Anda di halaman 1dari 74

Laporan Kasus

HIPERTENSI DENGAN PENYAKIT JANTUNG KORONER


Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Cardiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Daerah Langsa

Oleh :
Farah Maisyura, S.Ked (2106111055)
Khairina, S.Ked (2106111073)

Preseptor :
dr. Miharza, Sp. JP

BAGIAN/SMF JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LANGSA
KOTA LANGSA
2022
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang karena atas segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “Hipertensi dengan Penyakit Jantung Koroner”.
Penyusunan laporan kasus ini sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan
Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kardiologi di Rumah Sakit Umum Daerah Kota
Langsa.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Miharza, Sp. JP-FIHA selaku
preseptor selama mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu
Kardiologiatas waktu dan tenaga yang telah diluangkan untuk memberikan
bimbingan, saran, arahan, masukan, semangat, dan motivasi bagi penulis sehingga
laporan kasus ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran yang membangun untuk perbaikan di masa
yang akan datang. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Langsa, Desember 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB 2 LAPORAN KASUS...................................................................................3
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................19
3.1 Hipertensive Heart Disease (HHD).........................................................19
3.2 Coronary Artery Disease (CAD)............................................................46
3.3 Cardiac Renal Sindrome.........................................................................59
BAB 4 PEMBAHASAN.......................................................................................71
BAB 5 KESIMPULAN........................................................................................74
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................75

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
Penyakit Jantung Koroner adalah penyakit yang disebabkan penumpukan plak
pada arteri koroner yang menyebabkan aliran darah ke miokardium terbatas.
Penyakit Jantung Koroner merujuk pada proses patologis yang mempengaruhi arteri
koroner yang biasanya disebabkan karena aterosklerosis, terjadinya aterosklerosis
disebabkan karena adanya plak yang menyebabkan pengerasan dan penebalan
dinding pembuluh darah. Selain itu, pembentukan plak juga dapat memperlambat
ataupun menghentikan aliran darah sehingga jaringan yang mendapat suplai dari
arteri akan mengalami kekurangan oksigen dan nutrisi.(1)
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit jantung koroner.
Faktor risiko penyakit jantung koroner terbagi menjadi dua, yaitu yang bersifat
nonmodifiable seperti usia, jenis kelamin, dan riwayat keluarga, serta yang bersifat
modiafiable seperti hipertensi, dislipidemia, merokok, diabetes melitus, obesitas, dan
inaktifitas fisik. Insidensi penyakit jantung koroner pada penderita hipertensi adalah
lebih dari lima kali daripada yang normotensi.(2)
World Health Organization (WHO) tahun 2014 menunjukkan bahwa PJK
menempati angka urutan pertama dari sepuluh penyakit yang mematikan, 9,4 juta
kematian setiap tahunnya yang disebabkan kardiovaskular dan 45% disebabkan oleh
PJK. Survei Sample Registration System (SRS) pada tahun 2014 di Indonesia
menunjukkan PJK menjadi penyebab kematian tertinggi pada semua umur setelah
stroke, yakni sebesar 12,9%. Data dari Riskesdas (2018), prevalensi penyakit jantung
di Indonesia berdasarkan diagnosis dokter sebesar 1,5 %. Berdasarkan prevalensi
tersebut, angka tertinggi terdapat di Provinsi Kalimantan Utara (2,2%) dan terendah
di Provinsi Nusa Tenggara Timur (0,7%).
Menurut kelompok umur, PJK paling banyak terjadi pada kelompok >75
tahun (4,7%) diikuti kelompok umur 65-74 tahun (4,6%), kelompok umur 55-64
tahun (3,9%), kelompok umur 45-54 tahun (2,4%) dan Data dari Dinas Kesehatan
Sumatera Barat, kejadian prevalensi hipertensi di Sumatera Barat pada tahun 2013

1
2

sebesar 7,6%, diabetes mellitus 1,8%, dislipidemia 2,88%, obesitas 19,7%. Kejadian
penyakit tersebut cenderung meningkat setiap tahunnya. Hal itulah yang menjadi
faktor terus meningkatnya kejadian PJK di Sumatera Barat dan menempati urutan ke-
3 besar dari seluruh Indonesia dengan prevalensi kejadian penyakit jantung koroner
yaitu sebesar 0,6% atau sebanyak 20.567 jiwa dan jumlah penderita PJK terbanyak
terdapat di provinsi Jawa Barat yaitu sebanyak 160.812 orang, serta penderita PJK
terendah di provinsi Maluku Utara sebanyak 1.436 orang. Sumatera Barat
diperkirakan 4.400 jiwa meningggal setiap tahunnya akibat PJK.(3)
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Helmiah

Jenis Kelamin : Perempuan

No. rekam medis : 57.82.09

Umur : 50 tahun

Alamat : Paya Bujok Seulemak,

Agama : Islam

Status perkawinan : Menikah

Suku : Aceh

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Tanggal Masuk : 16 : 05 Desember 2022

Tanggal Keluar (dari ICCU) : 08 Desember 2022

Tanggal Pemeriksaan : 08 Desember 2022

2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan Utama
Nyeri dada sebelah kiri.

2.2.2 Keluhan Tambahan


Nyeri dada dari depan menembus ke belakang, jantung berdebar-debar,
mudah lelah, nyeri kepala, dan disertai nyeri dari bahu sampai lengan kiri atas.

3
2.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Pasien perempuan 50 tahun dibawa oleh keluarga ke IGD RSUD Langsa pada
Senin, 5 Desember 2022 pukul 15.50 WIB dengan keluhan nyeri dada kiri yang
dialami pasien sejak ± 2 minggu dan memberat 3 hari SMRS. Nyeri dada sebelah kiri

4
4

dirasakan sejak subuh tadi, nyeri dada menjalar menembus ke belakang, muncul
mendadak dan berlangsung selama ≥20 menit yang tidak mereda saat istirahat. Pasien
juga mengeluhkan jantung berdebar-debar, mudah lelah saat melakukan aktivitas
ringan maupun berat, nyeri kepala dan disertai nyeri dari bahu sampai lengan kiri
atas. Pasien mengatakan memiliki riwayat hipertensi yang sudah dialami sejak 8
tahun yang lalu. Pasien mengaku sering memeriksakan tekanan darahnya di mentri,
tetapi pasien tidak rutin mengkonsumsi obat hipertensi. Pasien mengatakan belum
pernah merasakan nyeri dada sebelumnya, dan tidak ada riwayat penyakit keluarga
yang serupa atau penyakit lainnya.

2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)


 Riwayat Hipertensi (+) ± 8 tahun
 Riwayat kencing manis (DM) (-)
 Riwayat dislipidemia (-)

2.2.5 Riwayat Pemakaian Obat (RPO)


Pasien mengosumsi obat penurun tekanan darah jika diperlukan, namun
pasien tidak mengetahui nama obat tersebut.

2.2.6 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada riwayat keluarga yang memiliki penyakit serupa dengan yang
dialami pasien.

2.2.7 Riwayat Sosial-Ekonomi


Pasien merupakan ibu rumah tangga. Pasien berobat dengan menggunakan
BPJS.
5

2.3 Tanda Vital

Keadaan umum : Sakit sedang


Kesadaran : Composmentis
Tekanan darah : 212/125 mmHg
Frekuensi nadi : 100 x/menit, regular
Frekuensi nafas : 22 x/menit
Suhu tubuh : 37,5 ̊C
Berat badan : 55 kg
Tinggi Badan : 150 cm
IMT :24,4 kg/m² (Berat Badan Normal)
2.4 Status Generalis
1. Kulit
iWarna Sawo Matang
Turgor Cepat kembali
Sianosis (-)
Ikterus (-)
Oedema (-)
Pigmentasi Pigmentasi dalam batas normal
Suhu Panas.
2. Kepala
1. Uban (-)

Rambut 2. Tersebar merata.


3. Alopecia (-)
1. Simeteris
Wajah
2. Deformitas (-)
Mata 1. Konjunctiva anemis (-/-)
2. Sklera ikterik (-/-)
3. Mata cekung (-/-)
4. Pupil (bulat, isokor, Reflex
cahaya langsung dan tidak
6

langsung dalam batas normal).


5. Pergerakan bola mata dalam batas
normal.
6. Palpebra dalam batas normal.
1. Bentuk dalam batas normal.
2. Discharge (-/-).
Telinga
3. Sekret (-/-).
4. Darah (-/-).
1. Sekret (-/-)
2. Deviasi Septum (-)
Hidung
3. Darah (-/-)
4. Terpasang nasal canul.
Mulut 1. Lidah (normoglosia, tidak kotor,
tidak tremor, tidak pucat, tidak
kering, posisi midline).
2. Mukosa mulut dalam batas
normal.
3. Tonsil (+/+) dalam batas normal,
hiperemis (-/-).
4. Uvula deviasi ke kanan.
5. Gigi (beberapa gigi di maxilla
sudah tercabut).
3. Leher
Inspeksi 1. Simetris.
2. Kelenjar tiroid dalam batas
normal.
3. Distensi vena jugularis (+/-)
4. Trakhea posisi midline.
Palpasi 1. Pembesaran Tiroid (-)
7

2. Pembesaran nodus lymphe (-)


3. kaku kuduk (-)
Auskultasi 1. Suara nafas trakheal (+)
2. Wheezing (-)
4. Thorax (Respirasi)
Inspeksi 1. Bentuk dada normal. Pectus
excavatum (-), pectus carinatum
(-), barrel chest (-), flat chest (-).
2. Pergerakan dada simetris. Flail
chest (-)
3. Retraksi dinding thorax (-).
4. Bekas luka (-).
Palpasi 1. Nyeri tekan (-).
2. Massa (-).
3. Stem Fremitus simetris.
Perkusi 1. Sonor pada kedua lapang paru.
2. Batas bawah paru ICS VI,
pergeseran saat inspirasi menjadi
ICS VIII.
Auskultasi 1. Suara nafas vesicular (+/+)
2. Wheezing (-/-)
3. Rhonchi (-/-).
5. Thorax (Cardiovascular)
Inspeksi 1. Ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi 1. Ictus cordis teraba di ICS V,2 cm
lateral dari Linea midclavicula
sinistra
Perkusi 1. Redup (+)
8

2. Batas atas jantung di ICS II linea


parasternalis dextra et sinistra.
3. batas kanan jantung di ICS IV
linea parasternalis dextra.
4. Batas kiri jantung di ICS V 2 cm
lateral dari Linea midclavicula
sinistra
Auskultasi 1. BJI dan BJII (+/+)
2. Murmur (-)
3. Gallop (-).
6. Abdomen
Inspeksi 1. Simetris
2. Ascites (-)
3. Caput medusa (-)
4. Linea nigra (-)
5. Bekas operasi (-).
6. Ditemukan lesi berupa bercak-
bercak hipopigmentasi, berbatas
tegas, tidak ada elevasi, diameter
±1-5 cm, tidak terasa sakit, tidak
ada nyeri tekan, tidak ada mati
rasa, tidak ada gatal, tersebar pada
regio lumbal dextra, dari
umbilicus sampai linea axillaris
anterior dextra. .
Auskultasi 1. Peristaltik usus dapat didengar,
dalam batas normal.
Palpasi 1. Nyeri tekan (-)
9

2. Defans Muscular (-)


3. Hepar tidak teraba
4. Lien tidak teraba
5. Ren dextra dan Sinistra tidak
teraba.
6. Nyeri Ketok CVA (-)
Perkusi 1. Timpani
2. Shifting dullness (-)
3. Tidak ditemukan hepatomegali,
splenomegali
7. Genitalia (tidak diperiksa)
8. Ekstremitas
Superior Dextra 1. Sianosis (-)
2. Edema (-)
3. Fraktur (-)
4. Massa (-)
5. Kekuatan motorik 5555
6. Sensorik dalam batas normal.
Superior Sinistra 1. Sianosis (-)
2. Edema (-)
3. Fraktur (-)
4. Massa (-)
5. Kekuatan motorik 5555
6. Sensorik dalam batas normal.
Inferior Dextra 1. Sianosis (-)
2. Edema (-)
3. Fraktur (-)
4. Massa (-)
5. Ditemukan lesi berupa bercak-
10

bercak hipopigmentasi, berbatas


tegas, tidak ada elevasi, diameter
±1-5 cm, tidak terasa sakit, tidak
ada nyeri tekan, tidak ada mati
rasa, tidak ada gatal, tersebar pada
regio femoris, genu dan cruris.
6. Kekuatan motorik 5555
7. Sensorik dalam batas normal.
Inferior Sinistra 1. Sianosis (-)
2. Edema (-)
3. Fraktur (-)
4. Massa (-)
5. Ditemukan lesi berupa bercak-
bercak hipopigmentasi, berbatas
tegas, tidak ada elevasi, diameter
±1-5 cm, tidak terasa sakit, tidak
ada nyeri tekan, tidak ada mati
rasa, tidak ada gatal, tersebar pada
regio femoris.
6. kekuatan motorik 5555
7. Sensorik dalam batas normal.
2.5 Pemeriksaan Penunjang
2.5.1 Pemeriksaan Laboratorium
05 Desember 2022

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

Hematologi:
Darah Lengkap:
Hemoglobin 11.4 g/dL 12-16
Haematocryt 35.1 % 35-47
11

Erythrocyte 4.03 /UIx1000000 3.8-5.2


MCV 87.1 fL 80 – 100
MCH 28.3 pG 27 – 34
MCHC 32.4 g/dL 32 – 36
RDW- CV 12.3 % 11 – 16
Thrombocyte 266 /UIx1000 150 – 440
Leucocyte 6.76 /UIx1000 3.6-11.0
Eosinofil 1.5 % 0.5 – 5.0
Basofil 0.2 % 0–1
Lympocyte 22.0 % 20 – 40
Monocyte 4.1 % 3.0 – 12.0
Neutrofil 72.2 % 50 – 70
Neu# 4.88 10¿3/uL 2.0 – 7.0
Lym# 1.49 10¿3/uL 0.80 – 4.00
Mon# 0.28 10¿3/uL 0.12 – 1.20
Eos# 0.10 10¿3/uL 0.02 – 0.50
Bas# 0.01 10¿3/uL 0.00 – 0.10
05 Desember 2022
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Fungsi ginjal
Kreatinin 0.76 mg/dl 0.6-1.2
ureum 20 mg/dl 10-50
Diabetes
Gula Darah Sewaktu 150 mmol/L <200

2.5.2 Pemeriksaan Elektrokardiografi


12

Gambar 1. EKG
Interpretasi EKG :
1. Irama : sinus rythm
2. HR : 95x/i
3. Axis : Left Axis Deviation
4. PR interval : normal
5. Kompleks QRS : Q patologis
6. Segmen ST : ST elevasi avL, V2, V3, V4 dan V5
7. Gelombang T : Normal
8. Interpretasi hasil EKG : sinus rythm + LAD + OMI anteroseptal inferior
2.5.3. Pemeriksaan Rontgen Thoraks
13

Interpretasi

No. Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan


1 Thorax AP / PA Yth ts:
Foto: thorax ap / pa
Coracan broncovasculer kedua paru prominent
Ground glass opacity pada kedua lapang paru
Cor kesan membesar, aorta dilatasi
Kedua sinus dan diafragma kiri baik, kanan letak tinggi
Tulang-tulang intak
Kesan :
- Gambaran bronchitis
- Pneumonia bilateral
- Cardiomegaly dengan bendungan baru
- Elevasi diafgram dextra
2.6 Resume
Pasien perempuan 50 tahun dibawa oleh keluarga ke IGD RSUD Langsa pada
Senin, 5 Desember 2022 pukul 15.50 WIB dengan keluhan nyeri dada kiri yang
dialami pasien sejak ± 2 minggu dan memberat 3 hari SMRS. Nyeri dada sebelah kiri
dirasakan sejak subuh tadi, nyeri dada menjalar menembus ke belakang, muncul
mendadak dan berlangsung selama ≥20 menit yang tidak mereda saat istirahat. Pasien
juga mengeluhkan jantung berdebar-debar, mudah lelah saat melakukan aktivitas
ringan maupun berat, nyeri kepala dan disertai nyeri dari bahu sampai lengan kiri
atas. Pasien mengatakan memiliki riwayat hipertensi yang sudah dialami sejak 8
tahun yang lalu. Pasien mengaku sering memeriksakan tekanan darahnya di mentri,
tetapi pasien tidak rutin mengkonsumsi obat hipertensi. Pasien mengatakan belum
pernah merasakan nyeri dada sebelumnya, dan tidak ada riwayat penyakit keluarga
yang serupa atau penyakit lainnya. Riwayat hipertensi (+). Pada pemeriksaan fisik
didapatkan kesadaran komposmentis, tekanan darah 212/125 mmHg, frekuensi nafas
14

22x/menit, frekuensi nadi 100x/menit, SpO2 98%, suhu 37,5 ̊C. Pada status generalis
didapatkan tekanan JVP meningkat. Pada pemeriksaan Laboratorium, didapatkan Hb:
11,4 g/dl, ureum 20 mg/dl, kreatinin 0,76 mg/dl. Pada pemeriksaan EKG didapatkan
Sinus Rythm + LAD + OMI Lateral. Pada pemeriksaan foto thorax didapatkan kesan
gambaran bronchitis, pneumonia bilateral, cardiomegaly, elevasi diafragma dextra.
2.7 Diagnosa Banding
1. Diseksi aorta
2. Emboli paru
3. Pneumothoraks
4. GERD
2.8 Diagnosa Kerja
Chest Pain ec Stemi + HHD
2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Non Farmakologi
A. Edukasi:
- Memberikan informasi dengan cara yang sederhana dan mudah dimengerti
- Memberikan dukungan, nasihat dan motivasi
- Melibatkan keluarga pasien
- Diskusi program pengobatan dengan pasien
- Restriksi cairan dan posisi tidur
- Edukasi check up rutin
- Rutin minum obat dan mengontrol tekanan darah
Latihan fisik:
-Olahraga teratur 30-45 menit/hari, 3-5 kali seminggu (contoh: jalan santai,
berenang, aerobik intensitas sedang)
Nutrisi:
- Makanan seimbang yang sesuai dengan kebutuhan kalori dan gizi
- Prinsip 3J (Jumlah, Jadwal, Jenis)
15

Jumlah kalori (25-30 kkal/kgBB ideal) = (30 x 63 = 1.890 kkal/kgBB


Jadwal: 3 kali makan besar (20% pagi, 30% siang, 25% malam), 2-3 kali makan
snack (10-15%)
Jenis: hindari mengandung kadar gula dan garam yang banyak serta rendah
lemak.

2.9.2 Farmakologi
- O2 4 l/menit
- IVFD RL 8 gtt/i
- Inj. Furosemide /12jam
- Cedocard 0,25 mg syringe pump
- Spironolactone 1x25mg
- Candesartan 8mg 1x1
- Alprazolam 0.5mg 2x1/2
- Lansoprazole 2x1
- Domperidone 3x1
- Sucralfate syr 3xCI
- Atorvastatin 20mg 1x2 (malam)
- Clopidogrel 75mg 1x4
2.10 Follow Up Pasien
Hari SOAP Terapi
rawatan

Senin S/Nyeri dada sebelah kiri (+) - O2 4 L/i


05-10-2022 mudah lelah (+) - IVFD NaCL 0,9% 8 gtt/i
O/
H+1 - Inj. Arixtra 1x1
TD : 141/91 mmHg
- Inj. Furosemid 1 amp/8jam
HR : 87 x/i
- Cedocard 0,25mg kec 1,2
RR : 28 x/i
cc
T : 36,2 ºC
- Spironolakton 1x25 mg
16

SpO2 : 98% - CPG 1x75mg


A/Chest pain ec stemi + HHD - Atorvastatin 1x20mg
P/Pantau cedocard - Candesartan 8 mg 1x1
- Lansoprazole 2x1
- Sucralfate syr 3xc1
- Domperidone 3x1
- Alprazolam 0,5mg 2x1/2

Selasa S/ Nyeri dada (+) - O2 4 L/I

06-10-2022 O/ - IVFD NaCL 0,9% 8 gtt/i


TD : 131/74 mmHg - Inj. Arixtra 1x1
H+2
HR : 80 x/i - Inj. Furosemid 1 amp/8jam
RR : 24 x/i - Cedocard 0,25mg kec 1,2
T : 36,5 ºC cc
SpO2 : 99 % - Spironolakton 1x25mg
A/Chest pain ec stemi + HHD - CPG 1x75mg

P/ Tambahan KSR 1X1, - Atorvastatin 1x20mg


Laxadine syr 3x1, Alprazolam - Candesartan 8 mg 1x1
0,5mg 2x1/2, B one 1x1 - Lansoprazole 2x1
- Sucralfate syr 3xc1
- Domperidone 3x1
- Laxadine syr 3x1
- Alprazolam 2x1/2
- KSR 1X1
- ISDN 3X1/2
- B one 1x1
17

Rabu S/Nyeri dada berkurang, susah - O2 4 L/I

07-10-2022 tidur (+) - IVFD NaCL 0,9% 8 gtt/i


O/ - Inj. Arixtra 1x1
H+3
TD : 119/77 mmHg - Inj. Furosemid 1 amp/8jam
HR : 88x/i - Cedocard 0,25mg kec 1,2
RR : 22x/i cc
T : 36,6ºC - Spironolakton 1x25mg
SpO2 : 98% - CPG 1x75mg
A/ Chest pain ec stemi + HHD - Atorvastatin 1x20mg
P/ Terapi lanjutkan - Candesartan 8 mg 1x1
- Lansoprazole 2x1
- Sucralfate syr 3xc1
- Domperidone 3x1
- Laxadine syr 3x1
- Alprazolam 2x1/2
- KSR 1X1
- ISDN 3X1/2
- B one 1x1

Kamis S/Nyeri dada berkurang, - IVFD Nacl 0,9% 8 gtt/i

08-10-2022 mengeluhkan nyeri bahu (+) - Meloxicam sup


O/ - Inj. Furosemid 1 amp/8jam
H+4
TD : 108/69 mmHg - Spinolacton 25mg 1x1
HR : 79x/i - CPG 1x75mg (Siang)
RR : 22x/i - Atorvastatin 1x20mg
T : 36,5ºC (malam)
SpO2 : 97% - Lansoprazole 2x1
A/ Chest pain ec stemi + HHD - Sucralfate syr 3xc1
P/ Pindah RPC - Domperidone 3x1
18

- Alprazolam 2x1/2
- KSR 1x1
- B one 1x1 (siang)
- ISDN 3x1/2
- Laxadin syr 3x1
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Penyakit Jantung Koroner
3.1.1 Definisi
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit pembuluh darah koroner
jantung oleh karena penyempitan, penyumbatan, ataupun kelainan pembuluh darah
lain. Keadaan tersebut bisa disebabkan oleh spasme, ateroklerosis maupun kombinasi
keduanya. Aliran yang terhambat dapat menyebabkan suplai oksigen dan nutrisi
untuk miokardium menurun hingga timbul nyeri dan gangguan fungsi kerja jantung.
(4)
Menurut American Heart Association, penyakit jantung koroner disebut
Coronary Heart Disease (CHD) adalah istilah umum untuk penumpukan plak pada
arteri koroner yang dapat menyebabkan serangan jantung.17 Pembentukan plak
dikenal dengan istilah aterosklerosis, yaitu kondisi di mana pada pembuluh darah
koroner jantung terdapat perubahan variabel intima arteri yang merupakan akumulasi
fokal lemak (lipid), kompleks karbohidrat, darah dan hasil produk darah, jaringan
fibrus dan deposit kalsium yang kemudian diikuti dengan perubahan media. (5)
3.1.2 Epidemiologi
Penyebab kematian tertinggi di Indonesia, menurut Survei Sample
Registration System Tahun 2014 menunjukkan 12,9% kematian akibat penyakit
jantung koroner. World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa penyakit
jantung koroner (PJK) menjadi salah satu masalah kesehatan dalam sistem
kardiovaskular yang jumlahnya meningkat cepat dengan angka kematian 6,7 juta
kasus (WHO, 2017). Perhitungan WHO (World Health Organization) yang
memperkirakan pada Tahun 2020 mendatang, penyakit kardiovaskuler akan
menyumbang sekitar 25% dari angka kematian dan mengalami peningkatan
khususnya di negara-negara berkembang (Husna, 2020). Laki-laki memiliki resiko
yang lebih tinggi untuk terkena penyakit jantung koroner hampir 10 tahun lebih cepat

19
20

dari pada wanita, sedangkan bagi wanita resiko terjadi penyakit jantung koroner
meningkat pada saat mengalami masa menopause.(6)
American Heart Association (AHA) menyatakan bahwa 1/3 wanita dewasa
menderita salah satu bentuk penyakit kardiovaskuler terutama penyakit jantung
koroner dan jumlah kematian pada wanita melebihi laki-laki. Tahun 2012 sekitar 56%
penyebab kematian wanita adalah penyakit kardiovaskuler dan terbanyak adalah
penyait jantung koroner. Berdasarkan kelompok usia didapatkan responden yang
berusia ≥ 40 tahun berisiko 2,72 kali dibanding < 40 tahun. Usia > 45 tahun
merupakan masa peralihan dari premenopause ke perimenopause,sehingga sangat
penting dilakukan pendekatan dan pencegahan tentang faktor-faktor resiko PJK.(7)
3.1.3 Etiolgi dan Faktor Resiko
Faktor risiko PJK terdiri atas faktor yang tidak bisa dikendalikan dan bisa
dikendalikan. Berikut ini adalah faktor risiko yang tidak bisa dikendalikan:(8)
a. Usia, berbanding lurus dengan kejadian PJK.
b. Riwayat keluarga
c. Jenis kelamin, pria mempunyai risiko PJK yang lebih tinggi daripada wanita yang
belum menopause.
Faktor risiko yang bisa dikendalaikan adalah sebagai berikut:(9)
a. Dislipidemia, meningkatkan risiko PJK hingga sebesar 2,8 kali orang normal.
b. Hipertensi, dapat meningkatkan risiko PJK menjadi berlipat ganda.
c. Merokok, orang yang merokok memiliki risiko PJK 3 kali lebih besar, 24 Risiko
tersebut bisa turun menjadi 50% setelah seseorang selama satu tahun berhenti
merokok dan bahkan bisa menjadi normal setelah 4 tahun.
d. Diabetes melitus (DM), pria yang mengalami DM memiliki risiko PJK 50% lebih
tinggi dari pria normal sedangkan pada wanita menjadi 2x lipat.
e. Stres, meningkatkan insidensi kejadian dan rekurensi PJK hingga 3 kali lipat.
f.Obesitas, berbanding lurus dengan risiko PJK. Sekitar 25-49% PJK di negara
berkembang berhubungan dengan peningkatan indeks masa tubuh. Apabila tiap
individu memiliki berat badan optimal, data Framingham membuktikan bahwa
21

insiden PJK dapat berkurang hingga 25%. Efek perbaikan sensitifitas insulin,
pembakaran glukosa dan perbaikan dislipidemi diperoleh dari proses penurunan berat
badan.27,28 g. Asupan makanan, berhubungan dengan garam dan kolesterol.
3.1.4 Patofisiologi
Penyakit jantung koroner (PJK) terjadi akibat adanya ketidakseimbangan
antara aliran darah arteri koroner dengan kebutuhan otot jantung (miokardium). PJK
turut dipengaruhi oleh kepekaan miokardium terhadap keadaan iskemi.(10)
Dinding pembuluh koroner menjalankan fungsi struktural, metabolik dan
signaling untuk menjaga keadaan homeostasis pada keadaan sehat. Arteri terdiri dari
tiga lapisan. Lapisan terluar disebut tunika adventitia. Lapisan tengah yang tebal
disebut tunika media terdiri dari jaringan ikat elastis dan otot polos. Tunika intima
sebagai lapisan terdalam lebih dikenal dengan istilah endotel dan bersifat
impermeabel terhadap molekul besar sehingga mencegah molekul tersebut masuk ke
lapisan sub endotel. Endotel memiliki fungsi antiinflamasi, mencegah adesi leukosit
serta trombosis. Fungsi proteksi tersebut turut dibantu oleh beberapa fungsi tunika
media, yaitu fungsi kontraktil, menjaga matriks ekstraselular, serta menjaga agar
komponen strukturnya tetap di dalam tunika media.(11)

Gambar 1. Diagram sistemik dinding arteri


22

Proses inflamasi teraktivasi ketika terjadi stimulasi patologis. Proses tersebut


terdiri atas peningkatan permeabilitas, sitokin inflamasi, dan adesi molekul leukosit,
serta penurunan kemampuan vasodilatasi dan aktivitas antitrombotik. Proses
inflamasi tidak hanya mengganggu fungsi endotel melainkan juga berpengaruh
terhadap tunika media dengan meningkatkan matriks ekstraselular dan sitokin
inflamasi serta mengakibatkan proliferasi dan migrasi.(12)

Gambar 2. Aktivasi endotel dan otot polos oleh inflamasi

Disfungsi endotel disertai gangguan fisik dan kimia menjadi jalan pembuka
bagi lipid terutama low density lipoprotein (LDL) untuk masuk ke lapisan sub intima.
Masuknya lipid ke dalam pembuluh darah memicu pengeluaran sel mediator
inflamasi, membentuk foam cells. Foam cell akan berubah menjadi fatty streak,
atheroma, hingga kemudian menjadi plak fibroateromatus yang melibatkan proses
migrasi otot polos ke endotel sehingga menyebabkan penebalan tunika intima.
Penebalan ini menyebabkan penyempitan sehingga aliran suplai koroner terganggu.
Pada tahap lanjut, plak bisa menyebabkan obstruksi penuh, trombosis, bahkan
mengalami ruptur.(13)
23

Gambar 3. Disfungsi Endotel Sebagai Kejadian Primer Pembentukan Plak

Miokardium akan mengalami iskemi ketika aliran suplai oksigen dan nutrisi
terganggu. Bila iskemi terjadi sementara, perubahan yang bersifat reversibel akan
terjadi sebatas di tingkat sel dan lokal jaringan. Namun apabila berlangsung lebih dari
30-45 menit, akan terjadi kerusakan yang bersifat ireversibel hingga nekrosis atau
kematian miokardium.(12)
3.1.5 Klasifikasi
 Angina Pektoris Stabil (APS)
Klasifikasi yang paling ringan ini disebut stabil karena penyempitan masih sangat
minimal, belum terjadi kerusakan miokardium dan belum terjadi obstruksi koroner.
Nyeri yang ditimbulkan hanya berdurasi singkat namun berulang dalam periode yang
lama dengan intensitas dan durasi yang sama. Lokasi nyeri dada biasanya meluas
hingga ke lengan dan sekitar dada leher. Nyeri hanya bila diprovokasi oleh kelelahan,
cuaca, dan asupan serta dapat mereda dengan istirahat atau pemberian nitrat.(14)
24

 Acute Coronary Syndrome (ACS)


Acute Coronary Syndrome (ACS) atau sindrom koroner akut merupakan
kumpulan gejala yang berhubungan dengan derajat penyempitan berat dengan
trombosis hingga obstruksi arteri koroner. Nyeri dada adalah gejala yang paling
umum di samping mual, muntah, dan diaphoresis.(14)
a. Angina Pektoris Tidak Stabil (Unstable Angina/UA) Obstruksi sebagian dan belum
terjadi kerusakan miokardium sehingga biomarker jantung tidak dapat terdeteksi.34
Berbeda dengan yang bersifat stabil, angina pektoris tidak stabil dapat terjadi saat
istirahat dan berdurasi lebih panjang, biasanya lebih dari 20 menit. Nyeri tidak dapat
mereda hanya dengan istirahat.
b. Non STEMI akut (Acute Non ST Elevated Myocardial Infarction/NSTEMI)
Obstruksi arteri koroner sudah terjadi secara total oleh trombosis akut dan proses
vasokonstriksi. Proses trombosis akut diawali dengan rupturnya plak yang tidak
stabil. Plak tidak stabil memiliki ciri yaitu inti lipid banyak, otot polos densitas
rendah dan fibrous cup tipis. NSTEMI menyebabkan enzim jantung mengalami
peningkatan.
c. STEMI Akut (Acute ST Elevated Myocardal Infarction) STEMI terjadi saat oklusi
pada arteri koroner diikuti penurunan suplai atau berhenti secara mendadak.
Penyumbatan sudah mencapai 100%. Sama halnya dengan NSTEMI, jenis PJK ini
butuh penanganan segera.
3.1.6 Manifestasi Klinis
Manifestasi PJK bervariasi tergantung derajat penyempitan aliran arteri
koroner. Bila suplai oksigen dan nutrisi masih mencukupi, maka manifestasi klinis
tidak timbul. Manifestasi klinis yang berarti biasanya muncul apabila penyempitan
sudah melebihi 50%. Manifestasi klinis juga dipengaruhi tingkat kebutuhan oksigen
dan nutrisi miokardium. Olahraga, berfikir, makan, dan kerja berat lainnya dapat
meningkatkan kebutuhan miokardium. Manifestasi klisnis PJK dapat berupa nyeri
dada yang menjalar ke lengan kiri (angina), ansietas, takikardi/ bradikardi, sesak
nafas, mual, pusing dan pingsan.(15)
25

3.1.7 Diagnosis
 Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia dapat berupa nyeri dada tipikal atau atipikal
(angina ekuivalen), keluhan angina berupa rasa tertekan/berat daera tertrostrenal,
menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigasrtrium.
Keluhan ini dapat berlangsung intermiten (beberapa menit) atau persisten (≥20
menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis
(keringat dingin), mual/muntah, nyeri abdominal, sesk nafas, dan sinkop.
Presentasi angina atipikal yang serinf sijumpai antara lain nyeri di daerah
penjalaran angina tipikal, gangguan pencernaan (indigesti), sesak napas yang tidak
dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal
ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (≥75
tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun atau demensia. Walaupun
keluhan angina tipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai
angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, teritama pada pasien dengan
riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina setelah terapi
nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosa SKA.(16)
Presentasi klini NSTEMI DAN APTS pada umumnya berupa:(17)
1. Angina tipikal yang persisten selama lebih dari 20 menit. Dialami oleh
sebagian besar pasien (80%).
2. Angina awita baru (de novo) kelas III klasifikasi The Canadian
Cardiovaskular Society (CCS). Terdapat pada 20% pasien.
3. Angina stabil yang mengalami destabilisasi (angina progresif atau kresendo)
menjadi makin sering, lebih lama, atau menjadi makin berat, minimal kelas III
klasifikasi CCS.
4. Angina pasca infark miokard: angina yang terjadi dalam 2 minggu setelah
infark miokard.
Presentasi klinik lain yang dapat dijumpai adalah angina ekuivalen, terutama pada
wanita dan lanjut usia. Keluhan yang paling sering dijumpai adalah awitan baru atau
26

perburukan sesak napas saat aktivitas. Beberapa factor yang menentujan bahwa
keluhan tersebut presentasi dari SKA adalah sifat keluhan, riwayat PJK, jenis
kelamin, umur, dan jumlah factor risiko tradisional.
Angina atipikal yang berulang pada seseorang yang mempunyai riwayat PJK,
terutama infark miokard, berpeluang besar merupakan presentasi dari SKA. Keluhan
yang sama pada seseorang yang lanjut usia (≥70 tahun) danm menderira diabetes
berpeluang menengah suatu SKA. Angina ekuivalen atau yang tidak seutuhnya tipikal
pada seseorang tanpa karakteristik tersebut di atas berpeluang kecil merupakan
presentasi SKA.(18)
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada pasien
dengan karakteristik sebagai berikut :
1. Pria
2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri perifer /
karotis)
3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard, bedah
pintas koroner, atau IKP.
4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes
mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi, risiko
sedang, risiko rendah menurut NCEP (National Cholesterol Education Program).
Angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal menjalar ke
lengan kiri, leher, area interskapuler, bahu, atau epigastrium; berlangsung intermiten
atau persisten (>20 menit); sering disertai diaphoresis, mual/muntah, nyeri
abdominal, sesak napas, dan sinkop.
Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia miokard
(nyeri dada nonkardiak) :(19)
1. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)
2. Nyeri abdomen tengah atau bawah
3. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks ventrikel
kiri atau pertemuan kostokondral.
27

4. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi


5. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
6. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah
Mengingat adanya kesulitan memprediksi angina ekuivalen sebagai keluhan
SKA, maka terminologi angina dalam dokumen ini lebih mengarah pada keluhan
nyeri dada tipikal. Selain untuk tujuan penapisan diagnosis kerja, anamnesis juga
ditujukan untuk menapis indikasi kontra terapi fibrinolisis seperti hipertensi,
kemungkinan diseksi aorta (nyeri dada tajam dan berat yang menjalar ke punggung
disertai sesak napas atau sinkop), riwayat perdarahan, atau riwayat penyakit
serebrovaskular.(20)
 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding.
Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan
hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia.
Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis,
ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA.
Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan
regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai
suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis
banding SKA.(21)
 Pemeriksaan elektrokardiogram.
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin
sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta
V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang
mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus
direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal nondiagnostik.
Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di
28

ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina
timbul kembali.
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup
bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/
persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak
persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan
yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk
pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-
V3 nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin.
Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun adalah
≥0,2 mV, pada pria usia tanpa memandang usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan
wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV,
kecuali pria usia.(22)

Table 2. Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG


Sedapa dengan deviasi segmen ST Lokasi iskemia atau infark
V1-V4 Anterior
V5-V6, I, aVL Lateral
II,III, aVF Inferior
V7-V9 Posterior
V3R-V4R Ventrikel kanan
Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien
dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST ≥1 mm
pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST ≥1 mm di V1-
V3. Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan yang
mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemik akut.
Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan kompleks QRS negatif
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah.
29

Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi
segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan non elevasi
segmen ST (NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP). Depresi
segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05 mV di sadapan V1-
V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat
dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (2 sadapan berdekatan. Inversi
gelombang T yang simetris ≥0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk
iskemia akut. Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang
diagnostik dikategorikan sebagai perubahan EKG yang nondiagnostik.(23)
 Pemeriksaan Biomarka Jantung.
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis
miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T
sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi
dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis
miosit, namun tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit
tersebut (penyebab koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh
sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung,
hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat
meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit
neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi
ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang
seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal.
Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T.
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T
menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan
hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat
ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah
pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang
dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu
30

paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih
terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark
periprosedural.(24)
Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium sentral.
Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang rawat intensif jantung (point of care testing)
pada umumnya berupa tes kualitatif atau semikuantitatif, lebih cepat (15-20 menit)
tetapi kurang sensitif. Point of care testing sebagai alat diagnostik rutin SKA hanya
dianjurkan jika waktu pemeriksaan di laboratorium sentral memerlukan waktu >1
jam. Jika marka jantung secara point of care testing menunjukkan hasil negatif maka
pemeriksaan harus diulang di laboratorium sentral.(25)
Kemungkinan SKA adalah dengan gejala dan tanda:
1. Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau tidak seluruhnya
tipikal pada saat evaluasi di ruang gawat-darurat.
2. EKG normal atau nondiagnostik, dan
3. Marka jantung normal
Definitif SKA adalah dengan gejala dan tanda:
1. Angina tipikal.
2. EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI, depresi ST atau
inversi T yang diagnostik sebagai keadaan iskemia miokard, atau LBBB
baru/persangkaan baru.
3. Peningkatan marka jantung, kemungkinan SKA dengan gambaran EKG
nondiagnostik dan marka jantung normal perlu menjalani observasi di ruang gawat-
darurat. Definitif SKA dan angina tipikal dengan gambaran EKG yang nondiagnostik
sebaiknya dirawat di rumah sakit dalam ruang intensive cardiovascular care
(ICVCU/ICCU).(26)
 Pemeriksaan laboratorium.
Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang
gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi
31

darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh
menunda terapi SKA.(27)
 Pemeriksaan foto polos dada.
Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat darurat
untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di ruang gawat
darurat dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis
banding, identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta.(27)
3.1.8 Diagnosis Banding
a. Pasien dengan kardiomiopati hipertrofik atau penyakit katup jantung (stenosis
dan regurgitasi katup aorta) dapat mengeluhkan nyeri dada disertai perubahan
EKG dan peningkatan marka jantung menyerupai yang terjadi ada pasien
NSTEMI
b. Miokarditis dan perikarditis dapat menimbulkan keluhan nyeri dada,
perubahan EKG, peningkatan biomarka jantung dan gangguan gerak dinding
jantung menyerupai NSTEMI.
c. Stroke dapat disertai dengan perubahan EKG, perningkatan marka jantung,
dan gangguan gerak dinding jantung.
d. Diagnosis banding non-kardiak yang mengancam jiwa dan selalu harus
didingkirkan adalah emboli paru atau disesksi aorta.
3.1.9 Tatalaksana
Berdasarkan langkah diagnostik tersebut di atas, dokter perlu segera
menetapkan diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi penanganan
selanjutnya. Yang dimaksud dengan terapi awal adalah terapi yang diberikan pada
pasien dengan diagnosis kerja Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan
angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka
jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin,
Clopidogrel (disingkat MONACO), yang tidak harus diberikan semua atau
bersamaan.(28)
32

1. Tirah baring (Kelas I-C)


2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2 arteri
pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri (Kelas IIa-C)
4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui
intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak bersalut lebih terpilih
mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat (Kelas I-C)
5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
a.Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan untuk
reperfusi menggunakan agen fibrinolitik (Kelas I-B)
b.Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75
mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan agen
fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel) (Kelas I-
C).
6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang
masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat (Kelas I-C). jika nyeri dada tidak
hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal
tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan
terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas I-C). dalam keadaan tidak tersedia NTG,
isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti
7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien yang
tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas IIa-B).
33

Gambar 4. Algoritma evaluasi dan tatalaksana SKA


34

4.1 Hipertensive Heart Disease (HHD)


4.1.1 Definisi
Hipertensi didefinisikan sebagai kondisi apabila tekanan darah sistolik (TDS)
≥140 mm Hg dan/atau tekanan darah diastolik (TDD) ≥90 mm Hg pada pengukuran
yang berulang. Adapun yang dimaksud pengukuran berulang adalah terdeteksi pada
2-3 kali kunjungan dengan interval antarkunjungan 1 – 4 minggu.Diagnosis
hieprtensi juga dapat dibuat pada sekali kunjungan jika tekanan darah ≥180/110 mm
Hg dan disertai bukti adanya penyakit kardiovaskuler.
Berdasarkan pengukuran TDS dan TDD, hipertensi diklasifikan sebagai
berikut:(29)

Hipertensi adalah peninggian tekanan darah diatas nilai normal. Ini termasuk
golongan penyakit yang terjadi akibat suatu mekanisme kompensasi kardiovaskuler
untuk mempertahankan metabolisme tubuh agar berfungsi nomal. Mekanisme
tersebut terjadi melalui sistem neurohumoral dan kardiovaskuler. Apabila hipertensi
tidak terkontrol akan menyebabkan kelainan pada organ- organ lain yang
berhubungan dengan sistem-sistem tersebut, misalnya otak, jantung, ginjal, mata,
aorta dan pembuluh darah tepi. Semakin tinggi tekanan darah, lebih besar
kemungkinan timbulnya penyakit-penyakit kardiovaskuler secara prematur. Penyulit
pada jantung dan segala manifestasi kliniknya, dinamakan penyakit jantung
hipertensif atau disebut juga sebagai Hipertensive Heart Disease (HHD).
Penyakit Jantung Hipertensif adalah istilah yang digunakan untuk
menyebutkan penyakit jantung secara keseluruhan yang disebabkan karena
35

peningkatan tekanan darah, baik secara langsung maupun tidak langsung, mulai dari
left ventricular hyperthrophy (LVH), aritmia jantung, penyakit jantung koroner, dan
penyakit jantung kronis.(30)
Penyakit jantung hipertensif adalah suatu penyakit yang berkaitan dengan
dampak sekunder pada jantung karena hipertensi sistemik yang lama dan
berkepanjangan. Hipertensi yang berkepanjangan dan tidak terkendali dapat
mengubah struktur miokard, pembuluh darah dan sistem konduksi jantung.
Perubahan-perubahan ini dapat mengakibatkan hipertrofi ventrikel kiri, penyakit
arteri koroner, gangguan sistem konduksi, disfungsi sistolik dan diastolik miokard
yang nantinya bermanifestasi klinis sebagai angina (nyeri dada), infark miokard,
aritmia jantung (terutama fibrilasi atrium) dan gagal jantung kongestif. Sepuluh
persen dari individu-individu dengan hipertensi kronis mengalami pembesaran
ventrikel kiri (left ventricular hypertrophy) dengan tujuh kali lipat kemungkinan lebih
dapat terkena dan memiliki resiko kematian akibat kegagalan jantung kongestif,
gangguan ritme jantung (ventrikel arrhythmias) dan serangan jantung (myocardial
infarction).
Penyakit jantung hipertensif diketahui bila dapat dideteksi hipertrofi ventrikel
kiri sebagai akibat langsung dari peningkatan bertahap tahanan pembuluh perifer dan
beban akhir ventrikel kiri. Faktor yang menentukan hipertrofi ventrikel kiri adalah
derajat dan lamanya peningkatan diastolik. Pengaruh faktor genetik di sini lebih jelas.
Fungsi pompa ventrikel kiri selama hipertensi berhubungan erat dengan penyebab
hipertrofi dan terjadinya aterosklerosis koroner.(31)
4.1.2 Epidemiologi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan penyebab meningkatnya
resiko penyakit stroke, jantung dan ginjal. Pada akhir abad 20, penyakit jantung dan
pembuluh darah menjadi penyebab utama kematian di negara maju dan negara
berkembang. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001,
kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah di Indonesia sebesar 26,3%.
Sedangkan data kematian di rumah sakit tahun 2005 sebesar 16,7%. Faktor resiko
36

utama penyakit jantung dan pembuluh darah adalah hipertensi, di samping


hiperkolesterollemia dan diabetes melitus. Prevalensi hipertensi di Indonesia pada
daerah urban dan rural berkisar antara 17-21%. Data secara nasional yang ada belum
lengkap. Sebagian besar penderita hipertensi di Indonesia tidak terdeteksi, sementara
mereka yang terdeteksi umumnya tidak menyadari kondisi penyakitnya, Sejumlah 85-
90 hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi primer
(hipertensi esensial atau idiopatik). Hanya sebagian kecil hipertensi yang dapat
ditetapkan penyebabnya (hipertensi sekunder).
Pada pasien hipertensi kronik diperkirakan sekitar 1-2% akan mengalami
krisis HT dalam kurun waktu hidupnya, diantaranya hipertensi emergensi
diperkirakan kurang lebih 25% kasus. Insiden tahunan hipertensi emergensi
diperkirakan sebanyak 1-2 kasus per 100.000 pasien. Faktor risiko yang paling
penting didapatkan pada krisis hipertensi adalah mereka yang tidak terdiagnosis atau
tidak patuh menjalani pengobatan. Mortalitas selama perawatan di rumah sakit pada
krisis hipertensi diperkirakan sebanyak 4-7%. Angka kematian dalam 1 tahun
diantara pasien dengan hipertensi emergensi mencapai angka lebih dari 79%.(32)

Table 1. Hipertensi Emergensi


37

Tabel 2. Presentasi gejala beserta komplikasi krisis hipertensi

Hipertensi emergensi dan urgensi perlu dibedakan dengan cara anamnesis dan
pemeriksaan fisik, karena baik faktor risiko dan penanggulangannya berbeda. Krisis
hipertensi bisa terjadi pada keadaan-keadaan sebagai berikut: akselerasi peningkatan
TD yang tiba-tiba, Hipertensi renovaskuler, glomerulonephritis akut, eclampsia,
phaeokromositoma, penderita hipertensi yang tidak meminum obat atau minum obat
anti-Hipertensi tidak teratur, trauma kepala, tumor yang mensekresi renin, dan minum
obat precursor cathecolamine (misalnya MAO inhibitor). Ketidakpatuhan terhadap
pengobatan merupakan faktor risiko terpenting krisis Hipertensi.(33)
4.1.3 Etiologi dan Faktor Resiko
Tekanan darah tinggi akan meningkatkan kerja jantung, dan seiring waktu, hal
ini dapat menyebabkan otot jantung menjadi lemah. Fungsi jantung sebagai pompa
terhadap peninggian tekanan darah di atrium kiri diperbesar ke bilik jantung dan
jumlah darah yang dipompa oleh jantung setiap menit (output jantung) menjadi turun,
dimana tanpa pengobatan, gejala-gejala kegagalan jantung kongestif dapat
berkembang.
Tekanan darah tinggi yang paling umum adalah faktor resiko untuk penyakit
jantung dan stroke. Iskemia dapat menyebabkan penyakit jantung (penurunan suplai
darah ke otot jantung pada kejadian angina pektoris dan serangan jantung) dari
peningkatan pasokan oksigen yang dibutuhkan oleh otot jantung yang lemah.
38

Tekanan darah tinggi juga memberikan kontribusi untuk perubahan dari dinding
pembuluh darah yang pada gilirannya dapat memperburuk aterosklerosis. Hal ini juga
akan meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke.(34)
Peningkatan tekanan darah selain disebabkan faktor keturunan, gaya hidup dan
hipertensi primer dapat juga disebabkan karena hipertensi sekunder akibat dari
penyakit, kelainan atau kondisi seperti:(35)
1. Penyakit Ginjal
Hipertensi sekunder yang terkait dengan ginjal disebut hipertensi ginjal (renal
hypertension). Gangguan ginjal yang paling banyak menyebabkan tekanan darah
tinggi adalah penyempitan arteri ginjal, yang merupakan pembuluh darah utama
penyuplai darah ke kedua organ ginjal. Bila pasokan darah menurun, ginjal akan
memproduksi berbagai zat yang meningkatkan tekanan darah.
2. Stress
Stress bisa memicu sistem saraf simpati sehingga meningkatkan aktivitas
jantung dan tekanan pembuluh darah.
3. Apnea
Obstructive sleep apnea (OSA) adalah gangguan tidur di mana penderita
berkali-kali berhenti bernafas (antara 10- 30 detik) selama tidur. Apnea biasanya
diderita oleh orang yang kegemukan dan diikuti dengan gejala lain seperti rasa kantuk
luar biasa di siang hari, mendengkur, sakit kepala pagi hari dan edema
(pembengkakan) di kaki bagian bawah. Separuh penderita apnea menderita
hipertensi, yang mungkin dipicu oleh perubahan hormon karena reaksi terhadap
penyakit dan stress yang ditimbulkannya.
4. Gangguan tiroid (Hiper/Hipotiroid)
Hipertiroid atau kelebihan hormon tiroid ditandai dengan mudah kepanasan
(merasa gerah), penurunan berat badan, jantung berdebar dan tremor. Hormon tiroid
yang berlebih merangsang aktivitas jantung, meningkatkan produksi darah, dan
meningkatkan resistensi pembuluh darah sehingga menimbulkan hipertensi.
39

Hipotiroid atau kekurangan hormon tiroid ditandai dengan kelelahan,


penurunan berat badan, kerontokan rambut dan lemah otot. Hubungan antara
kekurangan tiroid da hipertensi belum banyak diketahui, namun diduga bahwa
melambatnya metabolisme tubuh karena kekurangan tiroid mengakibatkan pembuluh
darah terhambat dan tekanan darah meningkat.
5. Preeklamsia
Preeklamsia adalah hipertensi karena kehamilan (gestationalhypertension)
yang biasanya terjadi pada trimester ketiga kehamilan. Preeklamsia disebabkan oleh
volume darah yang meningkat selama kehamilan dan berbagai perubahan hormonal.
Sekitar 5-10» kehamilan pertama ditandai dengan preeklamsia.
6. Koarktasi Aorta (Aorticcoarctation)
Koarktasi atau penyempitan aorta adalah kelainan bawaan yang menimbulkan
tekanan darah tinggi.
7. Gangguan Kelenjar Adrenal
Kelenjar adrenal berfungsi mengatur kerja ginjal dan tekanan darah. Bila salah
satu atau kedua kelenjar adrenal mengalami gangguan, maka dapat mengakibatkan
produksi hormon berlebihan yang meningkatkan tekanan darah.
4.1.4 Patofisiologi
Pada stadium permulaan hipertensi, hipertrofi yang terjadi adalah difus
(konsentrik). Rasio massa dan volume akhir diastolik ventrikel kiri meningkat tanpa
perubahan yang berarti pada fungsi pompa efektif ventrikel kiri. Pada stadium
selanjutnya, karena penyakit berlanjut terus, hipertrofi menjadi tak teratur, dan
akhimya akibat terbatasnya aliran darah koroner, menjadi eksentrik. Berkurangnya
rasio antara massa dan volume jantung akibat peningkatan volume diastolik akhir
adalah khas pada jantung dengan hipertrofi eksentrik. Hal ini diperlihatkan sebagai
penurunan secara menyeluruh fungsi pompa (penurunan ejeksi, peningkatan tegangan
dinding ventrikel pada saat sistolik, peningkatan konsumsi oksigen otot jantung, serta
penurunan efek mekanik pompa jantung). Diperburuk lagi bila disertai dengan
penyakit jantung koroner.
40

Walaupun tekanan perfusi koroner meningkat, tahanan pembuluh koroner


juga meningkat sehingga cadangan aliran darah koroner berkurang. Perubahan
hemodinamik sirkulasi koroner pada hipertensi berhubungan erat dengan derajat
hipertrofi otot jantung.(36)
Ada 2 faktor utama penyebab penurunan cadangan aliran darah koroner, yaitu :(37)
1. Penebalan arteriol koroner, yaitu bagian dari hipertrofi umum otot polos
pernbuluh darah resistensi arteriol (arteriolar resistance vessels) seluruh
badan. Kemudian terjadi retensi garam dan air yang mengakibatkan
berkurangnya compliance pembuluh ini dan meningkatnya tahanan perifer.
2. Peningkatan hipertrofi mengakibatkan berkurangnya kepadatan kapiler per
unit otot jantung bila timbul hipertrofi eksentrik. Peningkatan jarak difusi
antara kapiler dan serat otot yang hipertrofi menjadi faktor utama pada
stadium lanjut dan gambaran hemodinamik ini.
Jadi faktor koroner pada hipertensi berkembang menjadi akibat penyakit,
meskipun tampak sebagai penyebab patologis yang utama dan gangguan aktivitas
mekanik ventrikel kiri. Peningkatan tekanan darah secara sistemik meningkatkan
resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri, sehingga beban jantung
bertambah. Sebagai akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel kiri untuk meningkatkan
kontraksi. Hipertrofi ini ditandai dengan ketebalan dinding yang bertambah, fungsi
ruang yang memburuk, dan dilatasi ruang jantung. Akan tetapi kemampuan ventrikel
untuk mempertahankan curah jantung dengan hipertrofi kompensasi akhirnya
terlampaui dan terjadi dilatasi dan payah jantung. Jantung semakin terancam seiring
parahnya aterosklerosis koroner. Angina pectoris juga dapat terjadi kerana gabungan
penyakit arterial koroner yang cepat dan kebutuhan oksigen miokard yang bertambah
akibat penambahan massa miokard.
41

Endothelium berperan sentral pada homeostasis TD, oleh karenanya berperan


penting pada pathofisiologi krisis Hipertensi. Pada kondisi normotensi dan Hipertensi
kronis, endothelium mengontrol resistensi vaskuler dengan melepaskan vasodilator
endogen (nitric oxide=NO, prostacyclin=PGI2). Pada Hipertensi urgensi, perubahan
akut resistensi vaskuler akan terjadi sebagai respon produksi berlebih cathecolamines,
angiotensin II (ang II), vasopressin (ADH), aldosteron, thromboxane (TxA2), dan
endothelin-1 (ET-1), atau berkurangnya produksi vasodilator endogen (NO, PGI2).
Peningkatan TD yang akut atau berat juga akan mendorong endothelium
mengekspresikan cellular adhesion molecules (CAMs). Pada kondisi Hipertensi
emergensi, terjadi ketidak-mampuan kontrol endothelium terhadap tonus vaskuler,
sehingga terjadi breakthrough hyperperfusion pada organ target, nekrosis fibrinoid
arteriolar, dan peningkatan permeabilitas endotheliaum disertai edema perivaskuler.
Berkurangnya aktivitas fibrinolitik endothelium bersamaan dengan aktivasi koagulasi
dan agregasi platelet mengakibatkan terjadinya disseminated intravascular
coagulation (DIC).
42

Mekanisme awal yang memicu kerusakan endothelial melibatkan penyebab


yang multifaktorial, antara lain: cidera mekanikal, aktivasi sistem renin-angiotensin
(reninangiotensin system=RAS), stress oksidatif dan produksi sitokin pro-inflamasi.
Terjadinya cedera endothelial vaskuler berakibat pada hilangnya kemampuan
antithrombotik endothel, aktivasi platelet dan kaskade koagulasi, peningkatan
permeabilitas dinding vaskuler dan proliferasi sel otot polos vaskuler yang berakhir
dengan nekrosis fibrinoid. Kombinasi antara aktivasi sistem hormonal dan pelepasan
bahan vasoaktif (RAS, catecholamine, endothelin, vasopressin) mengakibatkan
lingkaran setan antara terjadinya peningkatan TD dan cedera vaskuler. Pasien dengan
hipertensi emergensi berkaitan dengan peningkatan biomarker inflamasi, koagulasi,
aktivasi platelet dan fibrinolisis. Sebaliknya, pasien dengan hipertensi urgensi
menunjukkan biomarker yang tidak berbeda dengan kontrol normotensi.(38)
Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi adalah satu hal komplek yang
melibatkan banyak faktor yang saling mempengaruhi, yaitu hemodinamik, struktural,
neuroendokrin, seluler, dan faktor molekuler. Di satu sisi, faktor-faktor ini memegang
peranan dalam perkembangan hipertensi dan komplikasinya, di sisi lain peningkatan
tekanan darah itu sendiri dapat memodulasi faktor-faktor tersebut. Adapun
patofisiologi berbagai manifestasi hipertensi terhadap jantung berbeda-beda dan akan
dijelaskan berikut satu persatu.
1. Hipertrofi ventrikel kiri
Hipertrofi ventrikel kiri (left ventricular hypertrophy / LVH) terjadi pada 15-
20% penderita hipertensi dan risikonya meningkat 2 kali lipat pada pasien obesitas.
Hipertrofi ventrikel kiri adalah pembesaran massa pada ventrikel (bilik) kiri jantung.
Hal ini merupakan respon sel miosit terhadap stimulus yang menyertai peningkatan
tekanan darah. Hipertrofi miosit terjadi sebagai mekanisme kompensasi peningkatan
tekanan afterload. Stimulus mekanis dan neurohormonal yang menyertai hipertensi
akan mengaktivasi pertumbuhan sel miokard, ekspresi gen dan berujung kepada
hipertrofi ventrikel kiri. Selain itu aktivasi sistem renin-angiotensin akan
menyebabkan pertumbuhan interstitium dan komponen sel matriks.
43

Beberapa bentuk hipertrofi ventrikel kiri di antaranya hipertrofi ventrikel kiri


konsentrik dan hipertrofi ventrikel kiri ekstenstrik. Pada hipertrofi ventrikel kiri
konsentrik terjadi peningkatan massa dan ketebalan serta volume dan tekanan sistolik.
Pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri konsentrik umumnya memiliki prognosis yang
lebih buruk. Adapun pada hipertrofi ventrikel kiri eksentrik terjadi peningkatan hanya
pada lokasi tertentu, misalnya daerah septal.(33,34)
2. Kelainan atrium kiri
Walaupun sering tidak terduga, abnormalitas atrium kiri umum terjadi pada
pasien dengan hipertensi. Abnormalitas atrium kiri ini meliputi perubahan struktural
dan fungsi,. Hipertensi akan meningkatkan volume diastolik akhir (end diastolic
volume /EDV) di ventrikel kiri sehingga atrium kiri pun akan mengalami perubahan
fungsi dan peningkatan ukuran. Peningkatan ukuran atrium kiri tanpa disertai
gangguan katup atau disfungsi sistolik biasanya menunjukkan hipertensi yang sudah
berlangsung lama / kronis dan berhubungan dengan derajat keparahan disfungsi
diastolik ventrikel kiri. Perubahan struktur atrium ini menjadi faktor predisposisi
terjadinya atrial fibrilasi pada pasien-pasien tersebut. Atrial fibrilasi, dengan
hilangnya kontribusi atrium pada disfungsi diastolik, dapat memperbesar
kemungkinan terjadinya gagal jantung. (33,34)
3. Gangguan katup
Meskipun penyakit katup tidak menyebabkan penyakit jantung hipertensi,
hipertensi yang kronik dan berat dapat menyebabkan dilatasi cincin katup aorta, yang
menyebabkan terjadinya insufisiensi aorta signifikan. Beberapa derajat perubahan
perdarahan secara signifikan akibat insufisiensi aorta sering ditemukan pada pasien
dengan hipertensi yang tidak terkontrol. Peningkatan tekanan darah yang akut dapat
menentukan derajat insufisiensi aorta, yang akan kembali ke dasar bila tekanan darah
terkontrol secara lebih baik. Sebagai tambahan, selain menyebabkan regurgitasi aorta,
hipertensi juga diperkirakan dapat mempercepat proses sklerosis aorta dan
menyebabkan regurgitasi mitral. (33,34)
44

4. Gagal jantung
Pada pasien hipertensi, tekanan dalam lumen aorta sangat tinggi sehingga
ventrikel kiri akan melakukan kompensasi menghadapi tekanan tersebut. Dengan
adanya faktor neurohormonal otot jantung kiri akan mengalami penebalan konsentrik
(hipertrofi konsentrik). Fungsi diastolik mulai terganggu akibat dari gangguan
relaksasi ventrikel kiri, sehingga terjadi dilatasi ventrikel kiri akibat penimbunan
darah yang berlebih. Pada awalnya dilatasi ventrikel itu memenuhi hukum starling,
dimana peningkatan volume diastolik akan menambah kekuatan kontraksi otot
jantung. Namun jika isi ventrikel bertambah melebihi batas, maka kekuatan kontraksi
dari otot jantung juga akan menui tidak bisa memompakan darah memenul oksigen di
seluruh tubuh.
Gagal jantung merupakan komplikasi yang sering terjadi pada hipertensi
kronis. Pasien dengan hipertensi dapat menunjukkan gejala-gejala gagal jantung
namun dapat juga bersifat asimptomatis (tanpa gejala). Prevalensi (gagal jantung)
disfungsi diastolik asimptomatis pada pasien hipertensi tanpa disertai hipertrofi
ventrikel kiri adalah sebanyak 33%. Penurunan tekanan afterload kronik dan
hipertrofi ventrikel kiri dapat mempengaruhi fase relaksasi dan pengisian diastolik
ventrikel
Disfungsi diastolik sering terjadi pada penderita hipertensi, dan terkadang
disertai hipertrofi ventrikel kiri. Hal ini disebabkan oleh peningkatan tekanan
afterload, penyakit arteri koroner, penuaan, disfungsi sistolik dan fibrosis. Disfungsi
sistolik asimptomatis biasanya mengikuti disfungsi diastolik. Setelah beberapa lama,
hipertrofi ventrikel kiri gagal mengkompensasi peningkatan tekanan darah sehingga
lumen ventrikel kiri berdilatasi untuk mempertahankan cardiac output. Lama
kelamaan, fungsi sistolik ventrikel kiri akan menurun. Penurunan ini mengaktifkan
sistem neurohormonal dan renin-angiontensin, sehingga meretensi garam dan air dan
meningkatkan vasokonstriksi perifer, yang akhirnya malah memperburuk keadaan
dan menyebabkan disfungsi sistolik. (33,34)
45

5. Iskemia otot jantung


Pada pasien hipertensi dapat timbul iskemia miokard yang bermanifestasi
sebagai nyeri dada / angina pektoris. Hal ini dikarenakan hipertensi menyebabkan
peningkatan tekanan di ventrikel kiri dan transmural, peningkatan beban kerja yang
mengakibatkan hipertrofi ventrikel kiri. Suplai oksigen yang tidak sanggup
memenuhi kebutuhan otot jantung yang membesar akan menyebabkan nyeri dada.
Hal ini diperparah jika terdapat penyulit seperti aterosklerosis.
6. Aritmia jantung
Aritmia kardiak umumnya ditemukan pada pasien dengan hipertensi yang
mengalami atrial fibrilasi kontraksi ventrikel yang prematur dan ventrikuler takikardi.
Resiko henti jantung mendadak dapat meningkat. Berbagai metabolisme
diperkirakan memegang peranan dalam patogenesis aritmia termasuk perubahan
struktur dan metabolisme sel, ketidakhomogen miokard, perfusi yang buruk, fibrosis
miokard dan fluktuasi pada afterload. Semua faktor tersebut dapat menyebabkan
peningkatan resiko ventrikel takiaritmia.
Atrial fibrilasi (paroksisimal, kronik rekuren, atau kronik persisten), sering
ditemukan pada pasien dengan hipertensi. Faktanya, peningkatan tekanan darah
merupakan faktor umum bagi atrial fibrilasi. Pada suatu penelitian hampir 50%
pasien dengan atrial fibrilasi mengidap hipertensi walaupun etiologi yang pasti tidak
diketahui, abnormalitas struktur atrium kiri, penyakit arteri koroner, dan LVH telah
dianggap sebagi faktor yang mungkin berperan. Perkembangan atrial fibrilasi dapat
menyebabkan disfungsi sistolik dekompensata, dan yang lebih penting, disfungsi
diastolik, menyebabkan hlangnya kontraksi atrium, dan juga meningkatkan resiko
komplikasi tromboembolik, khususnya stroke.
Kontraksi ventrikuler prematur, ventrikuler aritmia dan henti jantung
mendadak ditemukan lebih sering pada pasien dengan LVH daripada pasien tanpa
LVH. Penyebab arimitmia tersebut dianggap terjadi bersama-sama dengan penyakit
arteri koroner dan fibrosis miokard.(33,34)
46

4.1.5 Klasifikasi
Penyakit jantung hipertensi diklasifikasikan oleh tingkat keparahan
komplikasi.Ini berkisar dari disfungsi diastolik ringan tanpa gejala sampai gagal
jantung dengan fraksi ejeksi yang diawetkan (HFpEF) atau berkurang
(HFrEF).Hipertensi paling mungkin menyebabkan LVH dan HF pada pasien kulit
hitam dan pasien dengan CKD. Klasifikasi Penyakit Jantung Hipertensi adalah
sebagai berikut: (21,22)
 Kelas I: Disfungsi diastolik subklinis dengan ekokardiografi tanpa hipertrofi
ventrikel kiri (pasien asimptomatik dengan kekakuan relaksasi ventrikel kiri
abnormal oleh ekokardiografi Droppler, penemuan umum individu
hipertensi> 65 tahun
 Kelas II: Hipertrofi ventrikel kiri
- IIA: dengan kapasitas fungsi normal (NYHA kelas I)
- IIB: dengan kapasitas fungsional abnormal (NYHA Class> II)
 Kelas III: Gagal Jantung dengan fraksi Ejeksi yang diawetkan (HFpEF)
 Kelas IV: Gagal Jantung dengan fraksi ejeksi berkurang (HFrEF)
4.1.6 Manifestasi Klinis
Pada stadium dini hipertensi, tampak tanda-tanda akibat rangsangan simpatis
yang kronik. Pada tahap awal, seperti hipertensi pada umumnya kebanyakan pasien
tidak ada keluhan. Bila simtomatik, maka biasanya disebabkan oleh peninggian
tekanan darah itu sendiri dapat bermanifestasi seperti berdebar-debar, rasa melayang
(dizzy) bahkan impotensi, cepat lelah, sesak napas, sakit dada, bengkak kedua kaki
atau perut. Gangguan vaskular lainnya adalah epistaksis, hematuria, pandangan kabur
karena perdarahan retina, transient cerebral ischemic dapat terjadi.
Gejala penyakit dasar yang mejadi penyebab hipertensi pada hipertensi
sekunder seperti : polidipsia, poliuria, kelemahan otot pada aldosteronisme primer,
peningkatan berat badan cepat dengan emosi yang labil pada sindrom Cushing.
Feokromositoma dapat muncul dengan keluhan episode sakit kepala, palpitasi,
47

banyak keringat, dan rasa melayang saat berdiri (postural dizzy) Jantung berdenyut
cepat dan kuat, terjadi hipersirkulasi yang mungkin diakibatkan peningkatan aktivitas
sistem neurohumoral disertai hipervolemia.(21)
Pada stadium selanjutnya, timbul mekanisme kompensasi pada otot jantung
berupa hipertrofi ventrikel kiri yang difus dan peningkatan tahanan pembuluh darah
perifer. Pemeriksaan yang paling sederhana adalah palpasi. Pada hipertrofi konsentrik
lama, iktus bertambah. Bila telah terjadi dilatasi ventrikel kiri, iktus kordis bergeser
ke kiri bawah. Pada auskultasi pasien dengan hipertrofi konsentrik dapat ditemukan
S4 dan bila sudah terjadi dilatasi jantung didapatkan tanda-tanda insufisiensi mitral
relatif.
Timbulnya iskemia miokard menunjukkan tidak seimbangnya supply O2
miokard dengan demand O2. Hipertensi bersama-sama faktor resiko lain
mempercepat terjadinya penyakit jantung koroner. Penderita hipertensi lebih sering
menunjukkkan silent ischemia dan painless Myocardial Infarct. Dibanding tensi
normal akibat sensitivitas terhadap rasa sakit berkurang. Kenaikan tekanan darah
yang akut dapat menjadi pemicu Angina. Tekanan darah yang turun mendadak jika
terjadi miokard infark yang luas disertai fungsi pompa yang menurun. Gambaran
klinis seperti sesak napas adalah salah satu gejala gangguan fungsi diastolik dan
peningkatan tekanan pengisian ventrikel walaupun fungsi sistolik masih normal. Bila
berkembang terus, terjadi hipertrofi eksentrik dan akhimya menjadi dilatasi ventrikel
kemudian timbul gejala payah jantung. Stadium ini kadangkala disertai dengan
gangguan sirkulasi pada cadangan aliran darah koroner dan akan memperburuk
kelainan fimgsi mekanik/pompa jantung yang selektif.(21,22)
4.1.7 Pemeriksaan Penunjang
Pada foto toraks posisi PA pasien hipertrofi konsentrik, besar jantung dalam
batas normal. Pembesaran jantung ke kiri terjadi bila sudah ada dilatasi ventrikel kiri.
Terdapat elongasi aorta pada hipertensi yang kronik dan tanda-tanda bendungan
pembuluh paru pada stadium payah jantung hipertensi.(11)
48

Gambar 1 Gambaran Radiologis pasian HHD

Tanda-tanda radiologis HHD pada foto thorax (PA) adalah seperti berikut (11):
 Keadaan awal batas kiri bawah jantung menjadi bulat karena hipertrofi
konsentrik ventrikel kiri.
 Pada keadaan lanjut, apeks jantung membesar ke kiri dan ke bawah.
 Aortic knob membesar dan menonjol disertai kalsifikasi.
 Aorta ascenden dan descenden melebar dan berkelok, ini disebut
pemanjangan/elongatio aorta.
Gagal Jantung Kiri
 Pada foto thorax gagal jantung, terlihat perubahan corakan vaskuler paru:
 Distensi vena di lobus superior, bentuknya menyerupai huruf Y, dengan
cabang lurus mendatar ke lateral.
 Batas hilus pulmo terlihat kabur.
 Menunjukkan adanya edema pulmonum keadaan awal.
 Terdapat tanda-tanda edema pulmonum, meliputi edema paru interstisial.(11)
49

Edema interstisial
Edema ini menimbulkan septal lines yang dikenal sebagai Kerley's lines,yang
ada 4 jenis, yaitu:
 Kerley A: garis panjang di lobus superior paru, berasal dari daerah hilus
menuju ke atas dan perifer.
 Kerley B: garis-garis pendek dengan arah horizontal tegak lurus padag
dinding pleura dan letaknya di lobus inferior, paling mudah terlihat karena
letaknya tepat di atas sinus costophrenicus. Garis ini adalah yang paling
mudah ditemukan pada keadaan gagal jantung.
 Kerley C: garis-garis pendek, bercabang, ada di lobus inferior. Perlu
pengalaman untuk melihatnya, karena hampir sama dengan pembuluh darah.
 Kerley D: garis-garis pendek, horizontal, letaknya retrosternal. Hanya tampak
pada foto lateral. (3)
Edema Alveoler
Terjadi pengurangan lusensi paru yang difus mulai dari hilus sampaij perifer
bagian atas dan bawah. Gambaran ini dinamakan butterfly appearance/butterfly
pattern, atau bat's wing pattern. Batas kedua hilus menjadi kabur (4).
Pemeriksaan laboratorium darah rutin yang diperlukan adalah Ht serta ureum
dan kreatinin untuk menilai fungsi ginjal. Selain itu juga elektrolit untuk
melihat kemungkinan adanya kelainan hormonal aldosteron. Pemeriksaan
laboratorium urinalisis juga diperlukan untuk melihat adanya kelainan pada ginjal.
Pemeriksaan TSH : bisa meningkat pada pasien dengan hipotiroidisme dan menurun
pada hipertiroidisme. Pemeriksaan histologis dapat menemukan tanda brutto dan
lintas bagian yang terkena serangan jantung artery atherosclerosis dan myocvle
hypertrophy (13).
CT scan, MRI, dan MRA (magnetic resonance angiografi) abdomen dan
dada: memperlihatkan adanyamassa adrenal atau membuktikan adanya koarktasis
50

aorta. CT scan dan MRI jantung, walaupun tidak dilakukan secara rutin telah
membuktikan secara eksperimental terjadinya LVH. Pada EKG tampak tanda-tanda
hipertrofi ventrikel kiri dan strain. Ekokardiografi dapat mendeteksi hipertrofi
ventrikel kiri secara dini mencakup kelainan anatomik dan fungsional jantung pasien
hipertensi asimtomatik yang belum didapatkan kelainan pada EKG
dan radiologi. Perubahan-perubahan yang dapat terlihat adalah sebagai berikut (13):

 Tanda-tanda hipersirkulasi pada stadium dini, seperti hiperkinesis,


hipervolemia.
 Hipertrofi yang difus (konsentrik) atau yang iregular eksentrik.
 Dilatasi ventrikel yang dapat merupakan tanda-tanda payah jantung, serta
tekanan akhir diastolik ventrikel kiri meningkat.
 Tanda-tanda iskemia seperti hipokinesis dan pada stadium lanjut adanya
diskinetik.
4.1.8 Diagnosis
Pemeriksaan awal pasien hipertensif harus menyertakan riwayat lengkap dan
pemeriksaan fisik untuk mengkonfirmasi diagnosis hipertensi, menyaring faktor-
faktor risiko penyakit kardiovaskular lain, menyaring penyebab-penyebab sekunder
hipertensi, mengidentifikasi konsekuensi kardiovaskular hipertensi dan komorbiditas
lain, memeriksa gaya hidup terkait-tekanan darah, dan menentukan potensi intervensi.
(39)
Sebagian besar pasien dengan hipertensi tidak memiliki gejala spesifik yang
dapat dikaitkan dengan peningkatan tekanan darah mereka. Walaupun popular
dianggap sebagai gejala peningkatan tekanan arterial, sakit kepala lazim terjadi hanya
pada pasien dengan hipertensi berat. Suatu sakit kepala hipertensif khas terjadi pada
waktu pagi dan berlokasi di regio oksipital. Gejala nonspesifik lain yang dapat
berkaitan dengan peningkatan tekanan darah antara lain adalah rasa pusing, palpitasi,
rasa mudah lelah, dan impotensi. Ketika gejala-gejala didapati, mereka umum
51

berhubungan dengan penyakit kardiovaskular hipertensif atau dengan manifestasi


hipertensi sekunder.(39)

Tabel 2 Anamnesis pada pasien HHD

 Pengukuran tekanan darah


Pengukuran tekanan darah yang terpercaya tergantung pada perhatian
terhadap detail mengenai teknik dan kondisi pengukuran. Karena peraturan terkini
yang melarang penggunaan merkuri karena perhatian mengenai toksisitas
potensialnya, sebagian besar pengukuran kantor dibuat menggunakan instrument
aneroid. Akurasi instrumen pengukur tekanan darah terotomatisasi harus
dikonfirmasi. Sebelum pengukuran tekanan darah, individu harus didudukkan selama
5 menit dalam kondisi hening dan dengan privasi yang terjaga serta temperatur yang
nyaman. Bagian tengah cuff harus berada sejajar jantung, dan lebar cuff harus setara
52

dengan sekurang-kurangnya 40% lingkar lengan. Penempatan cuff, penempatan


stetoskop, dan kecepatan deflasi cuff (2 mmHg/detik) penting untuk diperhatikan.
Tekanan darah sistolik adalah yang pertama dari sekurang-kurangnya dua ketukan
suara Korotkoff regular, dan tekanan darah diastolik adalah titik di mana suara
Korotkoff regular terakhir didengar. Dalam praktik saat ini, diagnosis hipertensi
umumnya dilandasi oleh pengukuran dalam kondisi duduk di tempat praktik (1).
Monitor ambulatorik yang tersedia sekarang adalah sepenuhnya otomatis,
menggunakan tekhik osilometrik, dan umumnya diprogram untuk membuat
pembacaan setiap 15-30 menit. Namun pengawasan tekanan darah ambulatorik
tidaklah sering digunakan secara rutin di praktik klinis dan lazim disimpan bagi
pasien yang dicurigai mengalami white coat hypertension (1).
 Pemeriksaan fisik
Habitus tubuh, seperti tinggi dan berat badan, harus dicatat. Pada pemeriksaan
awal, tekanan harus diukur pada kedua lengan, dan lebih baik pada posisi terlentang,
duduk dan berdiri untuk mengevaluasi keberadaan hipotensi postural. Bahkan jika
nadi femoral teraba normal, tekanan arterial harus diukur sekurangnya sekali pada
ekstremitas inferioir pada pasien di mana hipertensi ditemui sebelum usia 30 tahun.
Kecepatan detak jantung juga harus dicatat. Individu hipertensif memiliki
peningkatan prevalensi untuk mengalami fibrilasi atrial. Leher harus dipalpasi untuk
mencari pembesaran kelenjar tiroid, dan para pasien harus diperiksa untuk tanda-
tanda hipo dan hipertiroidisme.
Pemeriksaan pembuluh darah dapat menyediakan petunjuk mengenai penyakit
vaskular yang mendasari dan harus menyertakan pemeriksaan funduskopik,
auskultasi untuk bruit di arteri karotid dan femoral, dan palpasi denyut nadi femoral
dan pedal (pedis). Retina adalah satu- satunya jaringan di mana arteri dan arteriol
dapat diamati secara langsung. Seiring peningkatan tingkat keparahan hipertensi dan
penyakit atherosklerotik, perubahan funduskopik progresif antara lain seperti
peningkatan refleks cahaya arteriolar, defek perbandingan arteriovenous,
hemorrhagi dan eksudat, dan, pada pasien dengan hipertensi maligna, papiledema.
53

Pemeriksaan pada jantung dapat mengungkapkan bunyi jantung kedua yang menguat
karena penutupan katup aorta dan suatu gallop S4 yang dikarenakan kontraksi artrium
terhadap ventrikel kiri yang tidak seiring. Hipertropi ventrikel kiri dapat terdeteksi
melalui keberadaan impuls apikal yang menguat, bertahan, dan bertempat di lateral.
Suatu bruit abdominal, terutama bruit yang berlateralisasi dan terjadi selama sistole
ke diastole, meningkatkan kemungkinan hipertensi renovaskular. Ginjal pasien
dengan penyakit ginjal polikistik dapat dipalpasi di abdomen. Pemeriksaan fisik harus
menyertakan pemeriksaan tanda-tanda CHF (Chronic Heart Failure) dan
pemeriksaan neurologis (13,14).
 Tes laboratorium
Tabel dibawah ini mencantumkan tes-tes laboratorium yang
direkomendasikan dalam evaluasi awal pasien hipertensif. Pengukuran fungsi ginjal
berulang, elektrolit serum, glukosa puasa, dan lipid dapat dilakukan setelah
pemberian agen antihipertensif baru dan kemudian tiap tahun, atau lebih sering bila
diindikasikan secara klinis. Tes laboratorium yang lebih ekstensif dapat dilakukan
bagi pasien dengan hipertensi resistan- pengobatan yang nyata atau ketika evaluasi
klinis menunjukkan bentuk hipertensi sekunder (4,11-14).
Tabel 3 Pemeriksaan Penunjang pasien HHD
54

4.1.9 Diagnosis Banding


 Coronary Artery Atherosclerosis
 Hypertrophic cardiomyopathy
 Jantung atlet (dengan LVH)
 Fibrilasi atrium karena etiologi lain
 Disfungsi diastolic karena etiologi lain
 Sleep apnea (15).
4.1.10 Talaksanaan
Pengobatan ditujukan untuk menurunkan tekanan darah menjadi normal,
mengobati payah jantung karena hipertensi, mengurangi morbiditas dan mortalitas
terhadap penyakit kardiovaskular, dan menurunkan faktor risiko terhadap penyakit
kardiovaskular semaksimal mungkin. Untuk menurunkan tekanan darah dapat
ditinjau 3 faktor fisiologis yaitu, menurunkan isi cairan intravaskular dan Na darah
dengan diuretik, menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan respons
55

kardiovaskular terhadap rangsangan adrenergik dengan obat dari golongan


antisimpatis, dan menurunkan tahanan perifer dengan obat vasodilator (16).
 Terapi Farmakologis
Terapi obat direkomendasikan bagi individu dengan penyakit jantung
hipertnsif dengan tekanan darah 140/90 mmHg keatas. Derajat keuntungan yang
diperoleh dari agen-agen antihipertensif berhubungan dengan besarnya reduksi
tekanan darah. Penurunan tekanan darah sistolik sebesar 10-12 mmHg dan tekanan
darah diastolik sebesar 5-6 mmHg bersama-sama memberikan reduksi risiko sebesar
35-40% untuk stroke dan 12-16% untuk CHD dalam 5 tahun dari mula
penatalaksanaan. Risiko gagal jantung berkurang sebesar >50%. Terdapat variasi
yang nyata dalam respon individual terhadap kelas-kelas agen antihipertensif yang
berbeda, dan besarnya respon terhadap agen tunggal apapun dapat dibatasi oleh
aktivasi mekanisme counter-regulasi yang melawan efek hipotensif dari agen
tersebut. Pemilihan agen-agen antihipertensif, dan kombinasi agen-agen, harus
dilakukan secara individual, dengan pertimbangan usia, tingkat keparahan hipertensi,
faktor-faktor risiko penyakit kardiovaskular lain, kondisi komorbid, dan
pertimbangan praktis yang berkenaan dengan biaya, efek samping, dan frekuensi
pemberian obat (16-18).
1. Diuretik
Diuretik thiazide dosis-rendah sering digunakan sebagai agen lini pertama,
sendiri atau dalam kombinasi dengan obat antihipertensif lain. Thiazide menghambat
pompa Na+/CI- di tubulus konvultus distal sehingga meningkatkan ekskresi natrium.
Dalam jangka panjang, mereka juga dapat berfungsi sebagai vasodilator. Thiazide
bersifat aman, memiliki efikasi tinggi, dan murah serta mengurangi kejadian klinis.
Mereka memberikan efek penurunan-tekanan darah tambahan ketika dikombinasikan
dengan beta blocker, ACE inhibitor, atau penyekat reseptor angiotensin. Sebaliknya,
penambahan diuretik terhadap penyekat kanal kalsium adalah kurang efektif. Dosis
biasa untuk hydrochlorothiazide berkisar dari 6.25 hingga 50 mg/hari. Karena
peningkatan insidensi efek samping metabolik (hipokalemia, resistansi insulin,
56

peningkatan kolesterol), dosis yang lebih tinggi tidaklah dianjurkan. Dua diuretik
hemat kalium, amiloride dan triamterene, bekerja dengan menghambat kanal natrium
epitel di nefron distal. Agen-agen ini adalah agen antihipertensif yang lemah namun
dapat digunakan dalam kombinasi dengan thiazide untuk melindungi terhadap
hipokalemia. Target farmakologis utama untuk diuretik loop adalah kotransporter
Na+-K+-2C1- di lengkung Henle ascenden tebal. Diuretik loop umumnya dicadangkan
bagi pasien hipertensif dengan penurunan kecepatan filtrasi glomerular [kreatinin
serum refleksi >220 mol/L (>2.5 mg/dL)], CHF, atau retensi natrium dan edema
karena alasan-alasan lain seperti penatalaksan dengan vasodilator yang poten, seperti
monoxidil. (16-18)
 Penyekat sistem renin-angiotensin
ACE inhibitor mengurangi produksi angiotensin II, meningkatkan kadar
bradikinin, dan mengurangi aktivitas sistem saraf simpatis. Penyekat reseptor
angiotensin II menyediakan blokade reseptor AT1 secara selektif, dan efek
angiotensin II pada reseptor AT2 yang tidak tersekat dapat menambah efek hipotensif.
Kedua kelas agen-agen ini adalah agen antihipertensif yang efektif yang dapat
digunakan sebagai terapi tunggal atau dalam kombinasi dengan diuretik, antagonis
kalsium, dan agen-agen penyekat alfa. Efek samping ACE inhibitor dan penyekat
reseptor angiotensin antara lain adalah insufisiensi ginjal fungsional karena dilatasi
arteriol eferen ginjal pada ginjal dengan lesi stenotik pada arteri renalis. Kondisi-
kondisi predisposisi tambahan terhadap insufisiensi ginjal yang diinduksi oleh agen-
agen ini antara lain adalah dehidrasi, CHF, dan penggunaan obat- obat antiinflamasi
non steroid. Batuk kering terjadi pada ~15% pasien, dan angioedema terjadi pada
<1% pasien yang mengkonsumsi ACE inhibitor. Angioedema paling sering terjadi
pada individu yang berasal dari Asia dan lebih lazim terjadi pada orang Afrika
Amerika dibanding orang Kaukasia. Hiperkalemia yang disebabkan
hipoaldosteronisme merupakan efek samping yang kadang terjadi baik pada
penggunaan ACE inhibitor maupun penyekat reseptor angiotensin.(16-18)
 Antagonis aldosteron
57

Spironolakton adalah antagonis aldosteron nonselektif yang dapat digunakan


sendiri atau dalam kombinasi dengan diuretik thiazide. Ia adalah agen yang terutama
efektif pada pasien dengan hipertensi esensial rendah-renin, hipertensi resistan, dan
aldosteronisme primer. Pada pasien dengan CHF, spironolakton dosis rendah
mengurangi mortalitas dan perawatan di rumah sakit karena gagal jantung ketika
diberikan sebagai tambahan terhadap terapi konvensional dengan ACE inhibitor,
digoxin, dan diuretik loop. Karena spironolakton berikatan dengan reseptor
progesteron dan androgen, efek samping dapat berupa ginekomastia, impotensi, dan
abnormalitas menstruasi. Efek-efek samping ini dihindari oleh agen yang lebih baru,
eplerenone, yang merupakan antagonis aldosteron selektif. Eplerenone baru-baru ini
disetujui di US untuk penatalaksanaan hipertensi (16-18).

 Beta blocker
Penyekat Beta mengurangi tekanan darah melalui penurunan curah jantung,
karena reduksi kecepatan detak jantung dan kontraktilitas. Mekanisme lain yang
diajukan mengenai bagaimana beta blocker mengurangi tekanan darah adalah efek
pada sistem saraf pusat, dan inhibisi pelepasan renin. Beta blocker terutama efektif
pada pasien hipertensif dengan takikardia, dan potensi hipotensif mereka dikuatkan
oleh pemberian bersama diuretik. Pada dosis yang lebih rendah, beberapa beta
blocker secara selektif menghambat reseptor1 jantung dan kurang memiliki pengaruh
pada reseptor 2 pada sel-sel otot polos bronkus dan vaskular, namun tampak tidak
terdapat perbedaan pada potensi antihipertensif beta blocker kardio selektif dan non
kardio selektif. Beta blocker tertentu memiliki aktivitas simpatomimetik intrinsik, dan
tidaklah jelas apakah aktivitas ini memberikan keuntungan atau kerugian dalam terapi
jantung. Beta blocker tanpa aktivitas simpatomimetik intrinsik mengurangi tingkat
kejadian kematian mendadak (sudden death), mortalitas keseluruhan, dan infark
58

miokardium rekuren. Pada pasien dengan CHF, beta blocker telah dibuktikan
mengurangi risiko perawatan di rumah sakit dan mortalitas. Carvedilol dan labetalol
menyekat kedua reseptor 1 dan 2 serta reseptor adrenergik perider. Keuntungan
potensial dari penyekatan kombinasi dan adrenergik dalam penatalaksanaan
hipertensi masih perlu ditentukan.(16-18)
 Blocker adrenergik
Antagonis adrenoreseptor selektif postsinaptik mengurangi tekanan darah
melalui penurunan resistansi vaskular perifer. Mereka adalah agen antihipertensif
yang efektif, yang digunakan sebagai monoterapi maupun dalam kombinasi dengan
agen-agen lain. Namun dalam uji klinis pada pasien hipertensif, penyekatan alfa tidak
terbukti mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular ataupun menyediakan
perlindungan terhadap CHF sebesar kelas-kelas agen antihipertensif lain. Agen-agen
ini juga efektif dalam menangani gejala. tractus urinarius bawah pada pria dengan
hipertropi prostat. Antagonis adrenoreseptor nonselektif berikatan dengan reseptor
postsinaptik dan presinaptik dan terutama digunakan untuk penatalaksanaan pasien
dengan pheokromositoma (16-18).
Tabel 4 Obat Anti Hipertensi Oral
59
60

 Perubahan gaya hidup


Implementasi gaya hidup yang mempengaruhi tekanan darah memiliki
pengaruh baik pada pencegahan maupun penatalaksanaan hipertensi. Modifikasi gaya
hidup yang meningkatkan kesehatan direkomendasikan bagi individu dengan
prehipertensi dan sebagai tambahan untuk terapi obat pada individu hipertensif.
Intervensi- intervensi ini harus diarahkan untuk mengatasi risiko penyakit
kardiovaskular secara keseluruhan. Walaupun efek dari intervensi gaya hidup pada
tekanan darah adalah jauh lebih nyata pada individu dengan hipertensi, pada uji
jangka-pendek, penurunan berat badan dan reduksi NaCI diet juga telah terbukti
mencegah perkembangan hipertensi. Pada individu hipertensif, bahkan jika
intervensi-intervensi ini tidak menghasilkan reduksi tekanan darah yang cukup untuk
menghindari terapi obat, namun jumlah pengobatan atau dosis yang diperlukan untuk
kontrol tekanan darah dapat dikurangi. Modifikasi diet yang secara efektif
mengurangi tekanan darah adalah penurunan berat badan, reduksi masukan NaCl,
61

peningkatan masukan kalium, pengurangan konsumsi alkohol, dan pola diet sehat
secara keseluruhan (19-24).
Tabel 5 Modifikasi Gaya Hidup Untuk Mengatasi Hipertensi

Pencegahan dan penatalaksanaan obesitas adalah penting untuk mengurangi


tekanan darah dan risiko penyakit kardiovaskular. Pada uji jangka-pendek, bahkan
penurunan berat badan yang moderat dapat mengarah pada reduksi tekanan darah dan
peningkatan sensitivitas insulin. Penurunan tekanan darah rata-rata sebesar 6.3/3/1
62

mmHg telah diamati terjadi dengan reduksi berat badan rata-rata sebesar 9.2 kg.
Aktivitas fisik teratur memudahkan penurunan berat badan, mengurangi tekanan
darah, dan mengurangi risiko keseluruhan untuk penyakit kardiovaskular. Tekanan
darah dapat dikurangi oleh aktivitas fisik intensitas moderat selama 30 menit, seperti
jalan cepat, 6-7 hari per minggu, atau oleh latihan dengan intensitas lebih dan
frekuensi kurang (19-24).
Uji DASH secara meyakinkan mendemonstrasikan bahwa pada periode 8
minggu, diet yang kaya buah-buahan, sayur-sayuran, dan produk susu rendah-lemak
mengurangi tekanan darah pada individu dengan tekanan darah tinggi-normal atau
hipertensi ringan. Reduksi masukan NaCl harian menjadi <6g (100 mEg) menambah
efek diet ini pada tekanan darah. Buah-buahan dan sayur- sayuran merupakan sumber
yang kaya akan kalium, magnesium, dan serat, dan produk susu merupakan sumber
kalsium yang penting (19-24).
4.1.11 Prognosis
Resiko komplikasi tergantung pada seberapa besar hipertropi ventrikel kiri.
Semakin besar ventrikel kiri, semakin besar kemungkinan komplikasi terjadi.
Pengobatan hipertensi dapat mengurangi kerusakan pada ventrikel kiri. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa obat-obatan tertentu seperti ACE-Inhibitor,
Beta- blocker, dan diuretik spinorolakton dapat mengatasi hipertropi ventrikel kiri
dan memperpanjang kemungkinan hidup pasien dengan gagal jantung akibat penyakit
jantung hipertensi. Bagaimanapun juga, penyakit jantung hipertensif adalah penyakit
serius yang harus diperhatikan karena memiliki risiko kematian mendadak.(40)
BAB 4
PEMBAHASAN
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit jantung
koroner, seperti: usia, jenis kelamin, pendidikan, obesitas, merokok, asal daerah/
kawasan dan riwayat keluarga; yang terdiri dari: umur, asupan asam lemak omega
tiga, tindakan, riwayat PJK sebelumnya, jenis angina, karakteristik jantung dan arteri
koroner, iskemia, Infark Miokard Akut, dan penyakit penyerta (terdiri dari:
hipertensi, diabetes mellitus, & dislipidemia). Berbagai faktor tersebut banyak yang
dapat dirubah dan dikendalikan, sehingga memungkinkan untuk mencegah kematian
akibat penyakit jantung coroner.
Pasien pada kasus ini merupakan seorang perempuan usia 50 tahun yang di
diagnosa penyakit jantung koroner, dimana penderita terbanyak ada pada kelompok
usia 55-74 tahun. Manusia mengalami penurunan fisiologi setelah umur 40 tahun.
Usia menjadi faktor yang mempengaruhi kejadian PJK karena salah satu penyebab
terjadinya aterosklerosis akibat kekakuan dinding arteri koronaria yang meningkat
seiring bertambahnya usia. Hal ini menyebabkan seseorang mengalami peningkatan
resiko seiring bertambahnya usia (34). Laki-laki lebih banyak terkena penyakit
jantung koroner dikarenakan memiliki kadar estrogen lebih sedikit dibandingkan
perempuan. Selain itu pasien juga mrupakan perokok aktif dengan frekuensi 1-2
bungkus rokok perhari. Merokok dapat menyebabkan inflamasi pada endotel
sehingga menyebabkan disfungsi endotel pada arteri koronaria. Hal ini menyebabkan
rusaknya barrier dinding arteri sehingga menyebabkan LDL teroksidasi mudah untuk
masuk ke tunika intima. Proses ini akan mencetus inflamasi lokal dan akan
membentuk plak atherosclerosis. Penelitian menunjukkan bahwa faktor resiko
merokok bekerja sinergis dengan faktor-faktor lain, seperti hipertensi, kadar lemak
atau gula darah yang tinggi, terhadap tercetusnya PJK.
Diketahui pasien juga memiliki riwayat hipertensi yang sudah menahun, dan
tidak terkontrol. Penyakit jantung hipertensif adalah suatu penyakit yang berkaitan
dengan dampak sekunder pada jantung karena hipertensi sistemik yang lama dan

62
63

berkepanjangan. Hipertensi yang berkepanjangan dan tidak terkendali dapat


mengubah struktur miokard, pembuluh darah dan sistem konduksi jantung.
Perubahan-perubahan ini dapat mengakibatkan hipertrofi ventrikel kiri, penyakit
arteri koroner, gangguan sistem konduksi, disfungsi sistolik dan diastolik miokard.
Hipertensi emergensi dan urgensi perlu dibedakan dengan cara anamnesis dan
pemeriksaan fisik, karena baik faktor risiko dan penanggulangannya berbeda. Krisis
hipertensi bisa terjadi pada keadaan-keadaan sebagai berikut: akselerasi peningkatan
TD yang tiba-tiba, Hipertensi renovaskuler, glomerulonephritis akut, eclampsia,
phaeokromositoma, penderita hipertensi yang tidak meminum obat atau minum obat
anti-Hipertensi tidak teratur, trauma kepala, tumor yang mensekresi renin, dan minum
obat precursor cathecolamine (misalnya MAO inhibitor). Ketidakpatuhan terhadap
pengobatan merupakan faktor risiko terpenting krisis Hipertensi.
BAB 5
KESIMPULAN
- Pasien perempuan 50 tahun dibawa oleh keluarga ke IGD RSUD Langsa pada
Senin, 5 Desember 2022 pukul 15.50 WIB dengan keluhan nyeri dada kiri yang
dialami pasien sejak ± 2 minggu dan memberat 3 hari SMRS. Nyeri dada sebelah
kiri dirasakan sejak subuh tadi, nyeri dada menjalar menembus ke belakang,
muncul mendadak dan berlangsung selama ≥20 menit yang tidak mereda saat
istirahat. Pasien juga mengeluhkan jantung berdebar-debar, mudah lelah saat
melakukan aktivitas ringan maupun berat, nyeri kepala dan disertai nyeri dari bahu
sampai lengan kiri atas. Pasien mengatakan memiliki riwayat hipertensi yang sudah
dialami sejak 8 tahun yang lalu. Pasien mengaku sering memeriksakan tekanan
darahnya di mentri, tetapi pasien tidak rutin mengkonsumsi obat hipertensi. Pasien
mengatakan belum pernah merasakan nyeri dada sebelumnya, dan tidak ada riwayat
penyakit keluarga yang serupa atau penyakit lainnya. Riwayat hipertensi (+). Pada
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran komposmentis, tekanan darah 212/125
mmHg, frekuensi nafas 22x/menit, frekuensi nadi 100x/menit, SpO2 98%, suhu
37,5 ̊C. Pada status generalis didapatkan tekanan JVP meningkat. Pada pemeriksaan
Laboratorium, didapatkan Hb: 11,4 g/dl, ureum 20 mg/dl, kreatinin 0,76 mg/dl.
Pada pemeriksaan EKG didapatkan Sinus Rythm + LAD + OMI Lateral. Pada
pemeriksaan foto thorax didapatkan kesan gambaran bronchitis, pneumonia
bilateral, cardiomegaly, elevasi diafragma dextra. Pasien ditatalaksana dengan O2 4
l/menit, IVFD Nacl 0,9% 8 gtt/i, Inj. Furosemide 1 amp/8jam, Meloxicam sup,
Spinolacton 25mg 1x1, CPG 1x75mg, Atorvastatin 1x20mg, Lansoprazole 2x1,
Sucralfate syr 3xc1, Domperidone 3x1, Alprazolam 2x1/2, KSR 1x1, B one 1x1,
ISDN 3x1/2 dan Laxadin syr 3x1.

64
DAFTAR PUSTAKA
1. ISH. 2020 International Society of Hypertension Global Hypertension
Practice Guidelines. 2020.
2. Marulam M. Panggabean: Penyakit Jantung Hipertensi, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III Edisi Keempat, Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2006: 1639-1640
3. Adnil Basha: Penyakit Jantung Hipertensif, Buku Ajar Kardiologi: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2003: 209- 211
4. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Edition page 1653. The
McGraw – Hill Companies. 2005
5. Price SA, Wilson LM. Fisiologi sistem kardiovaskular, Dalam:
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:EGC:
2006.p.530-543.
6. Robin, S,L, Kumar, V. Buku Ajar Patologi. Edisi ke-4. Jakarta. 1995. h.45
7. Robin, S,L, Kumar, V Cotran, RS. Dasar Patologi Penyakit. Edisi ke-5.
Jakarta: EGC. h.322-323.
8. Mann, Zipes, Libby, Bonow. Braunwald’s Heart Disease a Texybook of
Cardiovascular Medicine. 11 edition, Elsevier
9. Mancia G, De Backer G, Dominiczak A, Cifkova R, Fagard R, Germano G,
et al. 2007 Guidelines for the Management of Arterial Hypertension: The
Task Force for the Management of Arterial Hypertension of the European
Society of Hypertension (ESH) and of the European Society of Cardiology
(ESC). Eur Heart J 2007;28:1462- 536.
10. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo JL, et
al; Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure. National Heart, Lung, and Blood Institute;
National High Blood Pressure Education Program Coordinating Committee.
Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,

65
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Hypertension
2003;42:1206-52
11. Baim, Donald S. Hypertensive vascular disease in: Harrison's Principles of
Internal Medicine. 7" Ed. USA. The Megraw-Hill Companies, Inc. 2008. p.
241
12. Panggabean M. Penyakit Jantung Hipertensi Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi
B, Alwi I, et all, editors. Buku Ajar Ilmu Penyait Dalam. Edisi IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 2015
13. Williams B, Mancia G, Spiering W, Agabiti Rosei E, Azizi M, Burnier M,
Clement DL, Coca A, de Simone G, Dominiczak A, et al. 2018 ESC/ESH
Guidelines for the management of arterial hypertension: The Task Force for
the Management Of Arterial Hypertension of the European Society of
Cardiology and the European Society of Hypertension. J Hypertens.
2018;36:1953–2041.
14. Whelton PK, Carey RM, Aronow WS, Casey DE, Collins KJ, Dennison
Himmelfarb C, DePalma SM, Gidding S, Jamerson KA, Jones DW, et al.
2017ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/APhA/ASH/ASPC/NMA/PCNA
Guideline for the prevention, detection, evaluation, and management of high
blood pressure in adults: a report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical Practice
Guidelines. Hypertension. 2018;71:1269–1324.
15. Riaz, Kamran. Hypertensive Heart Disease: Differential Diagnoses &
Workup. http://emedicine.medscape.com/article/162449-diagnosis Diakses
pada 10 Oktober 2022
16. Miller. Hypertensive heart disease-treatment. (Serial Online: Desember
2008). Available from: http://www.umm.edu/encey/article/000153.htm
Diakses pada 10 Oktober 2022
17. Lewington S, Clarke R, Qizilbash N, Peto R, Collins R, Prospective Studies
Collaboration. Age-specific relevance of usual blood pressure to vascular

66
mortality: a meta-analysis of individual data for one million adults in 61
prospective studies. Lancet. 2002;360:1903–1913.
18. Hypertension in adults: diagnosis and management. NICE guideline
[NG136]. August 2019. https://www.nice.org.uk/guidance/ng136.
19. He FJ, Li J, Macgregor GA. Effect of longer term modest salt reduction on
blood pressure: Cochrane systematic review and meta-analysis of randomised
trials. BMJ. 2013;346:f1325.
20. Cicero AFG, Grassi D, Tocci G, Galletti F, Borghi C, Ferri C. Nutrients and
nutraceuticals for the management of high normal blood pressure: an
evidence-based consensus document. High Blood Press Cardiovasc Prev.
2019;26:9–25.
21. Cornelissen VA, Smart NA. Exercise training for blood pressure: a systematic
review and meta-analysis. J Am Heart Assoc. 2013;2:e004473.
22. Xie C, Cui L, Zhu J, Wang K, Sun N, Sun C. Coffee consumption and risk of
hypertension: a systematic review and dose-response meta-analysis of cohort
studies. J Hum Hypertens. 2018;32:83–93.
23. Cornelissen VA, Smart NA. Exercise training for blood pressure: a systematic
review and meta-analysis. J Am Heart Assoc. 2013;2:e004473.
24. Matthews KA, Katholi CR, McCreath H, Whooley MA, Williams DR, Zhu S,
Markovitz JH. Blood pressure reactivity to psychological stress predicts
hypertension in the CARDIA study. Circulation. 2004;110:74–78.
25. Drazner MH, (2011). The progression of hypertensive heart disease.
Circulation. 123:327-34.
26. AHA (american Heart Association). (2017). Hypertension : The Silent Killer :
Updated JNC-8 Guideline Recommendations. Alabama Pharmacy
Association. https://doi.org/0178-0000-15-104-H01-P
27. Farahdika, A. (2015). Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Penyakit
Jantung Koroner Pada Usia Dewasa Madya (41-60). Unnes Journal Of Public
Health. Vol 4 No 2.

67
28. Kabo. P. (2014). Penyakit jantung koroner : penyakit atau proses alamiah.
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2014.
29. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid I. VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014:1132-53.
30. Austin BA, Wang Y, Smith GL, Vaccarine V, Krumholz HM, Mc Namara
RL. Systolic function as a predictor of mortality and quality of life in longterm
survivors with heart failure. Clin Cardiol. 2008;31(3):119-24.
31. Cruikhshank J.M & Prichard B.N.C : Hypertension, Beta Blockers in Clinical
practice, Churchill Livingstone, New York 2013.
32. Jakson G : Cadiovasculer Update, Insight in to Heart Disease, Update
Publications, England 2015.
33. Kannel W.B. : The Framingham study, Am,J,Cardiol, 2014.
34. Kwiterovich : Beyond Cholesterol, John Hopkins, London 2008
35. Sukaman, Kelainan Jantung Pada Penderita Hipertensi, Pendekatan Praktis
dan Penatalaksanaan,2014.
36. US Departement of Health & Human Services: So you Have High Blood
Cholesterol NIH Publications, juni 2017.
37. Eaker, E.D. 2016. Psychological factors in the epidemiology of coronary heart
disease in women, Psychiatric Clinic of North America vol 12, hal 167174.
38. Saguner AM, Dur S, Perrig M, Schiemann, Stuck AE, Burgi U, et al. Risk
Factors Promoting Hypertensive Crises: Evidence From a Longitudinal Study.
Am J Hypertens 2010; 23:775-780
39. Elliot WJ. Hypertensive Emergencies and Urgencies. Bakris GL, Sorrentino
MJ, editors. Hypertension – A Companion to Braunwald’s Heart Disease
2018. 3thedition. Elsevier.p.427- 432
40. Ramos AP, Varon J. Current and Newer Agents for Hypertensive
Emergencies.Curr Hypertens Rep 2014; 16:452-458

68
66

Anda mungkin juga menyukai