Anda di halaman 1dari 32

PRESENTASI KASUS

REHABILITASI MEDIK

SEORANG LAKI-LAKI USIA 71 TAHUN DENGAN LOW BACK PAIN


ET CAUSA SPONDILOARTHOSIS LUMBALIS

DISUSUN OLEH:
Faradiba Janiyustika G992202117

PEMBIMBING
dr. Yunita Fatmawati, Sp.KFR

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan kepaniteraan klinik


bagian Rehabilitasi Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret –
RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Presentasi kasus dengan judul:


SEORANG LAKI-LAKI USIA 71 TAHUN DENGAN LOW BACK PAIN
ET CAUSA SPONDILOARTHOSIS LUMBALIS

Hari, Tanggal:
Jumat, 30 Juni 2023

Disusun oleh:
Faradiba Janiyustika G992202117

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing

dr. Yunita Fatmawati, Sp.KFR

2
BAB I
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Usia : 71 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Ngamban
Pekerjaan : Pensiunan pekerja angkat batu
Suku : Jawa
Status : Sudah Menikah
No. RM : 0162xxxx

2. Keluhan Utama
Nyeri pada punggung bawah

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSDM dengan keluhan nyeri punggung
bawah dirasakan sejak 1 tahun yang lalu secara hilang timbul dan
memberat 1 minggu terakhir. Nyeri dirasakan menjalar dari punggung
belakang ke kaki bawah terutama ketika digerakkan. Nyeri dirasakan
makin lama makin memberat sehingga membuat pasien kesulitan dalam
berjalan dan seringnya hanya tirah baring. Pasien tidak mengeluhkan
kebas atau kesemutan pada anggota gerak atas maupun bawah. Keluhan
demam dan sesak napas disangkal.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat trauma : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal

3
Riwayat stroke : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat tumor/keganasan : disangkal
Riwayat penyakit lainnya : disangkal
Riwayat pengobatan : disangkal
Riwayat mondok : disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat tumor/keganasan : disangkal
Riwayat penyakit serupa : disangkal

6. Riwayat Kebiasaan Dan Gizi


Selama sakit pasien sulit makan. Pasien jarang berolahraga.
Pasien merokok + 1 bungkus/2 hari sejak 20 tahun yang lalu, selama
sakit pasien berhenti merokok. Pasien tidak minum alkohol.

7. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien sudah menikah, pasien kesehariannya tinggal sendirian
dirumah, istrinya sudah meninggal sejak 5 tahun yang lalu. Pasien
berobat dengan fasilitas BPJS. Pasien merupakan pensiunan pekerja
angkat batu.

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan umum lemah, CM GCS E4V5M6.

4
2. Tanda Vital
TD : 130/77 mmHg
HR : 86 kali/menit
RR : 20 kali/menit
T : 36,6 C
SpO2 : 99% NK 3 lpm
3. Status Gizi
BB : 75 kg
TB : 165 cm
IMT : 27, 54 kg/m2 (WHO: Obesitas kelas I)
4. Status Ambulatori
Pasien tidak bisa duduk dan berjalan, hanya berbaring setelah
masuk rumah sakit.
5. Kulit
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), hiperpigmentasi (-),
hipopigmentasi (-), petechiae (-), venektasi (-), spider naevi (-), striae (-
)
6. Kepala
Normocephal, luka operasi (-), rambut beruban
7. Mata
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung dan
tidak langsung (+/+), pupil isokor (3 mm/3 mm), edema palpebra (-/-),
sekret (-/-), gerak bola mata dalam batas normal, nistagmus (-)
kontralateral abduksi, diplopia (-/-), pandangan kabur (-/-)
8. Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-).
9. Telinga
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)
10. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), stomatitis (-), gusi berdarah (-), lidah kotor
(-), lidah simetris.

5
11. Leher
Simetris, trakea di tengah, JVP tidak meningkat, pembesaran KGB (-),
nyeri tekan (-), benjolan (-)
12. Thorax
a. Jantung
i. Inspeksi : ictus cordis tak tampak
ii. Palpasi : ictus cordis kuat angkat teraba di SIC IV linea
midklavikula sinistra
iii. Perkusi : batas jantung kesan ttidak melebar
iv. Auskultasi : BJ I-II normal intensitas kuat, reguler, bising (-)

b. Paru
i. Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan dan kiri sama
ii. Palpasi : fremitus sama kanan dan kiri
iii. Perkusi : sonor/sonor
iv. Auskultasi : suara dasar vesikuler (N/N), RBH (-/-), RBK (-/-),
wheezing (-/-)

13. Abdomen
Inspeksi : dinding perut lebih tinggi dibanding dinding dada
Auskultasi : Bising usus (+) frekuensi 10 x/menit
Perkusi : timpani (+), pekak alih (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)

14. Ekstremitas
Akral dingin Edema
–|– -|-
–|– -|-

Ekstremitas : CRT <2 detik, akral hangat

15. Status Lokalis Regio Lumbosacral


a. Inspeksi : deformitas (-), jejas (-), bekas luka (-), kemerahan

6
(-), oedem (-)
b. Palpasi : Suhu teraba dalam batas normal, nyeri tekan (+), krepitasi
(-), massa tumor (-)
c. Tes Provokasi Nyeri : Patrick (-), kontrapatrick (-), Laseque (+)
d. Fungsi Sensorik : dalam batas normal

16. Status Neurologis


a. Kesadaran : GCS E4V5M6
b. Fungsi luhur
i. Atensi : dbn
ii. Bahasa : dbn
iii. Memori : dbn
iv. Visuospasial : dbn
v. Eksekutif : dbn
c. Pemeriksaan kekuatan, tonus, refleks fisiologis dan patologis
Kekuatan Tonus RF RP
555 | 555 N|N +2+2 | +2+2 -|-
555| 555 N|N +2+2 | +2+2 -|-
d. Pemeriksaan rangsal meningeal : Kernig (+/+)
e. Pemeriksaan Nervus Cranialis
i. Nn. II, III: pupil isokor (3mm/3mm), RCL (+/+)
ii. Nn. III, IV, VI : gerakan bola mata dalam batas normal
iii. Nn. VII, XII : dalam batas normal

17. Pemeriksaan range of motion (ROM)

Pemeriksaan ROM
Neck
ROM Pasif ROM Aktif

Fleksi 0-70o 0-70o

Ekstensi 0-40o 0-40o

Lateral bending kanan 0-60o 0-60o

7
Lateral bending kiri 0-60o 0-60o

Rotasi kanan 0-90o 0-90o

Rotasi kiri 0-90o 0-90o

ROM Pasif ROM Aktif


Ekstremitas
superior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra

Shoulder Fleksi 0-180o 0-180o 0-180o 0-180o

Ekstensi 0-60o 0-60o 0-60o 0-60o

Abduksi 0-180o 0-180o 0-180o 0-180o

Adduksi 0-45o 0-45o 0-45o 0-45o

Eksternal 0-90o 0-90o 0-90o 0-90o


rotasi

Internal 0-90o 0-90o 0-90o 0-90o


rotasi

Elbow Fleksi 0-120o 0-120o 0-120o 0-120o

Ekstensi 0o 0o 0o 0-0o

Pronasi 0-90o 0-90o 0-90o 0-90o

Supinasi 90-0o 90-0o 90-0o 90-0o

Wrist Fleksi 0-90o 0-90o 0-90o 0-90o

Ekstensi 0-70o 0-70o 0-70o 0-70o

Ulnar 0-30o 0-30o 0-30o 0-30o


deviasi

Radius 0-20o 0-20o 0-20o 0-20o


deviasi

8
Finger MCP I 0-50o 0-50o 0-50o 0-50o
fleksi

MCP II-IV 0-90o 0-90o 0-90o 0-90o


fleksi

DIP II-IV 0-90o 0-90o 0-90o 0-90o


fleksi

PIP II-IV 0-100o 0-100o 0-100o 0-100o


fleksi

MCP I 0-0o 0-0o 0-0o 0-0o


ekstensi

ROM Pasif ROM Aktif


Ekstremitas inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra

Hip Fleksi 0-90o 0-90o 0-90o 0-90o

Ekstensi 0-30o 0-30o 0-30o 0-30o

Abduksi 0-30o 0-30o 0-30o 0-30o

Adduksi 0-30o 0-30o 0-30o 0-30o

Eksorotasi 0-45o 0-45o 0-45o 0-45o

Endorotasi 0-35o 0-35o 0-35o 0-35o

Knee Fleksi 0-135o 0-135o 0-135o 0-135o

Ekstensi 0-0o 0-0o 0-0o 0-0o

Ankle Dorso 0-20o 0-20o 0-20o 0-20o


fleksi

Plantar 0-45o 0-45o 0-0o 0-45o


fleksi

Eversi 0-5o 0-5o 0-5o 0-5o

9
Inversi 0-5o 0-5o 0-5o 0-5o

Lumbosacral ROM Pasif ROM Aktif


0 0
Fleksi 0-10 0-10
0 0
Ekstensi 0-0 0-0
0 0
Lateral kanan 0-20 0-20
0 0
Lateral kiri 0-20 0-20

Manual muscle testing (MMT)

Ekstremitas superior Dextra Sinistra

Shoulder Flexor M.deltoideus 5 5


anterior

M.biceps brachii 5 5

Extensor M.deltoideus 5 5
anterior

M.teres major 5 5

Abduktor M.deltoideus 5 5

M.biceps brachii 5 5

Adduktor M.latissimus dorsi 5 5

M.pectoralis major 5 5

Rotasi M.latissimus dorsi 5 5


internal
M.pectoralis major 5 5

Rotasi M.teres major 5 5

10
eksternal M.pronator teres 5 5

Elbow Flexor M.biceps brachii 5 5

M.brachialis 5 5

Ekstensor M.triceps brachii 5 5

Supinator M.supinator 5 5

Pronator M.pronator teres 5 5

Wrist Flexor M.flexor carpi 5 5


radialis

Extensor M.extensor 5 5
digitorum

Abduktor M.extensor carpi 5 5


radialis

Adduktor M.extensor carpi 5 5


ulnaris

Finger Flexor M.flexor digitorum 5 5

Extensor M.extensor 5 5
digitorum

Extremitas inferior Dextra Sinistra

Hip Flexor M.psoas major 5 5

Extensor M.gluteus 5 5
maximus

Abduktor M.gluteus 5 5
medius

Adduktor M.adductor 5 5
longus

11
Knee Flexor Hamstring 5 5
muscles

Extensor M.quadriceps 5 5
femoris

Ankle Flexor M.tibialis 5 5

Extensor M.soleus 5 5

Index Barthel
Aktivitas Tingkat Nilai
Kemandirian
Makan (Feeding) Butuh bantuan 5
Mandi (Bathing) Butuh bantuan 0
Kebersihan diri Mandiri 5
Berpakaian (Dressing) Butuh bantuan 5
BAB (Bowel) Dapat menahan BAB 10
BAK (Bladder) Terkadang tidak 5
dapat menahan BAK
Toilet use Butuh bantuan 5

Transfer Dependent 0

Mobility Immobile 0

Stairs Ttidak dapat 0


naik/turun tangga
Total 35
Kesimpulan: Disabilitas berat
Nilai Interpretasi:
0-20 : Disabilitas total
25-45 : Disabilitas berat
50-75 : Disabilitas sedang
80-90 : Disabilitas ringan
100 : Mandiri

12
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium (23/06/23 )
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN
HEMATOLOGI
Hemoglobin 13.7 g/dl 12.1 - 17.6
Hematokrit 37 % 35 - 45
Leukosit 8.6 ribu/ul 4.5 - 11.0
Trombosit 518 ribu/ul 150 - 450
Eritrosit 4.76 juta/ul 4.50 - 5.90
MCV 77.2 /um 80.0 - 96.0
MCH 28.7 pg 28.0 - 33.0
MCHC 37.2 g/dl 33.0 - 36.0
RDW 13.3 % 11.6 - 14.6
MPV 7.0 fl 7.2 - 11.1
PDW 15 % 25 - 65
Eosinofil 0.60 % 0.00 - 4.00
Basofil 0.40 % 0.00 - 2.00
Netrofil 67.40 % 55.00 - 80.00
Limfosit 25.00 % 22.00 - 44.00
Monosit 6.60 % 0.00 - 7.00
KIMIA KLINIK
SGPT 12 u/l <45.00
Creatinine 0.9 mg/dl 0.8 - 1.3
Ureum 38 mg/dl <50.00
Natrium darah 126 mmol/L 136 - 145
Kalium darah 4.8 mmol/L 3.3 - 5.1
Calsium Ion 1.22 mmol/L 1.17 - 1.29

13
2. Radiologi – Lumbosakral AP dan Lat (24/06/23)

Alignment baik, curve melurus


Tampak bridging osteofit pada corpus vertebra lumbalis
Trabekulasi tulang di luar lesi normal
Tampak sklerosis pada end plate corpus VL 5
Tampak penyempitan spatium intervertebralis L4-5
Pedicle tampak baik
Tak tampak erosi/destruksi tulang
Tak tampak paravertebral soft tissue mass
Line of weight bearing jatuh pada bidang promontorium
Kesimpulan :
1. Tak tampak fraktur maupun dislokasi
2. Degenerative disease of the spine berupa:
- Spondyloarthrosis lumbalis
- Sklerosis pada end plate corpus VL 5
- Penyempitan spatium intervertebralis L4-5
- Paralumbal muscle spasm

14
3. Radiologi - Thorax AP (23/06/23)

Foto Toraks AP (inspirasi kurang, asimetris) :


Cor : Ukuran membesar dengan CTR 62%
Pulmo : Tampak perihilar haziness di kedua lapang pulmo
Sinus costophrenicus kanan kiri tajam
Hemidiaphragma kanan kiri normal
Trakhea di tengah
Sistema tulang baik
Kesimpulan : Cardiomegali disertai Edema pulmo

D. ASSESSMENT
1. Medical assessment
a. LBP ec spondiloarthosis lumbalis
b. Edema pulmo
2. ICF assessment
a. Health condition
Seorang Pria usia 71 tahun dengan low back pain et causa
spondiloarthrosis lumbalis dan edema pulmo
b. Body structure
s12002 Lumbosacral spinal cord

15
c. Body function
b729 Functions of the joints and bones, other specified and
unspecified
b7108 Mobility of joint functions, other specified
d. Activities and Participation
d230 Carrying Out Daily Routine
d410 Changing Basic Body Position
d469 Changing and Maintaining Body Position
d510 Washing Oneself
d540 Dressing
d999 Community, Social, Civic Life
d4200 Transferring oneself while sitting
d530 Toileting
e. Environmental factors
e398 Support and Relationship
e580 Health services, systems and policies
f. Personal factors
Pasien berjenis kelamin laki-laki usia 71 tahun, pernah bekerja
sebagai pekerja angkat batu. Pasien jarang berolahraga dan
pernah merokok dengan frekuensi 1 bungkus/2 hari dan telah
berhenti 1 tahun terakhir.Pasien tidak pernah konsumsi
alkohol.

E. DAFTAR MASALAH
1. Masalah medis
a. Nyeri punggung bawah
Problem rehabilitasi medik
b. Fisioterapi : Pasien merasakan nyeri punggung bawah
c. Terapi okupasi: tidak ada
d. Terapi wicara : tidak ada
e. Sosiomedik : tidak ada

16
f. Ortesa-protesa : tidak ada
g. Psikologi : tidak ada

F. PENATALAKSANAAN REHAB MEDIK


1. Edukasi
Edukasi terkait penyakit kepada pasien dan keluarga
2. Fisioterapi
- Back isometric exercise
- Stretching ischiadicus bilateral
- Mobilisasi bertahap
3. Terapi okupasi : belum ada
4. Terapi wicara : belum ada
5. Sosiomedik : belum ada
6. Ortesa-protesa : Lumbal korset
7. Psikologi : belum ada

G. IMPAIRMENT, DISABILITY DAN HANDICAP


1. Impairment : masalah pada fungsi dan struktur anatomi meliputi
degenerasi tulang belakang
2. Disability : Berdasarkan indeks Barthel, pasien tergolong
dalam kategori disabilitas berat
3. Handicap : Terdapat nyeri punggung dan kesulitan untuk
mobilisasi membuat pasien keterbatasan dalam bersosialisasi dengan
lingkungan.
4. j
H. PLANNING
1. Planning terapi
Fisioterapi :
- Back isometric exercise
- Stretching ischiadicus bilateral
- Mobilisasi bertahap

17
Terapi okupasi : tidak dilakukan
Terapi wicara : tidak dilakukan
Sosiomedik : edukasi keluarga mengenai penyakit yang diderita
pasien serta motivasi untuk membantu dan merawat pasien dan
selalu berusaha menjalankan program di RS dan home program
Ortesa-protesa : lumbal korset
Psikologi : tidak dilakukan
2. Planning edukasi
a. Penjelasan mengenai penyakit pasien
b. Penjelasan tujuan pemeriksaan dan tindakan yang dilakukan
3. Planning evaluasi
a. Evaluasi hasil terapi

I. TUJUAN
1. Tujuan jangka pendek
- Mencegah adanya luka baring (ulkus tekanan)
- Mengurangi nyeri punggung bawah pasien
2. Tujuan jangka panjang
- Membantu meningkatkan kualitas hidup dan independensi
pasien
- Membantu mengurangi komplikasi akibat imobilisasi

J. PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad malam

Ad functionam : dubia ad malam

Ad sanationam : dubia ad malam

18
TINJAUAN PUSTAKA

LOW BACK PAIN

A. DEFINISI

Low back Pain (LBP) adalah nyeri pada punggung bawah yang bersumber
dari tulang belakang yaitu pada daerah spinal (punggung bawah), otot, saraf, atau
struktur lainnnya di sekitar daerah tersebut. Nyeri yang dirasakan pada punggung
bawah, biasanya disertai dengan penjalaran dari arah kaki dan tungkai.

Berdasarkan perjalanan klinisnya, LBP dibagi menjadi 2 kategori, yaitu:

a. LBP akut

Keluhan pada fase akut awal terjadi <2minggu dan pada fase akut akhir
terjadi antara 2-6 minggu, rasa nyeri yang menyerang secara tiba-tiba
namun dapat hilang sesaat kemudian. Acute low back pain dapat
disebabkan karena luka traumatic seperti kecelakaan mobil atau terjatuh,
rasa nyeri dapat hilang sesaat kemudian. Kejadian tersebut selain dapat
merusak jaringan, juga dapat melukai otot, ligamen dan tendon. Pada
kecelakaan yang lebih serius, fraktur tulang pada daerah lumbaldan spinal
dapat masih sembuh sendiri. Sampai saat ini penatalaksanan awal nyeri
punggung akut terfokus pada istirahat dan pemakaian analgesik.

b. LBP kronik

Keluhan pada fase kronik terjadi >12minggu atau rasa nyeri yang berulang.
Chronic low back pain dapat terjadi karena osteoarthritis,
rheumatoidarthritis, proses degenerasi discus intervertebralis dan tumor.
Disamping hal tersebut diatasterdapat juga klasifikasi patologi yang klasik
yang juga dapat dikaitkan dengan LBP. Klasifikasi tersebut adalah trauma,
infeksi, neoplasma, degenerasi, dan kongenital

B. EPIDEMIOLOGI
Hampir lebih dari 70% Warga Negara berkembang mengalami LBP. Setiap

19
tahun 15-45% orang dewasa di perkirakan mengalami LBP. Di Indonesia
Prevalensi penyakit musculoskeletal oleh tenaga kesehatan adalah 11,9% dan
diagnosis berdasarkan gejala yaitu 24,7%, di provinsi Lampung penyakit
musculoskeletal mencapai angka prevalensi berdasarkan diagnosis dan gejala
adalah 18,9%. Penyakit musculoskeletal mencapai prevalensi tertinggi
berdasarkan pekerjaan adalah nelayan, Petani atau buruh adalah 31,2%
(Riskesdas,2013). Pada setiap tahun terdapat 3-4% dari jumlah populasi yang tidak
dapat melakukan aktivitas sementara waktu dan 1% populasi pada usia produktif
tidak dapat melakukan aktivitas secara permanen penyebabnya adalah LBP (Shah
et al, 2010). Seiring bertambahnya usia maka jumlah LBP semakin meningkat.
LBP Lebih sering terjadi pada perempuan dan juga pada orang yang sudah berusia
40-80 tahun (Hoy et al, 2012).
Di Indonesia data epidemiologi mengenai LBP belum ada, Namun
diperkirakan ada 40% penduduk di Jawa Tengah yang berusia diatas 65 tahun
pernah mengalami nyeri punggung, terdapat prevalensi nyeri punnggung yang
dialami ooleh Laki-laki yaitu 18,2% dan perempuan 13,6%. Kejadian ini sesuai
dengan kunjungan pasien ke beberapa rumah sakit di Indonesia yang berkisar 3-
17%

C. ANATOMI
Tulang belakang manusia adalah pilar atau tiang yang berfungsi sebagai
penyangga tubuh. Tulang belakang terdiri dari 33 ruas tulang belakang tersusun
secara segmental. Terdiri dari: 7 ruas Vertebrae cervicales, 12 ruas Vertebrae
thoracalis, 5 ruas Vertebrae lumbales, 5 ruas Vertebrae sacrales yang menyatu,
dan 4 ruas Vertebrae coccygeus.

20
Setiap ruas tulang belakang terdiri dari korpus di depan, dan arkus neuralis di
belakang yang padanya terdapat sepasang pedikel di kanan dan kiri. Sepasang
lamina, dua sendi, satu processus spinosus, serta dua processus transversus. Setiap
ruas tulang belakang dihubungkan dengan jaringan tulang rawan yang disebut
dengan diskus intervertebralis
Diskus intervertebralis berfungsi sebagai absorber, membatasi, dan
menstabilkan pergerakan badan vertebra. Setiap diskus terdiri dari lapisanlapisan
kartilago yang konsentrik yang menutupi kavitas sentral yang mengandung solusi
protein mineral. Diskusintervertebralis memiliki sifat viscoelastik, yaitu bila ada
pembebanan, diskus akan berubah bentuk dan bila pembenanan dihilangkan,
diskus akan kembali ke posisi semula. Bila terjadi traksi, cairan masuk ke dalam
diskus dan ruang diskus maka ruang diskus akanmelebar. Menginjak usia 30 tahun,
diskus intervertebralis mengalami degenerasi yang menimbulkan robekan dan
jaringan parut, cairan berkurang, ruang diskus mendangkal secara permanen dan
segmen spinal kehilangan stabilitasnya. Hal ini menyebabkan berkurangnya
cairan nukleus yang menurunkan kemampuan menahan tekanan bila terjadi
pergerakan kompresif, tidak mengherankan bila LBP biasanya terjadi pada usia
produktif
Tekanan terbesar di tulang belakang terutama di area lumbal atau punggung
bawah, yang harus menahan beban 40- 50% berat badan dan harus menanggung
posisi janggal serta pergerakan tubuh. Saat berdiri tegak, 80% berat badan
ditanggung oleh diskus intervertebralis dan 20% ditanggung faset gabungan.
Diskus intervertebralis dibentuk untuk menahan tekanan.

21
D. ETIOLOGI
Penyebab LBP dapat dibagi menjadi 2
a. Diskogenik (sindrom spinal radikuler)
Sindrom radikuler biasanya disebabkan oleh suatu hernia nucleus puloposus
yangmerusak saraf-saraf disekitar radiks. Diskus hernia ini bisa dalam bentuk
suatu protusio atau prolaps dari nucleus pulposus dan keduanya dapat
menyebabkan kompresi pada radiks. Lokasinya paling sering di daerah
lumbal atau servical danjarang sekali pada daerah toracal. Nucleus terdiri dari
mega molekul proteoglikanyang dapat menyerap air sampai sekitar 250%
dari beratnya. Nutrisi dari anulus fibrosis bagian dalam tergantung dari difusi
air dan molekul-molekul kecil yang melintasi tepian vertebra. Hanya bagian
luar dari anulus yang menerima suplai darah dari ruang epidural. Pada trauma
yang berulang menyebabkan robekan serat-serat anulus baik secara
melingkar maupun radial. Beberapa robekan anular dapat pemisahan
lempengan, yang menyebabkan berkurangnya nutrisi dan hidrasi nukleus.
Perpaduan robekan secara melingkar dan radial menyebbakan massa nukleus
berpindah keluar dari anulus lingkaran ke ruang epidural dan menyebabkan
iritasi ataupun kompresi akar saraf.
b. Non diskogenik
Biasanya penyebab LBP non diskogenik adalah iritasi pada serabut
sensoriksaraf perifer, yang membentuk n. Iskiadikus dan bisa disebabkan
neoplasma, infeksi, proses toksik atau imunologis, yang mengiritasi n.
Iskiadikus dalam perjalanannya dari pleksus lumbosakralis, daerah pelvic,
sendi sacroiliaca, sendi pelvis sampai sepanjang jalannya n. Isciadikus
(neuritis n iskiadikus).

D. PATOFISIOLOGI
Tulang belakang dibagi ke dalam bagian anterior dan bagian posterior.
Bentuknya terdiri dari serangkaian badan silindris vertebra, yang terartikulasi oleh
diskus intervertebral dan diikat bersamaan oleh ligamen longitudinal anterior dan
posterior. Struktur yang peka terhadap nyeri adalah periosteum, 1/3 bangunan luar

22
anulus fibrosus, ligamentum, kapsula artikularis, fasia dan otot. Semua struktur
tersebut mengandung nosiseptor yang peka terhadap berbagai stimulus
(mekanikal, termal, kimiawi).
Pada kondisi nyeri punggung bawah pada umumnya otot ekstensor lumbal
lebihlemah dibanding otot fleksor, sehingga tidak kuat mengangkat beban. Otot
sendiri sebenarnya tidak jelas sebagai sumber nyeri, tetapi muscle spindles jelas
diinervasi sistem saraf simpatis. Dengan hiperaktifitas kronik, muscle spindles
mengalami spasmesehingga mengalami nyeri tekan. Perlengketan otot yang tidak
sempurna akan melepaskan pancaran rangsangan saraf berbahaya yang
mengakibatkan nyeri sehinggamenghambat aktivitas otot
E. Diagnosis
a. Anamnesis
Anamnesis berupa tanya jawab mengenai penyakit yang diderita. Pertanyaan
tersebut meliputi letak atau lokasi nyeri, penyebaran nyeri, sifat nyeri,
pengaruh aktivitas terhadap nyeri, pengaruh posisi atau anggota tubuh,
trauma, proses terjadinya dan perkembangan nyeri, obat-obat analgetik yang
pernah diminum, kondisi mental emosional.
b. Pemeriksaan fisik
● Inspeksi
Observasi penderita saat berdiri, duduk, berbaring atau bangun dari
berbaring.Observasi punggung, pelvis dan tungkai selama
bergerak.Observasi kurvatura yang berlebihan, pendataran arkus
lumbal, adanya angulasi, pelvis yang miring atau asimetris dan postur
tungkai yangabnormal.
● Palpasi
Palpasi biasanya dilakukan secara halus dan diraba lebih dulu di
daerah yang nyerinya terasa lebih ringan. Apakah ada nyeri tekan
pada tulang belakang atau spasme pada otot erector spine
● Laseque test (straigt leg raising test)
Tes biasanya dilakukan bertujuan untuk meregangkan saraf sciatic di
L4- L5 atau L5-S1. Tes ini biasanya dilakukan dengan cara pasif,

23
pasien tidur terlentang dengan tungkai lurus, hip medial rotasi dan
adduksi, lutut ekstensi, lalu terapis mulai memfleksikan tungkai
antara 35°-70° sampai pasien mengeluhkan nyeri atau kaku pada
bagian posterior paha. Hasil positif yang terjadi jika timbul nyeri pada
sepanjang perjalanan saraf ischiadikus, namun jika low back pain
miogenik akan ditemui hasil negative dikarenakan tidak ada
keterlibatan radik vertebrae
● Tes Valsava
Tes ini mempengaruhi naiknya tekanan intratekal sehingga tmenjadi
nyeriradikuler. Terapis meminta pasien untuk mengejan dan menahan
napas lalu akan dinilai apakah terdapat nyeri atau tidak
● Patrick test (lesi coxae) Dan contra Patrick test (lesi sakroiliaca)
Tes ini dilakukan dengan cara menggerakan pasien kearah flexi-
abduksi- ekstensi sendi panggul. Hasil akan positif apabila terjadi
gerakan diluar kamauan pasien, dan sering disertai dengan rasa nyeri.
Positif jika penyakit, negatif pada ischialgia.
● Bragard Test
Cara untuk melakukan tes ini sama dengan tes laseque hanya saja
pada saat mengangkat tungkai disertai dengan dosri fleksi kaki dan
hasilnya sama hal dengan laseque, namun apabila pada low back pain
myogenic maka akan ditemui hasil negatif dikarenakan tidak ada
keterlibatan radik vertebrae
● Tes Nyeri
Gerakan sama pada tes SLR tetapi di tambahi dengan gerakan fleksi
kepalasecara aktif dan biasanya akan dilakukan pada 40-60 derajat.
Hasil akan positif jika nyeri dirasakan sepanjang distribusi n.
Ischiadicus. Pemeriksaan yang telah dilakukan pada kedua tungkai
memperoleh hasil negatif
c. Pemeriksaan penunjang
● Foto Rontgen
Untuk melihat fracture korpus vertebra, prosesus spinosus,

24
spondilolistesis, bamboo spine, destruksi vertebra, osteofit, scoliosis,
hiperlordosis dan spondilosis.
● MRI
MRI digunakan untuk melihat defek intra dan ekstra dural serta
melihat jaringan lunak. Pada pemeriksaan dengan MRI bertujuan
untuk melihat vertebra dan level neurologis yang belum jelas,
kecurigaan kelainan patologis pada medula spinalis atau jaringan
lunak, menentukan kemungkinan herniasi diskus pada kasus post
operasi, kecurigaan karena infeksi atau neoplasma
● CT Mielografi
CT- mielografi merupakan alat diagnostik yang sangat berharga
untuk diagnosis LBP untuk menentukan lokalisasi lesi pre-operatif
dan menentukan adanya sekuester diskus yang lepas dan
mengeksklusi suatu tumor
● ENMG/EMG
Untuk mengetahui radiks mana yang terkena dan apakah terdapat
polineuropati.
● Lumbal Pungsi
Dengan Pungsi Lumbal maka dapat diketahui warna LCS, adanya
sumbatan aliran, jumlah sel, kadar protein, NaCl dan glukosa.

F. Tatalaksana
1. Farmakologis
a. Asetaminofen
Penggunaan asetaminofen dengan dosis penuh (2 sampai 4g per hari)
sebagai terapi lini pertama didukung oleh bukti-bukti yang kuat dan
beberapa pedoman terapi (rekomendasi A). Harus diketahui bahwa
pada pasien dengan riwayat alkoholisme, sedang puasa, memiliki
penyakit liver, mengonsumsi obat tertentu (terutama antikonvulsan)
atau orang tua yang lemah, toksisitas hati dapat terjadi pada dosis
yang direkomendasikan. Selanjutnya, toksisitas asetaminofen

25
meningkat secara substansial jika dikonsumsi bersamaan dengan
dengan inhibitor siklooksigenase-2 spesifik (COX2) atau obat-obat
anti-inflamasi (NSAID).
b. Obat Anti Inflamasi (NSAID)
Hampir pada sebagian besar pengobatan direkomendasikan NSAID.
Mempertimbangkan manfaat dibandingkan efek samping, American
Geriatrics Society merekomendasikan COX-2 inhibitor sebagai terapi
lini pertama dibandingkan NSAID non spesifik. Salisilat non-asetil
(kolin magnesium trisalicylate, salsalat) terbukti efektif dan memiliki
lebih sedikit efek samping gastrointestinal dibandingkan NSAID non
spesifik dengan biaya lebih rendah daripada lebih agen selektif. Jika
NSAID non spesifik yang dipilih, sitoproteksi lambung harus
dipertimbangkan berdasarkan profil risiko pasien. NSAID harus
dipertimbangkan ketika peradangan diyakini memainkan peran
penting dalam proses produksi nyeri.
c. Steroid
Injeksi steroid epidural adalah prosedur yang biasa dilakukan untuk
nyeri leher radikuler dan nyeri punggung bawah. Penggunaan steroid
untuk nyeri radikuler harus jelas namun untuk injeksi steroid epidural
kurang direkomendasikan sedangkan penggunaan steroid tidak
dianjurkan untuk mengobati LBP kronis.

2. Non farmakologis
a. Pasien dianjurkan berolahraga kemudian dievaluasi lebih lanjut jika
pasien tidak mampu melakukan aktivitas sehari- hari dalam 4- 6
minggu.
b. Pada beberapa kasus dapat dilakukan tirah baring 2- 3 hari pertama
untuk mengurangi nyeri.

c. Dipertimbangkan pemberian obat penghilang rasa nyeri apabila pasien


belum mampu melakukan aktivitas dalam 1-2 minggu.

e. Penggunaan Alat Bantu seperti korset punggung atau tongkat jalan

26
f. Pemberian terapi dengan modalitas
● Infrared (IR)

Infrared merupakan salah satu modalitas terapi panas yang


termasuk kedalam kategori pemanasan superfisial tipe radiasi.
Indikasi pemberian infrared antara lain mengurangi nyeri,
relaksasi otot, dan memperbaiki sirkulasi darah.
Infrared memanfaatkan efek panas daru radiasi sinar
infrared. Sinar Infrared yang digunakan dalam terapi medis
yaitu jenis infrared dengan panjang gelombang 770-1500 nm
(near-infrared) dan 1500-12.500 nm (far-infrared). Pemberian
infrared harus efektif, yaitu pemberian dosis selama 15-20
menit dengan jarak antara alat ke permukaan kulit 60-75 cm
(lampu 750-1000 W), 45-50 cm (lampu yg lebih kecil). Infrared
dapat memberikan efek temporal summation, sapital
summation adalah beberapa impuls yang diberikan oleh
beberapa neuron dalam waktu yang sama (Tandiyo, 2023).
● Modalitas Micro Wave Diathermy (MWD)
Microwave diathermy adalah suatu modalitas fisioterapi
yang dapat yang menghasilkan gelombang elektromagnetik
yang dihasilkan oleh arus listrik bolak-balik frekuensi 2450
MHz dengan panjang gelombang 12,25 km. MWD
diindikasikan pada fraktur, sendi dan otot misalnya rhematoid
artritis, post traumatik, low back pain; dan kelainan pada
syaraf perifer seperti neuropati dan neuralgia.
● Short Wave Diathermy (SWD)
Short Wave Diathermy adalah salah satu jenis modalitas
terapi panas (deep heat therapy) yang digunakan secara klinis
sebagai aplikasi terapeutik yang menggunakan aliran frekuensi
tinggi gelombang elektromagnetik dengan frekuensi 13,66
MHz, 27,33MHz dan 40,98 MHz dengan panjang gelombang 11
m. Durasi pemberian terapi SWD adalah 20-30 menit.

27
SWD diberikan pada kondisi muskuloskeletal (tendinitis,
tenosinovitis, bursitis, kapsulitis), nyeri, arthritis, kontraktur,
relaksasi otot, dan inflamasi kronik. Sedangkan kontraindikasi
pemberian SWD antara lain penggunaan metal, lensa kontak
mata, kehamilan, dan imaturitas skeletal. SWD tidak
direkomendasikan pada kondisi inflamasi akut, gangguan
perdarahan, dan kondisi keganasan.
Respon fisiologis dari SWD berupa efek termal dan efek
nontermal. Efek termal merupakan efek fisiologis utama yang
dihasilkan dari vibrasi molekul frekuensi tinggi sehingga
menghasilkan efek hemodinamik seperti vasodilatasi yang dapat
mengakibatkan peningkatan pemasukan nutrisi, lekosit, dan
antibodi; peningkatan pengeluaran hasil metabolisme dan debris
jaringan; dan dapat mempercepat penyembuhan inflamasi. Efek
perubahan suhu mempengaruhi kecepatan hantar saraf, dimana
pemanasan menghasilkan peningkatan kecepatan hantar, dan
pendinginan menghasilkan penurunan kecepatan hantar.
Abramson et al. melaporkan peningkatan kecepatan hantar
sampai 7,5 m/detik setelah pemberian SWD pada suhu 44° C
sampai 45° C (111,2° F sampai 113° F), dimana pendinginan
menghasilkan pengurangan kecepatan hantar sampai 35,8
m/detik.
Efek Non Termal dihasilkan oleh SWD pulsed dalam
penanganan trauma jaringan lunak. Mekanisme dilaporkan
terjadi pada level seluler, khususnya pada potensial membran
sel. Sel-sel yang rusak yang terdepolarisasi menghasilkan
disfungsi sel, meliputi hilangnya proliferasi dan divisi sel serta
hilangnya kemampuan regenerasi. SWD pulsed menghasilkan
repolarisasi sel-sel yang rusak, sehingga memperbaiki disfungsi
sel. Diperkirakan bahwa sodium terakumulasi dalam sel yang
berhubungan dengan menurunnya aktivitas pompa sodium

28
selama proses inflamasi, menghasilkan area yang beraliran
negatif. Jika medan magnet terinduksi, pompa sodium
reaktivasi, sehingga membuat sel dalam keseimbangan ion
normal (Tandiyo, 2023).

● Ultrasound (US)
Ultrasound (US) adalah terapi modalitas dengan
menggunakan gelombang suara dengan frekuensi 1 atau 3 MHz,
sehingga menimbulkan efek getaran gelombang suara yang
kemudian memberikan efek terapeutik. Batas frekuensi suara
yang dapat didengar manusia adalah kurang dari 20.000 Hz.
Teknik terapi menggunakan ultrasound untuk
meningkatkan distribusi obat-obatan ke dalam jaringan, seperti
Hidrokortison, Kortisol, Salisilat, Dexametason, dan Lidokain.
Efek fisiologis yang dihasilkan oleh ultrasound berupa efek
termal yaitu meningkatkan ekstensibilitas serabut kolagen pada
tendon dan kapsul sendi, mengurangi kekakuan sendi, spasme
otos, nyeri, meningkatkan aliran darah, dan resolusi inflamasi
kronik. Sedangkan efek non termal yang dihasilkan berupa
kavitasi, yaitu produksi gelembung gas dalam medan suara yang
berkaitan dengan turbulensi. Ultrasound diaplikasikan pada
pasien dengan spasme neuromuskuler, jaringan skar,
manajemen nyeri, dan kontraktur. Modalitas ini memiliki
kontraindikasi yaitu keganasan dan jaringan pre-cancer,
kehamilan, jaringan testikuler, infeksi akut, jaringan yang rentan
perdarahan dan iskemik berat, trombosis vena, area sekitar mata,
epifisis yang sedang tumbuh dan jaringan saraf yang terpapar
(seperti spina bifida dan post laminektomi) (Tandiyo, 2023).

● Transcutaneus Elecrical Nerve Stimulation (TENS)


TENS adalah suatu cara penggunaan energi listrik untuk

29
merangsang saraf melalui permukaan kulit. Dengan melalui
mekanisme segmental pengurangan nyeri dengan cara
mengaktifkan serabut afferent yang berdiameter besar
selanjutnya akan menginhibisi neuron nosiseptif di kornu
posterior medulla spinalis yang mengacu pada teori gerbang
control. Dari asupan implus serabut berdiameter besar akan
menutup gerbang dan menghambat transmisiimpuls nyeri
sehingga nyeri dirasakan berkurang. Mekanisme TENS dalam
mengurangi nyer antara lain :

1. Gate control theory yang dikemukakan oleh Melzack &


Wall, misalnya dengan merangsang serabut A besar mengatur
transmisi input nyeri dari serabut A-delta diameter kecil dan
serabut C pada kornu dorsalis.

2. Central biasing theory atau central control trigger theory.


Merupakan modifikasi gate control theory dimana serabut
besar mengaktifkan mekanisme inhibisi sentral yang menurun-
kan mengatur transmisi nyeri syaraf dalam kornu dorsalis. 3.
Endogenous opiate pain control theory, misalnya B-endorfin.

TENS mempunyai tiga parameter stimulasi : pulse rate,


pulse duration, dan amplitude (atau intensitas). Pulse rate dan
pulse duration dapat diatur, namun intensitas disesuaikan. Tens
diaplikasikan pada pasien dengan nyeri muskuloskeletal, nyeri
pre dan paska operasi, nyeri pada saat fraktur dan masa
penyembuhan, nyeri pada bidang obstetrik, dan nyeri pada
sendi temporomandibular. TENS dikontraindikasikan pasien
dengan pacemaker dan menempatkan elektroda pada area sinus
karotis (anterolateral leher) (Tandiyo, 2023).

● William flexion exercise


William Flexion Excercise merupakan terapi latihan atau
latihan fisik yang digunakan untuk mempertahankan dan

30
mengembalikan kesehatan fisik serta untuk menjaga sendi dan
otot agar tetap bergerak. William Flexion Exercise dapat
mengurangi nyeri pinggang bawah Pada pemberian latihan
william flexion terapis harus memberikan edukasi yang benar,
sehingga pemberian latihan william flexion dapat efektif dan
dosis yang diberikan kepada pasien harus sesuai prosedur
supaya mendapatkan pengaruh yang signifikan pada pasien.
Pemberian dosis latihan william flexion yaitu 8 kali
pengulangan dalam setiap per-step latihan.

31
DAFTAR PUSTAKA

Allegri, M. et al. (2016) Mechanisms of low back pain: A guide for diagnosis and
therapy, F1000Research. U.S. National Library of Medicine. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4926733/
Becker BA, Childress MA. Nonspecific Low Back Pain and Return To Work. Am
Fam Physician. 2019 Dec 1;100(11):697-703. PMID: 31790184.
Bickley, Linn. S. 2008. Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan Bates. Jakarta :
ECG. Hal : 275-285
Casiano VE, Sarwan G, Dydyk AM, et al. Back Pain. 2022. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538173/
Chiodo AE, Bhat SN, Van Harrison R, et al. 2020. Low Back Pain [Internet]. Ann
Arbor (MI): Michigan Medicine University of Michigan. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK572334/
Delitto, A., George, S. Z., Van Dillen, L., Whitman, J. M., Sowa, G., Shekelle, P.,
... Godges, J. J. (2012). Low Back Pain. Journal of Orthopaedic & Sports
Physical Therapy, 42(4), A1–A57. doi:10.2519/jospt.2012.42.4.a1
Garisson, J. Susan. 2001. Dasar-Dasar Terapi dan Rehabilitasi Fisik. Jakarta :
Hipokrates. pp : 72.
Husky, M.M. et al. (2018) Chronic back pain and its association with quality of life
in a large French population survey, Health and quality of life outcomes. U.S.
National Library of Medicine. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6158815/
Koes, B.W., van Tulder, M.W. and Thomas, S. (2006) Diagnosis and treatment of
low back pain, BMJ (Clinical research ed.). U.S. National Library of
Medicine. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1479671/
Parreira, P., Maher, C. G., Steffens, D., Hancock, M. J., & Ferreira, M. L. (2018).
Risk factors for low back pain and sciatica: an umbrella review. The Spine
Journal.doi:10.1016/j.spinee.2018.05.018
Sidartawan S., dkk. 2008. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta : Departeman Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal : 168- 171.
Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata K.M., & Setiati S. (eds), 2007.
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen FK
UI.Hal: 599-604.
Tandiyo, DK. (2023). Terapi Modalitas. Surakarta: UNS Press

32

Anda mungkin juga menyukai