Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan dalam globalisasi
khususnya di bidang kesehatan bahwa banyak hal yang perlu diperhatikan
dalam mencegah berbagai penyakit salah satunya ARDS yaitu merupkan
Gangguan paru yang progresif dan tiba-tiba ditandai dengan sesak napas yang
berat, hipoksemia dan infiltrat yang menyebar dikedua belah paru akibat
kondisi atau kejadian berbahaya berupa trauma jaringan paru baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Sindrom gagal pernafasan merupakan gagal pernafasan mendadak yang
timbul pada penderita tanpa kelainan paru yang mendasari sebelumnya.
Sindrom Gawat Nafas Dewasa (ARDS) juga dikenal dengan edema paru
nonkardiogenik merupakan sindroma klinis yang ditandai penurunan
progresif kandungan oksigen arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera
serius. Beberapa factor pretipitasi meliputi tenggelam, emboli lemak, sepsis,
aspirasi, pankretitis, emboli paru, perdarahan dan trauma berbagai bentuk.
Dua kelompok yang tampak menjadi resiko besar untuk sindrom adalah yang
mengalami sindrom sepsis dan yang mengalami aspirasi sejumlah besar
cairan gaster dengan pH rendah. Kebanyakan kasus sepsis yang menyebabkan
ARDS dan kegagalan organ multiple karena infeksi oleh basil aerobic gram
negative. Kejadian pretipitasi biasanya terjadi 1 sampai 96 jam sebelum
timbul ARDS.
ARDS pertama kali digambarkan sebagai sindrom klinis pada tahun 1967.
Ini meliputi peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler pulmonal,
menyebabkan edema pulmonal nonkardiak. ARDS didefinisikan sebagai
difusi akut infiltrasi pulmonal yang berhubungan dengan masalah besar
tentang oksigenasi meskipun diberi suplemen oksigen dan pulmonary arterial
wedge pressure (PAWP) kurang dari 18 mmHg.

1
ARDS sering terjadi dalam kombinasi dengan cidera organ multiple dan
mungkin menjadi bagian dari gagal organ multiple. Prevalensi ARDS
diperkirakan tidak kurang dari 150.000 kasus pertahun. Sampai adanya
mekanisme laporan pendukung efektif berdasarkan definisi konsisten, insiden
yang benar tentang ARDS masih belum diketahui. Laju mortalitas tergantung
pada etiologi dan sangat berfariasi. ARDS adalah penyebab utama laju
mortalitas di antara pasien trauma dan sepsis, pada laju kematian menyeluruh
kurang lebih 50% – 70%. Perbedaan sindrom klinis tentang berbagai etiologi
tampak sebagai manifestasi patogenesis umum tanpa menghiraukan factor
penyebab.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa devinisi dari ARDS?
2. Apa etiologi dari ARDS?
3. Apa patofisiologi dari ARDS?
4. Apa manifestasi klinik dari ARDS?
5. Apa komplikasi dari ARDS?
6. Apa pemeriksaan penunjang dari ARDS?
7. Apa penatalaksanaan dari ARDS?
8. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan ARDS?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui devinisi dari ARDS?
2. Untuk mengetahui etiologi dari ARDS?
3. Untuk mengetahui patofisiologi dari ARDS?
4. Untuk mengetahui manifestasi klinik dari ARDS?
5. Untuk mengetahui komplikasi dari ARDS?
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari ARDS?
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari ARDS?
8. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan ARDS?

2
BAB II

LANDASAN TEORI

A. KONSEP MEDIS
1. Defenisi
Sindrom gangguan pernapasan akut (Acute respiratory distress
syndrome - ARDS) merupakan manifestasi cedera akut paru-paru, biasanya
akibat sepsis, trauma, dan infeksi paru berat. Secara klinis, hal ini ditandai
dengan dyspnea, hipoksemia, fungsi paru-paru yang menurun, dan infiltrat
difus bilateral pada radiografi dada (Udobi et al, 2010).
Sindrom distres respiratorik akut merupakan bentuk edema pulmoner
yang menyebabkan gagal respiratorik akut dan disebabkan oleh meningkatnya
permeabilitas membran alveolokapiler. Cairan terakumulasi dalam
interstisium paru-paru dan ruang alveolar. ARDS parah bisa menyebabkan
hipoksemia yang sulit disembuhkan dan fatal, tetapi pasien yang sembuh
mungkin hanya mengalami sedikit kerusakan paru-paru atau tidak sama sekali
(Farid, 2011).

2. Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya akut respiratori distres sindrom ialah
a. Syok sepsis , hemoragis, kardiogenik dan analfilatik
b. Trauma ; kontusio pulmonal dan non pulmonal

3
c. Infeksi : pneumonia dan tuberculosis
d. Koagulasi intravaskuler diseminata
e. Emboli lemak
f. Aspirasi kandungan lambung yang sangat asam
g. Menghirup agen beracun, asap dan nitrogen oksida dan atau bahan korosif
h. Pankreatitis
i. Toksisitas oksigen
j. Penyalahgunaan obat-obatan dan narkotika
Sindrom sepsis tampaknya menjadi faktor resiko paling umum,
tetapi secara keseluruhan risiko akan meningkat secara multifaktor.
Transfusi darah merupakan risiko independen faktor. Usia lanjut dan
rokok berhubungan dengan peningkatan risiko ARDS, sementara
konsumsi alkohol tampaknya tidak memiliki pengaruh. Sebuah studi
menunjukkan bahwa kematian akibat ARDS pertahun mengalami
penurunan, tetapi pria dan orang kulit hitam memiliki angka kematian
lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan dan groups. ras lainnya
(Udobi et al, 2010).
Tabel 1 Kondisi Klinis yang berkaitan dengan kejadian ARDS
Cedera paru-paru langsung Cedera paru-paru tidak langsung
a. Pneumonia a. Sepsis
b. Aspirasi gaster b. Trauma berat
c. Trauma inhalasi c. Pankreatitis Akut
d. Tenggelam d. Bypass kardiopulmonal
e. Kontusi paru e. Tranfusi massif
f. Emboli lemak f. Overdosis obat
g. Reperfusi edema paru pasca
transplantasi paru-paru atau
embolectomy paru

4
3. Patofisiologi
Berdasarkan patofisiologinya, ARDS dideskripsikan sebagai gagal
nafas akut yang merupakan akibat dari edema pulmoner oleh sebab non
kardiak. Edema ini disebabkan oleh karena adanya peningkatan permeabilitas
membrane kapiler sebagai akibat dari kerusakan alveolar yang difus. Selain
itu, protein plasma diikuti dengan makrofag, neutrofil, dan beberapa sitokin
akan dilepaskan dan terakumulasi dalam alveolus, yang kemudian akan
menyebabkan terjadinya dan berlangsungnya proses inflamasi, yang pada
akhirnya dapat memperburuk fungsi pertukaran gas yang ada. Pada keadaan
ini membrane hialin (hialinisasi) juga terbentuk dalam alveoli (Amin &
Purwoto,2012)
4. Manifestasi Klinis
ARDS biasanya timbul dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah
kerusakan awal pada paru. Setelah 72 jam 80% pasien menunjukkan gejala
klinis ARDS yang jelas. Awalnya pasien akan mengalami dispnea, kemudian
biasanya diikuti dengan pernapasan yang cepat dan dalam. Sianosis terjadi
secara sentral dan perifer, bahkan tanda yang khas pada ARDS ialah tidak
membaiknya sianosis meskipun pasien sudah diberi oksigen. Sedangkan pada
auskultasi dapat ditemui ronkhi basah kasar, serta kadang wheezing (Farid,
2011).
PaO2 yang sangat rendah kadang-kadang bersifat menetap meskipun
konsentrasi oksigen yang dihirup (FiO2) sudah adekuat. Keadaan ini
merupakan indikasi adanya pintas paru kanan ke kiri melalui atelektasis dan
konsolidasi unit paru yang tidak terjadi ventilasi. Keadaan inilah yang
menandakan bahwa paru pasien sudah mengalami bocor di sana-sini, bentuk
yang tidak karuan, serta perfusi oksigen yang sangat tidak adekuat (Farid,
2011)
5. komplikasi
Superinfeksi bakteri paru berupa bakteri gram negatif (Klebsiella,
Pseudomonas, dan Proteus spp) serta bakteri gram positif Staphylococcus
aureus yang resisten merupakan penyebab utama meningkatnya mortalitas dan

5
morbiditas akibat ARDS. Tension pneumothorax juga bisa terjadi akibat
pemasangan kateter vena sentral dengan positive pressure ventilation (PPV)
serta positive end-expiratory pressure (PEEP). Pasien ARDS yang dirawat
dengan bantuan ventilasi mekanis akan mengalami penurunan volume
intravaskular serta penekanan curah jantung hingga berakibat penurunan
transpor O2 dan kegagalan organ. Lemah, lesu, tak bergairah, seakan di
ambang kematian, merupakan gejala umum yang dirasakan pasien ARDS
(Farid, 2011).

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Selain hipoksemia, gas darah arteri sering awalnya menunjukkan
alkalosis pernapasan. Namun, jika ARDS terjadi dalam konteks sepsis,
asidosis metabolik yang dengan atau tanpa kompensasi respirasi dapat
terjadi (Harman, 2011).
Bersamaan dengan penyakit yang berlangsung dan pernapasan
meningkat, tekanan parsial karbon dioksida (PCO2) mulai meningkat.
Pasien dengan ventilasi mekanik untuk ARDS dapat dikondisikan untuk
tetap hiperkapnia (hiperkapnia permisif) untuk mencapai tujuan volume tidal
yang rendah yang bertujuan menghindari cedera paru-paru terkait ventilator
(Harman, 2011).
Kelainan lain yang diamati pada ARDS tergantung pada penyebab yang
mendasarinya atau komplikasi yang terkait dan mungkin termasuk yang
berikut (Harman, 2011).
1) Hematologi. Pada pasien sepsis, leukopenia atau leukositosis dapat
dicatat. Trombositopenia dapat diamati pada pasien sepsis dengan
adanya koagulasi intravaskular diseminata (DIC). Faktor von
Willebrand (vWF) dapat meningkat pada pasien beresiko untuk ARDS
dan dapat menjadi penanda cedera endotel.

6
2) Ginjal. Nekrosis tubular akut (ATN) sering terjadi kemudian dalam
perjalanan ARDS, mungkin dari iskemia ke ginjal. Fungsi ginjal harus
diawasi secara ketat.
3) Hepatik. Kelainan fungsi hati dapat dicatat baik dalam pola cedera
hepatoseluler atau kolestasis.
4) Sitokin. Beberapa sitokin, seperti interleukin (IL) -1, IL-6, dan IL-8,
yang meningkat dalam serum pasien pada risiko ARDS.
b.Radiologi
Pada pasien dengan onset pada paru langsung, perubahan fokal dapat
terlihat sejak dini pada radiograf dada. Pada paien dengan onset tidak
langsung pada paru, radiograf awal mungkin tidak spesifik atau mirip
dengan gagal jantung kongestif dengan efusi ringan. Setelah itu, edema
paru interstisial berkembang dengan infiltrat difus. Seiring dengan
perjalanan penyakit, karakteristik kalsifikasi alveolar dan retikuler bilateral
difus menjadi jelas.Komplikasi seperti pneumotoraks dan
pneumomediastinum mungkin tidak jelas dan sulit ditemuakn, terutama
pada radiografi portabel dan dalam menghadapi kalsifikasi paru difus.
Gambaran klinis pasien mungkin tidak parallel dengan temuan radiografi.
Dengan resolusi penyakit, gambaran radiografi akhirnya kembali normal
(udobi et al, 2010)

ARDS menunjukkan perubahan interstisial dan bercak infiltrate

7
c. Bronkoskopi
Bronkoskopi dapat dipertimbangkan untuk mengevaluasi
kemungkinan infeksi pada pasien akut dengan infiltrat paru bilateral.
sampel dapat diperoleh dengan bronkoskop bronkus subsegmental dalam
dan mengumpulkan cairan yang dihisap setelah meberikan cairan garam
nonbacteriostatic (bronchoalveolar lavage; UUPA). Cairan dianalisis
untuk diferensial sel, sitologi, perak noda, dan Gram stain dan
pemeriksaan kuantitatif (Harman, 2011).
7. Penatalaksanaan
Tujuan terapi
a. Tidak ada terapi yang dapat menyembuhkan, umumnya
bersifat suportif
b. Terapi berfokus untuk memelihara oksigenasi dan perfusi
jaringan yang adekuat
c. Mencegah komplikasi nosokomial (kaitannya dengan infeksi)
Farmakologi
a. Inhalasi NO2 (nitric oxide) memberi efek vasodilatasi selektif
pada area paru yan terdistribusi, sehingga menurunkan pirau
intrapulmoner dan tekanan arteri pulmoner, memperbaiki V/Q
matching dan oksigenasi arterial. Diberikan hanya pada pasien
dengan hipoksia berat yang refrakter
b. Kortikosteroid pada pasien dengan usia lanjut ARDS / ALI
atau fase fibroproliferatif, yaitu pasien dengan hipoksemia
berat yang persisten, pada atau sekitar hari ke 7 ARDS.
Rekomendasi mengenai hal ini masih menunggu hasil studi
multi senter RCT besar yang sedang berlangsung.
c. Ketoconazole: inhibitor poten untuk sintesis tromboksan dan
menghambat biosintesisleukotrienes mungkin bisa digunakan
untuk mencegah ARDS

8
Non-farmakologi
a. Ventilasi mekanis dgn berbagai teknik pemberian,
menggunakan ventilator, mengatur PEEP (positive-end
expiratory pressure)
b. Pembatasan cairan. pemberian cairan harus menghitung
keseimbangan antara :
a. Kebutuhan perfusi organ yang optimal
b. Masalah ekstra vasasi cairan ke paru dan jaringan : peningkatan
tekanan hidrostatik intravascular mendorong akumulasi cairan di
alveolus.

B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas
Identitas pada klien diantaranya: nama, umur, agama, pendidikan,
pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan
penanggung biaya.
b. Keluhan utama
Keluhan menyebabkan klien dengan ARDS meminta pertolongan dari tim
Kesehatan.
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat penyakit saat ini
Pengkajian ringkas dengan PQRST dapat lebih memudahkan perawat
dalam melengkapi pengkajian.
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
penyebab sesak napas, apakah sesak napas berkurang apabila
beristirahat?
b) Quality of Pain: seperti apa rasa sesak napas yang dirasakan atau
digambarkan klien, apakah rasa sesaknya seperti tercekik atau
susah dalam melakukan inspirasi atau kesulitan dalam mencari
posisi yang enak dalam melakukan pernapasan?

9
c) Region: di mana rasa berat dalam melakukan pernapasan?
d) Severity of Pain: seberapa jauh rasa sesak yang dirasakan klien?
e) Time: berapa lama rasa nyeri berlangsung, kapan, bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari, apakah gejala timbul
mendadak, perlahan-lahan atau seketika itu juga, apakah timbul
gejala secara terus-menerus atau hilang timbul (intermitten), apa
yang sedang dilakukan klien saat gejala timbul, lama timbulnya
(durasi), kapan gejala tersebut pertama kali timbul (onset).
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah
sebelumnya klien pernah menderita ARDS, Tanyakan mengenai obat-
obat yang biasa diminum oleh klien pada masa lalu. Catat adanya efek
samping yang terjai di masa lalu. Kaji lebih dalam tentang seberapa
jauh penurunan berat badan (BB) dalam enam bulan terakhir.
Penurunan BB pada klien dengan ARDS berhubungan erat dengan
proses penyembuhan penyakit serta adanya anoreksia dan mual.
3) Riwayat Penyakit Keluarga
Secara patologi ARDS tidak diturunkan/tidak?

10
2. Penyimpangan Kdm

TRAUMA KELAINAN NEUROLOGIS

Gangguan syaraf pernafassan


dan otot pernafasan

Peningkatan permeabilitas
membran alveolar kapiler

Gangguan ephitelium Gangguan endhotelium


alveolar kapiler

Penumpukan cairan
Cairan masuk ke
alveoli
interstisial

Oedema pulmo
Peningkatan tahanan
jalan nafas
Penurunan comlain paru

Kehilangan fungsi sel


Cairan surfaktan menurun silia pernafasan

Gangguan pengembangan paru Bersihan Jalan Nafas


(atelektasis) kolaps alveoli Tidak Efektif

ventilasi dan perfusi tidak seimbang Gangguan Pertukaran Gas

Hipoksia, Hiposkopnia

O2 Menurun, Co2 Menurun


Dyspnea, Cyianocis

Pola Napas Tidak Efektif

11
3. Diagnosa
a. Bersihan jalan napas tidak efektif
b. Gangguan pertukaran gas
c. Pola napas tidak efektif
4. Intervensi
( Standar Luaran ( Standar Intervensi
No Diagnosa Keperawatan Keperawatan Indonesia )
Indonesia ) SLKI SIKI
1 Bersihan Luaran utama : Intervensi utama :
Jalan Napas bersihan jalan napas Latihan batuk efektif
Tidak Efektif Luaran tambahan : a. Observasi
a. Kontrol gejala 1. Identifikasi
b. Pertukaran gas kemampuan batuk
c. Respons alergi 2. Monitor adanyan
lokal retensi sputum
d. Respons alergi 3. Monitor tanda dan
sistemik gejala infeksi saluran
e. Respons ventilasi napas
mekanik 4. Monitor input dan
f. Tingkat infeksi output cairan
Ekspektasi : b. Terapeutik
meningkat 1. Atur posisi semi fowler
Kriteria hasil : / fowler
a. Batuk efektif (5) 2. Pasang perlak dan
b. Produksi sputum bengkok di pangkuan
(1) pasien
c. Mengi (1) 3. Buang sekret pada
d. Wheezing (1) tempat sputum
e. Mekonium (pada c. Edukasi
neonatus) (1) 1. Jelaskan tujuan dan
f. Dispneu (1) prosedur batuk efektif

12
g. Ortophneu (1) 2. Anjurkan tarik napas
h. Sulit bicara (1) dalam melalui hidung
i. Sianosis (1) ditahan selama 2 detik,
j. Gelisah (1) kemudian keluarkan
k. Frekuensi napas dari mulut dengan bibir
(5) mencucu (di bulatkan)
l. Pola napas (5) selama 8 detik
3. Anjurkan mengulangi
tarik napas dalam
selama 3 kali
4. Anjurkan batuk dengan
kuat setelah tarik tarik
napas dalam yang ke 3
d. Kolaborasi
1. Pemberian mukolitik
(ekspektoran), jika
perlu
Manajemen jalan napas
a. Observasi
1. Monitor posisi selang
endotrakheal (ETT),
terutama setelah
mengubah posisi
2. Monitor tekanan balon
ETT setiap 4-8 jam
3. Monitor kulit area
stoma trakheostomi
(Mis. Kemerahan,
drainase, perdarahan)
b. Terapeutik
1. Kurangi tekanan balon

13
secara periodik setiap
shift
2. Pasang orofaringheal
airway (OPA) untuk
mncegah ETT tergigit
3. Cegah ETT terlipat
(Kinking)
4. Berikan p-oksigenasi
100% selama 30 detik
(3-6kali ventilasi)
sebelum dan setelah
penghisapan
5. Berikan volume pre-
oksigenasi (bagging
atau ventilasi mekanik)
1,5 kali volme tidal
6. Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 1,5
detik jika diperlukan
(bukan secara
berkala/rutin)
7. Ganti viksasi ETT
setiap 24 jam
8. Ubah posisi ETT
secara bergantian (kiri
dan kanana) tutup
setiap 24 jam
9. Lakukan perawatan
mulut (mis.dengan
sikat gigi, kasa,
pelembab bibir)

14
10. Lakukan perawatan
stoma trakeostomi
c. Edukasi
1. Jelaskan pada pasien
dan keluarga tujuan
dan prosedur
pemasangan jalan
napas bauatan.
d. Kolaborasi
1. Kolaborasi intubasi
ulang jika terbentuk
mucous plug yang
tidak dapat dilakukan
penghisapan
Pemantauan respirasi
a. Observasi
1. Monitor frekuensi,
irama, kedalam dan
upaya napas
2. Monitor pola napas
(seperti bradipneu
takipneu,
hiperventilasi,
kusmaul, cheyne-
stokes,biot,ataksik)
3. Monitor kemampuan
batuk efektif
4. Monitor adanya
produksi sputum
5. Monitor adanya
sumbatan jalan napas

15
6. Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
7. Auskultasi bunyi napas
8. Monitor saturasi
oksigen
9. Monitor nilai AGD
10. Monitor hasil x/ray
toraks
b. Terapeutik
1. Atur interval
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil
pemantauan
c. Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
2. Informasikan
pemantauan, jika perlu
2 Gangguan Luaran utama : Inervensi utama :
Pertukaran pertukaran gas Pemantauan respirasi
Gas Luaran tambahan : a. Observasi
a. Keseimbangan 1. Monitor frekuensi,
asam-basa irama, kedalam dan
b. Konservasi upaya napas
energi 2. Monitor pola napas
c. Perfusi paru (seperti bradipneu
d. Respons ventilasi takipneu,
mekanik hiperventilasi,
e. Tingkat delirium kusmaul, cheyne-
Ekspektasi : stokes,biot,ataksik)

16
menigkat 3. Monitor kemampuan
Kriteria hasil : batuk efektif
a. Tingkat 4. Monitor adanya
kesadaran (5) produksi sputum
b. Dispneu (1) 5. Monitor adanya
c. Bunyi napas sumbatan jalan napas
tambahan (1) 6. Palpasi kesimetrisan
d. Pusing (1) ekspansi paru
e. Penglihatan 7. Auskultasi bunyi napas
kabur (1) 8. Monitor saturasi
f. Diaforesis (1) oksigen
g. Gelisah (1) 9. Monitor nilai AGD
h. Napas cuping 10. Monitor hasil x/ray
hidung (1) toraks
i. PCO2 (5) b. Terapeutik
j. PO2 (5) 1. Atur interval
k. Takikardia (5) pemantauan respirasi
l. pH arteri (5) sesuai kondisi pasien
m. Sianosis (5) 2. Dokumentasikan hasil
n. Pola napas (5) pemantauan
o. Warna kulit (5) c. Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
Informasikan
pemantauan, jika
perlu
Terapi oksigen
a. Observasi
1. Monitor kecepatan
aliran oksigen
2. Monitor posisi alat

17
terapi oksigen
3. Monitor aliran
oksigen secara
periodik dan pastikan
fraksi yang diberikan
cukup
4. Monitor efektifitas
terapi oksigen (mis.
Oksimetri, analisa gas
darah), jika perlu
5. Monitor kemampuan
melepaskan oksigen
saat makan
6. Monitor tanda-tanda
hipoventilasi
7. Monitor tanda dan
gejala toksikasi
oksigen dan
aktelektasi
8. Monitor timgkat
kecemasan akibat
terapi oksigen
9. Monitor integritas
hidung akibat
pemasangan oksigen
b. Terapeutik
1. Bersihkan sekret pada
mulut, hidung dan
trakhea, jika perlu
2. Pertahankan
kepatenan jalan napas

18
3. Siapkan dan atur
peralatan pemberian
oksigen
4. Berikan oksigen
tambahan, jika perlu
5. Tetap berikan oksigen
saat pasein di
transportasi
6. Gunakan perangkat
oksigen yang sesuai
dengan tingkat
mobilitas pasien
c. Edukasi
1. Ajarkan pasien dan
keluarga cara
menggunakan oksigen
dirumah
d. Kolaborasi
Kolaborasi penentuan
dosis oksigen
1. Kolaborasi
penggunaan oksigen
saat aktivitas dan tidur
3 Pola Napas Luaran utama : pola Intervensi utama :
Tidak Efektif napas Manajemen jalan napas
Luaran tambahan : a. Observasi
a. Berat badan 1. Monitor posisi selang
b. Keseimbangan endotrakheal (ETT),
asam-basa terutama setelah
c. Konservas energi mengubah posisi
d. Status neurologis 2. Monitor tekanan balon

19
e. Tingkat ansietas ETT setiap 4-8 jam
f. Tangkat 3. Monitor kulit area
keletihan stoma trakheostomi
g. Tingkat nyeri (Mis. Kemerahan,
Ekspektasi : drainase, perdarahan)
membaik b. Terapeutik
Krieria hasil : 1. Kurangi tekanan balon
a. Frekuensi napas secara periodik setiap
(5) shift
b. Kedalaman napas 2. Pasang orofaringheal
(5) airway (OPA) untuk
c. Ekskursi dada (5) mncegah ETT tergigit
3. Cegah ETT terlipat
(Kinking)
4. Berikan p-oksigenasi
100% selama 30 detik
(3-6kali ventilasi)
sebelum dan setelah
penghisapan
5. Berikan volume pre-
oksigenasi (bagging
atau ventilasi mekanik)
1,5 kali volme tidal
6. Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 1,5
detik jika diperlukan
(bukan secara
berkala/rutin)
7. Ganti viksasi ETT
setiap 24 jam
8. Ubah posisi ETT

20
secara bergantian (kiri
dan kanana) tutup
setiap 24 jam
9. Lakukan perawatan
mulut (mis.dengan
sikat gigi, kasa,
pelembab bibir)
10. Lakukan perawatan
stoma trakeostomi
c. Edukasi
1. Jelaskan pada pasien
dan keluarga tujuan
dan prosedur
pemasangan jalan
napas bauatan.
d. Kolaborasi
1. Kolaborasi intubasi
ulang jika terbentuk
mucous plug yang
tidak dapat dilakukan
penghisapan
Pemantauan respirasi
a. Observasi
1. Monitor frekuensi,
irama, kedalam dan
upaya napas
2. Monitor pola napas
(seperti bradipneu
takipneu,
hiperventilasi,
kusmaul, cheyne-

21
stokes,biot,ataksik)
3. Monitor kemampuan
batuk efektif
4. Monitor adanya
produksi sputum
5. Monitor adanya
sumbatan jalan napas
6. Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
7. Auskultasi bunyi napas
8. Monitor saturasi
oksigen
9. Monitor nilai AGD
10. Monitor hasil x/ray
toraks
b. Terapeutik
1. Atur interval
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil
pemantauan
c. Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
2. Informasikan
pemantauan, jika perlu

22
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Sindrom gangguan pernapasan akut (Acute respiratory distress syndrome -
ARDS) merupakan manifestasi cedera akut paru-paru, biasanya akibat sepsis,
trauma, dan infeksi paru berat. penyebab terjadinya akut respiratori distres
sindrom ialah (Syok sepsis , hemoragis, kardiogenik dan analfilatik dan
Trauma ; kontusio pulmonal dan non pulmonal ), ARDS biasanya timbul
dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah kerusakan awal pada paru. Setelah 72
jam 80% pasien menunjukkan gejala klinis ARDS yang jelas. Awalnya pasien
akan mengalami dispnea, kemudian biasanya diikuti dengan pernapasan yang
cepat dan dalam. Sianosis terjadi secara sentral dan perifer, bahkan tanda yang
khas pada ARDS ialah tidak membaiknya sianosis meskipun pasien sudah
diberi oksigen Pasien ARDS yang dirawat dengan bantuan ventilasi mekanis
akan mengalami penurunan volume intravaskular serta penekanan curah
jantung hingga berakibat penurunan transpor O2 dan kegagalan organ.

3.2.Saran
Setelah membaca makalah ini, kami berharap kepada pembaca, khususnya
pada mahasiswa keperawatan dapat lebih memahami dalam mengenai (Acute
respiratory distress syndrome - ARDS)

23
DAFTAR PUSTAKA

Amin Zulkifli, Purwoto J. (2012). ‘Acute Respiratory Distress Syndrome


(ARDS)’ Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II; Edisi IV. Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Farid (2011). Acute Respiratory Distress Syndrome. Maj Farm vol 4 (12).
<http://content.ebscohost.com/pdf
1821/pdf/2010/IJM/01Feb06/4949718.pdf> diakses pada 01 april 2013

Guntur AH. (2007). ‘Sepsis’ Dalam : buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II;
Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam : FKUI

Harman EM. (2011). Acute Respiratory Distress Syndrome Overview.


http://emedicine.medscape.com/article/165139-overview diakses pada 01
april 2013

Udobi KF, Touijer K. (2010). Acute Respiratory Distress Syndrome. Am Fam


Physician. Vol. 67 (2) :315-322. http://www.biomedcentral.com/1471-
230X/11/35 diakses pada 01 april 2013

Ware LB, Matthay MA.(2000) The Acute Respiratory Distress Syndrome. N Engl
J Med vol (342) 1334-1349. www.nejm.org

24

Anda mungkin juga menyukai