. Quadratus Lumbaris
Dekstra
5
5

5
5
5
5
5
5
5
Sinistra
5
5

Ekstensor
Abduktor
Adduktor
Internal
Rotasi
Eksternal
Rotasi
Fleksor
Elbow

Eksternsor
Supinator
Pronator
Fleksor
Ekstensor
Wrist
Abduktor
Adduktor
Fleksor
Finger
Ekstensor
Ektremitas Inferior
Hip
Fleksor
Ekstensor
Abduktor
Adduktor
Knee Fleksor
Ekstensor
Ankl Fleksor
Ekstensor
e

5
5
5
5
5
5
5
5

5
5
5
5
5
5
5
5

5
5

5
5

5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5

5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5

Dekstra

Sinistra

5
5
5
5
5
5
5
5

5
5
5
5
5
5
5
5

Status Ambulasi
Barthel Index
Activity

Score

Feeding
0 = unable
5 = butuh bantuan memotong, mengoleskan mentega,
dll, atau membutuhkan modifikasi diet
10 = independen
Bathing
0 = dependen
5 = independen (atau menggunakan shower)
Grooming

10

0 = membutuhkan bantuan untuk perawatan diri


5 = independen dalam perawatan muka, rambut, gigi,
dan bercukur
Dressing
0 = dependen
5 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan
sebagian pekerjaan sendiri
10 = independen (termasuk mengancingkan resleting,
menalikan pita, dll.
Bowel
0 = inkontinensia (atau membutuhkan enema)
5 = occasional accident
10 = kontinensia
Bladder
0 = inkontinensia atau memakai kateter dan tidak
mampu menangani sendiri
5 = occasional accident
10 = kontinensia
Toilet use
0 = dependen
5 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan
beberapa hal sendiri
10 = independen (on and off, dressing)
Transfer
0 = unable, tidak ada keseimbangan duduk
5 = butuh bantuan besar (satu atau dua orang, fisik),
dapat duduk
10 = bantuan kecil (verbal atau fisik)
15 = independen
Mobility
0 = immobile atau < 50 yard
5 = wheelchair independen, > 50 yard
10 = berjalan dengan bantuan satu orang (verbal atau
fisik) > 50 yard
15 = independen (tapi dapat menggunakan alat bantu
apapun, tongkat) > 50 yard
Stairs
0 = unable
5 = membutuhkan bantuan (verbal, fisik, alat bantu)
10 = independen
Total (0-100)
Status Ambulasi
: ketergantungan sedang

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

10

10

10

10

5
65

A. Laboratorium Darah (3 Januari 2016)


Pemeriksaan
Hematologi Rutin
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
Golongan Darah
Kimia Klinik
Gula Darah Sewaktu
SGOT
SGPT
Albumin
Creatinine
Ureum
Elektrolit
Natrium darah
Kalium darah
Calsium Ion
Hepatitis
HBsAg Rapid
Analisa Gas Darah
pH
BE
PCO2
PO2
Hematokrit
HCO3
Total CO2
O2 Saturasi
Laktat
Arteri

Hasil

Satuan

Rujukan

10,3
33
6.9
298
3.86
B

g/dl
%
ribu/ul
ribu/ul
juta/ul

13.5 17.5
33 - 45
4.5 - 11.0
150 - 450
4.50 5.0

69
24
17
2.3
1.9
53

mg/dl
u/l
u/l
g/dl
mg/dl
mg/dl

60 - 140
<31
<34
3.5 5.2
0.6 1.1
<50

138
5.1
1.19

mmol/L
mmol/L
mmol/L

136 - 145
3.3 5.1
1.17 1.29

Nonreactive

Nonreactive

7.397
-2.9
35.7
200.0
33
22.1
22.6
98.8

mmol/L
mmHg
mmHg
%
mmol/L
mmol/L
%

7.350 7.450
-2 - +3
27.0 - 41.0
83.0 108.0
37 50
21.0 28.0
19.0 24.0
94.0 98.0

1.18

mmol/L

0.36 0.75

B. Rontgen thorak PA (kurang inspirasi) (1 Januari 2017)

11

Jantung : membesar dengan CTR 60%

Pulmo : Tampak perihilar hazzines di kedua lapang paru

Sinus costophrenicus kanan kiri tumpul

Hemidiaphragma kanan kiri normal

Trakea di tengah

Sistema tulang baik

Kesan :
Cardiomegali dengan interstitial lung edema dan efusi pleura bilateral
minimal
C. EKG (1 Januari 2017)

12

Kesimpulan :
Sinus ritmik, HR : 75 kali, normoaxis, T inverted di II, III, aVF, V4, V5, V6

13

IV.

ASSESMENT
1.

CHF NYHA III dengan Trikuspid Mitral Regurgitasi


Mild

2.
3.

Geriatri dengan masalah immobilisasi


Efusi pleura terbatas bilateral

14

V.

DAFTAR MASALAH
Masalah Medis
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

CHF NYHA III


Immobilisasi
Efusi pleura terbatas bilateral
Anemia
Peningkatan ureum dan kreatinin
Kardiomegali
Peningkatan laktat arteri
Hipoalbumin

Problem Rehabilitasi Medik


1. Speech Terapi

: (-)

2. Okupasi Terapi

: Gangguan dalam melakukan aktivitas fisik

3. Sosiomedik

: Memerlukan bantuan untuk melakukan aktivitas


sehari-hari

VI.

4. Ortesa-protesa

: (-)

5. Psikologi

: (-)

6. Fisioterapi

: Prolong immobilisasi

PENATALAKSANAAN
A.
Terapi medikamentosa :
1. Bedrest tidak total setengah duduk
2. O2 3 lpm nasal canul
3. Diet ginjal rendah garam
4. Infus NaCl 0,9% 16 tpm mikro
5. Inf. Kidmin 1 fl/ 24 jam
6. Inj. Furosemid 40mg/ 8jam
7. CaCO3 3x1
8. Asam folat 1x800 mg
9. N-asetilsistein 1x200 mg
10. Captopril 3x12,5 mg
B.

Rehabilitasi Medik:

1.

Fisioterapi
a.Proper bed positioning
b. Alih baring
c.General AROM exercise
d. Breathing exercise
15

e.Balance training (jika KU sudah baik)


f. Mobilisasi dan ambulasi training (bertahap)
2. Terapi wicara

: tidak ada

3. Okupasi terapi

: Melatih pasien agar dapat menjalankan ADL


sesuai fungsi awalnya.

4.

Sosiomedik

Menilai

situasi

kehidupan

pasien,
mengembalikan peran sosial pasien dalam
keluarga dan lingkungan, motivasi dan edukasi
keluarga

untuk

membantu

dan

merawat

penderita dengan selalu berusaha menjalankan


program di Rumah Sakit dan Home Program.

VII.

5.

Ortesa-Protesa

6. Psikologi

: tidak ada

: tidak ada

IMPAIRMENT, DISABILITY, DAN HANDICAP


Impairment: CHF NYHA III, Immobilisasi, anemia
Disability : Gangguan mobilisasi dan kesulitan dalam melakukan aktifitas
sehari-hari sehingga membutuhkan bantuan orang lain
Handicap

: Keterbatasan melakukan pekerjaan, aktifitas sehari-hari dan


kegiatan sosial

VIII.

PLANNING
Planning Diagnostik :echocardigrafi
Planning Terapi

:-

Planning Edukasi

: - Penjelasan penyakit dan komplikasi yang bisa


terjadi
- Edukasi untuk home exercise dan ketaatan untuk
melakukan terapi

Planning Monitoring : Evaluasi hasil terapi


IX.

TUJUAN
16

1.

Perbaikan keadaan umum sehingga mempersingkat


waktu perawatan

2.

Mencegah

terjadinya

komplikasi

yang

dapat

memperburuk keadaan
3.

Meminimalkan impairment, disability dan handicap

4.

Membantu penderita sehingga mampu mandiri


dalam menjalankan aktivitas sehari-hari

5.
X.

Edukasi perihal home exercise


PROGNOSIS

Ad vitam

: dubia

Ad sanam

: dubia

Ad fungsionam

: dubia

TINJAUAN PUSTAKA
A. CHF

17

Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai pompa


tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri
yang penting dari definisi ini adalah pertama, definisi gagal adalah relatif terhadap
kebutuhan metabolik tubuh. Kedua, penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi
pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik
pada fungsi miokardium; gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal
jantung, tetapi mekanisme kompensatorik sirkulasi dapat menunda atau bahkan
mencegah perkembangan penyakit menjadi gagal jantung. Beberapa istilah dalam
gagal jantung :
1. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik :
Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan sulit dibedakan dari
pemeriksaan fisis, foto thoraks, atau EKG dan hanya dapat dibedakan
dengan echocardiography.
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung
memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan,
kemampuan aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya.
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan
pengisian ventrikel. Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal
jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%. Ada 3 macam gangguan fungsi
diastolik ; Gangguan relaksasi, pseudo-normal, tipe restriktif.
2. Low Output dan High Output Heart Failure
Low output heart failure disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati
dilatasi, kelainan katup dan perikard. High output heart failure ditemukan
pada penurunan resistensi vaskular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia,
kehamilan, fistula A V, beri-beri, dan Penyakit Paget. Secara praktis,
kedua kelainan ini tidak dapat dibedakan.
3. Gagal Jantung Kiri dan Kanan

18

Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan


vena pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan orthopnea.
Gagal jantung kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan
seperti pada hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru
kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema
perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis. Tetapi karena perubahan
biokimia gagal jantung terjadi pada miokard ke-2 ventrikel, maka retensi
cairan pada gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan atau tahun tidak
lagi berbeda.
4. Gagal Jantung Akut dan Kronik
Contoh gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba
akibat endokarditis, trauma, atau infark miokard luas. Curah jantung yang
menurun secara tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa
disertai edema perifer.
Contoh gagal jantung kronik adalah kardiomiopati dilatasi atau
kelainan multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer
sangat menyolok, namun tekanan darah masih terpelihara dengan baik.
Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure,
hampir selalu disertai peningkatan kongesti/ bendungan di sirkulasi vena
(backward failure), karena ventrikel yang lemah tidak mampu memompa
darah dalam jumlah normal, hal ini menyebabkan peningkatan volume
darah di ventrikel pada waktu diastol, peningkatan tekanan diastolik akhir
di dalam jantung dan akhirnya peningkatan tekanan vena . Gagal jantung
kongestif mungkin mengenai sisi kiri dan kanan jantung atau seluruh
rongga jantung.
ETIOLOGI
Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi aorta
dan defek septum ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi
stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun
pada infark miokardium dan kardiomiopati. Faktor-faktor yang dapat memicu
19

perkembangan gagal jantung melalui penekanan sirkulasi yang mendadak dapat


berupa : aritmia, infeksi sistemik, infeksi paru-paru dan emboli paru.
Penyebab tersering gagal jantung kiri adalah hipertensi sistemik, penyakit
katup mitral atau aorta, penyakit jantung iskemik, dan penyakit miokardium primer.
Penyebab tersering gagal jantung kanan adalah gagal ventrikel kiri, yang
menyebabkan kongesti paru dan peningkatan tekanan arteria pulmonalis. Gagal
jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai gagal jantung kiri pada pasien dengan
penyakit parenkim paru dan atau pembuluh paru (kor polmunale) dan pada pasien
dengan penyakit katup arteri pulmonalis atau trikuspid. 5
PATOFISIOLOGI
Bila jantung mendadak menjadi rusak berat, seperti infark miokard, maka
kemampuan pemompaan jantung akan segera menurun. Sebagai akibatnya akan
timbul dua efek utama penurunan curah jantung, dan bendungan darah di vena yang
menimbulkan kenaikan tekanan vena jugularis.
Sewaktu jantung mulai melemah, sejumlah respons adaptif lokal mulai terpacu
dalam upaya mempertahankan curah jantung. Respons tersebut mencakup
peningkatan aktivitas adrenergik simpatik, peningkatan beban awal akibat aktivasi
sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan hipertrofi ventrikel. Mekanisme ini
mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau
hampir normal pada awal perjalanan gagal jantung, dan pada keadaan istirahat.
Namun, kelainan kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak
saat beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung, kompensasi menjadi semakin
kurang efektif.
1.

Peningkatan

aktivitas

adrenergik simpatis :
Salah satu respons neurohumoral terhadap penurunan curah jantung
adalah peningkatan aktivitas sistem adrenergik simpatis. Meningkatnya
aktivitas adrenergik simpatis merangsang pengeluaran katekolamin dari sarafsaraf adrenergik jantung dan medulla adrenal. Katekolamin ini akan
menyebabkan kontraksi lebih kuat otot jantung (efek inotropik positif) dan
peningkatan kecepatan jantung. Selain itu juga terjadi vasokontriksi arteri
perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume darah dengan
mengurangi aliran darah ke organ-organ yang metabolismenya rendah misal
20

kulit dan ginjal untuk mempertahankan perfusi ke jantung dan otak.


Vasokonstriksi akan meningkatkan aliran balik vena ke sisi kanan jantung,
untuk selanjutnya menambah kekuatan kontraksi sesuai dengan hukum
Starling. Kadar katekolamin dalam darah akan meningkat pada gagal jantung,
terutama selama latihan. Jantung akan semakin bergantung pada katekolamin
yang beredar dalam darah untuk mempertahankan kerja ventrikel.namun pada
akhirnya respons miokardium terhadap rangsangan simpatis akan menurun;
2.

katekolamin akan berkurang pengaruhnya terhadap kerja ventrikel.


Peningkatan beban

awal

melalui aktivasi sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron


Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi
natrium dan air oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel. Mekanisme yang
mengakibatkan aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron pada gagal jantung
masih belum jelas. Namun apapun mekanisme pastinya, penurunan curah
jantung akan memulai serangkaian peristiwa berikut:
-

Penurunan aliran darah ginjal dan penurunan laju filtrasi glomerulus

Pelepasan renin dari apparatus jukstaglomerulus

Interaksi renin dan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan


angiotensinI

Konversi angotensin I menjadi angiotensin II

Rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal.

Retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus kolektifus.
Angiotensin

II

juga

menghasilkan

efek

vasokonstriksi

yang

meningkatkan tekanan darah.


3.

Hipertrofi ventrikel :
Respon kompensatorik terakhir adalah hipertrofi miokardium atau
bertambah tebalnya dinding. Hipertrofi miokardium akan mengakibatkan
peningkatan kekuatan kontraksi ventrikel.

21

Awalnya,
menguntungkan;

respon
namun

kompensatorik
akhirnya

sirkulasi

mekanisme

memiliki

efek

kompensatorik

yang
dapat

menimbulkan gejala, meningkatkan kerja jantung, dan memperburuk derajat


gagal jantung. Retensi cairan yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan
kontraktilitas menyebabkan terbentuknya edema dan kongesti vena paru dan
sistemik. Vasokontriksi arteri juga meningkatkan beban akhir dengan
memperbesar resistensi terhadap ejeksi ventrikel; beban akhir juga meningkat
karena dilatasi ruang jantung. Akibatnya, kerja jantung dan kebutuhan oksigen
miokardium juga meningkat. Hipertrofi miokardium dan rangsangan simpatis
lebih lanjut akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Jika
peningkatan kebutuhan oksigen

tidak dapat dipenuhi akan terjadi iskemia

miokardium dan gangguan miokardium lainnya. Hasil akhir dari peristiwa yang
saling berkaitan ini adalah meningkatnya beban miokardium dan terus
berlangsungnya gagal jantung.
MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik gagal jantung harus dipertimbangkan relatif terhadap derajat
latihan fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Pada awalnya, secara khas gejala
hanya muncul saat beraktivitas fisik, tetapi dengan bertambah beratnya gagal
jantung, toleransi terhadap latihan semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih
awal dengan aktivitas yang lebih ringan.
Gejala-gejala dari gagal jantung kongestif bervariasi diantara individu sesuai
dengan sistem organ yang terlibat dan juga tergantung pada derajat penyakit.
Gejala awal dari gagal jantung kongestif adalah kelelahan. Meskipun kelelahan
adalah gejala yang umum dari gagal jantung kongestif, tetapi gejala kelelahan
merupakan gejala yang tidak spesifik yang mungkin disebabkan oleh banyak
kondisi-kondisi lain. Kemampuan seseorang untuk berolahraga juga berkurang.
Beberapa pasien bahkan tidak merasakan keluhan ini dan mereka tanpa sadar

membatasi aktivitas fisik mereka untuk memenuhi kebutuhan oksigen.


Dispnea, atau perasaan sulit bernapas adalah manifestasi gagal jantung yang
paling umum. Dispnea disebabkan oleh meningkatnya kerja pernapasan akibat
kongesti vaskular paru yang mengurangi kelenturan paru.meningkatnya tahanan
aliran udara juga menimbulkan dispnea. Seperti juga spektrum kongesti paru

22

yang berkisar dari kongesti vena paru sampai edema interstisial dan akhirnya
menjadi edema alveolar, maka dispnea juga berkembang progresif. Dispnea saat
beraktivitas menunjukkan gejala awal dari gagal jantung kiri. Ortopnea (dispnea
saat berbaring) terutama disebabkan oleh redistribusi aliran darah dari bagianbagian tubuh yang di bawah ke arah sirkulasi sentral.reabsorpsi cairan
interstisial dari ekstremitas bawah juga akan menyebabkan kongesti vaskular
paru-paru lebih lanjut. Paroxysmal Nocturnal Dispnea (PND) dipicu oleh
timbulnya edema paru intertisial. PND merupakan manifestasi yang lebih

spesifik dari gagal jantung kiri dibandingkan dengan dispnea atau ortopnea.
Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada

posisi berbaring.
Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah ciri khas
dari gagal jantung, ronki pada awalnya terdengar di bagian bawah paru-paru

karena pengaruh gaya gravitasi.


Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang terjadi akibat

distensi vena.
Gagal pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti vena
sistemik. Dapat diamati peningkatan tekanan vena jugularis; vena-vena leher
mengalami bendungan . tekanan vena sentral (CVP) dapat meningkat secara
paradoks selama inspirasi jika jantung kanan yang gagal tidak dapat
menyesuaikan terhadap peningkatan aliran balik vena ke jantung selama

inspirasi.
Dapat terjadi hepatomegali; nyeri tekan hati dapat terjadi akibat peregangan

kapsula hati.
Gejala saluran cerna yang lain seperti anoreksia, rasa penuh, atau mual dapat

disebabkan kongesti hati dan usus.


Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial. Edema
mula-mula tampak pada bagian tubuh yang tergantung, dan terutama pada
malam hari; dapat terjadi nokturia (diuresis malam hari) yang mengurangi
retensi cairan.nokturia disebabkan oleh redistribusi cairan dan reabsorpsi pada
waktu berbaring, dan juga berkurangnya vasokontriksi ginjal pada waktu

istirahat.
Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema anasarka.
Meskipun gejala dan tanda penimbunan cairan pada aliran vena sistemik secara

23

klasik dianggap terjadi akibat gagal jantung kanan, namun manifestasi paling
dini dari bendungan sistemik umumnya disebabkan oleh retensi cairan daripada

gagal jantung kanan yang nyata.


Seiring dengan semakin parahnya gagal jantung kongestif, pasien dapat
mengalami sianosis dan asidosis akibat penurunan perfusi jaringan. Aritmia
ventrikel akibat iritabilitas miokardium dan aktivitas berlebihan sietem saraf
simpatis sering terjadi dan merupakan penyebab penting kematian mendadak
dalam situasi ini.

DIAGNOSIS
Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala yang ada dan
penemuan klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain foto thorax,
EKG, ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium rutin, dan pemeriksaan biomarker.
Kriteria Diagnosisnya adalah kriteria Framingham. Diagnosis gagal jantung
ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor.
Kriteria Major :
1. Paroksismal nokturnal dispnea
2. Distensi vena leher
3. Ronki paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Gallop S3
7. Peninggian tekana vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria Minor :
1. Edema eksremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea deffort

24

4.
5.
6.
7.

Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Takikardi(>120/menit)

Klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA), merupakan


pedoman untuk pengklasifikasian penyakit gagal jantung kongestif berdasarkan
tingkat aktivitas fisik, antara lain: 1

NYHA class I, penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan


fisik serta tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung seperti cepat
lelah, sesak napas atau berdebar-debar, apabila melakukan kegiatan biasa.

NYHA class II, penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik.
Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik
yang biasa dapat menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti
kelelahan, jantung berdebar, sesak napas atau nyeri dada.

NYHA class III, penderita penyakit dengan pembatasan yang lebih banyak
dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan
tetapi kegiatan fisik yang kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan
gejala-gejala insufisiensi jantung seperti yang tersebut di atas.

NYHA class IV, penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun
tanpa menimbulkan keluhan, yang bertambah apabila mereka melakukan
kegiatan fisik meskipun sangat ringan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung, pemeriksaan
penunjang sebaiknya dilakukan.
1. Pemeriksaan Laboratorium Rutin :

25

Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen (BUN),


kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Juga dilakukan pemeriksaan
gula darah, profil lipid.
2. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG adalah
untuk menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel hypertrophy (LVH)
atau riwayat MI (ada atau tidak adanya Q wave). EKG Normal biasanya
menyingkirkan kemungkinan adanya disfungsi diastolik pada LV.
3. Radiologi
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung
dan bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang-kadang
efusi pleura.

begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat

mengidentifikasi penyebab nonkardiak pada gejala pasien. .


4. Penilaian fungsi LV :
5. Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi,
dan menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling berguna adalah
echocardiogram 2D/ Doppler, dimana dapat memberikan penilaian
semikuantitatif terhadap ukuran dan fungsi LV begitu pula dengan
menentukan keberadaan abnormalitas pada katup dan/atau pergerakan
dinding regional (indikasi adanya MI sebelumnya). Keberadaan dilatasi
atrial kiri dan hypertrophy LV, disertai dengan adanya abnormalitas pada
pengisian diastolic pada LV yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna
untuk menilai gagal jantung dengan EF yang normal. Echocardiogram 2D/Doppler juga bernilai untuk menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan
pulmoner, dimana sangat penting dalam evaluasi dan penatalaksanaan cor
pulmonale. MRI juga memberikan analisis komprehensif terhadap anatomi
jantung dan sekarang menjadi gold standard dalam penilaian massa dan
volume LV. Petunjuk paling berguna untuk menilai fungsi LV adalah EF
(stroke volume dibagi dengan end-diastolic volume). Karena EF mudah
diukur dengan pemeriksaan noninvasive dan mudah dikonsepkan.

26

Pemeriksaan ini diterima secara luas oleh para ahli. Sayangnya, EF


memiliki beberapa keterbatasan sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena EF
dipengaruhi oleh perubahan pada afterload dan/atau preload. Sebagai
contoh, LV EF meningkat pada regurgitasi mitral sebagai akibat ejeksi darah
ke dalam atrium kiri yang bertekanan rendah. Walaupun demikan, dengan
pengecualian jika EF normal (> 50%), fungsi sistolik biasanya adekuat, dan
jika EF berkurang secara bermakna (<30-40%). 11

27

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi
penalaksanaan secara non farmakologis dan secara farmakologis.
Penatalaksanaan gagal jantung baik akut maupun kronik ditujukan
untuk mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis, meskipun
penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta
beratnya kondisi.
Terapi :
a. Non Farmakalogi :
Anjuran umum :
Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala

dengan pengobatan.
Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar
dapat

dilakukan

seperti

biasa.

Sesuaikan

kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa

dilakukan.
Gagal
jantung

berat

harus

menghindari

penerbangan panjang.
Tindakan Umum :
Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada
gagal jantung ringan dan 1 g pada gagal jantung
berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung

berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan.


Hentikan rokok
Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30

g/hari pada yang lainnya.


Aktivitas fisik (latihan

jasmani

jalan

3-5

kali/minggu selama 20-30 menit atau sepeda statis


5 kali/minggu selama 20 menit dengan beban 7080% denyut jantung maksimal pada gagal jantung
ringan dan sedang).
Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan
eksaserbasi akut.
b. Farmakologi

28

Terapi farmakologik terdiri atas ; panghambat ACE,


Antagonis Angiotensin II, diuretik, Antagonis aldosteron,
-blocker, vasodilator lain, digoksin, obat inotropik lain,
anti-trombotik, dan anti-aritmia
a. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung
membutuhkan paling sedikit diuretik reguler dosis
rendah. Permulaan dapat digunakan loop diuretik
atau tiazid. Bila respon tidak cukup baik, dosis
diuretik dapat dinaikkan, berikan diuretik intravena,
atau kombinasi loop diuretik dengan tiazid. Diuretik
hemat kalium, spironolakton, dengan dosis 25-50
mg/hari dapat mengurangi mortalitas pada pasien
dengan gagal jantung sedang sampai berat (klas
fungsional

IV)

sistolik.
b. Penghambat

yang

ACE

disebabkan

bermanfaat

gagal

untuk

jantung
menekan

aktivitas neurohormonal, dan pada gagal jantung


yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri.
Pemberian dimulai dengan dosis rendah, dititrasi
selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif.
c. Penyekat
Beta
bermanfaat
sama
seperti
penghambat ACE. Pemberian dimulai dosis kecil,
kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan
kontrol

ketat

sindrom

gagal

jantung.

Biasanya

diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada gagal


jantung klas fungsional II dan III. Penyekat Beta yang
digunakan carvedilol, bisoprolol atau metaprolol.
Biasa digunakan bersama-sama dengan penghambat
ACE dan diuretik.
d. Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan
bila ada intoleransi terhadap ACE ihibitor.
e. Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan
gagal jantung disfungsi sistolik ventrikel kiri dan
29

terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan


bersama-sama diuretik, ACE inhibitor, beta blocker.
f. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan
untuk pencegahan emboli serebral pada penderita
dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang
buruk. Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi
atrial

kronis

maupun

dengan

riwayat

emboli,

trombosis dan Trancient Ischemic Attacks, trombus


intrakardiak dan aneurisma ventrikel.
B. REHABILITASI JANTUNG
1.

Definisi
Program penanganan penderita penyakit jantung secara komprehensif oleh
tim kesehatan profesional yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu untuk
meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik maupun psikososial
pasien. Keterlibatan pasangan, keluarga dan perawat juga sangat penting

2.

dalam keberhasilan program ini.


Tujuan Rehabilitasi Jantung
Untuk menangani masalah rehabilitasi yang berkenaan dengan
a.
b.
c.
d.
e.

3.

Penyakit infark miokard


Penyakit jantung koroner
Serangan angina
Pasien dengan gagal jantung
Pencegahan sekunder

Program Latihan Rehabilitasi Jantung


Terdapat dua tipe rehabilitasi jantung berbasis latihan :
a. Hanya berupa latihan
Tujuan meningkatkan performa fisik, kekuatan otot, dan gejala sesak
nafas dan angina
b. Rehabilitasi Jantung Komprehensif ;
Latihan ditambah intervensi psikologis dan pendidikan
Tujuan meningkatkan performa fisik, kekuatan otot, dan gejala sesak
nafas dan angina, selain itu untuk meningkatkan fungsi pertolongan
psikologis, pemulihan sosial, kembali bekerja, dan faktor resiko
biologis (secondary prevention).

4.

Fase-fase Rehabilitasi Medik


a. Fase 1; Inpatient stage atau after a step change

30

1) evaluasi medis
2) penenangan dan edukasi
3) koreksi terhadap pemahaman yang salah tentang penyakit jantung
4) pengendalian terhadap faktor resiko
5) mobilisasi
6) discharge planning
b. Fase 2; Early discharge period,
1) program home visiting
2) Kontak telepon
3) Pengawasan penggunaan Heart Manual (program self-help bagi
pasien)
c. Fase 3; Exercise Training
1) exercise training terstruktur
2) Menu-base approach; edukasi

spesifik

untuk

menghentikan

kebiasaan merokok, manajemen terhadap berat badan, rehabilitasi


vokasional
d. Fase 4; Long Term Follow Up
1) Pemeliharaan terus menerus terhadap aktivitas fisik yang baik
2) Perubahan gaya hidup untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
5.

Intervensi Psikologi dan Pendidikan


Tujuannya adalah :
a. Sebagai sarana pemulihan ke kehidupan yang normal dan mendorong
pasien untuk mengubah gaya hidup.
b. Untuk mencegah komplikasi jangka panjang.
c. Pendidikan dan dukungan psikologis juga dibutuhkan untuk menghadapi
tekanan psikis yang biasanya mengikuti penyakit JantunG

6.

Faktor Psikologi yang mempengaruhi Penyakit Jantung Kronik


a.
b.
c.
d.

7.

Intervensi psikologis;
a.
b.
c.
d.
e.

8.

Depresi
Kecemasan
Kepribadian
Pemahaman salah mengenai penyakit jantung
Konseling individu, Konseling kelompok,
Manajemen stres, Relaksasi,
Kelompok psikoterapi,
Pendekatan kognitif-perilaku,
Penempatan tujuan, hipnoterapi.
Intervensi pendidikan;

a. Pendidikan individu dan kelompok pada aspek CHD, diet dan makanan
sehat, bahaya merokok, hipertensi, olahraga dan MI,

31

b. Buku penilaian harian, buklet, saran-saran medis


c. Konseling vokasional.
9.

Program Latihan
Pada semua tingkat fase latihan, semua sesi harus memiliki;
a. Pemanasan
1) Senam dan latihan intensitas ringan
2) Untuk meningkatkan beban kerja jantung bertahap dan menyiapkan
otot untuk latihan
b. Latihan Aerobik
1) Menggunakan otot kelompok besar dalam tempo ritmis
2) Terus menerus hingga mancapai denyut nadi yang ditentukan
c. Pendinginan
1) Latihan intensitas ringan dan relaksasi pernafasan
2) Menurunkan beban jantung secara bertahap

10.

Fase Latihan pada Rehabilitasi Jantung


a. Fase 1 : tiga kali latihan fisik dengan level yang sangat rendah pada
setiap sesi setiap hari.
b. Fase 2 :
1) Tipe : pilih jalan santai atau sepeda statis tanpa hambatan
2) Frekwensi: Lakukan sehari sekali ( 1 sesi per minggu dengan
pengawasan langsung dan pengamatan oleh

tim

rehabilitasi

jantung)
3) Durasi : Peningkatan bertahap dari latihan aerobik dari 5

30

menit
4) Target denyut nadi: 70 % dari denyut nadi dicapai selama METT
atau 15 bpm dibawah tingkat iskemik atau tingkat simptomatik
c. Fase 3:
1) Tipe: pilih berjalan, jogging, sepeda statis dengan tahanan
meningkat, dayung statis.
2) Frekwensi: Lakukan3-5 kali perminggu (semua sesi

dibawah

pengawasan langsung dengan monitor jantung).


3) Durasi: Sesi berlangsung selama 20-30 menit
4) Target denyut nadi: 70 85 % dari maksimum denyut nadi dicapai
setelah EET.
d. Fase 4 :
Menjadi fase yang paling sulit karena perlu tanggung jawab yang besar
dari pasien untuk melakukan program latihan serta untuk memelihara
motivasi pasien. Pasien disadarkan untuk melanjutkan program latihan
yang dilakukan pada fase sebelumnya

32

11.

Program Latihan jangka Panjang


Pengajuan latihan jangka panjang sebaiknya mencakup informasi berikut ini
(dengan persetujuan) :
a. Detail mengenai serangan jantung dan riwayat medis lainnya
b. Kemajuan berikutnya termasuk diantaranya komplikasi dan atau
c.
d.
e.
f.

intervensi
Penentuan latihan fase 3 dan ringkasan mengenai kapasitas fungsional.
Hasil tes toleransi latihan, apabila ada
Detail mengenai medikasi pasien
Untuk memperoleh manfaat tidak perlu dengan latihan yang terlalu
berat, berjalan cepat selama 15-20 menit setiap hari atau paling tidak
lima kali dalam seminggu sudah cukup untuk latihan bagi sebagian besar

pasien infark miokardium.


g. Pasien dapat memilih menjalankan program ini di rumah, runah sakit,
atau keduanya, dengan intensitas rendah sampai sedang, dapat dilakukan
dengan aman dan efektif.
h. Yakinkan pada pasien bahwa untuk memperoleh manfaat maka latihan
ini harus berlangsung dalam jangka panjang.
12.

Modifikasi Gaya Hidup dan Terapi Obat Pencegahan Penyakit


Jantung Kronik
a. Terapi obat.
1) Asprin atau clopidogrel (75 mg/ hari)
2) Beta bloker
3) Statin ( jika kolesterol > 5mmol/L)
4) ACE inhibitor
b. Hipertensi : Penurunan tensi kurang dari 140/90 mm hg
c. Merokok.
1) Latihan pernapasan
2) Terapi pengganti nikotin
d. Diet.
1) meningkatkan konsumsi buah dan sayur (5 porsi sehari)
2) meningkatkan asam lemak omega 3
3) mengganti asam lemak jenuh dengan yang tak jenuh
4) pengurangan berat badan jika BMI lebih dari 30
e. Latihan fisik : Latihan fisik yang teratur dengan intensitas sedang (3-5
kali perminggu)
f. Diabetes : Mengoptimalkan tensi dan glukosa darah

Rehabilitasi jantung yang berhasil dapat mengembalikan pasien dengan


gangguan jantung pada fungsi fisiologis, psikososial, dan pekerjaan yang optimal
33

dengan melibatkan pasien tersebut, sesegera pertolongan medis setelah terjadi


serangan jantung, pada program latihan dan pendidikan multidisiplin. Tujuan Medis
dari rehabilitasi jantung adalah untuk membiasakan kembali pasien jantung sehingga
dapat mentoleransi aktivitas sehari-harinya, dan untuk mendidik pasien tersebut
sehingga dapat membuat pilihan gaya hidup yang memodifikasi faktor resiko
penyakit jantung dan mengurangi resiko kekambuhan penyakit. Tujuan lain adalah
untuk memberikan pasien tersebut kepercayaan diri, stamina dan pengetahuan yang
memadai untuk mencari pekerjaan dan rekreasi.
Sebelum suatu program rehabilitasi jantung dimulai dilakukan screening untuk
menentukan pasien jantung yang bisa mengikuti latihan pada rehabilitasi jantung,
serta stress testinguntuk menilai Heart rate dan rhythm dan untuk menentukan beban
maksimal yang bisa diterima pasien sampai menimbulkan gejala atau gangguan
misalnya dyspnea atau angina

sekaligus

menilai physical

fitness. Setelah

dilakukan screening dan stress test dan pasien dinyatakan bisa mengikuti fisioterapi
atau

pun

rehabilitasi

jantung

maka

ditentukan

Zona

Latihan

dengan

Fisioterapi /Rehabilitasi jantung standar memiliki tiga fase. Tiap fase memilki
komponen aktivitas dan edukasi serta tujuan masing-masing, namun berbeda dalam
hal lokasi dan durasi fase, jumlah pengamatan, dan intensitas aktivitas.
Rehabilitasi Jantung fase 1 merupakan fase akut rawat inap merupakan titik
awal dan pembuka dari seluruh fase lainnya. Peresepan dan permulaan aktivitas,
perubahan diet dan edukasi, teknik pengelolaan stress, dan perencanaan untuk
kebutuhan pekerjaan, keluarga, dan kebutuhan seksual dimulai dari tingkat ini. Fase
1 ini bertujuan menginisiasiiself-care activities dan progress dari duduk ke berdiri
untuk meminimalkan deconditioning effect akibat immobilisasi (1 3 hari setelah
serangan), mempersiapkan pasien dan keluarga pasien untuk melanjutkan rehabilitasi
dan aktivitas khidupan dirumah setelah cardiac event.
Step
1.

MET
1,5

Lokasi
Kamar pasien

Aktivitas
Pompa pergelangan

kaki,

napas

dalam, PROMEX seluruh ekstremitas,


2.
3.

1,5
1,5

Kamar pasien

makan sendiri
sda, ditambah berpindah ke sisi

Kamar pasien

tempat tidur dan kursi, berjalan pelan.


AROMEX, stretching, berdiri dikursi,

34

mandi, berjalan yang dipacu pelan4.


5.

1,5 - 2
1,5 - 3

Ruang Perawat

pelan.
Berjalan yang diawasi sejuah 75 kaki,

Ruang Senam

aktivitas berpakaian.
Naik tangga 2 hingga 3 tangga, ADL
dalam BAK, berjalan 100 hingga 300
kaki, static bycycle tanpa tahanan

1,5 - 3

selama 3 menit, warm up.


Berjalan 500 kaki, 2 set lankah atau 8

Ruang senam

tangga, 5 menit static bycycle,ajarkan


untuk menghitung frekuensi denyut
nadi.
Rehabilitasi jantung fase 2, Pada saat pasien dikeluarkan dari Rumah Sakit
program rehabilitasi jantung komprehensif beralih ke tingkat yang lebih tinggi.
Tujuan Fase 2 adalah untuk membekali pasien tersebut dengan informasi dan
pengalaman yang akan membuatnya mencari suatu program pengkondisian jantung
dan kesejahteraan yang mandiri setelah melewati program yang terstruktur. Fase ini
biasanya dalam 2 minggu setelah keluar dari Rumah Sakit, dan sesi berlangsung 1
jam perhari, 3 kali dalam seminggu selama 8 hingga 12 minggu. Fase 2 biasanya
berlangsung di Rumah Sakit atau klinik. Memerlukan pengawasan dokter yang ketat,
fase ini menempatkan penekanan pada latihan dan pemulihan fisik, sering pasien
tersebut dipantau dengan telemetri selama latihan.
Rehabilitasi jantung Fase 3 adalah merupakan program latihan yang dipantau
oleh

supervisor yang

dilakukan

di

Rumah

Sakit

ataupun

dalam

suatu

komunitas, Heart rate danrhythm tidak lagi dipantau dengan telemetry tetapi pasien
diingatkan untuk mengontrol denyut nadinya, supervisor dapat mengontrol tekanan
darahnya. Tujuan dari Fase 3 ini adalah untuk melanjutkan, meningkatkan dan
menjaga fitness levels yang telah dicapai. Rehabilitasi jantung tahap 3 juga harus
dipertimbangkan dengan suatu perubahan gaya hidup yang permanen, dan harus
berlangsung terus dalam kehidupan orang tersebut untuk meminimalkan morbiditas
dan mortalitas penyakit jantung.
Rekomendasi umum untuk latihan Fisioterapi/ Rehabilitasi jantung:
Fase

Durasi

Intensitas

35

Frekuensi

Fase 1

5-10 mnt berjalan, Naik 1 HR(rest) + 5-20 / mnt. 3-4 kali sehari
tangga, mandi, berpakaian.
SBP +10-40 mmHg
2 10-45
mnt 40-70%
HRR 3-5

Fase
Aerobik

set,

8-10

Resistance 10-15 Repetisi


Fase

40-70%

3 30-45

Aerobik

2-3

sets,

Resistance 5-15 Rep.

latihan 11-13

8-10

hari/

mg

RPE 2 hari/ mg
HRR

11-13 RPE
mnt 40-80%

HRR Plg Krg 3 hr/mg,

lat. 11-14

RPE @hr

40-80%

klu

bisa.

HRR 2-3 hr/mg

11-14 RPE
Rehabilitasi Fisik Dada (Chest Therapy)
Rehabilitasi fisik dapat dilakukan pada stadium dini atau stadiun lanjut dari
penyakitnya. Penderita dilatih untuk memakai cadangan napasnya seefektif mungkin
dengan mengubah pola bernapas untuk memperoleh potensi yang optimal bagi
kegiatan fisiknya. Rehabilitasi psikososial dan vokasional dipertimbangkan bila
penderita tidak dapat mencapai keinginan fisik-psikologis untuk melakukan kegiatan
seperti biasanya. Bila pendidikan pada tingkat tersebut tidak mungkin, rehabilitasi
ditujukan untuk memberi kesempatan pada penderita untuk dapat melakukan
kegiatan minimal termasuk mengurus diri sendiri.
a Latihan relaksasi
Tujuan latihan relaksasi adalah:
1) Menurunkan tegangan otot pernapasan, terutama otot bantu napas
2) Menghilangkan rasa cemas karena sesak napas.
3) Memberikan sense of well being.
Penderita Bronkiektasis yang mengalami insufisiensi pernapasan selalu
merasa tegang, cemas dan takut mati tersumbat. Untuk mengatasi keadaan ini
penderita berusaha membuat posisi yang menguntungkan terutama bagi
gerakan diafragmanya. Sikap ini dicapai dengan memutar bahu ke depan dan
membungkukkan badan ke depan pula. Sikap ini selalu diambil setiap akan
memulai rehabilitasi fisik (drainase postural, latihan pernapasan). Agar
penderita memahami, latihan ini harus diperagakan. Latihan relaksasi
hendaknya dilakukan di ruangan yang tenang, posisi yang nyaman yaitu
telentag dengan bantal menyangga kepala dan guling di bawah lutut atau
sambil duduk.
b Terapi fisik dada
36

Timbunan sekret yang sangat kental jika tidak dikeluarkan akan


menyumbat saluran napas dan merupakan media yang baik bagi pertumbuhan
kuman. Infeksi mengakibatkan radang yang menambah obstruksi saluran
napas. Bila berlangsung terus sehingga mengganggu mekanisme batuk dan
gerakan mukosilier, maka timbunan sekret merupakan penyulit yang cukup
serius
Terapi fisik (fisioterapi) dada ditujukan untuk melepaskan dan
membantu menggerakkan sekret dan saluran napas kecil ke trakea, dapat
dilakukan dengan cara :
a. Drainase Postural
Menggunakan prinsip hukum gravitasi
Pasien diletakkan dalam posisi sedemikian rupa, untuk suatu waktu
tertentu, sehingga oleh karena gaya berat sekret dalam saluran nafas

mengalir & berkumpul di bronkus dibatukkan keluar


Jadi, di dalam posisi tersebut, lobus yg akan di drain ditempatkan pd
posisi yg lebih tinggi dari bronkus utama sehingga posisi perlu

disesuaikan dengan arah-arah bronchial tree


Tujuan :
- Cegah penumpukan lendir pada pasien dengan risiko komplikasi
pulmonal (contoh pasien tirah baring lama, pakai ventilator,dan
-

sebagainya)
Mengeluarkan sekret yang terkumpul di paru
Kontra indikasi :
- Hemoptisis berat
- edem pulmo berat
- CHF
- efusi pleura masif
- Cardiovascular instability (aritmia, hipertensi/hipotensi berat,AMI)
- Recent neurosurgery jika posisi kepala dibawah TIK
meningkat
Segmen Apikal
Tidur dengan beberapa bantal, kepala letak tinggi.

37

Lobus Atas Kanan Segmen Anterior


Tidur dengan satu bantal bawah kepala dan satu bantal bawah lutut.

Lobus Atas Kiri Segmen Anterior


Tidur dengan satu bantal bawah kepala dan dan beberapa bantal tanpa
bantal bawah lutut.

Lobus Atas Segmen Posterior


Tidur menelungkup pada bantal

c Perkusi dinding dada


Tujuan :
Melepaskan sekret di paru secara mekanis mudah keluar
Dengan cupped hand diatas paru yang di drain

38

Cara: mengetuk dinding dada berulang dengan ujung jari pada

tiap segmen paru 1-2 menit


Kontra Indikasi :
- Tulang yang osteoporotik
- Perdarahan (contoh trombositopeni)
- Unstable angina, nyeri dada (contoh operasi rongga dada)
- Batuk darah (contoh TB, abses paru, ca paru,dan lain-lain)
- Peradangan paru akut dimana infeksi dapat menyebar ke daerah lain
paru-paru

d Vibrasi Dada
Gerakan cepat yang dilakukan pada dinding dada
Dapat dilakukan manual / dengan alat vibrator
Diberikan saat exhalasi / ekspirasi
Tujuannya sama dengan perkusi
Teknik :
- Nafas dalam, tahan beberapa detik, vibrasi diberikan saat ekspirasi
- Satu session latihan, hendaknya diberikan setelah 5 6 nafas dalam.
- Setelah tindakan vibrasi dapat dilakukan postural drainage.

39

Perkusi dengan vibrasi cepat, ketukan dengan telapak tangan


(clapping), atau memakai rompi perkusi listrik serta latihan batuk akan
memperbaiki mobilisasi dan klirens sekret bronkus dan fungsi paru terutama
pada penderita bronkiektasis dengan produksi sputum yang meningkat (>30
ml/ hari), bronkluektasis, fibrosis kistik, dan atelektasis. Pada penderita
dengan serangan asma akut, pneumonia akut, gagal napas, penderita yang
memakai ventilator, dan penderita bronkiektasis dengan produksi sputum
yang minimal (<30 ml/hari), fisioterapi dada tidak berefek dan bahkan
membahayakan.
Dalam melakukan drainase postural harus diperhatikan posisi
penderita yang disesuaikan dengan anatomi percabangan bronkus. Tindakan
ini dilakukan 2 kali sehani selama 5 menit. Sebelum dilakukan drainase
postural sebaiknya penderita minum banyak atau diberikan mukolitik,
bronkodilator perinhalasi untuk memudahkan pengeluaran sekret8.
e Latihan pernapasan
Latihan pernapasan dilakukan setelah latihan relaksasi dikuasai penderita.
-

Tujuan latihan pernapasan adalah untuk:


Mengatur frekuensi dan pola napas sehingga mengurangi air trapping
Memperbaiki fungsi diafragma
Memperbaiki mobilitas sangkar toraks
Memperbaiki ventilasi alveoli untuk memperbaiki pertukaran gas tanpa

meningkatkan kerja pernapasan


Mengatur dan mengkoordinir kecepatan pernapasan sehingga bernapas
lebih efektif dan mengurangi kerja pernapasan.

40

Diafragma dan otot interkostal merupakan otot-otot pernapasan yang


paling penting. Pada orang normal dalam keadaan istirahat, pengaruh
gerakan diafragma sebesar 65% dan volume tidal. Bila ventilasi meningkat
barulah

digunakan

otot-otot

bantu

pernapasan

(seperti

skalenus,

sternokleidomastoideus, otot penyangga tulang belakang); ini terjadi bila


ventilasi melampaui 50 l/menit.
Pada penderita bronkiektasis sering kali terdapat pernapasan yang
tidak sinkron gerakannya (panadoksal), yaitu pada waktu akhir inspinasi
tiba-tiba dinding perut bergerak ke dalam dan kemudian bergerak keluar
waktu ekspirasi. Penderita dengan keadaan demikian mempunyai prognosis
yang kurang baik. Selain itu pada penderita BRONKIEKTASIS tendapat
hambatan aliran udara terutama pada waktu ekspirasi. Pada umumnya letak
diafragma rendah dan posisi sangkar toraks sangat tinggi sehingga secara
mekanis otot-otot pernapasan bekerja kurang efektif. Pada umumnya fungsi
diafragma penderita bronkiektasis kurang dan 35% volume tidal, akibatnya
penderita selalu menggunakan otot-otot bantu pernapasan8.
Latihan otot-otot pernapasan akan meningkatkan kekuatan otot
pernapasan, meningkatkan tekanan ekspirasi (PEmax) sekitar 37%.
Latihan pernapasan meliputi:
a Latihan pernapasan diafragma
Tujuan latihan pernapasan diafragma adalah menggunakan
diafragma sebagai usaha pernapasan, sementara otot-otot bantu
pernapasan mengalami relaksasi.
Manfaat pernapasan diafragma:
- Mengatur pernapasan pada waktu serangan sesak napas dan
-

waktu melakukan pekerjaan/latihan.


Memperbaiki ventilasi ke arah basal paru.
Melepaskan sekret yang melalui saluran napas.
Dengan pernapasan diafragma maka akan terjadi peningkatan

volume

tidal, penununan kapasitas

residu fungsional dan

peningkatan ambilan oksigen optimal. Latihan ini dapat dilakukan


dengan prosedur berikut
1) Sebelum melakukan latihan, bila terdapat obstruksi saluran
napas yang reversibel dapat diberi bronkodilator. Bila terdapat
hipersekresi mukus dilakukan drainase postural dan latihan

41

batuk. Pemberian oksigen bila penderita mendapat terapi


oksigen di rumah.
2) Posisi penderita bisa duduk, telentang, setengah duduk, tidur
miring ke kiri atau ke kanan, mendatar atau setengah duduk.
3) Penderita meletakkan salah satu tangannya di atas perut bagian
tengah, tangan yang lain di atas dada. Akan dirasakan perut
bagian atas mengembang dan tulang rusuk bagian bawah
membuka. Penderita perlu disadarkan bahwa diafragma memang
turun pada waktu inspirasi. Saat gerakan (ekskursi) dada
minimal. Dinding dada dan otot bantu napas relaksasi.
4) Penderita menarik napas melalui hidung dan saat ekspirasi
pelan-pelan melalui mulut (pursed lips breathing), selama
inspirasi, diafragma sengaja dibuat aktif dan memaksimalkan
protrusi (pengembangan) perut. Otot perut bagian depan dibuat
berkontraksi selama inspirasi untuk memudahkan gerakan
diafragma dan meningkatkan ekspansi sangkar toraks bagian
bawah.
5) Selama ekspirasi penderita dapat menggunakan kontraksi otot
perut untuk menggerakkan diafragma lebih tinggi. Beban
seberat 0,51 kg dapat diletakkan di atas dinding perut untuk
membantu aktivitas ini.
Latihan pernapasan

pernapasan

diafragma

sebaiknya

dilakukan bersamaan dengan latihan berjalan atau naik tangga.


Selama latihan, penderita harus diawasi untuk mencegah kesalahan
yang sering terjadi seperti :
- Ekspirasi paksa
Hal ini akan memperberat

obstruksi

saluran

napas,

meningkatkan tekanan intrapleura dan terjadi air trapping jika


saluran napas yang rusak dan mudah kolaps ditekan oleh
-

tekanan intrapleura.
Perpanjangan ekspirasi:
Menyebabkan pernapasan berikutnya tidak teratur dan tidak
efisien, pola pernapasan kembali ke pernapasan dada bagian atas
yang tidak teratur disertai dengan aktifnya otot bantu
pernapasan.
42

Gerakan tipuan abdomen


Otot perut berkontraksi dan relaksasi tetapi tidak ada perbaikan
dan ventilasi.
Penggunaan dada bagian atas secara berlebihan
Hal ini dapat mengganggu gerakan diafragma, kebutuhan O2

meningkat karena otot bantu pernapasan bekerja lebih keras8.


b. Pursed lips breathing
Pursed lips breathing (PLB) dilakukan dengan cara menarik napas
(inspirasi) secara biasa beberapa detik melalui hidung (bukan menarik
napas dalam) dengan mulut tertutup, kemudian mengeluarkan napas
(ekspirasi) pelan-pelan melalui mulut dengan posisi seperti bersiul,
lamanya ekspirasi 23 kali lamanya inspirasi, sekitar 46 detik. Penderita
tidak diperkenankan mengeluarkan napas terlalu keras. PLB dilakukan
dengan atau tanpa kontraksi otot abdomen selama ekspirasi. Selama PLB
tidak ada udara ekspirasi yang mengalir melalui hidung, karena terjadi
elevasi involunter dari palatum molle yang menutup lubang nasofaring.
Dengan pursedlips breathing (PLB) akan terjadi peningkatan tekanan
pada rongga mulut, kemudian tekanan ini akan diteruskan melalui
cabang-cabang bronkus sehingga dapat mencegah air trapping dan
kolaps saluran napas kecil pada waktu ekspirasi. Hal ini akan
menurunkan volume residu, kapasitas vital meningkat dan distribusi
ventilasi merata pada paru sehingga dapat memperbaiki pertukaran gas
di alveoli. Selain itu PLB dapat menurunkan ventilasi semenit, frekuensi
napas, meningkatkan volume tidal, PaO2 saturasi oksigen darah,
menurunkan PaCO2 dan memberikan keuntungan subjektif karena
mengurangi rasa sesak napas pada penderita. Pursed lips breathing akan
menjadi lebih efektif bila dilakukan bersama-sama dengan pernapasan
diafragma. Ventilasi alveoler yang efektif terlihat setelah latihan
berlangsung lebih dari 10 menit.
c. Latihan batuk
Batuk merupakan cara yang efektif untuk membersihkan benda
asing atau sekret dan saluran pernapasan. Batuk yang efektif harus
memenuhui kriteria:
1) Kapasitas vital yang cukup untuk mendorong sekret.

43

2) Mampu menimbulkan tekanan intra abdominal dan intratorakal yang


cukup untuk mendorong udara pada fase ekspulsi.
Cara melakukan batuk yang baik:
Posisi badan membungkuk sedikit ke depan sehingga memberi
kesempatan luas kepada otot dinding perut untuk berkontraksi sehingga
menimbulkan tekanan intrathorak. Tungkai bawah fleksi pada paha dan
lutut, lengan menyilang di depan perut. Penderita diminta menarik napas
melalui hidung kemudian menahan napas sejenak, disusul batuk dengan
mengkontraksikan

otot-otot

dinding

perut

serta

badan

sedikit

membungkuk kedepan. Cara ini diulangi dengan satu fase inspirasi dan
dua tahap fase ekspulsi. Latihan diulang sampai penderita menguasai.
Penderita yang mengeluh sesak napas saat latihan batuk,
diistirahatkan dengan melakukan Iatihan pernapasan diantara dim latihan
batuk. Bila penderita tidak mampu batuk secara efektif, dilakukan
rangsangan dengan alat penghisap (refleks batuk akan terangsang oleh
kateter yang masuk trakea) atau menekan trakea dari satu sisi ke sisi yang
f

1ain.
Latihan meningkatkan kemampuan fisik
Bertujuan meningkatkan toleransi penderita terhadap aktivitas dan
meningkatkan kemampuan fisik, sehingga penderita hidup lebih aktif dan
lebih produktif. Pengaturan tingkat latihan dimulai dengan tingkat
berjalan yang disesuaikan dengan kemampuan awal tiap penderita secara
individual, yang kemudian secara bertahap ditingkatkan ke tingkat
toleransi yang paling besar. Jarak maksimum dalam latihan berjalan yang
dicapai oleh penderita merupakan batas untuk mulai meningkatkan
latihan dengan menaiki tangga. Selama latihan penderita harus dibantu
dengan pemberian oksigen untuk menghindari penununan saturasi
oksigen secara drastis yang dapat membahayakan jantung. Penderita
harus diawasi dengan baik, secara berkala gas darah arteri diukur
tenutama pada penderita dengan hipoventilasi alveoler, untuk mencegah
retensi CO2 yang berlebihan. Pemberian oksigen selama latihan harus
diteruskan sampai penderita mendapat manfaat yang maksimal, setelah itu
lambat laun dapat disapih.

44

UJI JALAN 6 MENIT


Uji jalan 6 menit merupakan salah satu modalitas uji latih yang sangat popular
karena mudah dilakukan , tidak memerlukan alat canggih dan hasilnya mampu
memberikan evaluasi obyektif kapasitas fungsional penderita jantung.
Pada tahun 1960 Balke dkk, merancang metode uji latih sederhana untuk
mengevaluasi kapasitas fungsional penderita dengan cara mengukur panjang jarak
yang ditempuh seseorang dengan berjalan selama periode waktu 12 menit ,
kendalanya waktu 12 menit terlalu melelahkan bagi penderita gangguan
kardiorespirasi.
Reybrouck dalam penelitiannya menyatakan kesulitan dalam melakukan uji
latih 12 menit karena disamping pasien mempunyai kemampuan exercise yang
rendah, kebanyakan dari mereka telah patah semangat dan merasa cemas karena uji
latih yang berlangsung lama .
Pada akhirnya Butland dkk tahun 1982 meleliti perbandingan uji latih jalan 2,
6, 12 menit dan menyatakan bahwa uji jalan selama 6 menit mempunyai nilai jarak
tempuh terbaik dan berkorelasi dengan kemampuan fungsional optimal pasien .
Mengukur pertukaran gas respirasi selama uji latih maksimal merupakan
metode yang disarankan untuk menilai kapasitas fungsional. Pengukuran ini
diperlukan untuk mengatur intensitas latihan dan menilai efek latihan selama
program rehabilitasi jantung. Teknik ini tidak digunakan secara luas karena peralatan
mahal, prosedur rumit dan membutuhkan waktu.
Beberapa penelitian telah membuktikan secara bermakna bahwa uji jalan 6
menit (6 MWT) merupakan uji latih submaksimal yang menyerupai aktivitas seharihari dan dapat ditoleransi penderita gagal jantung. Disamping hal tersebut kapasitas
berjalan merupakan faktor yang penting dalam menilai kualitas hidup penderita
jantung. Uji jalan 6 menit memberikan suatu indikasi objektif kapasitas fungsional
dan toleransi latihan karena jarak ambulasi diperlihatkan dalam hubungannya dengan
maksimal gejala yang muncul akibat konsumsi oksigen yang terbatas. Dan uji jalan 6
menit juga dapat menunjukkan hasil perbaikan klinis pada penderita gagal jantung
kronik yang telah melakukan program rehabilitasi secara teratur dan terukur sesuai
dosis latihan yang dilakukan, tes ini merupakan uji jalan yang mudah dilakukan,
lebih dapat ditoleransi dan lebih menggambarkan aktivitas kehidupan sehari-hari
dibandingkan uji jalan yang lain.

45

Syarat-syarat yang minimal harus dipenuhi dalam melakukan Uji jalan 6 menit
yaitu uji latih harus dilakukan pada lintasan datar dengan lokasi yang mudah
dijangkau, jika terjadi keadaan darurat maka penanganan cepat dilakukan. Pemilihan
lokasi harus ditentukan oleh dokter yang mengawasi. Oksigen dan nitrogliserin
sublingual sebaiknya dapat disediakan, dan tersedia telepon untuk panggilan darurat.
Dokter dan paramedis yang membantu harus dapat mengenali gejala efek yang
kurang baik dari uji latih, jika uji latih harus dihentikan karena alasan tertentu , maka
pasien boleh duduk atau berbaring, kemudian diikuti pengukuran tekanan darah,
frekuensi nadi, saturasi oksigen dan pemeriksaan fisik. Uji jalan 6 menit ini dapat
dihentikan segera bila timbul gejala:
1. Nyeri dada.
2. Sesak yang tidak dapat ditoleransi.
3. Kram pada tungkai
4. Sempoyongan
5. Terlihat pucat
Lokasi pelaksanaan Uji jalan 6 menit :
1 Harus dilakukan didalam ruangan (indoor) atau diluar ruang (outdoor).
2 Lintasan berjalan harus pada permukaan yang panjang, datar dan keras,
3

lurus, dalam koridor yang tertutup, dan bukan jalan umum .


Panjang lintasan sebaiknya 100 feet ( kurang lebih 30 m ). Jika lintasan
kurang dari 30 m, maka pasien akan lebih sering melakukan putaran balik,
hal ini akan mengurangi jarak yang ditempuh dalam 6 menit. Aspek ini
kemudian dibuktikan oleh Weiss dkk. pada penelitiannya, subyek dapat

4
5
6

berjalan lebih jauh pada lintasan oval (continous).


Panjang dari koridor harus diberi tanda setiap 5 meter.
Saat putaran lintasan diberi tanda dengan segitiga kuning/ bentuk conus.
Garis start, merupakan batas mulai dan akhir 1 putaran (60 meter), diberi

tanda (pita perekat) dengan warna cerah dilantai.


Peralatan yang harus disediakan:
1 Stopwatch.
2 Pita perekat untuk memberi tanda setiap 1 lap.
3 Segitiga kuning/Cones untuk menandai tempat putaran.
4 Kursi yang mudah dipindah-pindahkan.
5 Formulir catatan uji latih .
6 Oksigen.
7 Tensi meter dan stetoskop.
8 Pulse oksimetri
9 Telepon.
Persiapan pasien:
1 Pasien menggunakan pakaian yang nyaman untuk melakukan uji latih.
46

2
3
4
5

Menggunakan sepatu yang sesuai dan nyaman untuk berjalan..


Ketentuan medis yang biasa dijalankan pasien harus tetap dilakukan.
Pasien diperkenankan makan makanan ringan 1 jam sebelum uji latih.
Pasien tidak diperkenankan untuk melakukan aktivitas atau latihan yang

berlebihan dalam 2 jam sebelum uji latih dilakukan.


Pelaksanaan Uji jalan 6 menit :
-

Sebelum dilakukan Uji jalan 6 menit pasien diperiksa secara seksama


termasuk tanda vital seperti Tekanan darah, Denyut jantung, Respirasi,

Suhu juga Saturasi oksigen.


Jika diperlukan pengulangan Uji jalan 6 menit, maka uji ulang harus
dilakukan pada hari yang sama. Hal ini berguna untuk mengurangi
perbedaan atau bias pada hasil karena kemungkinan timbul perubahan

seperti kondisi fisik, waktu latihan .


Tidak dianjurkan melakukan periode pemanasan sebelum uji latih.
Pasien harus beristirahat dengan duduk dikursi, dekat dengan garis start,

kurang lebih 5 10 menit sebelum uji jalan dimulai.


Isilah data-data pasien pada formulir yang digunakan.
Penggunaan oksimetri merupakan pilihan.
Maksud pengukuran SpO2 dari oksimetri adalah mengetahui oksigen

uptake paru sehingga kita dapat memprediksi tingkat kelelahan pasien .


Disamping itu, penguji tidak diperkenankan berjalan bersama pasien

selama uji latih dilakukan hanya untuk melihat nilai SpO2.


Gunakan Skala Borg untuk mengukur tingkat dispnea dan fatique. Berikan
instruksi pada pasien sebelum uji latih dimulai dan informasikan yang

utama adalah berjalan sejauh mungkin selama 6 menit, jangan lari.


Posisikan pasien pada garis start.
Selama uji dilakukan, penguji harus tetap berdiri di dekat garis start. Tidak
diperkenankan berjalan bersama pasien. Hal ini guna mencegah adu balap
antara pasien dengan penguji sehingga akan mempengaruhi hasil yang

sebenarnya. Pada saat pasien mulai berjalan, nyalakan stopwatch.


Penguji tidak diperkenankan bicara kepada siapapun selama uji latih.

Pusatkan perhatian pada pasien, jangan salah menghitung jumlah putaran.


Memberikan semangat sangat dianjurkan dalam Uji jalan 6 menit.
Menurut American Thoracic Society, waktu yang paling baik untuk
memberikan semangat adalah setiap 1 menit dan sesuai dengan ketentuan
kalimat yang telah disediakan dibawah ini.
Menit 1:Anda sudah benar melakukannya, teruskan, 5 menit lagi.
Menit 2:Bagus, pertahankan seperti ini, anda masih punya 4 menit lagi.
47

Menit 3:Anda melakukannya dengan baik, sudah setengah jalan .


Menit 4:Anda sudah baik melakukannya, tinggal 2 menit lagi.
Menit 5:Anda sudah baik melakukannya, tinggal 1 menit lagi.
Menit 6: finish .

Indikasi tes jalan 6 menit adalah jika gagal jantung kronik stabil .
Kontraindikasi :
1 Gagal jantung kongestif yang tidak terkontrol
2 Aritmia jantung berat
3 Kardiomiopati berat
4 Hipertensi tidak terkontrol
5 Angina pectoris tak stabil
6 Dll
Sedangkan untuk menentukan kapasitas erobik menggunakan rumus :
VO2 Max = ( 0,03 x distance(m)) + 3,98 cc/KgBB/mt .
1

Mets = 3,5 cc/kgBB/mt .

Nilai prediksi
-

Pria
: 6 MWD = (7.57 x TBcm)-(5.02 x umur)-(1.76 x BBkg)- 309 m
Wanita : 6 MWD = (2.11 x TBcm)-(2.29 x BBkg)-(5.78 x umur) + 667 m

C. IMOBILISASI
48

Definisi Imobilisasi
Imobilisasi didefinisikan sebagai keadaan yang tidak bergerak/ tirah baring
selama 3 hari atau lebih dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat
perubahan fungsi fisiologik. Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan
dapat menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut (Tong, 2002).

Etiologi
Berbagai faktor fisik, psikologis dan lingkungan dapat menyebabkan
imobilisasi pada lanjut usia. Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa
nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidakseimbangan dan masalah psikologis. Rasa
nyeri, baik dari tulang (osteoporosis, osteomalasia, Pagets Disease, metastase
kanker tulang, trauma), sendi (osteoartritis, artritis reumatoid, gout), otot
(polimialgia, pseudoclaudication) atau masalah pada kaki dapat menyebabkan
imobilisasi. Rasa lemah sering kali disebabkan oleh malnutrisi, gangguan
elektrolit, tidak digunakannya otot, anemia, gangguan neurologis atau miopati.
Osteoartritis merupakan penyebab utama kekakuan pada lanjut usia. Penyakit
Parkinson, artritis reumatoid, gout dan obat obatan antipsikotik seperti
haloperidol juga dapat menyebabkan kekakuan. Ketidakseimbangan dapat
disebabkan karena kelemahan, faktor neurologis (stroke, kehilangan refleks
tubuh, neuropati DM, malnutrisi dan gangguan vestibuloserebral), hipotensi
ortostatik,

atau

obat-obatan

(diuretik,

antihipertensi,

neuroleptik

dan

antidepresan (Kipp, 2002).


3

Komplikasi
Komplikasi pada pasien imobilisasi antara lain (Tong, 2002) :
1 Trombosis
Trombosis vena dalam merupakan salah satu gangguan vaskular
perifer yang penyebabnya multifaktorial, meliputi faktor genetik dan
lingkungan. Terdapat tiga faktor yang meningkatkan risiko trombosis
vena dalam yaitu karena adanya luka di vena dalam karena trauma atau
pembedahan, sirkulasi darah yang tidak baik pada vena dalam, dan
berbagai kondisi yang meningkatkan resiko pembekuan darah.
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan sirkulasi darah tidak baik di

49

vena dalam meliputi gagal jantung kongestif, imobilisasi lama, dan


adanya gumpalan darah yang telah timbul sebelumnya.
Kondisi imobilisasi akan menyebabkan terjadinya akumulasi
leukosit teraktivasi dan akumulasi trombosit yang teraktivasi. Kondisi
tersebut menyebabkan gangguan pada sel-sel endotel dan juga
memudahkan terjadinya trombosis. Selain itu, imobilisasi akan
menyebabkan stasis akan menyebabkan timbulnya hipoksia lokal pada
sel endotel yang selanjtunya akan menghasilkan aktivator faktor X dan
merangsang akumulasi leukosit dan trombosit.
Gejala trombosis vena bervariasi, dapat berupa rasa panas,
bengkak, kemerahan, dan rasa nyeri pada tungkai. Sebagian besar
trombosis vena dalam timbul hanya pada satu kaki; trombosis vena
dalam pada betis menimbulkan gejala hanya pada betis, sedangkan
2

trombosis vena dalam menimbulkan gejala pada paha atau betis.


Emboli Paru
Emboli paru dapat menghambat aliran darah ke paru dan memicu
refleks tertentu yang dapat menyebabkan panas yang mengakibatkan
nafas berhenti secara tiba-tiba. Sebagian besar emboli paru disebabkan
oleh emboli karena trombosis vena dalam. Berkaitan dengan trombosis
vena dalam, emboli paru disebabkan oleh lepasnya trombosis yang
biasanya berlokasi pada tungkai bawah yang pada gilirannya akan
mencapai pembuluh darah paru dan menimbulkan sumbatan yang dapat
berakibat fatal. Emboli paru sebagai akibat trombosis merupakan

penyebab kesakitan dan kematian pada pasien lanjut usia.


Kelemahan Otot
Imobilisasi akan menyebabkan atrofi otot dengan penurunan
ukuran dan kekuatan otot. Penurunan kekuatan otot diperkirakan 1-2%
sehari. Kelemahan otot pada pasien dengan imobilisasi seringkali
terjadi dan berkaitan dengan penurunan fungsional, kelemahan, dan
jatuh. Terdapat beberapa faktor lain yang menyebabkan atrofi otot yaitu
perubahan biologis proses menua itu sendiri, akumulasi penyakit akut
dan kronik, serta malnutrisi. Massa otot berkurang setengah dari pada
ukuran semula setelah mengalami 2 bulan imobilisasi. Posisi
imobilisasi juga berperan terhadap pengurangan otot.
50

Kontraktur otot dan sendi


Pasien yang mengalami tirah baring lama berisiko mengalami
kontraktur karena sendi-sendi tidak digerakkan. Akibatnya timbul nyeri
yang menyebabkan seseorang semakin tidak mau menggerakkan sendi
yang kontraktur tersebut. Kontraktur dapat terjadi karena perubahan
patologis pada bagian tulang sendi, pada otot, atau pada jaringan
penunjang di sekitar sendi. Faktor posisi dan mekanik juga dapat
menyebabkan kontraktur pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi.
Kontraktur artrogenik seringkali disebabkan karena inflamasi, luka
sendi degeneratif, infeksi dan trauma. Kolagen sendi dan jaringan lunak
sekitar akan mengerut. Kontraktur akan menghalangi pergerakan sendi

dan mobilisasi pasif yang akan memperburuk kondisi kontraktur.


Osteoporosis
Osteoporosis timbul sebagai akibat ketidakseimbangan antara
resorpsi tulang dan pembentukan tulang. Imobilisasi meningkatkan
resorpsi tulang, meningkatkan kalsium serum serum, menghambat
sekresi PTH, dan produksi vitamin D3 aktif. Faktor utama yang
menyebabkan kehilangan masa tulang pada imobilisasi adalah
meningkatnya resorpsi tulang. Massa tulang menurun tetapi komponen
rasio antara matriks inorganik dan organik tidak berubah. Konsentrasi
kalsium, fosfor dan hidrosiprolin di urin meninggat pada minggu

pertama imobilisasi.
Ulkus decubitus
Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan di
bawah kulit, bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat
adanya penekanan pada suatu area yang secara terus menerus sehingga
mengakibatkan gangguan sirkulasi darah setempat. Area yang biasa
terjadi dekubitus adalah tempat diatas tonjolan tulang dan tidak
dilindungi cukup dengan lemak subkutan, misalnya daerah sacrum,
trokanter mayor, dan spina ischiadica superior anterior, tumit dan siku.

51

Faktor-faktor yang dapat menyebabkan timbulnya dekubitus


meliputi faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik tersebut
yaitu penipisan sel kulit, elastisitas kulit yang berkurang, penurunan
perfusi kulit secara progresif, sejumlah penyakit seperti DM yang
menunjukkan insufisiensi kardiovaskuler perifer, penurunan fungsi
kardiovaskuler, sistem pernapasan sehingga tingkat oksigenisasi darah
pada kulit menurun, status gizi underweight atau kebalikannya
overweight, anemia, penyakit-penyakit neurologik, penyakit-penyakit
yang merusak pembuluh darah, keadaan dehidrasi. Sedangkan faktor
ekstrinsik yang menyebabkan dekubitus antara lain kebersihan tempat
tidur yang kurang, posisi yang tidak tepat, perubahan posisi yang
kurang, alat-alat tenun yang kusut dan kotor, atau peralatan medik yang
menyebabkan penderita terfiksasi pada suatu sikap tertentu juga
memudahkan terjadinya dekubitus (Cuccurullo, 2004).
Untuk mendeteksi dini adanya resiko terjadinya dekubitus ini
antara lain dengan memakai sistem skor Norton. Skor dibawah 14
menunjukkan adanya risiko tinggi untuk terjadinya dekubitus, skor 1213 memiliki risiko sedang, skor < 12 berkaitan dengan peningkatan
risiko 50 kali lebih besar untuk mendapatkan ulkus dekubitus,
52

sedangkan skor > 14 memiliki risiko yang sangat kecil. Skor tersebut
meliputi :
Item

Sko
r

Kondisi fisik
Baik
Sedang
Buruk
Sangat Buruk

4
3
2
1

Kesadaran
Kompos mentis
Apatis
Konfus/soporus
Stupor/koma

4
3
2
1

Aktivitas
Ambulan
Ambulan dengan bantuan
Hanya bisa duduk
Tiduran

4
3
2
1

Mobilitas
Bergerak bebas
Sedikit terbatas
Sangat terbatas
Tak bisa bergerak

4
3
2
1

Inkontinensia
Tidak
Kadang-kadang
Sering inkontinensia urin
Inkontinensia alvi dan urin

4
3
2
1

53

Tindakan

berikutnya

adalah

menjaga

kebersihan

penderita

khususnya kulit, dengan memandikan setiap hari. Sesudah keringkan


dengan baik lalu digosok dengan lotion, terutama dibagian kulit yang ada
pada tonjolan-tonjolan tulang. Sebaiknya diberikan massase untuk
melancarkan sirkulasi darah, semua ekskret/sekret harus dibersihkan
dengan hati-hati agari tidak menyebabkan lecet pada kulit penderita.
Tindakan selanjutnya yang berguna baik untuk pencegahan maupun
setelah terjadinya dekubitus meliputi:
1 Meningkatkan status kesehatan penderita, misalnya mengatasi anemia,
mengoreksi hipoalbuminemia, nutirisi dan hidrasi yang cukup,
pemberian vitamin (vitamin C) dan mineral (Zn), serta mencoba
mengatasi/mengoabati penyakit-penyakit yang ada pada penderita,
2

misalnya DM.
Mengurangi/memeratakan faktor tekanan yang mengganggu aliran
darah, melalui:
- Alih posisi/alih baring/tidur selang seling, paling lama tiap dua
-

jam.
Kasur khusus untuk lebih membagi rata tekan yang terjadi pada
tubuh penderita, misalnya; kasur dengan gelembung tekan udara
yang naik turun, kasur air yang temperatur airnya dapat diatur

(kasur dekubitus).
Mengurangi regangan kulit dan lipatan kulit yang menyebabkan
sirkulasi darah setempat terganggu.
Bila sudah terjadi dekubitus, tentukan stadium dan berikan

tindakan medik sesuai dengan apa yang dihadapi. Berikut adalah stadium
pada dekubitus beserta penatalaksanaanya :
- Dekubitus derajat I
Merupakan dekubitus dengan reaksi peradangan masih terbatas
pada epidermis. Kulit yang kemerahan dibersihkan hati-hati dengan
air hangat dan sabun, diberi lotion, kemudian dimassage 2 sampai 3
-

kali/hari.
Dekubitus derajat II
Pada dekubitus ini sudah terjadi ulkus yang dangkal. Perawatan
luka harus memperhatikan syarat-syarat aseptik dan antiseptik.
Ulkus dibersihkan dengan menggunakan kasa dan dicuci dengan

54

larutan NaCl fisiologis. Dapat diberikan salep topikal, mungkin


juga untuk merangsang tumbuhnya jaringan muda/granulasi.
Penggantian balut dan salep ini jangan terlalu sering karena dapat
-

merusakkan pertumbuhan jaringan yang diharapkan.


Dekubitus derajat III
Dengan ulkus yang sudah dalam, menggaung sampai pada bungkus
otot dan sering sudah ada infeksi. Usahakan luka selalu bersih dan
eksudat disusahakan dapat mengalir keluar. Balut jangan terlalu
tebal dan sebaliknya transparan sehingga permeabel untuk
masukknya udara/oksigen dan penguapan. Kelembaban luka dijaga
tetap basah, karena akan mempermudah regenerasi sel-sel kulit.
Jika luka kotor dapat dicuci dengan larutan NaCl fisiologis.
Antibiotik sistemik mungkin diperlukan.

Dekubitus derajat IV
Ada perluasan ulkus sampai pada dasar tulang dan sering disertai
jaringan nekrotik. Semua langkah-langkah diatas tetap dikerjakan
dan jaringan nekrotik yang ada harus dibersihkan, sebab akan
menghalangi pertumbuhan jaringan/epitelisasi. Beberapa preparat
enzim coba diberikan, dengan tujuan mengurangi perdarahan,
dibanding tindakan bedah yang juga merupakan alternatif lain.
Setelah jaringan nekrotik dibuang dan luka bersih, penyembuhan
luka secara alami dapat diharapkan. Usaha untuk mempercepat

55

penyembuhan luka antara lain dengan memberikan oksigenisasi


pada daerah luka, tindakan dengan ultrasono untuk membuka
sumbatan-sumbatan pembuluh darah dan sampai pada transplantasi
kulit setempat. Angka mortalitas dekubitus derajat IV ini dapat
mencapai 40% dan komplikasi terbesar dari ulkus dekubitus itu
sendiri adalah sepsis.
7

Hipotensi postural
Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebanyak 20
mmHg dari posisi berbaring ke duduk dengan salah satu gejala klinik
yang sering timbul adalah iskemia serebral, khusunya sinkop. Pada
posisi berdiri, secara normal 600-800 ml darah dialirkan ke bagian
tubuh inferior terutama tungkai. Penyebaran cairan tubuh tersebut
menyebabkan penurunan curah jantung sebanyak 20%, penurunan
volume sekuncup 35% dan akselerasi frekuensi jantung sebanyak 30%.
Pada orang normal sehat, mekanisme kompensasi menyebabkan
vasokonstriksi dan peningkatan denyut jantung yang menyebabkan
tekanan darah tidak turun. Tirah baring total selama paling sedikit 3
minggu akan mengganggu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan
posisi berdiri dari berbaring pada orang sehat. Tirah baring lama akan
membalikkan respons kardiovaskular normal menjadi tidak normal
yang akan mengakibatkan penurunan volume sekuncup jantung dan
curah jantung. Curah jantung rendah akan mengakibatkan terjadinya
hipotensi postural.
Pelepasan hormon antidiuretik berkurang selama minggu awal
imobilisasi yang kemudian akan mengakibatkan diuresis dan penurunan
volume plasma. Penurunan volume plasma mencapai 10% selama 2
minggu pertama imobilisasi dan bisa mencapai 20% setelah itu.
Gejala dan tanda dari hipotensi postural adalah penurunan tekanan
darah sistolik dari tidur ke duduk lebih dari 20 mmHg, berkeringat,
pucat, kebingungan, peningkatan denyut jantung, letih, dan pada
keadaan berat dapat menyebabkan jatuh yang pada akhirnya akan

56

mengakibatkan fraktur, hematoma jaringan lunak dan pendarahan otak


(Lippincott, 1998).
8

Pneumonia dan infeksi saluran kemih (ISK)


Akibat imobilisasi retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi
pada pasien geriatri. Pada posisi berbaring otot diafragma dan
interkostal tidak berfungsi dengan baik sehingga gerakan dinding dada
juga menjadi terbatas yang menyebabkan sputum sulit keluar dan
pasien mudah terkena pneumonia. Selain itu, hal ini juga disertai
dengan daya pegas (recoil) elastik yang sudah berkurang (karena proses
menua) yang mengakibatkan perubahan pada tekanan penutup saluran
udara kecil.
Akibat tirah baring lama, aliran urin juga akan terganggu yang
kemudian menyebabkan infeksi saluran kemih. Pengisian kandung
kemih yang berlebihan akan menyebabkan mengembangnya dinding
kandung kemih yang kemudian akan meningkatkan kapasitas kandung
kemih dan retensi urin. Dari retensi urin inilah yang akan memudahkan
terjadinya ISK. Inkontinensia urin juga sering terjadi pada usia lanjut
yang mengalami imobilisasi yang disebabkan ketidakmampuan ke
toilet, berkemih yang tidak sempurna, gangguan status mental, dan

gangguan sensasi kandung kemih.


Gangguan nutrisi (hipoalbuminemia)
Imobilisasi akan mempengaruhi sistem metabolik dan endokrin
yang akibatnya akan terjadi perubahan terhadap metabolisme zat gizi.
Salah satu yang terjadi adalah perubahan metabolisme protein. Kadar
plasma kortisol lebih tinggi pada usia lanjut yang imobilisasi sehingga
menyebabkan metabolisme menjadi katabolisme, sehingga metabolisme
protein akan lebih rendah pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi.
Keadaan tidak beraktifitas dan imobilisasi selama 7 hari akan
meningkatkan ekskresi nitrogen urin sehingga terjadi hipoproteinemia,
edema, dan penurunan berat badan. Keadaan kehilangan nitrogen
meningkat hingga 12 gram pada keadaan imobilisasi dengan malnutrisi,
trauma, fraktur pinggul atau infeksi.

57

Penekanan sekresi hormon antidiuretik hormon selama imobilisasi


juga akan meningkatkan diuresis dan pemecahan otot sehingga akan
mengakibatkan penurunan berat badan.
10 Konstipasi dan skibala
Imobilisasi lama akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon.
Semakin lama feses tinggal di usus besar, absorpsi cairan akan lebih
besar sehingga feses akan menjadi lebih keras. Asupan cairan yang
kurang,

dehidrasi,

dan

penggunaan

obat-obatan

juga

dapat

menyebabkan konstipasi pada pasien imobilisasi


4

Penatalaksanaan
Non Farmakologis
Tatalaksana umum pada pasien imobilisasi membutuhkan kerjasama tim
medis interdisiplin dengan partisipasi pasien dan keluarga. Secara umum,
tatalaksana untuk pasien imobilisasi agar mencegah terjadinya berbagai
komplikasi yaitu:
Edukasi
Edukasi yang penting disampaikan kepada pasien dan keluarga mengenai
bahaya tirah baring lama, pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini, serta
mencegah ketergantungan pasien dengan melakukan aktivitas kehidupan
seharihari sendiri, semampu pasien.
Terapi fisik dan latihan jasmani secara teratur.
Mobillisasi Dini
Pada pasien yang mengalami tirah baring total, perubahan posisi secara
teratur dan latihan di tempat tidur dapat dilakukan sebagai upaya

mencegah terjadinya kelemahan dan kontraktur otot serta kontraktur sendi.


Untuk mencegah kontraktur otot dapat dilakukan gerakan pasif sebanyak

satu atau dua kali sehari selama 20 menit.


Untuk mencegah terjadinya ulkus dekubitus, hal yang dapat dilakukan
yaitu perubahan posisi lateral 30o, penggunaan kasur anti dekubitus, atau
menggunakan kasur berongga, Pada pasien dengan kursi roda, dapat
dilakukan reposisi tiap jam atau diistirahatkan dari duduk. Melatih
pergerakan dengan memiringkan pasien ke kiri dan ke kanan. Memberikan
minyak setelah mandi atau mengompol dapat dilakukan untuk mencegah
maserasi
58

Kontrol tekanan darah secara teratur dan penggunaaan obat-oatan yang dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah serta mobilisasi dini perlu dilakukan
untuk mencegah hipotensi
Untuk mencegah terjadinya trombosis, dapat dilakukan tindakan kompresi
intermiten pada tungkai bawah. Teknik tersebut dapat meningkatkan aliran
darah dari vena kaki dan menstimulasi aktivitas fibrinolitik. Teknik ini bebas
dari efek samping, namun merupakan kontraindikasi pada pasien dengan
penyakit vaskuler perifer.

Monitor asupan cairan dan makanan yang mengandung serat perlu dilakukan
untuk mencegah terjadinya konstipasi dan malnutrisi.
Farmakologis
Penatalaksanaan farmakologis dapat diberikan sebagai salah satu upaya
pencegahan komplikasi akibat imobilisasi, terutama pencegahan terhadap

59

terjadinya trombosis. Pemberian antikoagulan merupakan terapi farmakologik


yang dapat diberikan untuk mencegah terjadinya trombosis pada pasien dengan
imobilisasi. Low Dose Heparin (LDH) dan Low Molecular Weight Heparin
(LMWH) merupakan profilaksis yang aman dan efektif untuk pasien dengan
imobilisasi dan resiko trombosis non pembedahan terutama syok.
5

Prognosis
Prognosis pada pasien imobilisasi tergantung pada penyakit yang mendasari
imobilisasi dan komplikasi yang ditimbulkananya. Perlu dipahami, imobilisasi
dapat memperberat penyakit dasarnya bila tidak ditangani sedini mungkin,
bahkan dapat sampai menimbulkan kematian.

D. DYSPNEA
1 Definisi
Dyspnea adalah sensasi subyektif sulit bernapas atau tidak nyaman saat
bernafas. Dyspnea harus dibedakan dari takipnea, hiperventilasi, dan hiperpnea,
yang merujuk pada variasi pernapasan terlepas dari sensasi subyektif pasien.
Takipnea adalah peningkatan laju pernafasan, hiperventilasi merupakan
peningkatan ventilasi relatif terhadap kebutuhan metabolisme, dan hiperpnea
adalah peningkatan yang tidak seimbang dalam ventilasi relatif terhadap
peningkatan tingkat metabolisme.
Dyspnea on exertion (DOE) tidak selalu mengindikasikan penyakit. Orang
normal mungkin merasa sesak saat melakukan latihan berat. Tingkat aktivitas
yang ditoleransi setiap individu tergantung pada umur, jenis kelamin, berat
badan, kondisi fisik, sikap, dan motivasi emosional. DOE dianggap penyakit bila
terjadi pada tingkat aktivitas yang semestinya dapat ditoleransi dengan baik.
Perlu ditanyakan ada keterbatasan baru yang progresif pada kemampuannya
melakukan tugas yang mampu dilakukan tanpa kesulitan sebelumnya (missal
berjalan, naik tangga, melakukan pekerjaan rumah tangga).
Pada dispnea, penyebabnya adalah 4 kategori yaitu kardiak, pulmonar,
2

campuran kardiak dan pulmonary, serta bukan keduanya.


Anamnesis
Pertanyaan tambahan harus diberikan untuk memastikan apakah pasien
memiliki ortopnea atau paroxymal nocturnal dyspnea (PND). Tanyakan jumlah
bantal yang digunakan pada malam hari dan apakah pernah tidur dengan posisi
60

duduk. Apakah batuk atau mengi pada posisi berbaring? Apakah ia pernah
terbangun malam hari dengan sesak napas? Berapa lama setelah berbaring
episode sesaknya terjadi, dan apa yang dilakukan untuk meringankan
Sesak nafas biasanya keluhan paling awal dan signifikan pada pasien gagal
jantung kiri. Seringkali disertai batuk karena transudat cairan ke paru. Kerusakan
lebih lanjut menyebabkan sesak napas saat berbaring/orthopnea. Hal ini terjadi
karena peningkatan pengembalian darah vena dari ekstremitas bawah dan elevasi
diafragma saat posisi supinasi. Karena itu pasien akan merasa lebih baik saat
duduk/berdiri/mengganjal bantal tinggi sehingga rongga dada naik ke atas.
Pasien dapat mengalami paroxymal nocturnal dyspnea (PND) berupa tiba-tiba
terbangun saat sedang tidur karena tidak bisa bernafas
Pada gagal ventrikel kiri awal, output jantung tidak meningkat dengan
cukup saat olahraga ringan sehingga terjadi asidosis jaringan dan otak, pasien
mengalami dyspnea on exertion. Sesak napas dapat disertai kelelahan atau
sensasi tercekik atau kompresi sternum. Tahap selanjutnya dari kegagalan
ventrikel kiri, sirkulasi paru-paru akan mengalami kongesti dan dispnea dapat
terjadi hanya dengan aktivitas yang lebih ringan
Edema paru akut adalah manifestasi overload vena paru-paru pada infark
miokard baru atau tahap terakhir kegagalan ventrikel kiri kronis. Penyebab
dispnea kardiak adalah penyakit katup (stenosis mitral dan insufisiensi terutama
aorta), aritmia paroksismal (seperti atrial fibrilasi), efusi perikardium dengan
tamponade, hipertensi sistemik, kardiomiopati, dan miokarditis. Asupan cairan
pada pasien gagal ginjal yang oliguri juga dapat berperan pada kongesti paru dan
menyebabkan dyspnea
Penyakit paru yang menyebabkan dyspnea adalah asma bronkial, penyakit
paru obstruktif kronik, emboli paru, pneumonia, efusi pleura, pneumotoraks,
pneumonitis alergi, dan fibrosis interstisial. Selain itu dyspnea mungkin terjadi
saat demam, kondisi hipoksia, kecemasan, dan gangguan panik.
Pada emfisema, sesak nafas juga merupakan tanda pertama. Pasien yang
memang memiliki bronkitis atau asma bronkitis kronik, batuk dan mengi
menjadi penanda awal. Gambaran klasik pasien yang tidak memiliki komponen
bronkitis adalah barrel-chest dan dispnea dengan expirasi lebih lama, duduk ke
depan membungkuk, berusaha menekan udara keluar paru dengan usaha lebih

61

besar. Pada pasien tersebut rongga udaranya membesar dan kapasitas difusinya
turun. Dispnea dan hiperventilasi sangat mencolok.
3

Pemeriksaan fisik
Gangguan pada orofaringeal atau nasofaring dapat ditemukan dengan
adanya obstruktif kasar dari hidung atau tenggorokan. Palpasi leher dapat
mengungkapkan massa seperti di keganasan tiroid yang dapat menyebabkan
obstruksi saluran napas. Bruit leher menjadi indikasi penyakit makrovaskuler
dan mengarahkan pada gangguan arteri koroner, terutama jika pasien memiliki
riwayat diabetes, hipertensi atau merokok
Peningkatan diameter anteroposterior, tingkat pernapasan tinggi, kelainan
bentuk tulang belakang seperti kifosis atau skoliosis, bukti trauma dan
penggunaan otot aksesori untuk bernapas, dapat ditemukan saat pemeriksaan
paru. Kifosis dan skoliosis menyebabkan pembatasan paru. Auskultasi paru bisa
didapatkan tambahan suara seperti ronki dan mengi. Ronki basah atau mengi
mengindikasikan

gagal

jantung

kongestif,

mengi

saat

ekspirasi

saja

mengindikasikan penyakit paru-paru obstruktif atau asma


Pemeriksaan kardiovaskular dapat menunjukan murmur, suara jantung
tambahan, kelainan detak atau irama jantung. Murmur sistolik menunjukkan
stenosis aorta atau insufisiensi mitral, suara jantung ketiga mengindikasikan
gagal jantung kongestif, ritme tidak teratur menunjukkan fibrilasi atrial.
Penilaian pada perifer ekstremitas meliputi pulsasi nadi, capillary refill
time, edema, dan pola pertumbuhan rambut
Pemeriksaan psikiatrik dapat mengungkapkan kecemasan yang disertai
dengan gemetar, berkeringat atau hiperventilasi
4

Pemeriksaan penunjang
Radiografi dada berupa rontgen thorak atau CT-scan, elektrokardiografi,
dan pemeriksaan dengan spirometri dapat memberikan informasi yang berharga.
Pada kasus yang belum dapat dipastikan serta membutuhkan klarifikasi, tes
fungsi paru, analisis gas darah arteri, ekokardiografi, dan tes standard exercise
treadmill atau tes complete cardiopulmonary exercise dapat dilakukan.

62

63

DAFTAR PUSTAKA
Kipp DA, Spires MC (2002). Pressure ulcers: prevention and care. Dalam: Brammer
CM. Penyunting. Manual of PM&R. Philadelphia: Hanley & Belfus, Inc.; h.
281-95.
Batson DW, Avent J. Adult Neurogenic Communication Disorders. In: Braddom RL.
Physical Medicine and Rehabilitation. 4th ed. Philadelphia: Saunders; 2011. p.
54-57
Chalela Julio A, MD., Smith Teresa L, MD. Cardiac Complication of Stroke. Mayo
clinic proc. 1997
Corwn elizabeth, 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
Cuccurullo SJ (2004). Physical Medicine and Rehabilitation Board Review. Park
Avenue South (NY): Demos Medical Publishing
Doengoes Marlyn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan.Edisi 3. Jakarta :EGC
Huddak dan Gallo. 1996. Perawatan Kritis. Edisi VI, volume II, Jakarta: EGC
John MW., Jose B., Basilar Artery Stroke.Neurology MedLink.2001
Mahar Mardjono, Priguna Sidharta. 2004. Mekanisme Gangguan Vaskular Susunan
Saraf. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta. 2004. Hal: 274.
Mansjoer, Arif, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Medika Acisculapus
Mix CM, Specht DP (2000). Achieving functional independence. Dalam: Braddom
RL. Physical medicine and rehabilitation.2nd ed. Philadelphia: WB Saunders; h.
517-34.
Pranarka K (2000). Dekubitus. Dalam: Darmojo RB, Martono H. Buku Ajar Geriatri
(Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). 2nd ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; h. 215
Saweins Walaa. 2004. The Renal Unit at the Royal Informary of Edinburgh.
Scotland, Uk, Renal @ed.ac.uk.

64

Anda mungkin juga menyukai