Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

SEORANG LAKI-LAKI 51 TAHUN DENGAN OBS. FEBRIS HARI


KE-4 ET CAUSA LEPTOSPIROSIS DD DHF, AKI DD ACUTE ON
CKD

Oleh:
Nadya Rahma Indarti G99182002

PEMBIMBING RESIDEN

dr. Harsono, Sp.PK dr. Tisha Patricia

BAGIAN PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR MOEWARDI
SURAKARTA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Patologi Klinik Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr. Moewardi
Surakarta dengan judul:

SEORANG LAKI-LAKI 51 TAHUN DENGAN OBS. FEBRIS HARI KE-4


ET CAUSA LEPTOSPIROSIS DD CHF, AKI DD ACUTE ON CKD

Hari, tanggal: Jum’at, 18 Desember 2020

Oleh:
Nadya Rahma Indarti – G99182002

Megetahui dan menyetujui,

Pembimbing Laporan Kasus

dr. Harsono, Sp.PK


BAB I
STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
Nama : Tn.S
Umur : 51 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Sukoharjo, Jawa Tengah
Nomor Rekam Medis : 016xxx
Status : Menikah
Pekerjaan : Pekerja Mebel
Suku : Jawa
:

Masuk Bangsal : 19 November 2020


Tanggal Pemeriksaan : 19 November 2020

B. Data Dasar
1. Keluhan Utama
Badan lemas 4 hari SMRS
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS UNS diantar oleh keluarganya dengan
keluhan badan lemas sejak 4 hari SMRS. lemas dirasakan diseluruh
badan, terus menerus sepanjang hari, lemas sedikit berkurang dengan
istirahat, nyeri otot dirasakan hilang timbul, Pasien mengaku demam 4
hari SMRS, demam dirasakan terus menerus, pasien sempat ke klinik dan
diberikan obat penurun panas, demam turun namun naik kembali, BAK
sedikit, Pasien sulit BAB sejak 2 hari SMRS. Perut dirasakan kembung,
mual (-), muntah (-), nyeri perut (-), batuk, pilek, sesak nafas disangkal.
Pasien mengaku kedua mata menjadi kuning sejak 3 hari yang lalu,
tidak ada riwayat bepergian ke luar jawa, Pasien bekerja di pabrik mebel,
pasien mengaku banyak tikus di tempatnya bekerja..
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa : Disangkal
Riwayat hipertensi : Disangkal
Riwayat diabetes mellitus : Disangkal
Riwayat penyakit jantung : Disangkal
Riwayat alergi : Disangkal
Riwayat operasi : Disangkal
Riwayat maag : Disangkal
Riwayat sakit kuning : Disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa : Disangkal
Riwayat tekanan darah tinggi : Disangkal
Riwayat diabetes mellitus : Disangkal
Riwayat penyakit jantung : Disangkal
Riwayat alergi : Disangkal
Riwayat sakit kuning : Disangkal
5. Riwayat Kebiasaan
Riwayat makan : Pasien makan 3 kali sehari dengan ½
porsi nasi, lauk – pauk, dan jarang makan
sayur dan buah.
Riwayat minum alkohol : Disangkal
Riwayat konsumsi jamu : Disangkal
Riwayat merokok : Disangkal
Riwayat olahraga : Jarang
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang laki-laki 51 tahun yang bekerja sebagai pekerja di
pabrik mebel. Pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik didapatkan sebagai berikut:
1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
GCS E4V5M6, compos mentis
2. Tanda Vital
a. Tekanan Darah : 119/60 mmHg lengan kanan, posisi supine
b. Denyut nadi : 97 kali/menit, regular, isi dan tegangan
cukup
c. Frekuensi napas : 20 kali/menit, reguler, pernapasan
thoracoabdominal
d. Suhu : 37,8°C per aksila
e. VAS : 3 (nyeri perut regio epigastrium)

3. Status Gizi
a. Berat Badan : 60 kg
b. Tinggi Badan : 163 cm
c. IMT : 22.60 kg/m2

d. Kesan : Normoweight
4. Kulit : Warna sawo matang, turgor menurun (-),
hiperpigmentasi (-), ikterik (-), petechie (-), hematom
(-)
5. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, rambut
rontok (-), jejas (-)
6. Mata : Mata cekung (-/-), oedema palpebrae (-/-), konjungtiva
pucat (+/+), conjungtival suffusion (+/+), refleks
cahaya (+/+), pupil isokor (3mm/3mm)
7. Telinga : Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-), nyeri tekan
mastoid (-/-), nyeri tekan tragus (-/-)
8. Hidung : Napas cuping hidung (-), sekret (-/-), darah (-/-)
9. Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), atrofi papil lidah (-), luka
sudut bibir (-), lidah kotor tepi hiperemis (-), oral
thrush (-), tonsil T1/T1 hiperemis (-), faring hiperemis
(-)
10 Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), JVP 5+2 cm,
. jejas (-), nyeri tekan (-), trakea di tengah dan simetris,
kelenjar tiroid membesar (-), distensi vena leher (-)
11 Thoraks : Normochest, pengembangan dada kanan-kiri simetris,
. retraksi (-), pernapasan abdominothoracal, sela iga
melebar (-)
12 Jantung
.
a. Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
b. Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V
linea midclavicularis sinistra
c. Perkusi :
Batas
Jantung
Kanan atas : SIC II linea parasternalis dextra
Kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dextra
Kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Kiri bawah : SIC VI linea aksilaris anterior
d. Auskultasi : bunyi jantung I dan II reguler, intensitas
normal, regular, bising (-)
13 Pulmo
.
a. Inspeksi
Statis : Normochest, simetris, SIC tidak melebar, iga
tidak mendatar
Dinamis : Pengembangan dada kanan = kiri, sela iga tidak
melebar, retraksi intercostal (-)
b. Palpasi
Statis : Simetris
Dinamis : Gerakan dinding dada kanan = kiri, fremitus
taktil kanan = kiri, nyeri tekan (-)
c. Perkusi
Kanan : Sonor
Kiri : Sonor
d. Auskultasi
1. Kanan : Suara dasar vesikular (+), wheezing (-), ronki
basah kasar (-), ronki basah halus (-)
2. Kiri : Suara dasar vesikular (+), wheezing (-), ronki
basah kasar (-), ronki basah halus (-)
14 Abdomen
.
a. Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding dada, jejas (-),
sikatriks (-), venektasi (-), striae (-), caput
medusa (-), ikterus (-), papula (-)
b. Auskultasi : Bising usus (+) 12x/menit, bruit hepar (-)
c. Perkusi : Timpani, pekak alih (-), undulasi (-)
d. Palpasi : Supel, NT (+) regio epigastrium, defans
muskular (-), undulasi (-), splenomegali (-),
Hepatomegali (-) hepar tidak teraba, tidak
teraba pulsasi.
15 Ekstremitas : Akral dingin Edema
. - - - -
- - + +
Superior ka/ki : Edema (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral
dingin (-/-), ikterus (-/-), luka (-/-), akral dingin
(-/-), kuku pucat (-/.), spoon nail (-/-), flat nail
(-/-), clubbing finger (-/-), nyeri tekan dan nyeri
gerak (-/-), deformitas (-/-)
Inferior ka/ki : Edema (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral
dingin (-/-), ikterus (-/-), luka (-/-), akral dingin
(-/-), kuku pucat (-/-), spoon nail (-/-), flat nail
(-/-), clubbing finger (-/-), nyeri tekan dan nyeri
gerak (-/-), deformitas (-/-), pitting oedem (-/-)

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium Darah 19 November 2020 di RS UNS
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hematologi Rutin
Hemoglobin 9.8 gram/dL 11.7 – 16.2
Hematokrit 22.1 % 34 – 40
Leukosit 18.23 ribu/L 4.5 – 11.0
Trombosit 10.4 ribu/L 150 – 450
Eritrosit 3.16 juta/L 3.9 – 5.3
Index Eritrosit
MCV 76.5 /um 79.0-99.0
MCH 28.7 Pg 27.0-31.0
MCHC 34.4 g/dl 33.0-37.0
RDW-WC 11.6 % 11.5-14.5
PDW 10.5 fL 9.0-13.0
MPV 9.9 fL 7.2-11.1
Hitung Jenis
Eosinofil 0.30 % 0–4
Basofil 0.30 % 0–2
Neutrofil 83.9 % 55 – 80
Limfosit 10.1 % 20 – 40
Monosit 5.4 % 0–7
Absolute Lymphocyte 1850 /uL >1500
Count
Neutrophile 35.20 H <3.13
Lymphocyte Count
HFLC 0.2 % 0 – 1.4
Kimia Klinik
Glukosa Darah 70 mg/dL 70 – 140
Sewaktu
Kreatinin 6.02 mg/dL 0.5 – 1.1
Ureum 159 mg/dL 10 – 45
SGOT 202 u/L 0 – 50
SGPT 75 u/L 0 – 40
Elektrolit
Kalium darah 4.18 mmol/L 3.3 – 5.1
Natrium darah 128.59 mmol/L 136 – 145
Klorida 103.05 mmol/L 96 – 106
Kalsum ion 0.93 mmol/L 1.1 – 1.35
Imunologi
Rapid Test Covid – 19
Anti SARS-CoV (IgG) Non Reaktif Non Reaktif
Anti SARS-CoV Non Reaktif Non Reaktif
(IgM)

2. Pemeriksaan Laboratorium GDT 19 November 2020 di RS UNS


a. Eritrosit: normokrom, normosit. Ditemukan polikromasi, ovalosit,
dan sel burr.Tidak ditemukan eritroblas, aglutinasi maupun
rouleaux.
b. Leukosit: jumlah meningkat, monositosis, neutrofilia. Ditemukan
limfosit atipik, hipergranulasi neutrofil, mielosit, metamielosit dan
band netrofil.
c. Trombosit: jumlah menurun, tidak ditemukan clumping trombosit.
Penyebaran merata.
d. Kesimpulan: anemia penyakit kronik dan proses infeksi
e. Saran: CRP, evaluasi sesuai perkembangan klinisi
3. Pemeriksaan Foto Thoraks 19 November 2020 (RS UNS)
a. Cor: Apeks jantung bergeser ke laterocaudal
b. Pulmo: corakan vaskuler meningkat
c. Tak tampak bercak pada kedua lapang paru
d. Tak tampak penebalan hilus kanan kiri
e. Hemidiafragma kanan setinggi kosta 8 posterior
f. Sinus kostofrenikus kanan lancip, kiri tumpul
Kesan:
1) Kardiomegali (LV)
2) Gambaran bronkopneumonia
3) Efusi pleura kiri minimal
E. Resume
1. Keluhan Utama
Badan lemas sejak 4 hari SMRS.
2. Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan badan lemas sejak 4 hari SMRS.
Lemas dirasakan diseluruh badan, terus menerus sepanjang hari,
lemas sedikit berkurang dengan istirahat, nyeri otot dirasakan hilang
timbul, Pasien mengaku demam 4 hari SMRS, demam dirasakan terus
menerus, pasien sempat ke klinik dan diberikan obat penurun panas,
demam turun namun naik kembali, BAK sedikit, Pasien sulit BAB
sejak 2 hari SMRS . Pasien mengaku kedua mata menjadi kuning sejak
3 hari yang lalu, tidak ada riwayat bepergian ke luar jawa, Pasien
bekerja di pabrik mebel, pasien mengaku banyak tikus di tempatnya
bekerja.
3. Pemeriksaan Fisik
 Suhu: 37.80C
 Mata: konjungtiva pucat (+/+), conjungtival suffusion (+/+)
 Abdomen: nyeri tekan regio epigastrium (+)
4. Pemeriksaan Penunjang yang mendukung klinis pasien
a. Laboratorium Darah
 Hematologi rutin : Hb 9.8 gram/dL (), Hct 22.1 % (), Leukosit
18.23 ribu/ul (↑), AT 10.4 ribu/uL (), AE 3.16 juta/ul (),
Limfosit 10.1 % (), Neutrofil 83.9 % (↑), ALC 25.20 (↑), NLR
35.20 H (↑), HFLC 0.2 (↑)
 Kimia klinik: Kreatinin 6.02 mg/dl (↑), Ureum 159 mg/dl (↑),
SGOT 202 mg/dl (↑), SGPT 75 mg/dl (↑)
 Elektrolit : natrium darah 128.59 mmol/L (), Kalsium ion 0.93
mmol/L ()
F. Diagnosis Klinis
1. Observasi febris hari ke-4 ec leptospirosis dd DHF
2. AKI dd acute on CKD

G. Ekspertisi Laboratorium
1. Anemia normokromik normositik
2. Leukositosis
3. Trombositopenia
4. Neutrofilia absolut
5. Limfositopenia
6. Azotemia
7. Peningkatan SGOT & SGPT
8. Peningkatan kreatinin
9. Hiponatremia sedang
10. Hipokalsemia

H. Usulan Pemeriksaan Lanjutan


1. Evaluasi darah lengkap
2. Urinalisis
3. Uji Serologi Leptospirosis
4. Uji Serologi Dengue

I. Terapi
1. Bedrest total
2. Inf NaCl 0.9% 500 cc 20 tpm
3. Inj. Neurobion 1 amp/24 jam
4. Inj. Omeprazole 40 mg /24 jam
5. Inj. Ceftriaxone 2 gr/24 jam
6. Sucralfat 2x CI
7. Ecinacea 2x1
8. Curcuma 3x1 tab
9. Kidmin 1 fl/24 jam
10. Asam folat 3 x 1
11. Transfusi TC 2 kolf

1. Prognosis
1. Ad vitam : dubia ad malam
2. Ad sanam : dubia ad malam
3. Ad functionam : dubia ad malam
BAB II
ANALISIS KASUS

Dari anamnesis, pasien datang dengan keluhan badan lemas sejak 4 hari
yang lalu. Lemas dirasakan di seluruh badan, terus menerus sepanjang hari,
sedikit berkurang dengan istirahat. Keluhan badan lemas merupakan gejala yang
dapat terjadi pada hampir semua penyakit, baik akut maupun kronis. Gejala ini
dapat terjadi dengan perlahan atau cepat, tergantung pada jenis penyakitnya.
Badan lemas seringkali menjadi gejala pertama yang muncul pada kasus infeksi
dan membuat pasien memeriksakan dirinya. Selain infeksi, penyakit jantung dan
paru junga sering menjadi penybab utama, diikuti kegagalan fungsi organ seperti
gagal ginjal maupu hati akut maupun kronis, penyakit jaringan ikat, penyakit
endokrin, penyakit kanker, gangguan darah seperti anemia berat, gangguan
psikiatrik seperti depresi, hingga yang disebabkan oleh penggunaan obat seperti
antikonvulsan, obat psikiatris, dan sebagainya (Vorvick, 2020). Hal ini didukung
dengan temuan laboratorium pada pasien yaitu adanya anemia derajat sedang (Hb
9.8 g/dl), leukositosis (18.23 ribu/ul) dengan neutrofilia absolut (83.9%) dan
limfositopenia (10.1%) yang mendukung ke arah infeksi terutama infeksi bakteri,
peningkatan SGOT (202 mg/dl) dan SGPT (75 mg/dl) yang menunjukkan adanya
gangguan fungsi hati, serta gangguan fungsi ginjal dengan peningkatan kreatinin
(6.02 mg/dl) dan azotemia (ureum 159 mg/dl). Hal tersebut mengarahkan kepada
kecurigaan penyebab infeksi dengan komplikasi pada organ yaitu hati dan ginjal.
Pasien juga mengeluhkan demam sejak 4 hari yang lalu. Demam dirasakan
terus menerus, pasien sempat ke klinik dan diberikan obat penurun panas. Demam
turun namun naik kembali. Demam merupakan merupakan suatu keadaan suhu
tubuh di atas batas normal yang dapat disebabkan oleh kelainan dalam otak
sendiri atau oleh zat toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan suhu, penyakit-
penyakit penyakit-penyakit bakteri, bakteri, tumor otak atau dehidrasi. Demam
akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, maupun parasit.
parasit. Infeksi Infeksi bakteri bakteri yang pada umumnya umumnya
menimbulkan menimbulkan demam antara lain pneumonia, bronchitis,
pneumonia, bronchitis, bacterial gastroenteritis, bacterial gastroenteritis,
meningitis, ensefalitis, meningitis, ensefalitis,selulitis, otitis selulitis, otitis media,
infeksi saluran kemih, dan lain-lain (Graneto, 2010). Infeksi virus yang pada
umumnya menimbulkan demam antara lain viral pneumonia, influenza, demam
berdarah berdarah dengue, dengue, demam chikungunya. Infeksi jamur yang pada
umumnya umumnya menimbulkan demam antara lain coccidioides imitis,
criptococcosis, dan lain-lain. Infeksi parasit yang pada umumnya menimbulkan
demam antara lain malaria, toksoplasmosis, dan helmintiasis (Jenson &
Baltimore, 2007). Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh
beberapa hal antara lain faktor lingkungan (suhu lingkungan eksternal yang terlalu
tinggi,), penyakit autoimun (arthritis, systemic systemic lupus erythematosus
erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan (Penyakit Hodgkin, Limfoma non-
hodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat-obatan (antibiotik, difenilhidantoin,
dan antihistamin). Sebagian besar kasus demam disebabkan oleh infeksi mikroba.
Peningkatan suhu tubuh yang disebabkan oleh infeksi bakteri biasanya lebih
tinggi dibandingkan dengan yang disebabkan oleh infeksi virus. Suhu tubuh rata-
rata biasanya dipertahankan dalam kisaran “ set point ” antara 36,4°C dan 37,2°C.
Hal ini juga semakin memperberat kecurigaan kearah infeksi dengan adanya
temuan fisik suhu pasien 37.8°C.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya conjungtiva suffusion pada kedua
mata pasien. Conjungtiva suffusion merupakan salah satu temuan mata klasik dari
penyakit leptospirosis yang terjadi lebih awal terlepas dari tingkat keparahan
penyakit. Conjungtiva suffusion ditandai dengan kemerahan pada konjungtiva
yang menyerupai konjungtivitis tetapi tidak melibatkan eksudat
inflamasi.Beberapa derajat dari conjungtiva suffusion sering terjadi pada orang
dengan suhu tinggi. Ini sering menonjol pada campak, rubella, beberapa infeksi
adenovirus, dan leptospirosis. Pada infeksi dengan ruam hemoragik, perdarahan
konjungtiva dapat terjadi selain petechiae kulit atau purpura; ini sangat membantu
pada pasien dengan kulit gelap, ketika petechiae sulit dilihat (Ryan & Durrand
2010). Pada ekitar 30 persen orang dengan leptospirosis (juga dikenal sebagai
penyakit Weil) didapati conjungtival suffusion. Hal tersebut biasanya dapat
ditemui pada saat perkembangan penyakit telah mencapai tahap akhir dari fase
awal penyakit. Pada kasus yang parah, conjungtival suffusion terjadi pada awal
fase pertama penyakit (Gomf, 2012). Pada pasien juga didapatkan gejala klinis
lainnya ke arah leptospirosis, yaitu nyeri otot terutama pada betis serta nyeri tekan
abdomen pada palpasi. Pada anamnesis, pasien mengakui terdapat banyak tikus di
tempat kerjanya. Hal-hal tersebut semakin menguatkan kecurigaan kearah
penyakit leptospirosis.
Pada pemeriksaan laboratorium darah hematologi rutin selain didapatkan
anemia (Hb 9.8 g/dl), leukositosis (18.23 ribu/ul) dengan neutrofilia absolut
(83.9%) dan limfositopenia (10.1%) yang mendukung ke arah infeksi terutama
infeksi bakteri, serta trombositopenia (10.4 ribu/ul). Umumnya penyakit infeksi
yang dicurigai dengan adanya trombositopenia selain leptospirosis, juga terdapat
demam berdarah. Terdapat peningkatan SGOT (202 mg/dl) dan SGPT (75 mg/dl).
SGOT merupakan enzim sitoplasmik dan mitokondrial didalam hepatosit yang
berperan pada trasfer gugus amino antara aspartat dan α-keto glutarat. Enszim ini
terdapat didalam hepatosit, miokard, otot skeletal, eritrosit dan otak. Peningkatan
kadar SGOT menandakan adanya kerusakan sel-sel atau jaringan tersebut,
misalnya pada kasus hepatitis, infark miokard, miositis dan lainnya. SGPT
berperan pada gugus transfer amino antara alanin dan α-keto glutarat, terutama
didalam hepatosit, sehingga peningkatan kadar SGPT menunjukkan adanya
kerusakan fungsi hati yang lebih spesifik dibandingkan peningkatan kadar SGOT.
Leptospirosis dan demam berdarah seringkali dapat menyebabkan temuan
tersebut. Terdapat gangguan fungsi ginjal dengan peningkatan kreatinin (6.02
mg/dl) dan azotemia (ureum 159 mg/dl). Ureum berasal dari metabolisme protein
didalam tubuh, dimana asam-asam amino akan dibusukkan oleh tubuh sehingga
terbentuk produk amonia, yang kemudian diubah dihepar menjadi ureum sebelum
dibawa ke ginjal untuk dikeluarkan bersama urin. Kadar ureum akan meningkat
pada penyebab pre-renal yaitu katabolisme protein yang meningkat (misal, DM,
infeksi, tirotoksikosis), aliran darah ginjal memurun (misal syok, gagal jantung),
asupan protein yang meningkat, serta perdarahan saluran cerna bagian atas.
Penyebab renal yaitu gangguan filtrasi di glomerulus (misalnya penyakit ginjal
kronik, gangguan ginjal akut). Penyebab pasca renal yaitu obstruksi aluran kemih,
yaitu batu ureter, hipertrofi prostat, tumor prostat dan sebagainya. Kreatinin akan
dilepaskan ke sirkulasi dengan kecepatan yang relatif tetap, sesuai dengan massa
otot individu yang bersangkutan. Di ginjal, kreatinin akan diekskresikan secara
tetap melalui proses filtrasi dan sekresi, sedangkan resorbsi kreatinin di tubulus
sangat kecil, sehingga kadarnya didalam darah dapat menggambarkan keadaan
fungsi ginjal. Kadar kreatinin didarah berbanding terbalik dengan nilai laju filtrasi
glomerulus, demikian dengan klirens kreatinin. LFG dianggap lebih baik
dibanding GFR karena di ginjal kreatinin masih mengalami resorbsi di tubulus.
Kadar kreatinin darah akan meningkat pada gangguan fungsi ginjal, sedangkan
kadar kreatinin darah yang menurun tidak memiliki makna klinis yang berarti.
Pada pasien didapatkan adanya gangguan keseimbangan elektrolit, yaitu
hiponatremia sedang (128.59 mmol/L) dan hipokalsemia 0.93 mmol/L. Secara
klinis, keadaan hiponatremia relatif tidak khas dan tidak spesifik walaupun telah
ditemukan gejala konstitusi dengan atau tanpa gangguan penurunan kesadaran.
Umumnya tampak sebagai gambaran retensi air akibat ketidakmampuan dalam
keseimbangan pengeluaran dan pemasukan air. Terdapat tiga mekanisme kejadian
tersebut, salah satunya adalah hiponatremia yang terjadi karena faktor-faktor
internal seperti turunnya LFG dan meningkatknya reabsorbsi natrium dan air di
tubuolus proksimal yang diikuti penurunan reabsorbsi di tubulus distal yang
menyebabkan pengenceran di segmen-segmen nefron. Dua mekanisma lainnya
adalah defek transpostasi Na+ Cl- pada segmen nefron di THAL (thick ascending
limb of Henle) dan ketiga yang paling sering trejadi adalah rangsangan sekresi
vasopresin. Hipokalsemia merupakan penurunan kadar kalsium serum yang dapat
terjadi pada beberapa keadaan, seperti hipoparatiroidisme, defisiensi vitamin D,
gangguan metabolisme vitamin D, hipomagnesia dan gagal ginjal akut atau
kronik.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Leptospirosis
1. Definisi
Merupakan suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikro
organisme Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik
serotipenya. Bentuk beratnya disebut sebagai Weil’s disease, nama lain:
mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever, infectious jaundice,
field fever, cane cutter fever. Salah satu dari “re-emerging infectious
diseases”.

2. Etiologi
•Bakteri penyebab: Leptospira sp
•Suatu spirochaeta yg bersifat aerobik, selalu bergerak, mirip spiral dg
salah satu ujung membentuk suatu kait.
•Panjang 5 – 15 um, lebar 0,1 – 0,2 um.
•Bersifat patogen terhadap berbagai binatang liar & jinak seperti tikus,
anjing, kucing dan sebagainya.
•Genus Leptospira terdiri atas dua spesies:
a. Leptospira interrogans (patogen)
b. Leptospira biflexa (saprofit)

3. Epidemiologi
 Tersebar di seluruh dunia, di semua benua kecuali benua Antartika,
namun terbanyak didapati didaerah tropis.
 International leptospirosis society  Indonesia negara dengan
insidens leptospirosis tertinggi dan peringkat ketiga di dunia untuk
mortalitas
 Ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Berat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta,
Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat,
Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawsi Utara,
Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.
 Bersifat musiman. Didaerah beriklim sedang masa puncak  musim
panas dan musim gugur. Di daerah tropis insidens tertinggi  musim
hujan.
 Leptospisa dapat dibawa oleh binatang rumah (anjing, kucing) dan
binatang liar, ternak (sapi, kerbau dll) dengan tikus sebagai binatang
reservoir paling utama.
 Beberapa serovar lebih sering menginfeksi mamalia tertentu:
a. L. icterohaemorrhagiae (tikus)  akan menetap dan membentuk
koloni didalam tubuh tikus, serta berkembang biak didalam epitel
tubulus ginjal secara terus-menerus hingga ikut mengalir dalam
filtrat urine.
b. L. canicola (anjing)
c. L. pomona (babi)

4. Faktor Risiko
Berikut adalah beberapa kondisi yang memiliki faktor resiko untuk
terinfeksi leptospirosis.

Tabel 1. Kelompok Faktor Resiko Infeksi Leptospirosis.

5. Patologi
 Leptospira masuk kedalam kulit melalui mukosa, memasuki aliran
darah dan berkemban, lalu menyebabr secara luas ke jaringan tubuh
 terjadi respon imunologi baik escara selular maupun humoreal 
infeksi ditekan dan terbentuk antibodi spesifik  beberapa organisme
bertahan di daerah yang terisoloasi secara imunologi, contoh ginjal 
mikroorganisme mencapai convoluted tubules dan menetap 
dilepaskan bersama urin  mikroorganisme dapat dijumpai dalam air
kemih sekitar 8 hari hingga beberapa minggu bahkan bertahun-tahun
setelah infeksi
 Tiga mekanisme yang terlibat:
a. invasi bakteri langsung
b. faktor inflamasi non-spesifik
c. reaksi imunologi (hingga terbentuk antibodi spesifik)
 Setelah menginvasi epitel, leptospirasi selanjutnya akan menyebar ke
berbagai organ sasaran. setiap organ penting dapat terkena & dideteksi
dengan kehadiran antigen leptospira.
 Gejala yang selalu ditemukan adalah vaskulitis pada pembuluh darah
kapiler berupa edema pada endotel, nekrosis, disertai invasi limfosit
 dapat ditemukan pada seluruh organ yang terkena.
 Vasculitis menimbulkan: petekiae, perdarahan intraparenkim,
perdarahan lapisan mukosa dan serosa. Pada beberapa kasus dapat
ditemukan trombositopenia, namun tidak terjadi DIC, masa
prothrombin memanjang dan tidak dapat diperbaiki dengan vitamin K.
 Kerusakan hati  timbulnya ikterus, meskipun ada beberapa ahli
mengemukakan ikterus antara lain disebabkan oleh hemolisis dan
obstruksi bilier.
 Edema intraalveolar dan intersisial dapat terlihat pada jaringan paru 
vaskulitis berat dapat terjadi perdarahan paru.
 Keterlibatan ginjal  intersisialis nefritis dengan infiltrasi sel
mononuclear merupakan bentuk lesi pada leptospirosis yang dapat
terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. gagal ginjal terjadi akibat tubular
nekrosis akut. adanya peranan neftotoksin, reaksi imunologis, iskemia
ginjal, hemolisis dan invasi langsung mikroorganisme juga berperan
dalam menimbulkan kerusakan ginjal.
 Weil Disease  leptospirosis berat yang ditandai dengan ikterus,
biasanya disertai dengan anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan
demam tipe kontinua. Penyakit Weil biasanya terdapat pada 1 – 6%
kasus dengan leptospirosis. Gambaran klinsi bervariasi berupa
gangguan renal, hepatik atau disfungsi vascular.

Bagan 1. Patofisiologi Leptospirosis


Bagan 2. Proses gagal ginjal akut pada Leptospirosis

6. Manifestasi Klinis
 Karakteristik perjalanan penyakit leptospirosis ialah bifasik.
 Masa inkubasi leptospirosis berkisar 2-26 hari, biasanya 7 – 13 hari
dengan rata-rata 10 hari.
 Leptospirosis mempunyai dua fase penyakit yang khas yaitu:
a. Fase leptospiremia/septisemik/leptospiremik: leptospira dapat
dijumpai dalam darah dan cairan serebrospinal. Gejala yang
muncul disebabkan oleh kerusakan jaringan karena leptospira.
Ditandai dengan: nyeri kepala daerah frontal, nyeri otot betis,
paha, pinggang terutama saat ditekan. Dapat diikuti hiperestesi
kulit, demam tinggi, menggigil, mual, diare, bahkan penurunan
kesadaran. Pada sakit berat dapat ditemui bradikardia dan ikterus
(50%). Pada sebagian penderita dapat ditemui fotofobia, rash,
urtikaria kulit, splenomegali, hepatomegali, dan limfadenopati.
Fase ini berlangsung 4 – 7 hari. Bila ditangani dengan baik,
fungsi organ-organ ini akan pulih 3-6 minggu setelah onset. Pada
keadaan sakit lebih berat, demam turun setelah hari ke-7 diikuti
fase bebas demam 1-3 hari, lalu demam kembali. Keadaan ini
disebut sebagai fase kedua atau fase imun.
b. Fase imun/leptospiurik: berlangsung 4-30 hari. gejala timbul
akibat respons imun dari sel host. ditandai dengan peningkatan
titer antibodi. Ditandai dengan: demam hingga 40°C disertai
mengigil dan kelemahan umum. Terdapat rasa sakit yang
menyeluruh pada leher, perut dan otot – otot kaki terutama betis.
selain itu terdapat gejala kerusakan pada ginjal dan hari, uremia,
ikterik. conjungtival injection dan conjungtival suffusion dengan
ikterus yang merupakan tanda parognomosis untuk leptospirosis.

7. Diagnosis
Pada umumnya diagnosis awal leptospirosis sulit, karena pasien pada
umumnya datang dengan meningitis, hepatitis, nefritis, pneumonia,
influenza, sindroma syok toksis, demam yang diketahui asalnya dan
diatetesis hemoragik, bahkan beberapa kasus datang sebagai pankreatitis.
Pada anamnesis, penting diketahui tentag riwayat pekerjaan pasien,
apakah termauk kelompok resiko tinggi. Gejala/keluhan didapati demam
yang muncul mendadak, sakit kepala terutama di bagian frontal, nyeri otot,
mata merah/fotofobia, mual atau muntah. Pada pemeriksaan fisik akan
ditemui demam, bradikardia, nyeri otot, hepatomegali, dll.
Berikut adalah hasil pemeriksaan yang dapat ditemukan pada
leptospirosis
- Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin: leukositosis, normal
atau sedikit menurun disertai dengan gambaran neutrofilia dan LED
yang meninggi. Trombositopenia terdapat pada 50%.
- Pada pemeriksaan laboratorium urinalisis: proteinuria, leukosituria
dan torak (cast). Bila organ hari terlibat bilirubin direk meningkat
tanpa peningkatan transaminase. BUN, ureum dan kreatinin juga
bisa meninggi bila terjadi komplikasi pada ginjal.
- Diagnosa pasti dengan isolasi leptospira dari cairan tubuh dan
serologi.
- Pemeriksaan kultur : menggunakan spesimen darah atau CSS segera
pada awal gejala. Dianjurkan untuk melakukan kultur ganda dan
mengambil spesimen pada fase leptospiremia sebelum diberi
antibiotik. Kultur urine diambil setelah 2-4 minggu onset penyakit.
- Pemeriksaan serologi: dapat dilihat pada tabel 3. Pemeriksaan untuk
mendeteksi adanya leptospira dengan cepat adalah pemeriksaan
Polymerase Chain Reaction (PCR), silver stain, atau fluorescent
antibody stain, dan mikroskop lapangan gelap.
Mengingat sulitnya konfirmasi diagnosis leptospirosis, dibuatlah sistem
skor yang mencakup parameter klinis, epidemiologis, dan laboratorium
(Tabel 1). Berdasarkan kriteria Faine yang dimodifikasi, diagnosis
presumtif leptospirosis dapat ditegakkan jika: (i) Skor bagian A atau
bagian A + bagian B = 26 atau lebih; atau (ii) Skor bagian A + bagian B +
bagian C = 25 atau lebih. Skor antara 20 dan 25 menunjukkan
kemungkinan diagnosis leptospirosis tetapi belum terkonfirmasi.

Tabel 2. Pemeriksaan Penunjang Leptospirosis


Tabel 3. Kriteria Faine yang telah dimodfikasi (2012)

8. Prognosis
Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus ikterus,
angka kematian 5% pada umur di bawah 30 tahun, dan pada usia lanjut
mencapai 30-40%.

9. Tatalaksana

Tabel 4. Dosis Antibiotik Rekomendasi untuk leptospirosis.

Antibiotik hendaknya diberikan pada semua pasien leptospirosis


pada fase penyakit mana pun. Pada kasus ringan obat terpilih adalah
doksisiklin. Obat alternatif adalah amoksisilin dan azitromisin dihidrat.
Pasien sakit berat hendaknya dirawat inap. Antibiotik terpilih pada
leptospirosis sedang-berat adalah penicillin G. Obat alternatif di antaranya
sefalosporin generasi ketiga (seftriakson, sefotaksim) dan azitromisin
dihidrat parenteral. Antibiotik harus diberikan selama 7 hari, kecuali
azitromisin dihidrat selama 3 hari. Pada leptospirosis sedang berat, terapi
suportif dengan perhatian pada keseimbangan cairan dan elektrolit serta
fungsi paru dan jantung sangat penting.
Pasien yang menderita gagal ginjal diterapi dengan hemodialisis atau
hemodiafiltrasi jika tersedia. Transfusi darah dan produk darah mungkin
diperlukan pada perdarahan berat. Transfusi trombosit dini dianjurkan jika
trombosit kurang dari 50 ribu / mm3 atau pada turun bermakna dalam
waktu singkat. Perdarahan paru sering membutuhkan intubasi dan ventilasi
mekanik segera. Pasien SPHS memiliki bukti fisiologis dan patologis
untuk ARDS, sehingga ventilasi dengan volume tidal rendah dan post-
expiratory end pressure tinggi. Dukungan pernapasan untuk
mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat sangat penting karena
pada kasus tidak fatal fungsi paru dapat sembuh sempurna.
Penggunaan kortikosteroid pada ARDS masih diperdebatkan,
beberapa studi menunjukkan manfaat jika diberikan pada awal ARDS.
Metilprednisolon diberikan dalam 12 jam pertama awitan keterlibatan paru
dengan dosis 1 g iv/hari selama 3 hari dilanjutkan prednisolon oral 1
mg/kgBB/hari selama 7 hari.3 Plasmaferesis dosis rendah (25 mL/kg) juga
bermanfaat pada perdarahan paru ringan. Dua siklus plasmaferesis
berjarak 24 jam disertai siklofosfamid 20 mg/ kg setelah siklus pertama
plasmaferesis dapat meningkatkan ketahanan hidup.

10. Pencegahan
Pencegahan infeksi menggunakan doksisiklin 200 mg 1 kali
seminggu dapat bermanfaat pada orang berisiko tinggi untuk periode
singkat, misalnya anggota militer dan pekerja agrikultur tertentu.
Antibiotik dimulai 1 sampai 2 hari sebelum paparan dan dilanjutkan
selama periode paparan. Infeksi leptospira hanya memberikan imunitas
spesifik serovar sehingga dapat terjadi infeksi berikutnya oleh serovar
berbeda. Leptospirosis di daerah tropik sulit dicegah karena banyaknya
hewan reservoir yang tidak mungkin dieliminasi. Banyaknya serovar
menyebabkan vaksin spesifik serovar kurang bermanfaat. Pada kondisi ini,
cara paling efektif adalah menyediakan sanitasi yang layak di komunitas
daerah kumuh perkotaan. Pada orang yang sudah terpapar dengan
leptospira, masih dapat diberikan terapi profilaksis pasca-paparan;
digunakan doksisiklin disesuaikan berdasarkan risiko individu (Gambar 4).

Bagan 3. Profilaksis Pasca Paparan Leptospira


DAFTAR PUSTAKA

Gompf SG. 2020. Leptospirosis -

https://emedicine.medscape.com/article/220563-overview [ diakses 10

Desember 2020 ]

Setyohadi B, Arsana PM, Suryanto A, Soeroto AY, Abdullah M., 2015. EIMED

PAPDI - Kegawatan Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing

Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. 2014.

Buku Ajar Penyakit Dalam Edisi Keenam Jilid I. pp: 633 – 638.

Spasovki G, Vanholder R. 2014. ERBP - Panduan praktik klinis diagnosis dan

tatalaksana hiponatremia.

Ryan TW, Durand M. 2011. Ocular disease in Tropical Infectious Diseases 3rd Ed.

Pp 991-1016

Vorvick LJ. 2019. Malaise. https://medlineplus.gov/ency/article/003089.htm

Anda mungkin juga menyukai