Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS

SINDROM NEFROTIK

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa Banda
Aceh Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama

Oleh:

Wulan Nindira
20201406

Pembimbing:

dr. Kurniadi Abdullah Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MEURAXA BANDA ACEH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapakan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat berjudul “Sindrom Nefrotik”. Adapun referat ini dibuat dengan tujuan untuk
memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam di
Rumah Sakit Umum Meuraxa Banda Aceh.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada dokter


pembimbing yaitu dr. Kurniadi Abdullah, Sp.PD yang telah bersedia memberikan
bimbingan dalam penyusunan laporan kasus ini, juga kepada semua pihak yang telah
turut serta dalam membantu penyusunan referat ini sehingga dapat diselesaikan tepat
pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunannya referat ini masih memiliki


banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati
penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan laporan kasus ini.
Akhirnya semoga laporan kasus ini dapat menambah wawasan dan bermanfaat bagi
kita semua.

Banda Aceh, 16 mei 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................. ii
DAFTAR ISI................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang............................................................................. 1
BAB II LAPORAN KASUS......................................................................... 3
2.1 Identifikasi .................................................................................. 3
I. Anamnesis................................................................................... 3
II. Pemeriksaan Fisik........................................................................ 4
III. Pemeriksaan Penunjang............................................................... 5
IV. Diagnosis Kerja........................................................................... 6
V. Diagnosis Banding....................................................................... 7
VI. Tatalaksana.................................................................................. 7
VII. Planing......................................................................................... 7
VIII. Follow Up.................................................................................... 11
BAB III TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 14
3.1 Definisi Sindrom Nefrotik........................................................... 14
3.1 Etiologi dan Epidemiologi Sindrom Nefrotik............................. 14
3.2 Patofisiologi Sindrom Nefrotik................................................... 15
3.3 Gambaran Klinis Sindrom Nefrotik............................................ 21
3.4 Diagnosis Sindrom Nefrotik........................................................ 22
3.5 Tatalaksana Sindrom Nefrotik..................................................... 26
3.6 Komplikasi Sindrom Nefrotik..................................................... 30
BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................ 33
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 36

iii
1

BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai


oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per 24 jam),
hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema dan hiperlipidemia.
Sindroma nefrotik (SN) disertai beberapa penyakit glomerulus (idiopatik)
primer, atau mungkin beruhubungan dengan berbagai jenis gangguan sistemik dengan
ginjal yang terserang secara sekunder. Contoh penyakit ginjal primer yang
disebabkan oleh sindroma nefrotik adalah nefropati lesi minimal, nefropati
membranosa, glomerulo-sklerosis fokal - segmental, glomerulonefritis
membranoproliferatif.
Penyebab SN sekunder sangat banyak, di antaranya diabetes
glomerulosklerosis, SLE, amiloidosis, purpura Henoch-Schonlein, obat-obatan
(misal, Au, captopril, heroin), penyakit kompleks imun lain yang disebabkan infeksi
(misalnya hepatitis B, endokarditis, infeksi pirau), neoplasma, dan sindroma
imunodefisiensi didapat (AIDS). Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN
primer (idiopatik) yang merupakan penyebab paling umum dari sindrom nefrotik
pada anak dengan umur rata-rata 2,5 tahun.
Dua dari 10.000 orang mengalami sindroma nefrotik. Sindom Nerfrotik sulit
tentukan pada usia dewasa, karena biasanya kondisinya menyerupai penyakit lain.
Pada anak-anak, biasanya lebih banyak dialami oleh anak laki dibandingkan
perempuan, usia antara 2 -3 tahun. Angka kejadian SN pada anak tidak diketaui pasti,
namun laporan dari luar negeri diperkirakan pada anak usia dibawah 16 tahun
berkisar antara 2 sampai 7 kasus per tahun pada setiap 100.000 anak. Angka kejadian
kasus sindrom nefrotik di Asia tercatat 2 kasus setiap 10.000 penduduk. Sedangkan
kejadian di Indonesia pada sindrom nefrotik mencapai 6 kasus pertahun dari 100.000
anak berusia kurang dari 14 tahun.
Infeksi merupakan penyulit yang mengakibatkan morbiditas dan mortalitas
yang bermakna. Bentuk infeksi yang sering dijumpai pada sindrom nefrotik adalah

1
2

peritonitis, infeksi saluran kemih, dan sepsis. Obat-obat yang digunakan untuk terapi
penyakit ini pada umumnya sangat toksik seperti kortikosteroid dan
immunosuppressant. Pemakaian kortikosteroid dosis tinggi dalam waktu yang lama
dapat menekan sistem imun (imunocompromised) dan menimbulkan berbagai efek
samping yang merugikan seperti munculnya infeksi sekunder

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi
Nama : Ny. S
Umur : 59 tahun
Alamat : Aceh Besar
Suku : Aceh
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
No. RM : 141751

I. Anamnesis
Autoanamnesis

A. Keluhan Utama
Nyeri perut

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan nyeri seluruh lapangan perut sejak 1
minggu, lemas, tidak nafsu makan juga di rasakan, mual dan muntah setiap
malam sejak 2 hari, mutah berisi cairan, buang air kecil banyak buih, bengkak
pada area kaki, riwayat demam, pasien juga mengeluhkan lemah anggota
gerak dan tungkai secara tiba-tiba sejak 2 hari serta merasakan susah menelan
C. Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat hipertensi dan DM (+)
 Riwayat kanker payudara
 Riwayat infeksi saluran napas atas sebelumnya disangkal
 Riwayat sakit kuning sebelumnya disangkal
 Riwayat sakit jantung disangal

3
 Riwayat nyeri sendi pada pagi hari disangkal
 Riwayat SLE disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat Sindrom Nefrotik (-)
 Riwayat Hipertensi dan DM (+)
 Riwayat SLE (-)

II. Pemeriksaan Fisik


A. Status Generalisata
Kesadaran : Kompos mentis
Kesadaran umum : tampak sakit sedang
Tekanan darah : 154/80 mmhg
Nadi : 90 x/menit
Suhu : 37,7 oC
Pernapasan : 23 x/menit
B. Status Internus
Kepala dan Leher
 Mata : pupil isokor (+/+), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
edema palpebral (-/-), eksoftalmus tidak ada
 Hidung : deviasi septum (-), secret (-), pernapasan cuping hidung (-)
 Mulut/faring : mukosa tidak kering, tidak pucat, sianosis tidak ada, T1/T1,
uvula di tengah
 Leher : trakea medial, tidak ada pembesara KGB, tidak ada peningkatan
JVP

Pemeriksaan Thorax
1. Paru
Inspeksi : bentuk dan gerak simetris kanan dan kiri, barrel chest (-)
Palpasi : fremitus taktil sama kanan dan kiri

4
Perkusi : sonor dikedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
2. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : batas atas : linea midclavicuralis sinistra ICS 3
batas kanan : linea parasternalis dextra ICS 4
batas kiri : linea midclavicular sinistra ICS 5
Auskulasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
3. Abdomen
Inspeksi : perut tampak cembung
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba
shifting dulnes (+)
Perkusi : tympani, pekak sisi (+)
4. Eksremitas
Superior : akral hangat, CRT <2 detik, pitting edema (-/-)
Inferior : akral hangat, CRT <2 detik, pitting edema (+/+)

III. Pemeriksaan Penunjang


Laboraorium
Parameter Remark Unit Reference Range

Hemoglobin 9.5 g/dL 12,00 – 16,00

Eritrosit 3.22 106/μL 3,80 – 5,20

Leukosit 13.9 103/μL 4.0-10,0

HCT 26.8 % 36.0 – 45,0

MCV 80.7 fL 75,0 – 100,0

MCH 28.6 Pg 25,0 – 35,0

MCHC 35.4 g/dL 31,0 – 38,0

Eosinofil 0.6 % 2.0 -4.0

5
Basofil 0.1 % 0–1

Neutrofil 82.7 % 40.0 – 70.0

Limfosit 6.3 % 20.0 – 40.0

Monosit 10.3 % 2.0 -8.0

Trombosit 314 103/μL 150 – 400

Gula Darah Puasa 132 Mg/dL 70 -110

Gula Darah Postprandial 137 mgdL 80- 120

HbA1C 7.5 %

Albumin 1.6 g/dL 3.8 – 5.7

Cholesterol
413 U/L <200
- Cholesterol Total 19 U/L <45
- HDL ** gr/dL <160
- LDL 562 mgdL 0.0 – 150.0
- Trigliserida
Fungsi Ginjal
91 mg/dL 10 - 50
- Ureum 2.4 mg/dL 0,5 – 0.9
- Kreatinin
Elektrolit
123 mmol/L 132-146
- Na 5,7 mmol/L 3,7-5,1
- K 109 mmol/L 95-106
- Cl
Urinalisa
++ Negatif
- Eritrosit +++ Negatif
- Protein +++ Negatif
- Leukosit Esterase

Tabel 2.1 Hasil Pemeriksaan Pasien

Pemeriksaan Radiologis
Foto Thorax PA
Cor : Kesan normal
Pulmo : Tampak infiltrate di paracard kanan
Sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam

6
Kesan : Pneumonia
Foto BOF
Distribusi gas dalam usus normal bercampur dengan fecal yang banyak
Tak tampak coiled spring/herring bone sign
Hepar dan lien kesan tak membesar
Contour kedua ginjal tidak tampak
Corpus, pedicle dan spatium intervert baik
Tak tampak jelas bayangan radiopaque di sepanjang tractus urinarius

IV. Diagnosis Kerja


Sindrom Nefrotik + Hyperglikemia hyperosmolar nonketotik
V. Diagnosis Banding
1. Sindrom nefritik
2. Glomerulonefrtis akut
3. GNAPS

VI. Tatalaksana
1. Threeway
2. Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
3. Inj. Ondancetron 1A/8jam
4. Inj Furosemid 1A/8jam
5. Inj. Mecobalamin 1A/12jam
6. Inj. Omeperazol 1v/24 jam
7. Drip albumin
8. Aminofluid
9. Inj Pantoprazole
10. Inj. Methylprednisolon 1 vial/ 12jam
11. Inj. Ketorolac 3% 1A/8jam
12. Pregabalin 1x75mg
13. Candesartan 1x8mg

7
14. Sucralfat syr 3xC1
15. Kaltopren sup K/P
16. Mecobalamin 2x1
17. Atorvastatin 1x20mg
18. Tanapres 1x5mg

VII. Planning dan Evaluasi


1. Tanda-tanda vital, berat badan
2. Urinalisa dan urin output
3. Cek kadar albumin
4. Fungsi ginjal
5. Elektrolit

VIII. Follow Up

Follow up hari-1 Terapi


S : lemas (+), tidak nafsu makan (+), Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
mual muntah (+), kaki bengkak Inj. Ondancetron 1A/8jam
dan nyeri (+). Inj. Furosemid 1 amp/8jam
O : KU : TSS Inj. Omeprazole 1vial/23jam
TD : 140/60 mmHg Inj. Mecobalamin 1gr/12j
HR : 52x/menit Drip albumin 25%/100cc/hari (Ekstra)
RR : 25x/menit Drip aminofluid 1 fls/24jam

T : 36,5oC Pregabalin 1x75g


Sucralfat Syr 3xC1
Lab : - Albumin 1.9 g/dl (3.8-5.1)
Kaltopren sup K/P
- urin warna kuning
Candesartan 1x8mg
- protein +++ (300mg/dl)
- ureum 91mg/dl (H)
- creatinin 2.4 mg/dl (H)
- natrium 123 mmol/dl (L)
- kalium 5.5 mmol (H)
 
A : hypoalbumin + Nefrotik +
Dispepsia + Hipertensi + hiponatremi

8
renal loss +hiperkalemi
P : GDP, GDPP, Albumin, profil lipid,
HbA1C
Follow up hari-2 Terapi
S : Ujung kaki berdenyut (+), batuk Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
(+), Pusing (+) Inj. Ondancetron 1A/8jam
O : KU : TSS Inj. Furosemid 1 amp/8jam
TD : 163/78 mmHg Inj. Omeprazole 1vial/23jam
HR : 97x/menit Inj. Ketorolac 3% 1amp/12 jm
RR : 21x/menit Inj. Methylprednisolon 1 vial/ 12jam

T : 36,2oC Drip albumin 25%/100cc/hari (Ekstra)


Drip aminofluid 1 fls/24jam
Lab : - GDP : 132 mg/dl (70-100)
Sucralfat Syr 3xC1
- GDPP : 137 mg/dl (80-120)
Candesartan 1x8mg
- Albumin : 1.6 g/dl (3.8-5.1)
Tanapres 1x5mg
- cholesterol total : 413 mg/dl
Atorvastatin 1x20mg
(<200mg/dl)
- HDL : 19 mg/dl (>45)
- Trigliserida : 562 mg/dl

A:
- Hipertensi
- Dyspepsia teregulasi
- neuropati
- Hypoalbumin s.c Sindrom nefrotik
- Dyslipidemia e.c sindrom nefrotik
- Hiponatermi renal loss
- Hiperkalemi
 
P : GDS, Albumin
Follow up Hari ke-3 Terapi
S : bengkak di tungkai (+), kaki Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
berdenyut (+), BAK kuning (+) Inj. Ondancetron 1A/8jam
O : KU : TSS Inj. Furosemid 1 amp/8jam
TD : 160/70 mmHg Inj. Omeprazole 1vial/23jam
HR : 95x/menit Inj. Ketorolac 3% 1amp/12 jam
RR : 17x/menit Inj. Metilprednisolon 1 vial/12jam

T : 36,9oC Drip albumin 25%/100cc/hari


Drip aminofluid 1 fls/24jam
LAB : - Glukosa as random : 200mg/dl
Sucralfat Syr 3xC1
(70-160)

9
- Albumin : 2.3 g/dl (3.8-5.1)
A:
- Hipertensi
- Dispepsia regulasi
- Neuropati perifer
- Hypoalbumin s.c Sindrom nefrotik
- Dyslipidemia e.c sindrom nefrotik
- Hiponatermi renal loss
- Hiperkalemi

 
Follow up hari ke-4 Terapi
S : bengkak di tungka4i (+), kaki Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
berdenyut (+) Inj. Ondancetron 1 amp/18j
  Inj. Furosemid 1 amp/8jam
O : KU : TSS Inj. Omeprazole 1vial/23jam
TD : 140/60 mmHg Inj. Ketorolac 3% 1amp/12 jam
HR : 72x/menit Inj. Metilprednisolon 1 vial/12jam
RR : 25x/menit Drip albumin 25%/100cc/hari (Ekstra)

T : 36,5oC Drip aminofluid 1 fls/24jam


Sucralfat Syr 3xC1
 
Tanapres 1x5mg
A:
Atorvastatin 1x20mg
- Hipertensi terkontrol
- dispepsia teregulasi
- Neuropati perifer
- Hypoalbumin s.c Sindrom nefrotik
- Dyslipidemia e.c sindrom nefrotik
- Hiponatermi renal loss
- Hiperkalemi
 
P : KGDS, Albumin, urinalisa
Follow up Hari ke -5 Terapi
S : bengkak di tungkai (+), kaki IVFD NaCL
berdenyut (+), kaki kebas (+), Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
nyeri diseluruh lapang abdomen Inj. Furosemid 1 amp/8jam
(+), pusing (+), lemas (+), BAK Inj. Pantoprazole 1vial/24jam
kuning Drip aminofluid 1 fls/24jam
O : KU : TSB Metilprednisolon 3x8 mg
TD : 98/59 mmHg Sucralfat Syr 3xC1
HR : 63x/menit Tanapres 1x5mg
RR : 24x/menit Atorvastatin 1x20mg

10
T : 36,2oC
Lab : - Glukosa ad random 874 mg/dl
(11.50)
- Albumin 2.6 9/dl (3.8-5.1)
- Leukosit 15-17/lpb
- Bakteri urin positif
- Glukosa ad random 1041 mg/dl
(13.54)
A:
- dispepsia
- Neuropati perifer
- Hypoalbumin s.c Sindrom nefrotik
- Dyslipidemia e.c sindrom nefrotik
- Hiperglikemi ec dd 1. KAD
2. HHS
- Colic abdomen ec ISK
- Hiponatermi renal loss
- Hiperkalemi
 
P : KGDS + HbA1C
Follow up Hari ke -6 Terapi
S : bengkak di tungkai (+), kaki IVFD NaCL
berdenyut (+), kaki kebas (+), Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
nyeri diseluruh lapang abdomen Inj. Furosemid 1 amp/8jam
(+), pusing (+), lemas (+), BAK Inj. Pantoprazole 1vial/24jam
kuning, muntah (+), sulit tidur, Inj. Citicolin 500/12j
penglihatan kabur Inj. Novomix 14-0-10
O : KU : TSB Inj. Ondancetron 1 amp/8j
TD : 170/95 mmHg Drip aminofluid 1 fls/24jam
HR : 91x/menit Sucralfat Syr 3xC1
RR : 24x/menit Tanapres 1x5mg

T : 36,5oC Atorvastatin 1x20mg


Vit K 2x1
Lab : - Glukosa ad random 350 mg/dl
Pasang NGT
(09.39)
- Glukosa ad random 199 mg/dl
(11.09)
-- HbA1C : 7.5%
A:
- Hipertensi

11
- DM tipe 2
- Gastropati diabetic
- Polineuropati diabetic
- Hypoalbumin s.c Sindrom nefrotik
- Dyslipidemia e.c sindrom nefrotik
- Hiperglikemi
- Colic abdomen ec ISK
- Hiponatermi renal loss
- Hiperkalemi
 
P : KGDS
Follow up Hari ke -7 Terapi
S : lemas (+), muntah (+), kaki IVFD NaCL
bengkak (+), kaki kebas dan Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
berdenyut (+), nyeri perut (-) Inj. Furosemid 1 amp/8jam
O : KU : TSS Inj. Pantoprazole 1vial/24jam
TD : 116/59 mmHg Inj. Citicolin 500/12j
HR : 81 x/menit Inj. Novomix 14-0-10
RR : 19 x/menit Inj. Ondancetron 1 amp/8j

T : 36,5oC Drip aminofluid 1 fls/24jam


Sucralfat Syr 3xC1
Lab : - Glukosa ad random 424 mg/dl
Tanapres 1x5mg
(22.57)
Atorvastatin 1x20mg
A:
Vit K 2x1
- Hipertensi terkoreksi
- DM tipe 2
- Gastropati diabetic terkoreksi
- Polineuropati diabetic
- Hypoalbumin s.c Sindrom nefrotik
- Dyslipidemia e.c sindrom nefrotik
- Hiperglikemi
- Colic abdomen ec ISK terkoreksi
- Hiponatermi renal loss
- Hiperkalemi
 
P : Rujuk RSUZA

12
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Sindrom nefrotik (SN) merupakan keadaan klinis yang ditandai dengan


proteinuria masif (≥ 3,5 g per 24 jam), hipoalbuminemia (≤ 3,0 g/dL), edema,
serta dislipidemia. Sindrom nefrotik terbagi menjadi primer atau idiopatik dan
sekunder. Sindrom nefrotik sekunder dapat disebabkan oleh penyakit metabolik,
imunologi, neoplasma, infeksi, penggunaan obat-obatan, alergi, atau kelainan
genetik. 1

3.2 Epidemiologi
Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi
minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat
diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang
dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30 - 50
tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-3
kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun. Sindrom
nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes
mellitus.

3.3. Etiologi
Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer (GN
primer) dan sekunder (GN sekunder) akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan
penghubung (connective tissue disease), obat atau toksin, dan akibat penyakit
sistemik seperti tercantum pada tabel berikut:2
Klasifikasi dan penyebab sindrom nefrotik:
a. Glomerulonefritis primer:
1. GN lesi minimal (GNLM)
2. Glomerulosklerosis fokal (GSF)

14
3. GN meembranosa (GNMN)
4. GN membranoproliferatif (GNMP)
5. GN proliferatif lain
b. Glomerulonefritis sekunder akibat :
1. InfeksiHIV, hepatitis virus B dan C
2. Sifilis, malaria, skistosoma
3. Tuberkulosis, lepra
c. Keganasan
Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin, mieloma
multipel, dan karsinoma ginjal.
d. Penyakit jaringan penghubung
Lupus eritematosus sistemik, artritis reumatoid, MCTD (mixed
connective tissue disease).
f. Efek obat dan toksin
Obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas, penisilamin, probenesid,
air raksa, captopril,heroin.
g. Lain-lain :Diabetes melitus, amiloidosis, pre-eklamsia, rejeksi alograf
kronik, refluks vesikoureter, sengatan lebah

3.4. Patofisiologi
Ada banyak bentuk penyakit glomerulus dengan patogenesis bervariasi,
terkait dengan adanya mutasi genetik, infeksi, paparan toksin, autoimunitas,
aterosklerosis, hipertensi, emboli, trombosis, atau diabetes mellitus. Bahkan,
setelah adanya studi penelitian, bagaimanapun penyebab tersering tetap tidak
diketahui, dan lesi ini disebut idiopatik.
Terdapat beberapa teori mengenai terjadinya sindrom nefrotik idiopatik
yaitu:3
1. Soluble Antigen Antibody Complex (SAAC)2
Antigen yang masuk ke sirkulasi menimbulkan antibodi sehingga terjadi
reaksi antigen antibodi yang larut (“soluble”) dalam darah. SAAC ini kemudian

15
menyebabkan sistem komplemen dalam tubuh bereaksi sehingga komplemen C3
akan bersatu dengan SAAC membentuk deposit yang kemudian terperangkap di
bawah epitel kapsula Bowman yang secara imunofloresensi terlihat berupa
benjolan yang disebut HUMPS sepanjang membrana basalis glomerulus
berbentuk granuler atau noduler. Komplemen C3 yang ada dalam HUMPS inilah
yang menyebabkan permeabilitas membran basalis glomerulus terganggu
sehingga eritrosit, protein dan lain-lain dapat melewati membrana basalis
glomerulus sehingga dapat dijumpai dalam urin.
2. Perubahan elektroemis
Selain perubahan struktur membrana basalis glomerulus, maka perubahan
elektrokemis dapat juga menimbulkan proteinuria. Dari beberapa percobaan
terbukti bahwa kelainan terpenting pada glomerulus berupa gangguan fungsi
elektrostatik (sebagai sawar glomerulus terhadap filtrasi protein) yaitu hilangnya
fixed negative ion yang terdapat pada lapisan sialo-protein gomeruli. Akibat
hilangnya muatan listrik ini permeabilitas membrana basalis glomerulus terhadap
protein berat molekul rendah seperti albumin meningkat sehingga albumin dapat
keluar bersama urin.
Beberapa penyakit glomerulus terjadi melalui mutasi genetik yang
diproduksi dari penyakit familial. Misalkan pada (1) sindrom nefrotik kongenital
berasal dari mutasi NPHS1 (nephrin) dan NPHS2 ( podocin) yang mempengaruhi
membrane pori-pori setelah lahir, serta mutase saluran kation TRPC6 saat masa
dewasa yang menghasilkan glomerulosklerosis fokal segmental (FSGS). (2)
Lipodistrofi sebagian dari mutasi pada gen yang mengkode Lamin A/C atau
PPAR sehingga menyebabkan sindrom metabolic yang dapat berhubungan
dengan glomerulonefritis membranoproliferatif (MPGN), yang kadang-kadang
disertai dengan deposit padat dan faktor nefritik C3. (3) Sindrom Alport, mutasi
pada gen yang mengkode 3, 4, atau 5 rantai kolagen tipe IV, menghasilkan split-
basement membrane dengan glomerulosklerosis, (4) penyakit penyimpanan
lisosomal, seperti kekurangan enzim galaktosidase yang menyebabkan penyakit

16
Fabry, dan defisiensi N - acetyl neuraminic asam hidrolase menyebabkan
nephrosialidosis menghasilkan FSGS.
Hipertensi sistemik dan aterosklerosis dapat menghasilkan tekanan stress,
iskemia, atau bahan oksidan dari lemak sehingga menyebabkan hipertensi kronis
glomerulosklerosis. Hipertensi maligna dapat secara cepat menjadi
glomeruloskelrosis dengan fibrinoid dari arteriol dan glomeruli, mikroangiopati
trombotik, dan gagal ginjal akut. Nefropati diabetik merupakan cedera sklerotik
yang diperoleh dari penebalan GBM sekunder dengan efek hiperglikemia yang
lama, glikosilasi produk akhir, dan oksigen reaktif.
Peradangan pada glomerulus kapiler disebut glomerulonefritis.
Kebanyakan, glomerulus atau antigen mesangial yang terlibat dalam reaksi
immune-mediated glomerulonephritis tidak diketahui.
Epitel glomerulus atau sel mesangial dapat mengungkapkan epitope yang
meniru protein imunogenik lain yang bersal dari bagian tubuh yang lain. Bakteri,
jamur, dan virus dapat langsung menginfeksi ginjal dengan memproduksi antigen
sendiri. Penyakit autoimun seperti glomerulonefritis membransa ideopatik (MGN)
atau MPGN terbatas pada ginjal, sedangkan penyakit inflamasi sistemikseperti
lupus nefritis atau agranulomatosis Wegener menyebar ke ginjal menyebabkan
cedera glomerulus sekunder. Sindrom Antiglomerular basal membrane
menghasilkan sindrom Goodpasture yang melukai paru-paru dan ginjal karena
distribusi sempit dari domain 3 NC1 dari kolagen IV.
Awal aktivasi sel T memainkan peran penting dalam mekanisme
glomerulonefritis. Antigen yang dikeluarkan oleh kompleks histokompatibilitas
kelas utama II (MCH) pada makrofag dan sel dendritic dalam hubungannya
dengan molekul asosiatif melibatkan CD4 / 8 repertoar sel T.

 Proteinuria
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat
kerusakan glomerulus. Dalam keadaaan normal membran basal glomerulus
(MBG) memunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein.

17
Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan
yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier).
Pada SN, kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu
konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui
MBG. Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan
ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila
protein yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin, sedangkan non-
selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti
imunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur MBG.
Pada SN yang disebabkan oleh GNLM ditemukan proteinuria selektif.
Pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan fusi foot processus sel epitel
viseral glomerulus dan terlepasnya sel dari struktur MBG. Berkurangnya
kandungan heparan sulfat proteoglikan pada GNLM menyebabkan muatan negatif
MBG menurun dan albumin dapat lolos ke dalam urin. Pada GSFS, peningkatan
permeabilitas MBG disebabkan oleh suatu faktor yang ikut dalam sirkulasi.
Faktor tersebut menyebabkan sel epitel viseral glomerulus terlepas dari MBG
sehingga permeabilitasnya meningkat. Pada GNMN kerusakan struktur MBG
terjadi akibat endapan komplek imun di sub-epitel. Komplek C5b-9 yang
terbentuk pada GNMN akan meningkatkan permeabilitas MBG, walaupun
mekanisme yang pasti belum diketahui

Schematic Drawing of The Glomerular Barrier


 Hipoalbuminemia

18
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis
albumin hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia
disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik
plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha
meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil
menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan
sintesis albumin hati, tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin
melalui urin. Hipoalbuminema dapat pula terjadi akibat peningkatan reabsorbsi
dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal.
 Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill.
Teori underfillmenjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan factor kunci
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penuru-nan tekanan
onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravascular ke jaringan
interstisium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan
bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi
dengan meningkatkan retensi natrium dan air.
Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular
tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema
semakin berlanjut. Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek
renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler
meningkat sehingga terjadi edema.
Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah
retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersama
pada pasien SN. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretic atau terapi steroid,
derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus, dan keterkaitan dengan
penyakit jantung atau hati akan menentukan mekanisme mana yang lebih
berperan.
.

19
 Hiperlipidemia dan lipiduria
Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN. Disebut
hiperlipidemia/hiperkolesterolemia bila kadar kolesterol > 250 mg/100ml.
Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis
lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme.
Semula diduga hiperlipidemia merupakan hasil stimulasi nonspesifi
terhadap sintesis protein oleh hati. Karena sintesis protein tidak berkorelasi
dengan hiperlipidemia disimpulkan bahwa hyperlipidemia tidak langsung
diakibatkan oleh hipoalbuminemia. Hiperlipidemia dapat ditemukan pada SN
dengan kadar albumin mendekti normal dan sebaliknya pada pasien dengan
hipoalbuminemia kadar kolesterol dapat normal.
Peningkatan kadar kolesterol disebabkan oleh meningkatnya LDL (low
density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid
yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL (very low density lipoprotein).

20
Selain itu, ditemukan pula peningkatan IDL (intermediate density lipoprotein) dan
lipoprotein (Lp)a, sedangkan HDL (high density lipoprotein) cenderung normal
atau rendah.
Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan oleh peningatan sintesis hati
tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi
VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN.
Menurunnya aktivitas enzim LPL (lipoprotein lipase) diduga merupakan
penyebab berkurangnya katabolisme VLDL pada SN.
Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat peningkatan tekanan
onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Penurunan kadar HDL pada SN
diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT (lecithin cholesterol
acyltransferase) yang berfungsi katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini juga
berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme.
Penurunan aktivitas enzim tersebut diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang
terjadi pada SN. Lipiduria sering ditemukan pada SN dan ditandai dengan
akumulasi lipid pada debris sel dan cast seperti badan lemak berbentuk oval (oval
fat bodies) dan fatty cast . Lipiduria lebih dikaitkan dengan proteinuria daripada
dengan hiperlipidemia.

3.5. Gejala Klinis


Gejala sindrom nefrotik adalah urin berbuih (proteinuria) kaki berat,
bengkak, dingin dan tidak berasa, penderita merasa lemah dan mudah lelah
(keseimbangan nitrogen negative) anoreksia, diare. Edema merupakan gejala
utama, bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka) dan merupakan
gejala satu - satunya yang nampak. Edema mula-mula Nampak pada kelopak
mata terutama waktu bangun tidur. Edema yang hebat atau anasarka sering
disertai edema pada genitalia eksterna. Selain itu edema anasarka ini dapat
menimbulkan diare dan hilangnya nafsu makan karena edema mukosa usus.
Hernia umbilikalis, dilatasi vena, prolaps rektum, dan sesak napas dapat pula
terjadi akibat edema anasarka.

21
Tanda dari SN adalah edema yang dapat timbul di daerah periorbita,
konjungtiva, diding perut, sedi lutut, efusi pleura, ascites. Selain itu juga
hilangnya massa otot rangka, kuku memperlihatkan pita-pita putih melintang
(muerchke’s band) akibat hipoalbumin, hipertensi.

3.6. Diagnosis
Diagnosis sindrom nefrotik (SN) pada dewasa dapat ditegakkan jika
terjadi proteinuria masif (≥ 3,5 g per 24 jam) atau sebanding dengan ≥ 3,5 g/gCr
at spot urine, hipoalbuminemia (≤ 3,0 g/dL), edema, serta dislipidemia. 4

Sementara itu, menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), kriteria


diagnosis sindrom nefrotik (SN) adalah proteinuria masif (> 40 mg/m2 luas
permukaan tubuh/jam, atau 50 mg/kg/hari, atau rasio protein/kreatinin urin
sewaktu > 2, atau dipstik ≥ 2+), hipoalbuminemia (< 2,5 g/dL), edema, serta
dapat disertai hiperkolesterolemia (> 200 mg/dL). 5

1. Anamnesis
Anamnesis mengenai keluhan dan faktor risiko dapat menentukan
penyebab dari sindrom nefrotik (SN). Manifestasi klinis klasik dari SN,
antara lain edema pada wajah terutama pagi hari saat bangun tidur, yang
ditandai dengan pembengkakkan kelopak mata. Selain itu, edema juga
terjadi pada ekstremitas bawah. Edema dapat menjadi difus sehingga
menyebabkan edema anasarka dengan ascites, hidrokel, atau efusi pleura.6

Gejala lain yang dapat dikeluhkan pasien adalah urin berbusa, kelelahan,
sesak napas, penurunan nafsu makan, kenaikan berat badan karena edema,
ruam kemerahan, fotosensitivitas, arthralgia, serta nyeri neuropati.

Selain itu, juga perlu ditanyakan mengenai faktor risiko seperti diabetes
mellitus, lupus eritematosus sistemik (SLE), keganasan, infeksi,

22
amiloidosis, reaksi alergi, serta penggunaan obat (heroin, interferon alfa,
lithium, atau pamidronate). 7
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik (SN), dapat ditemukan malnutrisi
protein yang menyebabkan hilangnya massa tubuh pada proteinuria masif.
Namun, tanda ini dapat tersamarkan oleh kenaikan berat badan karena
edema simultan. Pada pemeriksaan tanda vital, dapat ditemukan
peningkatan tekanan darah. 6-7 Selain itu, pada pemeriksaan fisik juga bisa
tampak periorbital edema, edema pada ekstremitas bawah, atau genital. 1-4

Pada pemeriksaan thorax, saat inspeksi dapat ditemukan trakea terdorong,


penurunan fremitus vokal saat palpasi, pekak pada hemithorax yang
abnormal saat perkusi, serta penurunan atau hilangnya suara napas pada
auskultasi. Hal tersebut menunjukkan adanya efusi pleura. Bila terdapat
ascites dapat ditemukan shifting dullness pada pemeriksaan abdomen.

Temuan fisik lainnya, antara lain xanthelasma akibat hiperkolesterolemia


berat, ruam SLE, Muehrcke's lines pada kuku akibat hipoalbuminemia,
mudah memar dan neuropati pada amiloidosis, tes darah samar positif
pada SN akibat keganasan gastrointestinal, serta pada pemeriksaan
funduskopi dapat ditemukan retinopati diabetik. 1-4

3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis, serta menentukan etiologi primer atau sekunder dari sindrom
nefrotik (SN).

Urinalisis

23
Urinalisis merupakan pemeriksaan pertama pada sindrom nefrotik (SN).
Pada urinalisis dapat ditemukan peningkatan protein urin, albuminuria,
glukosuria, serta darah dan protein Bence Jones. Pemeriksaan protein urin
diukur dalam periode 24 jam. Normalnya, kurang dari 150 mg protein
total dalam pengumpulan urin 24 jam. Rasio protein dan kreatinin urin
yang lebih besar dari 2, menunjukkan adanya protein urin melebihi 3 g per
hari. 8

Selain itu, pada pemeriksaan sedimen urin dapat ditemukan sel dan atau
cast seperti waxy casts yang menandai penyakit ginjal proteinurik. Dengan
menggunakan mikroskop polarisasi, dapat ditemukan oval fat bodies dan
fatty casts yang memberikan gambaran Maltese cross. 8

Biopsi Renal

Biopsi renal merupakan pemeriksaan definitif untuk sindrom nefrotik


(SN). Beberapa indikasi pemeriksaan biopsi renal, adalah SN kongenital,
anak usia > 8 tahun saat awitan, resistensi steroid, tingkat kekambuhan
tinggi atau ketergantungan steroid, serta manifestasi nefritik yang
signifikan. SN primer atau idiopatik pada dewasa juga memerlukan
pemeriksaan biopsi renal. 9

Pemeriksaan Laboratorium

Pada sindrom nefrotik (SN) tanpa komplikasi, dapat ditemukan kadar


serum kreatinin dalam kisaran normal. Kadar serum kreatinin dewasa
normal sekitar 1 mg/dL, sedangkan pada anak usia 5 tahun sekitar 0,5
mg/dL. 8

24
Umumnya, kadar serum albumin pada SN rendah. Pada pemeriksaan lipid,
ditemukan peningkatan kolesterol total, LDL, VLDL, dan trigliserida.

Beberapa pemeriksaan serologi dapat dilakukan untuk mengetahui etiologi


SN, antara lain pemeriksaan hepatitis B dan C, HIV, sifilis, antinuclear
antibody (ANA), anti-double stranded DNA (anti-dsDNA), antistreptolisin
O, elektroforesis protein serum atau urin, cryoglobulin, dan faktor
reumatoid. 8-9

Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan USG dapat dilakukan untuk mengidentifikasi jumlah,


ukuran, bentuk dan obstruksi renal. Apabila hanya terdapat 1 renal, rentan
terjadi glomerulosklerosis fokal dan merupakan kontraindikasi relatif
untuk dilakukan biopsi renal. Peningkatan ekogenisitas renal menandakan
adanya fibrosis intrarenal. Selain itu, USG pada abdomen dapat menilai
ascites serta komplikasi lain, misalnya deep vein thrombosis (DVT). 8-9

Selain USG, rontgen thorax dapat dilakukan jika dicurigai terjadi efusi
pleura dan kongesti paru. Pada kasus yang dicurigai neoplasma, dapat
dilakukan pemeriksaan penunjang tambahan seperti CT Scan, MRI, dan
aspirasi sumsum tulang belakang sesuai indikasi. 8

25
3.7. Penatalaksanaan
Pengobatan dari sindrom nefrotik terdiri dari pengobatan spesifik yang
ditujukan terhadap penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi
proteinuria, mengontrol edema, dan mengobati komplikasi. Diuretic disertai diet
rendah garam (sekitar 2gram natrium per hari) dan tirah baring dapat membantu
mengontrol edema. Furosemide oral dapat diberikan dan bila resisten dapat
dikombinasi dengan tiazid, metalazon, dan/atau asetazolamid.10
Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi
risiko komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0.8-1.0 g/kgBB/hari
dapat mengurangi proteinuria. Obat penghambat enzim konversi angiostensin dan
agonis reseptor angiostensin 2 dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi
keduanya mempunyai efek adiptif proteinuria.10
Risiko tromboemboli pada SN meningkat dan perlu mendapatkan penanganan
walaupun pemberian antikoagulan jangka panjang masih kontroversional tetapi pada
beberapa studi terbukti memberikan keuntungan, jika terjadi thrombosis dapat
diberikan heparin dilanjutkan dengan warfarin selama pasien masih nefrotik. 10
Dislipidemia pada sindrom nefrotik belum secara meyakinkan meningkatkan
risiko penyakit kardiovaskular, tetapi bukti klinis dalam populasi menyokong
pendapat perlunya mengontrol keadaan ini, obat penurun lemak golongan statin
seperti sismvastatin, pravastatin dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL,
trigliserida dan meningkatkan HDL. 10
 Terapi farmakologis
Pada prinsipnya terapi SN terdiri dari terapi umum dan terapi spesifik.
1. Terapi umum
1.1 Pengobatan untuk edema
Dapat diberikan loop diuretic (furosemid) oral. Bila belum ada
respon, dosis ditingkatkan hingga terjadi diuresis, bila perlu dikombinasi
dengan hydrochlorothiazide oral (bekerja sinergistik dengan Furosemid).
Bila tetap tidak respon beri furosemid secara IV, bila perlu disertai

26
pemberian infuse albumin, dan bila tetap belum ada respon perlu
dipertimbangkan ultrafiltrasi mekanik (terutama untuk kasus dengan
insufisiensi ginjal).
Pembatasan diet garam, 1-2 g/hari dan pembatasan cairan. Bila
perlu tirah baring, terutama untuk orang tua dengan edema tungkai berat
karena kemungkinan adanya insufisiensi venous. Pengukuran berat badan
setiap hari untuk mengevaluasi edema dan keseimbangan cairan harus
dicatat. BB diharapkan turun 0,5- 1 kg/hari.

1.2 Pengobatan untuk proteinuria


ACE inhibitor paling sering digunakan, cara kerjanya menghambat
vasokonstriksi pada arteriol eferen. Angiotensin II Receptor Antagonis
(ARB) mempunyai efektivitas yang sama dengan ACEI, tetapi tidak
didapatkan efek batuk seperti pada ACEI.

1.3 Koreksi hipoproteinemia


Untuk memelihara keseimbangan nitrogen yang positif dibutuhkan
peningkatan kadar protein serum, tetapi pemberian diit tinggi protein
selain sulit dipenuhi penderita (anoreksia) juga terbukti meningkatkan
ekskresi protein urin. Untuk penderita SN diberikan diit tinggi
kalori/karbohidrat (untuk memaksimalkan penggunaan protein yang
dimakan) dan protein cukup (0,8-1 mg/kgBB/hr).

1.4 Terapi hiperlipidemia


Walaupun belum ada bukti yang jelas bahwa hyperlipidemia pada
SN meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular, tetapi apa yang terjadi
pada populasi umum perlu dipakai sebagai pertimbangan untuk
menurunkan kadar lipid pada penderita SN. Dapat digunakan golongan
HMG-CoA reductase inhibitor (statin).

27
1.5 Hypercoagulability
Masih terdapat silang pendapat mengenai perlunya pemberian
antokoagulasi jangka panjang pada semua penderita SN guna mencegah
terjadinya resiko thrombosis, tetapi bila telah terjadi thrombosis atau
emboli paru maka perlu dipertimbangkan antikoagulasi jangka panjang,
seperti Warfarin.

1.6 Pengobatan infeksi


Antibiotik yang tepat, hanya diberikan bila ada tanda-tanda infeksi
sekunder.

1.7 Pengobatan hipertensi


Bila terdapat hipertensi dapat diberikan ACEI, Non
Dihydropiridin, Calcium Channel Blocker (CCB). Pemberian diuretik dan
pembatasan diit garam juga ikut berperan dalam pengelolaan hipertensi.

2. Terapi spesifik.11
Patogenesis sebagian besar penyakit glomerular dikaitkan dengan
gangguan imun, dengan demikian terapi spesifiknya adalah dengan
pemberian imunosupresif. Prednisone 1mg/kgBB/hari atau 60mg/hari dapat
diberikan antara 4-12 minggu selanjutnya diturunkan secara bertahap
dalam 2-3 bulan. Steroid memberi respon yang baik untuk minimal change,
walaupun pada orang dewasa responnya lebih lambat dibandingkan dengan
anak-anak.
Pengobatan kortikosteroid menurut International Cooperative Study
of Kidney Disease in Children (ISKDC): selama 28 hari prednisone
diberikan per oral dengan dois 60 mg/hari luas permukaan badan (1bp)
dengan maksimum 80 mg/hari. Kemudian dilanjutkan dengan prednisone
per oral selama 28 hari dengan dosis 40 mg/hari/1bp, setiap 3 hari dalam
satu minggu dengan dosis maksimum 60 mg/hari.

28
Bila terdpat respon selama pengobatan, maka pengobatan ini
dilanjutkan secara intermitten selama 4 minggu. Pada pasien yang sering
relaps dengan kortikosteroid atau resisten terhadap kortikosteroid dapat
digunakan terapi lain dengan siklofosfamid atau klorambusil.
Siklofosfamid memberi remisi yang lebih lama daripada kortikosteroid
(75% selama 2 tahun) dengan dosis 2 – 3 mg/kgBB/hari selama 8 minggu.
Cyclophosphamide untuk penderita yang mengalami relaps setelah
steroid dihentikan (steroid-dependent) atau mengalami relaps >3 kali dalam
setahun (frequently relapsing) bisa diberikan cyclophosphamide
2mg/kgBB/hr selama 8-12 minggu. Pada penggunaan cyclophosphamide
perlu diwaspadai terjadinya efek samping berupa infertilitas, cystitis,
alopecia, infeksi, malignansi.
Klorambusil digunakan dengan alasan yang sama dengan
cyclophosphamide. Dosis 0,1-0,2/kgBB/hr selama 8-12 minggu. Pada
penderita yang mengalami relaps setelah pemberian cyclophosphamide,
diberikan Cyclosporine A (CyA) dengan dosis awal 4-5 mg/kgBB/hari, di
mana dosis selanjutnya perlu disesuaikan dengan kadar CyA dalam darah.
Pemberian berlangsung selama 1 tahun kemudian diturunkan perlahan-
lahan. Mengingat CyA mempunyai efek nefrotoksik, perlu memonitor
fungsi ginjal. Azathioprine dengan dosis 2-2,5 mg/kgBB/hari digunakan
untuk Nefritis Lupus.

3.8. Komplikasi
1. Keseimbangan Nitrogen
Proteinuria masif pada SN akan menyebabkan keseimbangan nitrogen menjadi
negatif. Penurunan massaotot sering ditemukan tetapi gejala ini tertutup oleh gejala
edema anasarka dan baru tampak setelah edema menghilang. Kehilangan massa tubuh
(lean body mass) tidak jarang dijumpai pada SN.2
2. Hiperlipidemia dan Lipiduria2

29
Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN. Kadar kolesterol
umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi ari normal sampai sedikit
meninggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL (low density
lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi
dikaitkan dengan peningkatan VLDL (very low density lipoprotein). Selain itu
ditemukan pula peningkatan IDL dan lipoprotein a sedangkan HDL cenderung
normal atau rendah.
Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis
lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Semula diduga
hiperlipidemia merupakan hasil stimulasi non-spesifik terhadap sintesis protein oleh
hati. Karena sintesis protein tidak berkorelasi dengan hiperlipidemia disimpulkan
hiperlipidemia tidak langsung diakibatkan oleh hipo-albuminemia.
Hiperlipidemia dapat ditemukan pada SN dengan kadar albumin mendekati
normal dan sebaliknya pada pasien dengan hipoalbuminemia kadar kolesterol dapat
normal.1- 2 Tinginya kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa
gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan
IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya ektivitas
enzim LPL (lipoprotein lipase) diduga merupakan penyebab berkurangnya
katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat
tekanan onkotik plasma atau viskositas yang menurun.
Penurunan kadar HDL pada SN diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim
LCAT (lecithin cholesterolacyltransferase) yang berfungsi katalisasi pembentukan
HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati
untuk katabolisme. Penurunan aktivitas enzim tersebut diduga terkait dengan
hipoalbuminemia yang terjadi pada SN. Lipiduria sering ditemukan pada SN dan
ditandai dengan akumulasi lipid pada debris sel dan cast seperti badan lemak
berbentuk oval (oval fat bodies) dan fatty cast. Lipiduria lebih dikaitkan dengan
proteinuria daripada dengan hiperlipidemia.

3. Hiperkoagulasi2

30
Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat peningkatan
koagulasi intravascular. Pada SN akibat GNMN kecenderungan terjadinya trombosis
vena renalis cukup tinggi sedangkan SN pada GNLM dan GNMP frekuensinya kecil.
Emboli paru dan thrombosis vena dalam (deep vein thrombosis=DVT) sering
dijumpai pada SN. Kelainan tersebut disebabkan oleh perubahan tingkat dan aktivitas
berbagai faktor koagulasi intrinsik dan ekstrinsik. Mekanisme hiperkoagulasi pada
SN cukup kompleks meliputi peningkatan fibrinogen, hiperagregasi trombosit, dan
penurunan fibrinolisis. Gangguan koagulasi yang terjadi disebabkan peningkatan
sintesis protein oleh hati dan kehilangan protein melalui urin.
4. Metabolisme Kalsium dan Tulang2
Vitamin D merupakan unsure penting dalam metabolisme kalsium dan tulang
pada manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan melalui urin
sehingga menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar 25(OH)D dan 1,25(OH)2D
plasma juga ikut menurun sedangkan kadar vitamin D bebas tidak mengalami
gangguan. Karena fungsi ginjal pada SN umumnya normal maka osteomalasi atau
hiperparatiroidisme yang tidak terkontrol jarang dijumpai. Pada SN juga terjadi
kehilangan hormone tiroid yang terikat protein melalui urin dan penurunan kadar
tiroksin plasma. Tiroksin yang bebas dan hormon yang menstimulasi tiroksin (TSH)
tetap normal sehingga secara klinis tidak menimbulkan gangguan.
5. Infeksi2
Sebelum era antibiotik, infeksi sering merupakan penyebab kematian pada SN
terutama oleh organism berkapsul (encapsulated organisms). Infeksi pada SN terjadi
akibat defek imunitas humoral, selular, dan ganggauan system komplemen.
Penurunan IgG, IgA, dan gamma globulin sering ditemukan pada pasien SN oleh
karena sintesis yang menurun atau katabolisme yang meningkat dan bertambah
banyaknya yang terbuang melalui urin. Jumlah sel T dalam sirkulasi berkurang yang
menggambarkan gangguan imunitas selular. Hal ini dikaitkan dengan keluarnya
transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar dapat berfungsi dengan normal
6. Gangguan Fungsi Ginjal

31
Pasien SN memiliki potensi untuk mengalami gagal ginjal akut melalui
berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma dan atau sepsis sering menyebabkan
timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi
penyebab gagal ginjal akut adalah terjadinya edema intrarenal yang menyebabkan
kompresi pada tubulus ginjal.1- 4 Sindrom nefrotik dapat progresif dan berkembang
menjadi PGTA (penyakit ginjal tahap akhir). Proteinuria merupakan faktor risiko
penentu terhadap progresivitas SN. Progresivitas kerusakan glomerulus,
perkembangan glomerulosklerosis, dan kerusakan tubulointerstisium dikaitkan
dengan proteinuria. Hiperlipidemia juga dihubungkan dengan mekanisme terjadinya
glomerulosklerosis dan fibrosis tubulointerstisium pada SN, walaupun peran terhadap
progresivitas penyakitnya belum diketahui secara pasti

32
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien perempuan, 59 tahun, datang dengan keluhan nyeri seluruh lapangan


perut sejak 1 minggu, lemas, tidak nafsu makan juga di rasakan, mual dan muntah
setiap malam sejak 2 hari, mutah berisi cairan, buang air kecil banyak buih, bengkak
pada area kaki, riwayat demam, pasien juga mengeluhkan lemah anggota gerak dan
tungkai secara tiba-tiba sejak 2 hari serta merasakan susah menela. Bengkak
merupakan gejala yang timbul akibat penumpukan cairan di kompartemen interstisial.
Cairan terutama berkumpul pada daerah dengan jaringan ikat longgar, karena jaringan
ikat longgar memiliki ruang potensial yang besar. Pada tubuh manusia, daerah dengan
jaringan ikat longgar yang banyak termasuk palpebra, rongga abdomen, pretibia, serta
skrotum pada laki-laki dan labia mayora pada perempuan.
Penumpukan cairan di kompartemen interstisial dapat dijelaskan oleh teori
underfill dan overflow. Menurut teori underfill, penumpukan cairan disebabkan oleh
penurunan tekanan onkotik plasma yang menyebabkan cairan tidak dapat tertahan di
kompartemen intravaskular. Penurunan tekanan onkotik dapat disebabkan oleh
penurunan albumin. Menurut teori overflow, penumpukan cairan disebabkan oleh
retensi natrium di ginjal, sehingga reabsorpsi cairan di ginjal juga meningkat. Selain
itu penumpukan cairan juga dapat disebabkan oleh stasis aliran balik vena, seperti
terjadi pada pasien trombosis vena dalam dan gagal jantung kongestif.
Pada perjalanan penyakit ditemukan bahwa keluhan bengkak kemudian terjadi
juga pada kaki. Perburukan kondisi ini menunjukkan bahwa cairan yang menumpuk
semakin banyak. Pasien juga mengeluh buang air kecil berbusa. Air seni berbusa
merupakan penanda bahwa terdapat protein dalam urin.
Pasien juga mengeluh buang air kecil menjadi sedikit yang mungkin
disebabkan karena aliran darah ke ginjal menurun. Hal ini dapat terjadi karena
meskipun terjadi penumpukan cairan tetapi cairan berada pada kompartemen
ekstravaskular bukan intravaskular. Keluhan sembab dapat disebabkan oleh kelainan
pada beberapa organ seperti jantung (gagal jantung kongestif), ginjal (gagal ginjal,

33
sindrom nefrotik), hati (sirosis hepatis), serta juga pada sistem imun (alergi obat,
reaksi anafilaksis) dan nutrisi (kwashiorkor).
Berdasarkan hasil anamnesis, gangguan pada jantung dapat disingkirkan
karena tidak ada keluhan sesak dan jantung berdebar serta sembab dimulai dari
kelopak mata dan wajah. Gangguan pada hati dapat disingkirkan karena tidak ada
keluhan kuning. Gangguan pada nutrisi disingkirkan karena pola makan pasien
teratur, cukup, dan seimbang. Gangguan sistem imun dapat disingkirkan karena tidak
ada riwayat makan obat sebelumnya, keluhan sembab tidak berlangsung cepat, dan
tidak ada keluhan sesak. Penyakit infeksi ditemukan karena ada keluhan demam.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik ditegakkan diagnosis
sementara berupa edema anasarka suspek sindrom nefrotik karena sembab dimulai
dari terdapat pitting edema, dan kencing berbusa. Diagnosis banding pada pasien
adalah sindroma nefritik dan gagal jantung kongestif. Untuk konfirmasi diagnosis
sindroma nefrotik dilakukan pemeriksaan urinalisis (urine dipstick, urine Esbach),
kolesterol dan albumin serum. Pada urinalisis juga perlu dilakukan pemeriksaan
eritrosit untuk melihat adanya hematuria mikroskopis dan menyingkirkan sindroma
nefritik.
Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hipoalbumin (1,6 g/dl),
proteinuria (+3), dyslipidemia (kolesterol total 413 mg/dl), hyperkalemia (5,5
mmol/L) dan dari pemeriksaan radiologis foto thorax didapatkan gambaran kesan
pneumonia. Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap
protein akibat kerusakan glomerulus. Hipoalbumin disebabkan oleh proteinura massif
dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma, dapat pula terjadi akibat
peningkatan reabsorpsi dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal. Mekanisme
hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan
lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme.
Pasien direncanakan ditatalaksana secara nonfarmakologis dengan tirah
baring, diet rendah garam dan rendah kolesterol, serta restriksi cairan. Furosemide
termasuk dalam golongan loop diuretics dan bekerja dengan cara menghambat
reabsorpsi natrium di ansa Henle sehingga reabsorpsi cairan ikut menurun.

34
Methylprednisolon termasuk dalam golongan kortikosteroid dan berperan dalam
menghambat proses inflamasi, melalui penurunan permeabilitas kapiler dan supresi
aktivitas neutrophil polimorfonuklear, pada glomerulus yang diduga berperan dalam
patogenesis sindrom nefrotik. Lisinopril termasuk dalam golongan inhibitor
angiostensin converting enzyme (ACE inhibitor) dan berperan dalam penurunan
proteinuria. Atorvastatin termasuk dalam golongan inhibitor HMG-CoA reduktase
dan berperan dalam produksi kolesterol endogen.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Tapia C, Bashir K. Nephrotic Syndrome. 2019. https://www.ncbi.nlm.nih.


gov/books/NBK470444/

2. Arsita E. Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Sindroma Nefrotik. J


Kedokt Meditek. 2017;23(64):73–82.

3. Andolino TP, Reid-adam J. Nephrotic Syndrome. J C. 2016;36(3).

4. Cohen EP. Nephrotic Syndrome. Medscape, 2019.


https://emedicine.medscape.com /article/244631-overview

5. Trihono PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede SO. Konsensus Tata Laksana


Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. Edisi ke-2. Jakarta: UKK Nefrologi
IDAI, 2012. h.1-20.

6. Niaudet P. Etiology, clinical manifestations, and diagnosis of nephrotic


syndrome in children. 2013. https://www.uptodate.com/contents/etiology-
clinical-manifestations-and-diagnosis-of-nephrotic-syndrome-in-children

7. Kodner C. Diagnosis and Management of Nephrotic Syndrome in Adults. Am


Fam Physician. 2016; 93(6):479-85.

8. Khanna R. Clinical Presentation & Management of Glomerular Diseases:


Hematuria, Nephritic & Nephrotic Syndrome. Mo Med. 2011; 108(1): 33–36.

9. Nishi S, Ubara Y, Utsunomiya Y, Okada K, Obata Y. Evidence-based clinical


practice guidelines for nephrotic syndrome 2014. Clin Exp Nephrol. 2016; 20:
342–370.

10. Setiati S, Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta Pusat:
InternalPublishing; 2014.

11. Praga M, Evangelina. NSAIDs and Nephrotic Syndrome. Am Soc Nephrol.

36
2019;14:1–3.

37

Anda mungkin juga menyukai