Oleh :
Arina Sabila Haqq
G99152101
Fenti Endriyani
G99152104
Pembimbing :
DR.Dr Noer Rachma, Sp. KFR
I. ANAMNESIS
A.
Identitas Pasien
Nama
: Tn. S
Umur
: 64 tahun
Jenis Kelamin
: Pria
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Buruh
Alamat
: Surakarta
Status
: Menikah
B.
Tanggal Periksa
: 5 Januari 2017
No CM
: 0136xxxx
Keluhan Utama
: disangkal
Riwayat Hipertensi
: disangkal
Riwayat DM
: disangkal
: disangkal
Riwayat Mondok
E.
F.
: disangkal
Riwayat Hipertensi
: disangkal
Riwayat DM
: disangkal
: disangkal
Riwayat Alergi
: disangkal
Riwayat Asma
: disangkal
: disangkal
: disangkal
Riwayat Olahraga
G.
C.
Tanda Vital
Tekanan darah
: 160/90 mmHg
Nadi
Respirasi
Suhu
Kulit
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), venectasi (-),
spider naevi (-), striae (-), hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-).
D.
Kepala
Bentuk mesocephal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut hitam
beruban, tidak mudah rontok, tidak mudah dicabut, atrofi otot (-).
E.
Mata
Conjunctiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung
dan tak langsung (+/+), pupil isokor (3 mm/ 3mm), oedem palpebra (+/
+), sekret (-/-)
F.
Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)
G.
Telinga
Deformitas (-/-),darah (-/-), sekret (-/-)
H.
Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-),lidah simetris, lidah tremor (-),
stomatitis (-), mukosa basah (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-)
I.
Leher
Simetris, trakea di tengah, step off (-), JVP
(R+5),limfonodi tidak
Thoraks
a.
Retraksi (-)
b.
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Palpasi
Perkusi
L. Punggung
M.Ekstremitas
Oedem
+
Akral dingin
N. Status Psikiatri
Deskripsi Umum
1. Penampilan : Pria, tampak sesuai umur, berpakaian rapi, perawatan
diri baik.
2. Kesadaran : compos mentis
3. Perilaku dan Aktivitas Motorik : normoaktif
4. Pembicaraan : koheren, menjawab pertanyaan
5. Sikap Terhadap Pemeriksa : Kooperatif, kontak mata cukup
Afek dan Mood
-
Afek
: appropiate
Mood : eutimik
Gangguan Persepsi
-
Halusinasi (-)
Ilusi (-)
Proses Pikir
-
Bentuk : realistik
Isi
: waham (-)
Arus
: koheren
Orientasi
: Orang : baik
Waktu : baik
Tempat : baik
Daya Ingat
Daya Nilai
Insight
: Derajat 5
: Dapat dipercaya
O. Status Neurologis
Kesadaran
: GCS E4V5M6
6
Fungsi Luhur
Rasa Propioseptik
Rasa Kortikal
Tonus
R.Fisiologis
R.patologis
+2
+2
+2
+2
Nervus Cranialis
N. II, III
N. III, IV, VI
N. VII
N. XII
ROM Pasif
0 - 70
0 - 40
0 - 60
0 - 60
0 - 90
0 - 90
Fleksi
Ekstensi
Lateral bending kanan
Lateral bending kiri
Rotasi kanan
Rotasi kiri
ROM Pasif
Ektremitas Superior
Shoulder
Elbow
Fleksi
Ektensi
Abduksi
Adduksi
Eksternal Rotasi
Internal Rotasi
Fleksi
Ekstensi
ROM Aktif
0 - 70
0 - 40
0 - 60
0 - 60
0 - 90
0 - 90
ROM Aktif
Dekstra
Sinistra
Dekstra
Sinistra
0-90
0-50
0-180
0-75
0-90
0-90
0-150
0
0-90
0-50
0-180
0-75
0-90
0-90
0-150
0
0-90
0-50
0-180
0-75
0-90
0-90
0-150
0
0-90
0-50
0-180
0-75
0-90
0-90
0-150
0
Wrist
Finger
Trunk
Pronasi
Supinasi
Fleksi
Ekstensi
Ulnar Deviasi
Radius deviasi
MCP I Fleksi
MCP II-IV fleksi
DIP II-V fleksi
PIP II-V fleksi
MCP I Ekstensi
Fleksi
Ekstensi
0-90
0-90
0-90
0-90
0-90
0-90
0-70
0-70
0-30
0-30
0-20
0-20
0-50
0-50
0-90
0-90
0-90
0-90
0-100
0-100
0-30
0-30
0-90
0-90
0-30
0-30
0-35
0-35
0-35
0-35
ROM Pasif
0-90
0-90
0-90
0-90
0-90
0-90
0-70
0-70
0-30
0-30
0-20
0-20
0-50
0-50
0-90
0-90
0-90
0-90
0-100
0-100
0-30
0-30
0-90
0-90
0-30
0-30
0-35
0-35
0-35
0-35
ROM Aktif
Dekstra
Sinistra
Dekstra
Sinistra
0-120
0-30
0-45
0-45
0-30
0-30
0-120
0
0-30
0-30
0-50
0-40
0-120
0-30
0-45
0-45
0-30
0-30
0-120
0
0-30
0-30
0-50
0-40
0-120
0-30
0-45
0-45
0-30
0-30
0-120
0
0-30
0-30
0-50
0-40
0-120
0-30
0-45
0-45
0-30
0-30
0-120
0
0-30
0-30
0-50
0-40
Ektremitas Inferior
Hip
Knee
Ankle
Fleksi
Ektensi
Abduksi
Adduksi
Eksorotasi
Endorotasi
Fleksi
Ekstensi
Dorsofleksi
Plantarfleksi
Eversi
Inversi
Abdominis
M. Quadratus Lumbaris
Dekstra
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Sinistra
5
5
Ekstensor
Abduktor
Adduktor
Internal
Rotasi
Eksternal
Rotasi
Fleksor
Elbow
Eksternsor
Supinator
Pronator
Fleksor
Ekstensor
Wrist
Abduktor
Adduktor
Fleksor
Finger
Ekstensor
Ektremitas Inferior
Hip
Fleksor
Ekstensor
Abduktor
Adduktor
Knee Fleksor
Ekstensor
Ankl Fleksor
Ekstensor
e
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Dekstra
Sinistra
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
Status Ambulasi
Barthel Index
Activity
Score
Feeding
0 = unable
5 = butuh bantuan memotong, mengoleskan mentega,
dll, atau membutuhkan modifikasi diet
10 = independen
Bathing
0 = dependen
5 = independen (atau menggunakan shower)
Grooming
10
10
10
10
10
5
65
Hasil
Satuan
Rujukan
10,3
33
6.9
298
3.86
B
g/dl
%
ribu/ul
ribu/ul
juta/ul
13.5 17.5
33 - 45
4.5 - 11.0
150 - 450
4.50 5.0
69
24
17
2.3
1.9
53
mg/dl
u/l
u/l
g/dl
mg/dl
mg/dl
60 - 140
<31
<34
3.5 5.2
0.6 1.1
<50
138
5.1
1.19
mmol/L
mmol/L
mmol/L
136 - 145
3.3 5.1
1.17 1.29
Nonreactive
Nonreactive
7.397
-2.9
35.7
200.0
33
22.1
22.6
98.8
mmol/L
mmHg
mmHg
%
mmol/L
mmol/L
%
7.350 7.450
-2 - +3
27.0 - 41.0
83.0 108.0
37 50
21.0 28.0
19.0 24.0
94.0 98.0
1.18
mmol/L
0.36 0.75
11
Trakea di tengah
Kesan :
Cardiomegali dengan interstitial lung edema dan efusi pleura bilateral
minimal
C. EKG (1 Januari 2017)
12
Kesimpulan :
Sinus ritmik, HR : 75 kali, normoaxis, T inverted di II, III, aVF, V4, V5, V6
13
IV.
ASSESMENT
1.
2.
3.
14
V.
DAFTAR MASALAH
Masalah Medis
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
: (-)
2. Okupasi Terapi
3. Sosiomedik
VI.
4. Ortesa-protesa
: (-)
5. Psikologi
: (-)
6. Fisioterapi
: Prolong immobilisasi
PENATALAKSANAAN
A.
Terapi medikamentosa :
1. Bedrest tidak total setengah duduk
2. O2 3 lpm nasal canul
3. Diet ginjal rendah garam
4. Infus NaCl 0,9% 16 tpm mikro
5. Inf. Kidmin 1 fl/ 24 jam
6. Inj. Furosemid 40mg/ 8jam
7. CaCO3 3x1
8. Asam folat 1x800 mg
9. N-asetilsistein 1x200 mg
10. Captopril 3x12,5 mg
B.
Rehabilitasi Medik:
1.
Fisioterapi
a.Proper bed positioning
b. Alih baring
c.General AROM exercise
d. Breathing exercise
15
: tidak ada
3. Okupasi terapi
4.
Sosiomedik
Menilai
situasi
kehidupan
pasien,
mengembalikan peran sosial pasien dalam
keluarga dan lingkungan, motivasi dan edukasi
keluarga
untuk
membantu
dan
merawat
VII.
5.
Ortesa-Protesa
6. Psikologi
: tidak ada
: tidak ada
VIII.
PLANNING
Planning Diagnostik :echocardigrafi
Planning Terapi
:-
Planning Edukasi
TUJUAN
16
1.
2.
Mencegah
terjadinya
komplikasi
yang
dapat
memperburuk keadaan
3.
4.
5.
X.
Ad vitam
: dubia
Ad sanam
: dubia
Ad fungsionam
: dubia
TINJAUAN PUSTAKA
A. CHF
17
18
Peningkatan
aktivitas
adrenergik simpatis :
Salah satu respons neurohumoral terhadap penurunan curah jantung
adalah peningkatan aktivitas sistem adrenergik simpatis. Meningkatnya
aktivitas adrenergik simpatis merangsang pengeluaran katekolamin dari sarafsaraf adrenergik jantung dan medulla adrenal. Katekolamin ini akan
menyebabkan kontraksi lebih kuat otot jantung (efek inotropik positif) dan
peningkatan kecepatan jantung. Selain itu juga terjadi vasokontriksi arteri
perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume darah dengan
mengurangi aliran darah ke organ-organ yang metabolismenya rendah misal
20
awal
Retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus kolektifus.
Angiotensin
II
juga
menghasilkan
efek
vasokonstriksi
yang
Hipertrofi ventrikel :
Respon kompensatorik terakhir adalah hipertrofi miokardium atau
bertambah tebalnya dinding. Hipertrofi miokardium akan mengakibatkan
peningkatan kekuatan kontraksi ventrikel.
21
Awalnya,
menguntungkan;
respon
namun
kompensatorik
akhirnya
sirkulasi
mekanisme
memiliki
efek
kompensatorik
yang
dapat
miokardium dan gangguan miokardium lainnya. Hasil akhir dari peristiwa yang
saling berkaitan ini adalah meningkatnya beban miokardium dan terus
berlangsungnya gagal jantung.
MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik gagal jantung harus dipertimbangkan relatif terhadap derajat
latihan fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Pada awalnya, secara khas gejala
hanya muncul saat beraktivitas fisik, tetapi dengan bertambah beratnya gagal
jantung, toleransi terhadap latihan semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih
awal dengan aktivitas yang lebih ringan.
Gejala-gejala dari gagal jantung kongestif bervariasi diantara individu sesuai
dengan sistem organ yang terlibat dan juga tergantung pada derajat penyakit.
Gejala awal dari gagal jantung kongestif adalah kelelahan. Meskipun kelelahan
adalah gejala yang umum dari gagal jantung kongestif, tetapi gejala kelelahan
merupakan gejala yang tidak spesifik yang mungkin disebabkan oleh banyak
kondisi-kondisi lain. Kemampuan seseorang untuk berolahraga juga berkurang.
Beberapa pasien bahkan tidak merasakan keluhan ini dan mereka tanpa sadar
22
yang berkisar dari kongesti vena paru sampai edema interstisial dan akhirnya
menjadi edema alveolar, maka dispnea juga berkembang progresif. Dispnea saat
beraktivitas menunjukkan gejala awal dari gagal jantung kiri. Ortopnea (dispnea
saat berbaring) terutama disebabkan oleh redistribusi aliran darah dari bagianbagian tubuh yang di bawah ke arah sirkulasi sentral.reabsorpsi cairan
interstisial dari ekstremitas bawah juga akan menyebabkan kongesti vaskular
paru-paru lebih lanjut. Paroxysmal Nocturnal Dispnea (PND) dipicu oleh
timbulnya edema paru intertisial. PND merupakan manifestasi yang lebih
spesifik dari gagal jantung kiri dibandingkan dengan dispnea atau ortopnea.
Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada
posisi berbaring.
Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah ciri khas
dari gagal jantung, ronki pada awalnya terdengar di bagian bawah paru-paru
distensi vena.
Gagal pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti vena
sistemik. Dapat diamati peningkatan tekanan vena jugularis; vena-vena leher
mengalami bendungan . tekanan vena sentral (CVP) dapat meningkat secara
paradoks selama inspirasi jika jantung kanan yang gagal tidak dapat
menyesuaikan terhadap peningkatan aliran balik vena ke jantung selama
inspirasi.
Dapat terjadi hepatomegali; nyeri tekan hati dapat terjadi akibat peregangan
kapsula hati.
Gejala saluran cerna yang lain seperti anoreksia, rasa penuh, atau mual dapat
istirahat.
Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema anasarka.
Meskipun gejala dan tanda penimbunan cairan pada aliran vena sistemik secara
23
klasik dianggap terjadi akibat gagal jantung kanan, namun manifestasi paling
dini dari bendungan sistemik umumnya disebabkan oleh retensi cairan daripada
DIAGNOSIS
Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala yang ada dan
penemuan klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain foto thorax,
EKG, ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium rutin, dan pemeriksaan biomarker.
Kriteria Diagnosisnya adalah kriteria Framingham. Diagnosis gagal jantung
ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor.
Kriteria Major :
1. Paroksismal nokturnal dispnea
2. Distensi vena leher
3. Ronki paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Gallop S3
7. Peninggian tekana vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria Minor :
1. Edema eksremitas
2. Batuk malam hari
3. Dispnea deffort
24
4.
5.
6.
7.
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Takikardi(>120/menit)
NYHA class II, penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik.
Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik
yang biasa dapat menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti
kelelahan, jantung berdebar, sesak napas atau nyeri dada.
NYHA class III, penderita penyakit dengan pembatasan yang lebih banyak
dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan
tetapi kegiatan fisik yang kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan
gejala-gejala insufisiensi jantung seperti yang tersebut di atas.
NYHA class IV, penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun
tanpa menimbulkan keluhan, yang bertambah apabila mereka melakukan
kegiatan fisik meskipun sangat ringan.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung, pemeriksaan
penunjang sebaiknya dilakukan.
1. Pemeriksaan Laboratorium Rutin :
25
26
27
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi
penalaksanaan secara non farmakologis dan secara farmakologis.
Penatalaksanaan gagal jantung baik akut maupun kronik ditujukan
untuk mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis, meskipun
penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta
beratnya kondisi.
Terapi :
a. Non Farmakalogi :
Anjuran umum :
Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala
dengan pengobatan.
Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar
dapat
dilakukan
seperti
biasa.
Sesuaikan
dilakukan.
Gagal
jantung
berat
harus
menghindari
penerbangan panjang.
Tindakan Umum :
Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada
gagal jantung ringan dan 1 g pada gagal jantung
berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung
jasmani
jalan
3-5
28
IV)
sistolik.
b. Penghambat
yang
ACE
disebabkan
bermanfaat
gagal
untuk
jantung
menekan
ketat
sindrom
gagal
jantung.
Biasanya
kronis
maupun
dengan
riwayat
emboli,
Definisi
Program penanganan penderita penyakit jantung secara komprehensif oleh
tim kesehatan profesional yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu untuk
meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik maupun psikososial
pasien. Keterlibatan pasangan, keluarga dan perawat juga sangat penting
2.
3.
4.
30
1) evaluasi medis
2) penenangan dan edukasi
3) koreksi terhadap pemahaman yang salah tentang penyakit jantung
4) pengendalian terhadap faktor resiko
5) mobilisasi
6) discharge planning
b. Fase 2; Early discharge period,
1) program home visiting
2) Kontak telepon
3) Pengawasan penggunaan Heart Manual (program self-help bagi
pasien)
c. Fase 3; Exercise Training
1) exercise training terstruktur
2) Menu-base approach; edukasi
spesifik
untuk
menghentikan
6.
7.
Intervensi psikologis;
a.
b.
c.
d.
e.
8.
Depresi
Kecemasan
Kepribadian
Pemahaman salah mengenai penyakit jantung
Konseling individu, Konseling kelompok,
Manajemen stres, Relaksasi,
Kelompok psikoterapi,
Pendekatan kognitif-perilaku,
Penempatan tujuan, hipnoterapi.
Intervensi pendidikan;
a. Pendidikan individu dan kelompok pada aspek CHD, diet dan makanan
sehat, bahaya merokok, hipertensi, olahraga dan MI,
31
Program Latihan
Pada semua tingkat fase latihan, semua sesi harus memiliki;
a. Pemanasan
1) Senam dan latihan intensitas ringan
2) Untuk meningkatkan beban kerja jantung bertahap dan menyiapkan
otot untuk latihan
b. Latihan Aerobik
1) Menggunakan otot kelompok besar dalam tempo ritmis
2) Terus menerus hingga mancapai denyut nadi yang ditentukan
c. Pendinginan
1) Latihan intensitas ringan dan relaksasi pernafasan
2) Menurunkan beban jantung secara bertahap
10.
tim
rehabilitasi
jantung)
3) Durasi : Peningkatan bertahap dari latihan aerobik dari 5
30
menit
4) Target denyut nadi: 70 % dari denyut nadi dicapai selama METT
atau 15 bpm dibawah tingkat iskemik atau tingkat simptomatik
c. Fase 3:
1) Tipe: pilih berjalan, jogging, sepeda statis dengan tahanan
meningkat, dayung statis.
2) Frekwensi: Lakukan3-5 kali perminggu (semua sesi
dibawah
32
11.
intervensi
Penentuan latihan fase 3 dan ringkasan mengenai kapasitas fungsional.
Hasil tes toleransi latihan, apabila ada
Detail mengenai medikasi pasien
Untuk memperoleh manfaat tidak perlu dengan latihan yang terlalu
berat, berjalan cepat selama 15-20 menit setiap hari atau paling tidak
lima kali dalam seminggu sudah cukup untuk latihan bagi sebagian besar
sekaligus
menilai physical
fitness. Setelah
dilakukan screening dan stress test dan pasien dinyatakan bisa mengikuti fisioterapi
atau
pun
rehabilitasi
jantung
maka
ditentukan
Zona
Latihan
dengan
Fisioterapi /Rehabilitasi jantung standar memiliki tiga fase. Tiap fase memilki
komponen aktivitas dan edukasi serta tujuan masing-masing, namun berbeda dalam
hal lokasi dan durasi fase, jumlah pengamatan, dan intensitas aktivitas.
Rehabilitasi Jantung fase 1 merupakan fase akut rawat inap merupakan titik
awal dan pembuka dari seluruh fase lainnya. Peresepan dan permulaan aktivitas,
perubahan diet dan edukasi, teknik pengelolaan stress, dan perencanaan untuk
kebutuhan pekerjaan, keluarga, dan kebutuhan seksual dimulai dari tingkat ini. Fase
1 ini bertujuan menginisiasiiself-care activities dan progress dari duduk ke berdiri
untuk meminimalkan deconditioning effect akibat immobilisasi (1 3 hari setelah
serangan), mempersiapkan pasien dan keluarga pasien untuk melanjutkan rehabilitasi
dan aktivitas khidupan dirumah setelah cardiac event.
Step
1.
MET
1,5
Lokasi
Kamar pasien
Aktivitas
Pompa pergelangan
kaki,
napas
1,5
1,5
Kamar pasien
makan sendiri
sda, ditambah berpindah ke sisi
Kamar pasien
34
1,5 - 2
1,5 - 3
Ruang Perawat
pelan.
Berjalan yang diawasi sejuah 75 kaki,
Ruang Senam
aktivitas berpakaian.
Naik tangga 2 hingga 3 tangga, ADL
dalam BAK, berjalan 100 hingga 300
kaki, static bycycle tanpa tahanan
1,5 - 3
Ruang senam
supervisor yang
dilakukan
di
Rumah
Sakit
ataupun
dalam
suatu
komunitas, Heart rate danrhythm tidak lagi dipantau dengan telemetry tetapi pasien
diingatkan untuk mengontrol denyut nadinya, supervisor dapat mengontrol tekanan
darahnya. Tujuan dari Fase 3 ini adalah untuk melanjutkan, meningkatkan dan
menjaga fitness levels yang telah dicapai. Rehabilitasi jantung tahap 3 juga harus
dipertimbangkan dengan suatu perubahan gaya hidup yang permanen, dan harus
berlangsung terus dalam kehidupan orang tersebut untuk meminimalkan morbiditas
dan mortalitas penyakit jantung.
Rekomendasi umum untuk latihan Fisioterapi/ Rehabilitasi jantung:
Fase
Durasi
Intensitas
35
Frekuensi
Fase 1
5-10 mnt berjalan, Naik 1 HR(rest) + 5-20 / mnt. 3-4 kali sehari
tangga, mandi, berpakaian.
SBP +10-40 mmHg
2 10-45
mnt 40-70%
HRR 3-5
Fase
Aerobik
set,
8-10
40-70%
3 30-45
Aerobik
2-3
sets,
latihan 11-13
8-10
hari/
mg
RPE 2 hari/ mg
HRR
11-13 RPE
mnt 40-80%
lat. 11-14
RPE @hr
40-80%
klu
bisa.
11-14 RPE
Rehabilitasi Fisik Dada (Chest Therapy)
Rehabilitasi fisik dapat dilakukan pada stadium dini atau stadiun lanjut dari
penyakitnya. Penderita dilatih untuk memakai cadangan napasnya seefektif mungkin
dengan mengubah pola bernapas untuk memperoleh potensi yang optimal bagi
kegiatan fisiknya. Rehabilitasi psikososial dan vokasional dipertimbangkan bila
penderita tidak dapat mencapai keinginan fisik-psikologis untuk melakukan kegiatan
seperti biasanya. Bila pendidikan pada tingkat tersebut tidak mungkin, rehabilitasi
ditujukan untuk memberi kesempatan pada penderita untuk dapat melakukan
kegiatan minimal termasuk mengurus diri sendiri.
a Latihan relaksasi
Tujuan latihan relaksasi adalah:
1) Menurunkan tegangan otot pernapasan, terutama otot bantu napas
2) Menghilangkan rasa cemas karena sesak napas.
3) Memberikan sense of well being.
Penderita Bronkiektasis yang mengalami insufisiensi pernapasan selalu
merasa tegang, cemas dan takut mati tersumbat. Untuk mengatasi keadaan ini
penderita berusaha membuat posisi yang menguntungkan terutama bagi
gerakan diafragmanya. Sikap ini dicapai dengan memutar bahu ke depan dan
membungkukkan badan ke depan pula. Sikap ini selalu diambil setiap akan
memulai rehabilitasi fisik (drainase postural, latihan pernapasan). Agar
penderita memahami, latihan ini harus diperagakan. Latihan relaksasi
hendaknya dilakukan di ruangan yang tenang, posisi yang nyaman yaitu
telentag dengan bantal menyangga kepala dan guling di bawah lutut atau
sambil duduk.
b Terapi fisik dada
36
sebagainya)
Mengeluarkan sekret yang terkumpul di paru
Kontra indikasi :
- Hemoptisis berat
- edem pulmo berat
- CHF
- efusi pleura masif
- Cardiovascular instability (aritmia, hipertensi/hipotensi berat,AMI)
- Recent neurosurgery jika posisi kepala dibawah TIK
meningkat
Segmen Apikal
Tidur dengan beberapa bantal, kepala letak tinggi.
37
38
d Vibrasi Dada
Gerakan cepat yang dilakukan pada dinding dada
Dapat dilakukan manual / dengan alat vibrator
Diberikan saat exhalasi / ekspirasi
Tujuannya sama dengan perkusi
Teknik :
- Nafas dalam, tahan beberapa detik, vibrasi diberikan saat ekspirasi
- Satu session latihan, hendaknya diberikan setelah 5 6 nafas dalam.
- Setelah tindakan vibrasi dapat dilakukan postural drainage.
39
40
digunakan
otot-otot
bantu
pernapasan
(seperti
skalenus,
volume
41
pernapasan
diafragma
sebaiknya
obstruksi
saluran
napas,
tekanan intrapleura.
Perpanjangan ekspirasi:
Menyebabkan pernapasan berikutnya tidak teratur dan tidak
efisien, pola pernapasan kembali ke pernapasan dada bagian atas
yang tidak teratur disertai dengan aktifnya otot bantu
pernapasan.
42
43
otot-otot
dinding
perut
serta
badan
sedikit
membungkuk kedepan. Cara ini diulangi dengan satu fase inspirasi dan
dua tahap fase ekspulsi. Latihan diulang sampai penderita menguasai.
Penderita yang mengeluh sesak napas saat latihan batuk,
diistirahatkan dengan melakukan Iatihan pernapasan diantara dim latihan
batuk. Bila penderita tidak mampu batuk secara efektif, dilakukan
rangsangan dengan alat penghisap (refleks batuk akan terangsang oleh
kateter yang masuk trakea) atau menekan trakea dari satu sisi ke sisi yang
f
1ain.
Latihan meningkatkan kemampuan fisik
Bertujuan meningkatkan toleransi penderita terhadap aktivitas dan
meningkatkan kemampuan fisik, sehingga penderita hidup lebih aktif dan
lebih produktif. Pengaturan tingkat latihan dimulai dengan tingkat
berjalan yang disesuaikan dengan kemampuan awal tiap penderita secara
individual, yang kemudian secara bertahap ditingkatkan ke tingkat
toleransi yang paling besar. Jarak maksimum dalam latihan berjalan yang
dicapai oleh penderita merupakan batas untuk mulai meningkatkan
latihan dengan menaiki tangga. Selama latihan penderita harus dibantu
dengan pemberian oksigen untuk menghindari penununan saturasi
oksigen secara drastis yang dapat membahayakan jantung. Penderita
harus diawasi dengan baik, secara berkala gas darah arteri diukur
tenutama pada penderita dengan hipoventilasi alveoler, untuk mencegah
retensi CO2 yang berlebihan. Pemberian oksigen selama latihan harus
diteruskan sampai penderita mendapat manfaat yang maksimal, setelah itu
lambat laun dapat disapih.
44
45
Syarat-syarat yang minimal harus dipenuhi dalam melakukan Uji jalan 6 menit
yaitu uji latih harus dilakukan pada lintasan datar dengan lokasi yang mudah
dijangkau, jika terjadi keadaan darurat maka penanganan cepat dilakukan. Pemilihan
lokasi harus ditentukan oleh dokter yang mengawasi. Oksigen dan nitrogliserin
sublingual sebaiknya dapat disediakan, dan tersedia telepon untuk panggilan darurat.
Dokter dan paramedis yang membantu harus dapat mengenali gejala efek yang
kurang baik dari uji latih, jika uji latih harus dihentikan karena alasan tertentu , maka
pasien boleh duduk atau berbaring, kemudian diikuti pengukuran tekanan darah,
frekuensi nadi, saturasi oksigen dan pemeriksaan fisik. Uji jalan 6 menit ini dapat
dihentikan segera bila timbul gejala:
1. Nyeri dada.
2. Sesak yang tidak dapat ditoleransi.
3. Kram pada tungkai
4. Sempoyongan
5. Terlihat pucat
Lokasi pelaksanaan Uji jalan 6 menit :
1 Harus dilakukan didalam ruangan (indoor) atau diluar ruang (outdoor).
2 Lintasan berjalan harus pada permukaan yang panjang, datar dan keras,
3
4
5
6
2
3
4
5
Indikasi tes jalan 6 menit adalah jika gagal jantung kronik stabil .
Kontraindikasi :
1 Gagal jantung kongestif yang tidak terkontrol
2 Aritmia jantung berat
3 Kardiomiopati berat
4 Hipertensi tidak terkontrol
5 Angina pectoris tak stabil
6 Dll
Sedangkan untuk menentukan kapasitas erobik menggunakan rumus :
VO2 Max = ( 0,03 x distance(m)) + 3,98 cc/KgBB/mt .
1
Nilai prediksi
-
Pria
: 6 MWD = (7.57 x TBcm)-(5.02 x umur)-(1.76 x BBkg)- 309 m
Wanita : 6 MWD = (2.11 x TBcm)-(2.29 x BBkg)-(5.78 x umur) + 667 m
C. IMOBILISASI
48
Definisi Imobilisasi
Imobilisasi didefinisikan sebagai keadaan yang tidak bergerak/ tirah baring
selama 3 hari atau lebih dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat
perubahan fungsi fisiologik. Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan
dapat menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut (Tong, 2002).
Etiologi
Berbagai faktor fisik, psikologis dan lingkungan dapat menyebabkan
imobilisasi pada lanjut usia. Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa
nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidakseimbangan dan masalah psikologis. Rasa
nyeri, baik dari tulang (osteoporosis, osteomalasia, Pagets Disease, metastase
kanker tulang, trauma), sendi (osteoartritis, artritis reumatoid, gout), otot
(polimialgia, pseudoclaudication) atau masalah pada kaki dapat menyebabkan
imobilisasi. Rasa lemah sering kali disebabkan oleh malnutrisi, gangguan
elektrolit, tidak digunakannya otot, anemia, gangguan neurologis atau miopati.
Osteoartritis merupakan penyebab utama kekakuan pada lanjut usia. Penyakit
Parkinson, artritis reumatoid, gout dan obat obatan antipsikotik seperti
haloperidol juga dapat menyebabkan kekakuan. Ketidakseimbangan dapat
disebabkan karena kelemahan, faktor neurologis (stroke, kehilangan refleks
tubuh, neuropati DM, malnutrisi dan gangguan vestibuloserebral), hipotensi
ortostatik,
atau
obat-obatan
(diuretik,
antihipertensi,
neuroleptik
dan
Komplikasi
Komplikasi pada pasien imobilisasi antara lain (Tong, 2002) :
1 Trombosis
Trombosis vena dalam merupakan salah satu gangguan vaskular
perifer yang penyebabnya multifaktorial, meliputi faktor genetik dan
lingkungan. Terdapat tiga faktor yang meningkatkan risiko trombosis
vena dalam yaitu karena adanya luka di vena dalam karena trauma atau
pembedahan, sirkulasi darah yang tidak baik pada vena dalam, dan
berbagai kondisi yang meningkatkan resiko pembekuan darah.
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan sirkulasi darah tidak baik di
49
pertama imobilisasi.
Ulkus decubitus
Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan di
bawah kulit, bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat
adanya penekanan pada suatu area yang secara terus menerus sehingga
mengakibatkan gangguan sirkulasi darah setempat. Area yang biasa
terjadi dekubitus adalah tempat diatas tonjolan tulang dan tidak
dilindungi cukup dengan lemak subkutan, misalnya daerah sacrum,
trokanter mayor, dan spina ischiadica superior anterior, tumit dan siku.
51
sedangkan skor > 14 memiliki risiko yang sangat kecil. Skor tersebut
meliputi :
Item
Sko
r
Kondisi fisik
Baik
Sedang
Buruk
Sangat Buruk
4
3
2
1
Kesadaran
Kompos mentis
Apatis
Konfus/soporus
Stupor/koma
4
3
2
1
Aktivitas
Ambulan
Ambulan dengan bantuan
Hanya bisa duduk
Tiduran
4
3
2
1
Mobilitas
Bergerak bebas
Sedikit terbatas
Sangat terbatas
Tak bisa bergerak
4
3
2
1
Inkontinensia
Tidak
Kadang-kadang
Sering inkontinensia urin
Inkontinensia alvi dan urin
4
3
2
1
53
Tindakan
berikutnya
adalah
menjaga
kebersihan
penderita
misalnya DM.
Mengurangi/memeratakan faktor tekanan yang mengganggu aliran
darah, melalui:
- Alih posisi/alih baring/tidur selang seling, paling lama tiap dua
-
jam.
Kasur khusus untuk lebih membagi rata tekan yang terjadi pada
tubuh penderita, misalnya; kasur dengan gelembung tekan udara
yang naik turun, kasur air yang temperatur airnya dapat diatur
(kasur dekubitus).
Mengurangi regangan kulit dan lipatan kulit yang menyebabkan
sirkulasi darah setempat terganggu.
Bila sudah terjadi dekubitus, tentukan stadium dan berikan
tindakan medik sesuai dengan apa yang dihadapi. Berikut adalah stadium
pada dekubitus beserta penatalaksanaanya :
- Dekubitus derajat I
Merupakan dekubitus dengan reaksi peradangan masih terbatas
pada epidermis. Kulit yang kemerahan dibersihkan hati-hati dengan
air hangat dan sabun, diberi lotion, kemudian dimassage 2 sampai 3
-
kali/hari.
Dekubitus derajat II
Pada dekubitus ini sudah terjadi ulkus yang dangkal. Perawatan
luka harus memperhatikan syarat-syarat aseptik dan antiseptik.
Ulkus dibersihkan dengan menggunakan kasa dan dicuci dengan
54
Dekubitus derajat IV
Ada perluasan ulkus sampai pada dasar tulang dan sering disertai
jaringan nekrotik. Semua langkah-langkah diatas tetap dikerjakan
dan jaringan nekrotik yang ada harus dibersihkan, sebab akan
menghalangi pertumbuhan jaringan/epitelisasi. Beberapa preparat
enzim coba diberikan, dengan tujuan mengurangi perdarahan,
dibanding tindakan bedah yang juga merupakan alternatif lain.
Setelah jaringan nekrotik dibuang dan luka bersih, penyembuhan
luka secara alami dapat diharapkan. Usaha untuk mempercepat
55
Hipotensi postural
Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebanyak 20
mmHg dari posisi berbaring ke duduk dengan salah satu gejala klinik
yang sering timbul adalah iskemia serebral, khusunya sinkop. Pada
posisi berdiri, secara normal 600-800 ml darah dialirkan ke bagian
tubuh inferior terutama tungkai. Penyebaran cairan tubuh tersebut
menyebabkan penurunan curah jantung sebanyak 20%, penurunan
volume sekuncup 35% dan akselerasi frekuensi jantung sebanyak 30%.
Pada orang normal sehat, mekanisme kompensasi menyebabkan
vasokonstriksi dan peningkatan denyut jantung yang menyebabkan
tekanan darah tidak turun. Tirah baring total selama paling sedikit 3
minggu akan mengganggu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan
posisi berdiri dari berbaring pada orang sehat. Tirah baring lama akan
membalikkan respons kardiovaskular normal menjadi tidak normal
yang akan mengakibatkan penurunan volume sekuncup jantung dan
curah jantung. Curah jantung rendah akan mengakibatkan terjadinya
hipotensi postural.
Pelepasan hormon antidiuretik berkurang selama minggu awal
imobilisasi yang kemudian akan mengakibatkan diuresis dan penurunan
volume plasma. Penurunan volume plasma mencapai 10% selama 2
minggu pertama imobilisasi dan bisa mencapai 20% setelah itu.
Gejala dan tanda dari hipotensi postural adalah penurunan tekanan
darah sistolik dari tidur ke duduk lebih dari 20 mmHg, berkeringat,
pucat, kebingungan, peningkatan denyut jantung, letih, dan pada
keadaan berat dapat menyebabkan jatuh yang pada akhirnya akan
56
57
dehidrasi,
dan
penggunaan
obat-obatan
juga
dapat
Penatalaksanaan
Non Farmakologis
Tatalaksana umum pada pasien imobilisasi membutuhkan kerjasama tim
medis interdisiplin dengan partisipasi pasien dan keluarga. Secara umum,
tatalaksana untuk pasien imobilisasi agar mencegah terjadinya berbagai
komplikasi yaitu:
Edukasi
Edukasi yang penting disampaikan kepada pasien dan keluarga mengenai
bahaya tirah baring lama, pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini, serta
mencegah ketergantungan pasien dengan melakukan aktivitas kehidupan
seharihari sendiri, semampu pasien.
Terapi fisik dan latihan jasmani secara teratur.
Mobillisasi Dini
Pada pasien yang mengalami tirah baring total, perubahan posisi secara
teratur dan latihan di tempat tidur dapat dilakukan sebagai upaya
Kontrol tekanan darah secara teratur dan penggunaaan obat-oatan yang dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah serta mobilisasi dini perlu dilakukan
untuk mencegah hipotensi
Untuk mencegah terjadinya trombosis, dapat dilakukan tindakan kompresi
intermiten pada tungkai bawah. Teknik tersebut dapat meningkatkan aliran
darah dari vena kaki dan menstimulasi aktivitas fibrinolitik. Teknik ini bebas
dari efek samping, namun merupakan kontraindikasi pada pasien dengan
penyakit vaskuler perifer.
Monitor asupan cairan dan makanan yang mengandung serat perlu dilakukan
untuk mencegah terjadinya konstipasi dan malnutrisi.
Farmakologis
Penatalaksanaan farmakologis dapat diberikan sebagai salah satu upaya
pencegahan komplikasi akibat imobilisasi, terutama pencegahan terhadap
59
Prognosis
Prognosis pada pasien imobilisasi tergantung pada penyakit yang mendasari
imobilisasi dan komplikasi yang ditimbulkananya. Perlu dipahami, imobilisasi
dapat memperberat penyakit dasarnya bila tidak ditangani sedini mungkin,
bahkan dapat sampai menimbulkan kematian.
D. DYSPNEA
1 Definisi
Dyspnea adalah sensasi subyektif sulit bernapas atau tidak nyaman saat
bernafas. Dyspnea harus dibedakan dari takipnea, hiperventilasi, dan hiperpnea,
yang merujuk pada variasi pernapasan terlepas dari sensasi subyektif pasien.
Takipnea adalah peningkatan laju pernafasan, hiperventilasi merupakan
peningkatan ventilasi relatif terhadap kebutuhan metabolisme, dan hiperpnea
adalah peningkatan yang tidak seimbang dalam ventilasi relatif terhadap
peningkatan tingkat metabolisme.
Dyspnea on exertion (DOE) tidak selalu mengindikasikan penyakit. Orang
normal mungkin merasa sesak saat melakukan latihan berat. Tingkat aktivitas
yang ditoleransi setiap individu tergantung pada umur, jenis kelamin, berat
badan, kondisi fisik, sikap, dan motivasi emosional. DOE dianggap penyakit bila
terjadi pada tingkat aktivitas yang semestinya dapat ditoleransi dengan baik.
Perlu ditanyakan ada keterbatasan baru yang progresif pada kemampuannya
melakukan tugas yang mampu dilakukan tanpa kesulitan sebelumnya (missal
berjalan, naik tangga, melakukan pekerjaan rumah tangga).
Pada dispnea, penyebabnya adalah 4 kategori yaitu kardiak, pulmonar,
2
duduk. Apakah batuk atau mengi pada posisi berbaring? Apakah ia pernah
terbangun malam hari dengan sesak napas? Berapa lama setelah berbaring
episode sesaknya terjadi, dan apa yang dilakukan untuk meringankan
Sesak nafas biasanya keluhan paling awal dan signifikan pada pasien gagal
jantung kiri. Seringkali disertai batuk karena transudat cairan ke paru. Kerusakan
lebih lanjut menyebabkan sesak napas saat berbaring/orthopnea. Hal ini terjadi
karena peningkatan pengembalian darah vena dari ekstremitas bawah dan elevasi
diafragma saat posisi supinasi. Karena itu pasien akan merasa lebih baik saat
duduk/berdiri/mengganjal bantal tinggi sehingga rongga dada naik ke atas.
Pasien dapat mengalami paroxymal nocturnal dyspnea (PND) berupa tiba-tiba
terbangun saat sedang tidur karena tidak bisa bernafas
Pada gagal ventrikel kiri awal, output jantung tidak meningkat dengan
cukup saat olahraga ringan sehingga terjadi asidosis jaringan dan otak, pasien
mengalami dyspnea on exertion. Sesak napas dapat disertai kelelahan atau
sensasi tercekik atau kompresi sternum. Tahap selanjutnya dari kegagalan
ventrikel kiri, sirkulasi paru-paru akan mengalami kongesti dan dispnea dapat
terjadi hanya dengan aktivitas yang lebih ringan
Edema paru akut adalah manifestasi overload vena paru-paru pada infark
miokard baru atau tahap terakhir kegagalan ventrikel kiri kronis. Penyebab
dispnea kardiak adalah penyakit katup (stenosis mitral dan insufisiensi terutama
aorta), aritmia paroksismal (seperti atrial fibrilasi), efusi perikardium dengan
tamponade, hipertensi sistemik, kardiomiopati, dan miokarditis. Asupan cairan
pada pasien gagal ginjal yang oliguri juga dapat berperan pada kongesti paru dan
menyebabkan dyspnea
Penyakit paru yang menyebabkan dyspnea adalah asma bronkial, penyakit
paru obstruktif kronik, emboli paru, pneumonia, efusi pleura, pneumotoraks,
pneumonitis alergi, dan fibrosis interstisial. Selain itu dyspnea mungkin terjadi
saat demam, kondisi hipoksia, kecemasan, dan gangguan panik.
Pada emfisema, sesak nafas juga merupakan tanda pertama. Pasien yang
memang memiliki bronkitis atau asma bronkitis kronik, batuk dan mengi
menjadi penanda awal. Gambaran klasik pasien yang tidak memiliki komponen
bronkitis adalah barrel-chest dan dispnea dengan expirasi lebih lama, duduk ke
depan membungkuk, berusaha menekan udara keluar paru dengan usaha lebih
61
besar. Pada pasien tersebut rongga udaranya membesar dan kapasitas difusinya
turun. Dispnea dan hiperventilasi sangat mencolok.
3
Pemeriksaan fisik
Gangguan pada orofaringeal atau nasofaring dapat ditemukan dengan
adanya obstruktif kasar dari hidung atau tenggorokan. Palpasi leher dapat
mengungkapkan massa seperti di keganasan tiroid yang dapat menyebabkan
obstruksi saluran napas. Bruit leher menjadi indikasi penyakit makrovaskuler
dan mengarahkan pada gangguan arteri koroner, terutama jika pasien memiliki
riwayat diabetes, hipertensi atau merokok
Peningkatan diameter anteroposterior, tingkat pernapasan tinggi, kelainan
bentuk tulang belakang seperti kifosis atau skoliosis, bukti trauma dan
penggunaan otot aksesori untuk bernapas, dapat ditemukan saat pemeriksaan
paru. Kifosis dan skoliosis menyebabkan pembatasan paru. Auskultasi paru bisa
didapatkan tambahan suara seperti ronki dan mengi. Ronki basah atau mengi
mengindikasikan
gagal
jantung
kongestif,
mengi
saat
ekspirasi
saja
Pemeriksaan penunjang
Radiografi dada berupa rontgen thorak atau CT-scan, elektrokardiografi,
dan pemeriksaan dengan spirometri dapat memberikan informasi yang berharga.
Pada kasus yang belum dapat dipastikan serta membutuhkan klarifikasi, tes
fungsi paru, analisis gas darah arteri, ekokardiografi, dan tes standard exercise
treadmill atau tes complete cardiopulmonary exercise dapat dilakukan.
62
63
DAFTAR PUSTAKA
Kipp DA, Spires MC (2002). Pressure ulcers: prevention and care. Dalam: Brammer
CM. Penyunting. Manual of PM&R. Philadelphia: Hanley & Belfus, Inc.; h.
281-95.
Batson DW, Avent J. Adult Neurogenic Communication Disorders. In: Braddom RL.
Physical Medicine and Rehabilitation. 4th ed. Philadelphia: Saunders; 2011. p.
54-57
Chalela Julio A, MD., Smith Teresa L, MD. Cardiac Complication of Stroke. Mayo
clinic proc. 1997
Corwn elizabeth, 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
Cuccurullo SJ (2004). Physical Medicine and Rehabilitation Board Review. Park
Avenue South (NY): Demos Medical Publishing
Doengoes Marlyn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan.Edisi 3. Jakarta :EGC
Huddak dan Gallo. 1996. Perawatan Kritis. Edisi VI, volume II, Jakarta: EGC
John MW., Jose B., Basilar Artery Stroke.Neurology MedLink.2001
Mahar Mardjono, Priguna Sidharta. 2004. Mekanisme Gangguan Vaskular Susunan
Saraf. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta. 2004. Hal: 274.
Mansjoer, Arif, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Medika Acisculapus
Mix CM, Specht DP (2000). Achieving functional independence. Dalam: Braddom
RL. Physical medicine and rehabilitation.2nd ed. Philadelphia: WB Saunders; h.
517-34.
Pranarka K (2000). Dekubitus. Dalam: Darmojo RB, Martono H. Buku Ajar Geriatri
(Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). 2nd ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; h. 215
Saweins Walaa. 2004. The Renal Unit at the Royal Informary of Edinburgh.
Scotland, Uk, Renal @ed.ac.uk.
64