Anda di halaman 1dari 36

PRESENTASI KASUS

SEORANG PEREMPUAN USIA 49 TAHUN DENGAN ISCHIALGIA EC


SINDROM PIRIFORMIS SINISTRA

DISUSUN OLEH:
ENDAH AUGINA BUDIARTI G99172068

PEMBIMBING:
dr. Ninik Dwiastuti, Sp. KFR

KEPANITERAAN KLINIK / PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI MEDIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2018
BAB I
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. W
Umur : 49 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Gempolan, Jebres, Jawa Tengah
Status Perkawinan : Menikah
Tanggal Masuk : 25 April 2018
Tanggal Periksa : 29 April 2018
No. RM : 01294xxx
B. Keluhan Utama
Nyeri di pantat kiri menjalar hingga ke kaki kiri bagian belakang
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Dr.
Moewardi dengan keluhan nyeri di pantat kiri menjalar hingga ke kaki kiri
bagian belakang, terasa tegang sejak 3 hari SMRS. Keluhan ini terjadi tiba-
tiba dan dirasakan pertama kali setelah pasien bangun tidur. Nyeri memberat
ketika beraktifitas dan terasa lebih ringan ketika duduk atau beristirahat.
Pasien juga mengeluhkan perut terasa penuh dan mual. Keluhan muntah,
nyeri kepala, kejang, pandangan dobel, pandangan berkurang, kesemutan,
tersedak saat makan dan minum, serta penurunan kesadaran disangkal.
Riwayat trauma disangkal. BAB dan BAK dalam batas normal.
Pasien mempunyai riwayat diabetes mellitus tipe II, hipertensi, dan
pernah tidak sadarkan diri dan dirawat di RSUD Dr. Moewardi 3 tahun yang
lalu. Pasien diperbolehkan pulang setelah dinyatakan sehat dengan kontrol
rutin setiap bulan.

1
D. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat keluhan serupa : disangkal
2. Riwayat hipertensi : (+) sejak tahun 2015, terkontrol
3. Riwayat diabetes melitus : (+) sejak tahun 2015, terkontrol
4. Riwayat sakit jantung : disangkal
5. Riwayat sakit ginjal : disangkal
6. Riwayat alergi : disangkal
7. Riwayat sesak napas : disangkal
8. Riwayat stroke : disangkal
E. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Riwayat sakit serupa : disangkal
2. Riwayat hipertensi : ibu kandung pasien
3. Riwayat diabetes melitus : ibu kandung pasien
4. Riwayat sakit jantung : disangkal
5. Riwayat sakit ginjal : disangkal
6. Riwayat sakit paru : disangkal
7. Riwayat stroke : ibu kandung pasien
F. Riwayat Kebiasaan dan Gizi
1. Riwayat makan : Pasien makan 3x sehari dengan
sepiring nasi dan lauk pauk, sayur,
buah, dan susu
2. Riwayat merokok : disangkal
3. Riwayat mengonsumsi alkohol : disangkal
4. Riwayat olahraga : jarang
G. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga, tinggal bersama suami, 2 orang
anak, 1 menantu, dan 1 cucu. Pasien berobat dengan fasilitas BPJS.

II. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Generalis

2
Keadaan umum kesan umum tampak sakit ringan, composmentis GCS
E4V5M6, gizi kesan normoweight
B. Tanda Vital
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 84x/menit, isi cukup, irama teratur
Respirasi : 22x/menit, irama teratur, tipe thoracoabdominal
Suhu : 36,5°C per aksiler
Berat badan : 58 kg
Tinggi badan : 155 cm
IMT : 24,14 kg/m2 kesan normoweight
C. Kulit
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), venektasi (-), spider
naevi (-), striae (-), hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-)
D. Kepala
Bentuk mesocephal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut hitam,
tidak mudah rontok, tidak mudah dicabut, atrofi otot (-)
E. Mata
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-
), strabismus (-/-), pterigium (-/-), erosi kornea (-/-)
F. Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)
G. Telinga
Normotia, deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)
H. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), oral drooling (-), lidah kotor (-), lidah tremor (-
), stomatitis (-), mukosa pucat (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-),
simetris
I. Leher
Simetris, trakea di tengah, JVP tidak meningkat, limfonodi tidak membesar,
nyeri tekan (-), benjolan (-)
J. Thorax

3
a. Retraksi (-), simetris
b. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC VI 1 cm ke arah lateral linea
midclavicularis sinistra
Perkusi : Kanan atas : SIC II linea parasternalis dextra
Kiri bawah : SIC VI 1 cm ke arah lateral linea
midclavicularis sinistra
Kanan bawah : SIC V linea parasternalis dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler, bising (-)
c. Paru
Inspeksi : Pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara vesikuler (+/+), RBK (-/-), RBH (-/-)
K. Trunk
Inspeksi : simetris, shoulder tilt (-), deformitas (-), skoliosis (-)
edema (-), inflamasi (-), wasting muscle (-)
Palpasi : suhu normal, nyeri gerak (-), nyeri tekan (-), deformitas (-)
Perkusi : nyeri ketok kostovertebra (-)
L. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : peristaltik (+) normal 15 x/menit
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba

M. Ekstremitas
Oedem Akral dingin

4
- - - -

- - - -

N. Status Neurologis
a. Kesadaran : GCS E4V5M6
b. Fungsi luhur : baik
c. Fungsi sensorik : baik
d. Nervi craniales :
1) N. I : dalam batas normal
2) N. II, III : lapang pandang dalam batas normal, visus 6/6 / 6/6
reflek cahaya (+/+), pupil isokor (3mm/3mm)
3) N. III, IV, VI : gerak bola mata dalam batas normal
4) N. V : reflek kornea (+/+), otot pengunyah dalam batas
normal, sensorik tidak terdapat hemistesi
5) N. VII : normal
6) N. VIII : pendengaran dalam batas normal, keseimbangan
dalam batas normal
7) N. IX, X : reflek menelan baik
8) N. XI : dalam batas normal
9) N. XII : normal
e. Kekuatan motorik :
555 / 555 Spastisitas (Modified Ashworth Scale):
555 / 555 Superior : 0 / 0
Inferior : 0 / 0
Spastisitas (Ashworth Scale)
Superior : 0 / 0
Inferior : 0 / 0

f. Reflek Fisiologis
Dextra Sinistra

5
Biceps +2 +2
Triceps +2 +2
Patella +2 +2
Achilles +2 +2

g. Reflek Patologis
Dextra Sinistra
Hoffmann-Tromner - -
Babinsky - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Gonda - -
Stransky - -
Rosolimo - -
Mendel-Beckhterew - -

h. Klonus
Klonus Paha : -/-
Klonus Kaki : -/-

i. Tanda Meningeal
Kaku kuduk (-)
Kernig (-)
Brudzinski I (-)
Brudzinski II (-)
Brudzinki III (-)
Brudzinki IV (-)
j. Tes Provokasi Nyeri
Laseque (-)/(+)

6
Patrick (+)/(+)
Contra Patrick (+)/(+)

O. Status Psikiatri
Deskripsi Umum
1. Penampilan : perempuan tampak sesuai umur, berpakaian rapi,
perawatan diri baik
2. Kesadaran : Kuantitatif : GCS E4V5M6 / composmentis
Kualitatif : tidak berubah
3. Perilaku dan aktivitas motorik : baik
4. Pembicaraan : baik, realistik
5. Sikap terhadap pemeriksa : kooperatif
Afek dan mood : eutimik
Gangguan Persepsi
 Halusinasi : tidak ada
 Ilusi : tidak ada
Proses Pikir
 Bentuk : realistik
 Isi : waham tidak ada
 Arus : koheren
Sensorium dan Kognitif
 Daya konsentrasi : baik
 Orientasi : baik
 Daya ingat : Jangka pendek : baik
Jangka panjang : baik
Daya Nilai : daya nilai realitas dan sosial baik
Insight : tilikan derajat 6
Taraf dapat dipercaya : dapat dipercaya
P. Fungsi Motorik Range of Motion (ROM) dan Manual Muscle Test (MMT)
NECK ROM MMT

7
Aktif Pasif
Fleksi 0 – 70° 0 – 70° 5
Ekstensi 0 – 40° 0 – 40° 5
Lateral bending kanan 0 – 60° 0 – 60° 5
Lateral bending kiri 0 – 60° 0 – 60° 5
Rotasi kanan 0 – 60° 0 – 60° 5
Rotasi kiri 0 – 60° 0 – 60° 5

ROM Pasif ROM Aktif MMT


Ekstremitas Superior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Fleksi 0 – 180° 0 – 180° 0 – 160° 0 – 160° 5 5
Ekstensi 0 – 60° 0 – 60° 0 – 60° 0 – 60° 5 5
Abduksi 0 – 180° 0 – 180° 0 – 180° 0 – 180° 5 5
Shoulder
Adduksi 0 – 60° 0 – 60° 0 – 60° 0 – 60° 5 5
Eksternal Rotasi 0 – 90° 0 – 90° 0 – 90° 0 – 90° 5 5
Internal Rotasi 0 – 70° 0 – 70° 0 – 70° 0 – 70° 5 5
Fleksi 0 – 150° 0 – 150° 0 – 150° 0 – 150° 5 5
Ekstensi 0° 0° 0° 0° 5 5
Elbow
Pronasi 0 – 90° 0 – 90° 0 – 80° 0 – 80° 5 5
Supinasi 0 – 90° 0 – 90° 0 – 80° 0 – 80° 5 5
Fleksi 0 – 90° 0 – 90° 0 – 90° 0 – 90° 5 5
Ekstensi 0 – 70° 0 – 70° 0 – 70° 0 – 70° 5 5
Wrist
Ulnar Deviasi 0 – 30° 0 – 30° 0 – 30° 0 – 30° 5 5
Radius Deviasi 0 – 20° 0 – 20° 0 – 20° 0 – 20° 5 5
MCP I Fleksi 0 – 50° 0 – 50° 0 – 50° 0 – 50° 5 5
MCP II-IV Fleksi 0 – 90° 0 – 90° 0 – 90° 0 – 90° 5 5
Finger DIP II-V Fleksi 0 – 90° 0 – 90° 0 – 90° 0 – 90° 5 5
PIP II-V Fleksi 0 – 90° 0 – 90° 0 – 90° 0 – 90° 5 5
MCP I Ekstensi 0 – 30° 0 – 30° 0 – 30° 0 – 30° 5 5
Fleksi 0 – 70° 0 – 70° 5 5
Ekstensi 0 – 10° 0 – 10° 5 5
Trunk
Right Lateral
0 – 35° 0 – 35° 5 5
Bending

8
Left Lateral
0 – 35° 0 – 35° 5 5
Bending

ROM Pasif ROM Aktif MMT


Ekstremitas Inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Fleksi 0 – 120° 0 – 120° 0 – 120° 0 – 120° 5 5
Ekstensi 0 – 30° 0 – 30° 0 – 30° 0 – 30° 5 5
Abduksi 0 – 45° 0 – 45° 0 – 45° 0 – 45° 5 5
Hip
Adduksi 0 – 30° 0 – 30° 0 – 30° 0 – 30° 5 5
Eksorotasi 0 – 45° 0 – 45° 0 – 45° 0 – 45° 5 5
Endorotasi 0 – 35° 0 – 35° 0 – 35° 0 – 35° 5 5
Fleksi 0 – 135° 0 – 135° 0 – 135° 0 – 135° 5 5
Knee
Ekstensi 0° 0° 0° 0° 5 5
Dorsofleksi 0 – 20° 0 – 20° 0 – 20° 0 – 20° 5 5
Plantarfleksi 0 – 40° 0 – 40° 0 – 40° 0 – 40° 5 5
Ankle
Eversi 0 – 20° 0 – 20° 0 – 20° 0 – 20° 5 5
Inversi 0 – 30° 0 – 30° 0 – 30° 0 – 30° 5 5

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Laboratorium Darah (25 April 2018)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 12.1 g/dl 12.0-15.6
Hematokrit 35 % 33-45
Leukosit 10.3 103 /  L 4.5-11.0
Trombosit 317 103 /  L 150-450
Eritrosit 3.94 106 /  L 4.10-5.10
KIMIA KLINIK
GDS 92 mg/dL 60-140
Creatinine 0.8 mg/dL 0.6-1.1
Ureum 38 mg/dL <50
ELEKTROLIT

9
Natrium Darah 137 mmol/ L 136-145
Kalium Darah 3.5 mmol/ L 3.3-5.1
Kalsium Ion 1.24 mmol/ L 1.17-1.29
SEROLOGI HEPATITIS
HbsAg Rapid Nonreactive Nonreactive

B. Laboratorium Darah (26 April 2018)


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HbA1c 5.6 % 4.8-5.9
GDP 78 mg/dL 70-110
Glukosa 2 jam PP 57 mg/dL 80-140
SGOT 33 u/L <31
SGPT 27 u/L <34
Albumin 4.1 g/dL 3.5-5.2
Asam Urat 6.0 mg/dL 2.4-6.1
Kolesterol total 196 mg/dL 50-200
Kolesterol LDL 112 mg/dL 79-186
Kolesterol HDL 58 mg/dL 34-87
Trigliserida 93 mg/dL <150

C. Pantauan Glukosa Darah Sewaktu (GDS)


Tanggal Jam Pemeriksaan Hasil (mg/dL)
26/4/2018 22.00 86
27/4/2018 05.00 110
27/4/2018 22.00 68
28/4/2018 05.00 85
28/4/2018 22.00 114
29/4/2018 05.00 93

D. Foto Rontgen Lumbosacral AP/Lat (25 April 2018)

10
Kesan:
- Paralumbal muscle spasm
- Spondylosis lumbalis

11
E. Skala Indeks Barthel untuk Menentukan nilai Activities Daily Living (ADL)
No. Item yang dinilai Skor Nilai
1. Makan (Feeding) 0 = Tidak mampu
1 = Butuh bantuan memotong, mengoles
2
mentega dll.
2 = Mandiri
2. Mandi (Bathing) 0 = Tergantung orang lain
1
1 = Mandiri
3. Perawatan diri 0 = Membutuhkan bantuan orang lain
(Grooming) 1 = Mandiri dalam perawatan muka, rambut, 1
gigi, dan bercukur
4. Berpakaian 0 = Tergantung orang lain
(Dressing) 1 = Sebagian dibantu (misal mengancing
2
baju)
2 = Mandiri
5. Buang air kecil 0 = Inkontinensia atau pakai kateter dan tidak
(Bowel) terkontrol
1 = Kadang Inkontinensia (maks, 1x24 jam) 2
2 = Kontinensia (teratur untuk lebih dari 7
hari)
6. Buang air besar 0 = Inkontinensia (tidak teratur atau perlu
(Bladder) enema)
2
1 = Kadang Inkontensia (sekali seminggu)
2 = Kontinensia (teratur)
7. Penggunaan 0 = Tergantung bantuan orang lain
toilet 1 = Membutuhkan bantuan, tapi dapat
2
melakukan beberapa hal sendiri
2 = Mandiri
8. Transfer 0 = Tidak mampu
1 = Butuh bantuan untuk bisa duduk (2
orang) 3
2 = Bantuan kecil (1 orang)
3 = Mandiri
9. Mobilitas 0 = Immobile (tidak mampu)
1 = Menggunakan kursi roda
2 = Berjalan dengan bantuan satu orang 3
3 = Mandiri (meskipun menggunakan alat
bantu seperti, tongkat)

12
10. Naik turun 0 = Tidak mampu
tangga 1 = Membutuhkan bantuan (alat bantu) 2
2 = Mandiri

Interpretasi hasil:
20 : Mandiri
12-19 : Ketergantungan Ringan
9-11 : Ketergantungan Sedang
5-8 : Ketergantungan Berat
0-4 : Ketergantungan Total
Jumlah skor Barthel = 20 (Mandiri)

IV. ASSESSMENT
Klinis : ischialgia sinistra
Topis : m. piriformis dan n. ischiadicus
Etiologis : sindrom piriformis sinistra

V. DAFTAR MASALAH
A. Masalah Medis
Ischialgia ec sindrom piriformis sinistra, hipertensi, DM tipe II
B. Problem Rehabilitasi Medik
Nyeri di pantat (ischialgia) menjalar ke kaki bagian belakang ec sindrom
piriformis sinistra menimbulkan keterbatasan dalam melakukan kegiatan
sehari-hari yang menggunakan anggota gerak bawah bagian kiri dan
menjadi beban pikiran keluarga serta pasien dalam menghadapi penyakit

VI. PENATALAKSANAAN
A. Terapi Medikamentosa
1. Infus RL 20 tpm
2. Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
3. Inj. Ketorolac 30 mg/12 jam
4. Paracetamol 2 x 500 mg

13
5. Tizanidin 2 mg/12 jam
6. Gapapentin 300 mg/24 jam
7. Sucralfat syr 3 x I C
B. Rehabilitasi Medik
1. Fisioterapi :
a. IR (Infra red)
b. TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation)
2. Okupasi terapi : Latihan meningkatkan kemampuan gerakan otot dengan
stretching exercise dan ROM exercise
3. Psikologi :
Psikoterapi suportif untuk mengurangi kecemasan pasien dan keluarga
pasien.

VII. IMPAIRMENT, DISABILITAS, HANDICAP


Impairment : ischialgia ec sindrom piriformis sinistra, hipertensi, DM
tipe II
Disabilitas : skor status ambulasi dengan Barthel Index 20 (mandiri),
anggota gerak bawah terasa mudah lelah dan tidak nyaman
saat melakukan aktivitas
Handicap : keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari,
mengurus rumah tangga, dan tidak dapat bekerja lagi

VIII. PLANNING
1. Planning Diagnostik : tidak ada
2. Planning Terapi : fisioterapi
3. Planning Edukasi :
 Penjelasan penyakit dan komplikasi yang bisa terjadi
 Edukasi untuk home exercise dan ketaatan untuk melakukan terapi
4. Planning Monitoring : evaluasi hasil fisioterapi ROM dan MMT

14
IX. GOAL
A. Jangka pendek
1. Perbaikan keadaan umum sehingga mempersingkat lama perawatan
2. Minimalisasi impairment dan disabilitas pada pasien
3. Mencegah terjadinya komplikasi berupa kontraktur otot akibat tidak
banyak beraktivitas
B. Jangka panjang
1. Memperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala
2. Memperbaiki kemampuan penderita sehingga dapat melaksanakan
aktivitas kehidupan sehari-hari dan mandiri
3. Meningkatkan dan memelihara kekuatan otot anggota gerak bawah
bagian kiri
4. Meningkatkan dan memelihara ROM anggota gerak bawah bagian kiri
5. Mengatasi masalah psikososial yang timbul akibat penyakit yang
diderita pasien

X. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi Musculus Piriformis dan Nervus Ischiadicus


Musculus piriformis berbentuk piramida, rata, berasal dari permukaan
ventrolateral vertebrae sacrum 2 sampai 4, kemudian melewati foramen
ischiadicum majus dan berada di sebelah dorsal nervus ischiadicus sebelum
berinsersi di bagian superomedial trochanter major os femur.

Gambar 1. Tampilan posterior panggul yang menunjukkan perjalanan nervus


ischiadicus. Perhatikan posisi musculus piriformis dan musculi rotator eksternal
yang pendek memungkinkan terjadinya kompresi di area tersebut.

Musculus piriformis merupakan otot rotator panggul paling proksimal.


Dengan panggul ekstensi, musculus piriformis berfungsi untuk rotasi eksternal

16
panggul. Bila panggul fleksi, maka otot ini berfungsi sebagai abduktor panggul.
Cabang saraf dari L5, S1, dan S2 menginervasi musculus piriformis. Musculus
gemellus superior, musculus gemellus inferior, musculus quadratus femoris,
dan musculus obturator internus bekerja sinergis dengan musculus piriformis.
Banyak variasi hubungan antara nervus ischiadicus dan musculus piriformis.
Nervus ischiadicus terdiri dari cabang radix nervi L3 sampai S3; biasanya
berjalan anterior dari musculus piriformis dan dorsal dari musculus gemellus
setelah keluar dari pelvis melalui foramen ischiadicum majus (Gambar 1).
Otot piriformis berbentuk piramida dan rata, berasal dari permukaan
ventrolateral vertebrae sacrum 2 sampai 4, kemudian melewati foramen
ischiadicum majus dan berada di sebelah dorsal nervus ischiadicus sebelum
berinsersi di bagian superomedial trochanter major, persarafan : N. Ischiadicus,
fungsi : Abduksi hip dan eksorotasi.
Anatomi m. piriformis :
a. Origo : os sacrum fasia pelvis
b. Insersi : bertendon pada ujung trochanter mayor
c. Persarafan : N. ischiadicus
d. Gerakan : Abduksi hip dan eksorotasi

Nervus ischiadicus :
Nervus ischiadicus merupakan serabut saraf terbesar di dalam tubuh manusia
yang berasal dari pleksus sacralis. Pleksus sacralis dibentk oleh rami anterior
L5-S1, yang kadang-kadang mendapat tambahan dari L4-S4. Pleksus sacralis
berada di sebelah ventral dari m. piriformis. Dari sini, pleksus sacralis akan
mempercabangkan diri menjadi N. Ischiadicus, N. Gluteus Superior, N. Gluteus
Inferior, N. Cutaneus Femoris posterior, N. Clunialis Medialis Inferior dan N.
Musculare.
Serabut saraf yang keluar dari vertebra lumbal 4-5 dan sacral 1-3. Nervus
ischiadicus meninggalkan pelvis melalui foramen ischiadicus major turun
diantara trochanter mayor os femur dan tuberositas ischiadicus di sepanjang

17
permukaan posterior paha ke ruang poplitea dimana serabut saraf ini berakhir
dan bercabang menjadi n. tibialis dan n. peroneus communis.

Gambar 2. Anatomi m. piriformis dan n. ischiadicus

II. Ischialgia
A. Definisi
Ischialgia adalah nyeri pada daerah tertentu sepanjang tungkai yang
merupakan manifestasi rangsangan saraf sensoris perifer dari nervus
ischiadikus. Beberapa ahli berpendapat bahwa ischialgia merupakan salah

18
satu manifestasi dari nyeri punggung bawah yang dikarenakan adanya
penjepitan nervus ischiadicus.
Pengertian lainnya menyebutkan bahwa ischialgia merupakan nyeri yang
terasa sampai ke tungkai, dengan kata lain merupakan nyeri yang terasa
sepanjang perjalanan Nervus Ischiadicus. Oleh karana itu, ischialgia harus
didefinisikan sebagai nyeri yang terasa disepanjang nervus ischiadicus dan
lanjutannya di sepanjang tungkai.
B. Etiologi
Penyebab terjepitnya saraf ini ada beberapa faktor yaitu antara lain:
kontraksi / radang otot-otot daerah bokong, adanya perkapuran tulang
belakang atau adanya keadaan yang disebut dengan Herniasi Nukleus
Pulposus (HNP). Ketiga sebab diatas adalah kasus yang banyak terjadi
sehingga menyebabkan Ischialgia. Menurut Sidharta (1984) Ischialgia dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Ischialgia sebagai perwujudan entrapment neuritis.
Ini terjadi karena dalam perjalanan menuju tepi n. Ischiadikus
terperangkap dalam proses patologik di berbagai jaringan dan bangunan
yang dilewatinya. Jaringan dan bangunan itu yang membuat n.
Ischiadikus terperangkap, antara lain : (1) Pleksus lumbosakralis yang
diinfiltrasi oleh sel-sel sarcoma reproperitonial, karsinoma uteri dan
ovarii, (2) garis persendian sakroilliaka dimana bagian-bagian dari
pleksus lumbosakralis sedang membentuk n. Ischiadikus mengalami
proses radang (sakrolitis), (3) Bursitis di sekitar trochantor mayor
femoris, (4) Bursitis m. piriformis (5) Adanya metatasis karsinoma
prostat di tuber ischii.Tempat dari proses patologi primer dari Ischialgia
ini dapat diketahui dengan adanya nyeri tekan dan nyeri gerak. Nyeri
tekan dapat dilakukan dengan penekanan langsung pada sendi panggul,
trochantor mayor, tuber ischii dan spina ischiadika. Sedangkan nyeri
gerak dapat diprovokasi dengan cara melakukan tes Patrick dan tes
Gaenslen.
2. Ischialgia sebagai perwujudan entrapment radikulitis dan radikulopati.

19
Ischialgia ini dapat terjadi karena nucleus pulposus yang jebol ke dalam
kanalis vertebralis (HNP), osteofit, herpes zoster (peradangan) atau
karena adanya tumor pada kanalis vertebralis. Pada kasus ini pasien
akan meraskan nyeri hebat, dimulai dari daerah lumbosakral menjalar
menurut perjalanan n. Ischiadikus dan lanjutannya pada n. peroneus
communis dan n. tibialis.
Data-data yang dapat diperoleh untuk mengetahui adanya Ischialgia
radikulopati, antara lain : (1) Nyeri punggung bawah (low back pain),
(2) Adanya peningkatan tekanan didalam ruang arachnoidal, seperti :
batuk, bersin dan mengejan, (3) Faktor trauma, (4) lordosis lumbosakral
mendatar, (5) Adanya keterbatasan lingkup gerak sendi (LGS)
lumbosakral, (6) Nyeri tekan pada lamina L4, L5 dan S1, (7) Tes
laseque selalu positif.
3. Ischialgia sebagai perwujudan neuritis primer.
Ischialgia ini dapat disembuhkan dengan menggunakan NSAID (non-
steroid anti inflammatory drugs). Gejala utama neuritis Ischiadikus
primer adalah adanya nyeri yang dirasakan berasal dari daerah antara
sacrum dan sendi panggul, tepatnya pada foramen infrapiriforme atau
incisura ishiadika dan menjalar sepanjang perjalanan n. Ischiadikus dan
lanjutannya pada n. peroneus communis dan n. tibialis. Neuritis
ischiadikus primer timbul akut, sub akut dan tidak berhubungan dengan
nyeri punggung bawah kronik. Ischialgia ini sering berhubungan
dengan diabetes mellitus (DM), masuk angin, flu, sakit kerongkongan
dan nyeri pada persendian. Neuritis ischiadikus dapat diketahui dengan
adanya nyeri tekan positif pada n. Ischiadikus, m. tibialis anterior dan
m. peroneus longus.

III. Sindrom Piriformis


A. Definisi
Sindrom piriformis adalah gangguan neuromuscular yang terjadi
ketika n. ischiadicus terkompresi atau teritasi oleh m. piriformis. Sindrom

20
piriformis akan meingkat dengan adanya kontraksi pada otot piriformis,
duduk yang lama, atau tekanan langsung pada otot.
B. Epidemiologi
Nyeri punggung bawah dan ischialgia adalah nyeri atau hipoestesi
di area pantat dan paha bagian posterior dengan sesekali menjalar ke tungkai
bawah; merupakan keluhan umum dengan insidensi sekitar 60–90% selama
hidup seseorang. Frekuensi sindrom piriformis diperkirakan hampir 6% dari
total kasus iskialgia dalam praktek dokter keluarga di AS, sementara di
Indonesia belum ada data. Beberapa laporan menunjukkan rasio angka
kejadian perempuan dibanding laki-laki 6:1.
C. Patofisiologi
Etiologi sindrom piriformis masih belum jelas namun gejalanya
mungkin akibat neuritis bagian proksimal nervus ischiadicus. Musculus
piriformis selain mengiritasi, dapat pula menekan nervus ischiadicus, terkait
dengan spasme dan/atau kontrakturnya, problem ini menyerupai ischialgia
diskogenik (pseudoischialgia). Berdasarkan etiologi, sindrom piriformis
dapat dibagi atas penyebab primer dan sekunder (Tabel 1). Penyebab primer
terjadi akibat kompresi saraf langsung akibat trauma atau faktor intrinsik
musculus piriformis, termasuk variasi anomali anatomi otot, hipertrofi otot,
inflamasi kronik otot, dan perubahan sekunder akibat trauma semacam
perlengketan. Penyebab sekunder termasuk gejala yang terkait lesi massa
dalam pelvis, infeksi, anomali pembuluh darah atau simpai fibrosis yang
melintasi saraf, bursitis tendon piriformis, inflamasi sacroiliaca, dan adanya
titik-titik picu myofascial. Penyebab lain dapat berasal dari:
pseudoaneurysma arteri gluteus inferior, sindrom piriformis bilateral terkait
dengan posisi duduk yang berkepanjangan, cerebral palsy terkait dengan
hipertonus dan kontraktur, arthroplasti panggul total seperti yang akan
didiskusikan berikut, dan myositis ossificans.

21
Tabel 1. Penyebab sindrom piriformis

Hiperlordosis lumbal dan kontraktur panggul pada posisi fleksi


meningkatkan regangan musculus piriformis juga cenderung menyebabkan
gejala sindrom piriformis. Pasien dengan kelemahan otot-otot abduktor atau
ketimpangan panjang tungkai bawah juga cenderung mengalami sindrom
ini. Perubahan biomekanika gaya berjalan (gait) sebagai penyebab hipertrofi
musculus piriformis dan inflamasi kronik, juga akan memunculkan sindrom
piriformis. Dalam proses melangkah, saat fase berdiri (stance phase)
musculus piriformis teregang sejalan dengan beban pada panggul yang
dipertahankan dalam posisi rotasi internal. Saat panggul memasuki fase
ayun (swing phase), musculus piriformis berkontraksi dan membantu rotasi
eksternal. Musculus piriformis tetap dalam kondisi teregang selama proses
melangkah dan cenderung lebih hipertrofi dibanding otot lain di sekitarnya.
Setiap abnormalitas proses melangkah yang melibatkan panggul dengan
posisi rotasi internal atau adduksi yang meningkat dapat semakin
meregangkan musculus piriformis. Trauma tumpul dapat menyebabkan
hematom dan fibrosis di antara nervus ischiadicus dan otot-otot rotator
eksternal pendek, salah satu pemicu gejala sindrom ini; suatu studi
menunjukkan di antara 15 pasien sindroma piriformis pasca trauma

22
langsung di area pantat, aktifitas normal kembali 2 bulan setelah operasi
pembebasan tendon piriformis tendon dan neurolisis nervus ischiadicus.
Radikulopati lumbal bagian bawah mengakibatkan iritasi sekunder
musculus piriformis yang nantinya akan memperumit diagnosis dan
memperlambat fisioterapi metode peregangan punggung bawah dan
panggul karena memperberat gejala-gejala sindrom piriformis.
D. Gambaran Klinis
Keluhan yang khas adalah kram atau nyeri di pantat atau di area
hamstring, nyeri ischialgia di kaki tanpa nyeri punggung, dan gangguan
sensorik maupun motorik sesuai distribusi nervus ischiadicus. Keluhan
pasien dapat pula berupa nyeri yang semakin menjadi saat membungkuk,
berlama-lama duduk, bangun dari duduk, atau saat merotasi internal paha,
juga nyeri saat miksi/defekasi dan dispareunia.
Penegakan diagnosis sindrom piriformis sering dibuat setelah
mengeksklusi penyebab ischialgia lain. Robinson pertama kali menyusun
penegakan diagnosis berdasar 6 ciri: (1) riwayat jatuh pada pantat; (2) nyeri
pada area: sendi sacroiliaca, foramen ischiadicum majus, dan otot
piriformis; (3) nyeri akut yang kambuh saat membungkuk atau mengangkat;
(4) adanya massa yang teraba di atas piriformis; (5) Tanda Laseque positif;
dan (6) atrofi gluteus. Hampir 50% pasien sindrom piriformis pernah
mengalami cedera langsung pada pantat ataupun trauma torsional pada
panggul atau punggung bagian bawah, sisanya terjadi spontan tanpa
penyebab yang dapat diidentifikasi.
Beberapa pemeriksaan fisik dapat mendukung diagnosis sindrom
piriformis. Pada posisi telentang, pasien bertendensi menjaga posisi
tungkainya sedikit terangkat dan berotasi eksternal (tanda piriformis positif)
(Gambar 3). Spasme musculus piriformis dapat dideteksi dengan palpasi
dalam yang cermat di lokasi otot ini melintasi nervus ischiadicus (Gambar
4) dengan melokalisir titik tengah antara coccyx dan trochanter major.
Pemeriksaan colok dubur menunjukkan area yang lebih lunak di dinding
lateral sisi pelvis yang terkait. Nyeri ischialgia dan turunnya tahanan otot

23
ditunjukkan dengan cara menahan gerakan abduksi/rotasi eksternal pasien
(tes Pace) (Gambar 5). Pada posisi telungkup, tes Freiberg (Gambar 6)
memicu nyeri dengan merotasi internal tungkai bawah saat panggul ekstensi
dan lutut fleksi 90o. Beatty mendeskripsikan teknik yang membedakan
antara radikulopati lumbal, penyakit panggul primer, dan nyeri akibat
sindrom piriformis. Tes Beatty dapat pula memberi hasil positif pada kasus
herniasi lumbal dan osteoarthritis panggul. Pasien tidur miring dengan
tungkai diangkat beberapa menit, maka di sisi tungkai yang mengalami
sindrom piriformis akan terasa nyeri pada pantat bagian dalam (Gambar 7).
Tak satupun pemeriksaan fisik tersebut bersifat patognomonis; kombinasi
riwayat dan beberapa pemeriksaan fisik akan menunjang penegakan
diagnosis sindrom piriformis.

Gambar 3 (kiri). Tanda piriformis positif pada pasien dengan sindrom


piriformis menunjukkan rotasi eksternal tungkai bawah kanan.
Gambar 4 (kanan). Palpasi langsung memicu nyeri dalam yang terlokalisir
pada area yang diindikasikan sindrom piriformis.

Gambar 5 (kiri). Tes Pace. Pada tes ini penguji menahan abduksi aktif dari
tungkai dengan posisi pasien duduk (panggul fleksi). Musculus piriformis
sebagai penggerak utama pada posisi ini, diprovokasi untuk memunculkan

24
ischialgia yang timbul dari otot itu sendiri atau karena terperangkapnya
nervus ischiadicus oleh piriformis.
Gambar 6 (kanan). Tes Freiberg menunjukkan terbatasnya gerakan rotasi
internal pangul posisi ekstensi karena spasme sekunder musculus piriformis.

Gambar 7. Tes Beatty. (A) pada posisi miring mengangkat tungkai yang
difleksikan pada panggul dan lutut, maka akan muncul nyeri pantat bagian
dalam. (B) modifikasi Tes Beatty, dengan menahan abduksi tungkai.

Sindrom piriformis dapat dibedakan dengan herniasi diskus


intervertebra karena minimnya defisit neurologis pada sindrom piriformis,
namun literatur lain menyebutkan sebelas dari 28 kasus (40%), pasien masih
mengalami defisit neurologis.
E. Diagnosis Banding
Karena tidak ada tanda patognomonis, beberapa diagnosis banding
harus dipertimbangkan; antara lain: herniasi diskus intervertebralis,
degenerasi diskus intervertebralis, arthropati, sacroiliitis, nyeri myofascial,
dan bursitis trochanter femur.
Umumnya, tes laboratoris dan pencitraan memiliki peran terbatas
dalam diagnosis, namun sebaiknya tetap dijalankan untuk membedakan
dengan penyebab ischialgia lain. Dengan USG doppler, Broadhurst et al.,
dengan sampel terbatas berhasil mengidentifikasi proses edema dan
sklerotik yang simtomatis pada otot piriformis. Pada metode pencitraan
MRI pelvis dapat dipakai hipotesis Rossi et al. yang menyatakan bahwa

25
panggul dengan posisi rotasi eksternal aktif (otot berkontraksi) atau rotasi
internal pasif (otot meregang) akan semakin memerangkap nervus
ischiadicus sehingga didapatkan gambaran klinis khas yang menunjukkan
pembesaran musculus piriformis dan alih posisi nervus ischiadicus dengan
sinyal intensitas normal (Gambar 9).

Gambar 8. (A) Potongan aksial T2-weighted dan (B) koronal T2-weighted


MRI menunjukkan aspek hipertrofi dari musculus piriformis sinistra (panah
putih). Pada gambar A, nervus ischiadicus tampak melebar dan sedikit
mengalami alih posisi ke anterior (panah hitam).
Tes elektrofisiologis dapat menunjang diagnosis dengan kriteria
pemanjangan refleks H 1.86msec saat tes FAIR (Flexion, Adduction,
Internal Rotation) pada ekstrimitas bawah ipsilateral. Refleks H merupakan
versi stimulasi elektrik refleks Achilles dan melewati musculus piriformis
dua kali (konduksi orthodromik aferen dan eferen). Perubahan amplitudo
dan latensi rekaman potensial di elektroda epidural di lumbal 3-4 pada
stimulasi tungkai terkait juga terlihat pada sindrom ini. Yang lain
mengajukan pendekatan diagnosis melalui injeksi lidokain dan/ atau
kortikosteroid ke dalam musculus piriformis dengan panduan EMG dan
fluoroskopi.
Lepas dari berbagai usaha mengembangkan tes diagnosis yang
obyektif, penegakan sindrom piriformis tetap sebaiknya didasarkan pada
kumpulan tanda dan gejala yang berasal dari riwayat, pemeriksaan fisik, dan
tes-tes diagnosis.
F. Tatalaksana

26
Sejumlah strategi terapi efektif bagi pasien sindrom ini (Gambar 9).
Pendekatan tatalaksana yang pertama dan utama ialah rehabilitasi, dimulai
dari aktifitas dan terapi fisis, penekanannya pada komponen-komponen
yang melibatkan otot piriformis. Tujuannya selain meregangkan dan
menguatkan otot-otot abduktor/adduktor panggul juga mengurangi efek
lingkaran setan nyeri dan spasme. Peregangan mandiri dapat dibantu dengan
diatermi, ultrasound, stimulasi elektrik, ataupun teknik-teknik manual
lainnya. Bila teknik tersebut diaplikasikan sebelum peregangan otot
piriformis, maka akan memudahkan pergerakan kapsul sendi panggul ke
anterior dan posterior dan otot-otot abdomen untuk meregang; dengan
demikian tendon piriformis akan mengalami relaksasi dan peregangan yang
efektif.

Gambar 9. Algoritma terapi sindrom piriformis

27
Adapun beberapa terapi farmakologis yang dapat diberikan kepada
pasien yaitu :
- NSAID dan acetaminophen
- Muscle relaxan
- Analgesic narkotik (mumnya untuk nyeri kronis)
- Terapi injeksi
Pasien sebaiknya tetap menjalani program peregangan mandiri di
rumah, karena repetisi peregangan secara intensif sepanjang hari merupakan
komponen esensial program. Saat fase awal, peregangan sangat dianjurkan
dilakukan minimal tiap 6 jam. Peregangan musculus piriformis dapat
dikerjakan di posisi telentang ataupun tegak dengan tungkai yang terkait
difleksikan dan dirotasi internal/adduksi (Gambar 10).

Gambar 10. Latihan pada sindrom piriformis (A) Duduk. (B) Telentang
dengan posisi panggul difleksikan 900 dan tungkai kanan diadduksi
menyilang tungkai kiri. Tangan kanan menahan ilium ipsilateral guna
menahan terangkatnya pelvis, tangan kiri menuntun gerakan kaki kanan dan
menambah tekanan pada aspek lateral lutut kanan untuk meningkatkan
regangan otot piriformis. Selain itu, peregangan dapat ditingkatkan dengan
relaksasi pasca isometrik, yaitu dengan tangan kiri menahan kontraksi
isometrik piriformis kanan (usaha abduksi) selama beberapa detik.

28
Terapi injeksi dapat disertakan bila keluhan menetap. Arah injeksi
ditujukan ke sendi sacroiliaca atau ke insersi musculus piriformis, dilakukan
dengan panduan pencitraan atau secara manual melalui palpasi titik yang
paling lunak atau dengan colok dubur. Injeksi steroid (triamcinolone 80 mg)
dan/atau anestesi lokal (lidokain 1%) menggunakan jarum spinal 3,5 inci
(8.9 cm) atau lebih panjang pada pasien gemuk. Hindari injeksi langsung
pada nervus ischiadicus dengan meminta pasien melaporkan setiap
perubahan sensasi selama prosedur. Beberapa peneliti meyakini hanya
sedikit atau bahkan tidak ada komponen inflamasi yang terkait, maka
disarankan hanya menggunakan lidokain 1% diikuti peregangan piriformis
segera. Injeksi tanpa steroid ini dapat setiap minggu selama periode 4-5
minggu sembari dinilai keefektifannya dan kemungkinan perlunya tindakan
bedah. Ada studi yang menggunakan 12.500 unit neurotoksin botulinum B
atau toksin botulinum A dengan dosis setara disertai fisioterapi,
menunjukkan perbaikan setelah lebih dari 3 bulan. Hampir 50% pasiennya
mengalami efek samping berupa mulut kering dan disfagia.
Prosedur bedah adalah jalan terakhir, namun dapat memberikan hasil
dramatis. Pembedahan dalam kondisi ini meliputi reseksi musculus
piriformis atau tendon di dekat insersinya pada aspek superomedial dari
trochanter major os femur. Peneliti lain memakai teknik kombinasi dengan
membelah tendon pada insersinya dan kemudian pada ototnya di area
keluarnya dari foramen ischiadicum majus guna memisahkan otot ini dan
mendekompresi nervus ischiadicus secara keseluruhan serta mencegah
rekurensinya akibat pembentukan fibrosis.
G. Teknik Pembedahan
Pasien pada posisi lateral dekubitus dengan tungkai yang terkait di atas.
Insisi sebatas sepertiga proksimal dari insisi posterolateral, standar bagi
operasi penggantian panggul total. Untuk reseksi piriformis, beberapa ahli
lebih memilih pendekatan invasif minimal mikroskop dibanding teknik
endoskopi. Dimulai dengan insisi kulit 4 cm, diikuti pemisahan tumpul serat
musculus gluteus maximus dengan perlahan dan cermat untuk menghindari

29
cedera nervus ischiadicus. Retraktor dipakai untuk memperlebar serat
gluteus maximus dan jaringan lemak di bagian dalam dipotong dengan teliti
guna melokalisir musculus piriformis dan insersinya di trochanter major.
Rotasi internal panggul dapat mempermudah identifikasi tendon musculus
piriformis. Nervus ischiadicus seharusnya diidentifikasi dengan pipa
Penrose yang diletakkan di sekitar saraf sebagai penanda. Berikutnya tendon
piriformis dibelah dan musculus dipisahkan dari nervus ischiadicus sampai
di area foramen ischiadicum majus. Nervus ischiadicus dieksplorasi dan
didekompresi untuk memastikan tidak ada residu lapisan fibrosis, simpai
neurovaskular, ataupun faktor lain yang menekan saraf (Gambar 11). Pasca
operasi pasien menanggung beban berat badan sepenuhnya (fully weight-
bearing) dengan kruk dan menjalani fisioterapi untuk penguatan otot-otot
adduktor/abduktor dan latihan berjalan.

Gambar 11. Foto menunjukkan lapisan fibrosis (F) dan simpai


neurovaskular (N) yang melintasi nervus ischiadicus (I). Musculus gluteus
(G) telah diretraksi. Setelah membebaskan tendon dan musculus piriformis
dilakukan eksplorasi dan dekompresi nervus ischiadicus yang bertujuan
menyingkirkan semua konstriksi, adhesi, ataupun simpai fibrosa.

30
IV. Program Rehabilitasi Medik pada Penderita Ischialgia ec Sindrom
Piriformis
Rehabilitasi merupakan bagian penting dalam proses pemulihan sindrom
piriformis. Tujuan rehabilitasi ini adalah untuk menolong penderita agar dapat
kembali beraktivitas maksimal dan tidak terdapat hambatan dalam bergerak.
Prinsip-prinsip rehabilitasi menurut Harsono (1996) yaitu:
 Rehabilitasi dimulai sedini mungkin
 Tidak ada seorang penderita pun yang boleh berbaring satu hari
lebih lama dari waktu yang diperlukan, karena akan mengakibatkan
komplikasi
 Rehabilitasi merupakan terapi multidisipliner terhadap seseorang
penderita dan rehabilitasi merupakan terapi terhadap seorang
penderita seutuhnya
 Faktor yang paling penting dalam rehabilitasi adalah kontinuitas
perawatan
 Perhatian untuk rehabilitasi lebih dikaitkan dengan sisa kemampuan
fungsi neuromuskuler yang masih ada, atau dengan sisa kemampuan
yang masih dapat diperbaiki dengan latihan
 Dalam pelaksanaan rehabilitasi termasuk pula upaya pencegahan
serangan berulang
Tujuan fisioterapi pada kasus ini, diantaranya untuk mengurangi nyeri,
meningkatkan kekuatan otot, meningkatkan lingkup gerak sendi, dan
meningkatkan aktivitas fungsional pasien semaksimal mungkin.
Rehabilitasi yang dapat diberikan pada pasien sindrom piriformis adalah :
a. IR (Infra Red)
Juga sebagai pre-eliminary exercise, panas yang dihasilkan memiliki efek
fisiologis dan efek terapeutik yang dapat meningkatkan sirkulasi darah dan
proses metabolisme, mengurangi nyeri oleh efek sedatif yang
dihasilkannya, serta dapat menimbulkan relaksasi otot sehingga dapat
menurunkan spasme otot.
b. TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation)

31
TENS adalah alat yang digunakan oleh fisioterapis untuk manajemen
nyeri. TENS mengirimkan arus listrik bertekanan rendah ke saraf melalui
konduktivitas pads yang disebut elektroda ditempatkan pada area kulit
yang spesifik. TENS bekerja dengan menstimulasi serabut saraf α β yang
dapat mengurangi nyeri. Mekanisme kerjanya diperkirakan melalui
penutupan gerbang transmisi nyeri dari serabut saraf kecil dengan
menstimulasi serabut saraf besar, kemudian serabut saraf besar akan
menutup jalur pesan nyeri ke otak dan meningkatkan aliran darah ke area
yang nyeri dan TENS juga menstimulasi produksi anti nyeri alamiah yang
ada dalam tubuh yaitu endorphin.
Target arus TENS adalah mengaktivasi saraf diameter besar.
c. Stretching exercise
Stretching adalah latihan penguluran otot untuk mengembalikan elastisitas
otot dan untuk mengurangi dampak cedera yang sangat rentan terjadi.
Adanya kelainan pada sendi biasanya menyebabkan gangguan pada
jaringan di sekitarnya salah satunya pada otot. Perubahan pada otot
biasanya disebabkan karena adanya trauma atau inflamasi. Pemendekan
ini menyebabkan muscle imbalance dan perubahan postural.
Stretching yang dilakukan dapat berupa aktif dan pasif. Metode active
movement exercise ditujukan untuk merelaksasikan otot piriformis
sinistra, menjaga ekstensibilitas otot, mencegah perlengketan, dan
memelihara lingkup gerak sendi. Sedangkan passive stretching digunakan
untuk mengurangi rasa nyeri, relaksasi otot piriformis sinistra, dan
mengulur otot piriformis yang mengalami pemendekan.
d. ROM exercise
ROM exercise bertujuan untuk meningkatkan atau mengembalikan
fleksibilitas dan mobilitas sendi. Latihan ini bertujuan untuk mengurangi
kekakuan yang dialami pasien.
Terapi okupasi bertujuan untuk mengembangkan kecakapan/keterampilan
penderita untuk mencapai kehidupan yang produktif serta untuk mengatasi
masalah-masalah yang ada dalam hidup serta lingkungan mereka masing-

32
masing. Selain itu, psikolog berperan melakukan evaluasi dan mengobati
gangguan cemas akibat penyakit, untuk meningkatkan motivasi serta berusaha
mengatasi penyakitnya apabila diperlukan oleh pasien.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Mehta S, Auerbach JD, Chin KR. Extra-spinal disorders: Piriformis


Syndrome. April 2006. [cited 2018 April 30]. Available from URL: http://
www.imissurgery.com/pdf/Slipman-Ch123- Piriformis%20Syndrome.pdf

2. Rodrigue T, Hardy RW. Diagnosis and treatment of piriformis syndrome.


Neurosurg Clin N Am 2001; 12(2):311–319.
3. Frymoyer JW. Back pain and sciatica. N Engl J Med 1988; 318(5):291–300.

4. Bernard TN Jr, Kirkaldy-Willis WH. Recognizing specific characteristics of


nonspecific low back pain. Clin Orthop 1987; 217:266–280.

5. Durrani Z, Winnie AP. Piriformis muscle syndrome: an underdiagnosed


cause of sciatica. J Pain Symptom Manage 1991; 6(6):374–379.

6. Brown JA, Braun MA, Namey TC. Piriformis syndrome in a 10-year-old


boy as a complication of operation with the patient in the sitting position.
Neurosurgery 1988; 23(1):117–119.

7. Jankiewicz JJ, Hennrikus WL, Houkom JA. The appearance of the


piriformis muscle syndrome in computed tomography and magnetic
resonance imaging. A case report and review of the literature. Clin Orthop
1991; 262:205–209.

8. Parziale JR, Hudgins TH, Fishman LM. The piriformis syndrome. Am J


Orthop 1996; 25(12):819–823.

9. Barton PM. Piriformis syndrome: a rational approach to management. Pain


1991; 47(3):345–352.

10. Benson ER, Schutzer SF. Posttraumatic piriformis syndrome: diagnosis and
results of operative treatment. J Bone Joint Surg [Am] 1999; 81(7):941–949.

11. Beatty RA. The piriformis muscle syndrome: a simple diagnostic maneuver.
Neurosurgery 1994; 34(3):512–514; discussion 514.

12. Chen WS. Sciatica due to piriformis pyomyositis. Report of a case. J Bone
Joint Surg [Am] 1992; 74(10):1546–1548.

13. Broadhurst NA, Simmons DN, Bond MJ. Piriformis Syndrome: Correlation
of Muscle Morphology With Symptoms and Signs. Arch Phys Med Rehabil
2004;85:2036-9.

34
14. Rossi P, Cardinali P, Serrao M, et al. Magnetic resonance imaging findings
in piriformis syndrome: a case report. Arch Phys Med Rehabil 2001;
82(4):519–521.

15. Fishman LM, Konnoth C, Rozner B. Botulinum neurotoxin type B and


physical therapy in the treatment of piriformis syndrome: a dose– finding
study. Am J Phys Med Rehabil 2004; 83(1):42–50; quiz 51–53.

16. Fishman LM, Zybert PA. Electrophysiologic evidence of piriformis


syndrome. Arch Phys Med Rehabil 1992; 73(4):359–364

17. Nakamura H, Seki M, Konishi S, et al. Piriformis syndrome diagnosed by


cauda equina action potentials: report of two cases. Spine 2003; 28(2):E37–
E40.

18. Fishman SM, Caneris OA, Bandman TB, Audette JF, Borsook D. Injection
of the piriformis muscle by fluoroscopic and electromyographic guidance.
Reg Anesth Pain Med 1998;23:554- 9.

19. Gonzalez P, Pepper M, Sullivan W, Akuthota V. Confirmation of Needle


Placement Within the Piriformis Muscle of a Cadaveric Specimen Using
Anatomic Landmarks and Fluoroscopic Guidance. Pain Physician 2008;
11:3:327-331

20. Cramp F, Bottrell O, Campbell H, Ellyatt P, Smith C, Wilde B. Non-surgical


management of piriformis syndrome: a systematic review. Physical Therapy
Reviews. 2007;12(1):66-72.
21. Foster MR. Piriformis syndrome. Orthopedics 2002; 25(8):821–825.

22. Lam AW, Thompson JF, McCarthy WH. Unilateral piriformis syndrome in
a patient with previous melanoma. Aust NZ J Surg 1993; 63(2):152–153.

23. Sayson SC, Ducey JP, Maybrey JB, et al. Sciatic entrapment neuropathy
associated with an anomalous piriformis muscle. Pain 1994; 59(1):149–152.

24. Dezawa A, Kusano S, Miki H. Arthroscopic release of the piriformis muscle


under local anesthesia for piriformis syndrome. Arthroscopy 2003;
19(5):554–557.

35

Anda mungkin juga menyukai