Anda di halaman 1dari 40

BAB II

STATUS PASIEN
KEPANITRAAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TUGUREJO SEMARANG

Kasus : Tetanus
Nama Mahasiswa : Bintang Tatius
NIM : H2A011013

IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. N
Umur : 55 tahun
No. RM : 512874
Agama : Islam
Status : Menikah
Alamat : Kerapu Barat RT 06/II, Kuningan, Semarang
Pekerjaan : Swasta
Dirawat di ruang : Anggrek 5
Tanggal masuk RS : 12 September 2016

DAFTAR MASALAH
Tanggal AKTIF Tanggal
2/04/2016 Tetanus 12/09/2016

2
DATA SUBJEKTIF

I. ANAMNESIS
Dilakukan secara Autoanamnesis dan Alloanamnesis pada tanggal 20
September 2016 di Bangsal Anggrek
1. Keluhan Utama : Sulit membuka rahang
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Seorang laki-laki 55 th datang ke IGD RSUD Tugurejo Semarang
tanggal 12 September 2016 dengan keluhan rahang terasa kaku dan sulit
dibuka. Keluhan dirasakan sejak 5 hari SMRS. Sebelum ke RSUD Tugurejo
pasien sempat berobat ke Klinik Dadi Waras dan rawat inap disana selama 5
hari. Pasien sempat mengalami kejang 1 kali selama perawatan kemudian
dirujuk ke RSUD Tugurejo. Kejang terjadi pada seluruh tubuh, bersifat
klojotan, dan pasien tidak sadar saat kejang.
Meskipun mulut kaku, pasien masih dapat makan dan minum, agak kesulitan
berbicara. Selain itu, seluruh badan terasa kaku, terutama anggota gerak dan
perut, terasa nyeri jika digerakkan. Pasien juga mengeluh nyeri kepala cekot-
cekot, hilang timbul.
Mual muntah disangkal, BAB dan BAK masih bisa, namun menggunakan
popok karena tidak mampu berjalan.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat sakit serupa : disangkal
b. Riwayat Trauma : sekitar 1 bulan yang lalu pasien
mengalami luka pada kepala akibat kejatuhan pot. Luka sempat
dijahit tetapi pasien tidak ingat tentang pemberian anti tetanus
lewat suntikan bokong/bahu. Luka jarang diganti dan dirawat
(diganti seminggu sekali)
c. Riwayat Alergi : disangkal

3
d. Riwayat Operasi : disangkal
e. Riwayat Kencing Manis : disangkal
f. Riwayat Darah tinggi : disangkal
g. Riwayat Sakit Jantung : disangkal
h. Riwayat Epilepsi/Kejang sebelumnya disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
 Darah tinggi : disangkal
 Kencing manis : disangkal
 Penyakit jantung : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat penyakit epilepsi/kejang dalam keluarga disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien mengkonsumsi rokok sejak ± 10 tahun lalu sebanyak 1 bungkus per-
hari, konsumsi alkohol disangkal.
Pasien bekerja sebagai buruh bangunan. Pasien menggunakan Jamkesda BPJS
Kelas III. Kesan ekonomi cukup.

DATA OBJEKTIF
II. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukan tanggal tanggal 20 September 2016 pukul 10.00 WIB
di Bangsal Anggrek RSUD Tugurejo Semarang

1. Keadaan Umum : Sakit sedang


2. Kesadaran : GCS E4M6V4
3. Tanda Vital
Tekanan darah : 138/86 mmHg
Nadi : 96 x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup
Respirasi : 24 x/menit

4
Suhu : 38° C

4. Status Gizi
BB : 50 kg
TB : 155 cm
BMI : 20,8
Kesan : Status gizi normal (normoweight)

5. Status Internus
a) Kepala
Mesocephal, tampak wajah risus sardonicus (+)
b) Mata
Konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
(2mm/2mm), reflek pupil direk (+/+), reflek pupil indirek (+/+)
c) Telinga
Sekret (-/-), darah (-/-)
d) Hidung
Sekret (-/-), septum deviasi (-/-)
e) Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), mukosa bukal (Normal), karies dentis (-),
terdapat trismus (+) ± 3 cm
f) Leher
Simetris, trachea di tengah, pembesaran KGB (-), tiroid (Normal),
nuchal rigidity (+)

5
g) Thorax

Pulmo Dextra Sinistra


1. Inspeksi
Bentuk dada ØLateral>Antero ØLateral>Antero
posterior posterior
Hemitorak Simetris Simetris
Dinamis Simetris Simetris
Retraksi (-) (-)
2. Palpasi
Pelebaran ICS (-) (-)
Arcus Costa Normal Normal
3. Perkusi
Sonor seluruh Sonor seluruh
4. Auskultasi hemithorax kanan hemithorax kiri
Suara dasar
Suara tambahan Vesikuler Vesikuler
Wheezing(-), Wheezing(-),
ronki (-/-) ronki (-/-)
Lain-lain: epistotonus (-)
Cor
Inspeksi Iktus kordis tidak tampak
Palpasi Iktus kordis teraba di SIC V linea midclavicula
sinistra, kuat angkat.
Perkusi Batas jantung kanan atas SIC II linea paraster-
nalis dextra.
Batas jantung kanan bawah SIC IV linea
parasternalis dextra.
Batas jantung kiri atas SIC II linea parasternalis

6
sinistra.
Batas jantung kiri bawah SIC IV linea media
clavicularis sinistra.
Auskultasi Bunyi jantung I-II murni,intensitas
normalreguler, bising (-)

h) Abdomen
Inspeksi : Permukaan datar, warna sama seperti kulit sekitar
Auskultasi : Bising usus (+) normal (10x/menit)
Perkusi : Timpani, pekak sisi (+), pekak alih (-), tes undulasi (-)
Palpasi : kesan terdapat perut papan (+), turgor tidak dapat dinilai,
hepar dan lien tidak teraba, ginjal tidak teraba, nyeri
tekan (+) di seluruh lapang abdomen

i) Ekstremitas
Ekstremitas atas Kanan Kiri
Tonus : hipertoni hipertoni
Massa : eutrofi eutrofi
Gerakan : aktif terbatas aktif terbatas
Kekuatan : 4/4/4 4/4/4
Oedem : : (-) (-)
Reflek Fisiologis : (++) meningkat (++) meningkat
Reflek Patologis : (-) (-)
Sensibilitas : (++) meningkat (++) meningkat
CRT : <2” <2”
Lain-lain : Palmar eritema (-), ptechie (-), clubbing finger
(-), akral dingin (-)

7
Ekstremitas bawah Kanan Kiri
Tonus : hipertoni hipertoni
Massa : eutrofi eutrofi
Gerakan : aktif terbatas aktif terbatas
Kekuatan : 4/4/4 4/4/4
Oedem : : (-) (-)
Reflek Fisiologis : (++) meningkat (++) meningkat
Reflek Patologis : (-) (-)
Sensibilitas : (++) meningkat (++) meningkat
CRT : <2” <2”
Lain-lain : Palmar eritema (-), ptechie (-), clubbing finger
(-), akral dingin (-)

IV. ASSESMENT
Diagnosis Banding :
- Tetanus
- Meningitis
- Periodic Paralysis (Tetanic Hipokalemia)

Planning :
 Cek laboratorium
 Skoring Philips
 Rawat inap – ruang isolasi

8
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Darah Rutin
Pemeriksaan 28/6/16 Rujukan Satuan
Hemoglobin 11,40 L 13,2 - 17,3 g/dl
Leukosit 16,99 H 3,8-10,5 Ribu
Eritrosit 3,61 L 4,5-5,8 Juta
Hematokrit 31,50 L 37-47 %
Trombosit 202 150-400 Ribu
MCV 87,30 82-95 fL
MCH 27,50 >27 Pg
MCHC 34,60 32-37 g/dl
Limfosit% 11,30 L 25 – 40 %
Monosit% 9,50 H 2–8 %
Eosinofil% 0,40 L 2–4 %
Basofil% 0,20 0–1 %
Neutrofil% 81,90 H 50 – 70 %
b. Kimia Klinik
GDS 83 <125 mg/dL
Kalium 3,2 L 3,5 - 5,0 mmol/L
Natrium 132,0 L 135 - 145 mmol/L
Klorida 94,7 L 95.0 - 105 mmol/L
c. Fungsi Hepar dan Fungsi Ginjal
SGOT 309 H 0 - 35 U/L
SGPT 95 H 0 - 35 U/L
Ureum 59.9 H 10,0 – 50,0 mg/dL
Kreatinin 0.90 0.70 – 1.10 mg/dL

9
PHILLIPS SCORE FACTORS SCORE
Incubation time
<48 hours 5
2-5 days 4
5-10 days 3
10-14 days 2
>14 days 1
Site of infection
Internal and umbilical 5
Head, neck, and body wall 4
Peripheral proximal 3
Peripheral distal 2
Unknown 1
Site of protection
None 10
Possibly some or maternal immunization in 8
neonatal patients
Protected >10 years ago 4
Protected <10 years ago 2
Complete protection 0
Complicating factors
Fatal Injury or life threatening illness 10
Severe injury or illness not immediately life 8
threatening illness
Injury or non life threatening illness 4
Minor injury or illness 2
ASA grade 1 0
Skor : 13 (9-18 termasuk Tetanus derajat sedang)

IV. DIAGNOSIS KERJA


- Tetanus Generalisata Derajat Sedang

V. PENATALAKSANAAN
1. Terapi
- Infus RL 20 tpm
- Ceftriaxone 1 x 1 gr injeksi IV
- Metronidazole 3 x 500 mg injeksi IV
- Diazepam 3 x 5 mg tab PO
- ATS 1 x 20.000 IU IM
- Paracetamol 3 x 500 mg tab PO

10
- KCl tab 600 mg 2 x 1 PO

2. Monitoring
- Keadaan umum dan tanda vital
- Komplikasi yang mungkin timbul
- Koreksi Keseimbangan elektrolit

3. Edukasi
a. Menjelaskan tentang penyakit meliputi definisi, etiologi, gejala,
komplikasi, dan terapi beserta efek sampingnya
b. Menjelaskan bahwa pasien perlu di isolasi untuk meminimalkan
rangsangan eksternal (suara, cahaya, sentuhan)
c. Menjelaskan pada keluarga tentang prognosis dari pasien

d. Mengajarkan pada keluarga tentang perawatan pasien


e. Meminta keluarga pasien ikut serta dalam mengawasi timbulnya
bangkitan kejang

VI. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Tetanus adalah penyakit klinis yang ditandai dengan onset akut hipertonia dan
kontraksi otot yang nyeri (biasanya otot rahang dan leher) dan spasme otot general
tanpa penyebab medis lain yang tampak dengan/tanpa bukti laboratoris C. tetani atau
toksinnya dengan atau tanpa riwayat trauma(3, 7).

2.2. Sejarah
Tetanus berasal dari bahasa Yunani teinein yang artinya “meregang”. Penyakit
ini telah dikenal sejak zaman Mesir kuno lebih dari 3000 tahun yang lalu. Hipokrates
kemudian mendeskripsikan tetanus sebagai “penderitaan manusia yang tiada akhir”.
Pada tahun 1884 Carle dan Rattone berhasil menimbulkan tetanus pada kelinci den-
gan menginjeksi nervus skiatik dengan pus dari manusia penderita tetanus. Pada
tahun yang sama, Nicolaier berhasil menimbulkan tetanus pada hewan dengan meng-
injeksikan tanah. Pada tahun 1889 Kitasato berhasil mengisolasi C. tetani dari manu-
sia pada kultur murni dan membuktikan bahwa organisme tersebut menimbulkan
penyakit apabila diinjeksikan pada hewan. Kitasato juga melaporkan bahwa toksin C.
tetani dapat dinetralisir oleh antibodi spesifik yang dibentuk oleh tubuh.

12
Nocard kemudian membuktikan efek protektif antibodi yang ditransfer secara
pasif pada tahun 1897. Imunisasi pasif ini digunakan untuk pengobatan dan profilak-
sis tetanus selama Perang Dunia I. Descombey kemudian mengembangkan imunisasi
aktif tetanus toksoid pada tahun 1924 dan digunakan secara luas selama Perang Dunia
II (2, 3, 8).

Gambar 1. Lukisan “Opisthotonus” oleh Sir Charles Bell (1809), seorang dokter be-
dah dan ahli anatomi, yang menggambarkan seorang tentara yang menderita tetanus.

2.3. Epidemiologi
Bakteri C. tetani dapat ditemukan di semua tempat di dunia tetapi tetanus
terutama ditemukan pada negara-negara kurang dan sedang berkembang yang padat
penduduk dengan iklim hangat dan lembap dan tanah yang kaya dengan material or-
ganik. Tanah dan usus manusia serta hewan merupakan reservoir spora C. tetani.
Transmisi spora C. tetani terjadi melalui luka yang kotor (terkontaminasi) atau cidera
jaringan lain. Insiden puncak tetanus terutama terjadi pada musim panas atau hujan.
Tetanus tidak menular dari manusia ke manusia (2).
Faktor risiko utama terhadap tetanus yaitu status imunisasi tetanus yang tidak
lengkap, adanya cidera jaringan, serta praktik obstetrik dan injeksi obat yang tidak
aseptik. Faktor risiko lainnya meliputi tindakan bedah abdomen, akupunktur, tindik
telinga, tusuk gigi, dan infeksi telinga tengah (10).

13
Terdapat satu juta kasus tetanus di dunia per tahunnya yang terutama ditemukan
di negara kurang berkembang. Tetanus neonatorum berkontribusi terhadap 40-50%
mortalitas akibat tetanus di negara berkembang dan terutama disebabkan kondisi
higiene persalinan yang buruk dan praktik sosial atau tradisi seperti mengoleskan ko-
toran sapi atau ghee (semacam mentega) pada tali pusat bayi di India (6, 11).
Insiden tetanus di Amerika Serikat telah menurun dengan ditemukannya imu-
nisasi aktif. Laporan menyatakan bahwa pada tahun 1947 terjadi 560 kasus, tahun
1974 terjadi 101 kasus, tahun 1980-an terjadi 60-80 kasus per tahunnya, dan tahun
1998-2000 terjadi rata-rata 43 kasus per tahunnya. Hampir semua kasus terjadi pada
orang yang tidak pernah diimunisasi atau status imunisasinya tidak lengkap. Insiden
tetanus pada orang dengan imunisasi lengkap sangat jarang yaitu 4:100.000.000. Se-
cara umum mortalitas akibat tetanus adalah 30%. Sekitar 75% kasus terjadi antara bu-
lan April - September. Insiden dan mortalitas lebih tinggi pada kelompok usia neona-
tus dan > 50 tahun dibandingkan kelompok umur lain. Sekuele neurologis residual
jarang ditemukan. Kematian biasanya diakibatkan oleh disfungsi autonomik, misal-
nya peningkatan tekanan darah ekstrim, disritmia, atau henti jantung (5, 6).

2.4. Etiologi
Tetanus disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium tetani yang memiliki dua
bentuk, yaitu bentuk vegetatif dan spora. Bentuk vegetatif C. tetani adalah basil,
Gram positif, tidak berkapsul, motil, dan bersifat obligat anaerob. Bentuk vegetatif
rentan terhadap efek bakterisidal dari proses pemanasan, desinfektan kimiawi, dan
antibiotik. Bentuk ini merupakan bentuk yang dapat menimbulkan tetanus (2).
Pada basil yang mengandung spora terdapat bentukan endospora pada salah
satu ujungnya sehingga memberikan penampilan seperti stik drum. Spora C. tetani re-
latif resisten terhadap desinfeksi kimiawi dan pemanasan. Spora tahan terhadap pa-
paran fenol, merbromin, dan bahan kimia lain yang efektif untuk desinfeksi. Pem-
anasan di dalam air mendidih selama 15 menit dapat membunuh hampir semua spora.
Sterilisasi menggunakan uap tersaturasi dengan tekanan 15 lbs selama 15-20 menit

14
pada suhu 121°C juga dapat membunuh semua bentuk kehidupan. Sterilisasi menggu-
nakan panas kering lebih lambat dibandingkan uap panas (1-3 jam pada suhu 160°C)
tetapi efektif terhadap spora. Sterilisasi menggunakan etilen oksida juga dapat mem-
bunuh spora (5).
Spora banyak terdapat di dalam tanah, saluran cerna, dan feses hewan. Tanah
yang mengandung kotoran hewan mengandung spora dalam jumlah banyak. Spora
dapat bertahan beberapa bulan bahkan tahun. Pada lingkungan pertanian, manusia de-
wasa dapat menjadi reservoir spora. Spora dapat ditemukan pada permukaan kulit dan
heroin yang terkontaminasi (2).
Spora bersifat non-patogenik di dalam tanah atau jaringan terkontaminasi sam-
pai tercapai kondisi yang memadai untuk transformasi ke bentuk vegetatif. Transfor-
masi terjadi akibat penurunan lokal kadar oksigen akibat: (a) terdapat jaringan mati
dan benda asing, (b) crushed injury, dan (c) infeksi supuratif (2).

Gambar 2. Pewarnaan Gram C. tetani. Bakteri tersebut bersifat Gram positif tetapi
memiliki kecenderungan variabilitas dalam pewarnaan Gram. Bentuk vegetatifnya
berupa basil. Endospora dibentuk secara intraseluler pada ujung sporangium dan
memberikan bentuk yang khas yaitu menyerupai stik drum. Sumber: Todar, 2007 (12)

Germinasi spora dan produksi toksin terjadi pada kondisi anaerobik. Bentuk
vegetatif C. tetani menghasilkan dua macam toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospas-
min. Tetanolisin merupakan enzim hemolisin yang menyebabkan potensiasi infeksi

15
tetapi perannya dalam patogenesis tetanus belum jelas. Tetanospasmin berperan pent-
ing dalam patogenesis tetanus. Tetanospasmin atau toksin tetanus merupakan neuro-
toksin poten yang dilepaskan seiring pertumbuhan C. tetani pada tempat infeksi.
Tetanospasmin merupakan salah satu toksin yang paling poten berdasarkan berat. Do-
sis letal minimum untuk manusia diperkirakan 2,5 ng/kg berat badan (2).

2.5. Patogenesis
Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Masa inkubasi antara
inokulasi spora dengan manifestasi klinis awal bervariasi antara beberapa hari sampai
3 minggu. Spora hanya dapat mengalami germinasi pada kondisi anaerob yang paling
sering terjadi pada luka dengan nekrosis jaringan dan benda asing. Adanya organisme
lain juga mempercepat transformasi spora ke bentuk vegetatif. Masa inkubasi panjang
biasanya terjadi pada lokasi infeksi yang jauh dari sistem saraf pusat. Masa inkubasi
merupakan salah satu faktor penentu prognosis (5).

Gambar 3. Gambar skematis struktur tetanospasmin

C. tetani merupakan mikroorganisme yang relatif non-invasif yang kehadiran-

16
nya di jaringan sulit dibuktikan. Pada kondisi yang jarang, C. tetani dapat dikultur
dari darah. Bakteri ini menimbulkan reaksi lokal yang minimal pada luka yang bi-
asanya tanpa supurasi. Spora yang mengalami transformasi ke bentuk vegetatif
melepaskan toksin solubel tetanospasmin yang bertanggung jawab terhadap manifes-
tasi klinis tetanus. Tetanospasmin dapat mencapai lima persen dari berat bakteri.
Tetanospasmin awalnya terdiri dari rantai polipeptida tunggal dengan berat molekul
150-kDa yang tidak aktif. Toksin tersebut kemudian terbagi menjadi dua subunit oleh
enzim protease jaringan yaitu rantai berat dengan berat molekul 100-kDa dan rantai
ringan dengan berat molekul 50-kDa yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Ujung
karboksil rantai berat berikatan dengan membran neural dan ujung amino mencip-
takan pori untuk masuknya rantai ringan ke dalam sitosol. Faktor genetik pengontrol
produksi tetanospasmin terdapat pada plasmid bakteri (5, 6, 13).
Setelah rantai ringan memasuki motorneuron, senyawa tersebut ditranspor
melalui akson secara intraaksonal dan retrograd dari tempat infeksi ke korda spinalis
dalam 2-14 hari. Transpor awalnya terjadi pada neuron motorik kemudian pada neu-
ron sensorik dan autonom. Ketika mencapai badan sel toksin dapat berdifusi keluar
dan mempengaruhi neuron-neuron lain. Apabila terdapat toksin dalam jumlah besar
sebagian toksin akan masuk ke dalam sirkulasi dan berikatan dengan ujung-ujung
saraf di seluruh tubuh. Ketika mencapai korda spinalis, rantai ringan memasuki neu-
ron inhibitori sentral kemudian memecah sinaptobrevin, senyawa yang penting dalam
pengikatan vesikel neurotransmiter ke membran sel. Tetanospasmin memiliki efek
predominan terhadap neuron inhibitori dan yang pertama terkena adalah neuron yang
menginhibisi alfa motor neuron. Setelahnya neuron simpatetik preganglionik di kornu
lateralis dan pusat parasimpatetik juga terkena. Akibatnya vesikel yang mengandung
gamma amino-butyric acid (GABA) dan glisin tidak dilepaskan dan terjadi hilangnya
aksi inhibitori pada neuron motorik dan autonomik. Hilangnya inhibisi sentral
menimbulkan kontraksi otot yang terus menerus (spasme) yang terjadi sebagai respon
terhadap stimuli normal seperti suara atau cahaya dan hiperaktivitas autonomik.
Transpor intraneural retrograd yang lebih lanjut terjadi dan toksin mencapai batang

17
otak dan diensefalon (6, 13). Efek fisiologis tetanospasmin serupa dengan striknin(2, 5).
Motor neuron juga dipengaruhi oleh tetanospasmin dan pelepasan asetilkolin ke
celah neuromuskular menurun. Efek ini serupa dengan efek toksin botulinum yang
menimbulkan gejala paralisis flasid. Meskipun demikian, pada tetanus efek disin-
hibitori motoneuron melampaui penurunan fungsi pada sambungan neuromuskular
sehingga yang tampak adalah akibat dari gangguan inhibisi. Efek pre-junctional pada
sambungan neuromuskular dapat menyebabkan terjadinya kelemahan diantara
spasme dan dapat merupakan penyebab paralisis nervus kranialis yang ditemukan
pada tetanus sefalik dan miopati yang ditemukan setelah penyembuhan (13).
Pelepasan impuls eferen yang tidak terkontrol dan tanpa inhibisi dari motoneu-
ron pada medula spinalis dan batang otak menyebabkan rigiditas muskuler dan
spasme yang dapat menyerupai konvulsi. Refleks inhibisi dari kelompok otot antago-
nis hilang sehingga otot-otot agonis dan antagonis berkontraksi secara bersamaan.
Spasme otot sangat nyeri dan dapat menyebabkan fraktur serta ruptur tendon. Otot-
otot rahang, wajah, dan kepala merupakan yang pertama kali terpengaruh karena jalur
aksonal yang lebih pendek kemudian diikuti otot-otot tubuh dan ekstremitas tetapi
otot perifer pada tangan dan kaki sering tidak terpengaruh. Pelepasan impuls autonom
tanpa inhibisi menyebabkan gangguan kontrol autonomik dengan overaktivitas sim-
patetik dan kadar katekolamin plasma meningkat. Toksin yang telah terikat pada neu-
ron tidak dapat dinetralisir oleh antitoksin. Pengikatan toksin terhadap neuron bersifat
ireversibel dan proses penyembuhan memerlukan pertumbuhan ujung saraf yang baru
sehingga perbaikan klinis baru terlihat 2-3 minggu setelah terapi dimulai (3, 11, 13).

18
Gambar 4. Mekanisme kerja tetanospasmin.

2.6. Manifestasi klinis


Tetanus biasanya terjadi setelah luka dengan penetrasi yang dalam dimana per-
tumbuhan bakteri anaerob dapat terjadi. Tempat infeksi yang paling umum adalah
luka pada ekstremitas bawah, infeksi uterus post-partum atau post-abortus, injeksi in-
tramuskular nonsteril, dan fraktur terbuka. Penting untuk menekankan bahwa trauma
minor dapat menimbulkan tetanus. Pada 30% pasien tidak tampak adanya tempat ma-
suk (portal of entry). Tetanus telah diidentifikasi setelah berbagai cidera jaringan, ter-
masuk injeksi intravena dan intramuskular, akupunktur, tindik telinga, dan bahkan
luka akibat tusuk gigi. Tetanus dapat juga terjadi pada infeksi kronis seperti otitis me-
dia dan setelah ulkus dekubitus. Tetanus dapat dibedakan menjadi empat bentuk
berdasarkan manifestasi klinisnya (5, 10).

2.6.1.Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang ditemukan. Pasien dengan
tetanus lokal mengalami spasme dan peningkatan tonus otot terbatas pada otot-
otot di sekitar tempat infeksi tanpa tanda-tanda sistemik. Kontraksi dapat berta-
han selama beberapa minggu sebelum perlahan-lahan menghilang. Tetanus
lokal dapat berlanjut menjadi tetanus general tetapi gejala yang timbul biasanya
ringan dan jarang menimbulkan kematian. Mortalitas akibat tetanus lokal hanya
1% (2, 5).

2.6.2.Tetanus sefalik

19
Tetanus sefalik juga merupakan bentuk yang jarang ditemukan (insiden
sekitar 6%) dan merupakan bentuk khusus tetanus lokal yang mempengaruhi
otot-otot nervus kranialis terutama di daerah wajah. Tetanus sefalik dapat tim-
bul setelah otitis media kronik maupun cidera kepala (kulit kepala, mata dan
konjungtiva, wajah, telinga, atau leher). Manifestasi klinis yang dapat timbul
dalam 1-2 hari setelah cidera antara lain fasial palsi akibat paralisis nervus VII

(paling sering), disfagia, dan paralisis otot-otot ekstraokuler serta ptosis akibat
paralisis nervus III. Tetanus sefalik dapat berlanjut menjadi tetanus general.
Gambar 5. Paralisis nervus fasialis kiri dan tampak luka baru pada pasien dengan
tetanus sefalik.
2.6.3.Tetanus general
Sekitar 80% kasus tetanus merupakan tetanus general. Tanda khas dari
tetanus general adalah trismus (lockjaw) yaitu ketidakmampuan membuka mu-
lut akibat spasme otot maseter. Trismus dapat disertai gejala lain seperti
kekakuan leher, kesulitan menelan, rigiditas otot abdomen, dan peningkatan
temperatur 2-4°C di atas suhu normal. Spasme otot-otot wajah menyebabkan
wajah penderita tampak menyeringai dan dikenal sebagai risus sardonicus (sar-
donic smile). Spasme otot-otot somatik yang luas menyebabkan tubuh penderita
membentuk lengkungan seperti busur yang dikenal sebagai opistotonus dengan
fleksi lengan dan ekstensi tungkai serta rigiditas otot abdomen yang teraba
seperti papan (5).
Kejang otot yang akut, paroksismal, tidak terkoordinasi, dan menyeluruh

20
merupakan karakteristik dari tetanus general. Kejang tersebut terjadi secara in-
termiten, ireguler, tidak dapat diprediksi, dan berlangsung selama beberapa de-
tik sampai beberapa menit. Pada awalnya kejang bersifat ringan dan terdapat
periode relaksasi diantara kejang, lama kelamaan kejang menimbulkan nyeri
dan kelelahan (paroksismal). Kejang dapat terjadi secara spontan atau dipicu
berbagai stimulus eksternal dan internal. Distensi vesika urinaria dan rektum
atau sumbatan mukus dalam bronkus dapat memicu kejang paroksismal. Udara
dingin, suara, cahaya, pergerakan pasien, bahkan gerakan pasien untuk minum
dapat memicu spasme paroksismal. Sianosis dan bahkan kematian mendadak
dapat terjadi akibat spasme tersebut.. Overaktivitas sistem saraf simpatis lebih
sering ditemukan pada pasien usia tua atau pecandu narkotik dengan tetanus.
Overaktivitas autonom dapat menyebabkan fluktuasi ekstrim tekanan darah
yang bervariasi dari hipertensi ke hipotensi serta takikardia, berkeringat, hipert-
ermia, dan aritmia jantung (5).
Pada tetanus kesadaran penderita tidak terganggu dan penderita men-
galami nyeri hebat pada setiap episode spasme. Spasme berlanjut selama 2-3
minggu, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan transpor toksin
yang sudah berada intraaksonal, setelah antitoksin diberikan. Apabila antitoksin
tidak diberikan, pemulihan lengkap akan terjadi dalam beberapa bulan sampai
produksi dan pengikatan tetanospasmin selesai dan terjadi pembentukan neuro-
muscular junction yang baru (2).

(a) (b)

21
(c)
Gambar 6. (a) Risus sardonikus; (b) Opistotonus; (c) Anak penderita tetanus
yang menangis akibat kontraksi otot yang nyeri.
2.6.4.Tetanus neonatorum
Tetanus neonatorum disebabkan infeksi C. tetani yang masuk melalui tali
pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora masuk disebabkan proses
pertolongan persalinan yang tidak steril, baik karena penggunaan alat maupun
obat-obatan yang terkontaminasi spora C. tetani. Kebiasaan menggunakan alat
pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril merupakan faktor
utama dalam terjadinya tetanus neonatorum (14).
Gambaran klinis tetanus neonatorum serupa dengan tetanus general. Ge-
jala awal ditandai dengan ketidakmampuan untuk menghisap 3-10 hari setelah
lahir. Gejala lain termasuk iritabilitas dan menangis terus menerus (rewel), risus
sardonikus, peningkatan rigiditas, dan opistotonus (3).

Gambar 6. Tetanus neonatorum

22
2.7. Diagnosis
Diagnosis tetanus lebih sering ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis
dibandingkan berdasarkan penemuan bakteriologis. Diagnosis relatif lebih mudah
pada daerah dengan insiden tetanus yang sering, tetapi lebih lambat di negara-negara
berkembang dimana tetanus jarang ditemukan. Selain trismus, pemeriksaan fisik me-
nunjukkan hipertonisitas otot-otot, refleks tendon dalam yang meningkat, kesadaran
yang tidak terganggu, demam derajat rendah, dan sistem saraf sensoris yang normal.
Spasme paroksismal dapat ditemukan secara lokal maupun general. Sebagian besar
pasien memiliki riwayat luka dalam 2 minggu terakhir dan secara umum tidak memi-
liki riwayat imunisasi tetanus toksoid yang jelas (5, 8).
Pemeriksaan bakteriologis dapat mengkonfirmasi adanya C. tetani pada hanya
sekitar sepertiga pasien yang memiliki tanda klinis tetanus. Harus diingat bahwa iso-
lasi C. tetani dari luka terkontaminasi tidak berarti pasien akan atau telah menderita
tetanus. Frekuensi isolasi C. tetani dari luka pasien dengan tetanus klinis dapat dit-
ingkatkan dengan memanaskan satu set spesimen pada suhu 80°C selama 15 menit
untuk menghilangkan bentuk vegetatif mikroorganisme kompetitor tidak berspora se-
belum media kultur diinokulasi (5).
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis sedang. Pemeriksaan
cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat akibat kontraksi otot.
Hasil elektromiografi dan elektroensefalografi biasanya normal dan tidak membantu
diagnosis. Pada kasus tertentu apabila terdapat keterlibatan jantung elektrokardiografi
dapat menunjukkan inversi gelombang T. Sinus takikardia juga sering ditemukan. Di-
agnosis tetanus harus dibuat dengan hati-hati pada pasien yang memiliki riwayat dua
atau lebih injeksi tetanus toksoid yang terdokumentasi. Spesimen serum harus diam-
bil untuk memeriksa kadar antitoksin. Kadar antitoksin 0,01 IU/mL dianggap protek-
tif (5, 9).
Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan penyakit.
Beberapa sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah skor Phillips,

23
Dakar, Ablett, dan Udwadia. Sistem skoring tetanus juga sekaligus bertindak sebagai
penentu prognosis (11, 15).

Tabel 1. Skor Phillips untuk menilai derajat tetanus


Parameter Nilai
< 48 jam 5
2-5 hari 4
Masa inkubasi 6-10 hari 3
11-14 hari 2
> 14 hari 1

Internal dan umbilikal 5


Leher, kepala, dinding tubuh 4
Lokasi infeksi Ekstremitas atas 3
Ekstremitas bawah 2
Tidak diketahui 1

Tidak ada 10
Mungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi (pada 8
Status imu- neonatus) 4
nisasi > 10 tahun yang lalu 2

24
< 10 tahun yang lalu 0
Imunisasi lengkap
10
Penyakit atau trauma yang mengancam nyawa 8
Keadaan yang tidak langsung mengancam nyawa 4
Faktor pem- Keadaan yang tidak mengancam nyawa 2
berat Trauma atau penyakit ringan 1
ASA derajat I
Sumber: Farrar et al, 2000

Sistem skoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan di-
dasarkan pada empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status imunisasi,
dan faktor pemberat. Skor dari keempat parameter tersebut dijumlahkan dan interpre-
tasinya sebagai berikut: (a) skor < 9 tetanus ringan, (b) skor 9-18 tetanus sedang, dan
(c) skor > 18 tetanus berat.
Tabel 2. Sistem skoring tetanus menurut Ablett
Grade I (ringan) Trismus ringan (trismus >3 cm), spastisitas general, tidak ada distres
pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.

Grade II (sedang) Trismus sedang (trismus 3-1 cm), rigiditas yang tampak, spasme
ringan hingga sedang dengan durasi pendek, takipnea ≥ 30 kali/menit,
disfagia ringan.

Grade III A (berat) Trismus berat (trismus <1cm), spastisitas menyeluruh, spasme spon-
tan yang memanjang, distres pernapasan dengan takipnea ≥ 40 kali/
menit, apneic spell, disfagia berat, takikardia ≥ 120 kali/menit.

Grade III B (sangat berat) Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom berat yang
melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia
bergantian dengan hipotensi relatif dan bradikardia, salah satunya da-
pat menjadi persisten.

Sistem skoring menurut Ablett juga dikembangkan pada tahun 1967 dan menu-

25
rut beberapa literatur merupakan sistem skoring yang paling sering digunakan .
(9,13,16)

Udwadia (1992) kemudian sedikit memodifikasi sistem skoring Ablett dan dikenal
sebagai skor Udwadia (17).

Tabel 3. Sistem skoring tetanus menurut Udwadia


Grade I (ringan) Trismus ringan (trismus >3 cm), spastisitas general, tidak
ada distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Grade II (sedang) Trismus sedang (trismus 3-1 cm), rigiditas yang tampak,
spasme ringan hingga sedang dengan durasi pendek, takip-
nea ≥ 30 kali/menit, disfagia ringan.
Grade III (berat) Trismus berat (trismus <1cm), spastisitas menyeluruh,
spasme spontan yang memanjang, distres pernapasan den-
gan takipnea ≥ 40 kali/menit, apneic spell, disfagia berat,
takikardia ≥ 120 kali/menit, keringat berlebih, dan pen-
ingkatan salivasi.
Grade IV (sangat Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom
berat) berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler: hipertensi
menetap (> 160/100 mmHg), hipotensi menetap (tekanan
darah sistolik < 90 mmHg), atau hipertensi episodik yang
sering diikuti hipotensi.

Skor Dakar dapat diukur tiga hari setelah muncul gejala klinis pertama (9).

26
Tabel 4. Sistem skoring Dakar untuk tetanus

Faktor prognostik Skor 1 Skor 0


Masa inkubasi < 7 hari ≥ 7 hari atau tidak diketahui
Periode onset < 2 hari ≥ 2 hari
Umbilikus, luka bakar,
uterus, fraktur terbuka, luka Penyebab lain dan penyebab
Tempat masuk
operasi, injeksi intramusku- yang tidak diketahui
lar
Spasme Ada Tidak ada
Demam > 38.4 C
o
< 38.4oC
Takikardia Dewasa  > 120 kali/menit Dewasa  < 120 kali/menit
Neonatus > 150 kali/menit Neonatus < 150 kali/menit
Skor total mengindikasikan keparahan dan prognosis penyakit sebagai berikut:
Skor 0-1 : tetanus ringan dengan tingkat mortalitas < 10%
Skor 2-3 : tetanus sedang dengan tingkat mortalitas 10-20%
Skor 4 : tetanus berat dengan tingkat mortalitas 20-40%
Skor 5-6 : tetanus sangat berat dengan tingkat mortalitas > 50%

2.8. Diagnosis banding


Berbagai keadaan dapat memberikan gambaran klinis yang menyerupai tetanus.
Kondisi lokal tersering yang dapat menyebabkan trismus adalah abses alveolar.
Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang baik serta pemeriksaan radiologis dapat
menentukan adanya abses alveolar. Meningitis purulenta dapat dieksklusi dengan pe-
meriksaan cairan serebrospinal. Ensefalitis terkadang disertai gejala trismus dan
spasme otot, tetapi kesadaran pasien biasanya berkabut. Rabies harus dipertim-
bangkan dalam diagnosis banding meskipun pada rabies tidak ada trismus. Spasme
otot terjadi lebih awal dalam perjalanan penyakit rabies dan melibatkan otot-otot per-
napasan dan deglutition. Pada anak-anak < 2 tahun, tetani hipokalsemia harus diper-
timbangkan. Berbagai kelainan yang merupakan diagnosis banding tetanus di-
rangkum dalam tabel 5.

27
Tabel 5. Diagnosis banding tetanus.

Penyakit Gambaran diferensial


INFEKSI
Meningoensefalitis Demam, trismus ridak ada, penurunan ke-
sadaran, cairan serebrospinal abnormal.
Polio Trismus tidak ada, paralisis tipe flasid, cairan
serebrospinal abnormal.
Rabies Gigitan binatang, trismus tidak ada, hanya
spasme orofaring.
Lesi orofaring Bersifat lokal, rigiditas atau spasme seluruh
tubuh tidak ada.
Peritonitis Trismus dan spasme seluruh tubuh tidak ada.
KELAINAN METABOLIK
Tetani Hanya spasme karpo-pedal dan laringeal,
Keracunan striknin hipokalsemia.
Reaksi fenotiazin Relaksasi komplit diantara spasme.
PENYAKIT SISTEM SARAF Distonia, menunjukkan respon dengan difen-
PUSAT hidramin.
Status epileptikus
Perdarahan atau tumor Penurunan kesadaran.
(SOL) Trismus tidak ada, penurunan kesadaran.
KELAINAN PSIKIATRIK
Histeria Trismus inkonstan, relaksasi komplit antara
KELAINAN MUSKU- spasme.
LOSKELETAL
Trauma Hanya lokal.

28
2.9. Penatalaksanaan
Prioritas awal dalam manajemen penderita tetanus adalah kontrol jalan napas
dan mempertahankan ventilasi yang adekuat. Pada tetanus sedang sampai berat risiko
spasme laring dan gangguan ventilasi tinggi sehingga harus dipikirkan untuk
melakukan intubasi profilaksis. Rapid sequence intubation dengan midazolam dan
suksinilkolin dianggap aman dan efektif untuk mendapatkan patensi jalan napas. In-
tubasi nasotrakeal dihindari karena stimulasi sensoris yang berlebihan. Beberapa
rumah sakit yang sering merawat pasien dengan tetanus memiliki ruangan yang
khusus dibangun.
Pasien ditempatkan di ruang perawatan khusus yang sunyi dan gelap untuk
meminimalisir stimulus ekstrinsik yang dapat memicu spasme paroksismal. Pasien
harus diistirahatkan dengan tenang untuk membatasi stimulus periferal dan dipo-
sisikan secara hati-hati untuk mencegah pneumonia aspirasi. Pemberian cairan intra-
vena dilakukan dan hasil pemeriksaan elektrolit dan analisa gas darah penting untuk
menentukan terapi (11, 18).
Tiga tujuan utama penatalaksanaan, yaitu: (1) menetralisir toksin dalam sirku-
lasi; (2) menghilangkan sumber tetanospasmin; dan (3) memberikan terapi suportif
sampai tetanospasmin yang terfiksir pada neuron dimetabolisme (5).

A. Netralisasi Toksin (HTIG atau ATS)


Netralisasi toksin dalam sirkulasi dilakukan dengan memberikan human tetanus
immunoglobulin (HTIG). Belum ada konsensus mengenai dosis tepat HTIG untuk
tetanus. Bhatia(11) menyarankan pemberian dosis tunggal 3000-6000 IU secara intra-
muskular, sedangkan dosis yang disarankan dalam formularium nasional Inggris
adalah 5000-10.000 IU(19). Waktu paruh HTIG sekitar 23 hari sehingga tidak diper-
lukan dosis ulangan. HTIG tidak boleh diberikan diberikan lewat jalur intravena
karena mengandung anti complementary aggregates of globulin yang dapat mence-
tuskan reaksi alergi.

29
Apabila HTIG tidak tersedia dapat digunakan antitetanus serum (ATS) yang
berasal dari serum kuda dengan dosis 40.000 IU. Cara pemberiannya yaitu 20.000 IU
antitoksin dimasukkan ke dalam 200 ml cairan NaCl fisiologis dan diberikan secara
intravena, pemberian harus selesai dalam 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa
(20.000 IU) diberikan secara intramuskular pada daerah sekitar luka. ATS berasal
dari serum kuda sehingga berpotensi besar menimbulkan reaksi hipersensitivitas se-
hingga pemberiannya harus didahului oleh skin test yaitu 0,1 mL ATS diencerkan
menggunakan cairan garam fisiologis dengan perbandingan 1:10 kemudian diinjek-
sikan intradermal. HTIG dan ATS hanya berguna terhadap tetanospasmin yang belum
memasuki sistem saraf (14, 16).

B. Eradikasi Sumber toksin (Antibiotik, Debridemen)


Eradikasi sumber toksin dilakukan dengan pemberian antibiotik dan debride-
men luka. Penggunaan antibiotik Penisilin G (100.000-200.000 IU/kgBB per hari
dibagi 2-4 dosis) dahulunya merupakan terapi pilihan. Penisilin G merupakan antago-
nis reseptor GABA sehingga dapat bekerja secara sinergis dengan tetanospasmin.
Saat ini Metronidazole merupakan antibiotik pilihan pertama untuk tetanus. Dosis
Metronidazole adalah 500 mg setiap 6 jam diberikan melalui jalur intravena atau per
oral selama 10-14 hari.
Antibiotik yang dapat digunakan sebagai alternatif terhadap Metronidazole
adalah Doksisiklin 100 mg setiap 12 jam selama 7-10 hari. Makrolida, Klindamisin,
Sefalosporin, dan Kloramfenikol juga efektif Pada perawatan luka dilakukan debride-
men luka dengan membuang benda asing, eksisi jaringan nekrotik, serta irigasi luka.
Larutan hidrogen peroksida (H2O2) dapat digunakan dalam perawatan luka. Per-
awatan luka dilakukan 1-2 jam setelah pemberian HTIG atau ATS dan antibiotik (14,

.
16)

C. Terapi Suportif
Terapi suportif meliputi sedasi, blokade neuromuskuler, dan manajemen insta-

30
bilitas autonomik. Sedasi secara efektif mengatasi spasme otot dan rigiditas. Benzodi-
azepin seperti midazolam dan diazepam merupakan obat lini pertama untuk mencapai
sedasi. Dosis benzodiazepin yang digunakan dapat mencapai 100 mg/jam intravena.
Antikonvulsan seperti fenobarbital dan secobarbital yang meningkatkan aktivitas
GABA juga dapat memberikan efek sedasi dan digunakan dengan dosis awal 1.5-2.5
mg/kgBB untuk anak atau 100-150 mg untuk dewasa diberikan intramuskular. Dosis
pemeliharaan harus dititrasi.
Apabila spasme menjadi lebih berat atau lebih sering dapat digunakan fenobar-
bital 120-200 mg intravena dan ditambahkan diazepam dalam dosis terbagi sampai
120 mg/hari diberikan intravena. Klorpromazin dosis 4-12 mg untuk bayi atau 50-150
mg untuk dewasa diberikan setiap 4-8 jam dapat digunakan untuk mengendalikan ke-
jang tetani (5, 19).
Morfin memiliki efek sentral yang dapat meminimalisir efek tetanospasmin.
Meskipun morfin merupakan pilihan yang potensial sebagai sedatif kerja pendek dan
analgesik penggunaannya terbatas karena harga yang mahal dan berkaitan dengan be-
berapa efek samping. Propofol juga telah digunakan dalam manajemen tetanus tetapi
memiliki keterbatasan karena untuk mencapai konsentrasi plasma yang adekuat mem-
butuhkan ventilasi mekanis (19).
Obat lain yang dapat digunakan untuk mengontrol spasme adalah magnesium
sulfat dan baklofen. Magnesium bekerja sebagai antagonis kalsium dan dalam peng-
gunaannya harus dimonitor refleks patella, respiratory rate, serta tanda-tanda
hipokalsemia seperti tanda Chvostek dan Trousseau yang positif. Pemberiannya di-
dahului dengan loading dose 5 mg diberikan selama 20 menit diikuti maintenance
dose 2 gram/jam. Magnesium sulfat tidak boleh digunakan pada pasien dengan gagal
ginjal berat. Baklofen merupakan agonis GABA fisiologis yang menstimulasi resep-
tor GABA post-sinaptik sehingga mengembalikan inhibisi fisiologis motorneuron.
Pemberiannya secara intratekal dengan dosis bervariasi antara 1000 mcg untuk
orang dewasa < 55 tahun, 500 mcg < 16 tahun, dan 800 mcg > 55 tahun; diberikan
awalnya dengan bolus intermiten pada interval 10-20 jam tergantung respon pasien

31
atau diberikan dengan infus kontinyu apabila dibutuhkan. Dantrolene merupakan re-
laksan otot kerja langsung yang bekerja dengan menginhibisi pelepasan kalsium dari
retikulum sarkoplasma dan seara langsung mempengaruhi coupling eksitasi-kon-
traksi.
Dantrolene telah digunakan dalam beberapa kasus dan memiliki keuntungan
karena tidak membutuhkan pernapasan buatan, tetapi Dantrolene belum dapat di-
rekomendasikan untuk penggunaan rutin karena belum banyak penelitian melibatkan
obat ini, harga yang mahal, dan potensi efek hepatotoksik. Spasme otot yang tidak da-
pat dikontrol dengan benzodiazepin harus ditangani dengan pemberian agen blokade
neuromuskuler, diantaranya atrakurium dan vekuronium. Vekuronium memiliki sifat
kardiostabil (11, 19).
Penyebab utama mortalitas pada tetanus adalah kolaps sirkulasi yang disebabkan
oleh instabilitas autonomik. Henti jantung tiba-tiba sering terjadi dan diperkirakan
dipicu oleh kadar katekolamin yang tinggi dan efek langsung toksin terhadap
miokardium. Aktivitas simpatetik yang memanjang dapat berakhir dengan hipotensi
dan bradikardia. Overaktivitas parasimpatetik dapat menyebabkan henti sinus, yang
telah dikaitkan dengan efek langsung perusakan nukleus vagal oleh toksin. Atropin do-
sis tinggi (hingga 100 mg/jam) dianjurkan apabila bradikardia merupakan manifestasi
utama (19).
Sedasi merupakan tindakan awal untuk mengendalikan instabilitas autonomik
terutama menggunakan morfin yang efektif menurunkan output katekolamin. Blokade
beta, meskipun secara teoritis berguna mengontrol episode hipertensi dan takikardia,
berhubungan dengan kolaps kardiovaskular tiba-tiba, edema pulmoner, dan kematian.
Obat lain yang telah digunakan termasuk klonidin dan magnesium. Klonidin meru-
pakan agonis α2-adrenergik yang menurunkan aliran simpatis, tekanan arteri, denyut
jantung, dan pelepasan katekolamin. Klonidin dapat diberikan secara oral dan par-
enteral.
Magnesium telah meningkat penggunaannya sebagai terapi multimodal tetanus.
Magnesium bekerja melalui beberapa cara diantaranya memblok pelepasan kateko-

32
lamin dari saraf dan medula adrenal dan mengurangi respon reseptor terhadap kateko-
lamin. Magnesium juga merupakan bloker neuromuskular presinaptik sehingga
berguna untuk mengontrol rigiditas dan spasme. Dosis yang direkomendasikan adalah
20 mmol/jam dan disesuaikan untuk mencapai konsentrasi plasma 2,5-4,0 mmol/liter.
Konsentrasi kalsium plasma harus dimonitor selama pemberian magnesium karena da-
pat menghambat pelepasan hormon paratiroid (19).
Kebutuhan energi pada tetanus meningkat karena spasme berulang dan overak-
tivitas sistemik. Pemberian nutrisi harus dimulai sejak dini, idealnya melalui jalur en-
teral untuk mempertahankan integritas gastrointestinal. Pada penderita tetanus
diberikan diet cukup kalori dan protein melalui jalur enteral maupun parenteral. Ben-
tuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Selama pasase
usus baik diberikan nutrisi enteral. Apabila ada trismus makanan dapat diberikan
lewat pipa lambung maupun gastrostomi (10, 14, 15, 19).
Penderita yang sembuh dari tetanus tidak memiliki imunitas terhadap infeksi
tetanus ulangan karena jumlah tetanospasmin yang dibutuhkan untuk menyebabkan
tetanus tidak cukup untuk menstimulasi sistem imunitas tubuh. Pasien yang sembuh
dari tetanus harus memulai atau melengkapi imunisasi aktif dengan tetanus toksoid
selama proses penyembuhan (2).

2.10. Komplikasi
Komplikasi tetanus dapat berupa komplikasi primer atau efek langsung dari
toksin seperti aspirasi, spasme laring, hipertensi, dan henti jantung, atau komplikasi
sekunder akibat imobilisasi yang lama maupun tindakan suportif seperti ulkus deku-
bitus, pneumonia akibat ventilasi jangka panjang, stress ulcer, dan fraktur serta ruptur
tendon akibat spasme otot . Berbagai komplikasi akibat tetanus dirangkum dalam
(2, 11)

tabel 6.
Tabel 6. Komplikasi akibat tetanus

Sistem organ Komplikasi


Jalan napas Aspirasi, spasme laring, obstruksi terkait penggunaan sedatif.

33
Respirasi Apneu, hipoksia, gagal napas tipe I dan II, ARDS, komplikasi aki-
bat ventilasi mekanis jangka panjang (misalnya pneumonia), kom-
plikasi trakeostomi.
Kardiovaskular Takikardia, hipertensi, iskemia, hipotensi, bradikardia, aritmia,
asistol, gagal jantung.
Renal Gagal ginjal, infeksi dan stasis urin.
Gastrointestinal Stasis, ileus, perdarahan.
Muskuloskeletal Rabdomiolisis, myositis ossificans circumscripta, fraktur akibat
spasme.
Lain-lain Penurunan berat badan, tromboembolisme, sepsis, sindrom dis-
fungsi multiorgan.

2.11. Prognosis
Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi, pe-
riode awal pengobatan, status imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit lain yang
menyertai, serta penyulit yang timbul. Berbagai sistem skoring yang digunakan untuk
menilai berat penyakit juga bertindak sebagai penentu prognostik. Sistem skoring
yang dapat digunakan antara lain skor Phillips, Dakar, Udwadia, dan Ablett. Tingkat
mortalitas mencapai lebih dari 50% di negara-negara berkembang dengan gagal napas
menjadi penyebab utama mortalitas dan morbiditas. Mortalitas lebih tinggi pada
kelompok usia neonatus dan > 60 tahun(11).

2.12. Pencegahan
Tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting dalam menu-
runkan morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah tetanus,
yaitu perawatan luka yang adekuat dan imunisasi aktif dan pasif (15).
Imunisasi aktif dilakukan dengan memberikan tetanus toksoid yang bertujuan
merangsang tubuh untuk membentuk antitoksin. Imunisasi aktif dapat dimulai sejak
anak berusia 2 bulan dengan pemberian imunisasi DPT atau DT. Untuk orang dewasa

34
digunakan tetanus toksoid (TT). Jadwal imunisasi dasar untuk profilaksis tetanus
bervariasi menurut usia pasien.

Tabel 7. Jadwal imunisasi aktif terhadap tetanus


Bayi dan anak nor- Imunisasi DPT pada usia 2,4,6, dan 15-18 bulan.
mal. Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun.
Sepuluh tahun setelahnya (usia 14-16 tahun) diberikan in-
jeksi TT dan diulang setiap 10 tahun sekali.
Bayi dan anak nor- DPT diberikan pada kunjungan pertama, kemudian 2 dan 4
mal sampai usia 7 bulan setelah injeksi pertama.
tahun yang tidak di- Dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah injeksi pertama.
imunisasi pada masa Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun.
bayi awal. Sepuluh tahun setelahnya (usia 14-16 tahun) diberikan in-
jeksi TT dan diulang setiap 10 tahun sekali.
Usia ≥ 7 tahun yang Imunisasi dasar terdiri dari 3 injeksi TT yang diberikan pada
belum pernah diimu- kunjungan pertama, 4-8 minggu setelah injeksi pertama, dan
nisasi. 6-12 bulan setelah injeksi kedua.
Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.
Ibu hamil yang Wanita hamil yang belum pernah diimunisasi harus mener-
belum pernah diimu- ima 2 dosis injeksi TT dengan jarak 2 bulan (lebih baik pada

35
nisasi. 2 trimester terakhir).
Setelah bersalin, diberikan dosis ke-3 yaitu 6 bulan setelah
injeksi ke-2 untuk melengkapi imunisasi.
Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.
Apabila ditemukan neonatus lahir dari ibu yang tidak pernah
diimunisasi tanpa perawatan obstetrik yang adekuat, neona-
tus tersebut diberikan 250 IU human tetanus immunoglobu-
lin. Imunitas aktif dan pasif untuk ibu juga harus diberikan.

Imunisasi aktif dan pasif juga diberikan sebagai profilaksis tetanus pada
keadaan trauma. Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan kondisi
luka khususnya kerentanan terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien. Tanpa
memperhatikan status imunitas aktif pasien, pada semua luka harus dilakukan tin-
dakan bedah segera dengan menggunakan teknik aseptik yang hati-hati untuk mem-
buang semua jaringan mati dan benda asing. Pada luka yang rentan terhadap tetanus
harus dipertimbangkan untuk membiarkan luka terbuka. Tindakan yang demikian
penting sebagai profilaksis terhadap tetanus (20).

Tabel 8. Klasifikasi luka menurut American College of Surgeon Committee on


Trauma (1995)

Tampilan klinis Luka rentan tetanus Luka tidak rentan


tetanus

Usia luka > 6 jam < 6 jam


Konfigurasi Bentuk stellate, avulsi Bentuk linier, abrasi
Kedalaman > 1 cm ≤ 1 cm
Mekanisme cidera Misil, crush injury, Benda tajam (pisau,
luka bakar, frostbite kaca)

36
Tanda-tanda infeksi Ada Tidak ada
Jaringan mati Ada Tidak ada
Kontaminan (tanah, fe- Ada Tidak ada
ses, rumput, saliva, dan
lain-lain)
Jaringan denervasi/ Ada Tidak ada
iskemik

Satu-satunya kontraindikasi terhadap tetanus toksoid untuk pasien trauma


adalah reaksi neurologis atau hipersensitivitas terhadap dosis sebelumnya. Efek
samping lokal tidak menjadi alasan untuk tidak memberikan tetanus toksoid. Berikut
adalah panduan pemberian profilaksis tetanus pada pasien trauma. Individual dengan
faktor risiko status imunisasi tetanus yang inadekuat (imigran, kemiskinan, orang tua
tanpa riwayat injeksi booster yang jelas) harus diterapi sebagai yang riwayatnya tidak
diketahui (20).

Tabel 9. Panduan pemberian profilaksis tetanus pada pasien trauma (20)


Riwayat imunisasi tetanus Luka rentan tetanus Luka tidak rentan tetanus
sebelumnya (dosis) TT HTIG TT HTIG

Tidak diketahui atau < 3 Ya Ya Ya Tidak

≥ 3 dosis Tidak Tidak Tidak Tidak

(kecuali ≥ 5 tahun (kecuali ≥ 10


sejak dosis ter- tahun sejak do-
akhir) sis terakhir)

Untuk anak ≤ 7 tahun dapat digunakan DPT sebagai pengganti TT. Dosis profi-
laksis HTIG yang direkomendasikan adalah 250 IU diberikan intramuskular. Apabila
diberikan imunisasi tetanus (TT atau DPT) dan HTIG secara bersamaan, gunakan alat

37
injeksi yang berbeda dan tempat injeksi yang terpisah. Apabila tidak tersedia HTIG
dapat digunakan anti tetanus serum (ATS) yang berasal dari serum kuda dengan dosis
3000-6000 IU. ATS lebih sering menimbulkan reaksi hipersensitivitas dibandingkan
TIG karena mengandung protein asing bahkan pada pasien dengan tes kulit atau kon-
jungtiva negatif sebelum pemberian (insiden 5-30%). ATS hanya diberikan apabila
tidak tersedia TIG dan kemungkinan tetanus melebihi reaksi yang potensial terhadap
produk ini (5, 20, 21).
Seseorang yang pernah menderita tetanus tidak imun terhadap serangan ulan-
gan, artinya penderita tersebut memiliki kemungkinan yang sama untuk menderita
tetanus seperti orang lain yang tidak pernah diimunisasi. Tidak terbentuknya keke-
balan pada penderita setelah sembuh dikarenakan toksin yang masuk ke dalam tubuh
tidak mampu merangsang pembentukan antitoksin. Tetanospasmin merupakan toksin
yang sangat poten sehingga dalam konsentrasi yang sangat kecil dapat menimbulkan
tetanus. Jumlah toksin yang masuk ke dalam tubuh dan menimbulkan tetanus tidak
cukup untuk merangsang imunitas aktif penderita (14).
Pada kondisi tertentu dapat dijumpai antitoksin pada serum seseorang yang
tidak memiliki riwayat imunisasi atau peninggian titer antitoksin yang karakteristik
sebagai respon imun sekunder pada beberapa orang yang diberikan imunisasi tetanus
toksoid untuk pertama kali. Hal ini disebut sebagai imunitas alami. Imunitas alami
dapat terjadi karena C. tetani telah diisolasi dari feses manusia. Bakteri yang berada
di dalam lumen usus merangsang terbentuknya imunitas pada host. Imunitas alami
dapat menjelaskan mengapa insiden tetanus tidak tinggi pada beberapa negara dimana
pemberian imunisasi tetanus tidak terlaksana dengan baik (14).

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Widoyono. Penyakit Tropis epidemiology, penularan, pencegahan dan pember-


antasannya. Edisi I Penerbit Erlangga. 2008 : p 29-33.

2. Braunwald et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th edition. Mc-


Graw-Hill: United State. 2008. p840-43.

3. WHO News and activities. The Global Elimination of neonatal tetanus : progress
to date, Bull WHO 2006; 72 : 155-157

4. Ismanoe G. Tetanus. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S,


(editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI;
2007.

5. Azhali MS, Herry Garna, Aleh Ch, Djatnika S. Penyakit Infeksi dan Tropis.
Dalam : Herry Garna, Heda Melinda, Sri Endah Rahayuningsih. Pedoman Diag-
nosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak, edisi 3. FKUP/RSHS, Bandung, 2005 ;
209-213.

6. Mardjono, mahar. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat, Jakarta:2004. Hal. 322.

39
7. Edlich RF, Hill LG, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Jed H. Horowitz M, et al.
Management and Prevention of Tetanus. Journal of Long-Term Effects of Medi-
cal Implants. 2003;13(3):139-54.

8. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al. Neurological
Aspects of Tropical Disease: Tetanus. J Neurol Neurosurg Psychiatry.
2009;69:292–301.

9. Ogunrin O. Tetanus - A Review of Current Concepts in Management. Journal of


Postgraduate Medicine. 2009;11(1):46-61.

10. Cottle LE, Beeching NJ, Carrol ED, Parry CM. Tetanus. University of Liverpool
Press. England. 2011

11. Soedarmo, Sumarrno S.Poowo; Garna, Herry; Hadinegoro Sri Rejeki S, Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis, Edisi pertama, Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 2008.

12. Bhatia R, Prabhakar S, Grover VK. Tetanus. Neurology India. 2002;50:398-407.

13. Cook T, Protheroe R, Handel J. Tetanus: a review of the literature. British Jour-
nal of Anaesthesia. 2001;87(3):477-87.

14. Kiking Ritrawan. Tetanus. Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran USU/RSU H.


Adam Malik. 2010.

15. Sjamsuhidajat R, Jong Wd. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2005.

16. Afshar M, Raju M, Ansell D, Bleck TP. Narrative Review: Tetanus—A Health
Threat After Natural Disasters in Developing Countries. Ann Intern Med.
2011;154:329-35.

17. Udwadia F, Sunavala J, Jain M, D'Costa R, Jain P, Lall A, et al. Haemodynamic


Studies During the Management of Severe Tetanus. Quarterly Journal of
Medicine, New Series. 2008;83(302):449-60.

40
18. Dittrich KC, Keilany B. Tetanus: lest we forget. Canadian Journal of Emergency
Medicine. 2001;3(1):47-50.

19. Taylor AM. Tetanus. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care &
Pain. 2006;6(3):101-4.

20. American College of Surgeon Committee on Trauma. Prophylaxis Against


Tetanus in wound management. American Journal of General Surgery. 2011 ;
p63: 367-77.

41

Anda mungkin juga menyukai