Oleh:
Pembimbing:
2021
i
Halaman Pengesahan
Disusun oleh :
Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya di RSUP
Mohammad Hoesin dari tanggal 08 Februari 2021- 13 Maret 2021.
Pembimbing
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus dengan
topik “CONGESTIVE HEART FAILURE” sebagai salah satu syarat Kepaniteraan
Klinik di Bagian/Departemen Penyakit Dalam RSMH Palembang.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
baroreseptor karotis dan perfusi ginjal, akan mengaktifkan sistem simpatis dan
sistem RAA. Kedua sistem tersebut lama-lama secara kronis akan mengakibatkan
remodeling negative yang akan memperburuk fungsi ventrikel kiri sehingga
muncul gejala gagal jantung. 1
Gejala-gejala yang dialami merupakan akibat dari akumulasi cairan dalam
tubuh berupa dispneu, ortopneu, edema, nyeri akibat kongesti hati, dan asites.
Selain itu, penurunan curah jantung dapat menyebabkan cepat lelah dan capek
saat melakukan aktivitas.1 Karakteristik gagal jantung yang dapat ditemui berupa
pulsus alternans, impuls yang berasal dari apikal, dan gallop S3.3
Pada pasien gagal jantung penyakit komorbid yang sering dijumpai adalah
fibrilasi atrium. Prevalensi fibrilasi atrium pada pasien CHF sebesar 15-35%
untuk pasien dengan fungsional NYHA II-IV. Faktor risiko dari gagal jantung dan
fibrilasi atrium adalah hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung iskemi, dan
penyakit jantung katup. Prognosis pasien akan menjadi lebih buruk apabila
memiliki kedua kondisi ini secara bersamaan. 5
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identifikasi
Nama : Ny. SBS
Usia : 39 tahun
Alamat : jl. Lorok Pakjo Palembang
Pekerjaan : IRT
MRS : 15 Februari 2021
No. RM : 0001007632
2.2 Anamnesis
Informasi diperoleh secara autoanamnesis dan alloanamnesis dari pasien dan
suami pasien pada tanggal 20 Februari 2021.
Keluhan utama:
Sesak nafas yang berat sejak ± 1 hari SMRS
Keluhan tambahan:
Batuk dan mual sejak ± 1 hari SMRS
Riwayat Perjalanan Penyakit:
± 3 bulan yang lalu, pasien mengeluh seesak hilang timbul yang mengganggu
aktivitas terutama Ketika beraktivitas sedang seperti berjalan sejauh 100 m. Sesak
tidak disertai bunyi. Sesak berkurang saat pasien beristirahat. Sesak tidak
dipengaruhi oleh cuaca dan emosi. Pasien mengaku lebih nyaman dalam posisi
duduk di kursi atau tidur diganjal dengan 2 bantal. Pasien juga mengeluhkan
batuk tidak berdahak dan tidak berdarah. Nyeri dada hilang timbul ada. Nyeri
menjalar tidak ada. Mual dan muntah tidak ada. Nafsu makan menurun tidak ada.
BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien juga mengeluh perut yang membesar
dan terasa tegang. Bengkak pada kaki ada. Pasien kemudian datang ke RS daerah
dan di rujuk ke RSMH karena dikatakan mengalami pembengkakan jantung.
Pasien diberi furosemide dan spironolakton. Pasien dirawat selama 3 minggu,
keluhan membaik.
19
20
Riwayat Pengobatan
Pasien berobat ke RSMH dan diberi obat furosemide dan spironolakton. Lalu
pasien dirawat selama 3minggu dan keluhan membaik.
Pemeriksaan Khusus
Kepala
Bentuk : Nomocephali
Ekspresi : Wajar
Rambut : Hitam
Alopesia : tidak ada
Deformitas : tidak ada
Perdarahan temporal : tidak ada
Nyeri tekan : tidak ada
Wajah sembab : tidak ada
Mata
Eksoftalmus : tidak ada
Endoftalmus : tidak ada
Palpebral : Edema (-)
Konjungtiva palpebral: Pucat (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
Kornea : Jernih
Pupil : Bulat, isokor, refleks cahaya (+/+)
Hidung
Sekret : tidak ada
22
Mulut
Bibir : bibir kering (-), chelitis (-), pucat (-), stomatitis (-),
ulkus (-)
Gigi-geligi : lengkap normal
Gusi : hipertrofi (-), berdarah (-)
Lidah : atrofi papil (-)
Leher
Inspeksi : simetris, scar (-), trakea deviasi (-)
Palpasi : pembesaran kelenjar tiroid/struma (-), pembesaran
KGB (-), tekanan vena jugularis: (5+2) cmH2O
Thoraks
Paru-paru (Anterior)
Inspeksi : bentuk dada normal, sela iga melebar (-), retraksi dinding
dada (-), spider nevi (-), venektasi (-),
- Statis : simetris kanan sama dengan kiri
- Dinamis : simetris kanan sama dengan kiri
Palpasi : stem fremitus menurun pada kedua lapang paru
kanan dan kiri, nyeri tekan (-), krepitasi (-)
Perkusi : redup pada kedua lapang paru kanan dan kiri di ICS
V-VI, nyeri ketok (-), batas paru-hepar dan batas paru-lambung sulit dinilai
23
Paru-paru (Posterior)
Inspeksi :
- Statis : simetris kanan sama dengan kiri
- Dinamis : simetris kanan sama dengan kiri
Palpasi : stem fremitus menurun pada kedua lapang paru kanan
dan kiri, nyeri tekan (-), krepitasi (-)
Perkusi : redup pada kedua lapang paru kanan dan kiri di ICS
V-VI, nyeri ketok (-)
Auskultasi : vesikuler (+/+) normal, rhonki basah halus (+) di basal
paru kanan, wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : Batas atas ICS II linea sternalis sinistra
Batas kanan ICS IV linea sternalis dextra
Batas kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II (reguler), murmur sistolik mitral grade
3/6 punctum proximum ICS V linea midclavicularis sinistra
penjalaran ke lateral, gallop (-)
Pembuluh Darah
Abdomen
Inspeksi : cembung, venektasi (-), striae (+)
24
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, limfa tidak
teraba, ginjal kanan dan kiri ballotement (-)
Perkusi : redup, shifting dullness(+)
Auskultasi : Bising usus (+) 8x/menit, bruit (-)
Ekstremitas
Lengan : gerakan baik ke segala arah, eutonia
Tangan : Akral hangat, pucat (-/-) edema (-/-), koilonikia (-),
sianosis (-)
Tungkai dan kaki : Akral hangat (+), pucat (-/-) edema pretibial (+/+),
sianosis (-), ikterik (-), turgor (+)
Ginjal
- Ureum : 62 mg/dL
- Creatinin : 2 mg/dL
Kimia Klinik
- Gula darah sewaktu : 368 mg/dL
Elektrolit
- Natrium : 133 mg/dL
- Kalium : 94 mg/dL
Urin
- Warna : kecoklatan
- Kejernihan : agak keruh
- BJ : 1,010
- pH :6
- Protein : ++
26
- Urobilinogen :2
- Glukosa : ++
- Keton :-
- Darah :+
- Eritrosit : 3-5
- Leukosit : 0-1
Kesan:
Normal Sinus Rhythm
Left Axis Deviation
Left Atrial Enlargement
Left Ventricular Hypertrophy
2.7 Tatalaksana
Non Farmakologi: Farmakologi:
- Edukasi pasien dan keluarganya 1. Furosemid 1x20mg Intravena
mengenai diagnosa, tatalaksana dan 2. Spironolactone 2x12,5mg PO
prognosisnya 3. Ramipril 1x5mg PO
- Bed rest 4. Injeksi Insulin
- Pengurangan intake cairan menjadi
500 mL/hari
- Diet rendah garam 2 g/hari
- Pantau berat badan
28
2.8 Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanationam : Dubia ad malam
2.9 Follow Up
Follow up tanggal 22 Februari 2021 pukul 13.00 siang
S : pasien mengatakan sesak nafas berkurang, namun lemas masih ada
O : Sens = CM (tampak meringis jika nyeri)
RR = 20 x/menit T = 36,6º C
TD= 150/90 mmHg N = 96 x/menit
Kepala = Konj. Anemis (-/-), Skelara Ikterik (-/-)
Leher = JVP (5+2 cmH2O), KGB (-)
Thorax = COR = BJ I/II Reguler. Murmur sistolik grade 3 di ICS VI
linea midclavicularis sinistra menjalar hingga ke lateral
Pulmo = Vesikuler (+/+) Normal, Ronkhi (-), Wheezing (-)
Abdomen = datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, Shifting dullness
(+)
Ekstremitas = palmar pucat tidak ada, edema pretibial (+/+)
A :
Gagal Jantung Kongestif Fungsional NYHA III
DM Tipe II
P : Nonfarmakologis Farmakologis
- Edukasi pasien dan keluarganya 1. Furosemid 1x20mg IV
2. Spironolactone 2x12,5 PO
mengenai diagnosa, tatalaksana
3. Ramipril 1x5mg PO
dan prognosisnya
29
- Bed rest
- Pengurangan intake cairan
menjadi 500 mL/hari
- Diet rendah garam 2 g/hari
- Pantau berat badan
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.2 Epidemiologi
Gagal jantung merupakan masalah yang sedang berkembang di
seluruh dunia, dengan jumlah pasien di seluruh dunia lebih dari 20 juta
orang. Prevalensi pasien gagal jantung secara keseluruhan pada populasi
pasien dewasa di negara-negara berkembang adalah 2%. 7 Riset Kesehatan
Dasar pada tahun 2013 di Indonesia menyatakan prevalensi pasien gagal
jantung pada tahun 2013 berdasarkan diagnosis dokter adalah sebesar
0,13%.8
Prevalensi gagal jantung mengikuti pola eksponensial, meningkat
seiring dengan usia, dan mempengaruhi sekitar 6-10% pasien dengan usia di
atas 65 tahun. Prevalensi dari gagal jantung diduga meningkat karena
penatalaksanaan penyakit jantung yang semakin maju, seperti infark
miokard, penyakit katup jantung, dan aritimia, yang menyebabkan pasien
bertahan lebih lama.7 Jumlah pasien yang dirujuk ke departemen emergensi
dengan gagal jantung akut juga meningkat secara paralel dengan
meningkatnya populasi individu usia lanjut, sesuai dengan meningkatnya
pasien dengan disfungsi ventrikel kiri dan gagal jantung yang asimtomatis. 9
Usia pasien gagal jantung di Indonesia relatif lebih muda dibanding Eropa
dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat. 10 Pasien
jantung dan gagal jantung berdasarkan diagnosis dokter maupun
diagnosis/gejala diperkirakan lebih banyak terjadi pada perempuan
dibandingkan dengan laki-laki.6
3.1.3 Etiologi
Hipertensi dapat meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada
beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui
beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri yang dikaitkan
dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan
risiko terjadinya infark miokard, serta meningkatkan risiko terjadinya
aritmia. Ekokardiografi yang menunjukkan hipertropi ventrikel kiri
berhubungan kuat dengan perkembangan gagal jantung. Krisis hipertensi
31
3.1.5 Patofisiologi
Gagal jantung merupakan suatu gangguan progresif pada jantung yang
dimulai setelah serangkaian peristiwa terjadi, seperti kerusakan otot jantung,
hilangnya fungsi sel otot jantung, atau hilangnya kemampuan otot jantung
dalam berkontraksi secara normal.7 Mekanisme kompensasi tubuh dalam
menghadapi kondisi pompa jantung atau curah jantung yang menurun,
meliputi pengaktivasian:7,14
1. Sistem saraf simpatis dapat meningkatkan kontraktilitas otot jantung
33
NYHA I Penyakit jantung, namun tidak ada gejala atau keterbatasan dalam
aktivitas fisik sehari-hari biasa, misalnya berjalan, naik tangga,
dsb.
NYHA II Gejala ringan (sesak nafas ringan dan/atau angina) serta terdapat
keterbatasan ringan dalam aktivitas fisik sehari-hari biasa)
NYHA III Keterbatasan aktivitas fisik sehari-hari akibat gejala gagal jantung
pada tingkatan yang lebih ringan, misalnya berjalan 20-100 m.
Pasien hanya merasa nyaman saat istirahat.
NYHA IV Keterbatasan aktivitas yang berat, misalnya gejala muncul saat
istirahat.
- Depresi - Asites
- Berdebar
- Pingsan
Dikutip dari ESC Guidelines for diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2016.
3.1.7 Diagnosis
Diagnosis gagal jantung kronik dapat ditegakkan bila terdapat paling
sedikit satu kriteria mayor dan dua kriteria minor.9
Tabel 4. Tanda dan Gejala Gagal Jantung
37
- Ronkhi - Hepatomegalli
Anamnesis
Anamnesis pasien akan didapatkan pasien lemas, anoreksia dan mual,
gangguan mental pada usia tua.9
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien gagal jantung kronik didapatkan
takikardia, gallop bunyi jantung ke tiga, peningkatan/ekstensi vena
jugularis, refluks hepatojugular, pulsus alternans, kardiomegali, ronkhi
basah halus di basal paru dan bisa meluas di kedua lapang paru bila gagal
jantung berat, edema pretibial pada pasien dengan rawat jalan dan edema
sakral pada pasien yang tirah baring.9
Efusi pleura lebih sering terjadi pada paru kanan daripada paru kiri
dan asites yang sering terjadi pada pasien dengan penyakit katup mitral dan
perikarditis konstriktif, hepatomegali, dan nyeri tekan dan juga dapat diraba
pulsasi hati yang berhubungan dengan hipertensi vena sistemik, ikterus,
berhubungan dengan peningkatan kedua bentuk bilirubin. Ekstremitas
dingin, pucat dan berkeringat juga dapat ditemukan.9
Pemeriksaan Penunjang
Foto rontgen dada
Rotgen thoraks digunakan untuk menilai ukuran dan bentuk
jantung, serta vaskularisasi paru dan kelainan non-jantung lainnya
(hipertensi pulmonal, edema interstitial, edema paru).11
Rontgen toraks merupakan komponen penting untuk
mendiagnosis gagal jantung karena dapat mendeteksi kardiomegali,
kongesti paru, efusi pleura dan dapat mendeteksi penyakit atau infeksi
paru yang menyebabkan atau memperberat sesak nafas. Kardiomegali
dapat tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan kronik.7
39
Elektrokardiografi
40
Dikutip dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
Abnormalitas Penyebab Interpretasi Klinis
Sinus Gagal Jantung dekompensasi, Penilaian klinis,
Takikardia anemia, demam, Pemeriksaan Laboratorium
hipertiroidisme
Sinus Obat penyekat b, anti aritmia, Evaluasi terapi obat,
Bradikardia hipotiroidisme, sindroma Pemeriksaan Laboratorium
sinus sakit
Atrial Hipertiroidisme, infeksi gagal Perlambatan konduksi AV,
Takikardia/ jantung dekompensasi, infark konversi medik,
Futer/ Fibrilasi miokard elektroversi ablasi kateter,
anti koagulasi
Aritmia Iskemia, infark, Pemeriksaan laboratirium,
Ventrikel kardiomiopati, miokarditis, tes latihan beban,
hipokalemia, pemeriksaan perfusi,
hipomagnesemia, overdosis angiografi koroner, ICD
digitalis
Iskemia/ Infark Penyakit jantung koroner Ekokardiografi, troponin,
angiografi koroner,
revaskularisasi
Gelombang Q Infark, kardiomiopati, Ekokardiografi, angiografi
hipertropi, LBBB, preexitasi koroner
Hipertropi Hipertensi, penyakit katup Ekokardiografi, doppler
Ventrikel Kiri aorta, kardiomiopati
hipertropi
Blok Infark miokard, Intoksikasi Evaluasi penggunaan obat,
Atrioventrikuler obat, miokarditis, sarkoidosis, pacu jantung, penyakit
penyakit lyme sistemik
Mikrovoltase Obesitas, emfisema, efusi Ekokardiografi, rontgen
perikard, amiloidosis thorax
Durasi QRS Diskroni elektrik dan Ekokardiografi, CRT-P,
>0,12 detik mekanik CRT-D
dengan
morfologi LBB
LBBB = Left Bundle Branch Block; ICD = Implantable Cardioventer
Defbrillator
CRT-P = Cardiac Resynchronization Therapy-PACEmaker; CRT-D =
Cardiac Resynchronization Therapy-Defbrillator
42
Ekokardiografi
Ekokardiografi merupakan metode yang paling berguna dalam
melakukan evaluasi disfungsi sistolik dan diastolik. Ekokardiograf
adalah istilah yang digunakan untuk semua teknik pencitraan ultrasound
jantung termasuk pulsed and continuous wave Doppler, colour Doppler
dan Tissue Doppler imaging (TDI). Konfirmasi diagnosis gagal jantung
dan/atau disfungsi jantung dengan pemeriksaan ekokardiografi adalah
keharusan dan dilakukan secepatnya pada pasien dengan dugaan gagal
jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk membedakan antara pasien
disfungsi sistolik dengan pasien dengan fungsi sistolik normal adalah
fraksi ejeksi ventrikel kiri (normal > 45 - 50%).
3.1.8 Tatalaksana
Pengobatan gagal jantung memiliki beberapa tujuan yaitu:
a. Menurunkan mortalitas
b. Mempertahankan/ meningkatkan kualitas hidup
c. Mencegah terjadinya kerusakan miokard, progresifitas kerusakan
miokard, remodelling miokard, timbulnya gejala-gejala gagal jantung
dan akumulasi cairan, dan perawatan di rumah sakit.
45
Non Farmakologi
Perawatan Mandiri
Perawatan mandiri mempunyai andil dalam keberhasilan pengobatan
gagal jantung dan dapat memberi dampak yang bermakna pada keluhan-
keluhan pasien, kapasitas fungsional, well being, morbiditi dan prognosis.
Perawatan mandiri dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang
bertujuan untuk mempertahankan stabilitas fisik, menghindari perilaku yang
dapat memperburuk kondisi dan deteksi dini gejala-gejala perburukan.
Topik-topik penting dan perilaku perawatan mandiri sebagai berikut:
Tabel 8. Topik-topik penting dalam edukasi pasien tentang keterampilan
yang diperlukan dan perilaku perawatan mandiri
Topik Edukasi Keterampilan dan Perilaku Perawatan Mandiri
Definisi dan etiologi Memahami penyebab gagal jantung dan mengana keluhan-
gagal jantung keluhan timbul
Gejala-gejala dan Memantau tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung
tanda-tanda gagal Mencatat berat badan setiap hari
jantung Mengetahui kapan menghubungi petugas kesehatan
Menggunakan terapi diuretik secara fleksibel sesuai anjuran
Terapi farmakologik Mengerti indikasi, dosis dan efek dari obat-obat digunakan
Mengenal efek samping yang umum obat
Modifikasi faktor berhenti merokok, memantau tekanan darah
risiko Kontrol gula darah (DM), hindari obesitas
Rekomendasi diet Restriksi garam, pantau dan cegah malnutrisi
Rekomendasi olah raga Melakukan olah raga teratur
Kepatuhan mengikuti anjuran pengobatan
Prognosis Mengerti pentingnya faktor-faktor progmostik dan
membuat keputusan realistik
Farmakologi
Obat golongan diuretik dan digoksin sudah diakui untuk digunakan
dalam terapi gagal jantung. Obat-obat ini mengatasi gejala dan
meningkatkan kualitas hidup, namun belum terbukti menurunkan angka
mortalitas. Morbiditas dan mortalitas pasien gagal jantung membaik setelah
46
- Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II-IV NYHA) yang tidak toleran terhadap ACEI
- Pasien dengan gejala menetap (kelas fungsional II-IV NYHA) walaupun
sudah mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan bete bloker
Memulai pemberian ARB:
- Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum
- Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam
- Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia
- Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi
meningkatkan secara cepat sangat mungkin pada pasien yang
dimonitoring ketat
Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dan tanda-tanda
klinis/ gejala kongesti (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B).
Memulai pemberian diuretik :
- Periksa fungsi renal dan elektrolit serum
- Kebanyakan pasien diresepkan loop diuretik dibandingkan thiazide
karena efisiensinya lebih menginduksi diuresis dan natriuresis
- Penyesuaian sendiri dosis diuretik berdasarkan penghitungan berat harian
dan tanda klinis lainnya dari retensi cairan.
Antagonis Aldosteron
Antagonis aldosteron menurunkan angka masuk rumah sakit untuk
perburukan gagal jantung dan meningkatkan survival jika ditambahkan pada
terapi yang sudah ada, termasuk dengan ACEI. Jika tidak ada
kontraindikasi, aldosteron antagonis ditambahkan pada keadaan LVEF
<35% dengan gejala gagal jantung yang berat (Kelas Rekomendasi I,
Tingkat Bukti B).
Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron:
- LVEF < 35%
- Gejala menengah sampai berat ( kelas fungsional III-IV NYHA)
48
Terapi vasodilator
a. Antagonis kalsium
Antagonis kalsium dikontraindikasikan pada gagal jantung karena
memiliki efek inotropik negatif yang dapat memperburuk gejala gagal
jantung. Amlodipin merupakan satu-satunya antagonis kalsium yang
dapat menurunkan mortalitas pada gagal jantung.
b. Senyawa nitrat dan donor nitrit oksida
Nitroprusid bekerja menyebabkan relaksasi otot polos secara
langsung dan kemudian mengurangi afterload dan preload. Pengurangan
dalam afterload menimbulkan peningkatan curah jantung12.
Keterbatasan penggunaan nitroprusid yang utama adalah adanya
kondisi hipotensi, karena itu penggunaannya dikontraindikasikan pada
pasien dengan infark miokard akut. Nitroprusid sebaiknya diberikan
disertai monitoring tekanan darah intra arteri.
c. Hidralazine dan isosorbide dinitrate (H-ISDN)
51
Peptida natriuretik
Peptida natriuretik sebagai senyawa ideal bagi terapi gagal jantung.
Senyawa peptida ini bekerja menyebabkan :
- Natriuresis
- Diuresis
- Dilatasi vena dan arteri
- Penghambatan sistem saraf simpatis
- Antagonis protein pada rantai RAAS
- Penghambatan kontriksi otot polos vaskular
52
Trombolitik
a. Antiplatelet
Penggunaan antiplatelet pada gagal jantung masih diperdebatkan.
Aspirin memperlihatkan perburukan gagal jantung berdasarkan pada
proses penghambatan prostaglandin. Penelitian lain memperlihatkan
bahwa efikasi ACEI dapat menurun jika diberikan bersamaan dengan
aspirin13.
Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif) direkomendasikan
pada penderita dengan gagal jantung dengan AF yang permanen,
persisten atau paroksismal tanpa kontraindikasi terhadap antikoagulan.
Penyesuaian dosis antikoagulan menurunkan risiko komplikasi
tromboemboli termasuk stroke (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A).
b. Antikoagulan
Antikoagulan seperti warfarin diindikasikan pada pasien gagal
jantung dengan:
- Fibrilasi atrial
- Riwayat tromboembolik
- Trombus pada ventrikel kiri
Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif) direkomendasikan
pada penderita dengan gagal jantung dengan AF yang permanen,
persisten atau paroksismal tanpa kontraindikasi terhadap antikoagulan.
Penyesuaian dosis antikoagulan menurunkan risiko komplikasi
tromboemboli termasuk stroke (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti
A). Antikoagulan juga direkomendasikan pada penderita dengan
trombus intrakardiak yang dideteksi dengan imaging atau bukti emboli
sistemik (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C).
Tabel 9. Dosis obat yang umum dipakai pada gagal jantung
Obat Dosis awal Dosis target
ACEI
Captopril 3 x 6,25 mg 3 x 50-100 mg
Enalapril 2 x 2,5 mg 2 x 10-20 mg
53
Lisinopril 1 x 2,5 – 5 mg 1 x 10 – 20 mg
Ramipril 1 x 2,5 mg 2 x 5 mg
Trandolapril 1 x 0,5 mg 1 x 4 mg
ARB
Candesartan 1 x 4 - 8 mg 1 x 32 mg
Valsartan 2 x 40 mg 2 x 160 mg
Beta bloker
Bisoprolol 1 x 1,25 mg 1 x 10 mg
Carvedilol 2 x 3,125 mg 25-50 mg
Metoprolol
1 x 12,5 – 25 mg 200 mg
succinat
Nebivolol 1 x 1,25 mg 1 x 10 mg
Hidralazin – ISDN
Hidralazin – ISDN 3 x 37, 3 x 75-40 mg
Antagonis aldosteron
Eprlerenone 1 x 25 mg 1 x 50 mg
Spironolakton 1 x 25 mg 1 x 25 – 50 mg
3.1.9 Prognosis
Prognosis gagal jantung tergantung secara primer pada sifat penyakit
jantung yang mendasari dan pada ada atau tidaknya faktor pencetus yang
dapat diobati. Prognosis akan membaik jika sifat atau faktor pencetus
penyakit dapat diidentifikasi dan dibuang. Kelangsungan hidup biasanya
berkisar 6 bulan sampai 4 tahun bergantung pada keparahan gagal jantung.
Prognosis jangka panjang untuk gagal jantung adalah paling baik jika
bentuk penyakit jantung yang mendasari dapat diterapi.6
Klinis yang membaik hanya dengan pembatasan garam dalam diet dan
digitalis atau diuretik dosis kecil, hasilnya jauh lebih baik daripada jika
sebagai tambahan pengobatan, diperlukan terapi diuretik intensif dan
vasodilator. Faktor lain yang terlihat berkaitan dengan prognosis buruk
dalam gagal jantung mencakup waktu olah excercise yang singkat (<3
menit), berkurangnya konsentrasi natrium serum (<133 mEq/L),
berkurangnya konsentrasi kalium serum (<3 mEq/L), meningkatnya peptida
natriuretik atrium dalam sirkulasi dan konsentrasi norepinefrin, demikian
juga adanya ekstrasistole ventrikel yang sering pada pemantauan Holter.
Fraksi yang besar dari pasien dengan gagal jantung kongestif meninggal
54
45
46
terdapat edema pretibial pada kedua kaki. Dari pemeriksaan penunjang EKG
didapatkan kesan left axis deviation dan iskemik di anteroseptal.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, didapatkan diagnosis
sementara berupa Congestive Heart Failure. Dari kriteria Framingham,
didapatkan adanya paroxysmal nocturnal dyspnea/orthopneu, edema paru, distensi
vena jugular, dan rales (ronkhi) yang merupakan kriteria mayor dari CHF.
Sedangkan untuk kriteria minor didapatkan adanya edema ekstremitas, dispneu d’
effort dan orthopneu. Dari pemeriksaan penunjang, didapatkan adanya
peningkatan hingga 2 kali lipat nilai normal yaitu 2 mg/dL yang mengarah ke
Acute Kidney Injury stage II, lalu juga terdapat peningkatan gula darah sewaktu
yaitu 368 mg/dL yang mengarah ke DM tipe 2. Maka dari itu, pasien ini
didiagnosis menderita Congestive Heart Failure + AKI Stage II + DM Tipe 2.
Kompetensi dokter umum untuk penanganan CHF termasuk dalam tingkat
kompetensi 3A, dimana mampu mendiagnosa, memberi terapi awal, lalu merujuk
pasien. Tatalaksana yang dilakukan adalah tatalaksana non farmakologis dan
farmakologis. Pada tatalaksana non farmakologis terutama dilakukan edukasi
kepada pasien mengenai penyakit yang dialami, prognosis, rencana pengobatan,
diet, dan cara pencegahan. Pasien juga disarankan untuk bed rest, head Up 30-45o,
diet rendah garam 2 g/ hari, pengurangan intake cairan menjadi 500 mL/hari.
Untuk farmakologis, pasien diberikan furosemide, spirolakton, ramipril dan
injeksi insulin. Prognosis pada pasien adalah untuk quo ad vitam dubia ad bonam,
quo ad functionam dubia ad malam, dan quo ad sanationam dubia ad malam.
DAFTAR PUSTAKA
47
13. Yancy, dkk. 2013 ACCF/AHA Heart Failure Guidelines: Executive Summary.
Journal of the American College of Cardiology,2013; 62: 1495-1539.
14. Ghanie, A. Gagal Jantung Kronik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi VI Jilid I. Jakarta: InternaPublishing. 2014; p.1148-1160.
15. Simonneau, G, Galie, N, Rubin, LJ, Langleben, D, Seeger, W, Dominighetti,
G, et al. Clinical classification of pulmonary hyper- tension. J Am Coll
Cardiol 2004; 43: 5S–12S.
16. Fishman, AP. Clinical classification of pulmonary hypertension. Clin Chest
Med 2001; 22: 385–391.
17. Tartulier, M, Bourret, M, Deyrieux, F. Les pressions artérielles pulmonaires
chez l’homme normal. Effets de l’âge et de l’exercice musculaire. Bull
Physiopathol Respir 1972; 8: 1295–1321.
18. Belli, BR, MacNee, W. Standards for the diagnosis and treatment of patients
with COPD: a summary of the ATS/ERS position paper. Eur Respir J 2004;
23: 932–946.
19. Naeije, R, Torbicki, AA. More on the noninvasive diagnosis of pulmonary
hypertension: Doppler echocardiography revisited. Eur Respir J 1995; 8:
1445–1449.
20. Williams, BT, Nicholl, JP. Prevalence of hypoxaemic chronic obstructive lung
disease with reference to long-term oxygen ther- apy. Lancet 1985; 1: 369–
372.
21. Lettieri, CJ, Nathan, SD, Barnett, SD, Ahmad, S, Shorr, AF. Prevalence and
outcomes of pulmonary arterial hypertension in advanced idiopathic
pulmonary fibrosis. Chest 2006; 129: 746–752.
22. Kessler, R, Chaouat, A, Schinkewitch, P, Faller, M, Casel, S, Krieger, J, et al.
The obesity-hypoventilation syndrome revisited. A prospective study of 34
consecutive cases. Chest 2001; 120: 369–376.
23. Cottin, V, Nunes, H, Brillet, PY, Delaval, P, Devouassoux, G, Tillie-Leblond,
I, et al. Combined pulmonary fibrosis and emphy- sema: a distinct
underrecognised entity. Eur Respir J 2005; 26: 586– 593.
48
24. MacNee, W. Pathophysiology of cor pulmonale in chronic obstructive
pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med 1994; 150: 833–852, 1158–
1168.
25. Chaouat, A, Naeije, R, Weitzenblum, E. Pulmonary hypertension in COPD.
Eur Respir J 2008; 32: 1371–1385.
26. Fishman, AP. Hypoxia on the pulmonary circulation. How and where it acts.
Circ Res 1976; 38: 221–231.
27. Rochester, DF, Enson, Y. Current concepts in the pathogenesis of the obesity-
hypoventilation syndrome. Mechanical and circulatory factors. Am J Med
1974; 57: 402–420.
28. Nathan, DS, Noble, PW, Tuder, RM. Idiopathic pulmonary fibro- sis and
pulmonary hypertension: connecting the dots. Am J Respir Crit Care Med
2007; 175: 875–880.
49