Anda di halaman 1dari 37

Case Report session

ECLAMPSIA, HELLP SYNDROME

Disusun Oleh:

Amelia Rahma Ningrum

1710070100005 Annisa Sazia

1610070100073

Pembimbing:

dr. Ririn Triyani, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ANESTESI RSUD

M. NATSIR FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

BAITURRAHMAH PADANG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa karena kehendak-Nya

penulis dapat menyelesaikan case dengan judul “ECLAMPSIA, HELLP

SYNDROME”. Case ini dibuat sebagai salah satu tugas dalam Kepaniteraan

Klinik Bagian Anestesi. Mengingat pengetahuan dan pengalaman penulis serta

waktu yang tersedia untuk menyusun Case ini sangat terbatas, penulis sadar

masih banyak kekurangan baik dari segi isi, susunan bahasa, maupun sistematika

penulisannya. Untuk itu kritik dan saran pembaca yang membangun sangat

penulis harapkan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr.

Ririn Triyani, Sp.An selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Bagian Anestesi

di Rumah Sakit Umum Daerah M. Natsir Solok, yang telah memberikan masukan

yang berguna dalam penyusunan case ini.

Akhir kata penulis berharap kiranya case ini dapat menjadi masukan yang

berguna dan bisa menjadi informasi bagi tenaga medis dan profesi lain terkait

dengan masalah kesehatan pada umumnya, khususnya tentang Eclampsi dan Hellp

Sindrome.

Solok, 19 Desember 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Halaman

Kata Pengantar ............................................................................................. i


Daftar Isi ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan ....................................................................................... 1
1.3 Manfat Penulisan ...................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 4
2.1 Hipertensi dalam Kehamilan .................................................................... 4
2.1.1 Definisi ......................................................................................... 4
2.1.2 Klasifikasi .................................................................................... 4
2.1.3 Faktor Resiko ............................................................................... 5
2.1.4 Patofisiologi ................................................................................ 5
2.2 Eklampsi ................................................................................................... 10
2.2.1 Definisi ......................................................................................... 10
2.2.2 Etiologi .......................................................................................... 11
2.2.3 Epidemiologi ................................................................................. 11
2.2.4 Diagnosa Kerja .............................................................................. 11
2.2.5 Diagnosa Banding ........................................................................ 12
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang ............................................................... 12
2.2.7 Gejala Klinik .................................................................................. 14
2.2.8 Patofisiologi ................................................................................. 16
2.2.9 Penatalaksanaan ............................................................................ 17
2.2.10 Komplikasi .................................................................................... 21
2.2.11 Pencegahan .................................................................................... 22
2.2.12 Prognosis ....................................................................................... 23
2.3 Hellp Sindrom ........................................................................................... 23
BAB III LAPORAN KASUS ........................................................................ 26
BAB IV ANALISIS KASUS ........................................................................ 31
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 34

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Preeklampsia sampai saat ini masih merupakan ”the disease of theories”,

penelitian telah begitu banyak dilakukan namun angka kejadian preeklampsia

tetap tinggi dan mengakibatkan angka morbiditas dan mortilitas maternal yang

tinggi baik diseluruh dunia maupun di Indonesia.1 Preeklamsia didefinisikan

sebagai gangguan luas kerusakan endotel pembuluh darah dan vasospasme yang

terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu dan dapat juga dijumpai pada akhir 4-6

minggu post partum. Hal ini secara klinis didefinisikan adanya hipertensi dan

proteinuria, dengan atau tanpa edema patologis.2

Di seluruh dunia preeklamsi menyebabkan 50.000 – 76.000 kematian

maternal dan 900.000 kematian perinatal setiap tahunnya. 3 Hal ini terjadi pada 3-

5% dari kehamilan dan merupakan penyebab utama kematian ibu, terutama di

negara-negara berkembang.4 Angka kejadian di Indonesia bervariasi di beberapa

rumah sakit di Indonesia yaitu diantaranya 5 – 9 % dan meningkat sebesar 40 %

selama beberapa tahun terakhir ini di seluruh dunia. Di Indonesia masih

merupakan penyebab kematian nomer dua tertinggi setelah perdarahan.5

Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5-15% penyulit kehamilan dan

merupakan salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu

bersalin. Di Indonesia mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan juga

masih cukup tinggi. Hal ini masih disebabkan selain oleh etiologi tidak jelas, juga

oleh perawatan dalam persalinan oleh petugas non-medik dan sistem rujukan yang

belum sempurna.4

1
Sampai sekarang penyebab preeklamsi masih belum diketahui dengan

jelas. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui penyebab preeklamsi

dan banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya preeklamsi sehingga

disebut sebagai disease of theory, namun tidak ada satupun yang dianggap mutlak

benar.6

Hipertensi dan proteinuria pada preeklamsia adalah tanda yang

menunjukkan banyak perubahan internal dari sistem tubuh. Preeklamsia sering

dianggap sebagai gangguan dengan dua komponen, implantasi plasenta yang

abnormal ditambah dengan disfungsi endotel karena faktor-faktor maternal. Pada

kenyataannya hal tersebut jauh lebih kompleks. Ada perubahan terlihat pada

sistem ginjal dan pembuluh darah secara keseluruhan.7

Banyak komplikasi yang disebabkan preeklamsi berat salah satu diantaranya

adalah HELLP Sindrom. Sindrom HELLP ialah pereklamsi-eklamsi disertai

hemolisis, peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar dan trombositopeni.

Kematian ibu bersalin pada sindrom hellp cukup tinggi, yaitu 24%. Penyebab

kematian dapat berupa kegagalan cardio pulmonal, gangguan pembekuan darah,

perdarahan otak, ruptur hepar dan kegagalan multipel. Demikian juga kematian

perinatal pada sindrom HELLP cukup tinggi terutama disebabkan persalinan

preterm. 7

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk memahami aspek teori

tentang eklampsi dan hellp sindrome, sekaligus untuk memenuhi persyaratan

tugas Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Anestesi RSUD M. Natsir Solok.

2
1.3 Manfaat Penulisan

a. Sebagai informasi bagi penulis dan pembaca tentang eklampsi dan hellp

sindrome

b. Untuk menambah wawasan serta ilmu bagi penulis dan pembaca tentang

eklampsi dan hellp sindrome

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hipertensi dalam Kehamilan

2.1.1 Definisi

Hipertensi dalam kehamilan didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik

≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg.7

2.1.2. Klasifikasi

a. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan

20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur

kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pasca

persalinan.

b. Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan

disertai dengan proteinuria.

c. Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai dengan kejang-kejang atau

koma.

d. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia adalah hipertensi

kronik disertai tanda-tanda preeklampsia atau hipertensi kronik disertai

proteinuria.

e. Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa

disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan

pascapersalinan atau kehamilan dengan tanda-tanda preeklampsia tetapi

tanpa proteinuria.7

4
2.1.3. Faktor Risiko

Dari berbagai macam faktor risiko terjadinya hipertensi dalam kehamilan

maka dapat dikelompokkan sebagai berikut:7

a. Primigravida

b. Hiperplasentosis, seperti molahidatidosa, kehamilan ganda, diabetes

melitus, hidrops fetalis, bayi besar.

c. Umur yang ekstrim.

d. Riwayat keluarga yang pernah mengalami preeklampsia dan eklampsia

e. Penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil

f. Obesitas

2.1.4. Patofisiologi Hipertensi dalam Kehamilan

Banyak teori yang dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam

kehamilan, yaitu:

A. Teori Kelainan Vaskularisasi Plasenta

Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi

trofoblas ke dalam lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi

lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga

memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi

hambur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi.

Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ini memberi dampak penurunan

tekanan darah, penurunan resistensi vaskular dan peningkatan aliran darah pada

daerah utero plasenta.Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel

trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan

otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri

5
spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya,

arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi, dan terjadi kegagalan

“remodeling arteri spiralis”, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan

terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta. Dampaknya akan menimbulkan

perubahan pada hipertensi dalam kehamilan.7

Adanya disfungsi endotel ditandai dengan meningginya kadar

fibronektin, faktor Von Willebrand, t-PA dan PAI-1 yang merupakan marker dari

sel-sel endotel. Patogenesis plasenta yang terjadi pada preeklampsia dapat

dijumpai sebagai berikut:8

a. Terjadi plasentasi yang tidak sempurna sehingga plasenta tertanam

dangkal dan arteri spiralis tidak semua mengalami dilatasi.

b. Aliran darah ke plasenta kurang, terjadi infark plasenta yang luas.

c. Plasenta mengalami hipoksia sehingga pertumbuhan janin terhambat.

d. Deposisi fibrin pada pembuluh darah plasenta, menyebabkan penyempitan

pembuluh darah.

B. Teori Iskemia Plasenta dan pembentukan radikal bebas

Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan

oksidan. Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah

radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap membran sel endotel

pembuluh darah. Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang mengandung

banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak, Peroksida lemak selain

akan merusak sel, juga akan merusak nukleus, dan protein sel endotel. Produksi

oksidan dalam tubuh yang bersifat toksis, selalu diimbangi dengan produksi anti

oksidan.7

6
C. Peroksida Lemak Sebagai Oksidan Pada Hipertensi Dalam Kehamilan

Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan

khususnya peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan, misal vitamin E

pada hipertensi dalam kehamilan menurun, sehingga terjadi dominasi kadar

oksidan peroksida lemak yang relatif tinggi. Peroksida lemak sebagai oksidan

yang sangat toksis ini akan beredar di seluruh tubuh dalam aliran darah dan akan

merusak membran sel endotel. Membran sel endotel lebih mudah mengalami

kerusakan oleh peroksida lemak karena letaknya langsung berhubungan dengan

aliran darah dan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak

jenuh sangat rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah

menjadi peroksida lemak.7

D. Disfungsi Sel Endotel

- Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi sel endotel

adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya produksi

prostasiklin yang merupakan vasodilator kuat.

- Agregasi sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan

untuk menutup tempat-tempat dilapisan endotel yang mengalami

kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi tromboksan yang merupakan

suatu vasokonstriktor kuat.

- Perubahan khas pada sel endotel kapilar glomerulus.

- Peningkatan permeabilitas kapilar

- Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor

- Peningkatan faktor koagulasi7

7
E. Teori Intoleransi Imunologik Antara Ibu Dan Janin

Primigravida mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam

kehamilan jika dibandingkan dengan multigravida. Ibu multipara yang kemudian

menikah lagi mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan

jika dibandingkan dengan suami sebelumnya.7

Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama karena pada

kehamilan pertama terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen

plasenta tidak sempurna. Pada preeklampsia terjadi kompleks imun humoral dan

aktivasi komplemen. Hal ini dapat diikuti dengan terjadinya pembentukan

proteinuria.7

F. Teori Adaptasi Kardiovaskular

Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap

bahan vasokonstriktor, dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-

bahan vasopresor. Artinya, daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan

vasopresor hilang sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan

vasopresor. Peningkatan kepekaan pada kehamilan yang akan menjadi hipertensi

dalam kehamilan, sudah dapat ditemukan pada kehamilan dua puluh minggu.

Fakta ini dapat dipakai sebagai prediksi akan terjadinya hipertensi dalam

kehamilan.7

G. Teori Genetik

Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami pereeklampsia, maka 26%

anak perempuannya akan mengalami preeklampsia pula, sedangkan hanya 8%

anak menantu mengalami preeklampsia.7

8
H. Teori Defisiensi Gizi

Konsumsi minyak ikan dapat mengurangi risiko preeklampsia dan

beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa defisiensi kalsium mengakibatkan

risiko terjadinya preeklampsia/eklampsia.7

I. Teori Stimulus Inflamasi

Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam

sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi.

Disfungsi endotel pada preeklampsia akibat produksi debris trofoblas plasenta

berlebihan tersebut diatas, mengakibatkan aktifitas leukosit yang tinggi pada

sirkulasi ibu. Peristiwa ini disebut sebagai kekacauan adaptasi dari proses

inflamasi intravaskular pada kehamilan yang biasanya berlangsung normal dan

menyeluruh.7

Kebanyakan penelitian melaporkan terjadi kenaikan kadar TNF-alpha

pada PE dan IUGR. TNF-alpha dan IL-1 meningkatkan pembentukan trombin,

platelet-activating factor (PAF), faktor VIII related anitgen, PAI-1, permeabilitas

endotel, ekspresi ICAM-1, VCAM-1, meningkatkan aktivitas sintetase NO, dan

kadar berbagai prostaglandin. Pada waktu yang sama terjadi penurunan aktivitas

sintetase NO dari endotel. Apakah TNF-alpha meningkat setelah tanda-tanda

klinis preeklampsia dijumpai atau peningkatan hanya terjadi pada IUGR masih

dalam perdebatan. Produksi IL-6 dalam desidua dan trofoblas dirangsang oleh

peningkatan TNF-alpha dan IL-1. IL-6 yang meninggi pada preeklampsia

menyebabkan reaksi akut pada preeklampsi dengan karakteristik kadar yang

meningkat dari ceruloplasmin, alpha1 antitripsin, dan haptoglobin,

hipoalbuminemia, dan menurunnya kadar transferin dalam plasma. IL-6

9
menyebabkan permeabilitas sel endotel meningkat, merangsang sintesis platelet

derived growth factor (PDGF), gangguan produksi prostasiklin. Radikal bebas

oksigen merangsang pembentukan IL-6. Disfungsi endotel menyebabkan

terjadinya produksi protein permukaan sel yang diperantai oleh sitokin. Molekul

adhesi dari endotel antara lain E-selektin, VCAM-1 dan ICAM-1. ICAM-1 dan

VCAM-1 diproduksi oleh berbagai jaringan sedangkan E-selectin hanya

diproduksi oleh endotel. Interaksi abnormal endotel-leukosit terjadi pada sirkulasi

maternal preeklampsia.8

2.2. Eklampsia

2.2.1 Definisi

Istilah eklampsia berasal dari bahasa Yunani dan berarti "halilintar". Kata

tersebut dipakai karena seolah-olah gejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-

tiba tanpa didahului oleh tanda-tanda lain. Eklampsia pada umumnya timbul pada

wanita hamil atau dalam nifas dengan tanda-tanda pre-eklampsia.

Pada wanita yang menderita eklampsia timbul serangan kejang yang

diikuti oleh koma. Eklampsia lebih sering pada primigravida daripada multipara.

Tergantung dari saat timbulnya eklampsia dibedakan eklampsia gravidarum

(eklampsia antepartum),eklampsia parturientum (eklampsia intrapartum), dan

eklampsia puerperale (eklampsia postpartum). Kebanyakan terjadi antepartum.

Pada eklampsia gravidarum sering kali persalinan mulai tidak lama kemudian.3

Biasanya eklampsia didahului oleh pre-eklampsia, pentingnya pengawasan

antenatal yang teratur, sebagai usaha untuk mencegah timbulnya penyakit itu.3

1
Eklampsia lebih sering terjadi pada :3

1. Kehamilan kembar

2. Hydramnion

3. Mola hydatidosa

2.2.2 Etiologi

Faktor-faktor yang saat ini dianggap penting mencakup:

 Implantasi plasenta disetai invasi trofoblastik abnormal pada pembuluh

darah uterus.

 Toleransi imunologis yang bersifat maladaptif diantara jaringan maternal,

paternal (plasental), dan fetal.

 Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskuler atau inflamatorik

yang terjadi pada kehamilan normal.

 Faktor-faktor genetik, termasuk gen predisposisi yang diwariskan, serta

pengaruh epigenetik.

2.2.3 Epidemiologi

Karena dalam batas tertentu dapat dicegah melalui asuhan antenatal yang

adekuat, insiden eklamsia telah menurun selama beberapa tahun terakhir. Di

negara maju, insiden eklamsia mungkin sekitar 1 dalam 2000 kelahiran.

2.2.4 Diagnosis Kerja

Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita preeklampsia, yang

disertai dengan kejang menyeluruh dan koma. Sama halnya dengan preeklampsia,

eklampsia dapat timbul pada ante, intra, dan postpartum. Eklampsia postpartum

umumnya hanya terjadi dalam waktu 24 jam pertama setelah persalinan.

1
Pada penderita preeklampsia yang akan kejang, umumnya memberi gejala-

gejala atau tanda-tanda yang khas, yang dapat dianggap sebagai tanda prodoma

akan terjadinya kejang. Preeklampsia yang disertai dengan tanda-tanda prodoma

ini disebut sebagai impending eclampsia atau imminent eclampsia.

Preeklamsia yang disertai komplikasi kejang umum tonik-klonik sangat

meningkatkan resiko bagi ibu maupun janin. Kejang eklamtik hampir selalu

didahului oleh preeklampsia. Eklamsia paling sering terjadi pada trimester ketiga

dan menjadi semakin sering saat kehamilan mendekati aterm. Pada beberapa

tahun akhir, telah terjadi pergeseran yang semakin besar pada insiden eklamsia ke

arah periode pascapartum. Pergeseran ini diduga berkaitan dengan perbaikan

akses asuhan pranatal, deteksi preeklamsia yang lebih dini, dan penggunaan

magnesium sulfat profilaktik.

2.2.5 Diagnosis Banding

Diagnosis eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran. Dengan adanya

tanda dan gejala pre-eklampsia yang disusul oleh serangan kejangan seperti telah

diuraikan, maka diagnosis eklampsia sudah tidak diragukan. Walaupun demikian,

eklampsia harus dibedakan dari (1) epilepsi; dalam anamnesis diketahui adanya

serangan sebelum hamil atau pada hamil-muda dan tanda pre-eklampsia tidak ada;

(2) kejang karena obat anestesia; apabila obat anestesia lokal tersuntikkan ke

dalam vena, dapat timbul kejang; (3) koma karena sebab lain, seperti diabetes,

perdarahan otak, meningitis, ensefalitis, uremia, keracunan.2

2.2.6 Pemeriksaan Penunjang

Pengukuran berbagai penanda biologis biokimiawi, dan biofisik yang

terlibat dalam patofisiologi preeklamsia di awal kehamilan atau selama kehamilan

1
telah diajukan sebagai cara untuk memprediksi timbulnya preeklamsia. Usaha-

usaha telah dilakukan untuk mengidentifikasi penanda dini plasentasi yang

terganggu, tergganggunya perfusi plasenta, aktivasi dan disfungsi sel endotel,

serta aktivasi sistem koagulasi.

1. Velosimetri Doppler Arteria Uterina

Invasi trofoblastik yang abnormal pada arteria spiralis, menyebabkan

berkurangnya perfusi plasenta dan meningkatnya tahanan terhadap aliran balik

pada arteria uterina. Bertambahny velosimetri arteria uterina yang ditentukan

dengan ultrasonografi Doppler, pada trimester pertama atau kedua seharusnya

dapat memberikan bukti tak langsung proses ini sehingga berperan sebagai uji

prediktif untuk preeklamsia, meningkatnya tahanan aliran menyebabkan

timbulnya pola gelombang abnormal yang tampak sebagai bertambahnya takik

diastolik.

2. Asam Urat dalam Serum

Hiperurisemia kemungkinan terjadi akibat berkurangnya bersihan

asam urat karena menurunnya filtrasi glomerulus, bertambahnya reabsorpsi di

tubulus dan menurunnya sekresi. Sebagian besar kalangan menggunakan

kadar asam urat untuk memprediksi preeklamsia.

3. Mikroalbuminuria

Sejumlah peneliti telah mengevaluasi nilai potensial mikroalbuminuria

sebagai pemeriksaan yang dapat memprediksi preeklamsia. Sensitivitas

mikroalbuminuria berkisar dari 7 hingga 90%, dan spesifitasnya berkisar dari

29 dan 97 persen.

1
4. Fibronektin

Fibronektin dilepaskan dari sel sendotel dan matriks ekstrasel setelah

terjadinya cedera endotel. Lebih dari 20 tahun yang lalu Stubbs dkk,

melaporkan bahwa kadar fibronektin dalam plasma meningkat pada

perempuan dengan preeklamsia.

2.2.7 Gejala Klinik

Pada umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya pre-eklampsia

dan terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan,

mual keras, nyeri di epigastrium, dan hiperrefleksia. Bila keadaan ini tidak dikenal

dan tidak segera diobati, akan timbul kejang; terutama pada persalinan bahaya ini

besar. Konvulsi eklampsia dibagi dalam 4 tingkat, yaitu :2

1. Tingkat awal atau aura (Tingkat Invasi). Keadaan ini berlangsung kira-

kira 30 detik. Mata penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar

demikian pula tangannya, dan kepala diputar ke kanan atau ke kiri.2

2. Kemudian timbul tingkat kejangan tonik (Tingkat Kontraksi) yang

berlangsung kurang lebih 30 detik. Dalam tingkat ini seluruh otot menjadi

kaku, wajahnya kelihatan kaku, tangan menggenggam, dan kaki

membengkok ke dalam. Pernapasan berhenti, muka mulai menjadi

sianotik, lidah dapat tergigit.2

3. Stadium ini kemudian disusul oleh tingkat kejangan klonik (Tingkat

Konvulsi) yang berlangsung antara 1 – 2 menit. Spasmus tonik

menghilang. Semua otot berkontraksi dan berulang-ulang dalam tempo

yang cepat. Mulut membuka dan menutup dan lidah dapat tergigit lagi.

Bola mata menonjol. Dari mulut ke luar ludah yang berbusa, muka

1
menunjukkan kongesti dan sianosis. Penderita menjadi tak sadar. Kejang

klonik ini dapat demikian hebatnya, sehingga penderita dapat terjatuh dari

tempat tidurnya. Akhirnya, kejangan terhenti dan penderita menarik napas

secara mendengkur.2

4. Sekarang ia memasuki tingkat koma. Lamanya ketidaksadaran tidak selalu

sama secara perlahan-lahan penderita menjadi sadar lagi, Kalau pasien

sadar kembali maka ia tidak ingat sama sekali apa yang telah terjadi,

lamanya coma dari beberapa menit sampai berjam-jam, akan tetapi dapat

terjadi pula bahwa sebelum itu timbul serangan baru dan yang berulang,

sehingga ia tetap dalam koma.2

Selama serangan tekanan darah meninggi, nadi cepat, dan suhu meningkat

sampai 40 derajat Celcius. Sebagai akibat serangan dapat terjadi komplikasi-

komplikasi seperti (1) lidah tergigit; perlukaan dan fraktura; (2) gangguan

pernapasan; (3) solusio plasenta; dan (4) perdarahan otak.2

Sebab kematian eklampsia ialah : oedeme paru-paru, apoplexia dan accidosis.

Atau pasien mati setelah beberapa hari karena pneumonia aspirasi, kerusakan hati

dan gangguan faal ginjal. Kadang-kadang terjadi eklampsia tanpa kejang, gejala

yang menonjol adalah koma. Eklampsia semacam ini disebut ”eclampsia sine

eclampsi”, dan terjadi pada kerusakan hati yang berat. Pernafasan biasanya cepat

dan berbunyi, pada eklampsia yang berat ada cyanosis.

Setelah persalinan keadaan pasien berangsur baik, kira-kira dalam 12-24

jam. Juga kalau anak mati di dalam kandungan sering kita lihat bahwa beratnya

penyakit akan berkurang. Proteinuri hilang dalam 4-5 hari sedangkan tensi normal

kembali kira-kira 2 minggu.

1
2.2.8 Patofisiologi

Vasokonstriksi merupakan dasar patogenesis Preeklampsi-eklampsi.

Vasokonstriksi menimbulkan peningkatan total perifer resisten dan menimbulkan

hipertensi. Adanya vasokonstriksi juga akan menimbulkan hipoksia pada endotel

setempat, sehingga terjadi kerusakan endotel, kebocoran arteriole disertai

perdarahan mikro pada tempat endotel. Vasokonstriksi arteri spiralis akan

menyebabkan terjadinya penurunan perfusi uteroplasenter yang selanjutnya akan

menimbulkan maladaptasi plasenta. Hipoksia/anoksia jaringan merupakan sumber

reaksi hiperoksidase lemak, sedangkan proses hiperoksidasi itu sendiri

memerlukan peningkatan konsumsi oksigen, sehingga dengan demikian akan

mengganggu metabolisme di dalam sel Peroksidase lemak adalah hasil proses

oksidase lemak tak jenuh yang menghasilkan hiperoksidase lemak

jenuh.Peroksidase lemak merupakan radikal bebas.Apabila keseimbangan antara

perok-sidase terganggu, dimana peroksidase dan oksidan lebih domi-nan,maka

akan timbul keadaan yang disebut stess oksidatif.4

Pada Preeklampsi-eklampsi serum anti oksidan kadarnya menurun dan

plasenta menjadi sumber terjadinya peroksidase lemak. Sedangkan pada wanita

hamil normal, serumnya mengandung transferin, ion tembaga dan sulfhidril yang

berperan sebagai antioksidan yang cukup kuat. Peroksidase lemak beredar dalam

aliran darah melalui ikatan lipoprotein. Peroksidase lemak ini akan sampai

kesemua komponen sel yang dilewati termasuk sel-sel endotel yang akan

mengakibatkan rusaknya sel-sel endotel tersebut. Rusaknya sel-sel endotel

tersebut akan meng-akibatkan antara lain :4

1
 Adesi dan agregasi trombosit,

 Gangguan permeabilitas lapisan endotel terhadap plasma

 Terlepasnya enzim lisosom, tromboksan dan serotonin sebagai akibat dai

rusaknya trombosit

 Produksi prostasiklin terhenti

 Terganggunya keseimbangan prostasiklin dan tromboksan

 Terjadi hipoksia plasenta akibat konsumsi oksigen oleh peroksidase

2.2.9 Penatalaksanaan

Perawatan dara eklampsia yang utama ialah terapi suportif untuk

stabilisasi fungsi vital, yang harus selalu diingat Airway, Breathing, Circulation

(ABC), mengatasi dan mencegah kejang, mengatasi hipoksemia dan asidemia

mencegah trauma pada pasien pada waktu kejang, mengendalikan tekanan darah,

khususnya pada waktu krisis hipertensi, melahirkan janin pada waktu yang tepat

dan dengan cara yang tepat.1

Perawatan medikamentosa dan perawatan suprotif eklampsia, merupakan

perwatan yang sangat penting. Tujuan utama pengobatan medikamentosa

eklampsia ialah mencegah dan menghentikan kejang, mencegah dan mengatasi

penyulit, khususnya hipertensi krisis, mencapai stabilisasi ibu seoptimal mungkin

sehingga dapat melahirkan janin pada saat dan dengan cara yang tepat. 1

1. Mengendalikan Kejang

Pada kasus preeklamsia yang lebih berat, juga kasus eklamsia,

magnesium sulfat yang diberikan secara parenteral merupakan antikonvulsan

yang efektif dan tidak menimbulkan penekanan sistem saraf pusat pada ibu

maupun janin. Magnesium sulfat dapat diberikan secara intravena melalui

1
infus kontinu atau secara intramuskular melalui injeksi berkala. Dosis untuk

preeklamsia berat adalah sama dengan dosis untuk eklamsia. Karena

persalinan dan pelahiran merupakan saat yang paling mungkin untuk

terjadinya kejang, perempuan dengan preeklamsia-eklamsia biasanya

diberikan magnesium sulfat selama persalinan dan 24 jam pascapartum. 2

Kejang eklamtik hampir selalu dicegah atau dihentikan oleh kadar

magnesium dalam plasma yang dipertahankan pada kisaran 4,8-8,4 mg/dL.

Refleks patella menghilang jika kadar plasma mencapai sekitar 10 meq/L atau

12 mg/dL, tanda ini merupakan peringatan akan terjadinya keracunan

magnesium. Jika kadar plasma meningkat melebihi 10 meq/L, pernapasan

melemah, dan pada kadar≥ 12 meq/L terjadi paralisis pernapasan yang diikuti

dengan henti napas. 2

Terapi dengan kalsium glukonat atau kalsium klorida 1 g intravena,

disertai dengan penghentian magnesium sulfat, biasanya memulihkan depresi

napas ringan hingga sedang. Untuk depresi napasyang berat dan henti napas,

intubasi trakea segera dan ventilasi mekanis dapat menyelamatkan jiwa. 2

2. Mengendalikan hipertensi

Hipertensi yang berbahaya dapat menyebabkan perdarahan

serebrovaskuler, ensefalopati hipertensif, dan dapat memicu kejang eklamtik

pada perempuan dengan preeklamsia. Komplikasi lainnya meliputi gagal

jantung kongestif afterload dan solusio plasenta. 2

Karena itu, National High Blood Pressure Education Program Working

Group secara khusus merekomendasikan bahwa tatalaksana mencakup

penurunan tekanan darah sistolik hingga ≤ 160 mmHg.Berdasarkan hasil

1
pengamatan, terapi antihipertensi diberikan pada perempuan yang memiliki

tekanan darah sistolik ≥ 160mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 110

mmHg.2

Terdapat beberapa obat yang tersedia untuk menurunkan tekanan darah

yang sangat tinggi secara cepat pada perempuan dengan penyakit hipertensi

gestational. Tiga obat utama yang paling sering digunakan di Amerika Utara

dan Eropa adalah hydralazine, labetalol, dan nifedipine. Selama bertahun-

tahun hydralazine parenteral merupakan satu-satunya diantara ketiga obat ini

yang tersedia. Namun, saat ditemukannya labetalol parenteral, banyak yang

beranggapan bahwa obat ini sama efektifnya dengan hydralazine untuk

penggunaan obstetris. Kemudian ditemukan nifedipine yang diberikan per

oral, dan obat ini menjadi sangat populer sebagai terapi lini pertama untuk

hipertensi gestational berat. 2

Hydralazine diberikan secara intravena dalam dosis inisial 5 mg,

diikuti dengan dosis 5 hingga 10 mg dalam interval 15-20 menit hingga

tercapainya respons yang diharapkan. Respons sasaran antepartum atau

intrapartum adalah penurunan tekanan darah diastolik hingga 90-100 mmHg,

tetapi tidak lebih rendah dari ini agar tidak terjadi perburukan perfusi

plasental. Hydralazine yang diberikan dengan cara tadi telah terbukti sangat

efektif dalam mencegeha perdarahan otak. 2

Obat antihipertensif lain yang efektif dan lazim digunakan di Amerika

Serikat adalah labetalol intravena- penyekat α1 dan penyekat β nonselektif.

Sebagian ahli lebih memilih labetalol dibandingkan hydralazine karena efek

sampingya sedikit (Sibai, 2003). Sibai (2003) menganjurkan dosis labetalol 20

1
hingga 40 mg tiap 10-15 menit sebanyak yang diperlukan, dengan dosis

maksimum 220 mg per siklus terapi. 2

Nifedipine menjadi populer karen efektivitasnya dalam mengendalikan

hipertensi akut terkait kehamilan.

3. Terapi Cairan

Larutan ringer Laktat diberikan secar rutin dalam laju 60 ml hingga

tidak melebihi 125 ml per jam, kecuali terdapat kehilangan cairan berlebihan

akibat muntah, diare, atau diaforesis, atau yang lebih mungkin, kehilangan

darah dalam jumlah berlebihan akibat pelahiran. Oliguria umum dijumpai

pada preeklampsia berat. Jadi, bila digabungkan dengan pengetahuan bahwa

volume darah ibu kemungkinan berkurang dibandingkan pada kehamilan

normal, timbul keinginan untuk memperbanyak cairan intravena. Infus cairan

dalam jumlah besar akan menambah maldistribusi cairan ekstravaskular

sehingga meningkatkan resiko edema paru dan otak secara nyata. 2

4. Kelahiran

Untuk menghindari resiko pada ibu akibat pelahiran dengan bedah

caesar, awalnya dilakukan langkah-langkah untuk mencapai pelahiran per

vaginam pada perempuan dengan eklampsia. Setelah kejang, persalinan sering

kali maju secara spontan atau dapat berhasil diinduksi bahkan pada perempuan

yang masih jauh dari aterm sekalipun. Penyembuhan cepat tidak langsung

terjadi setelah pelahiran melalui jalan apapun, tetapi morbiditas berat saat

masa nifas lebih jarang terjadi pada perempuan yang melahirkan per vagina.

Sikap terhadap kehamilan ialah semua kehamilan dengan eklampsia

harus diakhiri, tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin.

2
Persalinan diakhiri bila sudah mencapai stabilisasi (pemuliham hemodinamika

dan metabolisme ibu. Pada perawatan pascapersalinan, bila persalinan terjadi

pervaginam, monitoring tanda-tanda vital dilakukan sebagaimana lazimnya.

2.2.10 Komplikasi

Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah

melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita pre-eklampsia dan eklampsia.

Komplikasi yang tersebut di bawah ini biasanya terjadi pada pre-eklampsia berat

dan eklampsia.3

1. Solusio plasenta. Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu yang menderita

hipertensi akut dan lebih sering terjadi pada pre-eklampsia. Di Rumah Sakit

Dr. Cipto Mangunkusumo 15,5% solusio plasenta disertai pre-eklampsia.3

2. Hipofibrinogenemia. Pada pre-eklampsia berat Zuspan (1978) menemukan

23% bipofibrinogenemia, maka dari itu penulis menganjurkan pemeriksaan

kadar fibrinogen secara berkala.3

3. Hemolisis. Penderita dengan pre-eklampsia berat kadang-kadang

menunjukkan gejala klinik hemolisis yang dikenal karena ikterus. Belum

diketahui dengan pasti apakah ini merupakan kerusakan sel-sel hati atau

destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal hati yang sering ditemukan

pada autopsi penderita eklampsia dapat menerangkanikterus tersebut.3

4. Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian

maternal penderita eklampsia.3

5. Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung

sampai seminggu, dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina;

hal ini merupakan tanda gawat akan terjadinya apopleksia serebri.3

2
6. Edema paru-paru. Zuspan (1978) menemukan hanya satu penderita dari 69

kasus eklampsia, hal ini disebabkan karena payah jantung.3

7. Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada pre-eklampsia-eklampsia

merupakan akibat vasopasmus arteriol umum. Kelainan ini diduga khas untuk

eklampsia, tetapi ternyata juga ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-

sel hati dapat diketahui dengan pemeriksaan faal hati, terutama penentuan

enzim-enzimnya.3

8. Sindroma HELLP. Yaitu haemolysis, elevated liver enzymes, dan low platelet

count.3

9. Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu

pembengkakan sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur

lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.3

10. Komplikasi lain. Lidah tergigit, trauma dan frakura karena jatuh akibat kejang-

kejang pneumonia aspirasi, dan DIC (disseminated intravascular

coogulation).3

11. Prematuritas, dismaturitas dan kematian jani intra-uterin.3

2.2.11 Pencegahan

Pada umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah, atau frekuensinya

dikurangi. Usaha-usaha untuk menurunkan frekuensi eklampsia terdiri atas :3

1. Meningkatkan jumlah balai pemeriksaan antenatal dan mengusahakan

agar semua wanita hamil memeriksakan diri sejak hamil-muda;

2. Mencari pada tiap pemeriksaan tanda-tanda pre-eklampsia dan

mengobatinya segara apabila ditemukan;

2
3. Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan 37 minggu ke

atas apabila setelah dirawat tanda-tanda pre-eklampsia tidak juga dapat

dihilangkan.

2.2.12 Prognosis

Bila penderita tidak terlambat dalam pemberian pengobatan, maka gejala

perbaikan akan tampak jelas setelah kehamilannya diakhiri. Segera setelah

persalinan berakhir perubahan patofisiologik akan segera pula mengalami

perbaikan. Diuresis terjadi 12 jam kemudian setelah persalinan. Keadaan ini

merupakan tanda prognosis yang baik, karena hal ini merupakan gejala pertama

penyembuhan. Tekanan darah kembali nprmal dalam beberapa jam kemudian. 5

Eklampsia tidak mempengaruhi kehamilan berikutnya, kecuali pada janin dari ibu

yang sudah tidak mempunyai hipertensi kronik. Prognosis janin pada penderita

eklampsia juga tergolong buruk. Seringkali janin mati intrauterin atau mati pada

fase neonatal karena memang kondisi bayi sudah sangat inferior.

2.3. Sindroma HELLP

Terminologi ini diperkenalkan oleh Weinsten tahun 1982 yang merupakan

kumpulan gejala multisistem dengan karakteristik anemia hemilitik,

mikroangiopati, gangguan fungsi hepar dan trombositopenia. Sindroma ini

terdapat pada 10% dari pasien PE.8

Hemolisis belum diketahui penyebabnya, kemungkinan disebabkan oleh

kerusakan sel hati yang mengakibatkan kenaikan kadar produk penghancuran

fibrin, menyebabkan penurunan kadar dari faktor pembekuan darah di plasma dan

terjadinya trombositopenia ataupun hemolisis disebabkan eritrosit mengalami

trauma sehingga berubah bentuknya dan cepat mengalami hemolisis.8

2
Kenaikan dari kadar enzim hepar akibat dari nekrosis hemoragia periportal

pada bagian lobulus hepar. Perdarahan dari lesi ini dapat meluas ke bawah kapsula

hepar dan membentuk hematoma subkapsuler dapat berlanjut menjadi ruptur dari

kapsul hepar yang fatal dan memerlukan tindakan bedah. Trombositopenia akibat

dari vasospasme berat menyebabkan pecahnya lapisan endotel yang disertai

dengan perlengketan trombosit dan penimbunan fibrin ataupun akibat dari proses

imunologis. Trombositopenia berat <100.000 per µl merupakan tanda buruk bagi

ibu hamil.8

Diagnosis sindroma HELLP yaitu:

 Didahului tadna dan gejala yang tidak khas malaise, lemah, nyeri kepala,

mual, muntah (semuanya ini mirip tanda dan gejala infeksi virus)

 Adanya tanda dan gejala preeklampsia

 Tanda-tanda hemolisis intravaskular: kenaikan LDH, AST, dan bilirubin

indirek

 Tanda kerusakan/disfungsi sel hepatosit hepar: kenaikan ALT, AST, LDH

 Trombositopenia ( trombosit ≤ 150.000/ml)

 Semua perempuan hamil dengan keluhan nyeri pada kuadran atas abdomen,

tanpa memandang ada atau tidaknya tanda dan gejala preeklampsia, harus

dipertimbangkan sindroma HELLP

Diagnosis dini sangat penting pada sindroma HELLP. Pengobatan

sindroma HELLP juga harus memperhatikan cara-cara perawatan dan pengelolaan

pada preeklampsia dan eklampsia. Pemberian cairan intravena harus sangat hati-

hati karena sudah terjadi vasospasme dan kerusakan endotel. Cairan yang

diberikan adalah RD 5%, bergantian RL 5% dengan kecepatan 100 ml/jam dengan

2
produksi urin dipertahankan sekurang-kurangnya 20 ml/jam. Bila hendak

dilakukan seksio sesaria dan bila trombosit < 50.000/ml, maka perlu diberi

transfusi trombosit. Bila trombosit < 40.000/ml, dan akan dilakukan seksio sesaria

maka perlu diberi transfusi darah segar. Dapat pula diberikan plasma exchange

dengan fresh frozen plasma dengan tujuan menghilangkan sisa-sisa hemolisis

mikroangiopati.

Doublestrength dexamethasone diberikan 10 mg IV tiap 12 jam segera

setelah diagnosis sindroma HELLP ditegakkan. Kegunaan doublestrength

dexamethasone ialah untuk (1) kehamilan preterm, meningkatkan pematangan

paru janin, dan (2) untuk sindroma HELLP sendiri dapat mempercepat perbaikan

gejala klinik dan laboratorik.

Pada sindroma HELLP post partum diberikan deksametason 10 mg IV

setiap 12 jam 2 kali, disusul pemberiam 5 mg deksametason 2 x selang 12 am

(tappering off).

Perbaikan gejala klinik setelah pemberian deksametason dapat diketahui

dengan: meningkatnya produksi urin, trombosit > 100.000/ml, menurunnya

tekanan darah, menurunnya kadar LDH, dan AST. Bila terjadi ruptur hepar

sebaiknya segera dilakukan pembedahan lobektomi.

Sikap terhadap kehamilan pada sindroma HELLP, tanpa memandang umur

kehamilan, harus segera diakhiri. Persalinan dapat dilakukan secara pervaginam

maupun perabdominam. Perlu diperhatikan adanya gangguan pembekuan darah

bila hendak melakukan anestesi regional (spinal).

2
BAB III

LAPORAN

KASUS

I. IDENTIFIKASI

Identitas Pasien

◾ Nama : Ny. M.F

◾ Usia : 37 tahun

◾ Jenis kelamin : Perempuan

◾ No. rek. Medis : 22 15 43

◾ MRS : 01-12-2021, pukul 06.00 wib

◾ Diagnosa MRS : G4P3A0H3 gravid 28-29 minggu +

eklampsia + susp HELLP syndrome

◾ Masuk ICU : 01-12-2021, pukul 14.00 wib

◾ Diagnosa : Post SC a/i G4P3A0H1 gravid 27-28 minggu +

eclampsia + HELLP syndrome

Anamnesa:

Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan kejang sebanyak 4 kali di

rumah, ± 8 jam sebelum masuk rumah sakit, dari keterangan keluarga pasien

kejang selama 5 menit dan kejang di seluruh tubuh, mual (+), muntah (+)

sebanyak 2x, demam (-) batuk (-) pilek (-) nyeri kepala (+), gusi berdarah (+)

riwayat kejang sebelum nya (-), riwayat hipertensi (-),riwayat PEB sebelum ny(-)

2
Pemeriksaan fisik:

Pemeriksaan fisik di PONEK IGD (1-12-2021) jam 06.00

▣ TD 210/110 mmHg, Nadi 92x/mnt

▣ RR 24x/mnt, suhu 36,8ºC

▣ BB: 85 kg, TB: 160 cm

▣ DJJ (+) : 170 – 180 x/m

Terapi:

1. Inj. MgSO4 20% 10 cc

2. MgSO4 40% 20 cc dalam cairan RL 500 cc

3. Pasang kateter

4. Konsul dr.Helwi spOG

5. Inj, kataprel 1 amp + aquadest 10 cc, bolus iv 5cc setelah 5 menit + ulang 1

jam kemudian

Pemeriksaan fisik di PONEK IGD (1-12-2021) jam 06.00

 Frekuensi pernafasan 24 x/m, irama reguler, Suara dasar: Vesikuler, Suara

Tambahan: tidak ada, SpO2: 93%

 Tekanan darah: 210/110 mmHg, Frekuensi nadi: 97 x/m, regular, kuat

angkat, Pemeriksaan Jantung : Bunyi I/II : murni, irama regular, bising

jantung (-)

 GCS 13 (E3M5V5) Mata pupil isokor , diameter pupil 2mm/2mm,

 Refleks cahaya (+)

 Urine dengan terpasang urine kateter, dengan warna urin kemerahan

 Supel (+), peristaltik (+), gravid(+)

 Edema (+/+)

2
 Akral hangat,crt <2 detik

Hasil Laboratorium tanggal 1/12/2021 : (Ponek IGD)


Hb: 15,0 gr/dl SGOT 149 U/L (H)
Eritrosit 4,99 106/mm3 SGPT 87 U/L (H)
Hematokrit 42.6 % Ur: 42 mg/dl (H)
Leukosit 10.5 103/mm3 (H) Cr: 1,07 mg/dl
Trombosit 140 10 /mm3 3
Alb: 3,14 gr/dl (L)
Basofil 0 % PT: 9,40 detik (L)
Eosinofil 0% (L) aPTT: 24,80 detik
Neutrofil 78% (H) anti HIV : Non Reaktif
Limfosit 16 (L) TPHA : Non Reaktif
Monosit 6 % HbsAg : Non Reaktif
Glukosa darah: 137 mg/dl Protein urine +3
SGOT: 140 U/L (H)
SGPT: 81 U/L (H)

Dx: G64P3A01H3 gravid 28-29 minggu + eklampsia + susp HELLP Syndrome


Terapi:
1. Pemberian O2 4 l/m via Nassal canul
2. Pasien miring ke kiri
3. Dipasang infus dengan abocath 18 G, dengan cairan RL 28 tpm
4. Takar urine/ jam
5. Lanjut puasa
6. Premedikasi dengan ranitidin 50 mg iv, inj metochlorpamid 10 mg iv
7. Inj antibiotik profilaksis, inj cefotaxim 1 gram 1 jam pre op
8. Siap darah PRC 2 unit
Dilakukan operasi SCTPP dengan anestesi SPINAL , Lahir bayi laki-laki.
Intra op pasien dengan hemodinamik tidak stabil dengan kesadaran apatis. Pasien
ditransfer ke ICU

2
Pemeriksaan di ICU hari 1 tanggal 1/12/2021 jam 12.30
S : Pasien Meracau, dan Gelisah Terapi
O: Awasi tanda vital dan balance
 RR 17x/menit, Rh(-/-), Wh(-/-), cairan RL + drip oxytoan 10 iv / 8
SpO2 96% jam
 TD 170/114 mmHg , Nadi 92 Syr mgSO4 1 gram / jam iv
x/menit Ketorolac 3 x 30 mg iv
 GCS E3M5V5(13) pupil bulat Tramadol 100 mg / 8 jam iv drip
isokor, RC(+/+) diameter 2,5 Ondansentron 3 x 4 mg iv
mm/2,5 mm Omeprazole 1 x 40 mg iv
 Urin spontan perkateter, urin Dexametason 4 x 10 mg iv
output 0 cc/jam ( tapering off)
 Distensi (-), Peristaltik (+) Nipedipin 4 x 10 mg po ( bila td > 140
normal, soepel, H/L tidak teraba mmHg )
 oedema (-) fr (-) Methyldopa 3 x 500 mg
Assesment Diazepam 3 x 5 mg
Gangguan ventilasi spontan E1 ceftriaxon 2 x 1 gr
Resiko infeksi Inj. Furosemide 40 mg
Gangguan rasa nyaman : nyeri Syr propofol 30 mg / jam ekstra
Planning
Monitor ttv
Monitor pendarahan
Rawat luka dengan teknik aseptic
Monitor balance cairan
Monitor pendarahan pervaginaan
Periksa lab

2
Pemeriksaan penunjang
Hb: 14,7 gr/dl Ur: 53 mg/dl (H)
Eritrosit 4,79 106/mm3 Cr: 0,95 mg/dl
Hematokrit 41.1 % Alb: 2,77 gr/dl (L)
Leukosit 20.6 103/mm3 (H) PT: 9,30 detik (L)
Trombosit 75 103/mm3 (L) aPTT: 24,80 detik
Glukosa darah: 183 mg/dl
SGOT: 140 U/L (H)
SGPT: 81 U/L (H)
Bilirubin total 1,44 mg/dl (H)
Bilirubin direk 0,42 mg/dl (H)
Bilirubin indirek 1,02 mg/dl (H)
Kratinin 0.95 mg/Dl

Diagnosa:
1. Post op SC a/i eklamsi + HELLP Syndrome
Pemeriksaan di ICU hari 1 tanggal 1-12-2021
jam 22.07
- Nafas : 42 x / I
- Pasien apnea  begins
- Inj. SA 2 Amp
Jam 22.10
- Nadi tidak teraba
- TD 170/102  RJP
- Inj epinefrin
Jam 22:35
- Nadi tidak teraba
- Nafas tidak ada
- EKG asystole
Pasien di nyatakan meninggal di hadapan petugas dan keluarga

3
BAB 4
ANALISA KASUS

Seorang wanita, Ny.MF, usia 37 tahun, G4P3A0H3 datang ke ponek IGD

RSUD M.Natsir pada tanggal 1 Desember 2021 pukul 06 : 00 WIB dengan

keluhan kejang 4 kali selama di rumah ±8 jam yang lalu smrs, kejang di seluruh

tubuh dengan durasi 5 menit.

Pemeriksaan fisik didapati tekanan darah 210/110mmHg. RR 30x/mnt,

suhu 36,8ºC BB: 85 kg, TB: 160 cm Pemeriksaan obstetrikus dengan kesan PK,

AH dan DJJ 170-180 kali/menit. Pemeriksaan ginekologis dengan kesan cervix

tertutup.

Hasil USG-TAS dengan kesan IUP (28-29)mgg + PK + AH. Hasil

laboratorium dengan kesan peningkatan enzim hati dan peningkatan LDH.

Pemeriksaan urin dengan kesan proteinuria +3. Sehingga pasien di diagnosa

dengan Eklampsia dan sindroma HELLP. Setelah dilakukan stabilisasi, namun

kondisi semakin memburuk, maka diputuskan untuk dilakukan SC Cito, lahir bayi

laki – laki , BB 1200 gr, PB 42 cm . A/S : 6/9, anus (+).

DISKUSI KASUS
TEORI KASUS
 Eklamsia ialah preeklampsia  Pada kasus ini ditemukan
dengan tekanan darah sistolik ≥140 tekanan darah saat masuk
mmHg dan tekanan darah diastolik 210/110 mmHg disertai
≥90 mmHg disertai proteinuria proteinuria (+++), pasien kejang
lebih 5g/24 jam serta kejang sebanyak 4 kali dan pasien
selama 60- 90 detik dengan gelisah dan tampak kebingungan
postical state pada pasien tidak ditemukan
riwayat hipertensi sebelumnya
 Disebut preeklampsia berat dengan  Pasien mengeluhkan mual
impending eclampsia bila muntah 2x sebelum masuk RS
preeklampsia berat disertai gejala- sehingga OS didiagnosa dengan

3
TEORI KASUS
gejala subjektif berupa nyeri kepala eklamsia, dan nyeri kepala,
hebat, gangguan visus, muntah- pasien juga mengalami kejang
muntah, nyeri epigatrium, dan
kenaikan progresif tekanan darah  Pada kasus ini, dari hasil
 HELLP syndrome pada umumnya pemeriksaan laboratorium
digunakan 2 klasifikasi. Klasifikasi didadapati trombosit
pertama adalah klasikasi Tennessee 140.000/mm3, SGOT 149 U/I,
System yang didasarkan pada SGPT 87 U/I dan LDH 1658
penilaian parameter atau U/I, sehingga OS didiagnosis
berdasarkan jumlah kelainan dengan eklamsia + sindroma
sebagai adalah berikut ; AST > HELLP, kemudian dilakukan
70UI/L, LDH > 600UI, Trombosit stabilisasi, namun kondisi tetap,
< 100.000/mm3 maka diputuskan untuk dilakukan
SC Cito, lahir bayi laki , BB
 Pasien harus ditangani di unit 1200 gr, PB 42 cm . A/S : 6/9,
perawatan intensif (Intensive Care anus (+).sehingga dilakukan
Unit/ICU) dengan pemantauan terminasi kehamilan yaitu sectio
ketat terhadap semua parameter caesaria
hemodinamik dan cairan untuk
mencegah udem paru dan atau
kelainan respiratorik. Transfusi  Pasien di transfer dari ruang ok
trombosit diindikasikan baik pacsa sc ke icu, di karenakan
sebelum maupun sesudah pasien mengalami penurunan
persalinan, jika hitung trombosit < kesadaran, dan ketidak stabilan
20.000/mm3. hemodinamik, dalam kasus ini
belum ada tanda trombositopenia
sehingga trf pcr belum di
butuhkan, pengawasan ttv pasien
dan terapi di sangat di awasi

 Perawatan pada eklampsia yang


utama ialah terapi suportif untuk
stabilisasi fungsi vital, yang harus
selalu diingat Airway, Breathing,
Circulation (ABC), mengatasi dan
mencegah kejang, mengatasi
hipoksemia dan asidemia mencegah
trauma pada pasien pada waktu
kejang, mengendalikan tekanan
darah, khususnya pada waktu krisis
hipertensi, melahirkan janin pada
waktu yang tepat dan dengan cara
yang tepat

3
TEORI KASUS
 Penderita eklamsia harus dirawat  Pada pasien ini di lakukan SC
inap dan dipasang foley catheteter Cito pada jam 10.00 dan selesai
untuk mengukur pengeluaran urin. 11:15 dan pasien langsung di
Medikamentosa yang diberikan transfer ke ruangan icu guna
yaitu anti-konvulsan dan anti observasi pemulihan lebih lanjut
hipertensi pasca sc pasien pantau monitor
ttv nya tiap 1 jam sekali di
ruangan icu, di berikan syr
mgSO4 1 gram / jam iv untuk
mengontrol kejang, dan inj
nipedipin 4 x 10 mg bila TD >
140 mmHg

 Indikasi dilakukannya perawatan  Pada pasien ini telah dilakukan


aktif pada ibu antara lain pemasangan kateter dan
kehamilan>37 minggu, impending pemberian medikamentosa
eklampsia, kegagalan pada berupa MgSO4 20%, 1 g / jam iv
perawatan konservatif, dan HELLP pada maintenance dose dan
Syndrome pemberian antihipertensi yaitu
nifedipin
 Indikasi perawatan pada pasien
ini dengan eklamsia + HELLP
syndrome

3
DAFTAR PUSTAKA

1. Gant C, Gilstrap L, Wenstrom H. Hypertensive disorders in pregnancy. In:


Williams Obstetrics. 21stEd. New York: McGraw-Hill. 2001: pp. 567-609
2. Lim, Kee-Hak. Preeclampsia. 2014. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1476919-overview. [Accesed 15th
June 2015]
3. Chappel, S. Morgan,L. Searching for genetic clues to the causes of
preeclamsia. Clinical Science. 2006: 443-458
4. Powe, CE. Levine, RJ. Karumanchi SA. Preeclampsia, a Disease of the
Maternal Endothelium. The Role of Antiangiogenic Factors and
Implications for Later Cardiovascular. 2011. Available at http://circ.aha
journals.org/content/123/24/2856.full.pdf+html. [Accesed 15th June 2015]
5. Depkes RI. Survei Kesehatan Rumah Tangga. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI. 2001.
6. National Institute for Health and Clinical Excellence. Hypertension in
pregnancy : The management of hypertensive disorders during pregnancy.
2011. Available at http://www.nice.org.uk/guidance/cg107/resources/
guidance-hypertension-in-pregnancy-pdf [Accesed 15th June 2015]
7. Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka.
8. Tanjung, MT. Preeklampsia: Studi Tentang Hubungannya dengan Faktor
Fibrinolisis Ibu dan Gas Darah Tali Pusat. Medan: Pustaka Bangsa Press.
2004.
9. Indriani N. Analisis Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Preeklampsia/Eklampsia pada Ibu Bersalin di Rumah Sakit Umum Daerah
Kardinah Kota Tegal. 2011.
10. National Institute for Health and Clinical Excellence. Hypertension in
pregnancy : The management of hypertensive disorders during pregnancy.
2011. Available at http://www.nice.org.uk/guidance/cg107/resources/
guidance-hypertension-in-pregnancy-pdf [Accesed 9th February 2015]
11. World Health Organization. WHO recommendations for Prevention and
treatment of pre-eclampsia and eclampsia. 2011. Available at
http://www.hse.ie/eng/about/Who/clinical/natclinprog/obsandgynaeprogram
me/guideeclamspsia.pdf [Accesed 15th June 2015]
12. Impey, L., and Child, T. Hypertensive Disorders in Pregnancies. In: Impey,
L., editor. Obstetrics & Gynaecology. 3rd ed. Oxford: Blackwell Publishing,
2008: 165-169.

Anda mungkin juga menyukai