Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

BRONKOPNEUMONIA
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat dalam Menjalankan Kepanitraan
Klinik Senior Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Meuraxa Banda Aceh

Pembimbing:
dr. Wahdini, Sp.A

Disusun Oleh:
Harliadi
21174053

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN/ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MEURAXA BANDA ACEH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT semesta alam atas limpahan rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini. Shalawat beserta salam kepada
junjungan islam, Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan contoh teladan dan
membukawawasan cakrawala umat manusia.
Laporan kasus Bronkopneumonia ini sebagai rangkaian untuk memenuhi tugas
akhir kegiatan Kepaniteraan Klinik di bagian/ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Abulyatama di Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa. Laporan
kasus ini juga diperuntukkan guna menambah wawasan pengetahuan. Penulis juga
ingin menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan dan kerjasama yang telah
diberikan selama penyusunan laporan kasus ini kepada dr. Wahdini, Sp.A selaku
pembimbing Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa dan teman
seperjuangan yang telah memberikan dorongan dan motivasi sehingga laporan kasus ini
dapat di selesaikan.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kaus ini jauh dari sempurna, oleh karena
itu, saran dan masukan yang bersifat konstruktif dari semua pihak senantiasa penulis
harapkan guna perbaikan di masa yang akan datang sehingga dapat menghasilkan karya
yang lebih bermutu dan bermanfaat bagi dunia penelitian kesehatan dalam uapaya
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia.

Banda Aceh, 26 januari 2023

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................I
DAFTAR ISI.....................................................................................................................II
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS..............................................................................................2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................8
3.1 Definisi..................................................................................................................8
3.2 Epidemiologi.........................................................................................................8
3.3 Etiologi..................................................................................................................9
3.4 Patogenesis..........................................................................................................10
3.5 Manifestasi Klinis...............................................................................................13
3.6 Pemeriksaan Penunjang......................................................................................15
3.7 Diagnosis.............................................................................................................22
3.7 Penatalaksanaan..................................................................................................25

BAB IV KESIMPULAN..................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................31

II
BAB I

PENDAHULUAN

Dyspnea adalah istilah medis untuk sesak napas. Kondisi ini terjadi akibat tidak
terpenuhinya pasokan oksigen ke paru-paru yang menyebabkan pernapasan menjadi
cepat, pendek, dan dangkal. Idealnya, orang dewasa dan remaja sehat akan bernapas
sekitar 12-20 kali per menit. Namun saat mengalami dyspnea, pola dan frekuensi
pernapasan akan berubah.1

Bronkopneumonia adalah salah satu jenis pneumonia yang disebabkan oleh


infeksi virus, bakteri, atau jamur. Kondisi ini juga dapat dipicu oleh beberapa faktor
risiko, seperti usia, lingkungan, gaya hidup, dan kondisi kesehatan tertentu.
Bronkopneumonia merupakan jenis pneumonia yang menyebabkan infeksi dan
peradangan pada saluran udara (bronkus) dan kantung udara (alveolus).1

Kondisi ini membuat saluran udara menyempit dan area pertukaran udara dengan
darah menjadi berkurang. Akibatnya, penderita bronkopneumonia menjadi kesulitan
bernapas. Bronkopneumonia terjadi peradangan alveoli atau pada parenchim paru distal
dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, alveoli, serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan menimbulkan gangguan pertukaran gas
setempat yang terjadi pada anak.2
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada
parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai
alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, Kebanyakan kasus
pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non
infeksi yang perlu dipertimbangkan. 2
Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder terhadap berbagai
keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga sebagai infeksi primer yang
biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang dewasa. Jadi bronkopnemonia adalah
infeksi atau peradangan pada jaringan paru terutama alveoli atau parenkim yang sering
menyerang pada anak – anak.2

1
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
Nama : An. RA
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 4 tahun
Alamat : Peukan Bada, Aceh Besar
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 3 Desember 2022

2.2 Anamnesis
 Keluhan Utama : Sesak Nafas
 Keluhan Tambahan: Batuk berdahak, demam, dan nafsu makan menurun
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD MEURAXA dengan keluhan sesak nafas (+),
yang telah dialami oleh pasien sejak sore hari yang sama dan memberat SMRS,
sesak nafas dirasakan muncul secara tiba-tiba, 2 hari SMRS pasien mengeluhkan
demam tinggi (+) yang naik turun , demam turun pada saat pagi hari dan tinggi
pada saat menjelang malam, selain itu juga mengeluhkan batuk berdahak (+) yang
terjadi 4 hari yang lalu sebelum demam, ketika batuk pasien sulit untuk
mengeluarkan dahak tersebut sehingga merasa mudah lelah dan nafsu makan
menurun, gejala sistemik lainnya seperti nyeri kepala disangkal (-), mual muntah
disangkal (-), BAB dan BAK dalam batas normal
 Riwayat Penyakit Dahulu : Disangkal
 Riwayat Penyakit Keluarga : Disangkal
 Riwayat Sosial : Ayah pasien perokok berat dan aktif sejak puluhan tahun.
 Riwayat Kehamilan
Masa kehamilan 9 bulan, ANC rutin , masalah atau infeksi pada masa kehamilan
disangkal (-)
 Riwayat Trauma : Disangkal.
 Riwayat Kelahiran
Lahir secara spontan dibidan, menangis kuat dan aktif

2
BB saat lahir : 2.9 kg
 Riwayat Imunisasi
Tidak Lengkap (Ibu lupa apa saja imunisasi yang tidak diberikan), hanya pada saat
baru lahir, setelah itu tidak pernah dilakukan imunisasi sesuai jadwal.
 Riwayat Pertumbuhan dan perkembangan
a. Motorik kasar
 Sesuai usia
b. Bahasa
 Bicara : 9 bulan.
c. Motorik halus
 Memegang benda : 4 bulan.
d. Personal sosial
 Tersenyum : 1,5 bulan
 Mulai makan : 6 bulan
e. Kesan : pertumbuhan dan perkembangan sesuai usia.
 Riwayat Nutrisi
Pemberian asi ekslusif samapai usia 1 tahun, dan pada usia 6 bulan ditambah
dnegan MP-ASI
 Riwayat Penggunaan Obat : Disangkal
 Riwayat Alergi : Tidak ada
2.3 Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum : Sedang
 Kesadaran : Kompos mentis
 Tanda-tanda vital :
 Tekanan darah : - mmHg
 Nadi : 99 x/ menit, reguler, kuat angkat.
 Respirasi : 27x/ menit
 Suhu : 36,6 0C
 BB : 12 kg
 TB : 97cm
 MIT : 12.76

3
 Antropometri
 BB/U :-2 (BB kurang)
 PB/U :-2
 BB/PB: -2
 Kepala
 Mata : Conjungtiva anemis (-/-) , mata cekung (+/+)
 Telinga : Normotia
 Hidung : Deviasi Septum (-/-) Sekret (+) Pernapasan Cuping
Hidung (-/-)
 Mulut : Sianosis (-)
 Leher : Pembesaran KGB (-)
 Thorak
Pulmo :
 Inspeksi : Pergerakan dada simetris (+) Retraksi Intercostal (+)
 Palpasi : Nyeri tekan (-)
 Perkusi : Tidak dilakukan
 Auskultasi : Vesikuler (+/+), Ronkhi (+/+), Wheezing (+/+)
Cor :
 Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
 Palpasi : Iktus kordis tidak kuat angkat
 Perkusi : Tidak dilakukan
 Auskultasi : BJ I > II, reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen
 Inspeksi : Jejas (-)
 Palpasi : Nyeri tekan (-)
 Auskultasi : Peristaltik (↑) meningkat
 Perkusi : tympani
 Ekstremitas
Akral dingin : Edema :
- - - -
- - - -

4
2.4 Diagnosis Kerja
Bronkopenomonia
2.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
DARAH NILAI
HASIL INTERTESTASI
LENGKAP RUJUKAN
3 Desember 2022
Hemoglobin 9.0 13-18 g/dL L
Eritrosit 4.50 4.4-5.9
Hemotokrit 27.9 42-52 L
MCV 62.0 80-96 L
MCH 20.0 28-33 L
MCHC 32.3 33-36
RDW-SD 35.8 35-47
RDW-CV 17.1 11.5-14.5 H
Leukosit 413.7 4.0-10.0
Eosinofil 4.7 1-6 H
Basofil 0.2 <1
Neutrofil 59.8 20.0-70.0
Limfosit 21.3 20.0-40.0
Monosit 3.9 2.0-8.0
Trombosit 438 150-450
PDW 10.0 9.0-13.0
MPV 7.9 7.2-11.1
P-LCR 19.0 15.0-25.0
0.24 0.14 0.150-0.400

2. Kimia Klinik dan Elektrolit


Pemeriksaan Hasil

5
Glukosa Ad random 271 (H)

2.7 Penatalaksanaan
Tindakan terapi :
 IVFD NaCl 20 gtt
 Inj. Ceftriakson 450 mg/12 j
 Inj. Ranitidin 15 mg/12 j
 Drip. Paracetamol 150 mg/8 j
2.7 Prognosis
Ad vitam : dubia
Ad sanam : dubia
Ad fungsionam : dubia
2.8 Follow Up

Tanggal Follow Up Tatalaksana

4/12/2022 S/ Demam (-), sesak nafas (+), batuk  IVFD NaCl 20 gtt
berdahak (+), pilek (-), BAB dan BAK
 Inj. Ceftriakson 450 mg/12 j
dalam batas normal, nafsu makan
menurun  Inj. Ranitidin 15 mg/12 j
 Inj. Dexametason 3 mg
O/ KU : Sedang
 Drip. Paracetamol 150 mg/8 j
HR : 90x/i
 Nebul Combivent resp+ Nacl
RR : 44x/i
0.9% 13cc/ 12 jam
T: 36.2 C

SpO2 : 99%

A/ Dyspnea ec, Bronchopenomonia

5/12/2022 S/ Demam (-), sesak nafas (+), batuk  IVFD NaCl 20 gtt
berdahak (+), pilek (-), BAB dan BAK
 Inj. Ceftriakson 450 mg/12 j
dalam batas normal, nafsu makan
menurun  Inj. Ranitidin 15 mg/12 j
 Inj. Dexametason 3 mg
O/ KU : Sedang
 Drip. Paracetamol 150 mg/8 j

6
HR : 121x/i  Nebul Combivent resp+ Nacl

RR : 33x/i 0.9% 13cc/ 12 jam

T: 36.2 C

SpO2 : 95%

A/ Dyspnea ec, Bronchopenomonia

6/12/2022 S/ Demam (-), sesak nafas (+), batuk  IVFD NaCl 20 gtt
berdahak (+), pilek (-), BAB dan BAK
 Inj. Ceftriakson 450 mg/12 j
dalam batas normal, nafsu makan
menurun  Inj. Ranitidin 15 mg/12 j
 Inj. Dexametason 3 mg
O/ KU : Sedang
 Drip. Paracetamol 150 mg/8 j
HR : 103x/i
 Nebul Combivent resp+ Nacl
RR : 424x/i
0.9% 13cc/ 12 jam
T : 36.2 C

SpO2 : 99%

A/ Dyspnea ec, Bronchopenomonia

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Bronkopneumonia adalah inflamasi dari parenkim paru yang meliputi alveolus dan
jaringan interstisial.5 Pneumonia biasanya disebabkan oleh mikroorganisme, namun
pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk.6 Bila
parenkim paru terkena infeksi dan mengalami inflamasi hingga meliputi seluruh alveolus
suatu lobus paru maka disebut pneumonia lobaris atau pneumonia klasik. Bila proses
tersebut tidak mencakup satu lobus dan hanya di bronkiolus dengan pola bercak – bercak
yang tersebar bersebelahan maka disebut bronkopneumonia. Bronkopneumonia
merupakan jenis pneumonia yang sering dijumpai pada anak – anak. 3,4
3.2 Epidemiologi
Bronkopneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak
berusia di bawah 5 tahun. Diperkirakan hampir seperlima kematian anak di seluruh
dunia, kurang lebih 2 juta anak balita meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian
besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Pneumonia lebih sering dijumpai di negara
berkembang dibandingkan negara maju. Menurut survei kesehatan anak nasional ( SKN )
2017, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh
penyakit sistem respiratori, terutama pneumonia.1,

Bronkopenomonia 3%

Bronkopenomoni
a

Gambar 1. Penyebab Kematian Pada Balita Pada Tahun 2018 ( WHO/Child Health
Epidemiology Reference Group (CHERG) )

8
3.3 Etiologi
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh infeksi mikroorganisme ( virus,
bakteri, jamur, parasit ) dan sebagain kecil disebabkan oleh hal lain, seperti aspirasi
makanan dan asam lambung, benda asing, senyawa hidrokarbon, reaksi hipersensitivitas,
dan drug – or radiation induced pneumonitis. Usia pasien merupakan faktor yang
memegang peranan penting pada perbedaan dan kekhasan bronkopneumonia anak
terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan strategi pengobatan. 1
Pada neonatus sering terjadi pneumonia akibat transmisi vertikal ibu – anak yang
berhubungan dengan proses persalinan. Infeksi terjadi akibat kontaminasi dengan sumber
infeksi dari ibu, misalnya melalui aspirasi mekoneum, cairan amnion, atau dari serviks
ibu. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil meliputi
Streptococcus group B, Chlamydia trachomatis, dan bakteri Gram negatif seperti E. coli,
Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. disamping bakteri utama penyebab pneumonia yaitu
Streptococcus pneumoniae.
Infeksi oleh Chlamydia trachomatis akibat transmisi dari ibu selama proses
persalinan sering terjadi pada bayi di bawah 2 bulan. Penularan transplasenta juga dapat
terjadi dengan mikroorganisme Toksoplasma, Rubela, virus Sitomegalo, dan virus Herpes
simpleks ( TORCH ), Varisela – Zoster, dan Listeria monocytogenes. Pada bayi yang
lebih besar dan anak balita, bronkopenumonia lebih sering disebabkan oleh infeksi
Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylococcus aureus,
sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga
ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae.1,9
Di negara maju, bronkopenumonia pada anak tertuama disebabkan oleh virus, di
samping bakteri, atau campuran bakteri dan virus. pada pneumonia anak dan menemukan
etiologi virus saja sebanyak 32%, campuran bakteri dan virus 30%, dan bakteri saja 22%.
Virus yang terbanyak menyebabkan pneumonia antara lain adalah Respiratory Synctial
Virus ( RSV ), Rhinovirus, dan virus Parainfluenzae. Bakteri yang terbanyak adalah
Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Mycoplasma
pneumoniae. Kelompok anak berusia 2 tahun ke atas mempunyai etiologi infeksi bakteri
yang lebih banyak dibandingkan dengan anak berusia di bawah 2 tahun. Namun, secara
klinis umumnya pneumonia bakteri sulit dibedakan dengan bronkopenumonia virus. 4,6

USIA ETIOLOGI YANG ETIOLOGI YANG

9
SERING JARANG
Lahir – 20 hari BAKTERI BAKTERI
E. colli Bakteri anaerob
Streptococcus group B Streptococcus group D
Listeria monocytogenes Haemophillus influenzae
Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
VIRUS
Virus Sitomegalo
Virus Herpes simpleks
3 minggu – 3 bulan BAKTERI BAKTERI
Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenzae tipe
B
VIRUS Moraxella catharalis
Virus Adeno Staphylococcus aureus
Virus Influenza Ureaplasma urealyticum
Virus Parainfluenza 1, 2, 3 VIRUS
Respitatory Syncytical Virus Virus Sitomegalo
4 bulan – 5 tahun BAKTERI BAKTERI
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae tipe
B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
Streptococcus pneumoniae Neisseria meningitidis
VIRUS Staphylococcus aureus
Virus Adeno VIRUS
Virus Influenza Virus Varisela-Zoster
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Synncytial virus
5 tahun – remaja BAKTERI BAKTERI

10
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
VIRUS
Virus Adeno
Virus Epstein-Barr
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial Virus
Virus Varisela-Zoster

FAKTOR RISIKO
Faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas bronkopneumonia
pada anak balita di negara berkembang, antara lain:
 pneumonia yang terjadi pada masa bayi
 berat badan lahir rendah ( BBLR )
 tidak mendapat imunisasi
 tidak mendapat ASI yang adekuat
 malnutrisi
 defisiensi vitamin A
 tingginya prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring
 tingginya pajanan terhadap polusi udara ( polusi industri atau asap rokok)
 imunodefisiensi dan imunosupresi ( HIV, penggunaan obat imunisupresif )
 adanya penyakit lain yang mendahului, seperti campak
 intubasi, trakeostomi
 abnormalitas anatomi 1,8

3.4 Patogenesis
Dalam keadaan sehat tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan
ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru antara lain, mekanisme pertahanan awal

11
yang berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier aparatus dan mekanisme
pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon inflamasi yang diperantarai
leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang
diperantarai sel. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh,
mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat berkembangbiak dan
menimbulkan penyakit.5
Risiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk
sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme
mencapai permukaan saluran napas: aspirasi sekret yang berisi mikroorganisme patogen
yang telah berkolonisasi pada orofaring, inhalasi aerosol yang infeksius, dan penyebaran
hematogen dari bagian ekstrapulomonal. Dari ketiga cara tersebut, aspirasi dan inhalasi
agen – agen infeksius adalah dua cara tersering yang menyebabkan pneumonia,
sementara penyebaran secara hematogen lebih jarang terjadi. Secara inhalasi terjadi pada
infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria, atau jamur. Kebanyakan bakteri
dengan ukuran 0,5 – 2,0 mm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol
dan selanjutnya terjadi proses infeksi.5
Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian
terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini
merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dan sebagian
sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan
penurunan kesadaran. Sekret dari faring tersebut mengandung konsentrasi bakteri yang
tinggi 10 8 – 10
/mL, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 – 1,1 mL) dapat
memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada pneumonia
mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme
yang terdapat di saluran napas bagian atas sama dengan saluran napas bagian bawah,
tetapi pada beberapa penelitian tidak ditemukan jenis mikroorganisme yang sama. 1,6,8

3.5 Manifestasi Klinik


Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar dari ringan hingga
sedang. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terjadi
komplikasi sehingga perlu dirawat. Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis

12
pada anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang
luas, gejala klinis yang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur
diagnostik invasif, etiologi noninfeksi yang relatif lebih sering, dan faktor patogenesis.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung berat ringannya
infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
 Gambaran infeksi umum :
o demam: suhu bisa mencapai 39 – 40 oC
o sakit kepala
o gelisah
o malaise
o penurunan nafsu makan
o keluhan gastrointestinal, seperti mual, muntah, atau diare
o kadang – kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner
 Gambaran gangguan respiratori:
o batuk yang awalnya kering kemudian menjadi produktif
o sesak nafas
o retraksi dada
o takipnea
o napas cuping hidung
o penggunaan otat pernafasan tambahan
o air hunger
o merintih
o sianosis
Bronkopneumonia biasanya di dahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas
selama beberapa hari. Batuk mungkin tidak dijumpai pada anak – anak. Bila terdapat
batuk, batuk berawal kering lalu berdahak. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda
klinis seperti vokal fremitus yang meningkat pada daerah terkena, pekak perkusi atau
perkusi yang redup pada daerah yang terkena, suara napas melemah, suara napas
bronkial, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda
pnuemonia lebih beragam dan tidak selalu terlihat jelas. Pada perkusi dan auskultasi paru
umumnya tidak ditemukan kelainan.1,7,11

13
3.6 Diagnosis
Pemeriksaan Penunjang
1. Darah Perifer Lengkap
Pada pneumonia virus dan mikoplasma, umumnya ditemukan leukosit dalam
batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi pada pneumonia bakteri didapatkan
leukositosis yang berkisar antara 15.000 – 40.000 / mm 3 dengan predominan PMN.
Leukopenia ( < 5.000 / mm3 ) menunjukkan prognosis yang buruk. Leukositosis hebat
hampir selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri sering ditemukan pada keadaan
bakteremi, dan risiko terjadinya komplikasi lebih tinggi. Pada infeksi Clamydia
pneumoniae kadang – kadang ditemukan eosinofilia. Efusi pleura merupakan cairan
eksudat dengan sel PMN berkisar antara 300 – 100.000 / mm3, protein > 2,5 g/dL,
dan glukosa relatif lebih rendah dibandingkan glukosa darah. Kadang – kadang
terdapat anemia ringan dan laju endap darah (LED) yang meningkat. Trombositopeni
dapat ditemukan pada 90% penderita pneumonia dengan empiema. Secara umum
hasil pemeriksaan darah perifer tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan
infeksi bakteri secara pasti.1

2. C – Reaktive Protein ( CRP ) dan LED


CRP adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respon
infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat distimulasi oleh sitokin,
terutama IL – 6, IL – 1, dan TNF. Meskipun fungsinya belum diketahui, CRP sangat
mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel yang rusak. Secara
klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor
infeksi dan non infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan
profunda, dimana kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi
bakteri superfisialis dibandingkan infesksi bakteri profunda.1

3. Uji Serologis
Uji serologis untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik
mempunyai sensitivitas yang rendah dan secara umum tidak terlalu bermanfaat dalam
mendiagnosis infeksi bakteri atipik.1

14
4. Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologis untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan
kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk pemeriksaan mikrobiologik,
spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus,
darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru. Pemeriksaan sputum kurang berguna.
Diagnosis dikatakan definitif apabila kuman ditemukan dalam darah, cairan pleura,
atau aspirasi paru, kecuali pada masa neonatus, dimana kejadian bakteremia sangat
rendah sehingga kultur darah jarang positif.1
5. Analisa Gas Darah
Analisa gas darah (AGDA) menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia. Pada
stadium lanjut dapat terjadi asidosis metabolik.
6. Pemeriksaan Rontgen Thorax
Foto toraks dengan proyeksi antero – posterior merupakan dasar diagnosis untuk
pneumonia. Foto lateral dilakukan bila diperlukan informasi tambahan, misalnya efusi
pleura. Kelainan foto toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan
gambaran klinis. Kadang – kadang bercak – bercak sudah ditemukan pada gambaran
radiologis sebelum timbul gejala klinis. Akan tetapi, resolusi infiltrat sering
memerlukan waktu yang lebih lama setelah gejala klinis menghilang. Pada pasien
dengan pneumonia tanpa komplikasi, ulangan foto rontgen tidak diperlukan. Ulangan
foto rontgen toraks diperlukan bila gejala klinis menetap, penyakit memburuk, atau
untuk tidak lanjut. Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:
 Pneumonia / infiltrat interstisial : ditandai dengan peningkatan corakan
bronkovaskular, peribronchial cuffing, dan hiperaerasi. Biasanya disebabkan oleh
virus atau Mycoplasma. Bila berat dapat terjadi patchy consolidation karena
atelektasis
 Infiltrat alveolal : merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris, atau
terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas
yang tidak terlalu tegas, dan menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai round
pneumonia. Biasanya disebabkan oleh bakteri pnuemokokus atau bakteri lain.

15
 Bronkopneumonia : ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru,
berupa bercak – bercak infiltrat halus yang dapat meluas hingga daerah perifer
paru, disertai dengan peningkatan corakan peribronkial

Gambar 6. Perbedaan Bronkopneumonia dan Pneumonia Klasik

Gambaran foto rontgen toraks pada anak meliputi infiltrat ringan pada satu paru
hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada suatu penelitian ditemukan pneumonia
pada anak terbanyakk di paru kanan, terutama lobus atas. Bila ditemukan di lobus kiri,
dan terbanyak di lobus bawah, maka hal tersebut merupakan prediktor perjalanan
penyakit yang lebih berat dengan risiko terjadinya pleuritis lebih meningkat.
Gambaran foto toraks pada pneumona dapat membantu mengarahkan kecenderungan
etiologi pneumonia. Penebalan peribronkial, infiltrat interstisial merata, dan hiperinflasi
cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen
atau lobar, bronkopnumonia, dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh
bakteri. Pada pneumonia Staphylococcus sering ditemukan abses – abses kecil dan
pneumoatokel dengan berbagai ukuran.
Gambaran foto toraks pada pneumonia Mikoplasma sangat bervariasi. Pada beberapa
kasus terlihat sangat mirip dengan gambaran foto rontgen toraks pneumonia virus. Selain
itu, dapat juga ditemukan gambaran bronkopneumonia terutama di lobus bawah, inflitrat
interstisial retikulonodular bilateral, dan yang jarang adalah konsolidasi segmen atau
subsegmen. Biasanya gambaran foto toraks yang jauh lebih berat dibandingkan gejala
klinis. Meskipun tidak terdapat gambaran foto toraks yang khas, tetapi bila ditemukan
gambaran retikulonodular fokal pada satu lobus, hal ini cenderung disebabkan oleh

16
infeksi Mikoplasma. Demikian pula bila ditemukan gambaran perkabutan atau ground –
glass consolidation, serta transient pseudoconsolidation.
Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriskaan mikrobiologis dan / atau serologis
merupakan dasar yang optimal. Akan tetapi, penemunan bakteri penyebab tidak selalu
mudah karena memerlukan laboratorium menunjang yang memadai. Oleh karena itu
pneumonia pada anak didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yang menunjukkan
keterlibatan sistem respiratori, serta gambaran radiologis. Prediktor paling kuat adanya
pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut:
takipnea, batuk, napas cuping hidung, retraksi, ronki, dan suara napas melemah. 1
WHO mengembangkan pedoman diagnosis sederhana yang ditujukan untuk
Pelayanan Kesehatan Primer dan sebagai pendidikan kesehatan untuk masyarakat di
negara berkembang. Gejala klinis sederhana tersebut meliputi: napas cepat, sesak napas,
dan berbagai tanda bahaya agar anak segera dirujuk ke rumah sakit. Napas cepat dinilai
dengan menghitung napas anak dalam 1 menit penuh dalam keadaan tenang. Sesak napas
dinilai dengan melihat adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam ketika
menarik napas ( retraksi epigastrium ). Tanda bahaya pada anak berusia 2 bulan – 5 tahun
adalah tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi buruk, sedangkan
tanda bahaya pada anak berusia dibawah 2 bulan adalah malas minum, kejang, kesadaran
menurun, stridor, mengi, dan demam/badan terasa dingin. Berikut adalah klasifikasi
pneumonia berdasarkan pedoman tersebut:

Tabel 2. Diagnosis Bronkopneumonia Untuk Bayi dan Anak Usia 2 Bulan – 5 Tahun.1
Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun
Bronkopneumonia berat
 bila ada sesak napas
 harus dirawat dan diberikan antibiotik
Bronkopneumonia
 bila tidak ada sesak napas
 ada napas cepat dengan laju napas
o > 50 x/menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun
o > 40 x/menit untuk anak > 1 – 5 tahun

17
 tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral
Bukan Bronkopneumonia
 bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
 tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya
diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas

Pada bayi berusia di bawah 2 bulan, perjalanan penyakitnya lebih bervariasi,


mudah terjadi komplikasi, dan sering menyebabkan kematian. Klasifikasi pneumonia
pada kelompok usia ini adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Diagnosis Pneumonia Untuk Bayi Di Bawah 2 Bulan.1


Bayi di bawah 2 bulan
Bronkopneumonia
 bila ada napas cepat ( > 60 x/menit ) atau sesak napas
 harus dirawat dan diberikan antibiotik
Bukan Bronkopeneumonia
 bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
 tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya
diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas

Namun, menurut Pelayanan Kesehatan Medik Rumah Sakit (WHO), pneumonia dapat
dibagi menjadi pneumonia ringan dan berat:
1. Pneumonia ringan : Disamping batuk atau kesulitan napas, hanya terdapat napas
cepat saja, dimana napas cepat adalah:
a. pada usia 2 bulan – 11 bulan : ≥ 50 kali / menit
b. pada usia 1 tahun – 5 tahun : ≥ 40 kali / menit
2. Pneumonia berat : Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu
hal berikut ini:
a. kepala terangguk – angguk
b. pernapasan cuping hidung
c. tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam

18
d. foto dada menunjukkan gambaran pneumonia ( infiltrat luas, konsolidasi,
dll. )
Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini:
 Napas cepat
o anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali / menit
o anak umur 2 – 11 bulan : ≥ 50 kali / menit
o anak umur 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali / menit
o anak umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali / menit
 Suara merintih ( grunting ) pada bayi muda
 Pada auskultasi terdengar
o crackles ( ronki )
o suara pernapasan menurun
o suara pernapasan bronkial
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai :
 tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya
 kejang, letargi, atau tidak sadar
 sianosis
 distress pernapasan berat 12
3.7 Diagnosis Banding
1. Pneumonia lobaris
Biasanya pada anak yang lebih besar disertai badan menggigil dan kejang
pada bayi kecil. Suhu naik cepat sampai 39 – 40 oC dan biasanya tipe kontinua.
Terdapat sesak nafas, nafas cuping hidung, sianosis sekitar hidung dan mulut dan
nyeri dada. Anak lebih suka tidur pada sisi yang terkena. Pada foto rotgen terlihat
adanya konsolidasi pada satu atau beberapa lobus.
2. Bronkiolitis
Diawali infeksi saluran nafas bagian atas, subfebris, sesak nafas, nafas
cuping hidung, retraksi intercostal dan suprasternal, terdengar wheezing, ronki
nyaring halus pada auskultasi. Gambaran labarotorium dalam batas normal, kimia
darah menggambarkan asidosis respiratotik ataupun metabolik.
3. Aspirasi benda asing

19
Ada riwayat tersedak, stridor atau distress pernapasan tiba – tiba, wheezing
atau suara pernapasan yang menurun yang bersifat fokal.
4. Tuberkulosis
Pada TB, terdapat kontak dengan pasien TB dewasa, uji tuberkulin positif
(> 10 mm atau pada keadaan imunosupresi > 5 mm), demam 2 minggu atau lebih,
batuk 3 minggu atau lebih, pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun,
pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang spesifik, pembengkakan
tulang/sendi punggung, panggul lutut, dan falang, dan dapat disertai nafsu makan
menurun dan malaise yang dapat ditegakkan melalui skor TB.
5. Atelektasis
Adalah pengembangan tidak sempurna atau kempisnya bagian paru yang
seharusnya mengandung udara. Dispnea dengan pola pernafasan cepat dan
dangkal, takikardia, sianosis. Perkusi mungkin batas jantung dan mediastinum
akan bergeser dan letak diafragma mungkin meninggi.
3.8 Penatalaksanaan
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan
terutama berdasarkan berat – ringannya penyakit, misalnya toksis, distres pernapasan,
tidak mau makan/minum, atau bila ada penyakit dasar yang lain, komplikasi, dan
terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan
klinis pneumonia harus dirawat inap. Dasar tatalaksana pada pneumonia rawat inap
adalah pengobatan kasual dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif.
Pengobatan suportif meliputi pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap
gangguan keseimbangan asm – basa dan elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan
demam dapat diberikan analgetik/antipiretik. Penggunaan antibiotik yang tepat
merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotik harus segera
diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri. Karena
identifikasi dini mikroorganisme tidak umum dilakukan, maka pemilihan antibiotik
dipilih berdasarkan pengalaman empiris yang didasarkan pada kemungkinan etiologi
penyebab dengan mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien serta faktor
epidiemiologis.

1. Pneumonia Rawat Jalan

20
Pada pneumonia ringan rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama secara
oral, misalnya amoksisilin 25 mg/kgBB atau kotrimoksazol 4 mg/kgBB TMP dan 20
mg/kgBB sulfametoksazol dua kali sehari selama 3 hari. Makrolid, baik eritromisin
maupun makrolid baru, dapat digunakan sebagai terapi alternatif beta – laktam untuk
pengobatan inisial pneumonia, dengan pertimbangan adanya aktivitas ganda terhadap S.
pneumoniae dan bakteri atipik.7
Setalah itu, anjurkan ibu untuk memberi makan anak. Nasihati ibu untuk membawa
kembali anaknya setelah 2 hari atau lebih kalau keadaan anak memburuk atau tidak dapat
minum atau menyusui. Bila pernapasannya membaik ( melambat ), demam berkurang,
nafsu makan membaik, lanjutkan pengobatan sampai selesai 3 hari. Jika frekuensi
pernapasan, demam, dan nafsu makan tidak ada perubahan, ganti ke antibiotik lini kedua
dan nasihati ibu untuk kembali 2 hari lagi. Jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di
rumah sakit dan tangani sesuai pedoman pneumonia berat.7
2. Pneumonia Rawat Inap
Terapi Antibiotik
Pemilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan golongan beta – laktam atau
kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap beta – laktam dan
kloramfenikol, dapat diberikan antibiotik seperti gentamisin, amikasin, atau
sefalosporin, sesuai dengan petunjuk etiologi yang ditemukan. Antibiotik diteruskan
selama 7 – 10 hari pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi. Pada neonatus dan
bayi kecil, terapi awal antibiotik intravena harus dimulai sesegera mungkin. Oleh karena
pada neonatus dan bayi kecil sering terjadi sepsis dan meningitis, antibiotik yang
direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti kombinasi betalaktam /
klavulanat dengan aminoglikosid, atau sefalosporin generasi ketiga.
WHO menganjurkan pemberian ampisilin/amoksisilin 25 – 50 mg/kgBB/kali IV
atau IM setiap 6 jam yang dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak
memberi respons yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan
di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral 15 mg/kgBB/kali tiga kali sehari
untuk 5 hari berikutnya.7
Pada balita dan anak yang lebih besar, antibiotik yang direkomendasikan adalah
antibiotik beta – laktam dengan/tanpa klavulanat; pada kasus yang lebih berat diberikan
beta – laktam/klavulanat dikombinasikan dengan makrolid baru intravena, atau

21
sefalosporin generasi ketiga. Bila pasien sudah tidak demam atau keadaan sudah stabil,
antibiotik diganti dengan antibiotik oral dan berobat jalan selama 10 hari.
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan yang berat
maka ditambahkan kloramfenikol 25 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 8 jam. Bila pasien
datang dengan keadaan klinis yang berat segera berikan oksigen dan pengobatan
kombinasi ampisilin – kloramfenikol atau ampisilin – gentamisin. Sebagai alternatif,
beri seftriakson 80 – 100 mg/kgBB IV atau IM sekali sehari. Bila tidak membaik dalan
48 jam, maka bila mungkin foto toraks.7
Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan gentamisin 7,5
mg/kgBB IM sekali sehari dan klokasilin 50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam atau
klindamisin 15 mg/kgBB/hari hingga 3 kali pemberian. Bila keadaan anak membaik,
lanjutkan kloksasilin atau diklokasilin secara oral 4 kali sehari sampai secara
keseluruhan mencapai 3 minggu atau klindamisin oral selama 2 minggu.7
Terapi Oksigen
Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat. Bila tersedia pulse
oksimeter, gunakan sebagai panduan untuk terapi oksigen ( berikan pada anak dengan
saturaso < 90%, anak yang tidak stabil. Hentikan pemberian oksigen bila saturasi tetap
stabil > 90%. Pemberian oksigen setelah saat ini tidak berguna.
Terapi Penunjang
Bila anak disetai demam yang tampaknya menyebabkan distres, beri antipiretik
seperti parasetamol. Bila ditemukaan adanya wheezing, beri bronkodilator kerja cepat.
Bila terdapat sekret kental di tenggorokan yang tidak dapat dikeluarkan oleh anak,
hilangkan dengan alat penghisap secara perlahan. Pastikan anak mendapatkan kebutuhan
cairan runatan yang sesuai, tetapi hati – hati terhadap kelebihan cairan/overhidrasi.
Anjurkan pemberian ASI dan cairan oral. Jika anak tidak dapat minum, pasang pipa
nasogastrik dan berikan cairan rumatan dalam jumlah sedikit tapi sering. Jika asupan
cairan oral mencukupi, jangan menggunakan pipa nasogastrik untuk meningkatkan
asupan, karena akan meningkatkan risiko pneumonia aspirasi. Jika oksigen diberikan
bersamaan dengan cairan nasogastrik, pasang keduanya pada lubang hidung yang sama.

3.9 Komplikasi

22
Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis
purulenta, pnemothoraks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta.
Empiema torasis merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada pneumonia bakteri.
Kecurigaan ke arah empiema apabila terdapat demam persisten, ditemukan tanda klinis
dan gambaran foto dada yang mendukung ( bila masif terdapat tanda pendorongan organ
intratorakal, pekak pada perkusi, gambaran foto dada menunjukkan adanya cairan pada
satu atau kedua sisi dada ). Efusi pleura, abses paru dapat juga terjadi.8
Melaporkan mengenai komplikasi miokarditis (tekanan sistolik ventrikel kanan
meningkat, kreatinin kinase meningkat, dan gagal jantung) yang cukup tinggi pada seri
pneumonia anak berusia 2-24 bulan. Oleh karena miokarditis merupakan keadaan yang
fatal, maka dianjurkan untuk melakukan deteksi dengan teknik noninvasif seperti EKG,
ekokardiografi, dan pemeriksaan enzim. 8

23
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan Teori Temuan Pada Pasien

Sesak/dyspneu menurut American Thoracic An. RA mengeluhkan sesak nafas yang


Society (ATS) mendefinisikan dispnea terjadi secara tiba-tiba
sebagai pengalaman subjektif dari
ketidaknyamanan pernapasan, yang terdiri
dari sensasi berbeda secara kualitatif
dengan intensitas bervariasi.
Sesak yang dirasakan pasien akibat dari
obstruksi jalan nafas perifer, destruksi
parenkim dan iregularitas vaskuler
pulmonal mengurangi kapasitas paru untuk
pertukaran gas sehingga menyebabkan
hipoksemia (oksigen darah rendah) dan
hiperkapnia (karbon dioaksida darah
tinggi).
Bunyi napas tambahan yang terjadi pada An. RA pada pemeriksaan ditemukan
pasien penyakit bronkopenomonia adalah adanya whezzing saat asukultasi pada
mengi (wheezing). Mengi (wheezing) kedua lapangan paru
adalah bunyi terdengar kontinu, nada
mengi lebih tinggi dibandingkan bunyi
nafas lain. Sifatnya musical, bunyi napas
mengi disebabkan karena adanya suatu
penyempitan saluran napas kecil (bronkus
perifer dan bronkiolus). Udara melewati
suatu penyempitan akibatnya mengi dapat
terjadi baik pada saat inspirasi maupun
pada saat ekspirasi. Penyempitan jalan
nafas dapat disebabkan karena adanya
sekresi berlebihan, edema mukosa,
konstriksi otot polos, tumor maupun karena

24
adanya benda asing
Saat debu, polusi, atau alergen (zat pemicu An.RA mengalami batuk berdahak yang
alergi) memasuki sistem pernapasan, otak terjadi sebelum terjadinya sesak nafas
akan mengirim sinyal melalui saraf tulang
belakang ke otot-otot di dada dan perut.
Ketika otot-otot tersebut berkontraksi,
udara menyembur melalui sistem
pernapasan untuk mendorong keluar benda
asing. Hal inilah yang dinamakan batuk.

BAB IV

25
KESIMPULAN

Bronkopneumonia adalah inflamasi dari parenkim paru yang meliputi alveolus


dan jaringan interstisial. Bronkopneumonia biasanya disebabkan oleh mikroorganisme,
namun pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk.
Bila parenkim paru terkena infeksi dan mengalami inflamasi hingga meliputi seluruh
alveolus suatu lobus paru maka disebut pneumonia lobaris atau pneumonia klasik. Bila
proses tersebut tidak mencakup satu lobus dan hanya di bronkiolus dengan pola bercak –
bercak yang tersebar bersebelahan maka disebut bronkopneumonia
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh infeksi mikroorganisme (virus,
bakteri, jamur, parasit) dan sebagain kecil disebabkan oleh hal lain, seperti aspirasi
makanan dan asam lambung, benda asing, senyawa hidrokarbon, reaksi hipersensitivitas,
dan drug – or radiation induced pneumonitis. Usia pasien merupakan faktor yang
memegang peranan penting pada perbedaan dan kekhasan penumonia anak terutama
dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan strategi pengobatan

DAFTAR PUSTAKA

26
1. Raharjoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak. 1st ed.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2021
2. Hudoyo A. Anatomi Saluran Napas.. 2019 April
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/e4e3ff458efaa961c32c1e9163a77a24
964c5c0a.pdf
3. Ellis H. Clinical Anatomy: Applied Anatomy for Students and Junior Doctors.
11th ed. [ e – book ]. Massachussets : Blackwell Publishing. 2019
4. Sherwood L. Human Physiology. 6th ed. China: Thomson Brooks/Cole; 2022
5. Pusponegoro HD, Hadinegoro SRS, Firmanda D, Tridjaja B, Pudjadi AH, Kosim
MS, et. al. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. 1st ed. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI. 2021
6. Priyanti ZS, Lulu M, Bernida I, Subroto H, Sembiring H, Rai IBN, et al.
Pneumonia Komuniti: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2022.
7. Danusantosos H. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Penerbit Hipokrates.
2022.
8. Price S, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses – proses Penyakit. Vol
2. 6th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2019
9. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics. 18th ed. [ e – book ]. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2022
10. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid 2. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Indonesia. 2022

27

Anda mungkin juga menyukai