Anda di halaman 1dari 48

Laporan Kasus

CONGESTIVE HEART FAILURE

Oleh:

M. Daffa Alfarid, S.Ked 04054822022098

Dela Erjalia, S.Ked 04054822022175

Pembimbing:

Dr. dr. H. Taufik Indrajaya , Sp.PD. K-KV

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

RSUP MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2021

i
Halaman Pengesahan

CONGESTIVE HEART FAILURE

Disusun oleh :

M. Daffa Alfarid, S.Ked 04054822022098

Dela Erjalia, S.Ked 04054822022175

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya di RSUP
Mohammad Hoesin dari tanggal 08 Februari 2021- 13 Maret 2021.

Palembang, Desember 2020

Pembimbing

Dr. dr. H. Taufik Indrajaya , Sp.PD. K-KV

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus dengan
topik “CONGESTIVE HEART FAILURE” sebagai salah satu syarat Kepaniteraan
Klinik di Bagian/Departemen Penyakit Dalam RSMH Palembang.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr. H. Taufik Indrajaya ,


Sp.PD. K-KV selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan
dan penyusunan laporan kasus ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga
selesainya laporan kasus ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan kasus


ini disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa yang
akan datang. Semoga presentasi kasus ini dapat memberi manfaat bagi yang
membacanya.

Palembang, Februari 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................................................ ii

KATA PENGANTAR .................................................................................................................. iii

DAFTAR ISI ................................................................................................................................. iv

BAB I. PENDAHULUAN ..............................................................................................................1

BAB II. LAPORAN KASUS...........................................................................................................3

BAB III. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................19

BAB IV. ANALISIS KASUS ........................................................................................................45

DAFTAR PUS TAKA..................................................................................................................47

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Gagal jantung merupakan suatu sindroma klinis umum dan kompleks


akibat gangguan fungsional maupun struktural jantung, sehingga pengisian
ventrikel atau ejeksi darah ke sirkulasi sistemik terganggu sebagai suatu
kompensasi demi memenuhi pasokan darah ke seluruh tubuh.1 Penyebab gagal
jantung paling sering adalah menurunnya fungsi myocardium ventrikel kanan, dan
penyebab lainnya berupa disfungsi pada perikardium, myokardium, endokardium,
katup jantung, pembuluh darah atau bahkan kombinasi dari disfungsi tersebut. 2
Penduduk Amerika Serikat sebanyak 5,1 juta memiliki manifestasi klinis
gagal jantung dengan prevalensi yang semakin meningkat juga. Insidensi gagal
jantung cukup stabil dalam dekade terakhir, dengan kasus baru sebanyak 650.000
per-tahun, terutama individu berusia diatas 65 tahun. 1 Beberapa penelitian
meyebutkan bahwa laju mortalitas dalam jangka waktu 2 tahun sebanyak 45-50%,
sehingga kasus ini perlu untuk diperhatikan untuk mengurangi mortalitas tersebut.
3

Sindroma gagal jantung muncul sebagai konsekuensi abnormalitas struktur


jantung, fungsi, ritme, ataupun konduksi jantung. Etiologi gagal jantung dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok seperti iskemik (CAD, diseksi
koroner, emboli koroner), katup (RHD, penyakit degenerative katup), hipertensi,
kardiomyopati, penyakit jantung bawaan, dan penyakit perikardium. 4 Curah
jantung yang menurun dapat dipengaruhi oleh preload, afterload, kontraktilitas,
volume sekuncup, dan kecepatan denyut jantung.3
Mekanisme adaptasi yang berfungsi untuk menjaga performa jantung,
namun bisa gagal ketika mekanisme tersebut selalu bekerja untuk menjaga
performa jantung supaya adekuat. Respon primer yang dapat terjadi adalah
terjadinya stress pada dinding jantung dan menyebabkan hipertrofi myosit,
kematian sel akibat apoptosis, dan regenerasi. Proses tersebut akan memicu
remodeling yang biasanya bertipe eksentrik, dan menurunkan curah jantung
melalui kaskade neurohumoral dan mekanisme vaskular. Penurunan stimulasi

1
2

baroreseptor karotis dan perfusi ginjal, akan mengaktifkan sistem simpatis dan
sistem RAA. Kedua sistem tersebut lama-lama secara kronis akan mengakibatkan
remodeling negative yang akan memperburuk fungsi ventrikel kiri sehingga
muncul gejala gagal jantung. 1
Gejala-gejala yang dialami merupakan akibat dari akumulasi cairan dalam
tubuh berupa dispneu, ortopneu, edema, nyeri akibat kongesti hati, dan asites.
Selain itu, penurunan curah jantung dapat menyebabkan cepat lelah dan capek
saat melakukan aktivitas.1 Karakteristik gagal jantung yang dapat ditemui berupa
pulsus alternans, impuls yang berasal dari apikal, dan gallop S3.3
Pada pasien gagal jantung penyakit komorbid yang sering dijumpai adalah
fibrilasi atrium. Prevalensi fibrilasi atrium pada pasien CHF sebesar 15-35%
untuk pasien dengan fungsional NYHA II-IV. Faktor risiko dari gagal jantung dan
fibrilasi atrium adalah hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung iskemi, dan
penyakit jantung katup. Prognosis pasien akan menjadi lebih buruk apabila
memiliki kedua kondisi ini secara bersamaan. 5
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi
Nama : Ny. SBS
Usia : 39 tahun
Alamat : jl. Lorok Pakjo Palembang
Pekerjaan : IRT
MRS : 15 Februari 2021
No. RM : 0001007632

2.2 Anamnesis
Informasi diperoleh secara autoanamnesis dan alloanamnesis dari pasien dan
suami pasien pada tanggal 20 Februari 2021.
Keluhan utama:
Sesak nafas yang berat sejak ± 1 hari SMRS
Keluhan tambahan:
Batuk dan mual sejak ± 1 hari SMRS
Riwayat Perjalanan Penyakit:
± 3 bulan yang lalu, pasien mengeluh seesak hilang timbul yang mengganggu
aktivitas terutama Ketika beraktivitas sedang seperti berjalan sejauh 100 m. Sesak
tidak disertai bunyi. Sesak berkurang saat pasien beristirahat. Sesak tidak
dipengaruhi oleh cuaca dan emosi. Pasien mengaku lebih nyaman dalam posisi
duduk di kursi atau tidur diganjal dengan 2 bantal. Pasien juga mengeluhkan
batuk tidak berdahak dan tidak berdarah. Nyeri dada hilang timbul ada. Nyeri
menjalar tidak ada. Mual dan muntah tidak ada. Nafsu makan menurun tidak ada.
BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien juga mengeluh perut yang membesar
dan terasa tegang. Bengkak pada kaki ada. Pasien kemudian datang ke RS daerah
dan di rujuk ke RSMH karena dikatakan mengalami pembengkakan jantung.
Pasien diberi furosemide dan spironolakton. Pasien dirawat selama 3 minggu,
keluhan membaik.

19
20

± 1 hari SMRS pasien kembali mengeluhkan sesak napas terus-menerus yang


semakin berat dan mengganggu aktivitas terutama ketika beraktivitas ringan
seperti berjalan ke WC. Pasien lebih nyaman dengan posisi duduk. Bunyi saat
sesak tidak ada. Batuk tidak berdahak ada yang timbul terutama saat pasien dalam
posisi berbaring. Berdebar-debar ada. Nyeri dada hilang timbul ada. Demam tidak
ada. Mual hilang timbul ada tapi tidak muntah. Penurunan nafsu makan dan berat
badan ada. BAB tak ada keluhan namun pasien mengaku BAK yang keluar sangat
sedikit. Nyeri saat akan BAK tidak ada. Pasien juga mengeluh perut yang semakin
membesar. Bengkak pada kaki ada. Pasien kemudian datang ke IGD RSMH dan
dirawat inap.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat darah tinggi: Ada, sejak 2012 pasien memiliki riwayat hipertensi
saat kehamilan
- Riwayat kencing manis: Ada, sejak tahun 2014
- Riwayat sakit jantung: tidak ada
- Riwayat sakit ginjal: tidak ada
- Riwayat keganasan: tidak ada

Riwayat Pengobatan
Pasien berobat ke RSMH dan diberi obat furosemide dan spironolakton. Lalu
pasien dirawat selama 3minggu dan keluhan membaik.

Riwayat Sosial Ekonomi, Pekerjaan dan Kebiasaan


- Riwayat merokok tidak ada
- Riwayat konsumsi alkohol tidak ada

2.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksan Fisik Umum
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
21

Tekanan darah : 120/70 mmHg (setelah minum obat)


Nadi : 84 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup, kualitas baik
Pernafasan : 26 x/menit  Dyspneu, regular, tiper pernafasan
thoracoabdominal
Suhu : 36,6 oC
Berat badan : 47kg
Tinggi badan : 158 cm
IMT : 20,5 kg/m2 (Normal weight)

Pemeriksaan Khusus
Kepala
Bentuk : Nomocephali
Ekspresi : Wajar
Rambut : Hitam
Alopesia : tidak ada
Deformitas : tidak ada
Perdarahan temporal : tidak ada
Nyeri tekan : tidak ada
Wajah sembab : tidak ada

Mata
Eksoftalmus : tidak ada
Endoftalmus : tidak ada
Palpebral : Edema (-)
Konjungtiva palpebral: Pucat (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
Kornea : Jernih
Pupil : Bulat, isokor, refleks cahaya (+/+)

Hidung
Sekret : tidak ada
22

Epistaksis : tidak ada


Napas cuping hidung : tidak ada
Telinga
Meatus akustikus eksternus : lapang
Nyeri tekan : processus mastoideus (-), tragus (-)
Nyeri tarik : aurikula (-/-)
Sekret : tidak ada
Pendengaran : baik

Mulut
Bibir : bibir kering (-), chelitis (-), pucat (-), stomatitis (-),
ulkus (-)
Gigi-geligi : lengkap normal
Gusi : hipertrofi (-), berdarah (-)
Lidah : atrofi papil (-)

Leher
Inspeksi : simetris, scar (-), trakea deviasi (-)
Palpasi : pembesaran kelenjar tiroid/struma (-), pembesaran
KGB (-), tekanan vena jugularis: (5+2) cmH2O

Thoraks
Paru-paru (Anterior)
Inspeksi : bentuk dada normal, sela iga melebar (-), retraksi dinding
dada (-), spider nevi (-), venektasi (-),
- Statis : simetris kanan sama dengan kiri
- Dinamis : simetris kanan sama dengan kiri
Palpasi : stem fremitus menurun pada kedua lapang paru
kanan dan kiri, nyeri tekan (-), krepitasi (-)
Perkusi : redup pada kedua lapang paru kanan dan kiri di ICS
V-VI, nyeri ketok (-), batas paru-hepar dan batas paru-lambung sulit dinilai
23

Auskultasi : vesikuler (+/+) normal, rhonki basah halus (+) di basal


paru kanan, wheezing (-/-)

Paru-paru (Posterior)
Inspeksi :
- Statis : simetris kanan sama dengan kiri
- Dinamis : simetris kanan sama dengan kiri
Palpasi : stem fremitus menurun pada kedua lapang paru kanan
dan kiri, nyeri tekan (-), krepitasi (-)
Perkusi : redup pada kedua lapang paru kanan dan kiri di ICS
V-VI, nyeri ketok (-)
Auskultasi : vesikuler (+/+) normal, rhonki basah halus (+) di basal
paru kanan, wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : Batas atas ICS II linea sternalis sinistra
Batas kanan ICS IV linea sternalis dextra
Batas kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II (reguler), murmur sistolik mitral grade
3/6 punctum proximum ICS V linea midclavicularis sinistra
penjalaran ke lateral, gallop (-)

Pembuluh Darah

a.temporalis, a.carotis, a.brakhialis, a. radialis, a.femoralis, a.poplitea, a.tibialis


posterior, a.dorsalis pedis : teraba

Abdomen
Inspeksi : cembung, venektasi (-), striae (+)
24

Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, limfa tidak
teraba, ginjal kanan dan kiri ballotement (-)
Perkusi : redup, shifting dullness(+)
Auskultasi : Bising usus (+) 8x/menit, bruit (-)

Ekstremitas
Lengan : gerakan baik ke segala arah, eutonia
Tangan : Akral hangat, pucat (-/-) edema (-/-), koilonikia (-),
sianosis (-)
Tungkai dan kaki : Akral hangat (+), pucat (-/-) edema pretibial (+/+),
sianosis (-), ikterik (-), turgor (+)

Genitalia : Tidak diperiksa

Kelenjar Getah Bening (KGB)


Tidak terdapat pembesaran KGB pada uprac periauricular, upraclavicul,
cervical anterior dan posterior, upraclavicular, infraclaviculla, axilla, dan
inguinal.
25

2.4 Pemeriksaan Penunjang


 Laboratorium Darah (15 Februari 2021):
Hematologi
- Hemoglobin : 12,8 g/dL
- Eritrosit : 5,18x106/mm3
- Leukosit : 7,45x103/mm3
- Hematokrit : 42%
- Trombosit : 401x103/mikroL
- MCV : 81,9 fl
- MCH : 25 pg
- MCHC : 30 g/dL
- RDW-CV : 20,5 %
- Hitung jenis : 0/0/60/27/12

Ginjal
- Ureum : 62 mg/dL
- Creatinin : 2 mg/dL

Kimia Klinik
- Gula darah sewaktu : 368 mg/dL

Elektrolit
- Natrium : 133 mg/dL
- Kalium : 94 mg/dL

Urin
- Warna : kecoklatan
- Kejernihan : agak keruh
- BJ : 1,010
- pH :6
- Protein : ++
26

- Urobilinogen :2
- Glukosa : ++
- Keton :-
- Darah :+
- Eritrosit : 3-5
- Leukosit : 0-1

 Hasil EKG(19 Februari 2021)

Identitas: Ny. SBS


Irama : Sinus Rhytm, Reguler
Axis : I (+), AVF (-)
HR : 100 x/menit
Gelombang P : P mitrale (+), Pelebaran (-)
PR Interval : 0,16 detik, Normal
QT Interval : 0,32 detik
27

Gelombang Q : Q Patologis (-)


Gelombang R : R AVL > 12 mm
Gelombang S : S V4 + S V5 > 28
QRS Kompleks : 0,11 detik, Normal
ST – T : T inverted di II III
ST : Tidak ada ST elevasi, tidak ada ST depresi

Kesan:
Normal Sinus Rhythm
Left Axis Deviation
Left Atrial Enlargement
Left Ventricular Hypertrophy

2.5 Diagnosis Sementara


 Congestive Heart Failure NYHA III e.c Hypertensive heart disease
 Acute Kidney Injury Stage II
 Diabetes Melitus Tipe 2

2.6 Diagnosis Banding


 Congestive Heart Failure e.c Coronary Arterial Disease
 Congestive Heart Failure e.c Dilated Cardiomiopati
 Cardiorenal Syndrome

2.7 Tatalaksana
Non Farmakologi: Farmakologi:
- Edukasi pasien dan keluarganya 1. Furosemid 1x20mg Intravena
mengenai diagnosa, tatalaksana dan 2. Spironolactone 2x12,5mg PO
prognosisnya 3. Ramipril 1x5mg PO
- Bed rest 4. Injeksi Insulin
- Pengurangan intake cairan menjadi
500 mL/hari
- Diet rendah garam 2 g/hari
- Pantau berat badan
28

2.8 Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanationam : Dubia ad malam

2.9 Follow Up
Follow up tanggal 22 Februari 2021 pukul 13.00 siang
S : pasien mengatakan sesak nafas berkurang, namun lemas masih ada
O : Sens = CM (tampak meringis jika nyeri)
RR = 20 x/menit T = 36,6º C
TD= 150/90 mmHg N = 96 x/menit
Kepala = Konj. Anemis (-/-), Skelara Ikterik (-/-)
Leher = JVP (5+2 cmH2O), KGB (-)
Thorax = COR = BJ I/II Reguler. Murmur sistolik grade 3 di ICS VI
linea midclavicularis sinistra menjalar hingga ke lateral
Pulmo = Vesikuler (+/+) Normal, Ronkhi (-), Wheezing (-)
Abdomen = datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, Shifting dullness
(+)
Ekstremitas = palmar pucat tidak ada, edema pretibial (+/+)
A :
 Gagal Jantung Kongestif Fungsional NYHA III

 AKI (injury) stage II

 DM Tipe II
P : Nonfarmakologis Farmakologis
- Edukasi pasien dan keluarganya 1. Furosemid 1x20mg IV
2. Spironolactone 2x12,5 PO
mengenai diagnosa, tatalaksana
3. Ramipril 1x5mg PO
dan prognosisnya
29

- Bed rest
- Pengurangan intake cairan
menjadi 500 mL/hari
- Diet rendah garam 2 g/hari
- Pantau berat badan

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Congestive Heart Failure


3.1.1 Definisi
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologis ketika jantung sebagai
pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme
jaringan. Gagal miokardium ditujukan spesifik pada fungsi miokardium.
Gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal jantung, tetapi
mekanisme kompensatorik sirkulasi dapat menunda atau bahkan mencegah
perkembangan penyakit menjadi gagal jantung.
Gagal jantung adalah sindrom klinis kompleks berupa disfungsi
ventrikel kanan, ventrikel kiri atau keduanya, yang menyebabkan perubahan
pengaturan neurohormonal. Sindrom ini biasanya diikuti dengan intoleransi
aktivitas, retensi cairan dan upaya untuk bernafas normal, terjadi pada
penyakit jantung stadium akhir setelah miokard dan sirkulasi perifer
mengalami kekurangan cadangan oksigen dan nutrisi serta sebagai akibat
mekanisme kompensasi.8 Pasien gagal jantung memiliki tampilan berupa
gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal saat istrahat atau saat
beraktivitas dengan disertai kelelahan atau tidak), tanda retensi cairan
(kongesti paru atau edema pergelangan kaki), adanya bukti objektif dari
gangguan struktur atau fungsi jantung saat istrahat.6,7
30

3.1.2 Epidemiologi
Gagal jantung merupakan masalah yang sedang berkembang di
seluruh dunia, dengan jumlah pasien di seluruh dunia lebih dari 20 juta
orang. Prevalensi pasien gagal jantung secara keseluruhan pada populasi
pasien dewasa di negara-negara berkembang adalah 2%. 7 Riset Kesehatan
Dasar pada tahun 2013 di Indonesia menyatakan prevalensi pasien gagal
jantung pada tahun 2013 berdasarkan diagnosis dokter adalah sebesar
0,13%.8
Prevalensi gagal jantung mengikuti pola eksponensial, meningkat
seiring dengan usia, dan mempengaruhi sekitar 6-10% pasien dengan usia di
atas 65 tahun. Prevalensi dari gagal jantung diduga meningkat karena
penatalaksanaan penyakit jantung yang semakin maju, seperti infark
miokard, penyakit katup jantung, dan aritimia, yang menyebabkan pasien
bertahan lebih lama.7 Jumlah pasien yang dirujuk ke departemen emergensi
dengan gagal jantung akut juga meningkat secara paralel dengan
meningkatnya populasi individu usia lanjut, sesuai dengan meningkatnya
pasien dengan disfungsi ventrikel kiri dan gagal jantung yang asimtomatis. 9
Usia pasien gagal jantung di Indonesia relatif lebih muda dibanding Eropa
dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat. 10 Pasien
jantung dan gagal jantung berdasarkan diagnosis dokter maupun
diagnosis/gejala diperkirakan lebih banyak terjadi pada perempuan
dibandingkan dengan laki-laki.6

3.1.3 Etiologi
Hipertensi dapat meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada
beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui
beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri yang dikaitkan
dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan
risiko terjadinya infark miokard, serta meningkatkan risiko terjadinya
aritmia. Ekokardiografi yang menunjukkan hipertropi ventrikel kiri
berhubungan kuat dengan perkembangan gagal jantung. Krisis hipertensi
31

dapat menyebabkan timbulnya gagal jantung akut. Penyebab Gagal jantung


dapat dibedakan dalam tiga kelompok yang terdiri dari:
1) Kerusakan kontraktilitas ventrikel
2) Peningkatan afterload, dan
3) Kerusakan relaksasi dan pengisian ventrikel.
Kerusakan kontraktilitas dapat disebabkan oleh coronary artery
disease (miokard infark dan miokard iskemia), chronic volume overload
(mitral dan aortic regurgitasi dan cardiomyopathies).
Peningkatan afterload terjadi karena stenosis aorta, mitral regurgitasi,
hipervolemia, defek septum ventrikel, defek septum atrium, paten duktus
arteriosus dan tidak terkontrolnya hipertensi berat. Kerusakan pengisian
diastolik pada ventrikel disebabkan karena hipertrofi ventrikel kiri,
restrictive cardiomyopathy, fibrosis miokard, transient myocardial
ischemia, dan kontriksi perikardial.
Penyebab gagal jantung antara lain disfungsi miokardium,
endokardium, perikardium, pembuluh darah besar, aritmia, kelainan katup
jantung, dan gangguan irama. Disfungsi miokardium di Eropa dan Amerika
paling sering terjadi akibat penyakit jantung koroner biasanya akibat infark
miokardium, yang merupakan penyebab paling sering pada usia kurang dari
75 tahun, disusul hipertensi dan diabetes. Indonesia belum memiliki data
yang pasti, sementara di Palembang, hipertensi sebagai penyebab terbanyak,
disusul penyakit jantung koroner dan katup.11 Keluhan dan gejala gagal
jantung, edema paru dan syok sering dicetuskan oleh adanya berbagai faktor
pencetus. Gejala-gejala tersebut penting diidentifikasi terutama yang bersifat
irreversibel karena prognosis akan menjadi lebih baik.6

3.1.4 Faktor Risiko


1. Usia 40 tahun lebih sering mengalami penyakit yang serius.
2. Jenis kelamin wanita relatif terlindung sampai setelah menopause
(akibat efek perlindungan estrogen).
32

3. Riwayat keluarga dapat mengkaibatkan kelainan genetik (gangguan


lipid familial) atau lingkungan (gaya hidup).
4. Ras Amerika-Afrika lebih rentan dibandingkan kulit putih.
5. Peningkatan lipid serum.
6. Hipertensi yang mempercepat atherogenesis dengan meningkatkan
shear stress (robekan), meningkatkan pembentukan hidogen peroksida
dan radikal bebas, mengurangi pembentukan nitrit oksida oleh
endotelium dan meningkatkan adhesi leukosit.
7. Merokok yang tergantung jumlah rokok yang diisap perhari (bukan
pada lamanya), mereka yang merokok satu pak rokok 2x lebih rentan
dibandingkan dengan yang tidak merokok. Asap rokok dapat
menyebabkan pembentukan oxidatively modified LDL.
8. Gangguan toleransi glukosa seperti penderita diabetes cenderung
memiliki prevalensi lebih tinggi, mekanismenya belum pasti tapi
mungkin akibat kelainan metabolisme lemak atau predisposisi
degenerasi vaskular berkaitan dengan gangguan toleransi glukosa.
Hiperglisemia dapat menstimulasi glukosilasi non enzimatik dari LDL
yang menginisiasi terjadinya atherosklerosis dengan cara yang sama
dengan oxidatively modified LDL.
9. Diet tinggi lemak jenuh, kolesterol, dan kalori
10. Obesitas meningkatkan beban kerja jantung dan kebutuhan oksigen.

3.1.5 Patofisiologi
Gagal jantung merupakan suatu gangguan progresif pada jantung yang
dimulai setelah serangkaian peristiwa terjadi, seperti kerusakan otot jantung,
hilangnya fungsi sel otot jantung, atau hilangnya kemampuan otot jantung
dalam berkontraksi secara normal.7 Mekanisme kompensasi tubuh dalam
menghadapi kondisi pompa jantung atau curah jantung yang menurun,
meliputi pengaktivasian:7,14
1. Sistem saraf simpatis dapat meningkatkan kontraktilitas otot jantung
33

2. Sistem renin-angitensin-aldosteron (RAA), sistem saraf adrenergik, dan


sistem ADH. Sistem-sistem ini melalui ginjal dapat meningkatkan
retensi natrium dan air sehingga dapat meningkatkan tekanan pengisian
jantung.
3. Sistem-sistem vasodilator seperti ANP, BNP, prostaglandin, dan NO
yang dapat mengimbangi vasokonstriksi perifer yang berlebihan.

Gambar 1. Aktivasi Sistem Neurohormonal Jantung


Sumber: Harrison’s Principles of Internal Medicine 19th Edition. 2015. Section
279. Heart Failure: Pathophysiology and Diagnosis.7
Pasien gagal jantung mengalami penurunan curah jantung yang dapat
memicu disfungsi baroreseptor pada ventrikel kiri, sinus karotis, dan arkus
aorta. Disfungsi tersebut menyebabkan hilangnya inhibisi tonus
parasimpatis terhadap sistem saraf pusat, sehingga tonus saraf simpatis
eferen dapat meningkat secara general. Peningkatan tonus simpatis eferen
menyebabkan pelepasan ADH (vasokonstriktor poten) dan terjadi retensi
air. Aktivasi sistem saraf simpatis juga dapat menyebabkan pelepasan
sistem RAA yang dapat menyebabkan peningkatan kadar angiotensin II dan
aldosteron melalui ginjal. Kedua aktivasi RAA dan ADH dapat
meningkatan retensi air dan natrium tubuh serta memicu vasokonstriksi
perifer, hipertrofi miosit, kematian sel miosit, dan fibrosis miokardium.
Mekanisme kompensasi neurohormonal sebenarnya hanya dapat
memfasilitasi adaptasi turunnya curah jantung dalam waktu yang singkat
34

dengan mempertahankan tekanan darah, sehingga mempertahankan perfusi


ke organ-organ vital. Aktivasi sistem neurohormonal yang terus menerus
dapat menyebabkan perubahan pada jantung dan sitem sirkulasi, meliputi
retensi natrium dan air yang berlebihan pada gagal jantung lanjut. Aktivasi
sistem-sistem neurohormonal dalam waktu yang lama dapat menginduksi
proses maladaptif yang dapat menyebabkan remodelling ventrikel dan
disfungsi organ.7,14
Edema jaringan terjadi ketika transudasi cairan dari kapiler ke
jaringan interstisial melebihi kapasitas drainase sistem limfatik,
meningkatnya tekanan hidrostatik transkapiler, dan menurunnya tekanan
onkotik transkapiler. Individu yang sehat biasanya peningkatan retensi
natrium tidak akan disertai pembentukan edema karena jaringan
glikosaminoglikan akan menyangga retensi natrium tersebut. Retensi
natrium terjadi secara terus menerus pada pasien gagal jantung sehingga
jaringan glikosaminoglikan akan mengalami gangguan fungsi dan sistem
sangga ini tidak akan terjadi. Retensi akan memudahkan terjadinya edema
paru dan edema sistemik.14 Pasien gagal jantung akut dengan hipertensi,
terjadi perubahan yang dapat meningkatan afterload dan menurunkan
kapasitas vena (peningkatan preload).14

3.1.6 Manifestasi Klinis


Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis adanya kelainan
fungsi jantung berakibat jantung gagal memompakan darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan/atau kemampuannya hanya
ada kalau disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri (filling
pressure).
Gagal jantung kronik memiliki derajat penyakit secara klinis
fungsional berdasarkan kriteria New York Heart Association (NYHA)
Functional Classification.11
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Gagal Jantung Berdasarkan NYHA
Classification
35

NYHA I Penyakit jantung, namun tidak ada gejala atau keterbatasan dalam
aktivitas fisik sehari-hari biasa, misalnya berjalan, naik tangga,
dsb.
NYHA II Gejala ringan (sesak nafas ringan dan/atau angina) serta terdapat
keterbatasan ringan dalam aktivitas fisik sehari-hari biasa)
NYHA III Keterbatasan aktivitas fisik sehari-hari akibat gejala gagal jantung
pada tingkatan yang lebih ringan, misalnya berjalan 20-100 m.
Pasien hanya merasa nyaman saat istirahat.
NYHA IV Keterbatasan aktivitas yang berat, misalnya gejala muncul saat
istirahat.

Tabel 2. Tanda dan Gejala Gagal Jantung


Gejala Tanda
Tipikal Spesifik
- Sesak nafas - Peningkatan JVP

- Ortopneu - Refluks hepatojugular

- Paroxysmal nocturnal dyspneu - Suara Jantung SIII (gallop)

- Toleransi aktivitas yang berkurang - Apex jantung bergeser ke


lateral
- Cepat lelah
- Bising jantung
- Bengkak di pergelangan kaki

Kurang Tipikal Kurang Spesifik


- Batuk di malam hari/ dini hari - Edema paru

- Mengi - Krepitasi pulmonal

- BB bertambah > 2 kg/minggu - Suara pekak di basal paru pada


perkusi
- BB turun/ gagal jantung stadium lanjut
- Takikardi
- Perasaan kembung/begah
- Nadi irreguler
- Nafsu makan menurun
- Nafas cepat
36

- Perasaan bingung (terutama usia lanjut) - Hepatomegali

- Depresi - Asites

- Berdebar

- Pingsan

Dikutip dari ESC Guidelines for diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2016.

Tabel 3. Organ yang Terkongesti dan Manifestasi Klinisnya


Organ yang Terkongesti Manifestasi Klinis
Jantung Suara jantung ke-3, distensi vena jugular, refluks
hepato-jugular, regurgitasi mitral dan trikuspid,
peningkatan kadar peptida natriuretik (BNP >100
pg/mL, NT-proBNP >300 pg/mL)
Paru-paru Dispnea, ortopnea, paroxysmal nocturnal
dyspnea, rales, crackles, mengi, takipnea,
kelainan gambar radiologis toraks (efusi pleura,
edema alveolar/interstisial)
Ginjal Penurunan BAK, peningkatan kreatinin,
hiponatremia
Hepar Hepatomegali, rasa tidak nyaman pada perut
kanan atas, ikterus, peningkatan kadar bilirubin
(mengindikasikan kolestasis)
Saluran cerna Mual, muntah, nyeri abdomen, asites,
peningkatan tekanan abdomen
Sumber: Arrigo, Mattia, dkk. 2016. Understanding acute heart failure:
pathophyisiology and diagnosis. European Heart Journal Supplements.14

3.1.7 Diagnosis
Diagnosis gagal jantung kronik dapat ditegakkan bila terdapat paling
sedikit satu kriteria mayor dan dua kriteria minor.9
Tabel 4. Tanda dan Gejala Gagal Jantung
37

Kriteria Mayor Kriteria Minor


- Paroxysmal nocturnal dispnea - Edema ekstremitas

- Distensi vena-vena leher - Batuk malam

- Peningkatan vena jugularis - Sesak pada saat aktivitas

- Ronkhi - Hepatomegalli

- Kardiomegalli - Efusi pleura

- Edema paru akut - Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal

- Gallop bunyi jantung III - Takikardia (>120 denyut per menit)

- Refluks hepatojugular positif


38

Gambar 2. Algoritma diagnostik gagal jantung. Dikutip dari ESC


Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure
2016

Anamnesis
Anamnesis pasien akan didapatkan pasien lemas, anoreksia dan mual,
gangguan mental pada usia tua.9

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien gagal jantung kronik didapatkan
takikardia, gallop bunyi jantung ke tiga, peningkatan/ekstensi vena
jugularis, refluks hepatojugular, pulsus alternans, kardiomegali, ronkhi
basah halus di basal paru dan bisa meluas di kedua lapang paru bila gagal
jantung berat, edema pretibial pada pasien dengan rawat jalan dan edema
sakral pada pasien yang tirah baring.9
Efusi pleura lebih sering terjadi pada paru kanan daripada paru kiri
dan asites yang sering terjadi pada pasien dengan penyakit katup mitral dan
perikarditis konstriktif, hepatomegali, dan nyeri tekan dan juga dapat diraba
pulsasi hati yang berhubungan dengan hipertensi vena sistemik, ikterus,
berhubungan dengan peningkatan kedua bentuk bilirubin. Ekstremitas
dingin, pucat dan berkeringat juga dapat ditemukan.9

Pemeriksaan Penunjang
 Foto rontgen dada
Rotgen thoraks digunakan untuk menilai ukuran dan bentuk
jantung, serta vaskularisasi paru dan kelainan non-jantung lainnya
(hipertensi pulmonal, edema interstitial, edema paru).11
Rontgen toraks merupakan komponen penting untuk
mendiagnosis gagal jantung karena dapat mendeteksi kardiomegali,
kongesti paru, efusi pleura dan dapat mendeteksi penyakit atau infeksi
paru yang menyebabkan atau memperberat sesak nafas. Kardiomegali
dapat tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan kronik.7
39

Tabel 5. Abnormalitas foto thoraks yang biasa ditemukan pada gagal


jantung
Abnormalitas Gambaran Anjuran dan
interpretasi
Kardiomegali Dilatasi ventrikel kiri, ventrikel Ekokardiografi, doppler
kanan, efusi perikard
Hipertropi Hipertensi, stenosis aorta, Ekokardiografi, doppler
Ventrikel kardiomiopati hipertrofi
Paru Normal Bukan kongesti paru Nilai ulang diagnostik
Kongesti Vena Peningkatan tekanan pengisian Mendukung diagnostik
Paru ventrikel kiri gagal jantung kiri
Edema Peningkatan tekanan pengisian Mendukung diagnostik
Intersital ventrikel kiri gagal jantung kiri
Efusi Pleura Gagal jantung dengan bilateral, Pikirkan etologi
Infeksi paru, pasca bedah/ non- peningkatan
keganasan tekanan kardiak (jika
efusi pengisian jika
efusi banyak)
Garis Karley B Peningkatan tekanan limfatik Mitral stenosis/ gagal
jantung kronik
Area Paru Emboli paru atau emfisema Pemeriksaan CT,
Hiperlusen Ekokardiografi,
Spirometri
Infeksi Paru Penumonia sekunder akibat Tatalaksana kedua
kongesti paru penyakit: gagal jantung
dan kongesti paru
Infiltrat Paru Penyakit sistemik Pemeriksaan diagnostik
lanjutan
Dikutip dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of
acute and chronic heart failure 201612

 Elektrokardiografi
40

Interpretasi EKG yang perlu dicari pada gagal jantung adalah


ritme, ada/tidaknya hipertropi ventrikel kiri, serta ada/tidaknya infark
(riwayat atau sedang berlangsung). EKG normal dapat mengekslusi
disfungsi sitolik meski kurang spesifik.11
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua
pasien diduga gagal jantung. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada
gagal jantung. Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil
dalam mendiagnosis gagal jantung, jika EKG normal, diagnosis gagal
jantung khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (< 10%).7
Tabel 6. Abnormalitas EKG yang umum ditemukan pada gagal jantung
41

Dikutip dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
Abnormalitas Penyebab Interpretasi Klinis
Sinus Gagal Jantung dekompensasi, Penilaian klinis,
Takikardia anemia, demam, Pemeriksaan Laboratorium
hipertiroidisme
Sinus Obat penyekat b, anti aritmia, Evaluasi terapi obat,
Bradikardia hipotiroidisme, sindroma Pemeriksaan Laboratorium
sinus sakit
Atrial Hipertiroidisme, infeksi gagal Perlambatan konduksi AV,
Takikardia/ jantung dekompensasi, infark konversi medik,
Futer/ Fibrilasi miokard elektroversi ablasi kateter,
anti koagulasi
Aritmia Iskemia, infark, Pemeriksaan laboratirium,
Ventrikel kardiomiopati, miokarditis, tes latihan beban,
hipokalemia, pemeriksaan perfusi,
hipomagnesemia, overdosis angiografi koroner, ICD
digitalis
Iskemia/ Infark Penyakit jantung koroner Ekokardiografi, troponin,
angiografi koroner,
revaskularisasi
Gelombang Q Infark, kardiomiopati, Ekokardiografi, angiografi
hipertropi, LBBB, preexitasi koroner
Hipertropi Hipertensi, penyakit katup Ekokardiografi, doppler
Ventrikel Kiri aorta, kardiomiopati
hipertropi
Blok Infark miokard, Intoksikasi Evaluasi penggunaan obat,
Atrioventrikuler obat, miokarditis, sarkoidosis, pacu jantung, penyakit
penyakit lyme sistemik
Mikrovoltase Obesitas, emfisema, efusi Ekokardiografi, rontgen
perikard, amiloidosis thorax
Durasi QRS Diskroni elektrik dan Ekokardiografi, CRT-P,
>0,12 detik mekanik CRT-D
dengan
morfologi LBB
LBBB = Left Bundle Branch Block; ICD = Implantable Cardioventer
Defbrillator
CRT-P = Cardiac Resynchronization Therapy-PACEmaker; CRT-D =
Cardiac Resynchronization Therapy-Defbrillator
42

chronic heart failure 201611


Pemeriksaan laboratorium dinilai darah tepi lengkap, elektrolit,
BUN, kreatinin, enzim hepar, serta urinalsis. Pemeriksaan untuk
diabetes melitus, dislipidemia, dan kelainan tiroid juga penting
dilakukan.11 Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal
jantung adalah darah perifer lengkap (hemo-globin, leukosit,
trombosit), elektrolit, kreatinin, laju filtrasi glomerulus (GFR), glukosa,
tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan tambahan lain
dipertimbangkan sesuai tampilan klinis. Gangguan hematologis atau
elektrolit yang bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala
ringan sampai sedang yang belum diterapi, meskipun anemia ringan,
hiponatremia, hiperkalemia dan penurunan fungsi ginjal sering
dijumpai terutama pada pasien dengan terapi menggunakan diuretik
dan/atau ACEi (Angiotensin Converting Enzime Inhibitor), ARB
(Angiotensin Receptor Blocker), atau antagonis aldosterone.7
-Hematologi rutin
Pemeriksaan hematologi untuk menghilangkan kemungkinan,
terutama, anemia pada pasien gagal jantung lanjut. Anemia juga
merupakan penyebab kesulitan bernafas dan gagal jantung high
output.
-Urinalisis
Proteinuria biasa terjadi pada pasien gagal jantung yang dapat dilihat
pada pemeriksaan urin rutin.
-Elektrolit serum
Hiponatremia, hipokalemia, hiperkalemia, dan hipomagnesia
mungkin terjadi akibat penggunaan diuretik. Ketidakseimbangan
elektrolit dapat memicu aritmia. Hiponatremia juga merupakan
pertanda tingkat keparahan gagal jantung.
-Profil Lipid
43

Profil lipid serangkaian pemeriksaan yang menentukan risiko


penyakit jantung koroner. Pemeriksaan ini meliputi kolesterol total,
HDL, LDL, trigliserida, dan juga perbandingan HDL / kolesterol
-Tes fungsi hati
Akibat kerusakan pada gagal jantung dapat terjadi peningkatan
enzim hati dan penurunan albumin.
-Tes fungsi ginjal
Kadar kreatinin serum dan kadar nitrogen urea pada darah harus
dilakukan sebelum memulai pengobatan gagal jantung. Peningkatan
kadar kreatinin serum menandakan :
 Pengobatan ACEI
 Pengobatan diuretik dosis tinggi
 Azotemia pre-renal
 Stenosis arteri ginjal
- Hormon stimulasi tiroid
Gangguan fungsi tiroid merupakan penyebab gagal jantung high
output. Oleh karenanya, pemeriksaan profil tiroid disarankan pada
pasien yang baru didiagnosis gagal jantung.
- Peptida natriuretik
Tabel 7. Kadar peptida natriuretik pada diagnosis gagal jantung
Pemeriksaan BNP dan NT-proBNP dengan indikator nilai
untuk diagnosis gagal jantung
Usia Cenderung Kemungkinan Kemungkinan
(tahun) bukan gagal gagal jantung besar gagal
jantung jantung
BNP semua <100 pg/mL 100-500 pg/mL >500 pg/mL
NT- < 50 <300 pg/mL 300-450 pg/mL >450 pg/mL
proBNP
50-75 <300 pg/mL 450-900 pg/mL >900 pg/mL
>75 <300 pg/mL 900-1800 >1800 pg/mL
pg/mL
44

Peptida natriuretik merupakan tanda biologis (biomarker) gagal


jantung yang dapat digunakan sebagai pemeriksaan pada keadaan
gawat darurat dan rawat jalan. Kelompok peptida natriuretik terdiri
dari peptida natriuretik atrium, peptida natriuretik otak (brain
natiuretic peptide, BNP), natriuretik tipe-C dari sistem saraf pusat,
urodilatin dari ginjal, dan peptida natriuretik dendroaspis. BNP dan
bagian ujung aminonya dari projormon N-terminal-pro-BNP (NT-
proBNP) juga penting dalam diagnosis dan pengobatan gagal
jantung. BNP berhubungan dengan tingkat keparahan gagal jantung
dan memperkirakan prognosis.

 Ekokardiografi
Ekokardiografi merupakan metode yang paling berguna dalam
melakukan evaluasi disfungsi sistolik dan diastolik. Ekokardiograf
adalah istilah yang digunakan untuk semua teknik pencitraan ultrasound
jantung termasuk pulsed and continuous wave Doppler, colour Doppler
dan Tissue Doppler imaging (TDI). Konfirmasi diagnosis gagal jantung
dan/atau disfungsi jantung dengan pemeriksaan ekokardiografi adalah
keharusan dan dilakukan secepatnya pada pasien dengan dugaan gagal
jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk membedakan antara pasien
disfungsi sistolik dengan pasien dengan fungsi sistolik normal adalah
fraksi ejeksi ventrikel kiri (normal > 45 - 50%).

3.1.8 Tatalaksana
Pengobatan gagal jantung memiliki beberapa tujuan yaitu:
a. Menurunkan mortalitas
b. Mempertahankan/ meningkatkan kualitas hidup
c. Mencegah terjadinya kerusakan miokard, progresifitas kerusakan
miokard, remodelling miokard, timbulnya gejala-gejala gagal jantung
dan akumulasi cairan, dan perawatan di rumah sakit.
45

Non Farmakologi
Perawatan Mandiri
Perawatan mandiri mempunyai andil dalam keberhasilan pengobatan
gagal jantung dan dapat memberi dampak yang bermakna pada keluhan-
keluhan pasien, kapasitas fungsional, well being, morbiditi dan prognosis.
Perawatan mandiri dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang
bertujuan untuk mempertahankan stabilitas fisik, menghindari perilaku yang
dapat memperburuk kondisi dan deteksi dini gejala-gejala perburukan.
Topik-topik penting dan perilaku perawatan mandiri sebagai berikut:
Tabel 8. Topik-topik penting dalam edukasi pasien tentang keterampilan
yang diperlukan dan perilaku perawatan mandiri
Topik Edukasi Keterampilan dan Perilaku Perawatan Mandiri
Definisi dan etiologi Memahami penyebab gagal jantung dan mengana keluhan-
gagal jantung keluhan timbul
Gejala-gejala dan Memantau tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung
tanda-tanda gagal Mencatat berat badan setiap hari
jantung Mengetahui kapan menghubungi petugas kesehatan
Menggunakan terapi diuretik secara fleksibel sesuai anjuran
Terapi farmakologik Mengerti indikasi, dosis dan efek dari obat-obat digunakan
Mengenal efek samping yang umum obat
Modifikasi faktor berhenti merokok, memantau tekanan darah
risiko Kontrol gula darah (DM), hindari obesitas
Rekomendasi diet Restriksi garam, pantau dan cegah malnutrisi
Rekomendasi olah raga Melakukan olah raga teratur
Kepatuhan mengikuti anjuran pengobatan
Prognosis Mengerti pentingnya faktor-faktor progmostik dan
membuat keputusan realistik

Farmakologi
Obat golongan diuretik dan digoksin sudah diakui untuk digunakan
dalam terapi gagal jantung. Obat-obat ini mengatasi gejala dan
meningkatkan kualitas hidup, namun belum terbukti menurunkan angka
mortalitas. Morbiditas dan mortalitas pasien gagal jantung membaik setelah
46

ditemukan obat yang dapat mempengaruhi sistem neurohumoral, RAAS dan


sistem saraf simpatik.12
Angiotensin converting enzyme (ACEI)
Pengobatan dengan ACEI meningkatkan fungsi ventrikel dan
kesehatan pasien, menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan
gagal jantung dan meningkatkan angka keselamatan (Kelas rekomendasi I,
tingkat bukti A)
Pasien yang harus mendapatkan ACEi:
- LVEF < 40%, walaupun tidak ada gejala
- Pasien gagal jantung disertai dengan regurgitasi
Memulai pemberian ACEi:
- Periksa fungsi renal dan elektrolit serum
- Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam
- Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia
- Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi
meningkatkan secara cepat sangat mungkin pada pasien yang dimonitoring
ketat.
Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)
ARB direkomendasikan pada penderita gagal jantung dengan LVEF
<40% yang masih simptomatik dengan terapi optimal ACEI dan beta bloker
serta antagonis aldosteron. Pengobatan dengan ARB meningkatkan fungsi
ventrikel dan kesehatan pasien dan menurunkan angka masuk rumah sakit
untuk perburukan gagal jantung. (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A).
ARB direkomendasikan sebagai pilihan lain pada pasien yang tidak toleran
terhadap ACEI (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B). ARB menurunkan
risiko kematian dengan penyebab kardiovaskular (Kelas Rekomendasi I,
Tingkat Bukti B).
Pasien yang harus mendapatkan ARB :
- LVEF < 40%
47

- Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II-IV NYHA) yang tidak toleran terhadap ACEI
- Pasien dengan gejala menetap (kelas fungsional II-IV NYHA) walaupun
sudah mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan bete bloker
Memulai pemberian ARB:
- Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum
- Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam
- Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia
- Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi
meningkatkan secara cepat sangat mungkin pada pasien yang
dimonitoring ketat
Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dan tanda-tanda
klinis/ gejala kongesti (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B).
Memulai pemberian diuretik :
- Periksa fungsi renal dan elektrolit serum
- Kebanyakan pasien diresepkan loop diuretik dibandingkan thiazide
karena efisiensinya lebih menginduksi diuresis dan natriuresis
- Penyesuaian sendiri dosis diuretik berdasarkan penghitungan berat harian
dan tanda klinis lainnya dari retensi cairan.
Antagonis Aldosteron
Antagonis aldosteron menurunkan angka masuk rumah sakit untuk
perburukan gagal jantung dan meningkatkan survival jika ditambahkan pada
terapi yang sudah ada, termasuk dengan ACEI. Jika tidak ada
kontraindikasi, aldosteron antagonis ditambahkan pada keadaan LVEF
<35% dengan gejala gagal jantung yang berat (Kelas Rekomendasi I,
Tingkat Bukti B).
Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron:
- LVEF < 35%
- Gejala menengah sampai berat ( kelas fungsional III-IV NYHA)
48

- Dosis optimal BB dan ACEI atau ARB


Syarat awal pemberian spironolakton:
- Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum
- Pertimbangkan peningkatan dosis setelah 4-8 minggu. Jangan
meningkatkan dosis jika terjadi pernurukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia.
Beta bloker
Beta bloker diberikan pada semua penderita gagal jantung
simptomatik dan LVEF<40% bila tidak ada kontraindikasi. Beta bloker
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup pasien, menurunkan angka
masuk RS untuk perburukan gagal jantung dan meningkatkan harapan
hidup. Terapi beta bloker seharusnya sudah dimulai di RS sebelum pasien
dipulangkan (Kelas rekomendasi I, tingkat bukti A)
Manfaat beta bloker dalam gagal jantung melalui:
- Mengurangi detak jantung: memperlambat pengisian diastolik sehingga
memperbaiki perfusi miokard
- Meningkatkan LVEF
- Menurunkan pulmonary capillary wedge pressure
Pasien yang harus mendapatkan beta bloker :
- LVEF <40%
- Gejala ringan sampai berat
- ACEI/ ARB sudah mencapai tingkat dosis optimal
- Pasien harus secara klinis stabil (contoh : tidak ada perubahan terbaru
dari dosis diuretik)
Memulai pemberian beta bloker :
- Beta bloker dapat dimulai sebelum pemulangan dari rumah sakit pada
pasien yang dikompensasi dengan hati-hati.(Kelas Rekomendasi I,
Tingkat Bukti A)
- Kunjungan tiap 2-4 minggu untuk meningkatkan dosis beta bloker. Dosis
tidak boleh ditingkatkan meskipun terdapat tanda-tanda perburukan gagal
49

jantung, hipotensi gejala atik (perasaan melayang) atau bradikardi berat


(nadi < 50 x / menit) pada tiap kunjungan.
Glikosida jantung
Glikosida jantung menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung
dengan meningkatkan kontraksi sarkomer jantung melalui peningkatan
kadar kalsium bebas dalam protein kontraktil, yang merupakan hasil dari
peningkatan kadar natrium intrasel akibat penghambatan NaKATPase dan
pengurangan relatif dalam ekspulsi kalsium melalui penggantian Na+ Ca2+
akibat peningkatan natrium intrasel.
Penderita gagal jantung simptomatik dengan AF diberikan digoksin
untuk mengontrol rapid ventricular rate (Kelas Rekomendasi I, Tingkat
Bukti C). Penderita gagal jantung dengan irama sinus dan LVEF < 40%
diberikan terapi digoksin (sebagai tambahan ACEI) memperbaiki fungsi
ventrikel, mengurangi angka masuk RS karena perburukan gagal jantung
namun tidak berpengaruh terhadap survival (Kelas Rekomendasi IIa,
Tingkat Bukti B). Digoksin memberikan keuntungan pada terapi gagal
jantung dalam hal:
- Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan
fungsi ventrikel kiri
- Menstimulasi baroreseptor jantung
- Meningkatkan penghantaran natrium ke tubulus distal sehingga
menghasilkan penekanan sekresi renin dari ginjal
- Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan peningkatan
vagal tone.
- Pasien atrial fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat > 80x/ menit,
dan saat aktivitas > 110-120x/ menit harus mendapatkan digoksin
- Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF <
40%) yang mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI atau/ dan ARB,
beta bloker dan antagonis aldosteron jika diindikasikan, yang tetap
simtomatis, digoksin dapat dipertimbangkan
Senyawa amin simpatomimetik
50

Senyawa amin simpatomimetik seperti dopamin dan dobutamin dapat


digunakan dalam penatalaksanaan gagal jantung. Senyawa ini merupakan
agonis beta1 selektif yang dapat meningkatkan curah jantung dan
menurunkan tekanan pengisian ventrikel.
- efek inotropik positif
- efek vasodilator yang dapat menurunkan afterload
Efek dopamin sangat tergantung dosis:
- dosis rendah (0,5-3 ug/kg/menit) menyebabkan vasodilatasi dan
meningkatkan diuresis
- dosis sedang (3-10 ug/kg/menit) menyebabkan peningkatan kontraktilitas
jantung dan detak jantung
- dosis tinggi (10-20 ug/kg/menit) menyebabkan vasokonstriksi perifer
dan meningkatkan tekanan darah.
Obat ini harus dihindari penggunaannya pada pasien AMI dan hipotensi11

Terapi vasodilator
a. Antagonis kalsium
Antagonis kalsium dikontraindikasikan pada gagal jantung karena
memiliki efek inotropik negatif yang dapat memperburuk gejala gagal
jantung. Amlodipin merupakan satu-satunya antagonis kalsium yang
dapat menurunkan mortalitas pada gagal jantung.
b. Senyawa nitrat dan donor nitrit oksida
Nitroprusid bekerja menyebabkan relaksasi otot polos secara
langsung dan kemudian mengurangi afterload dan preload. Pengurangan
dalam afterload menimbulkan peningkatan curah jantung12.
Keterbatasan penggunaan nitroprusid yang utama adalah adanya
kondisi hipotensi, karena itu penggunaannya dikontraindikasikan pada
pasien dengan infark miokard akut. Nitroprusid sebaiknya diberikan
disertai monitoring tekanan darah intra arteri.
c. Hidralazine dan isosorbide dinitrate (H-ISDN)
51

Pengobatan dengan H-ISDN dapat dipertimbangkan untuk


menurunkan risiko kematian (Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B),
angka masuk rumah sakit untuk perburukan gagal jantung (Kelas
Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B) dan memperbaiki fungsi ventrikel
dan kapasitas latihan (Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti A).
Pasien yang seharusnya mendapatkan H-ISDN :
- Pengganti ACEI/ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi
- Sebagai tambahan terhadap pengobatan dengan ACEI jika ARB atau
antagonis aldosteron tidak dapat ditoleransi atau gejala menetap
walaupun sudah mendapatkan terapi ACEI, ARB, BB, dan antagonis
aldosteron.
Pemberian H-ISDN dimulai setelah mempertimbangkan peningkatan
dosis setelah 2-4 minggu. Dosis tidak boleh ditingkatkan pada hipotensi
yang simtomatis.
d. Nitrogliserin intravena
Nitrogliserin bekerja dengan mengurangi preload. Terapi dengan
nitrogliserin merupakan terapi dengan kerja cepat yang efektif dan dapat
diprediksi hasilnya dalam mengurangi preload. Data menunjukkan
bahwa nitrogliserin intravena juga dapat mengurangi afterload.
Nitrogliserin intravena merupakan terapi tunggal yang baik untuk pasien
dengan gagal jantung dekompensasi berat.

Peptida natriuretik
Peptida natriuretik sebagai senyawa ideal bagi terapi gagal jantung.
Senyawa peptida ini bekerja menyebabkan :
- Natriuresis
- Diuresis
- Dilatasi vena dan arteri
- Penghambatan sistem saraf simpatis
- Antagonis protein pada rantai RAAS
- Penghambatan kontriksi otot polos vaskular
52

Trombolitik
a. Antiplatelet
Penggunaan antiplatelet pada gagal jantung masih diperdebatkan.
Aspirin memperlihatkan perburukan gagal jantung berdasarkan pada
proses penghambatan prostaglandin. Penelitian lain memperlihatkan
bahwa efikasi ACEI dapat menurun jika diberikan bersamaan dengan
aspirin13.
Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif) direkomendasikan
pada penderita dengan gagal jantung dengan AF yang permanen,
persisten atau paroksismal tanpa kontraindikasi terhadap antikoagulan.
Penyesuaian dosis antikoagulan menurunkan risiko komplikasi
tromboemboli termasuk stroke (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A).
b. Antikoagulan
Antikoagulan seperti warfarin diindikasikan pada pasien gagal
jantung dengan:
- Fibrilasi atrial
- Riwayat tromboembolik
- Trombus pada ventrikel kiri
Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif) direkomendasikan
pada penderita dengan gagal jantung dengan AF yang permanen,
persisten atau paroksismal tanpa kontraindikasi terhadap antikoagulan.
Penyesuaian dosis antikoagulan menurunkan risiko komplikasi
tromboemboli termasuk stroke (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti
A). Antikoagulan juga direkomendasikan pada penderita dengan
trombus intrakardiak yang dideteksi dengan imaging atau bukti emboli
sistemik (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C).
Tabel 9. Dosis obat yang umum dipakai pada gagal jantung
Obat Dosis awal Dosis target
ACEI
Captopril 3 x 6,25 mg 3 x 50-100 mg
Enalapril 2 x 2,5 mg 2 x 10-20 mg
53

Lisinopril 1 x 2,5 – 5 mg 1 x 10 – 20 mg
Ramipril 1 x 2,5 mg 2 x 5 mg
Trandolapril 1 x 0,5 mg 1 x 4 mg
ARB
Candesartan 1 x 4 - 8 mg 1 x 32 mg
Valsartan 2 x 40 mg 2 x 160 mg
Beta bloker
Bisoprolol 1 x 1,25 mg 1 x 10 mg
Carvedilol 2 x 3,125 mg 25-50 mg
Metoprolol
1 x 12,5 – 25 mg 200 mg
succinat
Nebivolol 1 x 1,25 mg 1 x 10 mg
Hidralazin – ISDN
Hidralazin – ISDN 3 x 37, 3 x 75-40 mg
Antagonis aldosteron
Eprlerenone 1 x 25 mg 1 x 50 mg
Spironolakton 1 x 25 mg 1 x 25 – 50 mg

3.1.9 Prognosis
Prognosis gagal jantung tergantung secara primer pada sifat penyakit
jantung yang mendasari dan pada ada atau tidaknya faktor pencetus yang
dapat diobati. Prognosis akan membaik jika sifat atau faktor pencetus
penyakit dapat diidentifikasi dan dibuang. Kelangsungan hidup biasanya
berkisar 6 bulan sampai 4 tahun bergantung pada keparahan gagal jantung.
Prognosis jangka panjang untuk gagal jantung adalah paling baik jika
bentuk penyakit jantung yang mendasari dapat diterapi.6
Klinis yang membaik hanya dengan pembatasan garam dalam diet dan
digitalis atau diuretik dosis kecil, hasilnya jauh lebih baik daripada jika
sebagai tambahan pengobatan, diperlukan terapi diuretik intensif dan
vasodilator. Faktor lain yang terlihat berkaitan dengan prognosis buruk
dalam gagal jantung mencakup waktu olah excercise yang singkat (<3
menit), berkurangnya konsentrasi natrium serum (<133 mEq/L),
berkurangnya konsentrasi kalium serum (<3 mEq/L), meningkatnya peptida
natriuretik atrium dalam sirkulasi dan konsentrasi norepinefrin, demikian
juga adanya ekstrasistole ventrikel yang sering pada pemantauan Holter.
Fraksi yang besar dari pasien dengan gagal jantung kongestif meninggal
54

secara mendadak kemungkinan karena fibrilasi ventrikel.6 Prognosis pasien


dengan gagal jantung ditentukan oleh status jantung (cardiac status).9

Tabel 10. Status Jantung


Cardiac Status Prognosis
Uncompromised Baik
Slightely compromised Baik dengan pengobatan
Moderately compromised Gagal dengan pengobatan
Severe compromised Quard e derpite therapy
55
BAB IV
ANALISIS KASUS

Ny. SBS, 39 tahun, perempuan, datang ke Rumah Sakit Moh.Hoesin


Palembang dengan keluhan utama sesak napas yang semakin berat sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit. Dari anamnesis didapatkan bahwa sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh sesak semakin memberat. Sesak dir
asakan terus menerus, memberat ketika beraktivitas ringan seperti berjalan sekitar
10m ke WC dan tidak membaik dengan istirahat. Sesak tidak dipengaruhi oleh
cuaca dan emosi. Pasien lebih nyaman tidur dengan posisi ½ duduk. Pasien juga
sering terganggu tidurnya akibat sesak. Hal ini menunjukkan bahwa pasien
mengalami dispnea d’effort dan paroxysmal nocturnal dyspnea/orthopnea yang
disebabkan oleh adanya edema pada paru. Rasa berdebar ada, nyeri dada ada,
terasa hilang timbul. Nyeri perut tidak ada, perasaan begah ada, pasien
mengeluhkan perut terasa semakin membesar. Hal ini menunjukkan adanya cairan
di abdomen. Kaki bengkak ada. Hal ini menandakan adanya edema perifer. Batuk
ada, dahak tidak ada, darah tidak ada. Batuk timbul terutama saat pasien dalam
posisi berbaring. Demam tidak ada. Mual ada hilang timbul, muntah tidak ada. 3
bulan yang lalu pasien juga pernah.
Dari pemeriksaan fisik, didapatkan tekanan darah 120/70 mmHg setelah
minum obat hipertensi; nadi 84 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup, kualitas
baik; pernafasan 26 x/menit, reguler, tipe pernafasan thorakoabdominal; tekanan
vena jugularis (5+2) cmH2O, distensi vena jugularis. Pada pemeriksaan paru, dari
palpasi didapatkan stem fremitus menurun pada kedua lapangan paru kanan dan
kiri, perkusi didapatkan redup pada kedua lapang paru kanan dan kiri di ICS V-
VI, auskultasi terdapat bunyi vesikuler, rhonki basal halus pada basal paru kanan,
tidak ada wheezing. Dari pemeriksaan jantung didapatkan batas jantung dalam
batas normal, auskultasi BJ I-II (+) regular, murmur sistolik grade 3 di ICS VI line
midclavicularis sinistra. Dari pemeriksaan abdomen didapatkan, abdomen tampak
cembung, striae ada dibawah umbilikus, hepar dan lien tidak teraba, shifting
dullness positif, dan bising usus 8x/menit normal. Pada ekstremitas bawah

45
46

terdapat edema pretibial pada kedua kaki. Dari pemeriksaan penunjang EKG
didapatkan kesan left axis deviation dan iskemik di anteroseptal.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, didapatkan diagnosis
sementara berupa Congestive Heart Failure. Dari kriteria Framingham,
didapatkan adanya paroxysmal nocturnal dyspnea/orthopneu, edema paru, distensi
vena jugular, dan rales (ronkhi) yang merupakan kriteria mayor dari CHF.
Sedangkan untuk kriteria minor didapatkan adanya edema ekstremitas, dispneu d’
effort dan orthopneu. Dari pemeriksaan penunjang, didapatkan adanya
peningkatan hingga 2 kali lipat nilai normal yaitu 2 mg/dL yang mengarah ke
Acute Kidney Injury stage II, lalu juga terdapat peningkatan gula darah sewaktu
yaitu 368 mg/dL yang mengarah ke DM tipe 2. Maka dari itu, pasien ini
didiagnosis menderita Congestive Heart Failure + AKI Stage II + DM Tipe 2.
Kompetensi dokter umum untuk penanganan CHF termasuk dalam tingkat
kompetensi 3A, dimana mampu mendiagnosa, memberi terapi awal, lalu merujuk
pasien. Tatalaksana yang dilakukan adalah tatalaksana non farmakologis dan
farmakologis. Pada tatalaksana non farmakologis terutama dilakukan edukasi
kepada pasien mengenai penyakit yang dialami, prognosis, rencana pengobatan,
diet, dan cara pencegahan. Pasien juga disarankan untuk bed rest, head Up 30-45o,
diet rendah garam 2 g/ hari, pengurangan intake cairan menjadi 500 mL/hari.
Untuk farmakologis, pasien diberikan furosemide, spirolakton, ramipril dan
injeksi insulin. Prognosis pada pasien adalah untuk quo ad vitam dubia ad bonam,
quo ad functionam dubia ad malam, dan quo ad sanationam dubia ad malam.
DAFTAR PUSTAKA

1. Malik A, Brito D, Chhabra L. Congestive Heart Failure (CHF) [Updated 2019


Jun 3]. In: StatPearls [Internet]. [Internet]. StatPearls Publishing; 2019.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430873/
2. Inamdar A, Inamdar A. Heart Failure: Diagnosis, Management and
Utilization. J Clin Med. 2016;5(7):62.
3. Figueroa MS, Peters JI. Congestive heart failure: Diagnosis, pathophysiology,
therapy, and implications for respiratory care. Respir Care. 2006;51(4):403–
12.
4. Ziaeian B, Fonarow GC. Epidemiology and aetiology of heart failure. Nat Rev
Cardiol. 2016;13(6):368–78.
5. Lubitz SA, Benjamin EJ, Ellinor PT. Atrial Fibrillation in Congestive Heart
Failure. Heart Fail Clin. 2010;6(2):187–200.
6. Ponikowski, dkk. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure. Eurpoean Heart Journal, 2016. 27: 2129-2200.
7. Mann, Doglas L., dan Chakinala, Murali. Section 279. Heart Failure:
Pathophysiology and Diagnosis. Dalam: Kasper Dennis L., dkk (Editor).
Harrison’s Principles of Internal Medicine 19th Edition; 2015.
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Infodatin: Situasi Kesehatan
Jantung, Jakarta. 2014; p.3.
9. Ural, Dilek, dkk. Diagnosis and management of acute heart failure. Anatolian
Journal of Cardiology, 2015. 15: 860-869.
10. Siswanto, Bambang Budi, dkk. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI); 2015.
11. Kurmani, Sameer, dan Squire, Iain. Acute Heart Failure: Definition,
Classification, and Epidemiology. Current Heart Failure Report, 2017; 14:
385-392.
12. Dickstein K., dkk. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute
and chronic heart failure. Eurpoean Heart Journal, 2008; 29: 2388-2442.

47
13. Yancy, dkk. 2013 ACCF/AHA Heart Failure Guidelines: Executive Summary.
Journal of the American College of Cardiology,2013; 62: 1495-1539.
14. Ghanie, A. Gagal Jantung Kronik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi VI Jilid I. Jakarta: InternaPublishing. 2014; p.1148-1160.
15. Simonneau, G, Galie, N, Rubin, LJ, Langleben, D, Seeger, W, Dominighetti,
G, et al. Clinical classification of pulmonary hyper- tension. J Am Coll
Cardiol 2004; 43: 5S–12S.
16. Fishman, AP. Clinical classification of pulmonary hypertension. Clin Chest
Med 2001; 22: 385–391.
17. Tartulier, M, Bourret, M, Deyrieux, F. Les pressions artérielles pulmonaires
chez l’homme normal. Effets de l’âge et de l’exercice musculaire. Bull
Physiopathol Respir 1972; 8: 1295–1321.
18. Belli, BR, MacNee, W. Standards for the diagnosis and treatment of patients
with COPD: a summary of the ATS/ERS position paper. Eur Respir J 2004;
23: 932–946.
19. Naeije, R, Torbicki, AA. More on the noninvasive diagnosis of pulmonary
hypertension: Doppler echocardiography revisited. Eur Respir J 1995; 8:
1445–1449.
20. Williams, BT, Nicholl, JP. Prevalence of hypoxaemic chronic obstructive lung
disease with reference to long-term oxygen ther- apy. Lancet 1985; 1: 369–
372.
21. Lettieri, CJ, Nathan, SD, Barnett, SD, Ahmad, S, Shorr, AF. Prevalence and
outcomes of pulmonary arterial hypertension in advanced idiopathic
pulmonary fibrosis. Chest 2006; 129: 746–752.
22. Kessler, R, Chaouat, A, Schinkewitch, P, Faller, M, Casel, S, Krieger, J, et al.
The obesity-hypoventilation syndrome revisited. A prospective study of 34
consecutive cases. Chest 2001; 120: 369–376.
23. Cottin, V, Nunes, H, Brillet, PY, Delaval, P, Devouassoux, G, Tillie-Leblond,
I, et al. Combined pulmonary fibrosis and emphy- sema: a distinct
underrecognised entity. Eur Respir J 2005; 26: 586– 593.

48
24. MacNee, W. Pathophysiology of cor pulmonale in chronic obstructive
pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 1994; 150: 833–852, 1158–
1168.
25. Chaouat, A, Naeije, R, Weitzenblum, E. Pulmonary hypertension in COPD.
Eur Respir J 2008; 32: 1371–1385.
26. Fishman, AP. Hypoxia on the pulmonary circulation. How and where it acts.
Circ Res 1976; 38: 221–231.
27. Rochester, DF, Enson, Y. Current concepts in the pathogenesis of the obesity-
hypoventilation syndrome. Mechanical and circulatory factors. Am J Med
1974; 57: 402–420.
28. Nathan, DS, Noble, PW, Tuder, RM. Idiopathic pulmonary fibro- sis and
pulmonary hypertension: connecting the dots. Am J Respir Crit Care Med
2007; 175: 875–880.

49

Anda mungkin juga menyukai