OLEH :
CI LAHAN CI INSTITUSI
Ns. Ni Nyoman Udiani, S.Kep., M.Kep Ns. Katrina Feby L., M.P.H
2. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, sindrom gawat pemapasan telah diperkirakan
terjadi pada 20.000-30.000 bayi baru lahir setiap tahun dan merupakan
komplikasi pada sekitar 1% kehamilan. Sekitar 50% dari neonatus yang
lahir pada usia 26-28 minggu kehamilan mengalami sindrom gawat
pemapasan, sedangkan kurang dari 30% dari bayi prematur yang lahir di
usia 30-31 minggu kehamilan tergantung kondisi (Pramanik, 2015).
Dalam satu laporan, tingkat kejadian sindrom gawat pemapasan
adalah (42%) pada bayi dengan berat badan bayi 501-1500g, 71%
dilaporkan pada bayi dengan berat badan bayi 501-750g, 54 % pada bayi
dengan berat badan bayi 751-1000g, 36% pada bayi dengan berat badan
bayi 1001-1250g, dan 22% pada bayi dengan berat badan bayi 1251-1500g,
pelaporan ini terdapat diantara 12 mmah sakit universitas yang
berpartisipasi dalam National Institute of Child Health and Human
Development (NICHD) pada Jaringan Penelitian Neonatal (Pramanik,
2015). Angka kejadian RDS pada bayi yang lahir dengan masa gestasi 28
minggu sebesar 60%-80%, pada usia kelahiran 30 minggu adalah 25%,
sedang pada usia kelahiran 32-36 minggu sebesar 15-30% , dan pada bayi
aterm jarang dijumpai . Di negara maju RDS terjadi pada 0,3-1% kelahiran
hidup dan merupakan 15-20% penyebab kematian neonatus . Di Amerika
Serikat diperkirakan 1% dari seluruh kelahiran hidup, yang artinya 4000
bayi mati akibat sindrom gawat nafas neonates (SGNN) setiap tahunnya .
Di Indonesia, dari 950.000 BBL R yang lahir setiap tahun diperkirakan
150.000 bayi diantaranya menderita SGNN (Tobing, 2004). Dua pertiga
kematian pada bayi di Indonesia terjadi pada masa neonatal atau 28 hari
pertama kehidupan. Pada tahun 2011 terdapat 29,24 per 1000 kelahiran
hidup, menunjukkan angka yang menuru n dari tahun sebelumnya yang
sebesar 29.99 per LOGO kelahiran hidup, sedangkan target MDGs tahun
2015, yaitu sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup. Ini menunjukkan belum
tercapai tujuan MDGS dan masih tinggi angka kematian bayi di Indonesia
(Sulani, 2010).
3. ETIOLOGI
Menurut Suriadi dan Yulianni (2006) etiologi dari RDS yaitu:
a. Ketidakmampuan paru untuk mengembang dan alveoli terbuka.
b. Alveoli masih kecil sehingga mengalami kesulitan berkembang dan
pengembangan kurang sempurna. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar
kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi
prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan
daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas
c. Membran hialin berisi debris dari sel yang nekrosis yang tertangkap
dalam proteinaceous filtrat serum (saringan serum protein), di fagosit
oleh makrofag.
d. Berat badan bayi lahir kurang dari 2500 gram.
e. Adanya kelainan di dalam dan di luar paru Kelainan dalam paru
yang menunjukan sindrom ini adalah pneumothoraks /
pneumomediastinum, penyakit membran hialin (PMH).
f. Bayi prematur atau kurang bulan Diakibatkan oleh kurangnya
produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan
minggu ke-22, semakin muda usia kehamilan, maka semakin besar
pula kemungkinan terjadi RDS.
4. PATOFISIOLOGI
Faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur
disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga sulit berkembang,
pengembangan kurang sempurna karena dinding thorax masih lemah,
produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan
mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal
tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya
pengembangan paru (compliance) menurun 25 % dari normal, pernafasan
menjadi berat, shunting intra pulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia
berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik. Telah
diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein ,
lipo protein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga
agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru tampak
tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu
paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk
mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga
udara bagian distal menyebabkan edem interstisial dan kongesti dinding
alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II.
Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya
defisiensi surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan
barotrauma atau volutrauma dan toksisitas oksigen, menyebabkan
kerusakan pada endothelial dan epithelial sel jalan napas bagian distal
sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah.
Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam
setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk
pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek :
pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang
dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi
Bronchopulmonal Displasia (BPD).
Penilaian tingkat kegawatan napas dengan downe skor :
Pemeriksaan Skor
0 1 2
Frekuensi napas 60x/menit 60-80x/menit >80x/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak ada sianosis Sianosis hilang Sianosis menetap
dengan O2 walaupun
diberikan O2
Air Entry Udara masuk Penurunan ringan Tidak ada udara
udara masuk masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar Dapat didengar
dengan stetoskop tanpa bantuan
6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pemeriksaan AGD didapat adanya hipoksemia kemudian hiperkapni
dengan asidosis respiratorik.
b. Pemeriksaan radiologis, mula-mula tidak ada kelainan jelas pada foto
dada, setelah 12-24 jam akan tampak infiltrate alveolar tanpa batas
yang tegas diseluruh paru.
c. Biopsi paru, terdapat adanya pengumpulan granulosit secara abnormal
dalam parenkim paru.
7. TINDAKAN PENANGANAN
a. Memberikan lingkungan yang optimal. Suhu tubuh bayi harus selalu
diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,50C-370C) dengan cara
meletakkan bayi dalam incubator. Kelembapan ruangan juga harus
adekuat.
b. Pemberian oksigen. Pemberian oksigen harus dilakukan dengan hati-
hati karena berpengaruh kompleks pada bayi premature. pemberian
oksigen yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi seperti
fobrosis paru,dan kerusakan retina. Untuk mencegah timbulnya
komplikasi pemberian oksigen sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan
analisa gas darah arteri. Bila fasilitas untuk pemeriksaan analisis gas
darah arteri tidak ada, maka oksigen diberikan dengan konsentrasi
tidak lebih dari 40% sampai gejala sianosis menghilang.
c. Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlu untuk mempertahankan
homeostasis dan menghindarkan dehidrasi. Pada permulaan diberikan
glukosa 5-10% dengan jumlah yang disesuaikan dengan umur dan
berat badan ialah 60-125 ml/kgBB/hari. Asidosis metabolic yang
selalu dijumpai harus segera dikoreksi dengan memberikan NaHCO3
secara intravena yang berguna untuk mempertahankan agar pH darah
7,35-7,45. Bila tidak ada fasilitas untuk pemeriksaan analisis gas
darah, NaHCO3 dapat diberi langsung melalui tetesan dengan
menggunakan campuran larutan glukosa 5-10% dan NaHCO3 1,5%
dalam perbandinagn 4:1
d. Pemberian antibiotic. bayi dengan PMH perlu mendapat antibiotic
untuk mencegah infeksi sekunder. dapat diberikan penisilin dengan
dosis 50.000-100.000 U/kgBB/hari atau ampisilin 100 mg/kgBB/hari,
dengan atau tanpa gentamisin 3-5 mg/kgBB/hari.
e. Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian
surfaktan eksogen (surfaktan dari luar). Obat ini sangat efektif tapi
biayanya sangat mahal.
8. KOMPLIKASI
Komplikasi yang timbul dapat berupa komplikasi jangka waktu
pendek maupun komplikasi panjang.
Komplikasi jangka pendek dapat terjadi :
a. Kebocoran alveoli : Apabila dicurigai terjadi kebocoran udara
( pneumothorak, pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema
intersisiel ), pada bayi dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan
gejala klinikal hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis
yang menetap.
b. Jangkitan penyakit kerana keadaan penderita yang memburuk dan
adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat
timbul kerana tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena,
kateter, dan alat-alat respirasi.
c. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan
intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi
terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.
d. PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan
komplikasi bayi dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan
terapi surfaktannya.
Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh keracunan
oksigen, tekanan yang tinggi dalam paru, memberatkan penyakit dan
kekurangan oksigen yang menuju ke otak dan organ lain.
Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :
a. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik
yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36
minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan
yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya
infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat
dengan menurunnya masa gestasi.
b. Retinopathy prematur Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-
70% bayi yang berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia,
komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
kapiler-alveola
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungandengan kelelahan otot
pernapasan
3. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
No Diagnosa NOC NIK
. keperawatan
a. Ganggaun Setelah dilakukan Manajemen Jalan Napas
pertukaran gas tindakan 1. Buka jalan napas dengan
berhubungan keperawatan selam teknik chin lift atau jaw
dengan perubahan
… X 24 jam thrust, sebagaimana mestinya
membran kapiler-
alveolar diharapkan 2. Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
Status 3. Identifikasi kebutuhan
Pernapasan : actual/potensial pasien untuk
Pertukaran Gas memasukkan alat membuka
Tidak adanya jalan napas
Diaphoresis 4. Masukkan alat
Tidak adanya nasopharyngeal (NPA) atau
Dispnea oropharingeal airway (OPA),
Tidak adanya sebagaimana mestinya
Gangguan 5. Lakukan fisioterapi dada,
penglihatan sebagaimana mestinya
Gas darah arteri 6. Buang secret dengan
normal menyedot lender
Tidak Gelisah 7. Auskultasi suara napas, catat
Tidak adanya area yang ventilasinya
Hiperkapnia menurun atau tidak ada dan
Tidak adanya adanya suara tambahan
Hipoksemia 8. Lakukan penyedotan melalui
Tidak adanya endotrakea atau nasotrakea,
Hipoksia sebagaimana mestinya
Tidak adanya 9. Kelola pemberian
Iritabilitas bronkodilator, sebagaimana
Tidak adanya mestinya
Konfusi 10. Kelola pengobatan aerosol,
Tidak adanya sebagaimana mestinya
Napas cuping 11. Kelola nebulizer ultrasonic,
hidung sebagaimana mestinya
Tidak adanya 12. Kelola udara atau oksigen
Penurunan yang dilembabkan,
kabondioksida sebagaimana mestinya
pH arteri normal 13. Ambil benda asing dengan
Pola pernapasan forcep McGill, sebagaimana
normal (mis., mestinya
kecepatan, irama, 14. Regulasi asupan cairan untuk
kedalaman) mengoptimalkan
Tidak adanya keseimbangan cairan
Sakit kepala saat 15. Posisikan untuk meringankan
bangun sesak napas
Tidak adanya 16. Monitor status pernapasan
Somnolen dan okseigenasi,
Tidak adanya sebagaimana mestinya
Takikardia
Warna kulit Terapi Oksigen
normal 1. Bersihkan mulut, hidung, dan
sekresi trakea dengan tepat
2. Pertahankan kepatenan jalan
napas
3. Siapkan peralatan oksigen
dan berikan melalui system
humidifier
4. Berikan oksigen tambahan
seperti yang diperintahkan
5. Monitor aliran oksigen
6. Monitor posisi perangkat
(alat) pemberian oksigen
7. Periksa perangkat (alat)
pemberian oksigen secara
berkala untuk memastikan
bahwa konsentrasi (yang
telah) ditentukan sedang
diberikan
8. Monitor efektifitas terapi
oksigen (misalnya, tekanan
oksimetri, ABGs) dengan
tepat
9. Pastikan penggantian masker
oksigen/kanul nasal setiap
kali perangkat diganti
10. Rubah perangkat pemberian
oksigen dari masker ke kanul
saat makan
11. Amati tanda-tanda
hipoventilasi induksi oksigen
12. Pantau adanya tanda-tanda
keracunan oksigen dan
kejadian atelektasis
13. Monitor peralatan oksigen
untuk memastikan bahwa alat
tersebut tidak mengganggu
upaya pasien untuk bernapas
14. Monitor kecemasan pasien
yang berkaitan dengan
kebutuhan mendapatkan
terapi
15. Monitor kerusakan kulit
terhadap adanya gesekan
perangkat oksigen
16. Sediakan oksigen ketika
pasien dibawa/dipindahkan
17. Konsultasi dengan tenaga
kesehatan lain mengenai
penggunaan oksigen
tambahan selama kegiatan
dan atau tidur
18. Anjurkan pasien dan
keluarga mengenai
penggunaan oksigen di
rumah
19. Rubah kepada pilihan
peralatan pemberian oksign
lainnya untuk meningkatkan
kenyamanan dengan tepat
Monitor Pernapasan
1. Monitor kecepatan, irama,
kedalaman dan kesulitan
bernapas
2. Catat pergerakan dada, catat
ketidaksimetrisan,
penggunaan otot-otot bantu
napas dan retraksi pada
supraclaviculas dan
interkosta
3. Monitor suara tambahan
seperti ngorok atau mengi
4. Monitor pola napas
(misalnya, bradipneu,
takipneu, hiperventilasi,
pernapasan kusmaul,
pernapasan 1:1, apneustik,
respirasi biot, pola ataxic
5. Monitor saturasi oksigen
pada pasien tersedasi (seperti
SaO₂, SvO₂, SpO₂) sesuai
dengan protocol yang ada
6. Pasang sensor pemantauan
oksigen non-invasif
(misalnya, pasang alat pada
jari, hidung, dan dahi)
dengan mengatur alarm pada
pasien berisiko tinggi sesuai
dengan prosedur tetapo yang
ada
7. Palpasi kesimetrisan ekspansi
paru
8. Perkusi torak anterior dan
posterior, dari apeks ke basis
paru, kanan dan kiri
9. Catat lokasi trakea
10. Monitor kelelahan otot-otot
diapragma dengan
pergerakan parasoksikal
11. Auskultasi suara napas, catat
area dimana terjadi
penurunan atau tidak adanya
ventilasi dan keberadaan
suara napas tambahan
12. Kaji perlunya penyedotan
jalan napas dengan auskultasi
suara nafas ronki di paru
Auskultasi suara napas setelah
tindakan, untuk dicatat
b. Ketidakefektifan Setelah dilakukan Manajemen Jalan Napas
pola nafas tindakan 1. Buka jalan napas dengan
berhubungandeng keperawatan selama teknik chin lift atau jaw
an kelelahan otot
… X 24 jam thrust,
pernapasan
diharapkan 2. Posisikan pasien untuk
Status memaksimalkan ventilasi
Pernapasan : 3. Identifikasi kebutuhan
Ventilasi actual/potensial pasien untuk
memasukkan alat membuka
Tidak adanya jalan napas
Bradipnea 4. Masukkan alat
Tidak adanya nasopharyngeal (NPA) atau
Dispnea oropharingeal airway (OPA),
Fase ekspirasi sebagaimana mestinya
tidak memanjang 5. Lakukan fisioterapi dada,
sebagaimana mestinya
Tidak adanya
6. Buang secret dengan
Ortopnea
menyedot lender
Tidak adanya
7. Auskultasi suara napas, catat
Penggunaan otot
area yang ventilasinya
bantu menurun atau tidak ada dan
pernapasan adanya suara tambahan
Tidak adanya 8. Lakukan penyedotan melalui
Penggunaan endotrakea atau nasotrakea,
posisi tiga-titik sebagaimana mestinya
Tidak adanya 9. Kelola pemberian
Peningkatan bronkodilator, sebagaimana
diameter mestinya
anterior- 10. Kelola pengobatan aerosol,
posterior sebagaimana mestinya
Tidak adanya 11. Kelola nebulizer ultrasonic,
Penurunan sebagaimana mestinya
kapasitas vital 12. Kelola udara atau oksigen
yang dilembabkan,
Tidak adanya
sebagaimana mestinya
Penurunan 13. Ambil benda asing dengan
tekanan ekspirasi forcep McGill, sebagaimana
Tidak adanya mestinya
Penurunan 14. Regulasi asupan cairan untuk
tekanan inspirasi mengoptimalkan
Tidak adanya keseimbangan cairan
15. Posisikan untuk meringankan
Penurunan
sesak napas
ventilasi semenit
16. Monitor status pernapasan
Tidak adanya
dan okseigenasi,
Pernapasan bibir
sebagaimana mestinya
Tidak adanya
Pernapasan Monitor Pernapasan
cuping hidung Monitor kecepatan, irama,
Tidak adanya kedalaman dan kesulitan
Perubahan bernapas
ekskursi dada Catat pergerakan dada, catat
Pola napas ketidaksimetrisan,
normal (mis., penggunaan otot-otot bantu
irama, frekuensi, napas dan retraksi pada
kedalaman) supraclaviculas dan
Tidak adanya interkosta
Takipnea Monitor suara tambahan
seperti ngorok atau mengi
Monitor pola napas
(misalnya, bradipneu,
takipneu, hiperventilasi,
pernapasan kusmaul,
pernapasan 1:1, apneustik,
respirasi biot, pola ataxic
Monitor saturasi oksigen
pada pasien tersedasi (seperti
SaO₂, SvO₂, SpO₂) sesuai
dengan protocol yang ada
Pasang sensor pemantauan
oksigen non-invasif
(misalnya, pasang alat pada
jari, hidung, dan dahi)
dengan mengatur alarm pada
pasien berisiko tinggi sesuai
dengan prosedur tetapo yang
ada
Palpasi kesimetrisan ekspansi
paru
Perkusi torak anterior dan
posterior, dari apeks ke basis
paru, kanan dan kiri
Catat lokasi trakea
Monitor kelelahan otot-otot
diapragma dengan
pergerakan parasoksikal
Auskultasi suara napas, catat
area dimana terjadi
penurunan atau tidak adanya
ventilasi dan keberadaan
suara napas tambahan
Kaji perlunya penyedotan
jalan napas dengan auskultasi
suara nafas ronki di paru
Auskultasi suara napas setelah
tindakan, untuk dicatat
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta : Salemba Medika
Kosim. M.S., 2010. Deteksi Dini Dan anajemen Gangguan Napas Pada
NeonatusSebagai Aplikasi P O N E K (Pelayanan Obstetri Neonatal
Emergency Komprehensif). Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr.
Kariadi/ FKUNDIP Semarang
Betz, Cecily lyn, dan linda A. sowden 2009. Keperawatan pediatric, edisi 5. Jakarta:
EGC