Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN KASUS

Tuberkulosis Paru BTA Positif Lesi Luas Kasus Putus Obat

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/SMF Ilmu Penyakit Paru RSUD Meuraxa Banda Aceh
Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama

Oleh

Siska Agustina
19174056

Pembimbing :

dr. Nurfitriani, Sp.P

SMF ILMU PENYAKIT PARU


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MEURAXA
BANDA ACEH
2021

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis haturkan kehadirat Allah SWT, pencipta
alam dan semesta, penguasa isi jagat raya, pemberi kebahagiaan serta tidak pernah
memberikan limpahan taufiq, nikmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga Penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul “Tuberkulosis Paru BTA
Positif Lesi Luas Kasus Putus Obat”. Shalawat dan salam selalu terlimpahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta pengikut ajaran beliau
hingga akhir jaman.

Laporan kasus ini sebagai rangkaian untuk memenuhi tugas akhir kegiatan
Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakulltas Kedokteran
Universitas Abulyatama di Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa periode Juli-
Agustus 2021. Laporan kasus ini juga diperuntukkan guna menambah
pengetahuan.
Dalam penulisan laporan kasus ini Penulis mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya kepada pembimbing, dr. Nurfitriani, Sp.P, yang telah
membimbing sehingga terselesaikannya tugas ini. Penulis juga berterima kasih
kepada berbagai pihak yang turut membantu dalam pembuatan tugas ini.

Penulis menyadari bahwa penyajian tugas ini jauh dari sempurna. Penulis
memohon maaf sebesar-besarnya atas segala kekurangan dalam penulisan ini.
Kritik dan saran sangat Penulis harapkan dari Pembaca untuk kesempurnaan
penulisan ini. Semoga penulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Banda Aceh, Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
BAB II LAPORAN KASUS ................................................................................. 2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 15
3.1 Tuberkulosis .............................................................................................. 15
3.1.1 Definisi Tuberkulosis ....................................................................... 15
3.1.2 Klasifikasi dan Tipe Pasien Tuberkulosis ........................................ 15
3.1.3 Epidemiologi Tuberkulosis .............................................................. 18
3.1.4 Etiologi Tuberkulosis ....................................................................... 19
3.1.5 Patogenesis dan Patofisiologi Tuberkulosis ..................................... 22
3.1.6 Manifestasi Klinis Tuberkulosis....................................................... 25
3.1.7 Diagnosis Tuberkulosis .................................................................... 25
3.1.8 Diagnosis Banding Tuberkulosis ..................................................... 30
3.1.9 Tatalaksana Tuberkulosis ................................................................. 31
3.1.10 Edukasi Pasien................................................................................ 38
3.1.11 Komplikasi Tuberkulosis ................................................................ 39
3.1.12 Prognosis Tuberkulosis .................................................................. 39
BAB IV ANALISIS KASUS ............................................................................... 40
BAB V KESIMPULAN ..................................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 42

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat di dunia. Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam
sehingga sering dikenal dengan Basil Tahan Asam (BTA). Bakteri ini dapat
ditularkan melalui droplet, interaksi sosial menjadi media penularan ketika
seseorang terinfeksi berinteraksi fisik secara dekat sehingga percikan dahak
terhirup ke orang yang sehat.1,2,3

Secara global diperkirakan terdapat 1,2 miliar orang berisiko terinfeksi


tuberkulosis dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi tuberkulosis bahkan
44% kasus di Asia Tenggara. Indonesia menempati rangking ke-2 setelah India.
Jumlah penderita terduga tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2019 sebanyak
3.414.150 kasus, angka insidensi sebesar 843.000 kasus pada tahun 2019
meningkat dari tahun sebelumnya sebanyak 566.623 kasus, angka prevalensi
tuberkulosis Indonesia yaitu 0,4%. Menurut Profil Kesehatan Aceh tahun 2020,
ditemukan sebanyak 6.456 kasus tuberkulosis di Aceh.4,5,6,7

Sebagian besar kuman TB sering ditemukan menginfeksi parenkim paru


dan menyebabkan TB paru, namun dapat juga menginfeksi organ lainnya (TB
ekstra paru) seperti pleura, kelenjar limfe, tulang dan organ ekstra paru lainnya.
Gejala utama TB paru yaitu batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Batuk
dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah,
sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.
Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah
penyebaran lebih lanjut dari kuman TB. Sebagian besar pasien TB dapat
menyelesaikan pengobatan tanpa mengalami efek samping Obat Anti
Tuberkulosis (OAT).2,8,9

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. Zainal Abidin Lubis


No RM : 144080
Umur : 58 tahun
Tanggal lahir : 05 Mei 1963
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Menikah
Pekerjaan :-
Suku : Aceh
Agama : Islam
Alamat : Gue Gajah, Darul Imarah, Aceh Besar
Tanggal Masuk : 29 September 2021

2.2 Anamnesis (Autoanamnesis)


Keluhan Utama:
Batuk berdarah
Keluhan Tambahan:
Nyeri dada, demam, penurunan berat badan

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien datang dengan keluhan batuk berdarah sejak ±3 jam SMRS. Darah
yang dikeluarkan setiap ± 3x batuk, kira-kira lebih dari 1 sendok makan, total
banyaknya darah yang dikeluarkan tidak diketahui pasien dan keluarga, darah
yang dikeluarkan berwarna merah segar, awalnya bercak-bercak kemudian
banyak. Sebelumnya pasien juga mengeluhkan batuk dan demam sejak ± 2
minggu SMRS, batuk disertai dahak berwarna kecoklatan, batuk memberat ketika
malam dan dini hari sehingga membuat pasien sulit tidur, demam yang dirasakan
tidak terlalu tinggi, menggigil (-), keringat malam (-). Pasien juga mengeluh nyeri
dada ketika batuk, nyeri dirasakan di seluruh bagian dada. Pasien mengalami

2
penurunan berat badan ± 6 kg selama 2 minggu terakhir. Mual (-), muntah (-),
sesak nafas (-), nafsu makan menurun (-).

Riwayat Penyakit Dahulu:


- Tuberkulosis paru (didiagnosis ± 3 bulan SMRS, putus obat setelah
pengobatan OAT ± 1 bulan)
- Diabetes melitus tipe 2 (didiagnosis ± 3 bulan SMRS)
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit yang sama.
Riwayat Penggunaan Obat:
- OAT (pengobatan dihentikan sendiri selama ± 2 bulan setelah
menjalani pengobatan ± 1 bulan)
- Metformin 500 mg
Riwayat Alergi:

- Cuaca : Tidak ada


- Makanan : seafood
- Obat : Tidak ada

Riwayat Kebiasaan Sosial:

Pasien merokok sejak usia 25 tahun, dalam 1 hari pasien merokok ± 5


batang, pasien tidak merokok lagi sejak ± 7 bulan yang lalu. Penggunaan alkohol
dan NAPZA disangkal.

1.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 2 Oktober 2021 di ruang rawat
inap Arafah RSUD Meuraxa Kota Banda Aceh.

A. Status Generalis
- Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
- Kesadaran : Compos Mentis
- Tinggi Badan : 165 cm
- Berat Badan : 55 kg
- BMI : 20,20 kg/m2 (Normal)

3
Vital Sign
- Tekanan Darah : 146/79 mmHg
- Denyut Nadi : 83 x/menit
- Laju Napas : 22 x/menit
- Suhu Tubuh : 36.7°C
- GCS : E4M6V5
B. Status Internus
1. Kepala : Normocephali, bentuk simetris (+), deformitas (-)
a. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor,
refleks pupil (+/+)
b. Telinga : Deformitas (-/-), sekret (-/-), penurunan fungsi
pendengaran (-/-)
c. Hidung : Deformitas (-), deviasi septum (-), sekret (-), pernapasan
cuping hidung (-)
d. Mulut : Sianosis (-), pucat (-)

2. Leher
a. KGB : Tidak terdapat pembesaran
b. Struma : Tidak terdapat struma
c. TVJ : < 2 cm H2O

3. Thorak : Bentuk simetris


Paru-paru Depan
a. Inspeksi : Bentuk dada simetris, gerakan napas tertinggal (-), retraksi
dinding dada (-/-), jejas (-/-)
b. Palpasi : Gerakan dinding dada simetris, fremitus taktil kanan = kiri
c. Perkusi : Sonor (+/+)
d. Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (+/+), wheezing (-/+)
Paru-paru Belakang
a. Inspeksi : Bentuk dada simetris, jejas (-/-)
b. Palpasi : Gerakan dinding dada simetris, fremitus taktil kanan = kiri
c. Perkusi : Sonor (+/+)

4
d. Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (+/+), wheezing (-/-)

Jantung

a. Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat


b. Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 5
c. Perkusi : Batas atas : ICS 3 linea midclavicula (s)
Batas kanan : ICS 4 linea parasternalis (d)
Batas bawah : ICS 5 linea midclavicula (s)

d. Auskultasi : BJ I > BJ II, regular (+), gallop (-), murmur (-)

4. Abdomen
a. Inspeksi : Permukaan perut datar, pelebaran vena (-), jejas (-)
b. Auskultasi : Peristaltik usus normal
c. Perkusi : Tympani (+)
d. Palpasi : Soepel (+), nyeri tekan (-)

5. Ekstremitas

a. Look :
Udem

- -

- -

Jejas

- -

- -

5
Deformitas

- -

- -

Kemerahan

- -

- -

Clubbing finger

- -

- -

b. Feel : hangat (+/+), sensibilitas baik, CRT < 2 detik


c. Move : pergerakan aktif, pergerakan pasif, dan ROM
dalam batas normal

6. Genitalia

Tidak dilakukan pemeriksaan

1.4 Pemeriksaan Penunjang


2. Pemeriksaan Darah Lengkap tanggal 29 September 2021
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Darah Lengkap
Hemoglobin 11.9 g/dL (L) 13.0 – 18.0 g/dL
Eritrosit 4.13 x 106/µL (L) 4.4 – 5.9 x 106/µL
Hematokrit 35.0 % (L) 42.0 – 52.0 %
MCV 86.7 fL 80.0 – 96.0 fL

6
MCH 28.8 pg 28.0 – 33.0 pg
MCHC 33.2 g/dL 33.0 – 36.0 g/dL
RDW-SD 41.1 fL 35.0 – 47.0 fL
RDW-CV 13.2 % 11.5 – 14.5 %
Leukosit 14.1 x 103/µL (H) 4.0 – 10.0 x 103/µL
HITUNG JENIS
Eosinofil 0.4 % (L) 2.0 – 4.0 %
Basofil 0.3 % 0–1%
Neutrofil 75.0 % (H) 40.0 – 70.0 %
Limfosit 12.1 % (L) 20.0 – 40.0 %
Monosit 12.2 % (H) 2.0 – 8.0 %
Trombosit 383 x 103/µL 150 – 450 x 103/µL

3. Pemeriksaan Kimia Klinik tanggal 29 September 2021


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Kimia Klinik
Glukosa Ad Random 126 mg/dL 70 – 160 mg/dL
SGOT 24 U/L 0 – 37 U/L
SGPT 16 U/L 0 – 42 U/L
Ureum 29 mg/dL 10 – 50 mg/dL
Creatinin 1.1 mg/dL 0.6 – 1.1 mg/dL

4. Pemeriksaan Elektrolit tanggal 29 September 2021


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Elektrolit
Natrium 140 mmol/L 135 – 145 mmol/L
Kalium 4.5 mmol/L 3.6 – 5.1 mmol/L
Chlorida 103 mmol/L 95 – 108 mmol/L

7
5. Pemeriksaan Mikrobiologi tanggal 1 Oktober 2021
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
XPert MTB – RIF Assay G4
MTB Detected High Not Detected
Rif Resistance Not Detected Not Detected
BTA 2x
BTA I (Sewaktu) Positif 3 Negatif
BTA II (Pagi) Positif 3 Negatif
Jamur Negatif Negatif

6. Pemeriksaan Foto Thorax AP tanggal 29 September 2021

Hasil: Cor, sinus dan diafragma normal. Pulmo: Hili kabur, corakan paru
bertambahm tampak perselubungan halus, infiltrat di lapangan paru kiri
dan lapangan paru kanan.
Kesan: Cor tidak membesar, pneumonia bilateral

1.5 Resume

Pasien datang dengan keluhan batuk berdarah sejak ±3 jam SMRS. Darah
yang dikeluarkan setiap ± 3x batuk, kira-kira lebih dari 1 sendok makan, total
banyaknya darah yang dikeluarkan tidak diketahui pasien dan keluarga, darah
yang dikeluarkan berwarna merah segar, awalnya bercak-bercak kemudian

8
banyak. Sebelumnya pasien juga mengeluhkan batuk dan demam sejak ± 2
minggu SMRS, batuk disertai dahak berwarna kecoklatan, batuk memberat
ketika malam dan dini hari sehingga membuat pasien sulit tidur, demam yang
dirasakan tidak terlalu tinggi, menggigil (-), keringat malam (-). Pasien juga
mengeluh nyeri dada ketika batuk, nyeri dirasakan di seluruh bagian dada.
Pasien mengalami penurunan berat badan ± 6 kg selama 2 minggu terakhir.
Mual (-), muntah (-), sesak nafas (-), nafsu makan menurun (-). Pasien pernah
didiagnosis TB Paru sekitar 3 bulan lalu, menjalani pengobatan OAT selama ±
1 bulan kemudia berhenti selama ± 2 bulan ini. Pada pemeriksaan darah
lengkap didapatkan leukositosis. Pada pemeriksaan mikrobiologi didapatkan
BTA positif 3. Pada pemeriksaan foto xray thorak AP didapatkan kesan
pneumonia bilateral.

1.6 Diagnosis Banding : 1. TB paru BTA (+) Lesi Luas Kasus Putus
Obat
2. Pneumonia
3. Bronkiektasis
1.7 Diagnosis : - Hemoptisis
- TB paru BTA (+) Lesi Luas Kasus Putus
Obat
- DM Tipe 2

1.8 Penatalaksanaan
Terapi yang diberikan:
1. Bedrest
2. IVFD Ringer Laktat 20 gtt/i
3. Inj. Ceftriaxone 2gr/hari
4. Inj. Kalnex 100 ml/8 jam
5. Inj. Omeprazole 40 mg/8 jam
6. Inj. Vitamin K / 8 jam
7. Inj. Vitamin C 200 mg/8 jam
8. Codein 7,5 mg + Chlorpheniramin Maleat 1,5
mg 3x1

9
9. Rifampisin 1 x 600 mg
10. Isoniazid 1 x 300 mg
11. Pirazinamid 1 x 1500 mg
12. Ethambutol 1 x 1500 mg
13. Curcuma 3 x 20 mg
14. Metformin 1 x 500 mg

Rencana monitoring :

1. Monitor tanda-tanda vital


2. Monitor keadaan umum

1.9 Follow up

TANGGAL S O A P
29-9-2021 Pasien datang KU: sedang - Hemoptisis e.c • Bedrest
(Hari dengan GCS: E4M6V5 dd • IVFD Ringer
rawatan keluhan batuk TD: 149/85 mmHg 1. TB paru Laktat 20 gtt/i
pertama) berdarah sejak HR: 100 x/i 2. Pneumonia • Inj. Ceftriaxone
±3 jam SMRS, RR: 24 x/i 3. Bronkiektasis 2gr/hari
darah yang T: 37˚C - DM Tipe 2 • Inj. Kalnex 100
dikeluarkan SpO2: 93% ml/8 jam
berwarna Px darah lengkap: • Inj. Omeprazole
merah segar, - Hb: 11.9 g/dL 40 mg/8 jam
keluar setiap - Eritrosit: • Inj. Vitamin K / 8
±3x batuk 4.13x106 /µL jam
sebanyak ±1 - Hematokrit: • Inj. Vitamin C 200
sdm , awalnya 35.8%
mg/8 jam
bercak - Leukosit:
• Codein 7,5 mg +
kemudian 14.1x103/µL
Chlorpheniramin
banyak, nyeri - Eosinofil: 0.4%
Maleat 1,5 mg 3x1
dada ketika - Neutrofil: 75%
• Curcuma 3 x 20
batuk (+), - Limfosit: 12.1%
mg
riwayat - Monosit: 12.2%
• Metformin 1 x 500
demam (+), Foto thorak AP:
mg
penurunan BB pneumonia
• Metformin 1 x 500
(+), mual (-), bilateral
mg
muntah (-),
sesak nafas (-),

10
pasien
didiagnosis TB
paru ±3 bulan
lalu dan telah
menjalani
pengobatan ±1
bulan
kemudian
berhenti ±2
bulan.
30-09-2021 Batuk berdarah KU: sedang - Hemoptisis e.c • Bedrest
(Hari (+) ±3x @ < GCS: E4M6V5 dd • IVFD Ringer
rawatan 1sdm, nyeri TD: 130/92 mmHg 1. TB paru Laktat 20 gtt/i
kedua) dada ketika HR: 85 x/i 2. Pneumonia • Inj. Ceftriaxone
batuk (+) RR: 22 x/i 3. Bronkiektasis 2gr/hari
T: 36,6˚C - DM Tipe 2 • Inj. Kalnex 100
SpO2: 99% ml/8 jam
• Inj. Omeprazole
40 mg/8 jam
• Inj. Vitamin K / 8
jam
• Inj. Vitamin C 200
mg/8 jam
• Codein 7,5 mg +
Chlorpheniramin
Maleat 1,5 mg 3x1
• Curcuma 3 x 20
mg
• Metformin 1 x 500
mg
01-10-2021 Batuk berdarah KU: sedang - Hemoptisis e.c • Bedrest
(Hari (+) ±3x @ < GCS: E4M6V5 TB Paru BTA • IVFD Ringer
rawatan 1sdt, nyeri TD: 130/68 mmHg (+) Lesi Luas Laktat 20 gtt/i
Kasus Putus
ketiga) dada ketika HR: 85 x/i
Obat • Inj. Ceftriaxone
batuk (+) RR: 20 x/i - DM Tipe 2 2gr/hari
T: 36.5˚C • Inj. Kalnex 100
SpO2: 93% ml/8 jam
Pemeriksaan • Inj. Omeprazole
mikrobiologi: 40 mg/8 jam
- MTB: detected • Inj. Vitamin K / 8
high jam

11
- Rif Resistance: • Inj. Vitamin C 200
not detected mg/8 jam
- BTA I (S): +3 • Rifampisin 1 x
- BTA II (P): +3 600 mg
• Isoniazid 1 x 300
mg
• Pirazinamid 1 x
1500 mg
• Ethambutol 1 x
1500 mg
• Codein 7,5 mg +
Chlorpheniramin
Maleat 1,5 mg 3x1
• Curcuma 3 x 20
mg
• Metformin 1 x 500
mg
02-10-2021 Batuk berdarah KU: sedang - Hemoptisis e.c • Bedrest
(Hari (+) ±3x @ < GCS: E4M6V5 TB Paru BTA • IVFD Ringer
rawatan 1sdt, nyeri TD: 146/79 mmHg (+) Lesi Luas Laktat 20 gtt/i
Kasus Putus
keempat) dada ketika HR: 84 x/i
Obat • Inj. Ceftriaxone
batuk (+) RR: 22 x/i - DM Tipe 2 2gr/hari
T: 36.7˚C • Inj. Kalnex 100
SpO2: 94% ml/8 jam
• Inj. Omeprazole
40 mg/8 jam
• Inj. Vitamin K / 8
jam
• Inj. Vitamin C 200
mg/8 jam
• Rifampisin 1 x
600 mg
• Isoniazid 1 x 300
mg
• Pirazinamid 1 x
1500 mg
• Ethambutol 1 x
1500 mg
• Codein 7,5 mg +
Chlorpheniramin
Maleat 1,5 mg 3x1

12
• Curcuma 3 x 20
mg
• Metformin 1 x 500
mg
03-10-2021 Batuk berdarah KU: sedang - Hemoptisis e.c • Bedrest
(Hari (+) ±3x @ < GCS: E4M6V5 TB Paru BTA • IVFD Ringer
rawatan 1sdt, disertai TD: 146/82 mmHg (+) Lesi Luas Laktat 20 gtt/i
Kasus Putus
kelima) dahak HR: 83 x/i
Obat • Inj. Ceftriaxone
berwarna RR: 21 x/i - DM Tipe 2 2gr/hari
kehijauan, T: 36.5˚C • Inj. Kalnex 100
nyeri dada SpO2: 94% ml/8 jam
ketika batuk • Inj. Omeprazole
(+) 40 mg/8 jam
• Inj. Vitamin K / 8
jam
• Inj. Vitamin C 200
mg/8 jam
• Rifampisin 1 x
600 mg
• Isoniazid 1 x 300
mg
• Pirazinamid 1 x
1500 mg
• Ethambutol 1 x
1500 mg
• Codein 7,5 mg +
Chlorpheniramin
Maleat 1,5 mg 3x1
• Curcuma 3 x 20
mg
• Metformin 1 x 500
mg
04-10-2021 Batuk berdarah KU: sedang - Hemoptisis e.c • Bedrest
(Hari (+) < 3x @ < GCS: E4M6V5 TB Paru BTA • IVFD Ringer
rawatan 1sdt, disertai TD: 150/88 mmHg (+) Lesi Luas Laktat 20 gtt/i
Kasus Putus
keenam) dahak HR: 88 x/i
Obat • Inj. Ceftriaxone
berwarna RR: 22 x/i - DM Tipe 2 2gr/hari
kehijauan, T: 36.5˚C • Inj. Kalnex 100
nyeri dada SpO2: 95% ml/8 jam
ketika batuk • Inj. Omeprazole
(↓) 40 mg/8 jam

13
• Inj. Vitamin K / 8
jam
• Inj. Vitamin C 200
mg/8 jam
• Rifampisin 1 x
600 mg
• Isoniazid 1 x 300
mg
• Pirazinamid 1 x
1500 mg
• Ethambutol 1 x
1500 mg
• Codein 7,5 mg +
Chlorpheniramin
Maleat 1,5 mg 3x1
• Curcuma 3 x 20
mg
• Metformin 1 x 500
mg
05-10-2021 Batuk berdarah KU: sedang - Hemoptisis e.c PBJ
(Hari (+) ±3x @ < GCS: E4M6V5 TB Paru BTA • Rifampisin 1 x
rawatan 1sdt, disertai TD: 142/70 mmHg (+) Lesi Luas 600 mg
Kasus Putus
ketujuh) dahak HR: 89 x/i
Obat • Isoniazid 1 x 300
berwarna RR: 20 x/i - DM Tipe 2 mg
kehijauan, T: 36.5˚C • Pirazinamid 1 x
nyeri dada SpO2: 97% 1500 mg
ketika batuk • Ethambutol 1 x
(↓) 1500 mg
• Cefixime 2 x 100
mg
• Kalnex 3 x 500
mg
• Vitamin K 3 x 1
• Vitamin C 3 x 1
• Codein 7,5 mg +
Chlorpheniramin
Maleat 1,5 mg 3x1
• Curcuma 3 x 20
mg
• Metformin 1 x 500
mg

14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Tuberkulosis
3.1.1 Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan
bersifat tahan asam sehingga sering dikenal dengan Basil Tahan Asam
(BTA). Sebagian besar kuman TB sering ditemukan menginfeksi parenkim
paru dan menyebabkan TB paru, namun bakteri ini juga memiliki
kemampuan menginfeksi organ tubuh lainnya (TB ekstra paru) seperti
pleura, kelenjar limfe, tulang, organ ekstra paru lainnya.2,8

3.1.2 Klasifikasi dan Tipe Pasien Tuberkulosis


Terduga (presumptive) pasien TB yaitu seseorang yang mempunyai
keluhan atau gejala klinis mendukung TB (sebelumnya dikenal sebagai TB).
Pasien TB yang terkonfirmasi bakteriologis yaitu pasien TB yang terbukti
positif bakteriologi pada hasil pemeriksaan (seperti sputum, cairan tubuh
dan jaringan) melalui pemeriksaan mikroskopis langsung, TCM TB, atau
biakan.2

Termasuk dalam kelompok pasien ini yaitu:2

1) Pasien TB paru BTA positif


2) Pasien TB paru hasil biakan M.TB positif
3) Pasien TB paru hasul tes cepat M.TB positif
4) Pasien TB ekstra paru terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan
BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena
5) TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.

Pasien TB terdiagnosis secara klinis yaitu pasien yang tidak memenuhi


kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien
TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB.2

15
Termasuk dalam kelompok pasien ini yaitu:2

1) Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto thorak


mendukung TB
2) Pasien TB paru BTA negatif dengan tidak ada perbaikan klinis setelah
diberikan antibiotika non OAT, dan mempunyai faktor risiko TB
3) Pasien TB ekstra paru yang terdiagnosis secara klinis maupun laborators
dab histopatologis tanpa konfirmas bakteriologis
4) TB anak yang terdiagnosis dengan sistem skoring.

Diagnosis TB dengan konfirmasi bakteriologis atau klinis dapat


diklasifikan berdasarkan:2

1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomis


a) TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau
trakeobronkial. TB milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena
terdapat lesi di paru. Pasien yang menglami TB paru dan ekstra paru
harus diklasifikasn sebagai kasus TB paru.
b) TB ekstra paru adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar
parenkim paru seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran
genitourinaria, kulit, sendi dan tulang, selaput otak. Kasus TB ekstra
paru dapat ditegakkan secara klinis atau histologis setelah diupayakan
semaksimal mungkin dengan konfirmasi bakteriologis.
2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan
a) Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT
sebelumnya atau riwayat mendapat OAT < 1 bulan (< 28 dosis bil
memakai obat program).
b) Kasus dengan riwayat pengobatan adalah pasien yang pernah
mendapatkan OAT 1 bulan lebih (≥ 28 dosis bila memakai obat
program). Kasus ini diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan hasil
pengobatan terkhir sebagai berikut.
- Kasus kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah
mendapatkan OAT dan dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap pada akhir pengobatan dan saat ini ditegakkan diagnosis

16
TB episode kembali (karena reaktivasi atau episode baru yang
disebabkan reinfeksi).
- Kasus pengobatan setelah gagal adalah pasien yang sebelumnya
pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir
pengobatan.
- Kasus setelah loss to follow up adalah pasien yang pernah menelan
OAT ≥ 1 bulan dan tidak meneruskannya selama > 2 bulan
berturut-turut dan dinyatakan loss to follow up sebagai hasil
pengobatan.
- Kasus lain-lain adalah pasien sebelumnya pernah mendapatkan
OAT dan hasil akhir pengobatannya tidak diketahui atau tidak
didokumentasikan.
- Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui adalah pasien
yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya sehingga
tidak dapat dimasukkan dalam salah satu kategori tersebut.

Penting diidentifikasi adanya riwayat pengobatan sebelumnya karena


terdapat risiko resistensi obat. Sebelum dimulai pengobatan sebaiknya
dilakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan obat menggunakan
tercepat yang telah disetujui WHO (TCM TB MTB / Rif atau LPA (Hain
test dan genoscholar) untuk semua pasien dengan riwayat pemakaian
OAT.

3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat


a) Monoresisten: resistensi terhadap salah satu jenis OAT lini pertama.
b) Poliresisten: resistensi terhadap ≥ 1 jenis OAT lini pertama selain
isoniazid (I) dan rifampisin (R) secara bersamaan.
c) Mutidrug Resistant (TB MDR): minimal resisten terhadap isoniazid
(H) rifampisin (R) secara bersamaan.
d) Extensive Drug Resistant (TB XDR): TB MDR yang juga resisten
terhadap salah satu dari OAT golongan fluorokuinolon dan salah satu
dari OAT lini kedua jenis suntikan (kanamisin, kapreomisin, dan
amikasin).

17
e) Rifampicin Resistant (TB RR): terbukti resten terhadap rifampisin
baik menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip
(konvensional), dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang
terdeteksi. Termasuk dalam kelompok TB RR adalah semua bentuk
TB MR, TB PR, TB MDR dan TB XDR yang terbukti resisten
terhadap rifampisin.
4. Klasifikasi berdasarkan status HIV
a) Kasus TB dengan HV positif adalah kasus TB terkonfirmasi
bakteriologis atau terdiagnosis klinis pada pasien yang memiliki hasil
tes HIV positif, baik yang dilakukan pada saat penegakan diagnosis
TB atau ada bukti bahwa pasien telah terdaftar di register HIV
(registrer pra ART atau resgister ART)
b) Kasus TB dengan HIV negatif adalah kasus TB terkonfirmasi
bakteriologis atau terdiagnosis klinis pada pasien yang memiliki hasil
negatif untuk tes HIV yang dilakukan pada saat ditegakkan diagnosis
TB. Bila pasien ini diketahui HIV positif di kemudian haru harus
kembali disesuaikan klasifikasinya.
c) Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui oleh kasus TB
terkonfirmasi bakteriologis atau terdiagnosis klinis yang tidak
memiliki hasil tes HIV dan tidak memiliki bukti dokumentasi telah
terdaftar dalam register HIV. Bila pasien ini diketahui HIV positif di
kemudian hari harus kembali disesuaikan klasifikasinya.

3.1.3 Epidemiologi Tuberkulosis


Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global yang menjadi salah
satu dari 10 penyebab kematian dunia setelah HIV/AIDS. Secara global,
diperkirakan 1,2 miliar orang berisiko terinfeksi tuberkulosis dan sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi tuberkulosis, bahkan 44% kasus di Asia
Tenggara. Indonesia menempati rangking ke-2 setelah India. Jumlah
penderita terduga tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2019 sebanyak
3.414.150 kasus, angka insidensi sebesar 843.000 kasus pada tahun 2019
meningkat dari tahun sebelumnya sebanyak 566.623 kasus, angka

18
prevalensi tuberkulosis yaitu 0,4%, terdapat 400 orang terdiagnosis
menderita tuberkulosis paru positif dari setiap 100.000 penduduk.3,4

Jumlah kasus tertinggi dilaporkan dari provinsi dengan jumlah


penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
Kasus tuberkulosis di ketiga provinsi tersebut hampir mencapai setengah
dari jumlah seluruh kasus tuberkulosis di Indonesia. Menurut Profil
Kesehatan Aceh tahun 2020, ditemukan sebanyak 6.456 kasus, jumlah kasus
menurun bila dibandingkan tahun 2019 yaitu sebanyak 8.647 kasus. Jumlah
kasus tahun 2020 yang dilaporkan tertinggi terdapat di Kabupaten Aceh
Utara yaotu sebesar 13%, diikuti Kabupaten Bireun 12% dan Kabupaten
Pidie 9% dari jumlah seluruh kasus tuberkulosis di Aceh. 3,6,7

Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru tuberkulosis tahun 2017


pada laki-laki lebih tinggi 1,4 kali yang terjadi di seluruh provinsi. Bahkan
di Aceh dan Sumatera Utara kasus pada laki-laki hampir dua kali lipat
dibandingkan perempuan. Prevalensi usia penderita tuberkulosis yaitu usia
produktid 20-60 tahun karena pada usia produktif memiliki mobilitas yang
lebih tinggi sehingga lebih berisiko terpapar kuman TB.5,8,10

Menurut laporan WHO tahun 2015, di tingkat global diperkirakan 9,6


juta kasus TB baru dengan 3,2 juta kasus di antaranya adalah perempuan.
Dengan 1,5 juta kematian karena TB dimana 480.000 kasus yaitu
perempuan. Dari kasus TB tersebut ditemukan 1,1 juta (12%) HIV positif
dengan kematian 320.000 orang (140.000 orang yaitu perempuan) dan
480.000 TB Resisten Obat (TB-RO) dengan kematian 190.000 orang. Dari
9,6 juta kasus TB baru diperkirakan 1 juta kasus TB anak (di bawah 15
tahun) dan 140.000 kematian/tahun.1

3.1.4 Etiologi Tuberkulosis


Terdapat 5 bakteri yang berkaitan erat dengan infeksi TB, yaitu:
Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium
africanum, Mycobacterium microti, dan Mycobacterium cannettii. M.

19
tuberculosis (M.TB), hingga saat ini merupakan bakteri yang paling sering
ditemukan dan menular antar manusia melalui rute udara.2

Tidak ditemukan hewan yang berperan sebagai agen penularan M.TB.


Namun, M. bovis dapat bertahan dalam susu sapi yang terinfeksi dan
melakukan penetrasi ke mukosa saluran cerna serta menginvasi jaringan
limfe orofaring saat seseorang mengonsumsi susu dari sapi yang terinfeksi
tersebut. Angka kejadian infeksi M. bovis pada manusia sudah mengalami
penurunan signifikan di negara berkembang, hal ini dikarenakan proses
pasteurisasi susu dan telah diberlakukannya strategi kontrol tuberkulosis
yang efektif pada ternak. Infeksi terhadap organisme lain relatif jarang
ditemukan.

Tuberkulosis biasanya menular dari manusia ke manusia lain lewat


udara melalui percik renik atau droplet nucleus (<5 mikron) yang keluar
ketika seseorang yang terinfeksi TB paru atau TB laring batuk, bersin, atau
bicara. Percik renik juga dapat dikeluarkan saat pasien TB paru melalui
prosedur pemeriksaan yang menghasilkan produk aerosol seperti saat
diberlakukannya induksi sputum, bronkoskopi dan juga saat dilakukannya
manipulasi terhadao lesi atau pengolahan jaringan di laboratorium. Percik
renik, yang merupakan partikel kecil berdiameter 1-5 µm dapat menampung
1-5 basili, dan bersifat infeksius, dan dapat bertahan di dalam udara sampai
4 jam. Karena ukurannya yang sangat kecil, percik renik yang memiliki
kemampuan mencapai ruang alveolar dalam paru, dimana bakteri kemudian
melakukan replikasi.2

Ada 3 faktor yang menentukan transmisi M.TB, yaitu:2

a) jumlah organisme yang keluar ke udara,


b) konsentrasi organisme dalam udara, ditentukan oleh volume ruang
dan ventilasi,
c) lama seseorang menghirup udara terkontaminasi.

Satu batuk dapat memproduksi hingga 3.000 percik renik dan satu kali
bersin dapat memproduksi hingga 1 juta percik renik sedangkan dosis yang

20
diperlukan terjadinya suatu infeksi TB yaitu 1-10 basil. Kasus yang paling
infeksius yaitu penularan dari pasien dengan hasil pemeriksaan sputum
positif, dengan hasil 3+ merupakan kasus paling infeksius. Pasien dengan
hasil pemeriksaan sputum negatif bersifat tidak terlalu infeksius. Kasus TB
ekstra paru hampir selalu tidak infeksius, kecuali bila penderita juga
memiliki TB paru. Individu dengan TB laten tidak bersifat infeksius, karena
bakteri yang menginfeksi mereka tidak bereplikasi dan tidak dapat
melakukan transmisi ke organisme lain.2

Penularan TB biasanya terjadi di dalam ruangan yang gelap, dengan


minim ventilasi di mana percik renik dapat bertahan di udara dalam waktu
yang lebih lama. Cahaya matahari langsung dapat membunuh tuberkel basili
dengan cepat, namun bakteri ini akan bertahan lebih lama di dalam keadaan
yang gelap. Kontak dekat dalam waktu yang lama dengan orang terinfeksi
meningkatkan risiko penularan. Apabila terindeksi, proses sehingga paparan
tersebut berkembang menjadi penyakit TB aktif bergantung pada kondisi
imun individu. Pada individu dengan sistem imun yang normal, 90% tidak
akan berkembang menjadi penyakit TB dan hanya 10% dari kasus akan
menjadi penyakit TB aktif (setengah kasus terjadi segera setelah terinfeksi
dan setengahnya terjadi di kemudian hari). Risiko paling tinggi terdapat
pada dua tahun pertama pasca-terinfeksi, dimana setengah dari kasus terjadi.
Kelompok dengan risiko tertinggi terinfeksi yaitu anak-anak di bawah usia 5
taahun dan lanjut usia.2

Orang dengan kondisi imun buruk lebih rentan mengalami penyakit TB


aktif dibanding orang dengan kondisi sistem imun yang normal. 50-60%
orang dengan HIV-positif yang terinfeksi TB akan mengalami penyakit TB
yang aktif. Hal ini juga dapat terjadi pada kondisi medis lain di mana sistem
imun mengalami penekanan seperti pada kasus silikosis, diabetes melitus,
dan penggunaan kortikosteroid atau obat-obat imunosupresan lain dalam
jangka panjang.2

Terdapat beberapa kelompok orang yang memiliki risiko lebih tinggi


untuk mengalami penyakit TB, kelompok tersebut yaitu:2

21
1. orang dengan HIV positif dan penyakit imunokompromais lain,
2. orang yang mengonsumsi obat imunosupresan dalam jangka waktu
panjang,
3. perokok,
4. konsumsi alkohol tinggi,
5. anak usia < 5 tahun dan lansia,
6. memiliki kontak erat dengan penderita TB aktif yang infeksius,
7. berada di tempat dengan risiko tinggi terinfeksi tuberkulosis,
8. petugas kesehatan.

3.1.5 Patogenesis dan Patofisiologi Tuberkulosis


Setelah inhalasi, nukleus percik renik terbawa menuju percabangan
trakeo-bronkial dan dideposit di dalam bronkiolus respiratorik atau alveolus,
di mana nukleus percik renik tersebut akan dicerna oleh makrofag alveoulus
yang kemudian akan memproduksi sebuah respon nonspesifik terhadap
basilus. Infeksi bergantung pada kapasitas virulensi bakteri dan kemampuan
bakterisid makrofag alveolus yang mencernanya. Apabila basilus dapat
bertahan melewati mekanisme pertahanan awal ini, basilus dapat
bermultiplikasi di dalam makrofag.2

Tuberkel bakteri akan tumbuh perlahan dan membelah setiap 23-32 jam
sekali di dalam makrofag. Mycobacterium tidak memiliki endotoksin
ataupun eksotoksin, sehingga tidak terjadi reaksi imun segera pada host
yang terinfeksi. Bakteri kemudian akan terus tumbuh dalam 2-12 minggu
dan jumlahnya akan mencapai 103-104, yang merupkan jumlah yang cukup
untuk menimbulkan sebuah respon imun seluler yang dapat dideteksi dalam
reaksi pada uji tuberkulin skin test. Bakteri kemudian akan merusak
makrofag dan mengeluarkan produk berupa tuberkel basilus dan kemokin
yang kemudian akan menstimulasi respon imun.2

Sebelum imunitas seluler berkembang, tuberkel basili akan menyebar


melalui sistem limfatik menuju nodus limfe hilus, masuk ke dalam aliran
darah dan menyebar ke organ lain. Beberapa organ dan jaringan diketahui
memiliki resistensi terhadap replikasi basili ini. Sumsum tulang, hepar dan

22
limpa ditemukan hampir selalu mudah terinfeksi oleh Mycobacteria.
Organisme akan dideposit di bagian atas (apeks) paru, ginjal, tulang, dan
otak, di mana kondisi organ-organ tersebut sangat menunjang pertumbuhan
bakteri tersebut. Pada beberapa kasus, bakteri dapat berkembang dengan
cepat sebelum terbentuknya respon imun seluler spesifik yang dapat
membatasi multiplikasinya.2

1. TB Primer
Infeksi primer terjadi pada paparan pertama terhadap tuberkel basili.
Hal ini biasanya terjadi pada masa anak, oleh karenanya sering diartikan
sebagai TB anak. Namun, infeksi ini apat terjadi pada usia berapapun pada
individu yang belum pernah terpapar M.TB sebelumnya. Percik renik yang
mengandung basili yang terhirup dan menempati alveolus terminal pada
paru, biasanya terletak di bagian bawah lobus superior atau bagian atas
lobus inferior paru. Basili kemudian mengalami terfagositosis oleh
makrofag; produk mikobakterial mampu menghambat kemampuan
bakterisid yang dimiliki makrofag alveolus, sehingga bakteri dapat
melakukan replikasi di dalam makrofag. Makrofag dan monosit lain
bereaksi terhadap kemokin yang dihasilkan dan bermigrasi menuju fokus
infeksi dan memproduksi respon imun. Area inflamasi ini kemudian disebut
sebagai Ghon focus.2
Basili dan antigen kemudian bermigrasi keluar dari Ghon focus
melalui jalur limfatik menuju limfe nodus hilus dan membentuk kompleks
(Ghon) primer. Respon inflamasinya menghasilkan gambaran tipikal
nekrosis kaseosa. Di dalam nodus limfe, limfosit T akan membentuk suatu
respon imun spesifik dan mengaktivasi makrofag untuk menghambat
pertumbuhan basili yang terfagositosis. Fokus primer ini mengandung
1.000-10.000 basili yang kemudian terus melakukan replikasi. Area inflmasi
di dalam fokus primer akan digantikan dengan jaringan fibrotik dan
kalsifikasi, yang di dalamnya terdapat makrofag yang mengandung basili
terisolisasi yang akan mati jika sistem imun host adekuat. Beberapa basili
tetap dorman di dalam fokus primer untuk beberapa bulan atau tahun, hal ini
dikenal dengan kuman laten.2

23
Infeksi primer biasanya bersifat asimptomatik dan akan menunjukkan
hasil tuberkulin positif dalam 4-6 minggu setelah infeksi. Dalam beberapa
kasus, respon imun tidak cukup kuat untuk menghambat perkembangbiakan
bakteri dan basili akan menyebar dari sistem limfatik ke aliran darah dan
menyebar ke seluruh tubuh, menyebabkan penyakit TB aktif dalam
beberapa bulan. TB primer progresif pada parenkim paru menyebabkan
membesarnya fokus primer, sehingga dapat ditemukan banyak area
menunjukkan gambaran nekrosis kaseosa dan dapat ditemukan kavitas,
menghasilkan gambaran klinis yang serupa dengan TB post primer.2
2. TB Pasca Primer
TB pasca primer merupakan pola penyakit yang terjadi pada host yang
sebelumnya pernah tersensitisasi bakteri TB. Terjadi setelah periode laten
yang memakan waktu bulanan hingga tahunan setelah infeksi primer. Hal
ini dapat dikarenakan reaktivasi kuman laten atau karena reinfeksi.2
Reaktivasi terjadi ketika basili dorman yang menetao di jaringan
selama beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi primer, mulai
kembali bermultipliasi. Hal ini mungkin merupakan respon dari
melemahnya sistem imun host oleh karena infeksi primr terpapar kembali
oleh kontak dengan orang yang terinfeksi penyakit TB aktif. Dalam
sebagian kecil kasus, hal ini merupakan bagian dari proses infeksi primer.
Setelah terjadinya infeksi primer, perkembangan cepat menjadi penyakit
intra-torakal lebih sering terjadi pada anak dibandingkan pada orang
dewasa. Foto thorak mungkin dapat memperlihatkan gambaran
limfadenopati intra-torakal dan infiltrat pada lapangan paru. TB post primer
biaanya mempengaruhi parenkim paru namun dapat juga melibatkan organ
tubuh lain. Karakteristik dari TB post-primer yaitu ditemukannya kavitas
pada lobus superior paru dan kerusakan paru yang luas. Pemeriksaan
sputum biasanya menunjukkan hasil yang positif dan biasanya tidak
ditemukan limfadenopati intra-torakal.2

24
3.1.6 Manifestasi Klinis Tuberkulosis
Gejala penyakit TB tergantung pada lokasi lesi, sehingga dapat
menunjukkan manifestasi klinis sebagai berikut:2

1. batuk ≥ 2 minggu,
2. batuk berdahak
3. batuk berdahak dapat bercampur darah,
4. dapat disertai nyeri dada,
5. sesak napas.

Dengan gejala lain meliputi:2

1. malaise,
2. penurunan nafsu makan,
3. menggigil,
4. demam,
5. berkeringat di malam hari

3.1.7 Diagnosis Tuberkulosis


Diagnosis TB paru pada dewasa dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.11,12
3.1.7.1 Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan keluhan adanya gejala batuk persisten
selama 2 minggu atau lebih: setiap pasien dengan gejala ini harus
ditetapkan sebagai terduga TB paru : batuk darah, sesak napas, nyeri dada,
keringat malam hari, demam, cepat lelah, nafsu makan menurun, berat
badan menurun.12

3.1.7.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik pada TB paru tidak spesifik, tergantung pada derajat
kerusakan parenkim paru, sedikit berkontribusi dalam diagnosis. Pada
banyak kasus, pasien tampak sehat, namun demikian pemeriksaan yang
sistematis tetap perlu dilakukan. Dapat ditemukan adanya temperatur yang
meningkat, pernapasan meningkat.12

25
Pada pemeriksaan toraks dapat ditemukan abnormalitas suara napas,
suara napas tambahan seperti ronkhi dan wheezing dapat terdengar,
tergantung luasnya lesi. Pada lesi yang minimal biasanya tidak ditemukan
kelainan pada pemeriksaan fisiknya.12

3.1.7.3 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan bakteriologis11,12
- Pemeriksaan smear sputum mikroskopik BTA, 2 sampel dahak pada
laboratorium yang berkualitas. Sputum diambil sewaktu dan pagi (SP)
atau dahak sewaktu dan sewaktu (SS). Hasil pemeriksaan BTA
dinyatakan (+) jika setidaknya 1 dari 2 contoh uji dahak menunjukkan
hasil pemeriksaan BTA positif. Jika kedua contoh uji dahak
menunjukkan hasil BTA (-) maka penegakkan diagnosis TB dapat
dilakukan secara klinis yang sesuai. Pasien dengan tanda, gejala dan
foto toraks positif dapat didiagnosis sebagai TB klinis.
- Pemeriksaan tes cepat molekuler (TCM), dengan metode Xpert
MTB/RIF. TCM merupakan sarana untuk penegakan diagnosis, tetapi
tidak dapat digunakan untuk mengevaluasi hasil pengobatan.
- Pemeriksaan biakan kultur. Pemeriksaan biakan dapat dilakukan
dengan media padat (Lowenstein-Jensen) dan media cair (Mycobactera
Growth Indicator Tube)
- Pemeriksaan uji kepekaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lini 1 dan 2.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya resisten
atau kekebalan terhadap OAT lini 1 atau 2.
b. Radiologi11,12
Gambaran radiologis pada TB paru dewasa dapat berupa gambaran
kavitas, nodul, fibroinfiltrat pada lapangan paru atas. Infiltrat dapat berada
di lapangan paru bawah terutama pada pasien HIV atau diabetes.
Gambaran lesi TB yang mungkin merupakan suatu sequele adalah
kalsifikasi, fibrotik dan bullae. Foto toraks tidak boleh digunakan sebagai
alat diagnostik tunggal untuk menegakkan diagnosis TB paru. Foto toraks
tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru, sehingga

26
dapat menyebabkan terjadinya overdiagnosis ataupun underdiagnosis.
Radiografi toraks mungkin bermanfaat pada pasien dengan hasil
pemeriksaan bakteriologis “negatif”.
c. IGRA dan Tuberkulin. Meskipun pemeriksaan Tuberculin Skin Test
(TST)/Mantoux dan Interferon-Gamma Release Assays (IGRA) dapat
meningkatkan/mengurangi kecurigaan klinis TB, namun keduanya memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang bervariasi, sehingga tidak
direkomendasikan untuk mendiagnosis TB aktif.11
d. Pemeriksaan serologis. Pemeriksaan deteksi antibodi serologis lainnya
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tidak konsisten, sehingga tidak
direkomendasikan oleh WHO untuk mendiagnosis tuberkulosis.11
e. Pemeriksaan lainnya11,12
- Pemeriksaan histopatologi untuk kecurigaan pada kasus TB ekstra paru.
- Pemeriksaan serologi tidak direkomendasikan.

Alur diagnosis TB paru dewasa


Apabila menemukan terduga TB paru sesuai dengan gejala klnis, perhatikan
langka-langkah berikut:2

27
Gambar 1. Alur diagnosis TB paru dewasa

Pertama:
Pada pasien TB paru, yang belum pernah mendapat OAT atau sudah
pernah tetapi < 1 bulan, bukan pasien HIV dan tidak ada kontak dengan
pasien TB Resisten Obat (TB-RO).12
1. Pada fasilitas kesehatan yang memiliki TCM dapat langsung dilakukan
TCM. Pada fasilitas kesehatan yang tidak memiliki TCM, dapat
melakukan pemeriksan bakteriologis dengan BTA.
2. BTA dilakukan 2 x (sewaktu pagi S-P)
a. Apabila hasil BTA “positif”/”negatif” atau “positif”/”positif”, pasien
didiagnosis TB terkonfirmasi bakteriologis. Pegobatan menggunakan
OAT lini 1.

28
b. Apabila BTA “negatif”/”negatif” tetapi foto toraks mendukung TB,
maka diagnosisnya adalah TB terkonfirmasi klinis. Pengobatan
menggunakan OAT lini 1.
c. Apabila BTA “negatif”/negatif”, tetapi tidak mempunyai akses untuk
melakukan foto toraks, berikanlah antibiotik non OAT terlebih dahulu,
apabila ada perbaikan klinis, maka diagnosis BUKAN TB dan dicari
kemungkinan penyakit lain, tetapi apabila tidak ada perbaikan klinis
setelah pemberian antibiotik, maka diagnosisnya adalah TB
terkonfirmasi klinis dan diobati OAT lini 1.
Kedua :
Pada pasien yang sudah pernah mendapat pengobatan OAT sebelumnya
atau ada riwayat kontak dengan TB-RO atau pasien dengan HIV-positif:12
1. Semua terduga TB dengan kriteria ini harus dilakukan TCM, apabila
tidak memiliki TCM maka pasien atau sampel dahak harus dirujuk ke
fasilitas yang memiliki TCM.
2. Pemeriksaan TCM dahak akan memberikan hasil sebagai berikut :
a. MTB postif, Rifampisin sensitif, diagnosis : TB terkonfirmasi
bakteriologis dan terapi dengan OAT lini 1 kategori 2.
b. MTB positif, rifampisin resisten, diagnosis : TB Rifampisisn
Resisten (TB-RR), diterapi sesuai dengan regimen TB multi drug
resistan (MDR) serta dilakukan kultur uji kepekaan OAT lini 1 dan 2.
Apabila hasil kepekaan OAT menunjukkan TB MDR, terapi TB MDR
dilanjutkan. Apabila hasil kepekaan OAT menunjukkan TB MDR dan
resisten terhadap Quinolon atau injeksi lini 2 disebut TB pre XDR
maka paduan pengobatan dirubah sesuai dengan regimen TB PRE
XDR. Apabila hasil kepekaan OAT menunjukkan TB MDR ditambah
resisten Quinolon dan injeksi lini 2 disebut TB XDR., maka paduan
pengobatan dirubah sesuai dengan regimen TB-XDR.
c. MTB positif, Rifampisin Indeterminate, hasil ini harus diulang,
menunjukkan adanya mikobakterium TB tetapi resistensi rifampisisn
belum dapat ditentukan.

29
d. MTB negatif. Pada hasil TCM tersebut maka selanjutnya mengikuti
alur yang sama dengan pemeriksan mikroskopis BTA negatif (neg-
neg).
Terduga TB-RO adalah pasien yang memiliki resiko tinggi terjadinya
resistensi/kekebalan terhadap OAT, yaitu pasien dengan gejala TB yang
memiliki riwayat 1 atau lebih dibawah ini:12
1. Pasien TB gagal pengobatan kategori 2
2. Pasien TB kategori 2 yang tidak konversi pada akhir fase intensif (akhir
bulan ke-3)
3. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan tidak standar, dengan
menggunakan OAT lini 2 (floroquinolon atau injeksi lini 2) dalam
paduan regimennya paling sedikit 1 bulan
4. Pasien TB gagal kategori 1
5. Pasien TB kategori 1 yang tidak konversi pada akhir fase intensif (akhir
bulan ke-2)
6. Pasien TB kasus kambuh (relaps) baik dari kategori 1 maupun dari
kategori 2
7. Pasien yang kembali setelah loss to follow up (lalai berobat/default)
8. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak dengan pasien TB/RO
termasuk didalamnya warga binaan yang ada di lapas/rutan, hunian padat
penduduk (asrama, barak, buruh pabrik).
9. Pasien koinfeksi TB-HIV yang tidak respon secara bakteriologis maupun
klinis terhadap pemberian OAT.

3.1.8 Diagnosis Banding Tuberkulosis12


a. Pneumonia bakterial
b. Mycosis paru
c. Bronkiektasis
d. Ca Paru
e. Pneumoconiosis
f. Asma
g. PPOK

30
3.1.9 Tatalaksana Tuberkulosis
Tujuan terapi tuberkulosis adalah untuk:12
1. Mengurangi jumlah kuman TB yang tumbuh aktif (actively growing),
dengan demikian dapat mengurangi keparahan penyakit, mencegah
kematian dan menghentikan penularan M. Tuberculosis.
2. Memberantas populasi persisting bacili untuk mencegah kekambuhan
setelah menyelesaikan terapi.
3. Mencegah terjadinya resistensi obat selama terapi.
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam
pengobatan TB. Pada prinsipnya pengobatan diberikan dalam bentuk
paduan kombinasi minimal 4 macam obat yang ditelan teratur dan diawasi
langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). Dosis yang diberikan
berdasarkan berat badan pasien. Regimen pengobatan terdiri dari 4 obat
standard dari obat lini pertama yaitu isoniazid (H), rifampisin (R),
pirazinamid (Z), dan etambutol (E).
Tabel 3.1. Dosis Rekomendasi OAT Lini Pertama untuk Dewasa
Dosis Rekomendasi Harian 3 kali per Minggu
Dosis Maksimum Dosis Maksimum
(mg/kgBB) (mg) (mg/kgBB) (mg)
Isoniazid 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900
Rifampisin 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600
Pirazinamid 25 (20-30) - 35 (30-40) -
Etambutol 15 (15-20) - 30 (25-35) -
Streptomisin 15 (12-18) - 15 (12-18) -

Tabel 3.2 Jenis OAT Lini Pertama dan Efek Samping yang Dapat
Ditimbulkan
Jenis Efek Samping
Isoniazid Neuropati perifer (gangguan saraf tepi), psikosis toksik,
gangguan fungsi hati, kejang
Rifampisin Flu syndrome (gejala influenza berat), gangguan
gastrointestinal, urin berwarna merah, gangguan fungsi
hati, trombositopenia, demam, skin rash, sesak nafas,

31
anemia hemolitik
Etambutol Gangguan penglihatan, buta warna, neuritis perifer
(gangguan saraf tepi)
Pirazinamid Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi hati, gout
artritis
Streptomisin Gangguan keseimbangan dan pendengaran, anemia,
agranulositosis, trombositopenia, renjatan anafilaktik

Tabel 3.3 Jenis OAT Lini Kedua


Grade Golongan Jenis Obat
A Florokuinolon Levofloksasin
Moksifloksasin
Gatifloksasin
B OAT suntik Kanamisin
lini kedua Amikasin
Kapreomisin
Streptomisin
C OAT oral lini Etionamid/Protionamid
kedua Sikloserin/Terizidion
Clofazimin
Linezolid
D D1 OAT lini Pirazinamid
pertama Etambutol
Isoniazid dosis tinggi
D2 OAT baru Bedaquiline
Delamanid
Pretonamid
D3 OAT tambahan Asam para aminosalisilat
Imipenem-silastatin
Meropenem
Amoksilin clavulanat
Thioasetazon

Pengobatan membutuhkan waktu minimal 6 bulan pada kategori 1,


diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif (2 bulan HRZE) dan tahap
lanjutan (4 bulan HR) untuk mencegah kekambuhan dan resistensi. Tahap
pengobatan TB terdiri dari 2 tahap, yaitu: 2,12
1. Tahap awal

32
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini yaitu
untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh
pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang
mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan.
Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2
bulan. Pada umumnya dengan pengobatan teratur dan tanpa adanya
penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan
selama 2 minggu pertama.
2. Tahap lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa-sisa kuman yang
masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persisten sehingga pasien
daoat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan. Durasi tahap
lanjutan selama 4 bulan.
Beberapa paduan OAT yang digunakan di Indonesia saat ini antara lain
adalah:12
1. Kategori 1
Diberikan untuk pasien TB paru baru yang terkonfirmasi bakteriologis
yang terdiagnosis klinis dan pasien TB ekstra paru. Paduan yang
diberikan adalah:
a. 2(HRZE)/4(HR)3, fase awal diberikan setiap hari, fase lanjutan
diberikan 3 x per minggu. Paduan ini dapat diberikan dengan syarat:
harus dengan pengawasan minum obat yang ketat, tidak diberikan
kepada pasien HIV positif.
b. 2(HRZE)/4(HR), fase awal dan lanjutan diberikan setiap hari.
Pedoman pengobatan TB yang optimal baik pada pasien HIV positif
maupun HIV negatif.
2. Kategori 2
Paduan pengobatan kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau
2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR). Kategori ini diberikan pada pasien yang
pernah mendapatkan pengobatan sebelumnya, antara lain:
- Pada kasus gagal pengobatan kategori 1 maupun 2
- Pada kasus kambuh baik dari kategori 1 maupun 2

33
- Pada kasus yang kembali setelah loss to follow up
3. Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10 HR
4. Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat (TB-RO)
Paduan OAT pada TB-RO meliputi obat loni 1 yang masih sensitive dan
OAT lini 2 yang hampir pasti masih sensitive. Contoh OAT lini ke 2
yaitu kanamisin capreomisin, levofloksasin, etionamide, sikloserin,
moksifloksasin, PAS, clofazimin, linezolid dan obat baru seperti
bedaquilin dan delamanid.
Kombinasi dosis tetap (KDT) atau FDC = fixed dose combination
dianggap mencegah resistensi sekunder (didapat) karena dapat
menghindari terjadinya monoterapi yang dapat terjadi pada pemberian
obat lepas. Beberapa hal berikut merupakan manfaat pemakaian obat
KDT yaitu pasien tidak bisa selektif memilih obat untuk ditelan,
kesalahan penulisan resep dapat di minimalisir, penyesuaian dosis seduai
dengan berat badan lebih mudah dilakukan dan jumlah tablet yang
ditelan lebih sedikit sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien.

Pemantauan Respon Pengobatan


Semua pasien harus dipantau untuk menilai respons terapinya.
Pemantauan reguler akan memfasilitasi pengobatan lengkap, identifikasi
dan tata laksana reaksi obat yang tidak diinginkan. Semua pasien, PMO dan
tenaga kesehatan sebaiknya diminta untuk melaporkan gejala TB yang
menetap atau muncul kembali, gejala efek samping OAT atau terhentinya
pengobatan. Berat badan pasien harus dipantau setiap bulan dan dosis OAT
disesuaikan dengan perubahan berat badan. Respon pengobatan TB paru
dipantau dengan sputum BTA. Perlu dibuat rekam medis tertulis yang berisi
seluruh obat yang diberikan, respon terhadap pemeriksaan bakteriologis,
resistensi obat dan reaksi yang tidak diinginkan untuk pasien pada kartu
berobat TB.2
WHO merekomendasi pemeriksaan sputum BTA pada akhir fase
intensif pengobatan untuk pasien yang diobati dengan OAT lini pertama,
baik kasus baru maupun pengobatan ulang. Pemeriksaan sputum BTA

34
dilakukan pada akhir bulan kedua (2RHZE/4RH) untuk kasus baru dan
akhir bulan ketiga (2RHZES/1RHZE/5RHE) untuk kasus pengobatan ulang.
Rekomendasi ini juga berlaku untuk pasien dengan sputum BTA negatif.2
Sputum BTA positif pada akhir fase intensif mengindikasikan beberapa
hal berikut ini:2
a) Supervisi yang kurang baik pada fase inisial dan ketaatan pasien yang
buruk.
b) Kualitas OAT yang buruk.
c) Dosis OAT dibawah kisaran yang direkomendasikan.
d) Resolusi lambat karena pasien memiliki kavitas besar dan jumlah kuman
yang banyak.
e) Adanya penyakit komorbid yang mengganggu ketaatan pasien atau
respons terapi.
f) Penyebab TB pada pasien yaitu M. tuberculosis resisten obat yang tidak
memberikan respons terhadap terapi OAT lini yang pertama.
Bila hasil sputum BTA positif pada bulan ke-5 atau pada akhir
pengobatan menandakan pengobatan gagal dan perlu dilakukan diagnosis
cepat TB MDR sesuai alur diagnosis TB MDR. Pada pecatatan, kartu TB 01
ditutup dan hasil pengobatan dinyatakan “gagal”. Pengobatan selanjutnya
dinyatakan sebagai tipe pasien “pengobatan setelah gagal”. Bila seorang
pasien didapatkan TB dengan galur resisten obat maka pengobatan
dinyatakan “gagal” kapanpun waktunya. Pada pasien dengan sputum BTA
negatif di awal pengobatan dan tetap negatif pada akhir bulan ke-2
pengobatan, maka tidak diperlukan lagi pemantauan dahak lebih lanjut.
Pemantauan klinis dan berat badan merupakan indikator yang sangat
berguna.2

Menilai Respon OAT Lini Pertama pada Pasien TB dengan Riwayat


Pengobatan Sebelumnya
Pada pasien dengan OAT kategori 2, bila BTA masih positif pada akhir
fase intensif, maka dilakukan pemeriksaan TCM, biakan dan uji kepekaan.
Bila BTA sputum positif pada akhir bulan ke-5 dan akhir pengobatan (bulan

35
ke-8), maka pengobatan dinyatakan gagal dan lakukan pemeriksaan TCM,
biakan dan uji kepekaan.2
Tabel 3.4 Definisi Hasil Pengobatan
Hasil Definisi
Sembuh Pasien TB paru dengan konfirmasi bakteriologis positif
pada awal pengobatan dan BTA sputum negatif pada
akhir pengobatan dan memiliki hasil pemeriksaan negatif
pada salah satu pemeriksaan negatif pada salah satu
pemeriksaan sebelumnya.
Pengobatan Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara
lengkap lengkap dan tidak memiliki bukti gagal pengobatan tetapi
juga tidak memiliki hasil BTA sputum atau biakan
negatif pada akhir pegobatan san satu pemeriksaan
sebelumnya, baik karena tidak dilakukan atau karena
hasilnya tidak ada.
Pengobatan Pasien TB dengan hasil pemeriksaan BTA sputum atau
gagal biakan positif pada bulan ke-5 atau akhir pengobatan.
Meninggal Pasien TB yang meninggal dengan alasan apapun
sebelum dan selama pengobatan TB.
Putus obat Pasien TB yang tidak memulai pengobatan setelah
terdiagnosis TB atau menghentikan pengobatan selama 2
bulan berturut-turut atau lebih.
Tidak Pasien TB yang tidak memulai hasil pengobatan pada
dievaluasi saat akhir pelaporan kohort pengobatan, termasuk pasien
yang sudah pindah ke fasilitas kesehatan lain dan tidak
diketahui hasil pengobatannya oleh fasilitas yang
merujuk pada batas akhir pelaporan kohort pengobatan.
Keberhasilan Jumlah kasus dengan hasil pengobatan sembuh dan
pengobatan lengkap.

Efek Samping OAT


Efek tidak diinginkan dari OAT dapat diklasifikasikan menjadi efek
mayor dan minor. Pasien yang mengalami efek samping OAT minor
sebaiknya melanjutkan pengobatan dan diberikan terapi simtomatik. Pada
pasien yang mengalami efek samping mayor maka paduan OAT atau OAT
penyebab sebaiknya dihentikan pemberiannya. Efek samping dibagi
menjadi 2 klasifikasi yaitu efek samping berat dan ringan. Bila terjadi efek

36
samping yang masuk ke dalam klasifikasi berat, maka OAT dihentikan
segera dan pasien dirujuk ke fasilitas yang lebih tinggi.2
Tabel 3.6 Pendekatan berdasarkan Gejala untuk Mengobati Efek Samping
OAT
Efek Samping Kemungkinan Pengobatan
Obat Penyebab
Berat
Ruam kulit dengan atau Streptomisin, Apabila pasien mengeluh gatal
tanpa gatal isoniazid, tanpa adanya bercak kemerahan
rifampisin, dan tidak ada penyebab lain,
pirazinamid dianjurkan untuk memberikan
pengobatan simtomatis dengan
antihistamin serta pelembab
kulit. Pengobatan TB tetap dapat
dilanjutkan dengan pengawasan
ketat. Apabila kemudian terjadi
kemerahan, semua OAT harus
dihentikan dan segera rujuk
kepada fasyankes rujukan.
Mengingat perlunya
melanjutkan pengobatan TB
hingga selesai, di fasyankes
rujukan dapat dilakukan upaya
drug challenge untuk
mengetahui OAT yang
menyebabkan reaksi di kulit.
Tuli Steptomisin Hentikan streptomisin
Pusing vertigo dan Streptomisin Hentikan streptomisin
nistagmus
Ikterus tanpa penyakit Streptomisin, Hentikan OAT
hepar (hepatitis) isoniazid,
rifampisin,
pirazinamid
Bingung (curigai gagal Streptomisin, Hentikan OAT
hati imbas obat jika isoniazid,
terdapat ikterik) rifampisin,
sebagian OAT
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutol
(singkirkan penyebab
lainnya)

37
Syok, purpura, gagal Rifampisin Hentikan rifampisin
ginjal akut (sangat
jarang terjadi, akibat
gangguan imunologi)
Oliguria Streptomisin Hentikan streptomisin
Ringan
Anoreksia, mual, nyeri Pirazinamid, Berikan obat dengan bantuan
perut rifampisin, sedikit makanan atau menelan
isoniazid OAT sebelum tidur, dan
sarankan untuk menelan pil
secara lambat dengan sedikit air.
Bila gejala menetap atau
memburuk, atau muntah
berkepanjangan atau terdapat
tanda-tanda perdarahan,
pertimbangkan kemungkinan
ETD mayor dan rujuk ke dokter
ahli segera
Nyeri sendi Isoniazid Aspirin atau NSAID, atau
parasetamol
Rasa terbakar, kebas Isoniazid Piridoksin 50-75 mg/hari
atau kesemutan di
tangan dan kaki
Rasa mengantuk Isoniazid Obat dapat diberikan sebelum
tidur
Air kemih berwarna Rifampisin Pastikan pasien diberitahukan
kemerahan sebelum mulai minum obat dan
bila hal ini terjadi adalah
Sindrom flu (demam, Pemberian Ubah pemberian rifampisin
menggigil, malaise, rifampisin intermitten menjadi setiap hari.
sakit kepala, nyeri intermitten
tulang)

3.1.10 Edukasi Pasien12


- Minum obat secara teratur sesuai petunjuk dokter
- Melakukan pemeriksaan dahak untuk evaluasi pengobatan.
- Melaporkan kejadian efek samping obat TB kepada petugas kesehatan.
- Membudayakan perilaku etika berbatuk dan cara membuang dahak

38
- Meningkatkan daya tahan tubuh melalui perbaikan kualitas nutrisi
- Tidak merokok
- Menjaga ventilasi rumah tetap baik untuk mengurangi risiko penularan
ke orang lain.

3.1.11 Komplikasi Tuberkulosis


Komplikasi tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu
komplikasi dini dan komplikasi lanjut. Gangguan yang termasuk dalam
komplikasi dini yaitu: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, Poncet’s
arthropathy. Sedangkan gangguan yang termasuk dalam komplikasi lanjut
yaitu: obstruksi jalan napas hingga sindrom gagal napas dewasa (Acute
Respiratory Distress Syndrome, ARDS). Sindrom Obstruksi Pasca
Tuberkulosis (SOPT), kerusakan parenkim yang sudah berat, fibrosis paru,
kor pulmonal merupakan komplikasi paling berat akibat tuberkulosis
milier. Komplikasi penderita yang termasuk stadium lanjut karena dapat
berakibat kematian yang disebabkan oleh adanya syok, kolaps spontan
akibat kerusakan jaringan paru, serta penyebaran infeksi ke organ tubuh
seperti otak, tulang, persendian, ginjal, dan lain sebagainya.13

3.1.12 Prognosis Tuberkulosis


Perbaikan penuh umumnya dapat diharapkan pada kasus TB non-
MDR dan non-XDR dengan sedikit komplikasi, ketika rejimen obat
selesai. Di negara-negara dengan tingkat tuberkulosis yang lebih tinggi,
sebagian besar kekambuhan setelah pengobatan yang tepat dapat
disebabkan adanya infeksi ulang, bukan kekambuhan. Faktor yang
mempengaruhi prognosis yang buruk yaitu keterlibatan ekstra paru, usia
yang lebih tua, dan riwayat pengobatan sebelumnya. 14

39
BAB IV
ANALISIS KASUS

Temuan pada pasien Berdasarkan teori

Nama : Tn. Zainal Berdasarkan jenis kelamin,


No RM : 144080 jumlah kasus baru tuberkulosis tahun
Umur : 58 tahun 2017 pada laki-laki lebih tinggi 1,4 kali
Jenis Kelamin : Laki-laki yang terjadi di seluruh provinsi. Bahkan
Status : Menikah di Aceh dan Sumatera Utara kasus pada
Pekerjaan :- laki-laki hampir dua kali lipat
Suku : Aceh dibandingkan perempuan.
Prevalensi usia penderita
tuberkulosis yaitu usia produktid 20-60
tahun karena pada usia produktif memiliki
mobilitas yang lebih tinggi sehingga lebih
berisiko terpapar kuman TB.
Pasien datang dengan keluhan batuk Gejala penyakit TB tergantung pada
berdarah sejak ±3 jam SMRS. Darah lokasi lesi, sehingga dapat menunjukkan
yang dikeluarkan setiap ± 3x batuk, manifestasi klinis sebagai berikut:
kira-kira lebih dari 1 sendok makan, 1. batuk ≥ 2 minggu,
total banyaknya darah yang 2. batuk berdahak
dikeluarkan tidak diketahui pasien dan 3. batuk berdahak dapat bercampur
keluarga, darah yang dikeluarkan darah,
berwarna merah segar, awalnya 4. dapat disertai nyeri dada,
bercak-bercak kemudian banyak. 5. sesak napas.
Sebelumnya pasien juga mengeluhkan
batuk dan demam sejak ± 2 minggu Dengan gejala lain meliputi:
SMRS, batuk disertai dahak berwarna 1. malaise,
2. penurunan nafsu makan,
kecoklatan, batuk memberat ketika
malam dan dini hari sehingga 3. menggigil,
4. demam,
membuat pasien sulit tidur, demam
yang dirasakan tidak terlalu tinggi, 5. berkeringat di malam hari
menggigil (-), keringat malam (-).
Pasien juga mengeluh nyeri dada
ketika batuk, nyeri dirasakan di
seluruh bagian dada. Pasien
mengalami penurunan berat badan ± 6
kg selama 2 minggu terakhir. Mual (-),
muntah (-), sesak nafas (-), nafsu
makan menurun (-).

40
Vital Sign: Pada pemeriksaan toraks dapat
- Tekanan Darah : 146/79 mmHg ditemukan abnormalitas suara napas,
- Denyut Nadi : 83 x/menit suara napas tambahan seperti ronkhi dan
- Laju Napas : 22 x/menit wheezing dapat terdengar, tergantung
- Suhu Tubuh : 36.7°C luasnya lesi. Pada lesi yang minimal
Pada pemeriksan paru : Vesikuler biasanya tidak ditemukan kelainan pada
(+/+), ronkhi (+/+), wheezing (-/+) pemeriksaan fisiknya.
Pada pemeriksaan penunjang: Hasil pemeriksaan BTA dinyatakan
1. Mikrobiologi (+) jika setidaknya 1 dari 2 contoh uji
dahak menunjukkan hasil pemeriksaan
Pemeriksaan Hasil
XPert MTB – RIF Assay G4 BTA positif.
MTB Detected High Gambaran radiologis pada TB paru
Rif Resistance Not Detected
BTA 2x
dewasa dapat berupa gambaran kavitas,
BTA I (Sewaktu) Positif 3 nodul, fibroinfiltrat pada lapangan paru
BTA II (Pagi) Positif 3
atas. Infiltrat dapat berada di lapangan
Jamur Negatif
paru bawah terutama pada pasien HIV
2. Foto thorax atau diabetes. Gambaran lesi TB yang
Cor, sinus dan diafragma normal. mungkin merupakan suatu sequele adalah
Pulmo: Hili kabur, corakan paru kalsifikasi, fibrotik dan bullae.
bertambah, tampak perselubungan
halus, infiltrat di lapangan paru kiri
dan lapangan paru kanan.
Kesan: Cor tidak membesar,
pneumonia bilateral.
Tatalaksana : Diberikan untuk pasien TB paru baru
1. Bedrest yang terkonfirmasi bakteriologis : yang
2. IVFD Ringer Laktat 20 gtt/i terdiagnosis klinis dan pasien TB ekstra
3. Inj. Ceftriaxone 2gr/hari paru. Paduan yang diberikan adalah :
4. Inj. Kalnex 100 ml/8 jam a. 2(HRZE)/4(HR)3, fase awal
5. Inj. Omeprazole 40 mg/8 jam diberikan setiap hari, fase lanjutan
6. Inj. Vitamin K / 8 jam diberikan 3 x per minggu. Paduan ini
7. Inj. Vitamin C 200 mg/8 jam dapat diberikan dengan syarat : harus
8. Codein 7,5 mg + Chlorpheniramin dengan pengawasan minum obat
Maleat 1,5 mg 3x1 yang ketat, tidak diberikan kepada
9. Rifampisin 1 x 600 mg pasien HIV positif.
10. Isoniazid 1 x 300 mg b. 2(HRZE)/4(HR), fase awal dan
11. Pirazinamid 1 x 1500 mg lanjutan diberikan setiap hari.
12. Ethambutol 1 x 1500 mg Pedoman pengobatan TB yang
13. Curcuma 3 x 20 mg optimal baik pada pasien HIV positif
14. Metformin 1 x 500 mg maupun HIV negatif.
BAB V

41
KESIMPULAN

Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan globa, di seluruh dunia


tidak terkecuali indonesia. TB merupakan 10 penyebab utama kematian dari
penyakit infeksi. TB merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
mycobacterium tuberculosis. Diagnosis TB paru berdasarkan klinis, bakteriologis
dan radiologis. Alur diagnosis TB paru tergantung dari riwayat pengobatan, status
HIV seseorang, dan adanya kontak dengan pasien TB kebal obat. Pengobatan TB
paru yang masih sensitive obat menggunakan OAT lini 1 dengan pengawas
minum obat. Obat kombinasi dosis tetap lebih dianjurkan daripada obat lepas,
kecuali ada kontraindikasi pemakaian obat KDT.

DAFTAR PUSTAKA

42
1. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 67 tahun 2016 tentang Penanggulangan
Tuberkulosis. Peratur Menteri Kesehat RI. Published online 2016.

2. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata
Laksana Tuberkulosis. Peratur Menteri Kesehat RI. Published online 2019.

3. Pramono JS. Tinjauan Literatur: Faktor Risiko Peningkatan Angka


Insidensi Tuberkulosis. J Ilm Pannmed. 2021;16(1):106-113.
http://ojs.poltekkes-medan.ac.id/pannmed/article/view/1006

4. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2020. World


Health Organization; 2020.

5. Kementrian Kesehatan Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019.


Kementrian Kesehatan RI; 2019.

6. Dinas Kesehatan Aceh. Profil Kesehatan Aceh. Dinas Kesehatan Aceh;


2020.

7. Ramadhan N, Hadifah Z, Marissa N. Kondisi Lingkungan Penderita


Tuberkulosis Paru Di Kota Banda Aceh Dan Aceh Besar. Biot J Ilm Biol
Teknol dan Kependidikan. 2021;8(2):135. doi:10.22373/biotik.v8i2.8221

8. Kementrian Kesehatan Indonesia. Tuberkulosis. Tuberkulosis. Published


online 2018. www.kemenkes.go.id

9. Anam AK, Winarni S, Saputra A. Keluhan Penderita Tuberculosis tentang


Efek Samping Obat Anti Tuberculosis dan Faktor yang Mempengaruhinya
di UPTD Kesehatan Kota Blitar. JKM. 2018;3(2):85-93.
doi:10.36916/jkm.v3i2.62

10. Iswari A, Endarti D, Trijayanti C, Haris RNH, Imansari ANR. Analisis


Biaya Penyakit Tuberkulosis: Studi Kasus di Salah Satu Puskesmas dan

43
Rumah Sakit di Yogyakarta. Maj Farm. 2020;16(2):211.
doi:10.22146/farmaseutik.v16i2.54172

11. Melinda H, Soeroto AY, Santoso P. Diagnosis Dan Pengelolaan


Tuberkulosis. Unpad Press; 2020.

12. Amin M, Winariani K, Hasan H, Marhana IA. Buku Ajar Paru. 1st ed.
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga; 2019.

13. Pratiwi RD. Gambaran Komplikasi Penyakit Tuberkulosis Berdasarkan


Kode International Classification of Disease 10. J Kesehat Al-Irsyad Vol
XIII. 2020;XIII(2):93-101. http://e-
jurnal.stikesalirsyadclp.ac.id/index.php/jka/article/view/136

14. Herchline TE. Tuberculosis. Medscape. Published 2020. Accessed


September 29, 2021. https://emedicine.medscape.com/article/230802

44

Anda mungkin juga menyukai