Disusun oleh :
Wahyu Darmawan
1510070100056
Preseptor :
SMF ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH M. NATSIR
SOLOK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
BAITURRAHMAH
SOLOK
2021
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan ekstrauterin merupakan
suatu kondisi yang kritis bagi neonatus baru lahir. Semua sistem tubuh mengalami
perubahan fisiologis yang kompleks saat proses persalinan. Perubahan yang
sangat penting bagi kelangsungan hidup neonatus adalah adaptasi dari paru-paru.
Saat intrauterin janin mendapatkan suplai oksigen melalui plasenta dan pembuluh
darah umbilikus. Paru-paru dipenuhi oleh cairan yang disekresikan oleh sel epitel
organ respirasi yang berfungsi untuk merangsang pertumbuhan paru-paru.1
Saat proses bernafas yang terjadi segera setelah lahir alveolar akan terisi
dengan udara untuk memulai pertukaran gas esktrauterin; secara simultan tekanan
pembuluh darah paru akan menurun sehingga meningkatkan aliran darah ke paru-
paru dan reabsorpsi cairan di paru. Pada neonatus prematur yang lahir <37
minggu sering mengalami ganggguan adaptasi karena paru yang masih imatur.
Sedangkan neonatus dengan late prematur (≦32 minggu) dan extreme premature
(≦28 minggu) harus beradaptasi dengan kondisi alveolus yang tidak berkembang
dengan adekuat yang umunya terjadi setelah usia gestasi lebih 32 minggu.1
Sebuah penelitian yang dilakukan di Italia menunjukkan bahwa 2,2% dari
semua neonatus baru lahir mempunyai komplikasi untuk gangguan respirasi,
sedangkan di India diperkirakan mencapai angka 6,7%. Masalah respirasi adalah
alasan utama untuk dirawatnya neonatus di unit neonatal baik neonatus aterm
maupun preterm. Insiden yang terjadi bervariasi 30% neonatus preterm, 20%
neonatus post-term dan 4% neonatus lahir aterm.2 Sebuah hasil penelitian
menunjukkan bahwa 33,3% dari semua neonatus yang berumur >28 minggu
dirawat dengan masalah respirasi sebagai keluhan utama. Penelitian lain
menemukan bahwa 20,5% dari semua neonatus yang dirawat mnenunjukkan
tanda-tanda distres napas. Data-data yang ada menunjukkan bahwa meningkatnya
angka rawatan pada bayi dengan masalah respirasi seiring dengan meningkatnya
angka kelahiran dengan sectio caesarea.1
Trasnsient tacypneu of the newborn (TTN) merupakan temuan tersering
yang menyebabkan distres napas, diikuti oleh aspirasi mekonium, penyakit
membran hialin, sepsis, dan asfiksia.2
Di Indonesia, sepertiga dari kematian bayi terjadi pada bulan pertama
setelah kelahiran dan 80% diantaranya terjadi pada minggu pertama dengan
penyebab utama kematian diantaranya adalah infeksi pernafasan akut dan
komplikasi perinatal. Pada suatu studi kematian neonatal di daerah Cirebon tahun
2006 disebutkan pola penyakit kematian neonatal 50% disebabkan oleh gangguan
pernapasan meliputi asfiksia bayi baru lahir (38%), respiratory distress (4%) dan
aspirasi (8%).3,4Meskipun angka-angka tersebut masih tinggi,Indonesia
sebenarnya telah mencapai tujuan keempat dari MDG, yaitu mengurangi tingkat
kematian anak. Dengan pencegahan dan penatalaksanaan yang tepat, serta sistem
rujukan yang baik, kematian neonatus khususnya akibat gangguan pernafasan
diharapkan dapat terus berkurang.3
1.2Batasan Masalah
Case report ini membahas tentang definisi, etiologi, patogenesis, diagnosis
dan penatalaksanaan respiratory distress.
1.3Tujuan Penulisan
Mengetahui definisi, etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan
respiratory distress.
1.4Metode Penulisan
Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang
merujuk dari berbagai literatur.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Respiratory distress adalah suatu keadaan meningkatnyausaha pernapasan
yang ditandai dengan takipnea, retraksi dinding dada, napas cuping hidung,
merintih atau grunting, sianosis atau apnea. Jenis respiratory distress yang paling
sering adalah transient tachypnea of the newborn(TTN),respiratory distress
syndrome (RDS) atau hyaline membrane disease(HMD)dan displasia
bronkopulmonar.5
Transient tachypnea of the newborn(TTN) merupakan salah satu jenis
respiratory distress,yang disebabkan oleh kerterlambatan reabsorpsi dan
pembersihan cairan paru. Respiratory distress syndrome (RDS) atau hyaline
membrane disease(HMD) merupakan jenis respiratory distress yang terjadi pada
neonatus prematur dengan usia gestasi kurang dari 34 minggu yang disebabkan
oleh defisiensi surfaktan dan immaturitas paru. Displasia bronkopulmonar
merupakan ketergantungan terapi oksigen yang persisten melebihi 28 hari
kehidupan neonatus.5,6,7
Penyebab respiratory distress lainnya adalah sindrom aspirasi mekonium
dan pneumonia neonatal. Sindrom aspirasi mekonium adalah tersumbatnya jalan
napas oleh mekonium yang mencemari cairan amnion. Pneumonia neonatal
merupakan infeksi parenkim paru yang terjadi pada bayi baru lahir yang
disebabkan oleh transmisi bakteri melalui plasenta atau aspirasi bakteri yang
terdapat di dalam cairan amnion.6,7
2.2 Epidemiologi
Gangguan respirasi pada masa perinatal yang paling sering ditemukan
adalah TTN yang merupakan 40% dari kejadian respiratory distress setelah lahir.
Insidennya didapatkan berkisar antara 4 hingga 11 kasus dalam 1000 kelahiran
hidup. Dalam sumber lain didapatkan bahwa TTN terjadi pada 5 atau 6 per 1000
kelahiran hidup.6,7
4
Respiratory distress syndrome (RDS) memiliki insiden sebanyak 91% pada
usia gestasi 23-25 minggu, 88% pada usia gestasi 26-27 minggu, 74% pada usia
gestasi 28-29 minggu dan 52% pada usia gestasi 30-31 minggu. Insiden penyakit
ini mengalami penurunan setelah meningkatnya penggunaan steroid masa
antenatal pada beberapa tahun ini. Penggunaan surfaktan yang semakin meningkat
juga menurunkan kejadian kematian akibat penyakit ini, yaitu menjadi kurang dari
6% seluruh kematian neonatus. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada laki-laki
kulit putih dan neonatus yang lahir dari ibu dengan diabetes mellitus.6,7
Pencemaran cairan amnion oleh mekonium terjadi pada 8 hingga 20% dari
seluruh persalinan. Ekskresi mekonium menggambarkan maturitas janin sehingga
keadaan pencemaran cairan amnion oleh mekonium berbanding lurus dengan
lamanya usia gestasi. Didapakan sebanyak 30% kasus pencemaran cairan amnion
oleh mekonium pada usia gestasi 42 minggu ke atas yang berbanding dengan
1,6% pada usia gestasi 34 hingga 37 minggu. Sindrom aspirasi mekonium hanya
terjadi sebanyak 5% dari kejadian pencemaran cairan amnion oleh mekonium.
Sumber lain menyebutkan bahwa insiden sindrom aspirasi mekonium hanya
sebesar 1%.6,7
Displasia bronkopulmonar jenis respiratory distress yang jarang terjadi.
Kejadian displasia bronkopulmonar dipengaruhi oleh banyak faktor risiko, dengan
faktor risiko terpenting adalah maturitas paru. Insiden dari penyakit ini meningkat
pada neonatus dengan berat lahir rendah, didapatkan terjadi sebanyak 30% pada
bayi dengan berat lahir di bawah 1000 gram.7
2.3 Patofisiologi
2.3.1 Perkembangan Paru Normal
Paru berasal dari embryonic foregutyang dimulai dengan perkembangan
bronkus utama pada usia 3 minggu kehamilan. Pertumbuhan paru berjalan kearah
kaudal menuju mesenkim sekitar, pembuluh darah, otot halus, tulang rawan dan
komponen fibroblas. Diikuti secara endodermal epitelium mulai membentuk
alveoli dan saluran pernapasan.5
Terdapat 4 stadium perkembangan paru, yaitu:5
A. Pseudoglandular (5-17 minggu)
Terjadi perkembangan percabangan bronkus dan tubulus asiner.
5
B. Kanalikuler (16-26 minggu)
Terjadi proliferasi kapiler dan penipisan mesenkim serta diferensiasi
pneumosit alveolar tipe II sekitar usia 20 minggu.
C. Sakuler (24-38 minggu)
Terjadi perkembangandan ekspansi rongga udara dan merupakan awal
pembentukan septum alveolar.
D. Alveolar (36 minggu-lebih 2 tahun setelah lahir)
Penipisan septum alveolar dan pembentukan kapiler baru.
Surfaktan dibentuk oleh sel epitel yang disebut pneumositalveolar tipe II
dimulai pada usia kehamilan 24-28 minggu. Setelah diproduksi, surfaktan akan
disimpan dalam badan lamellar dari pneumosit alveolar tipe II dan akan
disekresikan ke dalam alveolus. Komponen utama surfaktan ini adalah fosfolipid
(75%), sebagian besar terdiri dari dipamitylphosphatidylcholine
(DPPC).Surfaktanberfungsi untuk mengurangi tegangan permukaandanmenjaga
ekspansi dinding alveolus pada fase ekspirasi sehingga tidak kolaps pada akhir
pernafasan sehingga dapat menjaga sisa volume paru. Tanpa surfaktan alveoli
akan kolaps setiap saat setelah akhir setiap pernafasan yang menyebabkan sulit
bernafas. Produksi surfaktan juga akan menurun pada kasus hiperinsulinemia.5,7
2.3.2 Transient Tachypnea of the Newborn
Mekanisme utama dari TTN adalah keterlambatan resorpsi cairan dari paru-
paru. Adanya cairan tersebut menghambat pertukaran gas sehingga dikompensasi
dengan adanya usaha berlebih untuk bernapas. Faktor-faktor yang berperan dalam
keterlambatan resorpsi cairan paru-paru tersebut adalah:6,7
A. Kontraksi uterus
Proses resorpsi cairan paru diawali oleh perpindahan cairan di dalam
alveolus ke jaringan interstisial paru. Peristiwa ini dipengaruhi oleh adanya
tekanan transpulmoner. Tekanan transpulmoner adalah tekanan yang dihasilkan
pada saat proses inspirasi. Pada saat akhir inspirasi tekanan didalam alveolus
menjadi positif sehingga mampu mendorong cairan alveolus secara pasif ke
jaringan interstisial. Cairan ini akan diabsorpsi secara perlahan oleh pembuluh
darah dan pembuluh limfe. Tekanan transpulmoner ini akan meningkat pada saat
6
adanya kontraksi uterus. Hal inilah yang menyebabkan bayi-bayi yang dilahirkan
dengan cara seksio sesarea berisiko untuk mengalami TTN. Pada bayi yang
dilahirkan dengan cara seksio sesarea, bayi tidak mengalami fase fleksi pada saat
melewati jalan lahir. Kondisi ini menyebabkan bayi tidak mendapatkan tekanan
transpulmoner yang cukup karena tidak mendapatkan stress dari kontraksi uterus.
Kontraksi uterus juga akan meningkatkan tekanan tekanan intraabdominal yang
membantu mengeluarkan cairan paru melalui hidung dan mulut.
B. Kanal natrium sensitif amilorid yang inaktif atau immatur
Selama kehamilan epitel paru secara aktif mensekresikan cairan dan klorida
ke dalam alveoli. Pada saat persalinan, sejumlah katekolamin (adrenalin,
glukokortikoid) janin dilepaskan yang membuat peralihan dari sekresi aktif
klorida dan cairan menjadi absorpsi natrium. Pada persalinan dengan seksio
sesarea, janin kurang terpapar dengan kondisi stress sehingga pelepasan
katekolamin tidak sama dengan persalinan pervaginam. Kondisi kanal natrium
yang immatur atau inaktif karena sekresi katekolamin yang tidak maksimal
menyebabkan kegagalan penghambatan masuknya kembali cairan dari interstisial
paru ke dalam alveolus.
C. Immaturitas paru
Paru yang immatur ditandai oleh tidak adanya fosfatidilgliserol dan
defisiensi surfktan. Suatu studi menemukan bahwa defisiensi surfaktan relatif
menjadi salah satu penyebab terjadinya TTN. Hal ini disebabkan karena selain
fungsi surfaktan untuk menurunkan komplians paru, surfaktan juga berfungsi
untuk mencegah kembalinya cairan ke dalam alveoli.
D. Predisposisi genetik
Diduga terdapat faktor genetik yang berperan dalam terjadinya TTN karena
adanya riwayat TTN pada keluarga di beberapa kasus. Beberapa penelitian
menyebutkan adanya hiporesponsif dan polimorfik dari reseptor beta adrenergik
yang berperan dalam terjadinya TTN.
Faktor risiko lain yang diduga berperan pada terjadinya TTN adalah ibu
dengan diabetes dan asma. Peranan faktor ibu dengan diabetes adalah karena
tingginya angka persalinan seksio sesarea pada kelompok ini atau karena
penurunan pembersihan cairan dari paru janin.6,7
7
2.3.3 Respiratory Distress Syndrome
Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama dari RDS. Defisiensi
surfaktan akan menyebabkan kolapsnya alveolus pada fase ekspirasi yang akan
berlanjut menjadi atelektasis. Kerusakan sel akan terjadi secara progresif sehingga
menyebabkan terjadinya eksudasi material berisi protein dan debris-debris sel
yang menumpuk di dalam saluran napas. Hal ini akan mengurangi kapasitas total
paru secara langsung. Faktor lainnya yang berperan adalah kelemahan dinding
dada. Dinding dada pada bayi prematur bersifat lemah. Kondisi kolapsnya
alveolus menyebabkan usaha yang lebih dari bayi untuk bernapas sehingga
dikompensasi dengan adanya retraksi dinding dada. Hal ini akan menyebabkan
deformitas pada dinding dada sehingga akan menurunkan komplians paru. Selain
dua faktor di atas, bayi prematur dengan usia gestasi di bawah 30 minggu juga
memiliki masalah yang lain, yaitu ketidakmampuan untuk menciptakan tekanan
intrathoraks yang dibutuhkan untuk mengembangkan paru.5,6,7
2.3.4 Aspirasi Mekonium
Mekonium terdiri atas sel epitel, rambut janin, mukus, empedu dan
komponen proinflamasi. Pasase mekonium bergantung pada hormonal dan
maturitas saraf parasimpatik. Mekanisme pasti terjadinya pasase mekonium di
dalam rahim belum diketahui, tetapi dicurigai terdapat 2 faktor yang
mempengaruhinya yaitu fetal distress dan stimulasi vagal. Setelah terjadinya
pasase mekonium intrauterin, respirasi yang dalam dan ireguler atau gasping yang
terjadi sebagai kompensasi dari hipoksia janin baik di dalam rahim, saat
persalinan atau setelah lahir akan menyebabkan aspirasi dari mekonium yang
telah mencemari cairan amnion. Pada prenatal, aspirasi mekonium tidak
menimbulkan masalah karena mekonium tersebut terhalangi oleh cairan paru yang
belum diresorpsi. Dampak dari aspirasi mekonium akan terlihat setelah bayi lahir
berupa obstruksi saluran napas, menurunnya komplians paru dan meningkatkan
resistensi saluran napas besar.6,7
Mekonium yang tebal dapat menyumbat saluran napas atas secara total atau
parsial. Pada obstruksi parsial akan terjadi hiperekspansi alveolar karena air
trapping. Pada obstruksi yang total akan menyebabkan atelektasis asimetris dan
8
menyebabkan hipoksia. Mekonium juga akan merangsang pelepasan mediator-
mediator inflamasi yang akan berkembang menjadi edema dan apoptosis sehingga
akan menyebabkan hipoksia. Dampak lainnya dari mekonium yang teraspirasi
adalah mekonium akan melepaskan ikatan surfaktan pada permukaan alveolus
karena tegangan permukaan mekonium yang lebih tinggi disebabkan oleh
kandungan asam lemak bebas dalam mekonium. Mekonium juga akan
mempengaruhi produksi surfaktan dengan mempengaruhi metabolisme
fosfatidilkolin.7
2.3.5 Pneumonia Kongenital
Pneumonia kongenital dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, virus maupun
jamur. Penyebarannya dapat melalui plasenta atau melalui aspirasi cairan amnion
yang terinfeksi. Penyebaran melalui plasenta terjadi apabila ibu mengalami infeksi
sistemik, seperti rubella, sitomegalovirus, Treponema pallidum, Listeria
monositogen, tuberkulosis dan HIV. Infeksi sistemik ini dapat berlangsung secara
asimtomatik pada ibu. Pneumonia kongenital akibat infeksi cairan amnion diawali
oleh penjalaran infeksi secara asenden dari jalan lahir pada kasus ketuban pecah
dini. Kejadiannya diawali oleh kondisi asfiksia janin sehingga menyebabkan
gasping pada janin dan mengalami aspirasi cairan amnion yang terinfeksi.
Peristiwa ini dibuktikan oleh adanya temuan debris cairan amnion dan leukosit
ibu pada paru janin melalui pemeriksaan histopatologi.8,9
2.4 Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang timbul adalah gejala meningkatnya usaha bernapas,
yaitu:5
1. Takipnea: frekuensi napas > 60-80x/menit
2. Retraksi: cekungan atau tarikan kulit antara iga (interkostal) danatau
dibawah sternum (substernal) selama inspirasi
3. Napas cuping hidung: kembang kempis lubang hidung selama inspirasi
4. Merintih atau grunting terdengar merintih atau menangis saat inspirasi
5. Sianosis sentral: warna kebiruan pada bibir
6. Apnea atau henti napas
7. Dalam jam pertama sesudah lahir, empat gejala respiratory distress
(takipnea, retraksi, napas cuping hidung dan grunting) kadang juga
9
dijumpai pada BBL normal tetapi tidak berlangsung lama. Gejala ini
disebabkan karena perubahan fisiologis masa transisi dari sirkulasi fetal ke
sirkulasi neonatal.
8. Bila takipnea, retraksi, napas cuping hidung dan grunting menetap pada
beberapa jam setelah lahir, ini merupakan indikasi adanya gangguan napas
atau respiratory distress yang harus dilakukan tindakan segera.
Derajat beratnya respiratory distress dapat dinilai dengan menggunakan
skor Downes. Skor Downes merupakan sistem skoring yang lebih komprehensif
dan dapat digunakan pada semua usia kehamilan seperti yang terlihat pada tabel
2.1 di bawah ini.
Tabel 2.1 Evaluasi Gawat Napas dengan skor Downes5
Pemeriksaan Skor
0 1 2
Frekuensi napas < 60 /menit 60-80 /menit > 80/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak ada Sianosis hilang Sianosis menetap
sianosis dengan 02 walaupun diberi
O2
Air entry Udara masuk Penurunan ringan Tidak ada udara
udara masuk masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar Dapat didengar
dengan stetoskop tanpa alat bantu
Keterangan:
0-4: Distress nafas ringan; membutuhkan O2 nasal atau headbox
4-7: Distress nafas sedang; membutuhkan nasal CPAP
>7 : Distress nafas berat; ancaman gagal nafas; membutuhkan intubasi.
2.5 Diagnosis
2.5.1 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara telitimeliputi onset gejala,riwayat kehamilan,
riwayat persalinan, riwayat maternal. Berdasarkan data-data tersebut dapat
ditentukan jenis respiratory distress yang dialami oleh pasien yang dapat dilihat
pada tabel 2.2 di bawah ini:6
10
Tabel 2.2 Diagnosis banding respiratory distress6
Penyebab Gestasi Onset Faktor risiko
TTN Semua Segera hingga 2 Ibu asma, jenis kelamin
jam setelah laki-laki, makrosomia,
lahir ibu diabetes mellitus,
seksio sesarea
RDS Preterm Segera Jenis kelamin laki-laki,
ras kulit putih, ibu
diabetes
Sindrom aspirasi Aterm atau Segera Cairan amnion yang
mekonium postterm tercemari mekonium
Pneumonia Semua Early onset: PPROM, ibu demam,
congenital usia 1-3 hari kolonisasi Streptococcus
grup B
Transisi yang Aterm atau Segera Persalinan lama
terlambat postterm
12
hiperinflasi pada lapangan paru dan diafragma yang mendatar seperti yang terlihat
pada gambar 2.3. Terdapat gambaran infiltrat kasar dan ireguler. Kadang-kadang
dapat ditemukan gambaran pneumothoraks atau pneumomediastinum.7
2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Tindakan Umum
Tindakan umum merupakan tindakan yang dilakukan pada semua kasus
respiratory distress. Tindakan umum yang perlu dikerjakan dapat dilihat pada
gambar 2.4.
13
Gambar 2.4 Manajemen Respiratory Distress Neonatus6
2.6.2 Tindakan Khusus
a. TTN
Pemberian antibiotik pada TTN masih kontroversi. Sebagian pendapat
menyatakan bahwa pada TTN diberikan antibiotik spektrum luas (ampisilin-
gentamisin) selama 48 jam hingga diagnosis sepsis atau pneumonia disingkirkan.
Pendapat lainnya tidak mengindikasikan pemberian antibiotik pada TTN.6,7
Pemberian makanan pada TTN disesuaikan dengan frekuensi napas pasien.
Pada pasien dengan frekuensi napas < 60 kali/ menit dapat diberikan makanan
melalui oral. Pada frekuensi napas 60-80 kali/menit pemberian makanan harus
14
melalui nasogastric tube (NGT). Jika frekuensi napas > 80 kali/ menit maka
pemberian makanan dilakukan melalui jalur parenteral.7
Pemberian diuretik tidak dianjurkan pada TTN. Pemberian diuretik berupa
furosemide (Lasix) dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah paru yang
akan menyebabkan mismatch ventilasi-perfusi. Pemberian diuretik juga dapat
menyebabkan kehilangan berat badan dan hiponatremia sehingga pemberian
diuretik dikontraindikasikan pada TTN meskipun tedapat kelebihan cairan di
paru.6,7
b. RDS
Terapi preventif yang dapat dilakukan yaitu pemberian kortikosteroid
antenatal. Terapi ini dianjurkan pada usia gestasi 24-34 minggu pada semua
perempuan yang berisiko untuk persalinan prematur dalam 7 hari. Pada usia
gestasi 34-36 minggu, pemberian kortikosteroid tidak dianjurkan karena tidak
menurunkan morbiditas respirasi neonatus. Persalinan optimal dilakukan pada
rentang satu hingga kurang dari 7 hari setelah pemberian terapi steroid. Regimen
glukokortikoid yang dianjurkan adalah betametason yang diberikan 2 x 12 mg IM
per hari. Deksametason tidak dianjurkan karena terdapat peningkatan risiko untuk
terjadinya leukomalasia sistik periventrikuler pada bayi yang sangat prematur.7
Terapi kuratif yang diberikan adalah terapi penggantian surfaktan. Terapi
surfaktan harus segera diberikan setelah secara klinis RDS dapat didiagnosis.
Selama bayi membutuhkan dukungan ventilasi dengan O2 . 30%, surfaktan harus
segera diberikan. Surfaktan eksogen yang dapat diberikan adalah calfactant,
beractant, colfosceril dan porcine.5
c. Sindrom Aspirasi Mekonium
Dilakukan pulmonary toilet dengan cara melakukan suction. Pemberian
antibiotik tetap dilakukan karena walaupun mekonium bersifat steril, mekonium
dapat menginhibisi kemampuan bakteriostatik dari cairan amnion. Selain itu
karena sulitnya membedakan gambaran radiologis infiltrat pada aspirasi
mekonium dengan pneumonia maka terapi antibiotik spektrum luas harus
diberikan.7
15
d. Pneumonia neonatal
Terapi antibiotik yang dianjurkan oleh WHO adalah ampisilin (50 mg/kg)
tiap 12 jam dalam minggu pertama kehidupan, lalu tiap 8 jam pada usia 2-4
minggu, ditambah gentamisin dosis tunggal perhari. Alternatif utama pengganti
ampisilin adalah benzilpenisilin atau amoksisilin, sedangkan alternatif utama
pengganti gentamisin adalah tobramisin atau amikasin. Jika kuman penyebabnya
dicurigai adalah S. aureus maka antibiotik penisilin resisten penisilinase seperti
flukloksasilin atau kloksasilin digunakan sebagai pengganti ampisilin. Dosis
gentamisin yang dianjurkan adalah loading dose 8 mg/kg yang dilanjutkan
2mg/kg (BB < 2 kg) atau 4 mg/kg (BB > 2 kg) pada minggu pertama kehidupan,
lalu diikuti 4mg/kg (BB < 2 kg) atau 6 mg/kg (BB > 2 kg) pada usia 2 minggu ke
atas. Jika neonatus tidak berespon dengan antibiotik lini pertama, maka WHO
merekomendasikan penggunaan sefalosporin generasi ketiga atau kloramfenikol
(hanya jika neonatus tidak prematur dan kadar obat dapat dimonitor).8,9
2.7 Prognosis
Prognosis tergantung pada latar belakang etiologi gangguan napas. TTN
biasanya bersifat self-limited yang berlangsung selama 2-5 hari. Namun, TTN
dihubungkan dengan kejadian wheezing syndrome (bronkiolitis, bronkitis akut dan
kronik, asma) pada masa anak-anak. Pada RDS, tingkat bertahan hidup
meningkat sangat tinggi setelah penggunaan terapi kortikosteroid antenatal dan
surfaktan secara luas. Namun, kejadian sekuele pada sistem respirasi dan saraf
sangat bergantung pada berat badan lahir dan usia gestasi. Sindrom aspirasi
mekonium telah mengalami penurunan mortalitas sejak ditemukannya berbagai
modalitas terapi. Namun, aspirasi mekonium dapat menyebabkan sekuele
gangguan perkembangan saraf seperti global development delay, cerebral palsy
dan autisme.7
17
Intrauterine pneumonia merupakan subkelompok onset awal neonatal
pneumonia dan memiliki hasil yang buruk seperti bayi meninggal setelah lahir,
Apgar skor rendah atau distress pernapasan dan biasanya berhubungan dengan
chorioamnionitis ibu. Dari hasil aspirasi cairan ketuban dalam rahium ibu
didapatkan cairan ketuban terinfeksi, atau selama kelahiran neonatus terkena
infeksi.1
Dalam sebuah studi multicenter prospektif, dari 154 anak dirawat di rumah
sakit dengan Community-acquired pneumonia (CAP), didapatkan 79% anak
terinfeksi agen patogen. Bakteri piogenik menyumbang 60% dari kasus, dimana
73% adalah karena Streptococcus pneumoniae, sedangkan bakteri atipikal
pneumoniae seperti Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydophila pneumonia
terdeteksi masing-masing 14% dan 9%, Sedangkan virus didapatkan 45%.
Sebanyak 23% dari anak-anak dapat memiliki penyakit virus dan bakteri
bersamaan akut. Analisis multivariabel menunjukkan bahwa suhu yang tinggi
(38,4 ° C) dalam waktu 72 jam dan adanya efusi pleura secara bermakna dikaitkan
dengan pneumonia bakteri.5
Pada bayi baru lahir (usia 0-30 hari), beberapa organisme bertanggung
jawab terhadap terjadinya infeksi terutama pneumonia yang pada akhirnya dapat
terjadi sepsis neonatorum dini. Hal ini tidak mengherankan mengingat peran dari
genitourinari ibu dan flora saluran pencernaan merupakan proses yang dapat
mengakibatkan infeksi pada neonatus. Infeksi oleh kelompok B Streptococcus,
Listeria monocytogenes, atau gram negatif batang (misalnya, Escherichia coli,
Klebsiella pneumoniae) merupakan penyebab umum pneumonia bakteri. Agen
patogen ini dapat diperoleh di dalam rahim, melalui aspirasi saat dalam jalan lahir,
atau melalui kontak pascakelahiran dengan orang lain atau peralatan yang
terkontaminasi.5
19
Grup B Streptococcus (GBS) merupakan bakteri yang paling umum
didapatkan pada tahun 1960-an sampai 1990-an, ketika dampak kemoprofilaksis
intrapartum dalam mengurangi infeksi neonatal dan maternal oleh organisme ini
menjadi jelas, bakteri E coli telah menjadi yang paling umum didapatkan pada
bayi dengan berat 1500 gr atau kurang, lain organisme bakteri potensial seperti;
Nontypeable Haemophilus influenzae (NTHI), Basil Gram negative, enterococci,
dan Staphylococcus aureus.5
20
Umur Penyebab tersering Penyebab terjarang
3 mgg - 3 bln Bacteria Bacteria
Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
S. pneumonia H. influenzae type B and
nontypeable
Viruses Adenovirus Moraxella catarrhalis
Influenza virus Staphylococcus aureus
Parainfluenza virus 1,2,and U. urealyticum
3
Respiratory syncytial virus Virus Cytomegalovirus
Rhinovirus
Respiratory syncytial virus
21
demam (30-56%), ketidakmampuan untuk makan (43 -49%), sianosis (12-40%),
dan batuk (30-84%).1
Tanda awal dan gejala pneumonia mungkin tidak spesifik, seperti malas
makan, letargi, iritabilitas, sianosis, ketidakstabilan temperatur, dan keseluruhan
kesan bahwa bayi tidak baik. Gejala pernapasan seperti grunting (mendengus),
tachypnea, retraksi, sianosis, apnea, dan kegagalan pernafasan yang progresif.
Pada bayi dengan ventilasi mekanik, kebutuhan untuk dukungan ventilasi
meningkat dapat menunjukkan infeksi. Tanda-tanda pneumonia pada pemeriksaan
fisik, seperti tumpul pada perkusi, perubahan suara napas, dan adanya ronki,
radiografi thorax didapatkan infiltrat baru atau efusi pleura. Tanda akhir
pneumonia pada neonates tidak spesifik seperti apnea, takipnea, malas makan,
distensi abdomen, jaundice, muntah, respirasi distress, dan kolaps sirkulasi.7
23
Perbercakan retikulogranular seperti pada HMD dapat terlihat, terutama pada
pneumonia akibat S.pneumoniae grup B.9
24
Penyakit b-hemolytic streptococcal grup B. seorang bayi umur 2 hari, tampak
bayangan infiltrate yang luas pada kedua paru terutama pada paru kiri dan efusi
pleura pada paru kiri. Mediastinum terdiring ke sisi kanan.11
Pneumonia aspirasi. Tampak granular kasar dengan aerasi tidak teratur dari
aspirasi bahan yang terkandung dalam cairan ketuban, seperti verniks kaseosa,
sel-sel epitel, dan mekonium.6
25
Pneumotoraks sisi kiri. Merupakan Komplikasi dari pneumonia neonatal.
Perhatikan
ruang lobus atas terdapat bayangan udara pada kedua sisi paru.8
Bayi baru lahir segera setelah lahir dengan sianosis dan gangguan pernapasan dan
menjalani operasi untuk penyakit jantung bawaan. Terdapat bayangan udara
sebelum operasi, yang diinterpretasikan sebagai edema paru. Namun, setelah
operasi, dengan tindakan aspirasi bronkial didapatkan Staphylococcus aureus.8
26
Pneumonia pada paru kiri lobus atas: Pada hemidiaphragm kiri terlihat
menunjukkan keadaan patologi. Pada foto lateral, didapatkan kekeruhan yang luas
pada pada bagian anterior ke fissure obliq pada atas lobus.10
27
dan transien takipnea yang menetap selama 1-2 hari merupakan tanda yang sangat
membantu membantu dalam diagnosis pneumonia neonatal. Perubahan radiografi
yang didapat dapat membantu dalam diagnosis pneumonia neonatal, terutama jika
informasi ini berkorelasi dengan gambaran klinis.6
CT scan dapat membantu meninykirkan kemungkinan tumor, kelainan
CT scan axial menggambarkan bayanngan udara ruang yang luas pada kedua paru dan
konsolidasi pada basal paru yang berhubungan dengan air bronchogram yang berasal dari
pneumonia neonatal.6
Ultrasonography merupakan pemeriksaan radiografi yang berguna dalam
keadaan tertentu. Ultrasonography sangat berguna untuk mengidentifikasi dan
melokalisasi cairan dalam ruang pleura dan perikardial. Ultrasonography
merupkana teknik noninvasif yang cocok untuk neonatus. Ultrasonography
memiliki sensitivitas yang tinggi dalam mendeteksi efusi pleura dan mendeteksi
konsolidasi di basis paru-paru. Tidak ada radiasi yang terlibat dan prosedur dapat
diulang berkali-kali.6
2.13 Tatalaksana Pneumonia neonatal
Dalam sebuah percobaan acak pada bayi Kenya, pemberian sehari sekali
gentamicin dengan dosis loading 8 mg/kg, pada bayi < 2 kg diberikan 2 mg/kb,
28
sedangkan pada bayi > 2 kg diberikan 4 mg dalam minggu pertama kehidupan.
Pemberian 4 mg/kg pada bayi yang berat < 2 kg atau 6 mg/kg dengan berat > 2 kg
dalam minggu kedua tau lebih. Jika bayi tidak berespon terhadap pemberian
antibiok lini pertama, WHO merekomendasikan untuk mengganti antibiotic
dengan generasi ketiga cephalosporin atau kloramfenikol terutama pada bayi yang
tidak premature dan level obat dapat di monitor.1
Indikasi
Kontraindikasi
- Sumbatan hidung
- Keracunan
- Mengancam kehidupan hipoksia / apnoeas / hemodinamik yang tidak
stabil
- Trauma (maksilofasial / dicurigai dasar tengkorak fraktur / dada)
- Pneumotoraks
- Aspirasi benda asing.
D. CPAP
6. Mempertahankan diafragma.
3. Retraksi nafas
Semua bayi cukup bulan atau kurang bulan, yang menunjukkan salah satu kriteria
tersebut diatas, harus dipertimbangkan untuk menggunakan CPAP.
32
1. Bayi kurang bulan dengan Respiratory Distress Syndrom
6. Bayi dengan penyakit jalan nafas seperti trakeo malasia, dan bronkitis
4. Hernia diafragmatika
5. Atresia choana
6. Fistula tracheo-oeshophageal
7. Gastroschisis
33
Pemasangan nasal CPAP pada beberapa kasus dapat mengakibatkan komplikasi.
Komplikasi pemasangan CPAP antara lain :
1. Cedera pada hidung, misalnya erosi pada septal nasi, dan nasal snubbing.
Penggunaan nasal prong atau masker CPAP dapat mengakibatkan erosi
pasa septal nasi, sedangkan penggunaan CPAP dalam jangka waktu yang
lama dapat mengakibatkan snubbing hidung
34
2.14 Prognosis Pneumonia neonatal
Pneumonia Neonatal merupakan penyakit infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA) yang disebabkan terutama oleh bakteri dan merupakan penyebab signifikan
kematian pada bayi yang baru lahir, yang terjadi dalam 30 hari pertama kehidupan bayi.
Bayi dengan pneumonia yang terkomplikasi oleh infeksi melalui darah memiliki resiko
kematian 10 % dan resiko ini menjadi tiga kali lipat jika bayi memiliki berat badan lahir.
Tempat lahir mempunyai pengaruh terhadap angka kejadian pneumonia
neonatal, karena pengaruh keadaan lingkungan dan bayi laki-laki mempunyai resiko
lebih tinggi terserang pneumonia neonatal dari pada bayi perempuan. Jenis persalinan
spontan mempunyai pengaruh besar terhadap terjadinya pneumonia pada neonatal,
karena banyaknya faktor resiko seperti ketuban pecah dini, infeksi pada jalan lahir maka
untuk menghindari terjadinya pneumonia neonatal sebaiknya pada ibu hamil dilakukan
35
pemeriksaan kandungan secara teratur untuk mengontrol keadaan janin dan ibu, dan
juga perlu penanganan dini untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas karena
pneumonia neonatal.
36
BAB 3
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : By.Ny. F
MR : 213606
Umur/tanggal lahir : 3 jam/28 Februari 2021
Jenis Kelamin : Laki-laki
Ayah/ Ibu : FR/DS
Anak ke :1
Suku Bangsa : Indonesia
Alamat : Alahan panjang
Tanggal Masuk : 28 Februari 2021
Tanggal Pemeriksaan : 28 Februari 2021
Keluarga
Ibu Ayah
Umur 24 th 31 th
Pendidikan SMK SMK
Pekerjaan IRT Buruh
Perkawinan ke 1 1
Penghasilan - Rp. 2.000.000
Anamnesis
Keluhan Utama
Sesak yang memberat 3 jam SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang:
- 3 Jam yang lalu bayi lahir PN 39 minggu (aterm) dengan berat 3000gr,
ketuban hijau tidak berbau A/S : 7/9. Bayi lahir di RS Arosuka, saat bayi usia
10 detik bayi sianosis dari wajah sampai ke dada dan sesak dan ada retraksi
dada,bayi dirujuk menggunakan CPAP.
37
- Tidak ada demam saat ibu melahirkan
- Tidak ada Ketuban pecah dini pada ibu
- Tidak ada riwayat keputihan sebelum melahirkan
Riwayat Persalinan
Ditolong oleh dokter di RS Arosuka (28-2-2021), lahir persalinan normal, ketuban
jernih, A/S 7/9, berat badan 3000 gram, panjang badan 48 cm.
Pemeriksaan Fisik:
Kesan Umum : kurang aktif
Keadaan :sadar
Berat badan : 3000 gram
Panjang badan : 48 cm
Frekuensi jantung : 142 kali per menit
38
Frekuensi nafas : 70 kali per menit
Sianosis : Ada
Ikterus : tidak ada
Suhu : 36,10 C
Kulit : teraba hangat, tidak pucat, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit
kembali cepat
Kepala : bulat, simetris, normocephal, ubun-ubun besar 3x2 cm, ubun-
ubun kecil 0,5x0,5 cm, tidak cekung, lingkar kepala 34 cm, jejas
persalinan tidak ada
Leher : Sianosis (+)
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Telinga : tulang rawan telinga cukup lunak, Sianosis (+)
Hidung : nafas cuping hidung ada
Mulut : sianosis ada, mukosa mulut dan bibir basah
Thoraks : normochest
Paru
Inspeksi : simetris, retraksi epigastrium ada
Palpasi : tidak dilakukan
Perkusi : tidak dilakukan
Auskustasi : suara nafas bronkovesikuler, ronki (+/+), wheezing tidak ada
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba pada LMCS RIC IV
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : irama teratur, bising tidak ada
Abdomen
Permukaan : datar
Kondisi : lemas
Hepar : teraba 1/4 -1/4 permukaan licin dan rata, pinggir tajam
Lien : tidak teraba.
Tali pusat : segar
Umbilikal : tidak hiperemis
39
Punggung : tidak ada kelainan
Alat kelamin : tampak penis, desensus testis bilateral
Anus : anus ada
Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik, CRT <2 detik
Refleks : Moro : tidak ada Isap : tidak ada
Rooting : tidak ada Pegang : tidak ada
Ukuran : Lingkar kepala : 34 cm Panjang lengan: 16 cm
Lingkar Dada : 32 cm Panjang kaki : 20 cm
Lingkar Perut : 34 cm Kepala-simfisis: 28 cm
Simfisis-kaki : 22 cm Dll :
Pemeriksaan Penunjang
40
Pemeriksaan Laboratorium
Darah rutin (28-2-2021)
Hb : 17,6 g/dL
Eritrosit : 4.840.000/uL
Ht : 47,1%
Leukosit : 32.200/uL
Trombosit : 332.000/uL
Ballard Score
41
Diagnosis Kerja
NCB 38-39 Minggu, SMK, BBL 3000gr
Respiratory distress e.c Pneumonia neonatal + Gagal CPAP
Tatalaksana
- Intubasi ETT no. 3,5
- Ventilator modus PC-AC
- IVFD PG1 10 cc/jam
- Inj. Viccilin 2x150gr
- Inj. Gentamicin 1x14gr
Follow Up
Rabu, 28 Februari- 5 maret 2021
Hari rawatan ke 1-5 di NICU
S/ Sesak napas (+), Berkurang
Demam (-)
42
Merintih (-)
Kebiruan (-)
Kuning (-)
Mekonium (-) BAB (+) BAK (+)
Pasien di Ekstubasi dan dirawat di HCU
Toleransi minum naik bertahap
O/ KU HR RR T
Kurang aktif 142x/i 70x/i 36,8oC
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : napas cuping hidung (+)
Thorax : retraksi epigastrium (+) minimal
Abdomen : supel, BU (+) Normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT<2 detik
AGD
pH : 7.357
PCO2 : 37.00 mmHg
PO2 : 90.00 mmHg
HCO3 : 21.00 Meq/L
BE :-3.4 Meq/L
SO2 :96.40 %
A/ NBBLC 3000 gram
Respiratory distress ec Pneumonia neonatal + Gagal CPAP
P/ CPAP 7/30
IVFD PG 1 10 cc/jam
Ampicilin sulbactam 2x16mg
Gentamicin 1x14mg
ASI 4x7,5cc 4x10cc
Pantau vital sign
Follow Up
Sabtu, 6 Maret-7 Maret
43
Hari rawatan ke-6-7 di HCU
S/ Sesak napas (-)
Demam (-)
Merintih (-)
Kebiruan (-)
Kuning (-)
BAB (+) BAK (+)
Bayi syok,Loading, diberi Dobutamin
O/ KU HR RR T
Aktif 132x/i 52x/i 37,3oC
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : napas cuping hidung (-)
Thorax : retraksi (-) SN bronkovesikuler, rh -/-, wh -/-
Abdomen : supel, BU (+) Normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT<2 detik
A/ NBBLC 3000 gram
Respiratory distress ec Pneumonia neonatal (Perbaikan) + Sepsis
P/ CPAP 6/30
IVFD D10% NaCl 4:1 : 15,6 cc/jam
Ceftazidime 2x60mg
Gentamisin 1x14mg
ASI 4x5cc SF 2x10cc
Drip Dobutamin 0,3mg
Pantau vital sign
Follow Up
Senin, 8 Maret-13 Maret
Hari rawatan ke8-13 di HCU
S/ Sesak napas (-)
Demam (-)
44
Merintih (-)
Kebiruan (-)
Kuning (-)
BAB (+) BAK (+)
CPAP Dibuka
Toleransi minum baik
Stop Dobutamin
Refleks hisap lemah
O/ KU HR RR T
Aktif 130x/i 45x/i 36,5oC
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : napas cuping hidung (-)
Thorax : retraksi (-) SN bronkovesikuler, rh -/-, wh -/-
Abdomen : supel, BU (+) Normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT<2 detik
A/ NBBLC 3000 gram
Riwayat Pneumonia Neonatal
Sepsis e.c Acinetobacter baumannii
Feeding problem
PAP
P/ Ceftazidime 2x60
Nistatin
Terapi Oromotor
45
BAB 4
PENUTUP
Analisa Kasus
Pada kasus ini menggambarkan seorang bayi dirujuk dengan keluhan
utama sesak memberat 3 jam setelah lahir. Kondisi ini juga disertai dengan
sianosis. Pada pemeriksaan fisik juga ditemukan adanya retraksi dinding dada dan
napas cuping hidung.Kondisi ini merupakan kumpulan tanda-tanda adanya
peningkatan usaha bernapas atau disebut Respiratory Distress (RD). RD pada
neonatus didefinisikan sebagai adanya satu atau lebih tanda peningkatan usaha
bernapas, seperti takipnea, retraksi, napas cuping hidung, atau merintih.
Pada Pemeriksaan penunjang didapat kesan tampak infiltrat halus di kedua
lapang paru. Pasien ini dirawat di NICU selama 5 hari menggunakan ventilator,
setelah perbaikan bayi dipindahkan ke HCU di hari ke 6 menggunakan
inkubator ,pada hari ke 13 pasien Pulang atas permintaan.
Prognosis pada pasien ini baik,setelah dirawat 13 hari di Rumah Sakit.
Kesimpulan
Ada beberapa etiologi yang sering menyebabkan RD pada neonatus, yaitu
transient tachypnoe of the newborn (TTN), respiratory distress syndrome (RDS),
aspirasi mekonium, dan pneumonia neonatorum. Riwayat hamil dan persalinan
ibu (usia gestasi, cara persalinan, riwayat penyakit ibu) dapat membedakan
46
masing-masing etiologi. RDS atau dikenal dengan hyaline membran disease
biasanya terjadi pada usia gestasi preterm. Kondisi ini berhubungan dengan
defisiensi kandungan surfaktan di dalam paru yang belum matur. Namun RDS
dapat juga terjadi pada neonatus aterm pada ibu dengan riwayat diabetes mellitus
terkait dengan efek insulin yang menghambat produksi surfaktan. Pada ibu pasien
tidak memilki riwayat diabetes mellitus. Aspirasi mekonium merupakan penyebab
RD terbanyak pada bayi postterm. Kondisi dapat ditandai dengan ketuban yang
sudah bercampur dengan mekonium. Pada kasus ini mekonium pasien belum
keluar saat lahir dan ketuban berwarna jernih. Pneumonia neonatal disebabkan
infeksi intrauterin atau selama persalinan, umunya infeksi bakterialis. Faktor
risiko untuk pneumonia neonatal meliputi ketuban pecah dini, infeksi pada ibu,
dan prematuritas. Pada kasus ini ibu hanya memiliki riwayat infeksi minor yaitu,
riwayat keputihan saat hamil, dan persalinan dengan sectio caesarea.
47
DAFTAR PUSTAKA
13. Bradley JS, Byington CL, Shah SS, et al: The Management of Community-
Acquired Pneumonia in Infants and Children Older Than 3 Months of Age:
Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and
the Infectious Diseases Society of America. Oxfordjournal. Aug 2011.
URL: cid.oxfordjournal.org
48
49