Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

“Anastesi Umum pada Apendiksitis Akut”

PEMBIMBING:

dr. Edwin Haposan Martua, Sp.An., M.Kes.AIFO

DISUSUN OLEH:

Anggita Fauzia H (2013730009)

KEPANITERAAN KLINIK STASE ANESTESI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SEKARWANGI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

PERIODE 30 Juli – 26 Agustus 2018

1
KATA PENGANTAR

Assalammualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kami panjatkan atas ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya kepada kita semua. Tak lupa salawat serta salam kepada junjungan besar
Rasulullah SAW beserta para sahabatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus
”Anestesia Umum pada Apendiksitis Akut” dalam rangka mengikuti kepanitraan Klinik di
bagian/SMF Anestesi RSUD Sekarwangi Cibadak

Pada kesempatan ini, penyusun ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya


kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis:

1. dr. dr. Edwin Haposan Martua, Sp.An., M.Kes.AIFO selaku dokter pembimbing serta
Dokter Spesialis Ilmu Anestesi RSUD Sekarwangi Cibadak
2. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah memberikan bantuan
kepada penyusun
Akhirnya penyusun menyadari bahwa dalam penulisan tugas ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat dan tambahan
pengetahuan khususnya kepada penyusun dan kepada pembaca. Terimakasih

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Sekarwangi, 08 Agustus 2018

Penyususn

2
BAB I

PENDAHULUAN

Sejak pertama kali ditemukan oleh William Thomas Green Morton pada tahun 1846,
anestesi terus berkembang pesat hingga sekarang. Saat itu ia sedang memperagakan pemakaian
dietil eter untuk menghilangkan kesadaran dan rasa nyeri pada pasien yang ditanganinya. Ia
berhasil melakukan pembedahan tumor rahang pada seorang pasien tanpa memperlihatkan
gejala kesakitan. Karena pada saat itu eter merupakan obat yang cukup aman, memenuhi
kebutuhan, mudah digunakan, tidak memerlukan obat lain, cara pembuatan mudah, dan
harganya murah. Oleh karena itu eter terus dipakai, tanpa ada usaha untuk mencari obat yang
lebih baik. Setelah mengalami stagnasi dalam perkembangannya selama 100 tahun setelah
penemuan morton barulah kemudian banyak dokter tertarik untuk memperlajari bidang
anestesiologi, dan barulah obat-obat anestesi generasi baru muncul satu-persatu.
Anastesi berasal dari bahasa Yunani yaitu An berati tidak, dan Aesthesis berarti rasa atau
sensasi. Sehingga anestesi berarti suatu keadaan hilangnya rasa atau sensasi tanpa atau disertai
dengan hilangnya kesadaran. Anestesi adalah keadaan tanpa rasa (without sensation) tetapi
bersifat sementara dan dapat kembali kepada keadaan semula.
Anestesi umum adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral disertai
hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Perbedaan anestesi umum dibanding dengan
anestesi lokal diantaranya pada anestesi lokal hilangnya rasa sakit setempat sedangkan pada
anestesi umum seluruh tubuh. Pada anestesi lokal yang terpengaruh syaraf perifer, sedang pada
anestesi umum yang terpengaruh syaraf pusat dan pada anestesi lokal tidak terjadi kehilangan
kesadaran. Menurut bentuk fisiknya, anestesi umum dibagi menjadi 2 macam yaitu; anestesi
inhalasi dan anestesi intravena.

3
BAB II

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien

 Nama : Ny. A
 Jenis kelamin : Perempuan
 Umur : 33 tahun
 Agama : Islam
 Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
 Alamat : Kp. Ciberecek RT 03/ RW 11 Sekarwangi, Cibadak
 No.Rekam Medik : 5822***
 Ruangan : Nyi Ageng Serang Lt. 2
 Tanggal masuk rumah sakit : 06 Agustus 2018
 Tanggal operasi : 07 Agustus 2018

II. Anamnesis
A. Keluhan utama
Nyeri perut kanan bawah sejak 7 hari SMRS

B. Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang ke RSUD Sekarwangi dengan keluhan nyeri perut kanan bawah
sejak 7 hari yang lalu. Rasa nyeri awalnya berada pada ulu hati lalu berpindah ke perut
kanan bawah dan nyeri hilang timbul sehingga pasien belum berobat. Rasa nyeri di perut
kanan bawah semakin terasa memberat sehingga pasien datang ke IGD RSUD
Sekarwangi. Nyeri perut disertai demam, keluhan disertai mual namun tidak muntah,
pasien juga nafsu makan berkurang. BAB dan BAK tidak ada keluhan.

4
C. Riwayat Operasi:
Pasien belum pernah menjalani operasi dan tindakan pembiusan lokal ataupun
sebelumnya.
D. Riwayat penyakit dahulu

Riwayat hipertensi disangkal, Riwayat diabetes melitus disangkal, Riwayat


Penyakit kardiovaskular disangkal, Riwayat Penyakit Pernapasan disangkal, Riwayat
Alergi Obat disangkal, Riwayat operasi sebelumnya tidak ada.
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien menyangkal adanya penyakit yang serupa pada keluarga pasien, hipertensi
disangkal, Diabetes Melitus disangkal
F. Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah di obati sebelumnya
G. Riwayat Alergi
Pasien menyangkal adanya riwayat alergi terhadap makanan, obat-obatan,
maupun terhadap cuaca atau suhu tertentu.
H. Riwayat Psikososial
Pola makan pasien tidak teratur, Pasien senang mengonsumsi makanan yang
asam dan pedas. Pasien tidak merokok dan tidak mengkonsumsi minuman beralkohol.

III. Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
BB / TB : 52/150
IMT : 23 (Normoweigt)
A. Tanda Vital
Tekanan darah : 110/85mmHg
Pernafasan : 20x / menit
Denyut nadi : 80 x / menit
Suhu : 36,5’C
B. Status Generalis
Kepala : Normocephal, simetris, rambut bewarna hitam, alopesia (-)

5
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (3 mm/3 mm),
eksoftalmus (-/-)
Hidung : Deviasi septum (-/-), sekret (-/-), konka hipertrofi (-/-), livid (-/-)
Telinga : Normotia, membran timpani intak, nyeri tekan (-/-), serumen (-/-),
sekret (-/-)
Mulut : Bibir kering (-),
Leher : Pembesaran KGB (-), abses (-)
Tengggorokan : Faring hiperemis (-) Tonsil T1/T1
Thoraks :
Paru-paru
Inspeksi : Normochest, simetris dextra-sinistra, retraksi (-)
Palpasi : Vocal fremitus teraba dikedua lapang paru
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikular +/+, wheezing -/-, ronki -/-
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas : Kanan; ICS II linea parasternal dextra
Kiri; ICS II linea parasternal sinistra
Batas kanan : ICS IV linea parasternal dextra
Batas kiri : ICS IV linea mid clavicula sinistra
Auskultasi : BJ I-II murni reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Distensi abdomen (-), defans muscular (-)
Auskuktasi : Bising usus 2x/menit
Palpasi : nyeri tekan McBurney (+), Nyeri tekan lepas (+) Psoas sighn (+)
hepatomegali (-), splenomegali (-)
Perkusi : Timpani di empat kuadran region abdomen

6
Ekstremitas Atas Bawah
Akral Hangat Hangat
Edema -/- -/-
Sianosis -/- -/-
CRT < 2 detik + +

IV. Pemeriksaan Penunjang


Tanggal 06/08/2018
A. Laboratorium
a. Hematologi
1. Hb : 13.1 g/d
2. Leukosit : 9600 mm3
3. Trombosit : 327.000 mm3
4. Hematokrit : 38 %
5. Waktu Pembekuan: 6 Menit
b. Kimia Darah
1. Ureum : 17 mg/dl
2. Creatinin Serum : 0.7 mg/dl
3. Natrium : 137 mmol/l
4. Kalium : 3.9 mmol/l
5. SGOT : 18 U/L
6. SGPT : 13 U/L

V. Status Anestesi
A. ASA :I
B. Tanggal Operasi : 07 Agustus 2018
C. Ahli Anastesi : dr. Edwin Haposan Martua, Sp.An., M.Kes.AIFO
D. Ahli Bedah : dr. Usman Wahid Sp.B
E. Diagnosis Pra Bedah : Apendiksitis akut
F. Puasa : 6 jam
G. IMT : 22 (Normoweight)

7
H. TTV : TD= 110/85
HR=80x/menit
RR=20x/menit
Suhu=36,5
I. SPO2 : 99%
J. B1 (breathing) : Airway bebas, nafas spontan, RR: 20X/menit.
Mallapati score : 1
Hidung: pendarahan (-), deviasi septum (-). Leher: trakea
ditengah.
Paru: suara paru vesikuler, rh(-/-), wh(-/-).
B2 (Blood) : Akral hangat, merah, dan kering. Nadi
80x/menit, regular dn kuat, TD : 110/85 mmHg, JVP tidak
meningkat.
B3 (Brain) : Kesadaran Compos Mentis, GCS: 15(E4V5M6),
riwayat kejang (-), riwayat pingsan (-), pupil bulat isokor
Ø 3mm | 3mm, refleks cahaya +|+
B4 (Bladder) : Terpasang kateter, produksi urin selama
operasi +50 cc, warna kuning jernih.
B5 (Bowel) : Supel
palpasi: nyeri tekan McBurney (+), Nyeri tekan lepas (+)
perkusi : tympani (+), BU (+).
B6 (Bone) : Fraktur (-), edema (-), sianosis (-)

K. Pre-Operasi :
a. Persiapan Preoperasi:
- Surat persetujuan Operasi dan Anestesi
- Puasa 6 jam
- Premedikasi : Ondansentron 4mg
b. Tindakan Anestesi, persiapan:
1. Menyiapkan meja operasi
2. Menyiapkan mesin dan alat anestesi

8
3. Menyiapkan Komponen STATICS dan General Anestesi.
4. Menyiapkan obat anastesi yang diperlukan
5. Menyiapkan obat-obat resusitasi : Atropin 0,25 mg, Ephedrine 50 mg/mL,
Adrenalin.
6. Menyiapkan tiang infuse dan plester.
c. Jenis Pembedahan : Appendectomy
d. Teknik Anestesi :
Pada kasus ini, digunakan General Anestesi.
Pernafasan : ventilator, O2 : N2O = 3 : 1
Lama Operasi : 45 menit (12.30-13.15 WIB)
e. Jenis Anestesi : - Anestesi umum intubasi, dengan endotracheal tube no. 6,5
- Setelah pemberian pre-medikasi dengan ondansentron, pasien
mulai diinduksi dengan pemberian fentanyl, propofol dan
noveron
- Dalam waktu ± 1 menit pasien tertidur
- Cek refleks bulu mata (-) lakukan pemasangan sungkup dan
oksigenisasi
- Setelah ± 3 menit dengan saturasi 99%, dilakukan intubasi
- Masukkan ETT no 6,5 gunakan laringoskop untuk
mempermudah under vision intubasi dan laringoskop harus
diposisikan saat bagian ujung tube telah mencapai orofaring.
- Cek lapang paru dengan stetoskop kedua lapang paru
teroksigenisasi simetris
- Hubungkan ETT dengan pipa gas, berikan O2 6L dan N2O 2L
Isoflurane 2%
- Fiksasi interna ETT dengan cuff, fiksasi eksterna dengan plester
Anestesi dengan : Induksi : Fentanyl 75 mcg iv, Propofol 100 mg iv, Noveron 30
mg iv
Infus : Tangan Kanan, IV line abocath 18 G, cairan RL

9
L. Tanda Vital Intraoperatif
Waktu Tekanan Nadi/meni SpO2
Darah t (%)

12.30 105/78 88 99
12.47 108/81 82 99
13.02 106/82 83 99
13.15 90/70 86 99

M. Monitoring Cairan
a. Penghitungan cairan : BB : 52 Kg
10 Kg I : 10 x 4cc/KgBB/jam = 40 cc/jam
10 Kg II : 10 x 2 cc/KgBB/jam = 20 cc/jam
Sisanya 32 x 1 cc/KgBB/jam = 32 cc/jam
Total = 92 cc /jam
b. Cairan Stress operasi derajat operasi sedang
4cc/kgbb/jam
4x52= 208cc/jam
c. Cairan Pengganti Puasa
lama puasa x maintenance
6 jam x 92cc/jam x = 552cc
d. Cairan yang diberikan :
Jam I : Maintenance +( ½ x pengganti puasa) + stress operasi
92 ml + 276 ml + 208 ml = 576 ml/jam
Jam II : Maintenance + (¼ x pengganti puasa) + stress operasi
92 ml + 138 ml + 208 ml = 438 ml/ jam
Jam III : Maintenance + (¼ x pengganti puasa) + stress operasi
92 ml + 138 ml + 208 ml = 438 ml/ jam
Jam IV : Maintenance + stress operasi
92 ml + 208 ml = 300 ml/jam

10
Selanjutnya : Maintenace = 300 ml /jam

N. Post-Operatif

 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang


 Kesadaran : CM
 Tekanan Darah : 100/70 mmHg
 Nadi : 88 x/menit
 Pernapasan : 20 x/menit

Aldrette Score

Aktifitas 2
Pernafasan 2
Sirkulasi 2
Warna Kulit 1
Kesadaran 1
Total 8
Jika jumlahnya ≥ 8, maka pasien dapat pindah ke ruangan

O. Terapi Pasca Bedah


 Observasi KU, TTV, Perdarahan Luka Operasi
 O2 3LPM via NC
 Puasa terlebih dahulu, boleh makan minum bila BU (+) dengan sedikit sedikit
 Ondancetron 4 mg
 Tramadol 200 mg + Ketorolac 30 mg dalam RL 500 cc / 20 tpm
 Th/ Lain-lain sesuai terapi T.S dr. Usman Wahid, Sp.B

P. Follow Up Post-Operasi
Hari/Tanggal : Rabu / 08 Agustus 2018
Jam : 18.00 WIB

S : Keluhan nyeri di perut kanan bawah berkurang, masih terasa nyeri di luka operasi
O :
Keadaan Umum = Tampak sakit ringan,
Kesadaran = Komposmentis
Tekanan Darah = 110/80mmHg
Nadi = 80 x/m

11
Respirasi = 20x/m
Suhu Badan = 37oC

A : Appendisitis akut Post Appendiktomi Hari I


P :
 IVFD RL 1000 cc : D5 500 cc / 24 jam
 minum 2L/ 24 jam
 Ceftriakson 2 x 1 gr
 Keterolac 2 x 1 amp
 metronidazol 2x1
 monitor tekanan darah

12
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anestesi Umum
i. Definisi
Sejak pertama kali ditemukan oleh William Thomas Green Morton pada tahun
1846, anestesi terus berkembang pesat hingga sekarang. Saat itu ia sedang
memperagakan pemakaian dietil eter untuk menghilangkan kesadaran dan rasa
nyeri pada pasien yang ditanganinya. Ia berhasil melakukan pembedahan tumor
rahang pada seorang pasien tanpa memperlihatkan gejala kesakitan. Karena pada
saat itu eter merupakan obat yang cukup aman, memenuhi kebutuhan, mudah
digunakan, tidak memerlukan obat lain, cara pembuatan mudah, dan harganya
murah. Oleh karena itu eter terus dipakai, tanpa ada usaha untuk mencari obat yang
lebih baik. Setelah mengalami stagnasi dalam perkembangannya selama 100 tahun
setelah penemuan morton barulah kemudian banyak dokter tertarik untuk
memperlajari bidang anestesiologi, dan barulah obat-obat anestesi generasi baru
muncul satu-persatu.
Anastesi berasal dari bahasa Yunani yaitu An berati tidak, dan Aesthesis berarti
rasa atau sensasi. Sehingga anestesi berarti suatu keadaan hilangnya rasa atau sensasi
tanpa atau disertai dengan hilangnya kesadaran. Anestesi adalah keadaan tanpa rasa
(without sensation) tetapi bersifat sementara dan dapat kembali kepada keadaan
semula.
Anestesi umum adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral
disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Perbedaan anestesi umum
dibanding dengan anestesi lokal diantaranya pada anestesi lokal hilangnya rasa sakit
setempat sedangkan pada anestesi umum seluruh tubuh. Pada anestesi lokal yang
terpengaruh syaraf perifer, sedang padaanestesi umum yang terpengaruh syaraf pusat
dan pada anestesi lokal tidak terjadi kehilangan kesadaran. Menurut bentuk fisiknya,

13
anestesi umum dibagi menjadi 2 macam yaitu; anestesi inhalasi dan anestesi
intravena.
ii. Teori Anestesi Umum
Beberapa teori yang membicarakan tentang kerja anestesi umum, diantaranya :
- Meyer dan Overton (1989) mengemukakan teori kelarutan lipid (Lipid Solubity
Theory). Obat anestetika larut dalam lemak. Efeknya berhubungan langsung
dengan kelarutan dalam lemak. Makin mudah larut di dalam lemak, makin kuat
daya anestesinya. Ini hanya berlaku pada obat inhalasi (volatile anaesthetics),
tidak pada obat anestetika parenteral.
- Ferguson (1939) mengemukakan teori efek gas inert (The Inert Gas Effect).
Potensi analgesia gas – gas yang lembab dan menguap terbalik terhadap tekanan
gas – gas dengan syarat tidak ada reaksi secara kimia. Jadi tergantung dari
konsentrasi molekul – molekul bebas aktif.
- Pauling (1961) mengemukakan teori kristal mikrohidrat (The Hidrat Micro-
crystal Theory). Obat anestetika berpengaruh terutama terhadap interaksi
molekul – molekul obatnya dengan molekul – molekul di otak.
- Trudel (1963) mengemukakan molekul obat anestetika mengadakan interaksi
dengan membrana lipid meningkatkan keenceran (mengganggu membran).
Obat anestesi yang diberikan akan masuk ke dalam sirkulasi darah yang
selanjutnya menyebar ke jaringan, yang pertama kali terpengaruh adalah
jaringan yang banyak vaskularisasinya seperti otak, yang mengakibatkan
kesadaran dan rasa sakit hilang. Kecepatan dan kekuatan anestesi dipengaruhi
oleh faktor respirasi, sirkulasi, dan sifat fisik obat itu sendiri.

iii. Tujuan Anestesi Umum

Tujuan anestesi umum adalah hipnotik, analgesik, relaksasi dan stabilisasi


otonom.

14
iv. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Anestesi Umum
1. Faktor respirasi
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesika akan masuk ke dalam paru-
paru (alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial tertentu.
Kemudian zat anestesika akan berdifusi melalui membrane alveolus. Epitel
alveolus bukan penghambat disfusi zat anestesika, sehingga tekanan parsial
dalam alveolus sama dengan tekanan parsial dalam arteri pulmonarsi. Hal- hal
yang mempengaruhi hal tersebut adalah:
• Konsentrasi zat anestesika yang dihirup/ diinhalasi; makin tinggi
konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat anestesika dalam
alveolus.
• Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat
meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada
hipoventilasi.
2. Faktor sirkulasi
Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena
Factor-faktor yang mempengaruhi:
• Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam alveolus
dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika diserap
jaringan dan sebagian kembali melalui vena.
• Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika
dalam darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam
keadaan seimbang.
• Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak
aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesika yang
diambil dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga induksi
lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
tingkat anesthesia yang adekuat.
3. Faktor jaringan
• Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan
jaringan.

15
• Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat
anestesika, kecuali halotan.
• Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
- Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD) : otak, jantung, hepar,
ginjal. Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga
tekanan parsial zat anestesika ini meninggi dengan cepat dalam
organ-organ ini. Otak menerima 14% curah jantung.
- Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
- Lemak : jaringan lemak
Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada aliran darah :
ligament dan tendon.

4. Faktor zat anestesika

Bermacam-macam zat anestesika mempunyai potensi yang berbeda-beda.


Untuk menentukan derajata potensi ini dikenal adanya MAC (minimal
alveolar concentration atau konsentrasi alveolar minimal) yaitu konsentrasi
terendah zat anestesika dalam udara alveolus yang mampu mencegah
terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa sakit. Makin rendah
nilai MAC, makin tinggi.

v. Syarat, Kontraindikasi dan Komplikasi Anestesu Umum

Adapun syarat ideal dilakukan anestesi umum adalah :

- Memberi induksi yang halus dan cepat.


- Timbul situasi pasien tak sadar atau tak berespons
- Timbulkan keadaan amnesia
- Timbulkan relaksasi otot skeletal, tapi bukan otot pernapasan.
- Hambatan persepsi rangsang sensorik sehingga timbul analgesia yang cukup
untuk tindakan operasi.

16
- Memberikan keadaan pemulihan yang halus cepat dan tidak menimbulkan
ESO yang berlangsung lama.
Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umum yaitu dekompresi kordis
derajat III – IV, AV blok derajat II – total (tidak ada gelombang P).
Kontraindikasi Relatif berupa hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik >110),
DM tak terkontrol, infeksi akut, sepsis, GNA.
Tergantung pada efek farmakologi pada organ yang mengalami
kelainan.Pada pasien dengan gangguan hepar, harus dihindarkan pemakaian
obat yang bersifat hepatotoksik.Pada pasien dengan gangguan jantung, obat –
obatan yang mendepresi miokard atau menurunkan aliran koroner harus
dihindari atau dosisnya diturunkan.Pasien dengan gangguan ginjal, obat –
obatan yang diekskresikan melalui ginjal harus diperhatikan. Pada paru,
hindarkan obat yang memicu sekresi paru, sedangkan pada bagian endokrin
hindari obat yang meningkatkan kadar gula darah, obat yang merangsang
susunan saraf simpatis pada penyakit diabetes basedow karena dapat
menyebabkan peningkatan kadar gula darah.
Sedangkan komplikasi kadang – kadang tidak terduga walaupun tindakan
anestesi telah dilakukan dengan sebaik – baiknya.Komplikasi dapat
dicetuskan oleh tindakan anestesi ataupun kondisi pasien sendiri.Komplikasi
dapat timbul pada waktu pembedahan ataupun setelah pembedahan.
Komplikasi kardiovaskular berupa hipotensi dimana tekanan sistolik kurang
dari 70 mmHg atau turun 25 % dari sebelumnya, hipertensi dimana terjadi
peningkatan tekanan darah pada periode induksi dan pemulihan anestesi.
Komplikasi ini dapat membahayakan khususnya pada penyakit jantung
karena jantung bekerja keras dengan kebutuhan – kebutuhan miokard yang
meningkat yang dapat menyebabkan iskemik atau infark apabila tidak
tercukupi kebutuhannya. Komplikasi lain berupa gelisah setelah anestesi,
tidak sadar , hipersensitifitas ataupun adanya peningkatan suhu tubuh.

vi. Persiapan Untuk Anestesi Umum

17
Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum pasien
menjalani suatu tindakan operasi. Pada saat kunjungan, dilakukan wawancara
(anamnesis) sepertinya menanyakan apakah pernah mendapat anestesi sebelumnya,
adakah penyakit – penyakit sistemik, saluran napas, dan alergi obat.Kemudian pada
pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan gigi – geligi, tindakan buka mulut,
ukuran lidah, leher kaku dan pendek.Perhatikan pula hasil pemeriksaan
laboratorium atas indikasi sesuai dengan penyakit yang sedang dicurigai, misalnya
pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa pendarahan, masa pembekuan), radiologi,
EKG.
Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan dengan
status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA).
ASA I : Pasien dalam keadaan normal dan sehat.
ASA II : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang
baik karena penyakit bedah maupun penyakit lain. Contohnya:
pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau
pasien appendisitis akut dengan lekositosis dan febris.
ASA III : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat
yang diakibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya: pasien
appendisitis perforasi dengan septisemia, atau pasien ileus
obstrukstif dengan iskemia miokardium.
ASA IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara
langsung mengancam kehidupannya. Contohnya: Pasien dengan
syok atau dekompensasi kordis.
ASA V : Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi
atau tidak. Contohnya: pasien tua dengan perdarahan basis kranii
dan syok hemoragik karena ruptur hepatik.

Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan


tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE atau IIE.

Pengosongan lambung untuk anestesia penting untuk mencegah aspirasi lambung


karena regurgutasi atau muntah. Pada pembedahan elektif, pengosongan lambung

18
dilakukan dengan puasa : anak dan dewasa 4 – 6 jam, bayi 3 – 4 jam. Pada
pembedahan darurat pengosongan lambung dapat dilakukan dengan memasang pipa
nasogastrik atau dengan cara lain yaitu menetralkan asam lambung dengan
memberikan antasida (magnesium trisilikat) atau antagonis reseptor H2
(ranitidin).Kandung kemih juga harus dalam keadaan kosong sehingga boleh perlu
dipasang kateter.Sebelum pasien masuk dalam kamar bedah, periksa ulang apakah
pasien atau keluarga sudah memberi izin pembedahan secara tertulis (informed
concent).

Premedikasi sendiri ialah pemberian obat ½ - 1 jam sebelum induksi anestesia


dengan tujuan melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia,
menghilangkan rasa khawatir,membuat amnesia, memberikan analgesia dan
mencegah muntah, menekan refleks yang tidak diharapkan, mengurasi sekresi saliva
dan saluran napas.

vii. Obat – obat premedikasi yang bisa diberikan antara lain :

Gol. Antikolinergik

- Atropin, diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah, antimual dan


muntah, melemaskan tonus otot polos organ – organ dan menurunkan spasme
gastrointestinal. Dosis 0,4 – 0,6 mg IM bekerja setelah 10 – 15 menit.

Gol. Hipnotik – sedatif

- Barbiturat (Pentobarbital dan Sekobarbital).Diberikan untuk sedasi dan


mengurangi kekhawatiran sebelum operasi.Obat ini dapat diberikan secara oral
atau IM.Dosis dewasa 100 – 200 mg, pada bayi dan anak 3 – 5
mg/kgBB.Keuntungannya adalah masa pemulihan tidak diperpanjang dan efek
depresannya yang lemah terhadap pernapasan dan sirkulasi serta jarang
menyebabkan mual dan muntah.

Gol. Analgetik narkotik

19
- Morfin, diberikan untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan menjelang
operasi.Dosis premedikasi dewasa 10 – 20 mg. Kerugian penggunaan morfin
ialah pulih pasca bedah lebih lama, penyempitan bronkus pada pasien asma,
mual dan muntah pasca bedah ada.
- Pethidin, dosis premedikasi dewasa 25 – 100 mg IV. Diberikan untuk
menekan tekanan darah dan pernapasan serta merangsang otot polos.Pethidin
juga berguna mencegah dan mengobati menggigil pasca bedah.

Gol. Transquilizer

- Diazepam (Valium).Merupakan golongan benzodiazepine.Pemberian dosis


rendah bersifat sedatif sedangkan dosis besar hipnotik.Dosis premedikasi
dewasa 0,2 mg/kgBB IM.

viii. Metode Pemberian Anestesi Umum


Obat obat anestesi umum bisa diberikan melalui Perenteral (Intravena,
Intramuscular), perektal (melalui anus) biasanya digunakan pada bayi atau anak-
anak dalam bentuk suppositoria, tablet, semprotan yang dimasukan ke
anus.Perinhalasi melalui isapan, pasien disuruh tarik nafas dalam kemudian
berikan anestesi perinhalasi secara perlahan.

ix. Teknik Anestesi Umum


Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan
Indikasi :
- Tindakan singkat ( ½ - 1 jam)
- Keadaan umum baik (ASA I – II)
- Lambung harus kosong
Prosedur :
- Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik
- Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)

20
- Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat penenang)
efek sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid, non opioid, dll
- Induksi
- Pemeliharaan

Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan


Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET=
endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi; operasi lama, sulit
mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala)

Prosedur :

1. Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil dgn
durasi singkat)
2. Intubasi setelah induksi dan suksinil
3. Pemeliharaan

Untuk persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS:


S = Scope. Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope
T = Tubes. Pipa trakea. Usia >5 tahun dengan balon(cuffed)
A= Airway. Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring
(nasofaring) yang digunakanuntuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar
lidah tidak menymbat jalan napas
T = Tape. Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut
I = Introductor. Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea
mudah dimasukkan
C = Connector. Penyambung pipa dan perlatan anestesia
S = Suction. Penyedot lendir dan ludah

Klasifikasi Mallampati :

Mudah sulitnya dilakukan intubasi dilihat dari klasifikasi Mallampati :

21
Pasien sengaja dilumpuhkan/benar2 tidak bisa bernafas dan pasien dikontrol
pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12-20 x permenit.Setelah operasi
selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas spontan kemudian kita akhiri efek
anestesinya.

- Teknik sama dengan diatas


- Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)
- Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya

Obat-obat dalam Anestesi Umum


Jenis obat anestesi umum diberikan dalam bentuk suntikan intravena atau inhalasi.
Anestetik intravena
- Penggunaan :
1. Untuk induksi
2. Obat tunggal pada operasi singkat
3. Tambahan pada obat inhalasi lemah
4. Tambahan pada regional anestesi
5. Sedasi

22
- Cara pemberian :
1. Obat tunggal untuk induksi atau operasi singkat
2. Suntikan berulang (intermiten)
3. Diteteskan perinfus

Obat anestetik intravena meliputi :


- Benzodiazepine
Sifat : hipnotik – sedative, amnesia anterograd, atropine like effect, pelemas otot
ringan, cepat melewati barier plasenta.Kontraindikasi : porfiria dan hamil. Dosis
: Diazepam : induksi 0,2 – 0,6 mg/kg IV, Midazolam : induksi : 0,15 – 0,45
mg/kg IV.
- Propofol
Merupakan salah satu anestetik intravena yang sangat penting. Propofol dapat
menghasilkan anestesi kecepatan yang sama dengan pemberian barbiturat secara
inutravena, dan waktu pemulihan yang lebih cepat. Dosis : 2 – 2,5 mg/kg IV.
- Ketamin
Ketamin adalah suatu rapid acting nonbarbiturat general anaesthetic.Indikasi
pemakaian ketamin adalah prosedur dengan pengendalian jalan napas yang sulit,
prosedur diagnosis, tindakan ortopedi, pasien resiko tinggi dan asma. Dosis
pemakaian ketamin untuk bolus 1- 2 mg/kgBB dan pada pemberian IM 3 – 10
mg/kgBB.
- Thiopentone Sodium
Merupakan bubuk kuning yang bila akan digunakan dilarutkan dalam air
menjadi larutan 2,5%atau 5%. Indikasi pemberian thiopental adalah induksi
anestesi umum, operasi singkat, sedasi anestesi regional, dan untuk mengatasi
kejang.Keuntungannya :induksi mudah, cepat, tidak ada iritasi mukosa jalan
napas. Dosis 5 mg/kg IV, hamil 3 mg/kg IV.

23
Anestetik inhalasi
- N2O
Nitrogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau,
tidak berasa dan lebih berat daripada udara.N2O biasanya tersimpan dalam
bentuk cairan bertekanan tinggi dalam baja, tekanan penguapan pada suhu kamar
± 50 atmosfir.N2O mempunyai efek analgesic yang baik, dengan inhalasi 20%
N2O dalam oksigen efeknya seperti efek 15 mg morfin. Kadar optimum untuk
mendapatkan efek analgesic maksimum ± 35% .gas ini sering digunakan pada
partus yaitu diberikan 100% N2O pada waktu kontraksi uterus sehingga rasa
sakit hilang tanpa mengurangi kekuatan kontraksi dan 100% O2 pada waktu
relaksasi untuk mencegah terjadinya hipoksia. Anestetik tunggal N2O digunakan
secara intermiten untuk mendapatkan analgesic pada saat proses persalinan dan
Pencabutan gigi. H2O digunakan secara umum untuk anestetik umum, dalam
kombinasi dengan zat lain
- Halotan
Merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak mudah terbakar dan
tidak mudah meledak meskipun dicampur dengan oksigen.Halotan bereaksi
dengan perak, tembaga, baja, magnesium, aluminium, brom, karet dan
plastic.Karet larut dalam halotan, sedangkan nikel, titanium dan polietilen tidak
sehingga pemberian obat ini harus dengan alat khusus yang disebut fluotec.Efek
analgesic halotan lemah tetapi relaksasi otot yang ditimbulkannya baik. Dengan
kadar yang aman waktu 10 menit untuk induksi sehingga mempercepat
digunakan kadar tinggi (3-4 volume %). Kadar minimal untuk anestesi adalah
0,76% volume.
- Isofluran
Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar.Secara kimiawi
mirip dengan efluran, tetapi secara farmakologi berbeda. Isofluran berbau tajam
sehingga membatasi kadar obat dalam udara yang dihisap oleh penderita karena
penderita menahan nafas dan batuk. Setelah pemberian medikasi preanestetik
stadium induksi dapat dilalui dengan lancer dan sedikit eksitasi bila diberikan
bersama N2O dan O2.isofluran merelaksasi otot sehingga baik untuk intubasi.

24
Tendensi timbul aritmia amat kecil sebab isofluran tidak menyebabkan
sensiitisasi jantung terhadap ketokolamin. Peningkatan frekuensi nadi dan
takikardiadihilangkan dengan pemberian propanolol 0,2-2 mg atau dosis kecil
narkotik (8-10 mg morfin atau 0,1 mg fentanil), sesudah hipoksia atau
hipertemia diatasi terlebih dulu. Penurunan volume semenit dapat diatasi dengan
mengatur dosis.Pada anestesi yang dalam dengan isofluran tidak terjadi
perangsangan SSP seperti pada pemberian enfluran. Isofluran meningkatkan
aliran darah otak pada kadar labih dari 1,1 MAC (minimal Alveolar
Concentration) dan meningkatkan tekanan intracranial.
- Sevofluran
Obat anestesi ini merupakan turunan eter berhalogen yang paling disukai
untuk induksi inhalasi.

x. Pemeliharaan Anestesi (Maintainance)

Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan inhalasi
atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi mengacu pada trias
anestesi yaitu tidur rinan (hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup,
diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot
lurik yang cukup. Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50 μg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan
analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan
intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan
dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total
intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan
inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2. Rumatan inhalasi biasanya menggunakan
campuran N2O dan O2 dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau
enfluran 2-4% atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah
pasien bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan.

25
xi. Pemulihan Anestesi

Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi diakhiri dengan
menghentikan pemberian obat anestesi. Pada penderita yang mendapatkan anestesi
intravena, kesadaran akan kembali berangsurangsur dengan turunnya kadar obat
anestesi akibat metabolisme atau ekskresi setelah obat dihentikan. Selanjutnya bagi
penderita yang dianestesi dengan pernafasan spontan tanpa menggunakan pipa
endotrakeal maka hanya tinggal menunggu sadarnya penderita. Sedangkan untuk
pasien yang menggunakan pipa endotrakheal, maka perlu dilakukan pelepasan atau
ekstubasi. Ekstubasi dapat dilakukan ketika penderita masih teranestesi maupun
setelah penderita sadar. Ekstubasi dalam keadaan setengah sadar dapat
membahayakan penderita karena dapat menyebabkan spasme jalan nafas, batuk,
muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya tekanan intraokuli dan intrakranial.
- Skor Pemuihan Pasca Anestesi
Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi terutama yang
menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan penilaian terlebih dahulu
untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau masih
perlu di observasi di ruang Recovery room (RR).

Aldrete Score

26
B. Apendiksitis
i. Anatomi

Appendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjang nya kira-kira 10 cm


(kisaran 3-15 cm), dan berpangkal disekum. Lumennya sempit dibagian proksimal
dan melebar dibagian distal. Namun demikian, pada bayi, appensndiks berbentuk
kerucut. Keaadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada
usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu
memungkinkan apendiks bergerak dan ruangt gerak nya bergantung pada panjang
mesoappendiks penggantungnya.

Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum,


dibelakang kolon ascendens, atau ditepi lateral kolon ascendens. Gejala klinis
appendicitis ditentukan oleh letak apendiks.

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika


superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis
X. Oleh karena itu nyeri visceral pada apendisitis bermula disekitar umbilikus.

Perdarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa


kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks
akan mengalami gangren.

ii. Definisi

Appendicitis adalah infeksi pada organ appendik yang diawali dengan penyumbatan
dari lumen appendik oleh mucus, fekalit, atau benda asing, yang diikuti oleh infeksi
bakteri dari proses peradangan. Penyakit ini merupakan kegawatdaruratan bedah
abdomen yang paling sering ditemukan.

Apendisitis Akut adalah inflamasi pada dari vermiform appendiks dan ini merupakan
kasus operasi intraabdominal tersering yang memerlukan tindakan bedah. appendicitis
akut adalah appendicitis dengan onset gejala akut yang memerlukan intervensi bedah
dan biasanya dengan nyeri di kuadran abdomen kanan bawah dan dengan nyeri tekan

27
tekan dan alih, spasme otot yang ada di atasnya, dan dengan hiperestesia kulit.
Sedangkan appendicitis kronis ditandai dengan nyeri abdomen kronik (berlangsung
terus menerus ) di dearah fossa illiaca dextra,tetapi tidak terlalu parah, dan bersifat
continue atau intermittent, nyeri ini terjadikarena lumen appendix mengalami partial
obstruk.

Appendicitis chronica kadang-kadang dapat menjadi akut lagi disebut appendicitis


chronica dengtan eksaserbasi akut.

iii. Insidensi

Dapat terjadi pada semua umur, hanya jarang dilaporkan pada anak berusia kurang
dari 1 tahun. Insiden tertinggi pada usia 20-30 tahun terjadi pada laki-laki dan
perempuan sama banyak.

iv. Manifestasi Klinis


Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berprran sebagai faktor
pendcetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai
faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfoid, fekalit, tumor apendiks dan
cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat
menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks karena parasit sepeti
E.histoliytica.

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat


dan pengaruh konstipasi terhadap timnulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan
tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan
meningkatnya pertumbuhan flora kolon biasa. Semua ini akan mempermudah
timbulnya apendisitis akut.

v. Patogenesis

Patologi apendisitis dapat dimulai di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh


lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Usaha pertahanan tubuh
adalah membatasi proses radang denjgan menutup apendiks dengan omentum, usus

28
halus atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikuler yanf secara salah dikenal
dengan istilah infiltrat apendiks. Didalammnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa
absesyang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan
sembuh dan massa apendikuler akan tenang untuk selanjutnya akan mengurangi diri
secara lambat.

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini akan menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu
ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami
eksaserbasi akut.

vi. Gejala klinis


Titik maksimal nyeri adalah pada sepertiga dari umblikus ke fossa ilaka kanan, itu
disebut titik Mc Burney. Nyeri biasanya tajam dan diperburuk dengan gerakan (seperti
batuk dan berjalan). Nyeri pada titik Mc Burney juga dirasakan pada penekanan iliaka
kiri, yang biasa disebut tanda Rovsing. Posisi pasien dipengaruhi oleh posisi dari
apendiks. Jika apendiks ditemukan di posisi retrosekal (terpapar antara sekum dan otot
psoas) nyeri tidak terasa di titik Mc Burney, namun ditemukan lebih ke lateral
pinggang. Jika apendiks terletak retrosekal nyeri jika ilaka kiri ditekan tidak terasa.
Ketika apendiks dekat dengan otot psoas, pasien datang dengan pinggul tertekuk dan
jika kita coba meluruskan maka akan terjadi nyeri pada lokasi apendiks (tanda psoas).
Ketika apendiks terletak retrosekal maka bisa menyebabkan iritasi pada ureter
sehingga darah dan protein dapat ditemukan dalam urinalisis. Jika apendiks terletak di
pelvis, maka tanda klinik sangat sedikit, sehingga harus dilakukan pemeriksaan rektal,
menemukan nyeri dan bengkak pada kanan pemeriksaan. Jika apendiks terletak di
dekat otot obturator internus, rotasi dari pinggang meningkatkan nyeri pada pasien
(tanda obturator).

Hiperestesia kutaneus pada daerah yang dipersarafi oleh saraf spinal kanan
T10,T11 dan T12 biasanya juga mengikuti kejadian appendisitis akut. Jika apendiks

29
terletak di depan ileum terminal dekat dengan dinding abdominal, maka nyeri sangat
jelas. Jika apendiks terletak di belakang ileum terminal maka diagnosa sangat sulit,
tanda-tanda yang ada samar dan nyeri terletak tinggi di abdomen.

Appendicities mempunyai tanda dan gejala bervariasi yaitu nyari yang dirasakan
samara yaitu pada bagian tengah abdominal tepatnya pada periumbilikal ( nyeri
tumpul ). Seringkali disertai dengan rasa mual dan muntah ( 3 kali,facial fkush,
tenderness pada fossa illiaca, demam suhu antara 37,5 – 38,5ºC). Beberapa jam
kemudian nyeri itu akan berpindah ke perut kanan bawah, yang oleh kalangan medis
disebut titik Mc. Eurney. Nyeri ini akan dirasakan akan lebih jelas baik letak maupun
derajat nyerinya. Tanda – tanda dari appendicities klasik ini dapat ditemukan kurang
dari setangah kasus yng terjadi. Ada juga tanda – tanda lain yang muncul yaitu bila
appendix berada di dekat rectum, maka itu dapat menyebabkan iritasi local dan
diarrhea. Bila appendix terletak dekat dengan vesica urinaria atau ureter, maka itu
dapat menyebabkan dysuria dan pyuria ( secara mikroskopik ).

vii. Diagnosis
1. Anamnesis
Karakter klinis dari appendisitis dapat bervariasi, namun umumnya ditampikan
dengan riwayat sakit perut yang samar-samar, dimana dirasakan pertama kali di ulu
hati. Mungkin diikuti mual dan muntah, demam ringan. Nyeri biasanya berpindah dari
fossa ilaka kanan setelah beberapa jam, sampai dengan 24 jam.
2. Pemeriksaan Fisik
Rovsing’s sign Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan
pada kuadran kiri bawah dan timbul nyeri pada
sisi kanan.
Psoas sign atau Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian
Obraztsova’s sign dilakukan ekstensi dari panggul kanan. Positif
jika timbul nyeri pada kanan bawah.
Obturator sign Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan
dilakukan rotasi internal pada panggul. Positif

30
jika timbul nyeri pada hipogastrium atau vagina.
Dunphy’s sign Pertambahan nyeri pada tertis kanan bawah
dengan batuk
Ten Horn sign Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi lembut
pada korda spermatic kanan
Kocher (Kosher)’s Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium
sign atau sekitar pusat, kemudian berpindah ke
kuadran kanan bawah.
Sitkovskiy Nyeri yang semakin bertambah pada perut
(Rosenstein)’s sign kuadran kanan bawah saat pasien dibaringkan
pada sisi kiri
Bartomier- Nyeri yang semakin bertambah pada kuadran
Michelson’s sign kanan bawah pada pasien dibaringkan pada sisi
kiri dibandingkan dengan posisi terlentang
Aure-Rozanova’s sign Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit
trianglekanan (akan positif Shchetkin-
Bloomberg’s sign)
Blumberg sign Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada
kuadran kanan bawah kemudian dilepaskan
tiba-tiba

Kemungkinan apendisitis dapat diyakinkan dengan menggunakan skor


Alvarado. Sistem skor dibuat untuk meningkatkan cara mendiagnosis apendisitis.
The Modified Alvarado Score Skor
Gejala Perpindahan nyeri dari ulu hati 1
ke perut kanan bawah
Mual-Muntah 1
Anoreksia 1
Tanda Nyeri di perut kanan bawah 2
Nyeri lepas 1
Demam diatas 37,5 ° C 1
Pemeriksaan Leukositosis 2
Lab

31
Hitung jenis leukosit shift to the 1
left
Total 10
Interpretasi dari Modified Alvarado Score:

1-4 : sangat mungkin bukan apendisitis akut

5-7 : sangat mungkin apendisitis akut

8-10 : pasti apendisitis akut

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah: pada pemeriksaan dilakukan untuk melihat angka leukosit.
Pada kasus appendicitis akut, biasanya didapatkan angka leukosit yang neutrofil
yang tinggi.
b. Pemeriksaan urin: pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat adanya eritrosis,
leukosit dan bakteri didalam urin. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk
menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih dan batu ginjal
yang memiliki gejala klinis yang hampir sama dengan appendicitis.
2. Foto polos abdomen
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendicitis.
Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak. Kurang dari 5% pasien akan
terlihat adanya gambaran opak fecalith yang nampak di kuadran kanan bawah
abdomen, sehingga pemeriksaan ini jarang dilakukan.
3. USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG,
terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai
untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan
sebagainya.
Akurasi ultrasonografi sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan kemampuan
pemeriksa. Pada beberapa penelitian, akurasi antara 90 – 94%, dengan nilai

32
sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85 dan 92%. Pemeriksaan dengan Ultrasonografi
(USG) pada appendicitis akut, ditemukan adanya fekalit, udara intralumen, diameter
apendiks lebih dari 6 mm, penebalan dinding apendiks lebih dari 2 mm dan
pengumpulan cairan perisekal. Apabila apendiks mengalami ruptur atau perforasi
maka akan sulit untuk dinilai, hanya apabila cukup udara maka abses apendiks dapat
diidentifikasi.
4. CT-Scan
Pada keadaan normal apendiks, jarang tervisualisasi dengan pemeriksaan skening ini.
Gambaran penebalan diding apendiks dengan jaringan lunak sekitar yang melekat,
mendukung keadaan apendiks yang meradang. CT-Scan mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi yaitu 90 – 100% dan 96 – 97%, serta akurasi 94 – 100%. Ct-
Scan sangat baik untuk mendeteksi apendiks dengan abses atau flegmon
5. Laparoscopy
Yaitu suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukkan dalam
abdomen, appendix dapat divisualisasikan secara langsung.Tehnik ini dilakukan di
bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan
peradangan pada appendix maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan
pengangkatan appendix.

viii. Penatalaksanaan
Tatalaksana apendisitis pada kebanyakan kasus adalah apendektomi.
Keterlambatan dalam tatalaksana dapat meningkatkan kejadian perforasi.9
Penggunaan ligasi ganda pada setelah appendektomi terbuka dilakukan dengan jahitan
yang mudah diserap tubuh. Ligasi yang biasa dilakukan pada apendektomi adalah
dengan purse string (z-stich atau tobacco sac) dan ligasi ganda. Pada keadaan normal,
digunakan jahitan purse string. Ligasi ganda digunakan pada saat pembalikkan tunggul
tidak dapat dicapai dengan aman, sehingga yang dilakukan adalah meligasi ganda
tunggul dengan dua baris jahitan. Dengan peningkatan penggunaan laparoskopi dan
peningkatan teknik laparoskopik, apendektomi laparoskopik menjadi lebih sering.
Prosedur ini sudah terbukti menghasilkan nyeri pasca bedah yang lebih sedikit,
pemulihan yang lebih cepat dan angka kejadian infeksi luka yang lebih rendah, akan

33
tetapi terdapat peningkatan kejadian abses intra abdomen dan pemanjangan waktu
operasi. Laparoskopi itu dikerjakan untuk diagnosa dan terapi pada pasien dengan akut
abdomen, terutama pada wanita. Beberapa studi mengatakan bahwa laparoskopi
meningkatkan kemampuan dokter bedah untuk operasi.

Insisi Grid Iron (McBurney Incision)

Insisi Gridiron pada titik McBurney. Garis insisi


parallel dengan otot oblikus eksternal, melewati
titik McBurney yaitu 1/3 lateral garis yang
menghubungkan spina liaka anterior superior kanan
dan umbilikus.

Lanz transverse incision

Insisi dilakukan pada 2 cm di bawah pusat, insisi


transversal pada garis miklavikula-midinguinal.
Mempunyai keuntungan kosmetik yang lebih baik
dari pada insisi grid iron.

Rutherford Morisson’s incision (insisi


suprainguinal)

Merupakan insisi perluasan dari insisi McBurney.


Dilakukan jika apendiks terletak di parasekal atau
retrosekal dan terfiksir.

34
Low Midline Incision

Dilakukan jika apendisitis sudah terjadi perforasi


dan terjadi peritonitis umum.

Insisi paramedian kanan bawah

Insisi vertikal paralel dengan midline, 2,5 cm di


bawah umbilikus sampai di atas pubis.

ix. Komplikasi
Komplikasi appendicitis chronicakarena obliterasi rongga appendix dapat terjadi
penyumbatan isinya berupa cairan sekret, terutama jika penyumbatan isinya berupa
cairan sekret, terutama jika penyumbatan terjadi di baian proksimal. Appendix akan
membessar dan berdilatasi menjadi suatu kista yang disebut mucocele benigna.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. dr. Said A Latief, dr. Kartini A Suryadi, dr. M.Ruswan Dachlan. 2009. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
2. FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Binarupa Aksara : Jakarta.
3. Karen raymer dkk.Understanding Anasthesia a learner’s handbook. Canadian intellectual
Property Office.2012
4. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta. 2005.

36

Anda mungkin juga menyukai