Anda di halaman 1dari 32

Laporan Kasus

GENERAL ANASTESI PADA PERITONITIS EC PERFORASI


GASTER (ANTRUM)
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepanitraan Klinik
Senior Pada Bagian/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia

Oleh :
FARAH MAISYURA, S.Ked
2106111055

Preseptor :
dr. Anna Millizia, M. Ked(An), Sp.An

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena hanya dengan rahmat, karunia dan izinNya penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “General Anestesi pada
Peritonitis ec Perforasi Gaster (Antrum)” sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepanitraan Klinik Senior (KKS) di Bagian/SMF Anestesiologi
dan Terapi Intensif Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara.
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terimakasih banyak
kepada dr. Anna Millizia, M. Ked(An), Sp.An sebagai pembimbing yang
telah meluangkan waktunya memberi arahan kepada penulis selama
mengikuti KKS di Bagian/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah
Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu,
penulis mengharapkan saran dan masukan yang membangun demi
kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini dapat berguna
dan bermanfaat bagi semua pihak.

Lhokseumawe, Januari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
BAB II
2.1 Identitas Pasien
2.2 Anamnesis
2.3 Pemeriksaan Fisik
2.4 Pemeriksaan Penunjang
2.5 Diagnosis
2.6 Penggolongan Status Fisik Menurut ASA
2.7 Rencana Pembedahan
2.8 Rencana Anestesi
2.9 Kesimpulan
2.10 Laporan Anestesi
2.10.1 Persiapan pra-anestesi
2.10.2 Intra Operatif
2.10.3 Post operatif
BAB III
3.1 Peritonitis
3.2 Anatomi Peritonitis
3.3 Etiologi
3.4 Manifestasi Klinis
3.5 Patofisiologi
3.6 Diagnosis
3.7 Prognosis
3.8 Intubasi Endotracheal Tube
3.8.1 Definisi
3.8.2 Ukuran
3.8.3 Indikasi
3.8.4 Kontraindikasi
3.8.5 Pemasangan
3.8.6 Komplikasi
BAB IV
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

Anestesi berasal dari bahasa Yunani yaitu “An” yang berarti tidak dan
“Aesthesis” yang berarti rasa atau sensasi. Sehingga anestesia merupakan suatu
keadaan hilangnya rasa atau sensasi tanpa atau disertai dengan hilangnya kesadaran.
Anestesi adalah keadaan tanpa rasa,namun bersifat sementara dan akan kembali
kepada keadaan semula karena hanya merupakan penekanan kepada fungsi atau
aktivitas jaringan saraf baik lokal maupun umum. Definisi anestesiologi terus
berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran. Pada endourologi
anestesi regional (spinal dan epidural) maupun anestesi umum (General anesthesia)
dapat dipergunakan tergantung tipe dan durasi operasi, usia pasien, riwayat penyakit
sekarang, dan keinginan pasien. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa
nyeri yang bersifat sementara akibat pemberian obat-obatan serta menghilangkan rasa
sakit seluruh tubuh secara sentral. Sedangkan anestesi regional adalah anestesi pada
sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri sebagian tubuh tanpa kehilangan kesadaran.(1)

Anestesi umum (general anesthesia) merupakan suatu tindakan meniadakan


nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali
(reversible). Anestesi memiliki 3 fase yaitu pre anestesi, intra anestesi dan pasca
anestesi. General anesthesia dapat dilakukan dengan cara inhalasi maupun parenteral.
Pada anestesi inhalasi, obat masuk ke dalam paru-paru kemudian berdifusi di alveoli
masuk ke dalam darah dan diedarkan ke otak. Jika kadar di otak mencapai kadar
efektif maka pasien menjadi tidak sadar, tidak merasa nyeri dan refleks hilang.
General anastesi juga diindikasikan pada prosedur pembedahan minor hingga
prosedur pembedahan mayor seperti laparatomi, kolostomi, apendiktomi, dan lain-
lain.(2)

General anastesi berdampak pada perubahan fisiologis pasien diantaranya


perubahan tanda vital yang meliputi perubahan irama jantung, gangguan pernafasan,

1
2

gangguan sirkulasi dan gangguan termoregulasi. Efek samping yang biasanya terjadi
pada pasien pasca general anstesi yaitu kebingungan sementara, pusing, retensi urin,
mual, muntah,sakit tenggorongan dan hipotermi. Kondisi hipotermi sering terjadi
pada pasien setelah dilakukan general anastesi karena generalanestesi mempengaruhi
tiga elemen termoregulasi yaitu elemen input aferen, pengaturan sinyal di daerah
pusat dan juga respons eferen.(3)
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Umur : 68 thn
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Gampong Tanjong Awe
Pekerjaan :-
Status : Menikah
Tanggal masuk : 19 Januari 2022
Tanggal operasi : 20 Januari 2022
Ruangan : ICU
2.2 Anamnesis
a. Keluhan utama
Nyeri perut 3 hari
b. Keluhan tambahan
Mengalami mual dan muntah
c. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut 3 hari, mual (+), muntah (+), badan
lemes dan tampak pucat, tidak BAB selama 3 hari, perut terasa keras, BAB
berwarna hitam (-), BAK tidak ada keluhan.
d. Riwayat penyakit dahulu
Hipertensi (-) DM (-)
e. Riwayat keluarga
Tidak ada

3
4

2.3 Pemeriksaan Fisik


A. Status Umum
Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4 M6 V5
Tekanan darah : 109/90 mmHg
Frekuensi nadi : 96 x/menit
Frekuensi nafas : 20 x/menit
Suhu : 36 C̊
B. Status generalis
i. Kulit
Warna : Sawo matang
Turgor : Dalam batas normal
Sianosis : Tidak ada
Ikterus : Tidak ada
Oedema : Tidak ada
Anemia : Tidak ada
ii. Kepala
Rambut : Putih
Wajah : Simetris, tidak dijumpai deformitas dan tidak edema
Mata : Konjunctiva pucat (-/-), konjuntiva ikterik (-/-), reflex
cahaya langsung (+/+), reflex cahaya tidak langsung (+/+)
Telinga : Sekret (-/-), darah (-/-)
Hidung : Normal, Sekret (-/-), darah (-/-)
Mulut : Sianosis (-),lidah kotor (-), karies gigi (-)
Tenggorokan : Faring hiperemis (-), pembesaran tonsil (-)

iii. Leher
Inspeksi : Simetris
5

Palpasi : Pembesaran KGB (-) distensi vena jugularis (-)


iv. Thorak

a. Paru
 Inspeksi : Bentuk dada normal dan simetris
 Palpasi : Stem fremitus simetris, sama kuat
 Perkusi : Bunyi sonor pada semua lapang paru
 Auskultasi : Vesikuler(+/+), Wheezing (-/-), Rhonki (-/-)
b. Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
 Perkusi : Pekak, batas jantung kanan dan kiri melebar
 Auskultasi : S1/S2 normal, murmur (-), gallop (+)
v. Abdomen

1. Inspeksi : Distensi (-)


2. Auskultasi : Peristaltik (+), bruits (-)
3. Perkusi : Timpani
4. Palpasi : Nyeri tekan daerah suprapubik (+),
Hepatomegali (-), Splenomegali (-)
vi. Ekstremitas
Akral hangat (+/+), Deformitas (-), edema (-), sianosis (-)

vii. Genitalia ekstrena : Dalam batas normal

2.4 Pemeriksaan penunjang


1. Hasil laboratorium ( Kamis, 20 Januari 2022 )
6

NAMA TEST HASIL SATUAN NILAI


RUJUKAN
Hematology
Darah Lengkap
Hemoglobin (HGB) 9.77 g/dl 12.0-16.0
Eritrosit (RBC) 3.43 Juta/Ul 4.5-6.5
Hematokrit (HCT) 27.35 % 37.0-47.0
MCV 79.73 fL 79-99
MCH 28.48 Pg 27.0-31.2
MCHC 35.73 g/dl 33.0-37.0
Leukosit (WBC) 15.89 Ribu/uL 4.0-11.0
Thrombosit (PLT) 186 Ribu/uL 150-450
RDW-CV 11.65 % 11.5-14.5

2. Hasil EKG ( Rabu, 19 Januari 2022 )

3. Hasil thorak
7

2.5 Diagnosa kerja


8

General peritonitis ec perforasi gaster ( antrum )


2.6 Penggolongan status fisik menurut ASA
Status fisik ASA II
2.7 Rencana pembedahan
Laparotomy explorasi + omental patch
2.8 Rencana anastesi
General anastesi ( intubasi dengan ETT )
2.9 Kesimpulan
Pasien laki-laki usia 68 tahun status fisik ASA II dengan diagnosis general
peritonitis ec perforasi gaster ( antrum ) dengan pembedahan laparotomy
explorasi + omental patch dengan rencana general anastesi yaitu intubasi
dengan ETT.
2.10 Laporan anastesi

 Ahli Anestesiologi : dr. Anna Millizia, M. Ked(An), Sp.An


 Ahli Bedah : dr. Andrian, Sp.B
 Diagnosis prabedah : general peritonitis ec perforasi gaster (antrum)
 Jenis Operasi : Laparotomy explorasi + omental patch

 Jenis Anestesi : General anastesi ( intubasi dengan ETT )


 Lama Operasi : Pukul 12.15 s/d 13.25
 Lama anestesi : Pukul 11.55 s/d 13.30

2.10.1 Persiapan Pra Anastesi


Di Ruang Perawatan
Pasien dikonsultasikan kepada dr. Anna Millizia, M. Ked(An), Sp. An pada
tanggal 19 Januari 2022 untuk persetujuan dilakukan tindakan operasi. Setelah
mendapatkan persetujuan, kemudian pasien dipersiapkan untuk rencana laparotomy +
omental patch. Diberikan juga informasi kepada keluarga pasien, antara lain:
9

 Informed consent: bertujuan untuk memberitahukan kepada keluarga pasien


tindakan medis akan apa yang akan dilakukan kepada pasien, bagaimana
pelaksanaanya, kemungkinan hasilnya, risiko tindakan yang akan dilakukan.
 Surat persetujuan operasi: merupakan bukti tertulis dari pasien atau keluarga
pasien yang menunjukkan persetujuan akan tindakan medis yang akan
dilakukan sehingga bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan keluarga pasien
tidak akan mengajukan tuntutan.
Persiapan operasi yang dianjurkan kepada pasien adalah:

 Pasien dipuasakan 8 jam sebelum operasi, tujuannya untuk memastikan


bahwa lambung pasien telah kosong sebelum pembedahan untuk menghindari
kemungkinan terjadinya muntah dan aspirasi isi lambung yang akan
membahayakan pasien.
 Rencana post-op pasien adalah ICU ( Intensive Care Unit ).

Di ruang persiapan

 Memakai pakaian operasi yang telah disediakan di ruang persiapan


dan sudah terpasang infus RL.
 Persiapan alat anestesi umum
Scope : Stetoscope, Laringoscope
Tube : ETT, NTT
Airway : Guedel, Nasofaringeal airway
Tape : Plaster
Introducer : Mandrin, klem magil
Connector : Penghubung ETT ke ambu
bag/resuscitator Suction : Multifungsi
suction
 Mesin anestesi dan monitor (Sphygmomanometer, pulse oxymeter), gel, infus
set + adbocath, spuitt, kassa steril).
10

 Persiapan obat – obat anastesi


General Anastesi (GA)
a. Premedikasi : Fentanyl 100 mcg
b. Obat induksi : Propofol 150 mg
c. Obat muscle relaxant/release : Atracurium besilate, sulfas atropine 0,5
mg, neostigmin 1 mg
d. Analgetik : Tramadol 100mg/drip
Alat untuk melakukan pembiusan:
a. Spuit 3 cc
b. Spuit 5 cc
c. Spuit 10 cc
d. Mask inhalasi + Guedel
Obat Tambahan/ pilihan lain:
a. Ondansetron 4 mg/2 mL
b. Ketorolac 30 mg/mL
c. Dexamethasone 5mg/Ml
d. Dobutamine HCI 25mg/mL
e. Atropine 0,25 mg/mL
Terapi Cairan Durante Operasi:

a. Maintenance (M) selama operasi


M = 2 cc/kg/jam
M = 2 cc/50 kg/jam = 100 cc/jam
Karena operasi berlangsung selama 1 jam maka kebutuhan cairan selama
operasi:
100 cc x 1 jam = 100cc
b. Operasi (O)
Tindakan pembedahan laparotomy explorasi merupakan operasi berat,
maka:
O = 8 cc/kg/jam
O = 8 cc/50 kg/jam = 400 cc/jam
11

c. Pengganti Puasa (PP)


Pasien mulai puasa pukul 02:00 s/d pukul 11:00 (masuk ke ruang
operasi), maka:
PP = M x Lama Puasa
PP = 100 cc x 8 jam = 800 cc

Total Cairan yang dibutuhkan:

a. Jam I = M + ½PP + O
= 100 + ½(800) + 400 = 900 cc/jam

Karena operasi berlansung selama 1 jam, maka jam I diberikan 900 cc.

Kamis, 20 Januari 2022 pukul 12.00 wib


Airway : clear
Breathing : RR 20 x/ menit
Circulation : HR 89 x/ menit, regular
Disability : GCS (E4V6M5 = 15)
Kesadaran : Compos mentis
ASA : II
2.10.2 Intra operatif
Kamis, 20 Januari 2022 pukul 12.00 – 12.10 wib

a. Pasien masuk kamar operasi dan dibaringkan di meja operasi dengan


posisi supine kemudian dilakukan pemasangan manset dan oksimeter.
b. Menilai keadaan umum dan melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital di
awal atau penilaian pra induksi:
Kesadaran: Compos Mentis, TD= 110/60 mmHg, nadi= 89 x/menit,
saturasi, O2: 99%.
c. Pasien diberitahukan bahwa akan dilakukan tindakan pembiusan.
d. Pemberian premedikasi dengan Fentanyl 100 mcg iv
e. Pasien diinduksi dengan menggunakan Propofol 150 mg iv
12

f. Pasien dilakukan pemasangan Laryngeal Mask Airway + inhalasi dengan


sevoflurane 2% MAC + N2O + O2
Kamis, 20 Januari 2022 pukul 12.15 wib

a. Tindakan pembedahan dimulai


TD: 112/68 mmHg HR: 98 x/i Saturasi: 100%

Kamis, 20 Januari 2022 pukul 12.20 wib

TD: 91/60 mmHg HR: 90 x/i Saturasi: 100%

a. Inj. Ketorolac 25 mg/mL


b. Inj. Ondancetron 2,5 mg/1 mL
Kamis, 20 Januari 2022 pukul 12.25 wib

TD: 94/62 mmHg HR: 78 x/i Saturasi: 100%

Kamis, 20 Januari 2022 pukul 12.30 wib

TD: 104/53 mmHg HR: 70 x/i Saturasi: 100%

Kamis,20 Januari 2022 pukul 12.35 wib

TD: 95/56 mmHg HR: 79 x/i Saturasi: 100%

a. Penggantian inf. RL
Kamis, 20 Januari 2022 pukul 12.40 wib

TD: 95/56 mmHg HR: 86 x/i Saturasi: 100%

Kamis, 20 Januari 2022 pukul 12.45 wib

TD: 100/59 mmHg HR: 90 x/i Saturasi: 100%

Kamis, 20 Januari 2022 pukul 12.50 wib

TD: 102/57 mmHg HR: 81 x/i Saturasi: 100%

Kamis, 20 Januari 2022 pukul 12.55 wib

TD: 101/60 mmHg HR: 82 x/i Saturasi: 100%


13

Kamis, 20 Januari 2022 pukul 13.00 wib

TD: 86/59 mmHg HR: 85 x/i Saturasi: 100%

Kamis, 20 Januari 2022 pukul 13.05 wib

TD: 109/61 mmHg HR: 88x/i Saturasi: 100%

Kamis, 20 Januari 2022 pukul 13.10 wib

TD: 103/57 mmHg HR: 92 x/i Saturasi: 100%

Kamis, 20 Januari 2022 pukul 13.15 wib

TD: 101/62 mmHg HR: 83 x/i Saturasi: 100%

Kamis, 20 Januari 2022 pukul 13.20 wib

TD: 80/60 mmHg HR: 83 x/i Saturasi: 100%

a. Inj. Dobutamine 25 mg/ml

Kamis, 20 Januari 2022 pukul 13.25 wib

TD: 100/90 mmHg HR: 83 x/i Saturasi: 100%

a. Pemberian obat anestesi dihentikan, pemberian O2 dipertahankan


b. Diberikan syringe pump analgetik 2 cc/ jam
c. Manset tensimeter dan saturasi O2 dilepas.
d. Kemudian pasien dipindahkan ke brancar untuk dibawa ke ruang ICU
2.10.3 Post operatif
Kamis, 20 Januari 2022 pukul 13.25 wib
Pasien masuk ke ruang recovery room (RR). Dilakukan penilaian
terhadap tingkat kesadaran, pada pasien kesadarannya adalah compos mentis.
Dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital ditemukan tekanan darah 115/62
mmHg, nadi 72 x/menit, respirasi 22 x/menit dan saturasi O2 100%. Setelah
dari RR pasien langsung dibawa ke ruang ICU.
14
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Peritonitis
Peritonitis merupakan suatu proses inflamasi peritoneum (membrane serosa
yang melapisi rongga abdomen dan menutupi visera abdomen) yang dapat bersifat
lokal atau generalisata (difus). Kasus terbanyak pada peritonitis disebabkan oleh
masuknya bakteri ke dalam kavitas peritoneum. Peritonitis merupakan penyulit
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya
terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ abdomen, perforasi saluran cerna, atau
dari luka tembus abdomen. Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme
yang hidup dalam kolon (pada kasus ruptura appendik) yang mencakup Eschericia
coli atau Bacteroides. Sedangkan stafilokokus dan streptokokus sering kali masuk
dari luar.(4)
3.2 Anatomi
Peritoneum adalah lapisan serosa yang paling besar dan paling komleks yang
terdapat dalam tubuh. Membran serosa tersebut membentuk suatu kantung tertutup
(coelom) dengan batas-batas:(5)
* anterior dan lateral : permukaan bagian dalam dinding abdomen
* posterior : retroperitoneum
* inferior : struktur ekstraperitoneal di pelvis
* superior : bagian bawah dari diafragma
Peritoneum dibagi atas :
 peritoneum parietal
 peritoneum viseral
 peritoneum penghubung yaitu mesenterium, mesogastrin, mesocolon,
mesosigmidem, dan mesosalphinx.
16

3.3 Etiologi
A. Berdasarkan Agen Terbagi Atas :(6)
 Peritonitis Kimia
Peritonitis yang disebabkan karena asam lambung, cairan empedu, cairan
pankreas yang masuk ke rongga abdomen akibat perforasi.
 Peritonitis Septik
Peritonitis yang disebabkan kuman. Misalnya karena ada perforasi usus,
sehingga kuman-kuman usus dapat sampai ke peritonium dan menimbulkan
peradangan.
B. Berdasarkan Sumber Kuman

 Peritonitis Primer (Spontaneous Bacterial Peritonitis)


Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada
cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Peritonitis ini
bentuk yang paling sering ditemukan dan disebabkan oleh perforasi atau nekrose
(infeksi transmural) dari kelainan organ visera dengan inokulasi bakterial pada
rongga peritoneum. Kasus SBP disebabkan oleh infeksi monobakterial terutama
17

oleh bakteri gram negatif ( E.coli, klebsiella pneumonia, pseudomonas, proteus),


bakteri gram positif ( streptococcus pneumonia, staphylococcus.
Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu :
 Spesifik : misalnya Tuberculosis
 Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi,
keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko tinggi
adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupuseritematosus
sistemik, dan sirosis hepatis.
 Peritonitis Sekunder
Peritonitis ini bisa disebabkan oleh beberapa penyebab utama, diantaranya
adalah :
Invasi bakteri oleh adanya kebocoran traktus gastrointestinal atau traktus
genitourinarius ke dalam rongga abdomen, misalnya pada : perforasi
appendiks, perforasi gaster, perforasi kolon oleh divertikulitis, volvulus,
kanke, dan luka tusuk yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam
cavum peritoneal.
Benda asing, misalnya peritoneal dialisis kateter.
Mengetahui sumber infeksi dapat melalui cara operatif maupun non operatif.
 Secara Non Operatif
Dilakukan drainase abses percutaneus, hal ini dapat digunakan dengan
efektif sebagai terapi, bila suatu abses dapat dikeringkan tanpa disertai kelainan dari
organ visera akibat infeksi intra-abdomen
 Cara Operatif
Dilakukan bila ada abses disertai dengan kelainan dari organ visera akibat
infeksi intra abdomen. Komplikasi yang dapat terjadi pada peritonitis sekunder
antara lain adalah syok septik, abses, perlengketan intraperitoneal.
3.4 Manifestasi Klinis
Peritonitis yang terutama adalah nyeri abdomen. Nyeri dapat dirasakan terus-
18

menerus selama beberapa jam, dapat hanya di satu tempat ataupun tersebar di seluruh
abdomen. Dan makin hebat nyerinya dirasakan saat penderita bergerak.
Gejala lainnya meliputi: (7)
 Demam Temperatur lebih dari 380C, pada kondisi sepsis berat dapat hipotermia
 Mual dan muntah Timbul akibat adanya kelainan patologis organ visera atau akibat
iritasi peritoneum
 Adanya cairan dalam abdomen, yang dapat mendorong diafragma mengakibatkan
kesulitan bernafas.
Dehidrasi dapat terjadi akibat ketiga hal diatas, yang didahului dengan
hipovolemik intravaskular. Dalam keadaan lanjut dapat terjadi hipotensi, penurunan
output urin dan syok.
 Distensi abdomen dengan penurunan bising usus sampai tidak terdengar bising usus
 Rigiditas abdomen atau sering disebut ’perut papan’, terjadi akibat kontraksi otot
dinding abdomen secara volunter sebagai respon/antisipasi terhadap penekanan pada
dinding abdomen ataupun involunter sebagai respon terhadap iritasi peritoneum
 Nyeri tekan dan nyeri lepas (+)
 Takikardi, akibat pelepasan mediator inflamasi
 Tidak dapat BAB/buang angin
3.5 patofisiologi
Peritonitis primer dan sekunder secara prinsip memiliki etiologi yang berbeda
dalam patogenesisnya. Pada peritonitis primer, etiologi terjadinya peritonitis tidak
berasal dari traktus gastrointestinal (infeksi yang nantinya terjadi tidak berhubungan
langsung dengan gangguan organ gastrointestinal) sedangkan pada sekunder
ditemukan adanya kerusakan integritas traktus (perforasi) tersebut baik akibat
strangulasi maupun akibat infeksi.
Pada peritonitis sekunder terjadi kontaminasi rongga peritoneum yang steril
terhadap mikroorganisme yang berasal dari traktus gastrointestinal.8 Dalam keadaan
fisiologis tidak ada hubungan langsung antara lumen gastrointestinal dengan rongga
19

peritoneum, namun apabila terjadi kerusakan integritas dari traktus gastrointestinal


hubungan tersebut tercipta. Kerusakan integritas dari traktus gastrointestinal terjadi
pada beberapa kondisi, seperti appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster
atau duodenum), perforasi colon (sigmoid) karena diverticulitis, sampai volvulus,
kanker, dan strangulasi (hernia inguinalis, femoralis, atau obturator).(8)
3.6 Diagnosis
 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara hati-hati. Riwayat penyakit harus menjelaskan
berapa lama pasien sakit, adakah demam, adakah nyeri perut dan di mana lokasinya,
bagaimana gambaran nyeri tersebut (kram, tumpul, seperti terbakar, dsb), apakah
lokasinya berpindah, intensitasnya, dan apakah berhubungan dengan anoreksia,
muntah, atau ileus. Riwayat penyakit yang lalu, riwayat masuk rumah sakit,
pengobatan, penyakit kronik, dan operasi sebelumnya merupakan informasi yang
penting.
Riwayat penyakit penting untuk diketahui seperti sirosis hepatis dan sindroma
nefrotik pada anak- anak yang berpotensi menjadi peritonitis primer. Riwayat operasi
sebelumnya harus menimbulkan kecurigaan terhadap komplikasi oleh karena
prosedur itu sendiri (misalnya kebocoran dari anastomosis usus). Mekanisme injury
yang tidak diketahui pada pasien trauma juga dapat menimbulkan infeksi intra-
abdominal. Adanya tanda hipotensi menunjukkan kemungkinan terjadinya iskemia
atau infark usus.(9)
 Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan peritonitis biasanya tampak berbaring tenang di tempat tidur,
telentang, dengan lutut tertekuk dan sering dengan pernapasan interkostal yang
terbatas karena gerakan apapun akan memperberat nyeri abdomen Keadaan umum
pasien tampak lemah. Palpasi dan Perkusi.
Palpasi pada abdomen dilakukan pada tahap terakhir dari pemerikaan, adalah
untuk mengetahui apakah nyeri yang dihasilkan oleh proses intraabdomen
20

menyebabkan inflamasi peritoneum parietal. Pemeriksaan abdomen pada pasien


dengan asites menunjukkan adanya tanda shifting dullness. Palpasi dimulai dari
kuadran paling jauh dari titik yang paling nyeri. Kegunaan dari palpasi
abdomen adalah untuk mengkonfirmasi lokasi yang paling nyeri dan tekanan dari
berbagai bagian dari dinding abdomen anterior. Untuk melakukan hal ini, pemeriksa
mulai dari bagian perut yang tidak menunjukkan gejala dan menekan sampai daerah
yang paling nyeri.
 Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
Leukositosis adalah hal yang biasa terjadi pada infeksi intraabdomen, tetapi
total leukosit saja tanpa hitung jenis dapat menyesatkan. Jumlah leukosit di atas
25.000/mm3 atau leukopenia dengan leukosit kurang dari 4.000/mm3 dihubungkan
dengan angka mortalitas yang tinggi. Hitung jenis menunjukkan inflamasi akut
dengan menunjukkan limfopenia relatif dan sedikit pergeseran ke kiri meskipun
jumlah leukosit normal atau subnormal. Tes laboratorium lain yang diperlukan
diantaranya haematocrit, hitung sel darah, elektrolit, albumin, urea dan kreatinin,
amilase dan fungsi hati. Albuminuria berat ditemukan pada pasien dengan sindroma
nefrotik.

• X-Ray
Foto polos abdomen dapat menunjukkan gambaran udara bebas, yang
merupakan indikator terjadinya perforasi visceral yang belum ditangani. Udara bebas
dapat dilihat pada foto abdomen posisi setengah duduk atau dekubitus lateral bila
terdapat ruptur organ berongga yang menyebabkan peritonitis. Udara di bawah
diafragma dapat ditemukan pada foto dada bila pasien berdiri tegak selama 5 menit
atau lebih sebelum dilakukan pengambilan gambar.(10)
21

3.7 Prognosis
Prognosis pada peritonitis tergantung pada umur pasien, patofisiologi dan
keefektifan dalam terapi. Prognosis baik pada peritonitis lokal dan ringan, dan
prognosis buruk pada peritonitis yang general.(11)
3.8 Intubasi EndoTrakheal Tube (ETT)
3.8.1 Definisi ETT
Intubasi Trakhea adalah tindakan memasukkan pipa trakhea kedalam trakhea
melalui rima glotis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakhea
antara pita suara dan bifurkasio trachea. Tindakan intubasi trakhea merupakan salah
satu teknik anestesi umum inhalasi, yaitu memberikan kombinasi obat anestesi
inhalasi yang berupa gas atau cairan yang mudah menguap melalui alat/ mesin
anestesi langsung ke udara inspirasi.(12)

3.8.2 Ukuran ETT


Pipa endotrakheal. terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi tertentu
misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang
mempunyai spiral nilon atau besi (non kinking). Untuk mencegah kebocoran jalan
22

nafas, kebanyakan pipa endotrakheal mempunyai balon (cuff) pada ujung distalnya.
Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit jalan
nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan
balon karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa
digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 – 9,0 mm dan
perempuan 7,5 – 8,5 mm.

Untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 – 23 cm. Pada anakanak
dipakai rumus :

diameter (mm) = 4 + Umur/4 = tube diameter (mm)


Rumus lain: (umur + 2)/2
Ukuran panjang ET = 12 + Umur/2 = panjang ET (cm)

Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa 0,5 mm


lebih besar dan lebih kecil. Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat diperkirakan
dengan melihat besarnya jari kelingkingnya.(1)
3.8.3 Indikasi intubasi ETT
Indikasi intubasi trakhea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan
sebagai berikut :
a. Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun Kelainan anatomi, bedah khusus,
bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan nafas dan lain-lain.
23

b. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi Misalnya saat resusitasi,


memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang.
c. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi. Klasifikasi tampakan faring pada
saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati
dibagi menjadi 4 gradasi.(13)
3.8.4 Kontraindikasi ETT
Menurut Morgan (2017) ada beberapa kondisi yang diperkirakan akan
mengalami kesulitan pada saat dilakukan intubasi, antara lain: (2)
a. Tumor : Higroma kistik, hemangioma, hematom
b. Infeksi : Abces mandibula, peritonsiler abces, epiglotitis
c. Kelainan kongenital : Piere Robin Syndrome, Syndrom Collin teacher,
atresi laring, Syndrom Goldenhar, disostosis kraniofasial
d. Benda asing e. Trauma : Fraktur laring, fraktur maxila/ mandibula, trauma
tulang leher
f. Obesitas
g. Extensi leher yang tidask maksimal : Artritis rematik, spondilosis
arkilosing, halo traction
h. Variasi anatomi : Mikrognatia, prognatisme, lidah besar, leher pendek, gigi
moncong.
3.8.5 Pemasangan ETT
24

Prosedur pelaksanaan intubasi endotrakheal adalah sebagai berikut :(3)


a. Persiapan Alat (STATICS):
 Scope : Laringoscope, Stetoscope
 Tubes : Endotrakheal Tube (ETT) sesuai ukuran
 Airway : Pipa orofaring / OPA atau hidung-faring/NPA
 Tape : Plester untuk fiksasi dan gunting
 Introducer : Mandrin / Stylet, Magill Forcep
 Conector : Penyambung antara pipa dan pipa dan peralatan anestesi.
 Suction : Penghisap lendir siap pakai.
b. Pelaksanaan
 Mesin siap pakai
 Cuci tangan
 Memakai sarung tangan steril
 Periksa balon pipa/ cuff ETT
 Pasang macintosh blade yang sesuai
 Anjurkan klien berdoa, karena intubasi/ induksi akan dimulai
 Beri oksigen 100% dengan masker/ ambu bag 4 liter/ menit
 Masukkan obat-obat sedasi dan relaksan
 Lakukan bagging sesuai irama pernafasan
 Buka mulut dengan teknik cross finger dengan tangan kanan
 Masukkan laringoskop dengan tangan kiri sampai terlihat epiglotis, dorong
blade sampai pangkal epiglotis
 Berikan anestesi daerah laring dengan xylocain spray 10% 13) Masukkan
ETT yang sebelumnya sudah diberi jelly dengan tangan kanan
 Sambungkan dengan bag/ sirkuit anestesi, berikan oksigen dengan nafas
kontrol 8-10 kali/ menit dengan tidal volume 8-10 ml/kgBB
 Kunci cuff ETT dengan udara ± 4-8 cc, sampai kebocoran tidak terdengar
 Cek suara nafas/ auskultasi pada seluruh lapangan paru kiri kanan
 Pasang OPA/NPA sesuai ukuran
25

 Lakukan fiksasi ETT dengan plester


 Lakukan pengisapan lendir bila terdapat banyak lendir

3.8.6 Komplikasi ETT


Komplikasi yang sering terjadi pada intubasi antara lain trauma jalan nafas,
salah letak dari ETT, dan tidak berfungsinya ETT. Komplikasi yang biasa terjadi
adalah:(14)
a. Saat Intubasi
• Salah letak : Intubasi esofagus, intubasi endobronkhial, posisi balon di laring.
• Trauma jalan nafas : Kerusakan gigi, laserasi mukosa bibir dan lidah, dislokasi
mandibula, luka daerah retrofaring.
• Reflek fisiologi : Hipertensi, takikardi, hipertense intra kranial dan intra okuler,
laringospasme.
• Kebocoran balon.

b. Saat ETT di tempatkan


• Malposisi (kesalahan letak)
• Trauma jalan nafas : inflamasi dan laserasi mukosa, luka lecet mukosa hidung.
• Kelainan fungsi : Sumbatan ETT.

c. Setelah ekstubasi
• Trauma jalan nafas : Udema dan stenosis (glotis, subglotis dan trakhea),
sesak, aspirasi, nyeri tenggorokan.
• Laringospasme.
BAB 4
PEMBAHASAN

Tn.S datang ke IGD Rumah Sakit Cut Meutia dengan keluhan nyeri perut
selama 3 hari, tidak bab 3 hari, perut teras keras dan pasien juga mengeluhkan adanya
mual dan muntah. Terlihat dari kondisi pasien badan lemes dan tampak pucat.
Riwayat penyakit dahulu hipertensi dan DM disangkal. Diagnosis ditegakkan
menurut berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan lab, foto thorax, dan PA
dengan interprestasi hasil yaitu peritonitis ec perforasi gaster (antrum). Pasien
direncanakan operasi dengan tindakan pembedahan laparotomy dengan general
anastesi intubasi ETT (endotracheal tube).

Pasien termasuk dalam status ASA II yaitu pasien dengan gangguan sistemik
ringan. Dalam pemeriksaan pre-anastesi, pasien juga diminta untuk berpuasa sebelum
dilakukan tindakan anastesi, hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa lambung
kosong sebelum pembedahan untuk menghindari kemungkinan terjadinya muntah
dan aspirasi isi gaster. Pemeriksaan pre-anastesi bertujuan untuk mempersiapkan
mental dan fisik pasien secara optimal, merencanakan, dan memilih teknik obat-obat
anastesi yang disesuaikan keadaan fisik, aman dan efektif.

Sebelum dimulai operasi, pasien diposisikan supine. Pasien dilakukan


premedikasi fentanyl. Premedikasi adalah tindakan awal anastesi dengan memberikan
obat-obatan pendahuluan yang terdiri dari obat-obatan golongan antikolinergik,
sedasi, dan analgetik yang bertujuan untuk memberikan rasa nyaman, meredakan
kecemasan, memperlancar induksi, mengurangi sekresi kelenjar ludah dan
mengurangi mual muntah pasca bedah.

Selanjutnya pasien diberikan propofol sebagai hipnotik-sedatif terhadap


pasien. Setelah pasien dalam keadaan tidak sadar, kemudian segera dilanjutkan
pemberian pre-oksigenisasi dan selanjutnya dilakukan intubasi dengan ETT.
27

Sebelum dilakukan pemasangan ETT harus memilih ukuran diameter dari


tube endotracheal terlebih dahulu. Secara umum pada pasien dewasa wanita 6.0-7.5
dan untuk dewasa laki-laki 7.0-9.0.

Pasien juga diberikan pengobatan lain nya selama operasi yaitu ondansetron 4
mg/ 2 mL untuk mencegah muntah, ketorolac 30 mg/mL untuk mengatasi nyeri,
dexamethasone 5 mg/mL untuk mencegah terjadi nya peradangan, norepinephrine 1
mg/mL untuk mengatasi tekanan darah rendah, atropine 0,25 mg/mL untuk
menangani bradikardi dan dobutamine 25 mg/mL untuk membantu kerja jantung
dalam memompa darah ke seluruh tubuh pada orang yang mengalami gagal jantung
atau syok kardiogenik.

Durante operasi, tanda vital seperti TD, HR, dan saturasi oksigen dicatat
setiap 5 menit, dan menunjukkan tanda vital terjaga dalam batas normal selama
tindakan pembedahan. Operasi berlangsung selama 1 jam, setelah operasi selesai,
pasien dibawa ke ruang ICU untuk dipantau tanda-tanda vital dan kesadaran pasien.
BAB 5
KESIMPULAN

Tn.S datang ke IGD RSU Cut Meutia dengan keluhan adanya keluhan nyeri
perut selama 3 hari, tidak bab 3 hari, perut teras keras dan pasien juga mengeluhkan
adanya mual dan muntah. Terlihat dari kondisi pasien badan lemes dan tampak pucat.
Diagnosis ditegakkan menurut berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan
lab, foto thorax, dan PA dengan interprestasi hasil yaitu peritonitis ec perforasi gaster
(antrum). Pasien direncanakan operasi dengan tindakan pembedahan laparotomy
dengan general anastesi intubasi ETT (endotracheal tube). Durante operasi, tanda
vital seperti TD, HR, dan saturasi oksigen dicatat setiap 5 menit, dan menunjukkan
tanda vital terjaga dalam batas normal selama tindakan pembedahan. Operasi
berlangsung selama 1 jam, setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang ICU untuk
dipantau tanda-tanda vital dan kesadaran pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Bailey and Love. 2019. Short Practice of Surgery 26th Edition. United States:
CRC Press Taylor & Francis Group.
Schrock. T. R.. 2017.Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu Bedah,
Ed.7, alih bahasa dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta.
Schwartz, Shires, Spencer. 2018.Peritonitis dan Abses Intraabdomen dalam
Intisari Prinsip — Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta : EGC. Hal 489
— 493
Wim de jong, Sjamsuhidayat.R. 2017 Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta :
EGC.
Cole et al. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition. Appelton-
Century Corp. 2007. Hal 784-795.
Doherty,Gerard.Peritoneal Cavity inCurrent Surgical Diagnosis&
Treatment 12nd. USA: The McGraw-Hill. 2006.
Marshall, J. C & Innes, M., 2003. Intensive care unit management of intra-
abdominal infection. Crit Care Med, 31(8), pp. 2228-2237
Marshall, J. C., 2004. Current focus. Intra-abdominal infections. Elsevier,
Volume 6, pp. 1015-1025
Mieny, C. J. & Mennen, U., 2013. Principles of surgical patient care. Volume II,
pp. 1-96
Schwartz, Seymour I, Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah, EGC, Jakarta, 2007.h.20-
25

Wittmann, D. H. et al., 1996. Review article: Management of secondary


peritonitis. Annals of surgery, 224(1), pp. 10-18

Anda mungkin juga menyukai