OLEH
KP.12.19.032
DENPASAR
2021
LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN
B. Epidemiologi
Di Amerika Serikat , sindrom gawat pemapasan telah diperkirakan terjad i pada
20.000-30.000 bayi baru lahir setiap tahun dan merupakan kompiikasi pada sekitar 1%
kehamilan . Sekitar 50% dari neonatus yang lahir pada usia 26-28 minggu kehamilan
mengalami sindrom gawat pernapasan , sedangkan kurang dari 30% dari bayi prematur
yang lahir di usia 30-31 minggu kehamilan tergantung kondisi (Pramanik , 2015) . Dalam
satu laporan, tingkat kejadian sindrom gawat pernapasan adalah (42%) pada bayi dengan
berat badan bayi 501-I5OOg, 71% dilaporkan pada bayi dengan berat badan bayi 501-
750g, 54% pada bayi dengan berat badan bayi 751-IOOOg, 36% pada bayi dengan berat
badan bayi 1000-1250g, dan 22% pada bayi dengan berat badan bayi 1251-1500g,
pelaporan ini terdapat di antara 12 rumah sakit universitas yang berpartisipasi dalam
National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) pada Jaringan
Penelitian Neonatal (Pramanik , 2015).
Angka kejadian RDS pada bayi yang lahir dengan masa gestasi 28 minggu
sebesar 60%-80%, pada usia kelahiran 30 minggu adalah 25%, sedangkan pada usia
kelahiran 32-36 minggu sebesar 15-30%, dan pada bayi aterm jarang dijumpai. Di negara
maju RDS terjadi pada 0,3-1% kelahiran hidup dan merupakan 15-20% penyebab
kematian neonatus. Di Amerika Serikat diperkirakan 1% dari seluruh kelahiran hidup,
yang artinya 4000 bayi mati akibat sindrom gawat nafas neonates (SGNN ) setiap
tahunnya. Di Indonesia, dari 950.000 BBLR yang lahir setiap tahun diperkirakan 150.000
bayi di antaranya menderita SGNN (Tobing, 2004).
Dua pertiga kematian pada bayi di Indonesia terjadi pada masa neonatal atau 28
hari pertama kehidupan. Pada tahun 2011 terdapat 29,24 per 1000 kelahiran hidup,
menunjukkan angka yang menurun dari tahun sebelumnya yang sebesar 29.99 per 1.000
kelahiran hidup, sedangkan target MDGs tahun 2015, yaitu sebesar 23 per 1.000
Kelahiran Hidup. Ini menunjukkan belum tercapai tujuan MDGS dan masih tinggi angka
kematian bayi di Indonesia (Sulani , 2015).
C. Etiologi
Penyebab kelainan ini secara garis besar adalah kekurangan surfaktan, suatu zat
aktif pada alveoli yang mencegah kolaps paru. RDS seringkali terjadi pada bayi prematur,
karena produksi surfaktan, yang dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, baru mencapai
jumlah cukup menjelang cukup bulan. Makin muda usia kehamilan, makin besar pula
kemungkinan terjadinya RDS.
Menurut Suriadi dan Yulianni (2012) etiologi dari RDS yaitu:
1. Ketidakmampuan paru untuk mengembang dan alveoli terbuka.
2. Alveoli masih kecil sehingga mengalami kesulitan berkembang dan pengembangan
kurang sempurna. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap
berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih
belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan
mengalami sesak nafas.
3. Membran hialin berisi debris dari sel yang nekrosis yang tertangkap dalam
proteinaceous filtrat serum (saringan serum protein), di fagosit oleh makrofag.
4. Berat badan bayi lahir kurang dari 2500 gram.
5. Adanya kelainan di dalam dan di luar paru. Kelainan dalam paru yang menunjukan
sindrom ini adalah pneumothoraks/pneumomediastinum, penyakit membran hialin
(PMH).
6. Bayi prematur atau kurang bulan Diakibatkan oleh kurangnya produksi surfaktan.
Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, semakin muda usia
kehamilan, maka semakin besar pula kemungkinan terjadi RDS.
D. Patofisiologi
Faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh
alveoli masih kecil sehingga sulit berkembang, pengembangan kurang sempurna karena
dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan
mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut
menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance)
menurun 25 % dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat
dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik.
Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein ,
lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap
mengembang. Secara makroskopik, paru-paru tampak tidak berisi udara dan berwarna
kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang
tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga
udara bagian distal menyebabkan edem interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga
menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II.
Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi
surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau
volutrauma dan toksisitas oksigen, menyebabkan kerusakan pada endothelial dan
epithelial sel jalan napas bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin
yang berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu
setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada
36-72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek pada bayi yang
immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan
chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD) (Wahyuni,
2011).
E.
E. Pathway
Resiko gangguan
termoregulasi : hipotermia
Ventilasi berkurang Hipoksia
Edema
Takipne
Mengendap di
Pertukaran gas
Pola napas Alvioli
terganggu
tidak efektif
Defisit Nutrisi
F. Klasifikasi
Berat atau ringannya gejala klinis pada penyakit RDS (Respiratory Distress
Syndrom) ini sangat dipengaruhi oleh tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan
dan usia kehamilan, semakin berat gejala klinis yang ditunjukan. Gejala dapat tampak
beberapa jam setelah kelahiran. Bayi RDS (Respiratory Distress Syndrom)yang mampu
bertahan hidup sampai 96 jam pertama mempunyai prognosis yang lebih baik. Gejala
umum RDS yaitu: takipnea (>60x/menit), pernapasan dangkal, mendengkur, sianosis,
pucat, kelelahan, apnea dan pernapasan tidak teratur, penurunan suhu tubuh, retraksi
suprasternal dan substernal, pernapasan cuping hidung ( Surasmi, dkk 2013).
G. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda klinis yang ditemui pada RDS adalah : dispnue, merintih
(grunting), takipnu (pernafasan lebih 60x/menit), retraksi dinding toraks dan sianosis.
Gejala-gejala ini timbul dalam 24 jam pertama sesudah lahir dengan derajat yang
berbeda, tetapi biasanya gambaran sindrom gawat nafas sudah nyata pada usia 4 jam
(Tobing, 2004).
Tanda yang hampir selalu didapat adalah dispnue yang akan diikuti dengan
takipnu, pemafasan cuping hidung, retraksi dinding toraks, dan sianosis. Diagnosis dini
dapat ditegakkan bila telah ada gambaran sindrom tersebut, terlebih lagi bila disertai
dengan adanya faktor-faktor risiko (Tobing, 2004). Tanda dan gejala sindrom gawat
pemapasan (RDS) biasanya terjadi pada saat lahir atau dalam beberapa jam pertama yang
mengikuti, termasuk (NHLBI, 2012) :
1) Pernapasan Cepat dan dangkal
2) Retraksi dada
3) Suara mendengus
4) Lubang hidung melebar (cuping hidung )
5) Bayi juga mungkin memiliki jeda dalam bernapas yang berlangsung selama beberapa
detik (apnea)
H. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan takhipneu, pernafasan mendengkur,
retraksi subkostal/interkostal, pernafasan cuping hidung, sianosis dan pucat, hipotonus,
apneu, gerakan tubuh berirama, sulit bernafas dan sentakan dagu. Pada awalnya suara
nafas mungkin normal kemudian dengan menurunnya pertukaran udara, nafas menjadi
parau dan pernapasan dalam. Pengkajian fisik pada bayi dan anak dengan kegawatan
pernafasan dapat dilihat dari penilaian fungsi respirasi dan penilaian fungsi
kardiovaskuler. Penilaian fungsi respirasi meliputi:
1) Frekuensi nafas
Takhipneu adalah manifestasi awal distress pernafasan pada bayi. Takhipneu
tanpa tanda lain berupa distress pernafasan merupakan usaha kompensasi terhadap
terjadinya asidosis metabolik seperti pada syok, diare, dehidrasi, ketoasidosis,
diabetikum, keracunan salisilat, dan insufisiensi ginjal kronik. Frekuensi nafas yang
sangat lambat dan ireguler sering terjadi pada hipotermi, kelelahan dan depresi SSP
yang merupakan tanda memburuknya keadaan klinik.
2) Mekanika usaha pernafasan
Meningkatnya usaha nafas ditandai dengan respirasi cuping hidung, retraksi
dinding dada, yang sering dijumpai pada obtruksi jalan nafas dan penyakit alveolar.
Anggukan kepala ke atas, merintih, stridor dan ekspansi memanjang menandakan
terjadi gangguan mekanik usaha pernafasan.
3) Warna kulit/ membran mukosa
Pada keadaan perfusi dan hipoksemia, warna kulit tubuh terlihat berbercak
(mottled), tangan dan kaki terlihat kelabu, pucat dan teraba dingin.
I. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Menurut Cecily & Sowden (2009) pemeriksaan penunjang pada bayi dengan RDS
yaitu:
1. Kajian foto thoraks
a. Pola retikulogranular difus bersama udara yang saling tumpang tindih.
b. Tanda paru sentral dan batas jantung sukar dilihat, hipoinflasi paru
c. Kemungkinan terdapat kardiomegali bila sistem lain juga terkena (bayi dari ibu
diabetes, hipoksia atau gagal jantung kongestif)
d. Bayangan timus yang besar
e. Bergranul merata pada bronkogram udara yang menandakan penyakit berat jika
muncuk pada beberapa jam pertama
2. Gas darah arteri-hipoksia dengan asidosis respiratorik dan atau metabolic
a. Hitung darah lengka
b. Elektrolit, kalsium, natrium, kalium, glukosa serum
c. Tes cairan amnion (lesitin banding spingomielin) untuk menentukan maturitas
paru
d. Oksimetri nadi untuk menentukan hipoksia
J. Diagnosis
1. Anamnesis tentang
Riwayat kelahiran kurang bulan
Riwayat ibu dengan diabetes militus
Riwayat persalinan yang mengalami asfiksia perinatal (gawat janin) atau partus
tindakan dengan bedah sesar
Riwayat kelahiran saudara kandung dengan penyakit RDS
2. Pemeriksaan fisik
Gejala biasanya dijumpai dalam 24 jam pertama kehidupan
Dijumpai sindrome klinis yang terdiri dari kumpulan gejala
Sesak nafas, dengan frekuensi nafas > 60 kali/menit atau < 30 kali/menit
Grunting atau merintih
Retraksi dinding dada
Kadang dijumpai sianosis pada suhu kamar
Manifestasi klinis berupa distress pernafasan dapat dinilai dengan APGAR
score (derajat asfiksia) dan silverman score. Bila nilai silverman score > 7
berarti ada distress nafas, namun ada juga yang menyatakan bila nilainya > 2
selama > 24 jam
Perhatikan tanda prematuritas
Kadang ditemukan hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru-paru
Perjalanan klinis bervariasi sesuai dengan beratnya penyakit, besarnya bayi,
adanya infeksi dan derajat dari pirau PDA.
K. Penatalaksanaan
Menurut Suriadi dan Yuliani (2016) dan Surasmi,dkk (2017) tindakan untuk
mengatasi masalah kegawatan pernafasan meliputi :
1. Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat.
2. Mempertahankan keseimbangan asam basa.
3. Mempertahankan suhu lingkungan netral.
4. Mempertahankan perfusi jaringan adekuat.
5. Mencegah hipotermia.
6. Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.
Penatalaksanaan Keperawatan :
a. Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling sering dan bila
bayi tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus dektrosa 5 %
Pantau selalu tanda vital
Jaga kepatenan jalan nafas
Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal)
b. Jika bayi mengalami apneu
Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan
Lakukan penilaian lanjut
c. Bila terjadi kejang potong kejang
d. Segera periksa kadar gula darah.
Penatalaksanaan medis :
Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah:
Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder
Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan caiaran paru
Fenobarbital
Vitamin E menurunkan produksi radikalbebas oksigen
Metilksantin (teofilin dan kafein ) untuk mengobati apnea dan untuk pemberhentian
dari pemakaian ventilasi mekanik.
b. Data objektif
Data objektif adalah data yang menggambarkan hasil pemeriksaan fisik, hasil
laboratorium dan tes diagnostik lain yang dirumuskan dalam data fokus.
Rencana Keperawatan
Tujuan dan Intervensi Rasional
No Dx Keperawatan
Kriteria hasil
1 Pola nafas tidak Setelah diberikan 1. Pantau 1. Menentukan
efektif b/d asuhan frekuensi intervensi
hambatan upaya keperawatan napas dan selanjutnya
nafas d/d dyspnea, selama …x24 jam pola napas
penggunaan otot diharapkan pola 2. Posisikan 2. Agar bayi
bantu napas, pola nafas membaik bayi fowler nyaman
napas abnormal, dengan kriteria 3. Beri O2 3. Perbaikan kadar
pernapasan cuping hasil : sesuai O2
hidung, frekuensi 1. Dyspnea indikasi
napas menurun 4. Kolaborasi 4. Perbaikan pola
(D.0005) 2. Penggunaan pemeberian napas dengan
otot bantu obat sesuai farmakologi
menurun indikasi
3. Pernapasan (1.01014)
cuping hidung
menurun
4. Frekuensi
napas
membaik
(L.01004)
2 Gangguan Setelah diberikan 1. Pantau frekuensi 1. Menentukan
pertukaran gas b/d asuhan napas dan pola intervensi
Ketidakseimbanga keperawatan napas selanjutnya
n ventilasi-perfusi selama …x24 jam 2. Beri oksigenasi 2. Perbaikan kadar
d/d dyspnea, bunyi diharapkan sesuai kebutuhan oksigenasi
napas tambahan pertukaran gas 3. Posisikan bayi 3. Agar bayi
(D.0003) meningkat dengan fowler merasa nyaman
kriteria hasil : 4. Kolaborasi obat 4. Perbaikan
1. Dyspnea sesuai indikasi napas dengan
menurun (1.01014) agen
2. Bunyi napas farmakologi
tambahan
menurun
3. Napas cuping
hidung
menurun
(L.01003)
3 Defisit nutrisi b/d Setelah diberikan 1. Kaji reflek isap 1. Mencantumkan
reflek isap asuhan bayi / menelan metode
menurun d/d BB keperawatan pemberian
menurun, otot selama …x24 jam makan tepat
menelan lemah diharapkan status 2. Berikan asi/pasi 2. Pemberian
(D.0019) nutrisi bayi secara tepat asi/pasi secara
membaik dengan tepat
kriteria hasil : 3. Timbang BB tiap 3. Menentukan
1. Intake nutrisi hari tingkat nutrisi
2. Reflek isap bayi
meningkat 4. Ajarkan teknik 4. Agar ibu
3. Berat badan menyusui yang memahami
meningkat tepat sesuai teknik
(L.03030) kebutuhan ibu menyusui
(1.03119) secara tepat
4 Hipotermia d/d Setelah diberikan 1. Monitor suhu 1. Agar
kekurangan lemak asuhan bayi sampai mengetahui
subkutan d/d kulit keperawatan stabil (36,5- suhu bayi
teraba dingin, suhu selama …x24 jam 37,5°C)
tubuh dibawah diharapkan 2. Sediakan 2. Agar bayi
nilai normal, termoregulasi lingkungan yang merasa nyaman
ventilasi menurun membaik dengan hangat (mis.
(D.0131) kritaria hasil : Atus suhu
1. Suhu tubuh ruangan,
membaik incubator)
3. Agar bayi
2. Ventilasi 3. Berikan
merasa hangat
membaik kehangatan
3. Ttv dalam dengan
batas normal menyelimuti
TD : Sistole bayi
67-84, diastole (1.14507)
31-45 mmHg
N : 85-
100x/mnt
RR : 30-
60x/mnt
S : 36,6°C
(L.14134)
5 Risiko hipovolemia Setelah diberikan 1. Monitor status 1. mengetahui
b/d kehilangan asuhan hidrasi (mis. keadaan umum
cairan berlebih keperawatan Frekuensi nadi, klien
(D.0034) selama …x24 jam kekuatan nadi,
diharapkan akral, pengisian
keseimbangan kapiler,
cairan meningkat kelembapan
dengan kriteria mukosa, turgor
hasil : kulit, tekanan
1. Asupan cairan darah)
meningkat 2. Catat intake- 2. membantu
2. Tekanan darah output dalam
membaik (1.03116) menganalisa
3. Turgor kulit keseimbangan
membaik cairan dan
(L.03020) derajat
kekurangan
cairan
3. Kolaborasi 3. membantu
pemberian cairan kebutuhan
oral jika cairan dalam
diinstruksikan tubuh
D. Pelaksanaan Asuhan Keperawatan
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2015) implementasi merupakan tindakan yang
sudah direncanakan dalam rencana perawatan. Tindakan keperawatan mencakup
tindakan mandiri(independen) dan tindakan kolaborasi. Tindakan mandiri(independen)
adalah aktivitas perawat yang didasarkan pada kesimpulan dan keputusan sendiri
bahkan merupakan petunjuk atau perintah dari petugas kesehatan lain. Tindakan
kolaborasi adalah tindakan yang didasarkan hasil keputusan bersama, seperti dokter dan
petugas kesehatan lain.
Suriadi & Yuliani. 2012. Buku Pegangan Praktik Klinik. Asuhan keperawatan pada Anak Edisi
2. Jakarta : Sagung Seto.
Rahardjo dan Marmi,2012, Asuhan Neonatus, Bayi, Balita dan Prasekolah. Jakarta : Pustaka
Belajar
Sudarti & Fauziah. (2013). Asuhan Neonatus Resiko Tinggi dan Kegawatan. Cetakan I.
Yogyakarta: Nuha medika
PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi
1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
Tobing, R. 2014. Kelainan Kardiovaskular pada Sindrom Gawat Nafas Neonatus. Sari Pediatri.
6(l):40-46 (http://saripediatri.idai.or.id diakses pada 20 September 2021)
Sulani, F. (2012) . Panduan Pelayanan Kesehatan Bayi Baru Lahir Berbasis Perlindungan Anak.
Jakarta : Direktorat Kesehatan Anak Khusus Kemenkes RI .