Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN KASUS

“PEREMPUAN USIA 56 TAHUN DENGAN ACUTE


CORONARY SYNDROME ST-SEGMENT ELEVATION
MYOCARDIAL INFARCTION ANTERO-LATERAL
,HIPERTENSI DAN DIABETES MELITUS”

PEMBIMBING :
dr. Arbi Lizarda, Sp.JP, FIHA

DISUSUN OLEH :
Devi Dwi Puspitasari
030.15.054

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 25 JANUARI 2021 – 6 MARET 2021
LEMBAR DIAJUKAN

Laporan Kasus dengan judul :

“PEREMPUAN USIA 56 TAHUN DENGAN ACUTE CORONARY


SYNDROME ST-SEGMENT ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION
ANTERO-LATERAL ,HIPERTENSI DAN DIABETES MELITUS”

Nama : Devi Dwi Puspitasari


NIM : 030.15.054

Disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kardinah Tegal

Periode 25 Januari 2021 – 6 Maret 2021

Tegal, 22 Februari 2021


Pembimbing

dr. Arbi Lizarda, Sp.JP, FIHA


LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. S

Tanggal Lahir/Umur : 08-09-1964/56 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan


Alamat : Desa Harjasari RT 07 RW 06, Kecamatan
Suradadi, Kabupaten Tegal

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Agama : Islam

Status Pernikahan : Menikah

Asuransi : Umum

Tanggal Dikasuskan : 19 Februari 2021

Ruangan : ICCU

1.2 Anamnesis

Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 20 Februari 2020 pada


pukul 14.30 WIB di ICCU RSUD Kardinah Tegal
 Keluhan Utama

Sakit dada sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit

 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien seorang perempuan berusia 56 tahun datang ke IGD RSUD


Kardinah tegal dengan keluhan sakit dada sejak 4 jam SMRS, intensitas
dan durasi rasa sakit semakin memberat sejak 1 jam SMRS, Sakit dada
dirasakan semakin sering dan durasi serangan meningkat dari awal 10
menit hingga 1 jam hilang timbul, pasien mengeluh sakit seperti

4
ditekan dibagian tengah dada, menjalar ke kanan dada, sakit dirasakan
menjalar ke tangan kiri, leher atau punggung, sakit dada disertai dengan
dada terasa berdebar-debar dan terasa panas, lemas, pusing, keringat
dingin, rasa menggigil, mual dan muntah. Pasien muntah 2 kali yang
berisi sedikit makanan dan banyak air. Pasien tidak dapat menunjuk
persis lokasi sakit pada dada, nyeri dada muncul secara tiba-tiba, tidak
diakibatkan oleh gerakan tubuh. Sesak, demam, batuk, disangkal, BAB
dan BAK tidak ada gangguan, tungkai tidak mengalami edema. Pasien
memiliki riwayat hipertensi dan DM tidak terkontrol sejak 7 tahun yang
lalu.

 Riwayat Penyakit Dahulu

a. Riwayat hipertensi : ada, tidak terkontrol

b. Riwayat PJK : disangkal

c. Riwayat asma : disangkal

d. Riwayat maag : disangkal

e. Riwayat diabetes militus : ada, tidak terkontrol

f. Riwayat alergi obat : disangkal

g. Riwayat trauma : disangkal

h. Riwayat keganasan : disangkal

i. Riwayat dirawat di RS : disangkal

 Riwayat Penyakit keluarga

a. Riwayat hipertensi :disangkal

b. Riwayat PJK :disangkal

c. Riwayat diabetes militus :disangkal

5
 Riwayat Kebiasaan

a. Riwayat meminum jamu : disangkal

b. Riwayat meminum obat-obat : disangkal

c. Riwayat minum alkohol : disangkal

d. Riwayat donor darah : disangkal

e. Riwayat merokok : disangkal

f. Riwayat makanan : sayuran, ikan, terkadang


daging dan sering gorengan

g. Riwayat olahraga : Jarang olahraga

 Riwayat Kehidupan Pribadi dan Sosial Ekonomi

Pasien sehari-hari bekerja sebagai ibu rumah tangga, tinggal bersama


anak-anaknya, biaya pengobatan menggunakan umum.

1.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, lemas


Kesadaran : Compos mentis

Tanda Vital
Tekanan Darah : 144/93 mmHg
Nadi : 88 x/menit, pulsasi kuat, denyut teratur
Respirasi : 17 x/menit, reguler
Suhu : 36,8’ C axiler
Saturasi : 99%
Berat Badan : 60 kg
Tinggi Badan : 153 cm
BMI : 25,6 kg/m2 (Obesitas I)

6
Status Generalis
Kepala Rambut distribusi merata, tidak mudah
dicabut
Wajah  Pucat (-), lesi (-), deformitas (-),
scar (-), massa (-), edema (-), sianotik (-),
ikterik (-)

Mata Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik


(-/-), mata cekung (-/-), pupil bulat, isokor,
refleks pupil langsung dan tidak langsung
(+/+).

Hidung Bentuk dan ukuran normal, napas cuping


hidung (-) deviasi (-), septum nasal normal
berada ditengah, mukosa hiperemis (-),
benda asing (-), sekret(-), deformitas (-).

Telinga Normotia, serumen (-/-), hiperemis (-/-),


liang kedua telinga lapang, deformitas (-/-),
nyeri tekan (-/-),benda asing (-/-).

Mulut Sianosis (-), deviasi lidah (-), atrofi lidah


(-), lidah kotor (-), mukosa mulut
hiperemis (-), faring hiperemis (-), letak
uvula ditengah, tonsil T1/T1.

Leher JVP 5+3 (normal) , pembesaran tiroid (-),


deviasi trakea (-), pembesaran KGB leher
dan supraklavikular (-), pembesaran
kelenjar parotis (-).

7
Thorax

Jantung Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat.

Palpasi : ictus cordis teraba pada ICS V 2


cm medial dari linea midclavicularis sinistra.
Perkusi : Batas jantung kanan : ICS III – V
linea parasternalis dextra.
Batas jantung kiri :ICS VI pada line
axillaris anterior
Batas atas jantung : ICS II linea parasternalis
sinistra
Pinggang jantung : ICS II linea parasternalis
kiri
Konfigurasi jantung: cekung dalam batas
normal
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler,
murmur (-), gallop (-)

Pulmo Inspeksi : bentuk dada, warna kulit, Gerak


napas simetris saat statis dan dinamis kanan
dan kiri, spider nevi (-)
Palpasi : Vocal fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi: suara dasar trakea, bronkhial,
brokhovesikular, vesikular (+/+), Rhonki
basah basal (-/+), wheezing (-/-)

Abdomen Inspeksi : Perut tampak besar , Distensi (-),


Caput medusa (-)
Auskultasi : bising usus (+) 10x/menit
Perkusi : shifting dullness (-), nyeri ketok
costovertebra (-),undulasi (-)

8
Palpasi: nyeri tekan epigastrium (+), nyeri
tekan kuadran kanan atas (-), hepar dan lien
sulit dinilai
Ekstremitas Superior Inferior

Oedem -/- -/-

Sianosis -/- -/-

Akral hangat +/+ +/+

Ulkus/sikatriks -/- -/-

Palmar eritema -/- -/-

Inguinal dan genital Tidak dilakukan pemeriksaan

9
1.4 Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium (19-02-2021)
HEMATOLOGI ( 2021)
Nilai
Pemeriksaan Hasil Satuan
Rujukan
CBC
Hemoglobin 14,3 g/dL 11.2-15.7
Leukosit 12,2 10^3/ul 4.4 - 11.3
Hematokit 41 % 37-47
Trombosit 221 10^3/ul 150 – 521
Eritrosit 4,78 10^6/ul 4.5 – 5.1
RDW 13,2 % 11.5 – 14.5
MCV 85,6 U 80 – 96
MCH 29,9 Peg 28 – 33
MCHC 35,0 g/dL 33 – 36
Diff
Neutrofil 71,9 % 50 – 70
Limfosit 19,8 % 25 – 40
Monosit 6,7 % 2–8
Eosinofil 1 % 2–4
Basofil 0,4 % 0–1
Neutrofil # 8,73 103/uL 2.20 – 7.91
Limfosit # 2,41 103/uL 1.10 – 4.52
NLR 2,6  3.13 : waspada
6 – 9 : curiga
 9 : bahaya
KIMIA KLINIS
Natrium 142,1 mmol/L 135 – 145
Kalium 3,30 mmol/L 3.3 – 5.1
Klorida 104,1 mmol/L 96 – 106
SGOT 58,0 U/L < 34 u/l
SGPT 75,4 U/L <34 u/l
Ureum 20,2 mg/dL 21,0 - 43.0
Kreatinin 0,72 mg/dL 0.60-1.10
CKMB <3,00 mg/ml <7
Troponin I < 0,01 ug/L 0.10 -0.60
Gula darah 311 mg/dl <200
sewaktu

b. Laboratorium (20-02-2021)

10
PEMERIKSAAN TAMBAHAN (2021)
Nilai
Pemeriksaan Hasil Satuan
Rujukan
KIMIA KLINIK
Kolesterol Total 264 Mg/dL <200mg/dL
Trigliserida 367 Mg/dl <150mg/dL
Asam Urat 5.5 Mg/dL 3.5 – 7.2
Kolesterol HDL 60 Mg/dL 35,3 – 79,5
Kolesterol LDL - Mg/dL 42,0-88,0

c. Foto rontgen thorax

11
INTERPRETASI FOTO THORAX
Nama : Ny. S
Usia : 56 tahun
Proyeksi : Posteroanterior (PA),
 Tampak adanya peningkatan corakan bronkovaskuler
 CTR (cardiothoracic ratio) : >50%, apex downward 
pinggang jantung mendatar
 Tampak sudut kostofrenikus lancip
 Tulang-tulang tampak intak
 Tidak ada deviasi trakea

d. Elektrokardiogram (19 Februari 2021 pukul 13:48 WIB)

12
INTERPRETASI EKG
1. Irama : Sinus Rhytym
2. Frekuensi : 75x/menit, reguler
3. Axis : LAD (lead II (+) aVF (-))
4. P wave : Durasi dan amplitudo normal,
5. PR interval : PR interval normal (<0,20 detik)/5 kotak kecil
6. kompleks QRS: Normal (<0,12 detik/3 kotak kecil)
7. ST segmen : didapatkan ST elevasi pada V2,V3,V4,V5,V6
8. T wave : Gelombang T inverted
9. Kesan : Sinus Rhytym dengan ST elevasi

Elektrokardiogram (19 Februari 2021 pukul 16:50 WIB)

13
INTERPRETASI EKG
1. Irama : Sinus Rhytym
2. Frekuensi : 75x/menit, reguler
3. Axis : deviasi aksis ekstrim kanan (lead II (-) aVF (-))
4. P wave : Durasi dan amplitudo normal,
5. PR interval : PR interval normal (<0,20 detik)/5 kotak kecil
6. kompleks QRS: Normal (<0,12 detik/3 kotak kecil)
7. ST segmen : didapatkan ST elevasi pada V2,V3,V4,V5,V6
8. T wave : Gelombang T inverted
9. Kesan : Sinus Rhytim dengan ST elevasi

Elektrokardiogram (20 Februari 2021)

14
INTERPRETASI EKG
1. Irama : Sinus rhytim
2. Frekuensi : 75x/menit, reguler
3. Axis : Deviasi aksis ekstrim kanan (lead II (-) AVR (-))
4. P wave : Durasi dan amplitudo normal,
5. PR interval : PR interval normal (<0,20 detik)/5 kotak kecil
6. kompleks QRS: Normal (<0,12 detik/3 kotak kecil)
7. ST segmen : didapatkan ST elevasi pada V2,V3,V4,V5
8. T wave : Gelombang T inverted
9. Kesan : Sinus rhytim dengan ST elevasi

e. Resume

Pasien seorang perempuan berusia 56 tahun datang ke IGD RSUD Kardinah tegal
dengan keluhan sakit dada sejak 4 jam SMRS, intensitas dan durasi rasa sakit
semakin memberat sejak 1 jam SMRS, Sakit dada dirasakan semakin sering dan
durasi serangan meningkat dari awal 10 menit hingga 1 jam hilang timbul, pasien
mengeluh sakit seperti ditekan dibagian tengah dada, menjalar ke kanan dada,
sakit dirasakan menjalar ke tangan kiri, leher atau punggung, sakit dada disertai
dengan dada terasa berdebar-debar dan terasa panas, lemas, pusing, keringat
dingin, rasa menggigil, mual dan muntah. Pasien muntah 2 kali yang berisi sedikit
makanan dan banyak air. Pasien tidak dapat menunjuk persis lokasi sakit pada
dada, nyeri dada muncul secara tiba-tiba, tidak diakibatkan oleh gerakan tubuh.
Sesak, demam, batuk, disangkal, BAB dan BAK tidak ada gangguan, tungkai

15
tidak mengalami edema. Pasien memiliki riwayat hipertensi dan DM tidak
terkontrol sejak 7 tahun yang lalu.
Pasien tidak memiliki riwayat asma, maag, alergi obat, trauma maupun
keganasan, pasien tidak memiliki riwayat dirawat di RS, tidak ada riwayat
penyakit keluarga berupa hipertensi atau DM, pasien tidak ada riwayat meminum
obat-obatan, alcohol, dan merokok, sering mengonsumsi gorengan, dan jarang
berolahraga.
Pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak sakit sedang, tubuh
lemas, kesadaran compos mentis, tanda vital dengan tekanan darah 144/93 mmHg,
nadi 88x/menit, respirasi 17x/menit, suhu 36,8’C, dan saturasi 99%, dengan batas
jantung kiri pasien terdapat pada ICS 6 pada linea axillaris anterior. Bunyi jantung
I dan II regular. Adanya suara ronhi basah basal pada lapang paru atas kiri
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan leukosit 12,2
103/uL, netrofil 71.9 % SGOT 58.0 U/L dan SGPT 75.4 U/L serta penurunan
limfosit 19.8 %, eosinophil 1 % dan ureum 20,2 mg/dL.

f. Daftar Abnormalitas

 Angina Tipikal

 Hipertensi derajat 1

 Asam urat

g. Daftar Masalah

1. Acute Coronary Syndrome ST-Segment Elevation Myocardial


Infarction Antero-lateral

2. Hipertensi derajat 1

3. Diabetes mellitus tipe 2

h. Diagnosis Kerja

16
1. Acute Coronary Syndrome ST-Segment Elevation Myocardial
Infarction antero-lateral
2. Hipertensi derajat 1
3. Diabetes mellitus tipe 2

i. Pemecahan Masalah
Problem 1 : Acute coronary syndrome st segment elevation myocardial
infarction antero-lateral
Ass: Evaluasi keadaan jantung pasien, Kualitas nyeri pasien
IPDx: Cek EKG berkala, Pemeriksaan Marker jantung,
IPRx: - Pemberian O2
- ISDN 5 mg/5 menit
(maks 3x)
- Morfin 2mg i.v
- Aspirin 150mg, pemeliharaan 75mg/hari
- Clopidogrel 300mg,
pemeliharaan 75mg/hari
IPEx : Memberikan penjelasan pada pasien dan keluarga,
bahwa pasien masih dapat menderita serangan
kembali dan harus dirawat serta revaskularisasi
coroner secepatnya
IPMx: Monitoring keadaan umum, dan tanda vital

Problem 2: Hipertensi Derajat 1

Ass: Makan-makanan berminyak


IPDx: Pemeriksaan tekanan darah berkala

IPRx: Captopril 12,5mg x 2

Candesartan 8mg

IPEx: edukasi pola hidup sehat, membatasi garam,

17
perubahan pola makan, olahraga

IPMx: Monitoring keadaan umum, tanda vital

Problem 3: Diabetes mellitus tipe 2

Ass: obesitas I, jarang berolahraga


IPDx: Pemeriksaan gula darah puasa dan sewaktu secara berkala

IPRx: Metformin 500 mg x 2

IPEx: edukasi pola hidup sehat, membatasi garam,


perubahan pola makan, olahraga teratur dan
berhenti merokok

IPMx: Monitoring keadaan umum, GDS

Monitoring
Tanggal 20 Februari 2021

S : Sakit dada membaik (+), Sesak (-), Mual (-), Keringat dingin (-),
menggigil (-), 20/02/21 Urine ouput: 1900cc, Balance cairan:
-899cc/24Jam
O : KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Nadi : 83x/menit
Respirasi : 18/menit
Suhu : 36,6C
SpO2 : 99%
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik
(-/-)
Leher : JVP 5+3 (normal)
Thorax : - Pulmo SNV (+/+), Wh (-/-), Rh (-/+)

18
- Cor BJ I,II regular, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen : Perut tampak rata, Distensi (-), Asites (-),
Nyeri tekan epigastrium (-), Bising usus (+),
Shiffting dullness (-), Undulasi (-)
Ekstremitas Oedem (-) , Akral Hangat (+/+)

Kolesterol Total : 264 mg/dL


Trigliserida : 367 mg/dL
Asam Urat : 5.5 mg/dL
Kolesterol HDL : 60 mg/dL
Kolesterol LDL : tidak bias dihitung
Urine Output : -37
Balance cairan: : -899

A: ACS Stemi antero-lateral

Hipertensi

DM tipe 2

P:

- Diperhidrinat 2 x 1
- Ramipril 1 x 5 mg
- Concor 1 x 2,5 mg
- ISDN 3 x 5 gr
- Loxadin 1 x 2 cth
- CPG 1x1
- Aspilet 1x1
- Atorvastatin 1x40mg
- Inj. Lavenox 0,6cc/12 Jam
- Inj. Lansoprazole /24jam
- NTG 100 mcg/menit
- Humalog 2 x 10

19
- Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr
- Lasix 1 amp

Tanggal 21 Januari 2020

S : Sakit dada (-), Sesak (-), Mual (-), Keringat dingin (-), menggigil (-)
O : KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah : 123/76 mmHg
Nadi : 81 x/menit
Respirasi : 18 x/menit
Suhu : 36,8C
SpO2 : 99%
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik
(-/-)
Leher : JVP 5+3 (normal)
Thorax : - Pulmo SNV (+/+), Wh (-/-), Rh (-/-)
- Cor BJ I,II regular, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen : Perut tampak rata, Distensi (-), Asites (-),
Nyeri tekan epigastrium (-), Bising usus (+),
Shiffting dullness (-), Undulasi (-)
Ekstremitas : Oedem (-) , Akral Hangat (+/+)

A: ACS Stemi antero-lateral

Hipertensi

DM tipe 2

P:

20
- Diperhidrinat 2 x 1
- Ramipril 1 x 5 mg
- Concor 1 x 2,5 mg
- ISDN 3 x 5 gr
- Loxadin 1 x 2 cth
- CPG 1x1
- Aspilet 1x1
- Atorvastatin 1x40mg
- Inj. Lavenox 0,6cc/12 Jam
- Inj. Lansoprazole /24jam
- NTG 100 mcg/menit
- Humalog 2 x 10
- Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr
- Lasix 1 amp

• Alur Keterkaitan Masalah

DM TIPE 2 HIPERTENSI

ACS Stemi Antero-


lateral

• Lembar Pemecahan Masalah

21
Tanggal Problem aktif
20/12/19 1. DM tipe 2
2. Hipertensi
3. ACS Stemi Antero-
lateral

BAB I

22
PENDAHULUAN

Penyakit kardiovaskular saat ini merupakan penyebab kematian terbanyak,


dan akan bertambah banyak pada tahun 2020.1 penyakit jantung koroner sendiri
memakan korban jiwa sebanyak 8 Juta pada tahun 2013 di seluruh dunia,
mortalitas dari penyakit jantung coroner menurun seiring waktu, terutama pada
lansia.2 Sindrome coroner akut adalah keadaan gangguan aliran darah koroner
parsial hingga total ke miokard secara akut, bukan disebabkan oleh penyempitan
yang statis, namun terutama karena pembentukan trombus didalam arteri,
sehingga gejala yang timbul berupa nyeri dada tiba-tiba dengan intensitas nyeri
yang dinamis sesuai dengan derajat penyempitan yang dipengaruhi oleh
komponen vasopsasme arteri koroner dan terutama oleh ukuran trombusnya.3
Definisi hipertensi ditegakkan bila Tekanan darah sistol >140mmHg dan
atau Tekanan darah diastole >90mmHg.4 Hipertensi merupakan faktor penyebab
aterogenesis, dan meningkatkan resiko terjadinya sindrom koroner akut. Dalam
kasus akut miokard infark, penderita hipertensi sekitar 59%,5

23
BAB II
ANALISIS KASUS

A. Diabetes Mellitus tipe 2


Penegakkan diagnosis DM tipe 2 pada pasien ini dilakukan dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik, berdasarkan anamesis pasien mengaku sering
mengonsumsi jarang melakukan olahraga, pada pemeriksaan fisik saat diperiksa
IMT ditemukan obesitas I dimana merupakan factor risiko terjadinya DM dan
hasil GDS tanggal 19 Februari 2021 yaitu 331 mg/dl.

B. Hipertensi
Penegakkan diagnosis hipertensi pada pasien ini dilakukan dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik, berdasarkan anamesis pasien mengaku sering
mengonsumsi gorengan dan jarang melakukan olahraga, pada pemeriksaan fisik
saat diperiksa tanda vital ditemukan tekanan darah 144/93mmHg yang termasuk
Hipertensi derajat 1.

B. Acute Coronary Syndrome Stemi Antero-lateral


Penegakkan ACS Stemi Antero-lateral dilakukan dengan anamnesis, dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan keluhan sakit dada, dan sakit
dirasakan memberat baik dari intensitas maupun durasi serangan yang berawal
dari 10 menit hingga 1 jam hilang timbul. Pasien mengeluh sakit sakit seperti
ditekan dibagian tengah dada, disertai dengan keringat dingin, rasa menggigil,
sesak, dan mual, Keluhan muncul secara tiba-tiba, dan pasien tidak dapat
menunjuk persis lokasi nyerinya, pada EKG didapatkan ada peningkatan ST
elevasi pada lead V2, V3, V4, V5, V6 yang menunjukkan adanya infark jantung
pada bagian anterior dan lateral.

24
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi sindrom koroner akut


Sindroma koroner akut adalah merupakan kumpulan gejala yang terdiri
dari beberapa penyakit koroner yaitu angina tidak stabil/unstable angina, infark
miokard non-elevasi ST, dan infark miokard dengan elevasi ST, dengan
manifestasi klinis rada tidak enak di dada atau gejala lain sebagai akibat dari
iskemia miokardium.6 Menurut Departemen Kesehatan RI tahun 2006, salah satu
penyakit jantung koroner yang utama dan paling sering mengakibatkan kematian
adalah sindrom koroner akut.

Epidemiologi sindrom koroner akut


The American Heart Association memperkirakan 1,1 juta pasien dengan
infark miokard di United States dan 40% diantaranya meninggal. Menurut Global
Registry of Acute Coronary Events (GRACE) tahun 2002, insiden sindrom
koroner akut di Eropa diestimasikan naik dari 1 per 80 menjadi 1 per 170 dari
populasi per tahun. Pasien yang didiagnosis sindrom koroner akut diantaranya
44% angina tidak stabil dan suspect infark miokard akut 45% diantaranya.
Menurut Euro Heart Survey, 42% dari populasi memiliki diagnosis miokard
infark dengan ST elevasi pada pertama kalinya, dimana teridentifikasi gelombang
Q pada 33% pasien, 25% pasien tidak didapatkan gelombang Q, dan angina tidak
stabil pada 42% pasien. Insiden infark miokard di United Kingdom pada pria usia
30 – 69 tahun adalah 6 per 1000 dan 2 per 1000 untuk wanita. Menurut Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 malporkan prevalensi peyakit
jantung koroner di Indonesia berdasarkan diagnosis dokter atau gejala sebesar
1,5%. Data yang didapatkan dari Jakarta Cardiovascular Study pada 2008
memperlihatkan prevalensi infark miokardium pada wanita 4,12% dan 7,6% pada
pria, atau 5,29% pada keseluruhan.7

Patogenesis Sindrom Koroner Akut

25
Aterosklerosis adalah etiologi terbanyak yang menyebabkan penyakit
arteri koroner, penyakit arteri karotis, dan penyakit arteri perifer. Manifestasi
aterosklerosis seperti pada sindrom koroner akut biasanya di sebabkan karena
trombosis akut, ruptur atau erosi plak atrosklerosis, dengan atau tanpa
vasokonstriksi, dimana hal ini dapat menyebabkan menurunnya supplai oksigen
dalam darah. Pada kasus tertentu sindrom koroner akut mungkin bisa juga
disebabkan oleh etiologi nono-aterosklerosis seperti arteritis, trauma, diseksi,
tromboembolisme, anomali kongenital, penyalahgunaan kokain, atau komplikasi
dari kateterisasi jantung.
Aterosklerosis merupakan respon inflamasi imun yang multifokal dan
kronik. Patogenesis pada sindrom koroner akut melibatkan peranan sel endotel
pembuluh darah, sel inflamatorik, dan trombogenitas pembuluh darah. Pada
tingkat seluler, plak terbentuk karena adanya sinyal-sinyal yang menyebabkan sel
darah, seperti monosit, melekat ke lumen pembuluh darah. Aterosklerosis
merupakan proses pembentukan plak di tunika intima arteri besar dan arteri
sedang. Proses ini dapat berlangsung terus menerus dan dapat menyebabkan
sindrom koroner akut.
Proses aterosklerosis ini terjadi melalui 4 tahap yaitu kerusakan endotel,
migrasi kolesterol low-density lipoprotein (LDL) ke dalam tunika intima, respons
inflamatorik, dan pembentukan kapsul fibrosis. Kerusakan endotel dapat terjadi
karena infeksi dan stress oksidatif. Faktor risiko lainnya yang turut berperan
adalah hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes, dan merokok. Endotel yang rusak
ini akan mengaktifkan proses inflamasi, migrasi, dan proliferasi sel, kerusakan
jaringan, lalu terjadi perbaikan, yang akhirnya akan menyebabkan terbentuknya
plak.
Tanda-tanda disfngsi endotel adalah berkurangnya bioavailibilitas nitrit
oksida dan produksi endotelin-1 yang berlebihan sehingga menggangu fungsi
hemostatsis vaskuler, peningkatan ekspresi molekul adhesif seperti P-selektin, dan
peningkatan trombogenisitas darah melalui sekresi beberapa substansi aktif lokal.
Jika sel endotel rusak, sel-sel inflamatorik, terutama monosit bermigrasi menuju
ke lapisan subendotel dengan cara berikatan dengan molekul adhesif endotel. Jika

26
sudah berada pada lapisan subendotel, se-sel ini berddiferensiasi menjadi
makrofag. Makrofag akan memfagosit LDL teroksidasi dan penetrasi ke dinding
arteri, dimana akan berubah menjadi foam cell yang selanjutnya akan membentuk
fatty streaks. Makrofag yang teraktivasi ini melepaskan zat-zat kemoreaktan dan
sitokin seperti monocyte chemoattractant protein-1, tumor necrosis factor a, IL-1,
IL-4, dan C-reactive protein.
Hal ini akan menyebabkan semakin banyaknya jumlah makrofag, sel T,
dan sel otot polos pemhuluh darah pada tempat terjadinya plak. Sel otot polos
pembuluh darah bermigrasi dari tunika media menjadi tunika intima dan
menyintesis kolagen. Kemudian membentuk kapsul fibrosis yang bertujuan untuk
stabilisasi plak dengan cara membungkus inti lipid dari aliran pembuluh darah.
Makrofag juga menghasilkan matriks metaloproteinase (MMPs) yaitu enzim yang
mencerna matriks ekstraseluler dan menyebabkan terjadinya disrupsi plak.
Stabilisasi plak aterosklerosis bervariasi. LDL yang termodifikasi
meningkatkan respons inflamasi oleh makrofag, dimana apabila terjadi reaksi
inflamasi maka jumlah LDL yang migrasi ke tunika intima semakin banyak.
Makrofag yang terstimulasi akan memproduksi MMPs yang akan mendegradasi
kolagen. Jika kapsula fibrosis menipis maka akan meningkatkan risiko rupturnya
plak. Apabila plak sudah ruptus, maka akan menyebabkan paparan aliran darah
terhadap zat-zat trombogenik pada plak yang pada akhirnya akan menyebabkan
bekuan. Proses proinflamatorik ini dapat menyebabkan pembentukan plak.
Namun sebaliknya ada proses antiinflamatorik yang membatasi pertumbuhan plak
yaitu sitokin seperti IL-4 dan TGF-b. Pada umumnya plak aterosklerotik akan
berkembang perlahan-lahan dan tetap stabil.
Dinding plak dapat terus menerus menipis dan menyebabkan rupturnya
plak tersebut. Isi plak yang terpapar oleh darah akan menyebabkan adhesi
trombosit sehingga terjadi mikroemboli pembuluh darah distal dan iskemia
jaringan. Plak yang ruptur tersebut menyebabkan proliferasi dan migrasi sel otot
polos dan menyebabkan oklusi pemuluh darah. Hal ini menyebabkan
berkurangnya diameter pembuluh darah dan akan menyebabkan terjadinya

27
iskemia. Apabila oklusi bersifat total maka terjadi pada NSTEMI, namun apa bila
oklusi bersifat parsial dapat terjadi pada NSTEMI atau UAP.
Gejala akan muncul apabila plak sudah menyebabkan stenosis lumen 70-
80%. Sampai saat ini belum ada yang dapat menjelaskan mengapa plak
ateroskrelotik ada yang ruptur dan tetap stabil. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa inti lipid yang besar, kapsul fibrosa yang tipis, dan inflamasi dalam plak
merupakan predisposisi untuk terjadinya ruptur. Setelah terjadinya ruptur plak
atau erosi endotel, maka matriks subendotelial akan terpapar darah yang ada di
sirkulasi. Hal ini menyebabkan adhesi trombosit yang diikuti aktivasi dan agregasi
trombosit dan selanjutnya akan menyebabkan trombus. Trombosit berperan dalam
proses hemostasis primer. Selain trombosit, pembentukkan trombus juga
melibatkan sistem koagulasi plasma yaitu jalur hemostasis sekunder
Terdapat dua macam trombus yang dapat terbentuk yaitu white trombus
dan red thrombus. White trombus atau trombus aglutinasi terdiri atas fibrin dan
lapisan trombosit, leukosit dengan sedikit eritrosit. Trombus ini terdapat pada
pembuluh darah yang alirannya cepat yaitu arteri dan banyak terdapat pada
sindrom koroner akut. Red thrombus atau trombus koagulasi terdiri dari sel
trombosit dan leukosit tersebar rata dalam suatu massa yang terdiri dari eritrosit
dan fibrin. Trombus ini biasanya terdapat pada aliran darah yang lebih lambat
yaitu vena dan penyakit yang dapat terjadi yaitu atrial fibrilation dan deep vein
thrombosis.
Sel endotel pembuluh darah memproduksi bahan vasodilator seperti nitrit
oksida (NO), prostasiklin, dan endothelium-derived hyperpolarizing factor
(EDHF). Pada sel endotelium yang normal NO meregulasi tonus vaskular.
Protasiklin merupakan hasil metabolisme dari asam arakidonat yang memiliki
efek vasodilator, dimana protasilin akan disekresi apabila ada pencetusnya seperti
hipoksia, stres, dan asetilkolin. EDHF juga memiliki peranan penting untuk efek
vasodilator terutama pada arteriol. Sel endotel pembuluh darah juga memproduksi
bahan vasokonstriktor yaitu endotelin 1 yang pengeluarannya disekresi oleh
beberapa faktor, diantara lain adalha trombin, angiotensi II, epinefrin, dan aliran
darah.

28
Pada keadaan normal, sel endotel yang rusak lebih mendominasi bahan
vasodilator dibandingkan vasokonstriktor. Namun apabila terjadi proses patologis
seperti disfungsi endotl akan menyebabkan ketidakseimbangan antara kedua
bahan ini. Faktor yang mempengaruhi vasospasme pembuluh darah adalah
berkurangnya produksi NO, aktivasi platelet ketika terjadi ruptur plak, dan
terbentuknya faktor koalugasi. Vasospasme pembuluh darah terjadi karena
disfungsi endotel dan adanya bahan vasoaktif sehingga menyebabkan perubahan
tonus pembuluh darah.

Gambar 1. Jalur inflamasi pada thrombosis dan rupture arteri

29
Gambar 2.

Patofisiologi sindrom koroner akut


Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh
darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan
komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut.
Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur
koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus). Trombus
ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total maupun
parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih
distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi
sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah
koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti
selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis
(infark miokard).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah
koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).
Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium

30
karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan
remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian
pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka
mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri
koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa
spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis
setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti
demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus
terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.

Klasifikasi sindrom koroner akut


Berdasarkan jenisnya, sindroma koroner akut dibagi menjadi 3 jenis yaitu
angina pektoris tidak stabil / unstable angina pectoris, infark miokard akut non-
elevasi segmen ST (NSTEMI), dan infark miokard akut dengan elevasi segmen
ST (STEMI). Oklusi total pembuluh darah terjadi pada sindrom koroner akut
STEMI. Pada sindroma koroner akut NSTEMI didapatkan keluhan angina
pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang pesisten di dua sadapan yang
bersebelahan pada elektrokardiografi. Pada NSTEMI dan angina pektoris tidak
stabil didapatkan keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang
menetap di kedua sadapan, melainkan didapatkan hasil elektrokardiografinya
berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar,
gelombang T pseudo-normaliasasi, atau bahkan tanpa perubahan.
Cara membedakan STEMI, angina pektoris tidak stabil dan NSTEMI
adalah dengan melihat hasil pemeriksaan kadar biomarka jantung, yaitu troponin,
high sensitivity troponin, atau CK-MB (creatinine kinase MB). Pada angina
pektoris stabil tidak didapatkan peningkatan kadar biomarka jantung, sedangkan
pada NSTEMI dan STEMI didapatkan peningkatan kadar biomarka jantung.
Apabila pasien dengan keluhan angina didapatkan pemeriksaan elektrokardiografi
awal normal atau menunjukkan kelainan yang non-diagnostik, maka pemeriksaan
diulang 10-20 menit kemudian. Jika elektrokardiografi ulangan tetap
menunjukkan gambaran non-diagnostik sementara keluhan angina tipikal maka

31
pantau pasien selama 12-24 jam. Pemeriksaan elektrokardiografi diulang setiap
terjadinya angina berulang atau minimal satu kali dalam sehari

Diagnosis sindrom koroner akut


a) Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Keluhan pasien dengan iskemi miokardium dapat berupa angina tipikal
atau angina atipikal (ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan atau
berat di daerah retrosternal dan menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area
interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiren
atau beberapa menit atau persitsten (>20 menit). Keluhan angina tipikal pada
umumnya disertai keluhan penyerta seperti diaforesis, mual muntah, nyeri
abdominal, sesak nafas, dan sinkop.
Keluhan angina tipikal sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40
tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, pasien gagal ginjal,
atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat,
keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan
aktivitas, terutama pada pasien yang memiliki riwayat penyakit jantung koroner.
Diagnosis sindrom koroner akut akan menjadi lebih kuat apabila ditemukan
karakteristik berikut yaitu;
1. Pria,
2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner
seperti penyakit arteri perifer,
3. Diketahui mempunyai riwayat penyakit jantung koroner, dan
4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok,
dislipidemia, diabetes mellitus, riwayat penyakit jantung
koroner dini dalam keluarga.
Diagnosis sindrom koroner akut harus dipertimbangkan pada semua
pasien yang menunjukkan gejala iskemik. Rasa sakit dan tidak nyaman
berhubungan dengan kejadian sindrom koroner akut yang berhubungan saat
aktivitas dan istirahat, biasanya rasa sakitnya menyebar daripada terlokalisir.
Penjalaran rasa nyeri menjalar sampai ke lengan kiri, bahu kanan, atau kedua

32
lengan berhubungan dengan infark miokard. Gejala yang tidak spesifik untuk
infark miokard dan tidak terjadi pada semua pasien yang mengalami kejadian
sindrom koroner akut. Gejala lain yang dapat terjadi pada sindrom koroner akut
adalah palpitasi, henti jantung, atau asimptomatik. Pada anamnesis perlu digali
apakah jenis nyeri dada sesuai dengan karakteristik iskemia miokard. Berikut ini
adalah gambaran nyeri dada non kardiak;
a) Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi
atau batuk
b) Nyeri abdomen tengah atau bawah
c) Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di
daerah apeks jantung
d) Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
e) Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
f) Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah.
Infark miokard adalah terjadinya nekrosis miokard disebabkan oleh iskemi
miokard. Hal lain yang menyebabkan cedera miokard dan tidak termasuk definisi
sindrom koroner akut adalah perikarditis, diseksi aorta aneurisma, dan prolapsus
katup mitral. Selain itu terdapat beberapa gejala non kardiak yang dapat
bermanifestasi dengan gejala serupa sindom kotoner akut, termasuk nyeri
muskuloskeletal, ketidaknyamanan esofagus, emboli paru, atau kecemasan.
Penting untuk mengetahui dan menentukan etiologi yang tepa dari tanda dan
gejala pasien untuk menentukan rencana manajemen yang tepat.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus
iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta, dan menyingkirkan diagnosis
banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga, ronkhi basah halus, dan
hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia.
Ditemukannya tanda tanda regurgitasi katup mitral, hipotensi, diaforesis, ronki
basah halus atau edema paru meningkatakan kecurigaan terhadap sindrom koroner
akut. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang,
dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik,

33
disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam
memikirkan diagnosis banding sindrom koroner akut.
Sebagian besar pasien dengan nyeri dada tidak terdapat infark miokard sehingga
perlu dilakukan pendekatan sistematis untuk menegakkan diagnosis sindrom
koroner akut. Penilaian dimulai dengan elektrokardigrafi cepat dalam waktu
kurang dari 10 menit setelah onset angina. Jika ada bukti STEMI, pasien harus
segera dirujuk untuk terapi reperfusi dengan intercensi koroner perkutan primer
atau percutaneous coronary intervention (PCI), atau dapat dilakukan terapi
fibrinolitik. Jika tidak ada bukti STEMI, risiko pasien sindroma koroner akut
harus diklasifikasinya menjadi risiko rendah, risiko. Pasien dengan peningkatan
kadar biomarka jantung dengan elvasi segmen ST harus dirawat di rumah sakit
sesuai dengan pedoman American College of Cardiology / American Heart
Association yaitu dilakukan strategi invasif yaitu angiodrafi diagnostik dengan
revaskularisasi sebagaimana yang sudah diindikasikan untuk pasien dengan risiko
tinggi. Pada pasien dengan kadar troponin jantung negatif perlu dilakukan tes
konfirmasi tambahan dapat dilakukan untuk lebih menurunkan risiko sindroma
koroner akut yang tidak didiagnosis.
Salah satu diagnosis banding dari sindrom koroner akut adalah diseksi
aorta, dimana hal tersebut merupakan kegawatdaruratan kardiovaskular. Diseksi
aorta adalah robeknya tunika intima dinding aorta sehingga menyebabkan darah
mengalir masuk menuju tunika media, rupturnya vasa vasorum akan
menghasilkan hematoma dan diikuti robekan tunika intima dan diseksi aorta.
Diseksi dapat menghambat aliran darah aorta dan juga arteri yang
dipercabangkannya, melemahkan dinding aorta, aneurisma atau ruptur aorta.
Keluhan terbanyak pada diseksi aorta adalah nyeri dada hebat yang bersifat
mendadak, nyeri bersifat tajam, digambarkan seperti dirobek, disayat, atau
ditusuk. Letak nyeri di toraks anterior atau antara kedua skapula. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan pulpus defisit (perbedaan frekuensi denyut nadi)
atau perbedaan tekanan darah di dua lengan dapat mengarah ke curiga diseksi
aorta. Pada pemeriksaan elektrokardiografi dapat normal atau ditemuka perubahan
segmen ST dan gelombang T.

34
Pemeriksaan biomarker jantung
Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan biomarker jantung
dan pemeriksaan elektrokardiografi perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis
sindrom koroner akut. Pemeriksaan biomarker yang diperiksa adalah troponin I/T
dan creatinine kinase-MB (CK-MB). Troponin I/T atau CK-MB yang meningkat
menandakan adanya cedera miokard yang menyebabkan nekrosis sel miokard,
salah satunya pada kondisi sindorm koroner akut STEMI atau NSTEMI. Namun
biomarka jantung dapat mengalami peningkatan pada beberapa kondisi berikut ini
yaitu edema pulmonal akut, emboli pulmonal, gagal jantung, insufisiensi renal,
dan miokarditis. Sehingga sindrom koroner akut tidak dapat ditegakkan hanya
dengan melihat dari biomarka jantung saja. Penilaian biomarka jantung berguna
untuk mengetahui kondisi akut dan kronis. Kadar troponin dapat diukur mulai dari
3-4 jam setelah onset angina, biasanya diperiksa 6-8 jam setelahnya.
Peningkatan troponin dapat meningkat hingga 2 minggu setelah onset
angina. Sementara itu peningkatan CKMB meningkat dalam waktu 4-6 jam
setelah onset angina dan mencapai kadar puncak pada 12 jam setelah onset.
Peningkatan CKMB hanya menetap selama 2 hari. Pada fase awal infark miokard
terdapat peningkatan mioglobin untuk penanda adanya kerusakan miokard, namun
spesifisitasnya kurang.

Gambar Waktu timbulnya marka jantung

35
Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG)
Hasil dari pemeriksaan EKG dapat menggambarkan iskemia miokard yang
ditandai perubahan pada segmen PR, kompleks QRS, dan segmen ST. Evaluasi
perubahan EKG dapat memperkirakan waktu kejadian, jumlah miokardium yang
terkena, prognosis pasien, dan strategi tatalaksana yang tepat. Elevasi segmen ST
didapatkan pada sindroma koroner akut STEMI. Sama seperti biomarka jantung,
hasil EKG tidak cukup untuk membuat diagnosis infark miokard akut. Perubahan
hasil EKG seperti abnormalitas segmen ST dapat terjadi pada kondisi lain selain
infark miokard yaitu hipertrofi ventrikel kiri, left bundle branch block (LBBB),
atau perikarditis akut.
Kriteria untuk mendiagnosis STEMI termuask elevasi segmen ST 2 mm
pada pria dan 15 mm pada wanita di sarapan V2 dan V3L 1mm untuk sadapan
V1, V4-6, I, II, III, aVL, dan aVF; dan 0,5 mm untuk sadarpan V3R, V4R, dan
V7-9. Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup
bervariasi yaitu normal, LBBB, elevasi segmen ST, atau depresi segmen ST
dengan atau tanpa inversi gelombang T. Pasien sindrom koroner akut dengan
elevasi segmen ST dengan LBBB sangat dianjurkan untuk diberikan terapi
reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI
dapat segera mendapat terapi repersu sebelum hasil pemeriksaan biomarka
Infark miokard dapat didiagnosis kuat apabila gambaran EKG pasien
dengan LBBB disertai elevasi segmen ST ≥ 1 mm pada sadapan dengan kompleks
QRS positif dan depresi segmen ST ≥ 1 mm di V1-V3. Perubahan segmen ST
seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan yang mempunyai spesifisitas
tinggi dan sensitivas rendah untuk diagnosis iskemik akut. Perubahan segmen ST
yang diskordan pada sadapan dengan komplek QRS negatif mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah.
Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan
elevasi ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard NSTEMI atau
Unstable Angina Pectoris (UAP). Deperesi segmen ST yang diagnostik untuk
iskemia adalah sebesar ≥ 0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥ 0,1 mV di sadapan
lainnya. Selain depresi segmen ST dapat juga ditemukan elevasi segmen ST yang

36
tidak persisten (<20 menit) yang dapat dideteksi pada >2 sadapan yang
berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris ≥ 0,2 mV mempunyai spesifisitas
tinggi untuk iskemia akut. Gambaran iskemia pada EKG dapat dilihat pada
gambar 10. Salah satu contoh hasil EKG yang menunjukkan adanya oklusi arteri
koroner dapat dilihat pada gambar 11. Terlihat elevasi segmen ST di lead II, III,
dan aVF dan depresi segmen ST di V1-V4.

Tabel 1. Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG


Sadapan dengan deviasi segmen Lokasi iskemia atau
ST infark
V1-V4 Anterior
V5-V6, I, aVL Lateral
II, III, aVF Inferior
V7-V9 Posterior
V3R, V4R Ventrikel kanan

Gambar Iskemia EKG

Pemeriksaan angiografi koroner


Angiografi koroner memberikan informasi mengenai keberadaan dn
tingkat keparahan penyakit jantung koroner, sehingga dianjutkan segera dilakukan
untuk tujuan diagnostik pada pasien dengan risiko tinggi dan diagnosis banding
tidak jelas. Penemuan oklusi trombotik akut, misalnya pada arteri sirkumfleksa,
sangat penting pada pasien yang sedang mengalami gejala atau peningkatan
troponin namun tidak ditemukan perubahan EKG diagnostik. Pada pasien dengan
stenosis arteri utam akiri memiliki risiko tinggi untuk kejadian kardiovaskular

37
yang serius, angiografi koroner disertai perekaman EKG dan abnormalitas
gerakan dinding regional seringkali memungkinkan identifikasi lesi yang menjadi
penyebab. Penemuan angiografi yang khas antara lain eksentrisitas, batas yang
ireguler, ulserasi, penampakan yang kabur, dan filling deffect yang mengesankan
adanya trombus intrakoroner

Tatalaksana sindrom koroner akut


Terapi awal yang diberikan kepada pasien dengan sindrom koroner akut
atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan
KEG dan/atau biomarka jantung, adalah pemberian oksigen, IV line, pemasangan
monitor, pemberian morfin, pemberian golongan nitrat, dan pemberian aspirin.
Pemberian oksigen diindikasikan pada pasien dengan hipoksemia (SaO2 < 90 %
atau PaO2 mmHg). Pemberian aspirin 160-320 mg diberikan segera kepada semua
pasien sindrom koroner akut dengan sediaan sublingual. Antiplatelet yang
diberikan adalah golongan penghambat reseptor adenosit difosfat (ADP) yaitu
clopidogrel atau ticagrelor. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg-600 mg dengan
dosis pemeliharaan 75 mg/hari. Pada pasien yang direncanakan untuk terapi
reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, clopidogrel sangat dianjurkan untuk
dikonsumsi. Dosis awal ticagrelor adalah 180 mg dengan dosis pemeliharaan 2 x
90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang direncanakn untuk terapi agen
fibrinolitik.
Nitrogliserin spray atau tablet sublingual dikonsumsi untuk pasien yang
mengelukan nyeri dada yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat.
Jika nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, maka dapat dilang
pemberiannya setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali. Nitrogliserin intravena
diberikan kepala pasien yang tidak responsif dengan terapi 3 dosis nitrogliserin
sublingual. Apabila tidak tersedia nitrogliserin, maka dapat menggantinya dengan
obat vasodilator lain yaitu isosorbid dinirat (ISDN). Morfin sulfat 1-5 mg
intravena diberikan pada penatalaksanaan awal, lalu morfin dapat diulang
pemberiannya setiap 10-30 menit. Morfin diberikan pada pasien yang tidak
responsif dengan terapi 3 dosis nitrogliserin sublingual.

38
Pasien yang masih mengalami nyeri dada setelah pemberian ISDN 5 mg
selam 3 kalis ecara sublingual, maka dapat diberikan nitrogliserin drip intravena
secara titrasi sesuai respon tekanan darah. Dosis dimulai dengan 5-10 mcg/menit
dan dosis dapat ditingkatkaan 5-20 mcg/menit hingga respon nyeri berkurang atau
hingga mean arterial pressure (MEAN) menurun 10% pada normotensi dan 30%
pada hipertensi. Tekanan darah sistolik >90 mmHg menjadi syarat diberikannya
nitrogliserin. Pasien yang sudah ditatalaksana awal dan masih terlihat cemas dapat
dipertimbangkan untuk diberikan antiansietas sesuai evaluasi selama perawatan.
Obat antiansietas diantara lain adalah diazepam 5 mg atau alprazolam 0,25 mg.
Prinsip tatalaksana medikamentosa pada sindrom koroner akut diberikan
berdasarkan patofisiologi terjadinya penyakit tersebut, diantara lain adalah
terjadinya agregasi trombosit, proses inflamasi, adanya faktor koagulasi, dan
vasospasme pembuluh darah koroner. Sehingga terapi medikamentosa yang
diberikan setelah tatalaksana awal adalah antiplatelet, antikoagulan, golongan
statin, antiinflamasi, dan vasodilator. Namun untuk sindrom koroner akut tidak
boleh diberikan obat antiinflamasi non steroid kecuali aspirin.
Asesmen jenis sindrom koroner akut pada pasien dengan manifestasi klinis
angina di ruang gawat darurat sangat diperlukan karena STEMI tatalaksananya
direkomendasikan untuk dilakukan terapi reperfusi. Penegakkan diagnosis
sindrom koroner akut didapatkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik,
pemeriksaan EKG, dan pemeriksaan biomarka jantung. Guideline European
Society of Cardiology (ESC) tahun 2017 mengatakan bahwa pemeriksaan EKG
harus dialakukan maksimal 10 menit setelah serangan nyeri dada, tujuannya
adalah untuk menentukan jenis sindrom koroner akut. Ketika diagnosis kerja
STEMI ditegakkan, segera pertimbangkan untuk memberikan terapi reperfusi.
Namun ketika hasil EKG tidak didapatkan kelainan namun gejala klinis
menunjukkan arah infark miokard maka pemeriksaan EKG harus diperiksa
kembali.
Terapi reperfusi pada sindrom koroner akut diantara lain adalah terapi
fibrinolitik menggunakan strptokinase atau alteplase, serta dapat diberiakn terapi
invasif percutaneous coronary intervention (PCI). Terapi fibrinolitik penting

39
dilakukan untuk tujuan reperfusi apabila primary PCI tidak tersedia di fasilitas
kesehatan. Terapi fibrinolitik didapatkan manfaat yang absolut pada pasien
dengan risiko tinggi, termasuk usia lanjut dan ketika terpai dilakukan < 2jam
setelah onset angina. Rekomendasi dilakukan terapi fibrinolitik adalah < 12 jam
setelah onset angina apabila primary PCI tidak dapat dilakukan dlam waktu <120
menit setelah didiagnosis STEMI dan tidak ada kontraindikasi.
Kontraindikasi terapi fibrinolitik terbagi menjadi 2 yaitu kontraindikasi
absolut dan relatif. Kontraindikasi absolut adalah riwayat stroke atau perdarahan
intrakranial, stroke iskemik dalam 6 bulan terakhir, malformasi arteri vena, trauma
hebat dalam beberapa bulan terakhir, perdarahan gastrointestinal dalam beberapa
bulan terakhir, dan diseksi aorta. Kontraindikasi relatif terapi fibrinolitik adalah
transient ischaemic attack dalam 6 bulan terakhir, telah mendapatkan terapi
antikoagulan oral, hamil atau 1 minggu setelah melahirkan, hipertensi sistolik
>180 mmg dan atau diastolik >110 mmhg, memiliki penyakit liver, endokarditis
infektif, dan ulkus peptik.
Pasien dengan diagnosis sindrom koroner akut STEMI dengan fasilitas
kesehatan yang memiliki fasilitas PCI dapat dilakukan alogaritma terapi reperfusi
sesuai gambar 13. PCI yang dilakukan ≤120 menit setelah onset angina
dinamakan primary PCI strategy. Apabila onset angina >120 menit, maka lakukan
terapi fibrinolitik secara bolus, kemudian pindahkan pasien ke fasilitas PCI.
Waktu dari pemberian fibrinolitik hingga PCI sebaiknya 60-90 menit. Setelah
dilakukan PCI, segera nilai apakah pasien mengalami perbaikan. Apabila tidak
memenuhi kriteria berhasil reperfusi maka dilakukan rescue PCI
Selama terapi fibrinolitik berlangsung, perlu dilakukan pemantauan
terhadap irama jantung, tekanan darah, dan kesadaran pasien. Terapi fibrinolitik
memiliki komplikasi aritmia, hipotensi, edema peru, maupun alergi. Sehingga
perlu dilakukan pemantauan ketat setiap 5 menit. Komplikasi terapi fibrinolitik
dapat terjadi saat berlangsungnya terapi ataupuns esudah diberikan terapi.
Pemberian antitrombin atau antikoagulan perlu diberikan sebagai koterapi setelah
terapi fibrinolitik. Indikasi keberhasil terapi fibrinolitik adalah berkurangnya nyeri
dada, evolusi atau perubahan EKG berupa kembalinya elevasi segemen ST ke

40
garis isoelektrik atau menurunnya elevasi ST > 50% pada sadapan yang paling
terlihat jelas setelah 90 menit dimulainya terapi fibrinolitik, dan kadar kreatinin
kinase yang lebih cepat mencapai puncak.
Namun terapi fibrinolitik dapat gagal yaitu apabila nyeri dada terus
berlanjut dan elevasi segmen ST menetap, sehingga perlu dipertimbangkan
dilakukannya rescue PCI. Kegagalan strategi reperfusi PCI yang dilakukan pada
pasien yang telah mendapat terapi fibrinolitik tapi dicurigai tidak berhasil yaitu
apabila ditemui tanda tanda hemodinamik tidak stabil, gejala nyeri dada yang
tidak membaik, dan gambaran EKG tidak dijumpai penuruna elevasi segmen
ST>50%.

Gambar. Evaluasi dan tatalaksana sindrom koroner akut

41
Gambar Algoritma ACS

42
Gambar. Langkah-langkah reperfusi

43
Gambar Reperfusi ACS

Komplikasi sindrom koroner akut


Komplikasi yang dapat timbul adalah adanya aritmia jantung yang
mengancam nyawa seperti ventrikel takikardi, ventrikel fibrilasi, dan AV blok
total. Insidens aritmia ventrikel biasanya terjadi setelah 48 jam onset sindrom
koroner akut. Komplikasi lainnya adalah gagal jantung yang disebabkan oleh
karena kerusakan miokard namun dapat pula terjadi karena aritmia atau
komplikasi mekanik seperti ruptur septum ventrikel atau regurgitasi mitral
iskemik. Syok kardiogenik pada sindrom koroner akut juga merupakan salah satu
komplikasi sindrom koroner akut. Syok kardiogenik menandakan kegagalan
pompa jantung berat dan hipoperfusi dengan manifestasi klinis tekanan darah
sistolik <90 mmhg, pulmonary wedge pressure >@0 mmHg atau cardiac index
<1,8 L/m2. Diagnosis syok kardiogenik ditegakkan setelah menyingkirkan
penyebab lain hipotensi seperi hipovolemik, reaksi nervus vagus, tamponade
jantung, aritmia, dan gangguan elektrolit. Komplikasi mekanik yang timbul akibat

44
sindrom koroner akut adalah rupturnya dinding ventrikel dan regurgitasi mitral
akut.
Rupturnya dinding ventrikel terjadi ketika disosiasi aktivitas potensial aksi
sehingga menyebabkan henti jantung dalam waktu singkat. Ruptur dinding
ventrikel subakut pada 25% kasus masih memberikan harapan untuk dilakukan
tindakan bedah secepatnya. Manifestasi klinis lainnya yaitu gambaran reinfark
dan didapatkan kembali gambaran elevasi segmen ST pada EKG. Komplikasi
regurgitasi mitral akut biasanya terjadi dalam 2-7 hari sindom koroner akut.
Terdapat 3 mekanisme terjadinya regurgitasi mitral akut yaitu dilatasi anulus
mitral akibat dilatasi ventrikel kiri, disfungsi muskulus papilaris akut akibat infark
miokard, dan ruptur dari badan atau ujung muskularis papilaris. Evaluasi
regurgitasi dilakukan dengan melihat hasil EKG. Syok kardiogenik juga dapat
terjadi pada regurgitasi mitral akut.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Aini R, Susiloningsih J. Faktor resiko yang


berhubungan dengan kejadian hepatitis b pada pondok pesantren putri ibnul
qoyyim Yogyakarta . Sains medika 2013;5(1):30-3
2. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 2013
3. Song JE, Kim DY. Diagnosis of hepatitis B. Ann
Transl Med 2016;4(18):338
4. Trisnaningsih RW, Sari CP, Setyaningrum N.
Evaluasi terapi pada pasien hepatitis B di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta.
Jurnal Ilmiah Farmasi 2017;13(1):27-33
5. World Health Organizaton. Hepatitis B. 2017 April.
Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs204/en/
6. Kasper, Fauci, et all. Harrison’s Principles of
Internal Medicine. 19th Edition. USA; McGraw-Hill Education; 2012
7. Sudoyo, Aru W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I Edisi IV. Jakarta; Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam; 2006.
8. Soemohardjo S dan Gunawan S. Hepatitis B
Kronik. in: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S,
editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4 ed. Jilid I. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta. 2007. p. 653-60.
9. Wilkins T, Zimmerman D, Schade RR. Hepatitis B:
Diagnosis and Treatment. Medical College of Georgia 2010;81(8):965-972.
10. Jules L. Dienstag, M.D. Drug Therapy Hepatitis B
Virus Infection. The new england journal of medicine 2009;359:1486-500.
11. Elgouhari HM, Abu-Rajab Tamimi T, Carey WD.
2009. Hepatitis B: A strategy for evaluation and management. Cleveland
Clinic Journals of Medicine;76(1)

46
12. Tang C., Yau T. O., Yu J. Management of chronic
hepatitis B infection: Current treatment gudelines, challenges, and new
developments. World J Gastroenterol 2014 May 28; 20(20): 6262-78

47

Anda mungkin juga menyukai