Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE


Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat dalam Menjalankan Kepanitraan Klinik
Senior Bagian/SMF Kardiologi
RSUD Meuraxa Banda Aceh

Disusun Oleh:
Harliadi

Pembimbing:
dr.Haris Munirwan, Sp.JP

KEPANITTRAAN KLINIS SENIOR BAGIAN KARDIOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MEURAXA ACEH FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ABULYATAMA
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT semesta alam atas limpahan rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini. Shalawat beserta salam kepada junjungan
islam, Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan contoh teladan dan membukawawasan
cakrawala umat manusia.
Lapolaran kasus “ACUTE DECOMPENSATED HEART FAILURE” ini sebagai
rangkaian untuk memenuhi tugas akhir kegiatan Kepaniteraan Klinik di bagian/Kardiologi Fakultas
Kedokteran Universitas Abulyatama di Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa. Laporan kasus ini
juga diperuntukkan guna menambah wawasan pengetahuan. Penulis juga ingin menyampaikan
ucapan terima kasih atas bantuan dan kerjasama yang telah diberikan selama penyusunan laporan
kasus ini kepada dr.Haris Munirwan,Sp.JP selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit
Umum Daerah Meuraxa dan teman seperjuangan yang telah memberikan dorongan dan motivasi
sehingga laporan kasus ini dapat di selesaikan.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kaus ini jauh dari sempurna, oleh karena
itu, saran dan masukan yang bersifat konstruktif dari semua pihak senantiasa penulis harapkan guna
perbaikan di masa yang akan datang sehingga dapat menghasilkan karya yang lebih bermutu dan
bermanfaat bagi dunia penelitian kesehatan dalam uapaya meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat Indonesia.

Banda Aceh, 26 September 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS......................................................................................................3
2.1 Indentitas Pasien........................................................................................................3
2.2 Anamnesis..................................................................................................................3
2.3 Pemeriksaan Fisik......................................................................................................4
2.4 Pemeriksaan Penunjang.............................................................................................6
2.5 Diagnosis....................................................................................................................9
2.6 Tatatlaksana...............................................................................................................9
2.7 Planning.....................................................................................................................9
2.8 Prognosis....................................................................................................................9
2.9 Follow Up..................................................................................................................9
BAB III ANALISIS MASALAH............................................................................................12
BAB IV KESIMPULAN..........................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka mortalitas
dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia.
Di Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda dibanding Eropa dan Amerika
disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat.1 Prevalensi dari gagal jantung sendiri
semakin meningkat karena pasien yang mengalami kerusakan jantung yang bersifat akut
dapat berlanjut menjadi gagal jantung kronik. World Health Organization (WHO)
menggambarkan bahwa meningkatnya jumlah penyakit gagal jantung di dunia, termasuk Asia
diakibatkan oleh meningkatnya angka perokok, tingkat obesitas, dislipidemia, dan diabetes.
Angka kejadian gagal jantung meningkat juga seiring dengan bertambahnya usia.2,3 Menurut
studi yang dilakukan Framingham, insiden tahunan pada laki–laki dengan gagal jantung (per
1000 kejadian) meningkat dari 3 pada usia 50 - 59 tahun menjadi 27 pada usia 80 – 89 tahun,
sementara wanita memiliki insiden gagal jantung yang relatif lebih rendah dibanding pada
laki–laki (wanita sepertiga lebih rendah).1
Gagal jantung merupakan sindrom klinik yang bersifat kompleks, dapat berakibat dari
gangguan pada fungsi miokard (fungsi sistolik dan diastolik), penyakit katup ataupun
perikard, atau hal-hal yang dapat membuat gangguan pada aliran darah dengan adanya retensi
cairan, biasanya tampak sebagai kongesti paru, edema perifer, dispnu, dan cepat lelah. Siklus
ini dipicu oleh meningkatnya regulasi neurohumoral yang awalnya berfungsi sebagai
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan sistem Frank–Starling, tetapi justru
menyebabkan penumpukan cairan yang berlebih dengan gangguan fungsi jantung.1
Banyak pasien dengan gagal jantung tetap asimtomatik. Gejala klinis dapat muncul
karena adanya faktor presipitasi yang menyebabkan peningkatan kerja jantung dan
peningkatan kebutuhan oksigen. Faktor presipitasi yang sering memicu terjadinya gangguan
fungsi jantung adalah infeksi, aritmia, kerja fisik, cairan, lingkungan, emosi yang berlebihan,
infark miokard, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan, hipertensi, miokarditis dan
endokarditis infektif.1
Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung akut dan gagal jantung kronik.
Gagal jantung akut (acute heart failure) adalah kejadian atau perubahan yang cepat dari tanda
dan gejala gagal jantung. Gagal jantung akut dapat berupa gagal jantung akut yang baru
terjadi pertama kali (de novo) dan gagal jantung dekompensasi akut (acute decompensated

1
heart failure). ADHF atau gagal jantung dekompensasi akut adalah perburukan kondisi yang
ditandai dengan 2 memberatnya gejala gagal jantung yang terjadi secara cepat dan tiba-tiba.
ADHF terjadi pada pasien dengan gagal jantung kronisyang sebelumnya stabil. 7
Gagal jantung akut dekompensasi merupakan perburukan lebih lanjut dari gagal
jantung kronik, dimana penderita penyakit tersebut menunjukkan prognosis yang buruk.
Gagal jantung akut dekompensasi utamanya disebabkan oleh aktivasi yang berlebihan dari
sistem renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf simpatetik, yang pada awalnya
merupakan bentuk kompensasi kerusakan jantung. Manifestasi gangguan hemodinamik dari
gagal jantung akut dekompensasi tersebut akan mengarah pada akumulasi dan redistribusi
cairan menuju jaringan. 8

2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Indentitas Pasien
Nama : Tinik
No. CM : 120004
Tanggal Lahir : 21 November 1955
Umur : 67 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Aceh
Agama : Islam
Alamat :Peuniti, Banda Aceh
Tanggal Pemereiksaan : 17 Oktober 2022
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Sesak Nafas
Keluhan Tambahan : Kaki bengkak, cepat lelah
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan ke IGD RSUD Meuraxa dengan keluhan sesak nafas yang dialami
sejak 1 minggu yang lalu dan memberat ± 4 jam SMRS sesak dikeluhkan saat pasien
beraktivitas maupun beristirahat, pasien juga mengeluhkan sulit tidur (+), tidur juga lebih
nyaman menggunakan 2 bantal. Selain itu pasien juga mengeluhkan batuk berdahak (+) ±
sejak 1 minggu terakhir, kaki pasien juga terlihat bengkak dan pasien mengatakan sangat
lemas (+). Pasien juga tidak nafsu makan, demam (-), mual (-), muntah (-), BAB dan BAK
dalam batas normal.
Riwayat Penyakit Dahulu:
 Riwayat CHF
 Riwayat penyakit Dm
 Riwayat Hipertensi
 Hiperkolesterol

3
Riwayat Penyakit Keluarga:
Pasien mengaku bahwa anggota keluarganya sama memiliki riwayat Dm tipe-2 yaitu ayah
dan ibu pasien.
Riwayat Penggunaan Obat:
 Disangkal
Riwayat Kebiasaan Sosial:
Pasien jarang melakukan aktivitas fisisk, makan kurang teratur, pola istirahat juga kurang
teratur.
2.3 Pemeriksaan Fisik
 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
 Tinggi Badan : 150 cm
 Berat Badan : 70 kg
 BMI : 30,76kg/m2 (Overwight)
 Tanda Vital
o Suhu Tubuh : 36,7 C
o Tekanan Darah : 160/84 mmHg
o Nadi : 75 x/i
o Laju Nafas : 26x/i
o Kesadaran/GCS : Compos Mentis
Stasus Generalisata
 Kepala/ leher : Normosefali, deformitas (-), bengkak (-)
: Pembesaran KGB -/-
: Pembesaran kelenjar tiroid -/-
: TVJ 3cm
 Mata : Reflek cahaya +/+
: Konjungtiva pucat -/-
: Sklera ikterik -/-
: Pupil isokor, 3mm/3mmIOL
 Hidung : Deformitas (-), Septum Simetris, nyeri (-),
: Septum nasi ditengah, nafas cuping hidung (-)
 Telingan : Normotia, Nyeri tekan tragus (-), Sekret (-)
: penurunan fungsi pendengaran (-/-)
 Mulut/faring : Mukosa tidak pucat, hiperemis (-)

4
: Tonsil T1/T1
: Uvula ditengah
 Thorax
 Paru anterior
Inspeksi : Bentuk dada simetris, barrel chest (-)
: Gerak napas tertinggal (-)
: tampak sesak (-)
Palpasi : Fremitus taktil normal
: Gerakan dinding dada simetris

Perkusi : Sonor diseluruh lapangan paru


Auskultasi : Vasikuler(+/+), Ronkhi halus basal paru (+/+), wheezing (-/-)
 Paru Posterior
Inspeksi : Bentuk dada simetris, jejas (-/-)
Palpasi : Gerakan dinding dada simetris, fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi hlus basal paru (+/+), wheezing (-/-)
 Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : Pekak
Batas atas : ICS 3 linea midclavicula (s)

Batas kanan : ICS 4 linea parasternalis (d)

Batas bawah : ICS 5 linea aksilaris anterior (s)


Auskultasi : BJ I > BJ II (Normal), murmur (-), gallop (-)
 Abdomen
Inspeksi : Datar , bekas luka (-), Acites (-)

Auskultasi : Bising usus normal, bruits (-)

Perkusi : Timpani

Palpasi : Soepel, Nyeri tekan epigastrik (-)

: Nyeri tekan Hipocondriaca kanan (-)

5
: Hepatomegali (-), splenomegali (-)
Ekstemitas Atas : Akral hangat

: Deformitas (-), edema (-), Clubbing Fingger (-/-),


: CRT <2 detik
 Ekstremitas Bawah : Akral hangat

: Deformitas (-), edema (-), Clubbing Fingger (-/-)


: CRT <2 detik
 Genetelia : Tidak dilakukan pemeriksaan
2.4 Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
DARAH HASIL NILAI INTERTESTASI
LENGKAP RUJUKAN
17 Oktober 2022
Hemoglobin 15.1 13-18 g/dL
Eritrosit 5,03 4.4-5.9
Hemotokrit 45.6 42-52 H
MCV 90.7 80-96
MCH 30.3 28-33
MCHC 33.1 33-36
RDW-SD 36.0 35-47
RDW-CV 13.9 11.5-14.5
Leukosit 6.0 4.0-10.0
Eosinofil 0.2 1-6 L
Basofil 0.4 <1
Neutrofil 69.7 20.0-70.0
Limfosit 17.6 20.0-40.0 L
Monosit 12.3 2.0-8.0 H
Trombosit 234 150-450
PDW 10.0 9.0-13.0
MPV 9.5 7.2-11.1
PCT 0.31 0.150-0.400

6
Kimia Klinik
Glukosa Ad 87 70-110 mg/dl
Random
Glukosa Puassa 86 80-110 mg/dl
HbA1C Habis reagen %
Albumin 3.3 3.8-5.1 gr/dl L
Asam Urat 10.3 2.4-5.7 H
Kolesterol Total 156 <200 mg/dl
Kolesterol HDL 21 >45 mg/dl L
Kolesterol LDL 115 <160 mg/dl
Trigliserida 102 Mg/dl

 Elektrolit
Natrium 139 135-148 mmol/L
Kalium 2.8 3.5-5.3 mmol/L LL
Klorida 94 98-107 mmol/L L

 EKG

Interpretasi Hasil:
 Irama : Sinus rhythm
 Rate : Regular 94x/i
 Axis : Normoaxis
 Septal Infarct
7
 Foto Thorax

Kesan:
 Cor tampak membesar
 Pulmo tak tampak infiltrate diperihiler
paracard, sinus prhenicocostalis tajam
 Kesimpulan: Kardiomegali

 Echo

 Katup-katup dalam batas normal


 Dimensi ruang-ruang jantung: LV dilatasi
 Tidak tampak thrombus/ vegetasi intrakardiak
 Fungsi sistolik LV menurun
 Fungso sistolik RV Normal
 Disfungsi Diastolik LV peusedonormal
 Terdapat LVH eksentrik
Kesimpulan : Ischemic Cardiomiopati

8
2.5 Diagnosis
1 ADHF tipe wet and warm ec. Susp.CAD
2 DM tipe-2
2.6 Tatatlaksana
1 Bedrest semifowler
2 Threeway
3 Diet jantung MIII 1600 kkal/hari
4 Drip Furosemid 10 mg/jam
5 Drip Dobutamin 3 mcg/menit
6 Metformin 1x500 mg
7 Clopidogrel 1x75 mg
8 Atorvastatin 1x20 mg\
9 Spironolakton 1x100 mg
10 Laxadyn 1x30 ml
11 Ramipril 2x1,25 mg
2.7 Planning
1 Echocardiography
2.8 Prognosis
- Quo et Vitam : dubia ad bonam
- Quo et Functional : dubia ad bonam
- Quo et Sanactionam : dubia ad bonam
2.9 Follow Up
Tanggal Follow Up Terapi
20/10/ 2022 S/ Nyeri dada berkurang, pasien gelisah, Non Farmakologi
nafsu makan berkurang, batuk berdahak Bed rest semiflower
(+), sesak sesekali
Farmakologi
O/ Ku: sedang
Inj Furosemid 1A/jam
Td: 135/72 mmHg
Corolan 2x5 mg
Hr: 95 x/i
Cpg 1x75
RR: 15 x/i
Atorvastatin 1x20mg
T : 36.7 C
Spironolacton 1x125mg
SpO2: 99%
KSR 2x600 mg
Kes: kompos mentis
N. Acetyl Sistein 3x200 mg
Mata : isokor (+/+), konjungtiva
Laxadine 1x2 Cth
anemis (-/-)

9
Tvj : 3cm Ho2 Nostroke 1x10 mg
Paru : Vesikular (+/+), Ronkhi (-/-),
wezzing (-/-)
Cor : Bj I > Bj II, bising (-)
Abdomen : Soepel (+), peristaltic
normal (+)
A/
-ADHF tipe w/w ec. CAD
-Dm tipe-2
-Pneumonia
21/10/2022 S/ Nyeri dada (-), gelisah (-), nafsu makan TH/
menurun, batuk (+) Non Farmakologi
O/ Ku: sedang
Bedrest
Td: 126/80 mmHg
Farmakologi
Hr: 82 x/i
Inj Furosemid 1A/jam
RR: 20 x/i
Corolan 2x5 mg
T : 36.7 C
Cpg 1x75
SpO2: 99%
Atorvastatin 1x20mg
Kes: kompos mentis
Spironolacton 1x125mg
Mata : isokor (+/+), konjungtiva
KSR 2x600 mg
anemis (-/-)
N. Acetyl Sistein 3x200 mg
Tvj : 3cm Ho2
Laxadine 1x2 Cth
Paru : Vesikular (+/+), Ronkhi (+/+),
Nostroke 1x10 mg
wezzing (-/-)
Iv. Ceftriaxone
Cor : Bj I > Bj II, bising (-)
Abdomen : Soepel (+), peristaltic
normal (+)
A/
- ADHF tipe w/w ec. CAD
-Dm tipe-2
-Pneumonia
22/10/2022 S/ Nyeri dada (-), gelisah (-), nafsu makan TH/
menurun, batuk (+) Non Farmakologi
O/ Ku: sedang
Bedrest

10
Td: 140/90 mmHg Farmakologi
Hr: 82 x/i Inj Furosemid 1A/jam
RR: 20 x/i Corolan 2x5 mg
T : 36.7 C Cpg 1x75
SpO2: 99% Atorvastatin 1x20mg
Kes: kompos mentis Spironolacton 1x125mg
Mata : isokor (+/+), konjungtiva KSR 2x600 mg
anemis (-/-) N. Acetyl Sistein 3x200 mg
Tvj : 3cm Ho2 Laxadine 1x2 Cth
Paru : Vesikular (+/+), Ronkhi (+/+), Nostroke 1x10 mg
wezzing (-/-) Iv. Ceftriaxone
Cor : Bj I > Bj II, bising (-)
Abdomen : Soepel (+), peristaltic
normal (+)
A/
- ADHF tipe w/w ec. CAD
-Dm tipe-2
-Pneumonia

11
BAB III
ANALISIS MASALAH
Pasien datang dengan ke IGD RSUD Meuraxa dengan keluhan sesak nafas yang dialami
sejak 1 minggu yang lalu dan memberat ± 4 jam SMRS sesak dikeluhkan saat pasien
beraktivitas maupun beristirahat, pasien juga mengeluhkan sulit tidur (+), tidur juga lebih
nyaman menggunakan 2 bantal. Selain itu pasien juga mengeluhkan batuk berdahak (+) ±
sejak 1 minggu terakhir, kaki pasien juga terlihat bengkak dan pasien mengatakan sangat
lemas (+). Pasien juga tidak nafsu makan, demam (-), mual (-), muntah (-), BAB dan BAK
dalam batas normal. Pasien sebelumnya memiliki riwayat penyakit DM-tipe 2 dan hipertensi,
pasien juga memililki riwayat penyakit jantung.
Keluhan sesak napas pada pasien dapat mengarahkan pada beberapa diagnosis
penyakit yaitu gagal jantung, penyakit arteri koroner, emboli paru, pneumothoraks, PPOK,
asma, atau penyakit paru lainnya. Sesak napas yang terjadi pada pasien lebih mengarahkan
diagnosis ke arah jantung. Hal ini dapat diketahui karena sesak napas terjadi saat beraktifitas
dan berhenti saat istirahat. Selain itu pasien juga mengeluhkan rasa tidak nyaman ketika
pasien berbaring dalam posisi terlentang. Dispneu dapat terjadi pada pasien saat beraktivitas
fisik dengan memberatnya kodisi dispneu dapat terjadi hingga pada saat istirahat. Pada pasien
yang mengalami sesak nafas walau sedang beristirahat hal ini menandakan gagal jantung
pasien sudah mulai memberat.1
Pasien memiliki keluhan sesak napas. Pada disfungsi diastolik, ventrikel yang terkena
akan mempunyai kemampuan ejeksi yang berkurang akibat adanya gangguan kontraktilitas
miokard atau adanya beban tekanan yang berlebihan sehingga akan terjadi peningkatan
resistensi. Tekanan LV yang terus meningkat saat diastol akan mengakibatkan peningkatan
tekanan hidrostatik sehingga akan terjadi transudasi cairan dari kompartemen vaskular.
Normalnya, kelebihan cairan di ruang interstisial akan dibersihkan oleh aliran limfatik,
namun pada ADHF akumulasi cairan interstisial yang terjadi melebihi drainase sistem
limfatik sehingga mengakibatkan edema pulmonal yang mengakibatkan sesak.2
Pasien juga mengatakan bahwa keluhan sesak memberat saat tidur dan membaik saat
posisi setengah duduk atau tidur dengan 2 bantal. Kondisi ini juga disebut Orthopnea.
Orthopnea adalah sensasi sesak napas pada saat berbaring datar dan membaik dengan duduk
tegak. Gejala ini merupakan hasil dari redistribusi darah intravaskular dari berbagai bagian
tubuh yang dipengaruhi gravitasi menuju paruparu saat posisi berbaring.1
Pasien mengeluhkan terdapat adanya pembengkakan pada kedua tungkai bawah.
Edema perifer adalah manifestasi utama dari gagal jantung, tetapi tidak spesifik dan biasanya
12
tidak ada pada pasien yang telah diobati secara adekuat dengan diuretik. Edema perifer
biasanya simetris dan tergantung pada gagal jantung dan terjadi terutama pada pergelangan
kaki dan daerah pretibial pada pasien rawat jalan. Aliran darah yang keluar jantung jadi
melambat, darah pun kembali ke jantung melalui pembuluh darah balik. Kondisi tersebut
membuat cairan menumpuk di tungkai, pergelangan kaki, dan kaki. Dampaknya, kaki
mengalami pembengkakan atau edema Pada pasien yang terbaring di tempat tidur,
edema dapat ditemukan di daerah sakral (edema presakral) dan skrotum. Asites, terjadi
sebagai akibat dari peningkatan tekanan pada vena hepatika dan vena yang mengalirkan
peritoneum.4
Pasien ini juga mengeluhkan mudah lelah saat berjalan dan lemas. Pada penderita
ADHF terdapat adanya peningkatan tekanan pada arteri dan vena. Tekanan ini
mengakibatkan tingginya tekanan vena pulmonalis sehingga cairan mengalir dari kapiler ke
alveoli dan terjadilah edema paru. Edema paru mengganggu pertukaran gas di alveoli
sehingga timbul dispnoe dan ortopnoe. Keadaan ini membuat tubuh memerlukan energi yang
tinggi untuk bernafas sehingga menyebabkan pasien mudah lelah.2
Pasien juga memiliki riwayat diabetes pengidap diabetes rentan untuk terkena
serangan jantung, tetapi risikonya semakin tinggi pada pengidap diabetes tipe 2. Hubungan
antara penyakit diabetes dengan serangan jantung berawal dari tingginya kadar gula pengidap
diabetes. Pasalnya, kadar gula yang tinggi bila dibiarkan tidak terkontrol dapat meningkatkan
risiko penyakit jantung. Hal ini dikarenakan, glukosa berlebih yang mengalir dalam darah
pengidap diabetes dapat merusak pembuluh darah dan akhirnya memicu serangan jantung.
Melansir dari Direktorat P2PTM Kementerian Kesehatan RI, bila pembuluh darah besar
koroner mengalami kerusakan akibat diabetes yang tidak terkontrol, maka pembuluh darah
jantung yang rusak dapat menyebabkan penyakit jantung koroner dan serangan jantung
mendadak.3
Selain itu, tingginya tekanan darah akibat hipertensi dapat mengakibatkan
aterosklerosis. Kondisi tersebut adalah terjadinya penumpukan lemak pada dinding pembuluh
darah koroner, sehingga menimbulkan pembentukan plak. Plak yang terbentuk ini nantinya
akan membuat pembuluh darah koroner menyempit, bahkan penyumbatan mendadak juga
bisa saja terjadi. Akibatnya, gejala seperti nyeri pada dada, sesak napas, irama jantung tidak
teratur, pingsan, hingga dampak yang lebih fatal dapat terjadi. Sebab, asupan darah yang
dialirkan ke seluruh tubuh menuju jantung tidak dapat tercukupi dengan baik. Tak hanya
mengakibatkan kerusakan pada pembuluh darah koroner, tekanan yang berlebihan pada

13
pembuluh darah akan membuat jantung bekerja lebih keras untuk memompa darah. Kondisi
ini dapat memicu terjadinya penebalan dan penurunan elastisitas otot jantung.3
Pada pemeriksaan fisik paru didapatkan vesikuler dan terdapat ronki basah pada basal
paru. Bunyi tambahan seperti ronkhi dapat disebabkan oleh penumpukan cairan di paru
akibat aliran balik darah ke paru-paru. Ronki basal sebagai akibat ekstravasasi cairan dari
kapiler paru ke alveoli akibat peningkatan tekanan ventrikel kiri. Krepitasi paru (ronki atau
krepitasi) terjadi dikarenakan transudasi cairan dari ruang intravaskular ke dalam alveoli.
Pada pasien dengan edema paru, ronki dapat terdengar luas di kedua lapang paru dan dapat
disertai dengan mengi saat ekspirasi (asma jantung). Ketika hadir pada pasien tanpa penyakit
paru-paru, maka spesifik untuk gagal jantung.4
Pada keadaan gagal jantung, diastol mengalami peningkatan karena ketidakmampuan
pengosongan ventrikel. Keadaan tersebut akan direspon dengan adanya penambahan jumlah
sarkomer pada miokardium. Keadaan kardiomegali akan berefek pada penurunan kualitas
kontraksi ventrikel. Patofisiologi ADHF bersifat pleiotropik dan bergantung pada sejumlah
faktor, termasuk derajat disfungsi jantung sistolik dan diastolik, keterlibatan relatif ventrikel
kanan dan kiri, tonus vaskular arteri dan vena, status aktivasi neurohormonal dan inflamasi,
dan komorbiditas yang berkontribusi.5
Mekanisme Frank Starling memiliki peranan penting dalam kompensasi gagal
jantung. Peningkatan preload akan menyebabkan peningkatan left ventricular end diastolic
pressure (LVEDP). Hal ini mengakibatkan dilatasi otot jantung sebagai respon terhadap
peningkatan curah jantung. Hal ini yang dikenal sebagai mekanisme Frank Starling. Pada
mekanisme Frank Starling kemampuan otot jantung dioptimalkan sampai batas maksimal
dengan memperpanjang panjang awal otot jantung dan menambah elemen kontraktil untuk
meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung. Kelainan pada otot jantung dapat menurunkan
kontraktilitas otot jantung dan menurunkan isi sekuncup serta kekuatan kontraksi otot jantung
sehingga terjadi penurunan curah jantung.6
Demikian pula pada penyakit sistemik menyebabkan jantung berkompensasi
memenuhi kebutuhan oksigen jaringan. Bila terjadi terus menerus, jantung akan gagal
berkompensasi sehingga mengakibatkan penurunan curah jantung. Hal ini akan menimbukan
penurunan volume darah akibatnya terjadi penurunan curah jantung, penurunan kontraktilitas
miokard pada ventrikel kiri (apabila terjadi infark di ventrikel kiri) akan menyebabkan
peningkatan beban ventrikel kiri. Hal ini disebabkan karena penurunan kontraktilitas disertai
dengan peningkatan venous return (aliran darah balik vena). Hal ini tentunya akan
meningkatkan bendungan darah di paru-paru. Bendungan akan mengakibatkan aliran ke
14
jaringan dan alveolus paru sehingga terjadi edema pada paru-paru. Edema ini tentunya akan
menimbulkan gangguan pertukaran gas di paru-paru.6
Tanda dominan ADHF yaitu tekanan arteri dan vena meningkat. Tekanan ini
mengakibatkan peningkatan tekanan vena pulmonalis sehingga cairan mengalir dari kapiler
ke alveoli dan terjadilah edema paru. Edema paru mengganggu pertukaran gas di alveoli
sehingga timbul dispnoe dan ortopnoe. Keadaan ini membuat tubuh memerlukan energi yang
tinggi untuk bernafas sehingga menyebabkan pasien mudah lelah. Dengan keadaan yang
mudah lelah ini penderita cenderung immobilisasi lama sehingga berpotensi menimbulkan
thrombus intrakardial dan intravaskuler. Apabila penderita meningkatkan aktivitasnya sebuah
thrombus akan terlepas menjadi embolus dan dapat terbawa ke ginjal, otak, usus dan tersering
adalah ke paru-paru menimbulkan emboli paru. Emboli sistemik juga dapat menyebabkan
stroke dan infark ginjal.
Karena sifat kronis dari penyakit yang mendasarinya, pasien yang mengalami ADHF
akan selalu menunjukkan sejumlah komorbiditas medis yang berkontribusi terhadap
timbulnya dan tingkat keparahan masuk rumah sakit.Pada foto toraks pasien didapatkan hasil
kardiomegali, hal ini bisa terjadi akibat dari kompensasi jantung untuk meningkatkan cardiac
output. Pada awalnya hipertrofi ventrikel ini memungkinkan jantung untuk berkontraksi lebih
kuat, tetapi efek dari hipertrofi jantung harus diikuti oleh peninggian tekanan diastolik
ventrikel yang lebih tinggi dari normal, dengan demikian tekanan atrium juga meningkat,
akibat dari kekakuan dinding yang mengalami hipertrofi, yang pada akhirnya menurunkan
cardiac output.
Temuan klinis yang terdapat pada pasien mengarahkan ke diagnosis gagal jantung.
Hal tersebut didukung dengan keluhan sesak napas saat beraktivitas dan berkurang ketika
beristirahat. Untuk klasifikasi gagal jantung berdasarkan New York Hearth Association
dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Klasifikasi Gagal Jantung Berdasarkan New York Hearth Association

15
Gejala dan tanda yang dijumpai pada pasien ini telah memenuhi kriteria Framingham
(Tabel 2). Gagal jantung ditegakkan bila memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor
ditambah 2 kriteria minor. Kriteria mayor yang terdapat pada pasien ini yaitu kardiomegali,
ortopnea, dan ronkhi basah. Kriteria minor meliputi edema ekstremitas, sesak napas saat
beraktifitas, dan efusi pleura dextra.7
Tabel 2. Kriteria Framingham

Gagal jantung dapat terjadi oleh berbagai sebab, seperti penyakit jantung iskemik,
penyakit katup, penyakit jantung hipertensi, dan kardiomiopati. Namun, penyebab tersering
gagal jantung yaitu (1) kerusakan otot jantung akibat serangan jantung atau gangguan
sirkulasi ke otot jantung dan (2) pemompaan terus menerus ke beban akhir akhir yang
meningkat secara kronis, misalnya pada stenosis katup semilunar atau peningkatan menetap
tekanan darah.8

16
Pada tahap awal kasus gagal jantung, terdapat dua mekanisme kompensasi utama
untuk memulihkan isi sekuncup (volume darah yang dipompa per kali denyut). Pertama,
aktivitas simpatis ke jantung secara refleks meningkat yang dapat meningkatkan kontaktilitas
jantung ke arah normal. Namun, stimulasi simpatis dapat membantu mengkompensasi hanya
dalam waktu singkat karena jantung menjadi kurang responsif terhadap noreprinefrin setelah
pajanan berkepanjangan dan selain itu simpanan norepinefrin di ujung saraf simpatis jantung
terkuras. Kedua, ketika curah jantung berkurang, ginjal akan menahan lebih banyak garam
dan air ditubuh untuk menambah volume darah. Meningkatnya volume darah dalam sirkulasi
akan meningkatkan VDA.8
Pasien dengan ADHF cenderung hadir dengan perburukan gejala gagal jantung
kronis, ditandai dengan sesak napas yang makin memberat, edema tungkai, ortopnea, dan
ronki basah halus.22 Pada pasien ini didiagnosis menjadi ADHF tipe wet and warm
dikarenakan terdapat ronki basah halus, edema ekstremitas bawah (wet) dan akral hangat saat
perabaan (warm). Berdasarkan pedoman European Society of Cardiology, klasifikasi
dikelompokkan pada penilaian klinis awal pasien untuk memperhitungkan tanda dan gejala
kongesti (ortopnu, edema, peningkatan pulsasi vena jugularis) dan gangguan perfusi di
perifer (ekstremitas dingin, oliguria, dan tekanan nadi sempit). Pasien digambarkan sebagai
basah/wet atau kering/dry dan dingin/cold atau hangat/warm tergantung pada penilaian status
perfusinya. Penilaian klinis gabungan ini mengidentifikasi empat kelompok yaitu pasien
basah dan hangat (wet and warm), kering dan hangat (dry and warm), kering dan dingin (dry
and cold), basah dan dingin (wet and cold) yang tidak hanya memungkinkan untuk stratifikasi
awal sebagai panduan untuk terapi, tetapi juga sebagai faktor prognostik.8
Gambar 3.2 Klasifikasi Forrester

17
Pada pemeriksaan elektrokardiogram didapatkan irama jantung sinus, dengan laju 77
x/menit, normoaxis. Pasien yang diduga gagal jantung, pemeriksaan EKG harus dikerjakan.
Pemeriksaan EKG dapat menunjukkan hasil normal, atau adanya perubahan iskemik dan
hipertensif. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal jantung berupa adanya temuan
iskemik dan kardiomegali. Hasil pemeriksaan EKG yang abnormal memiliki nilai prediktif
yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung. Sedangkan hasil EKG yang normal, diagnosis
gagal jantung khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (<10%).10
Pasien ini dilakukan pemeriksaan ekokardiografi, merupakan pemeriksaan yang
sangat esensial pada pasien gagal jantung. Temuan ekokardiografi yang didapatkan pasien ini
yaitu : Katup-katup dalam batas normal dimensi ruang-ruang jantung normal, tidak tampak
thrombus/ vegetasi intrakardiak, fungsi sistolik LV menurun, fungsi sistolik RV Normal,
disfungsi Diastolik LV peusedonormal, terdapat LVH eksentrik. Konfirmasi diagnosis gagal
jantung danatau disfungsi jantung dengan pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan
dilakukan secepatnya pada pasien dengan dugaan gagal jantung.10

18
Pasien ini didiagnosis dengan Acute Decompensated Heart Failure yang merupakan
perburukan tanda dan gejala dari gagal jantung. Gagal jantung dekompensasi terjadi pada
pasien dengan penurunan fungsi ventrikel kiri. Pada tatalaksana kasus ini, pasien dianjurkan
bedrest untuk dapat membantu kerja pompa jantung yang minimal. Hal ini membantu
keadaan pasien untuk tidak lebih parah. Terapi yang diberikan pada pasien tersebut adalah:
a. Drip Furosemid 10 mg/jam
Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid akan bekerja dengan cara blok
transpoter Na/K/Cl, sehingga akan terjadi peningkatan volume urin dengan cara
meningkatkan ekskresi air, garam, dan ion lainnya. Obat ini memiliki peran penting dalam
sekresi cairan dan garam. Pemberian terapi ini pada pasien gagal jantung memerlukan
perhatian khusus dengan memantau status dehidrasi pasien, fungsi ginjal, dan serum
elektrolit.
b. Drip Dobutamin 3 mcg/menit
Dobutamin adalah obat golongan agonis beta yang digunakan untuk pengobatan gagal
jantung. Pada prinsipnya, obat-obat agonis beta bekerja dengan meningkatkan respon
reseptor sehingga efek akibat ikatan senyawareseptor lebih besar. Dobutamin bekerja
dengan meningkatkan sintesis cAMP (cyclic Adenosine-3’,5’-Monophosphate) sehingga
kontraktilitas jantung meningkat.
c. Clopidogrel 1x75 mg
Clopidogrel berperan dalam mencegah trombosit atau sel keping darah saling menempel
dan membentuk gumpalan darah serta meminimalisir sumbatan pembuluh jantung.
Clopidogrel merupakan golongan antiplatelet yang bekerja dengan cara mengurangi
agregasi platelet sehingga dapat menghambat pembentukkan trombus pada sirkulasi arteri.
Pemberian terapi ini hanya diberikan jika ada indikasi tertentu.
d. Atorvastatin 1x20 mg
Obat golongan statin yang selama ini rutin diberikan sebagai penurun kadar kolesterol
LDL, ternyata terbukti memiliki efek dalam menurunkan kejadian kardiovaskular
termasuk Fibrilasi Atrium paska bedah. Efek tersebut berhubungan dengan kemampuan
statin dalam memperbaiki profil kolesterol dan efek pleiotropiknya. Efek pleiotropik yang
dimaksud antara lain efek antiinflamasi, antioksidan, efek kardioprotektif, modulasi
neurohumoral, dan efek stabilisasi plak.
e. Spironolakton 1x100 mg
Penambahan spironolakton pada pasien yang menerima terapi Furosemide dan ACE
Inhibitor bertujuan untuk memberikan efek sinergis dalam penghambatan RAAS yaitu
19
peniadaan efek RAAS terhadap system kardiovaskular diantaranya remodeling ventrikel
kiri, vasokontriksi/ hipertensi, dan hipertrofi ventrikel.
f. Laxadyn 1x30 ml
Terapi Laxadyn digunakan untuk mengatasi susah buang air besar atau konstipasi. h)
Ramipril 2x1,25 mg Ramipril adalah obat antihipertensi golongan ACE-Inhibitor, obat ini
termasuk drug of choice. ACE-I bekerja menghambat produksi angiotensin II yang
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah. Eliminasi natrium juga meningkat, hal ini
dapat membantu pengurangan volume 21 intravaskular yang akan berpengaruh terhadap
perbaikan kondisi kongesti pada pasien.9

Prognosis gagal jantung tergantung secara primer pada sifat penyakit jantung yang
mendasari dan pada ada atau tidaknya factor pencetus yang dapat diobati. Jika salah satu dari
yang terakhir dapat diidentifikasi dan dibuang, hasil kelangsungan hidup segera jauh lebih
baik daripada jika gagal jantung terjadi tanpa penyebab pencetus yang terlihat. Dalam situasi
terakhir ini, kelangsungan hidup biasanya berkisar antara bulan sampai 4 tahun tergantung
pada keparahan gagal jantung. Pasien GJA memiliki prognosis yang sangat  buruk. Sekitar
45% pasien GJA akan dirawat ulang paling tidak satu kali, 15% paling tidak dua kali dalam
12 bulan pertama.4

BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien ini
didiagnosis dengan Acute Decompensated Heart Failure (ADHF) yang memiliki keluhan
sesak saat istirahat dan semakin memberat terutama saat beraktivitas. Pasien ini tergolong
kedalam tipe wet and warm karena pasien mengalami gejala kongesti berupa sesak dan
adanya ronki basah pada basal paru kanan serta fungsi perfusi baik yang ditandai dengan
akral ekstremitas atas dan bawah yang hangat. Pasien dengan ADHF cenderung hadir dengan
perburukan gejala gagal jantung kronis, ditandai dengan sesak napas yang makin memberat,
edema tungkai, ortopnea, dan ronki basah halus. Pasien ditatalaksana untuk mengurangi

20
tekanan pengisian jantung, meredakan gejala melalui diuresis, vasodilatasi, atau keduanya,
dan menghindari perburukan lebih lanjut. Edukasi terkait faktor risiko penyakit jantung
diperlukan untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Siswanto BB, Hersunarti N, Erwinanto, Pratikto RS, Nauli SE, Lubis AC, Wiryawan N, Dewi
PP, Pratikto RS, Hasanah DY. 2020. Pedoman Tata Laksana Gagal Jantung. Edisi kedua :
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Jakarta: PP PERKI
2. Ramani GV, Uber PA, Mehra MR. Chronic heart fail-ure: contemporary diagnosis and
management. Mayo Clin. Proc. 2020;85:180–195.
3. Dickstein K, Cohen-Solal A, Filippatos G, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure 2019: the Task Force for the Diagnosis and
4. Ramani GV, Uber PA, Mehra MR. Chronic heart fail-ure: contemporary diagnosis and
management. Mayo Clin. Proc. 2020;85:180–195.
5. Beard TC. Pedoman diet dengan potensi terapeutik yang besar. Australia Jurnal
KesehatanPrimer: 2021, 14 (3). 120-131
6. Bellet S. Clinical Disorders of the Heart Beat. 3rd ed. Philadelphia: Lea & Febiger; 2019.
7. Europace : European pacing, arrhythmias, and cardiac electrophysiology : journal of the
working groups on cardiac pacing, arrhythmias, and cardiac cellular electrophysiology of the
European Society of Cardiology;12:1360-420.
8. Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Faucy AS, Longo DL, Loscalzo J. Harrison’s principles
of internal medicine. 19th ed. New York: McGraw-Hill Education; 2021.
9. Yuniadi Y, Tondas AE, Hanafy DA, Hermanto DY, Maharani E, Munawar M, et al.
Pedoman tatalaksana fibrilasi atrium. 1st ed. Centra Communications: PERKI; 2019 .p. 1-82
10. Issa ZF, Miller JM, Zipes DP. Clinical arrhythmology and electrophysiology: A companion
to Braunwald’s heart disease. 2nd ed. Philadelphia: Elsevier; 2021.

22

Anda mungkin juga menyukai