Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit membran hialin (HMD) dikenal juga sebagai respiratory distress syndrome
(RDS) yang terjadi hampir sebagian besar pada bayi kurang bulan khususnya yang lahir pada
usia kehamilan 32 minggu.
Penyakit membran hialin merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi baru
lahir. Kurang lebih 30% dari semua kematian pada neonatus disebabkan oleh HMD atau
komplikasinya. Pengenalan riwayat kehamilan, riwayat persalinan, serta intervensi dini dalam
pencegahan, diagnostik, dan penatalaksaan penderita dapat membantu menurunkan angka
kematian penyakit.
HMD ditandai dengan adanya kesukaran bernafas (pernafasan cuping hidung, tipe
pernapasan dyspnea/takipnea, retraksi dada, dan sianosis) yang menetap atau menjadi progresif
dalam 48-96 jam pertama kehidupan dan pada pemeriksaan radiologis ditemukan pola
retikulogranuler yang uniform dan air bronchogram.
Pengenalan surfaktan eksogen sebagai pencegahan dan terapi telah merubah keadaan
klinik dari penyakit dan menurunkan morbiditas dan mortalitas dari penyakit. Surfaktan
biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong
alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan
masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang.

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Penyakit membran hialin atau hyaline membrane disease (HMD) atau yang dikenali
sebagai respiratory distress syndrome (RDS) adalah merupakan penyakit gangguan
respirasi yang disebabkan oleh defisiensi surfaktan oleh karena ketidakmatangan paru.1,2

2.2 Epidemiologi
Insiden HMD tertinggi terjadi pada bayi prematur, ras caucasian, laki-laki,
riwayat saudara sebelumnya yang menderita HMD, lahir melalui sectio sesaria,
asfiksia dan ibu diabetes melitus. 60-80% terjadi pada bayi dengan gestasi kurang dari
28 minggu, 15-30% teijadi pada gestasi antara 32-36 minggu, dan 5% pada gestasi 37
minggu keatas.3
Fanaroff, dkk melaporkan bahwa 42% bayi antara 501-1500 gr mengalami PMH,
dimana 71% dialami bayi dengan berat badan antara 501-750 gr, 54% antara 751-1000
gr, 36% antara 1001-1250 gr, dan 22% antara 1251-1500 gr.4

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko


Defisiensi surfaktan (penurunan produksi dan sekresi) adalah penyebab utama dari
HMD. Konstituen utama surfaktan adalah dipalmitoyl fosfatidilkolin (lesitin),
fosfatidilgliserol, apoprotein (protein surfaktan SP-A, -B, -C, -D), dan kolesterol.
Beberapa hal seringkali dikaitkan sebagai factor risiko, yaitu:
a. Prematuritas
Faktor risiko HMD secara luas dikaitkan dengan usia kehamilan. Menurut
Rubatelli et all 1998, 50% bayi yang dilahirkan pada usia gestasi dibawah 30 minggu
akan mengalami HMD bila dibandingkan dengan bayi yang dilahirkan pada usia
gestasi antara 35-36 minggu. Pada bayi premature struktur paru nya berbeda dengan
struktur paru bayi cukup bulan. Bayi premature memiliki paru dengan jarungan ikat
yang lebih banyak dibandingkan paru matur dengan alveoli yang terbentuk secara tidak
sempurna,2

b. Jenis kelamin
Laki-laki lebih banyak mengalami HMD dibandingkan perempuan dengan
prevalensi 1.7:1. Pada bayi laki-laki dikatakan terdapat keterlibatan dari androgen
terhadap keterlambatan pematangan dari lecithin-to-sphingomyelin (L:S) ratio dan

2
keterlambatan pembentukan phosphatidylglycerol (PG). 2

c. Ras
Bayi dari orang berkulit hitam memiliki insiden HMD yang lebih rendah sekitar
60-70% dibandingkan dari bayi orang berkulit putih dengan usia gestasi yang sama.
Diduga hal tersebut ada kaitannya dengan variasi Allelic pada gen protein A surfaktan.2

d. Caesarean section
Caesarean section yang dilakukan sebelum waktu bersalin dikatakan
meningkatkan risiko bayi mengidap HMD. Tetapi hingga saat ini data yang ditemukan
masih inkonsisten.

e. Asfiksia
Bayi dengan usia gestasi <32 minggu dengan apgar score < 4 berisiko lebih tinggi
terjadi HMD dibandingkan dnegan bayi dengan usia gestatsi yang sama dengan apgar
score >4. Pada fetal asfiksi, perfusi paru menurun dan menyebabkan kerusakan iskemik
pada kapiler paru. Ketika fetus membaik dari keadaan asfiksianya, terjadi hiperperfusi
ke parudan apabila segera dilahirkan maka cairan kaya protein akan keluar dari
pembuluh darah kapiler yang rusak tersebut. Kebocoran protein ini akan menginhibisi
aktivitas surfaktan pada permukaan alveolar. 2

f. Maternal diabetes
Pada ibu yang dibetes terjadu peningkatan insulin di dalam tubuh yang
menghambat maturase dari alveolar tipe II dan menurunkan proporsi
phospatidylcholine pada surfactant. Insulin dikatakan menginhibisi akumulasi SP-A
pada mRNA.

g. Kembar
Anak kembar kedua dikatakan lebih sering berkembang menjadi RDS.

h. Hipotermia
Fungsi surfaktan akan berkurang pada bayi yang hipotermi. Pada suhu tubuh
dibawah 340C, dipalpitoyl phosphatidycholine (DPPC) tidak dapat menyebar secara
baik membentuk monolayer.

3
2.4 Patofisiologi
Peranan surfaktan ialah untuk merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga
tidak terjadi kolaps dan mampu untuk menahan sisa udara pada akhir ekspirasi. Defisiensi
substansi surfaktan yang ditemukan pada penyakit membrane hialin menyebabkan kemampuan
paru untuk mempertahankan stabilitasnya terganggu. Alveolus akan kembali kolaps setiap
akhir ekspirasi, sehingga untuk pernafasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks
yang lebih besar yang disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Kolaps paru ini akan
menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis.
Hipoksia akan menimbulkan: (1) oksigenasi jaringan menurun sehingga akan terjadi
metabolisme anaerob dengan penimbunan asam laktat dan asam organik lainnya yang
menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada bayi, (2) kerusakan endotel kapiler dan epitel
duktus alveolaris yang akan menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan
terbentuknya fibrin dan selanjutnya fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik
membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin. Asidosis dan atelektasis juga
menyebabkan terganggunya sirkulasi darah dari dan ke jantung. Demikian pula aliran darah
paru akan menurun dan hal ini akan mengakibatkan berkurangnya pembentukan substansi
surfaktan.1,2
Penyebab utama HMD adalah defisiensi surfaktan di paru yang belum matang. Paru-
paru yang secara struktural belum matang dan defisiensi surfaktan memiliki compliance yang
rendah dan kecenderungan untuk atelektasis; faktor lain pada bayi prematur yang
meningkatkan risiko atelektasis adalah penurunan radius alveolar dan dinding dada yang
lemah. Dengan atelektasis, bagian paru dengan perfusi baik tetapi ventilasi yang buruk
mengarah ke ketidaksesuaian V/Q (dengan shunting intrapulmonal) dan hipoventilasi alveolar
dengan akibat hipoksemia dan hiperkarbia. Hipoksemia berat dan hipoperfusi sistemik
menyebabkan penurunan transportasi O2, metabolisme anaerob dan menyusulnya asidosis
laktat.1,2
Hipoksemia dan asidosis lebih lanjut dapat memperburuk oksigenasi melalui
vasokonstriksi paru sehingga menyebabkan right-to-left shunt pada foramen ovale dan duktus
arteriosus. Faktor lain seperti barotrauma atau volutrauma dan FiO2 tinggi mungkin mengawali
pelepasan sitokin dan kemokin inflamasi yang menyebabkan lebih banyak kecederaan sel
endotel dan epitel. Kecederaan ini mengurangkan sintesis dan fungsi surfaktan serta
peningkatan permeabilitas endotel yang mengarah ke edema pulmonal. Kebocoran protein ke
dalam ruang alveolar memperburuk lebih lanjut defisiensi surfaktan dengan mengakibatkan
inaktivasi surfaktan. Secara makroskopis, paru terlihat padat dan atelektasis. Secara

4
mikroskopis, dapat dilihat atelektasis alveolar difus dan edema pulmonal.1,2

Gambar 1. Patofisiologi penyakit membran hialin

2.4 Diagnosis
2.4.1 Gejala Klinis
Penyakit membran hialin sering terjadi pada bayi premature pada usia gestasi dibawah 28
minggu, mengenai 1 dari 3 bayi pada usia gestasi 28-34 minggu. Tanda gangguan pernafasan
mulai tampak 6-8 jam pertama setelah kelahiran dan gejala yang karakteristik mulai terlihat
pada umur 24-72 jam..1,2
Gangguan pernafasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelektasis dan perfusi paru
yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan gambaran klinis seperti dispnea atau
hiperpnea, sianosis karena saturasi O2 yang menurun, retraksi suprasternal, retraksi interkostal
dan expiratory grunting. Selain tanda gangguan pernafasan, ditemukan gejala lain misalnya
bradikardia (sering ditemukan pada penderita HMD berat), hipotensi, kardiomegali, pitting
edema terutama di daerah dorsal tangan atau kaki, hipotermia, tonus otot yang menurun, gejala
sentral dapat terlihat bila terjadi komplikasi. Scoring system yang sering digunakan pada bayi
preterm dengan HMD adalah skor Downes.

5
Skor : <6 = Respiratory distress
>6 = Inpending respiratory failure

2.4.2 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan gas darah
Hasil analisis gas darah menunjukkan asidosis respiratorik dan asidosis metabolik
dengan hipoksia. Asidosis respiratorik terjadi karena atelektasis dari alveoli dan atau
overdistensi dari bronkiolus (terminal airways). Asidosis metabolik yang terjadi pada HMD
dawali dengan asidosis laktat sebagai akibat dari menurunnya perfusi ke jaringan sehingga
tubuh menggunakan jalur anaerob untuk metabolisme. Hipoksia pada HMD ini terjadi dari
right-to- left shunting melalui pembuluh dari pulmonal, patent ductus artreriosus (PDA), dan
atau foramen ovale tidak menutup.1,2

b. Pulse Oximetry
Pulse oximetry adalah tindakan non-invansif yang digunakan untuk memantau
saturasi oksigen dalam darah, dimana saturasi dipertahankan pada nilai 90-95%.

6
a. Radiologi
Diagnosis yang tepat dengan pemeriksaan foto rontgen toraks. Pemeriksaan ini juga
sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain yang diobati dan
mempunyai gejala yang mirip penyakit membran hialin, misalnya pneumotoraks, hernia
diafragmatika, dan lain- lain. 1,2,5
Foto toraks posisi AP dan lateral (bila diperlukan serial). Gambaran radiologis pada
penyakit membran hialin sangat khas berupa pola retikulogranular, yang disebut dengan
ground glass appearance, disertai dengan gambaran bronkus di bagian perifer paru (air
bronchogram Terdapat 4 stadium:
Stadium 1: pola retikulogranular (ground glass appearance)
Stadium 2: stadium 1 + air bronchogram
Stadium 3: stadium 2 + batas jantung - paru kabur
Stadium 4: stadium 3 + white lung appearance

Gambar 3. HMD dengan granular appearance pada kedua paru

7
Gambar 4. HMD dengan granular appearance dan air broncogram

Gambar 5. HMD dengan gambaran batas jantung

Gambar 6. white lung appearance (kanan-paru kabur (kiri)

108
b. Uji Kematangan Paru
i. Tes biokimia (Rasio lecithin-sphingomyelin)
Paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid
dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur
kematangan paru, dengan cara menghitung rasio lesitin dibandingkan sfingomielin
dari cairan amnion.
Tes ini merupakan salah satu tes yang sering digunakan. Sfingomyelin
merupakan suatu membran lipid yang secara relatif merupakan komponen non
spesifik dari cairan amnion. Rasio L:S dapat diperiksa pada cairan ketuban. Pada
kehamilan 31 –32 minggu rasio L:S adalah 1:1dan pada usia kehamilan 35 minggu
rasionya adalah 2:1. Berikut ini adalah petunjuk untuk menentukan kematangan paru
dengan rasio L:S
1. L:S = 2:1 paru sudah matur, hanya 2% bayi dalam kondisi ini yang akan menderita
PMH
2. L:S = 1,5-1,9:1 50% bayi pada kondisi ini akan menderita PMH
3. L:S = <1,5:1 73% bayi akan menderita PMH

ii. Tes biofisika (Shake test)


Shake test ini bardasarkan sifat dari permukaan cairan fosfolipid yang membuat
dan menjaga agar gelembung tetap stabil. Pada janin, cairan paru biasanya ditelan,
sehinga aspirasi dari cairan lambung dapat digunakan untuk evaluasi.
Dengan mengocok cairan aspirasi lambung 0.5 cc, NaCl 0.9% 0.5 cc dan alkohol
1 cc lalu dikocok selama 15 detik dan didiamkan selama 15 menit. Hasil interpretasi
sebagai berikut:
1. Positif bila terlihat gelembung udara yang membentuk cincin diatas permukaan
cairan dalam tabung reaksi. Artinya surfaktan pada jumlah yang cukup.
2. Negatif bila tidak terdapat gelembung. Artinya kemungkinan untuk menderita lebih
besar.
3. Ragu bila terdapat gelembung tapi tidak terbentuk cincin.

19
2.1 Gambar. Diagnosis Banding
Tabel 2. Perbedaan sindrom gawat nafas.6

Penya Etiologi Waktu Faktor Pemeriksa Radiologi Terapi Pencegaha


kit persalin risiko an klinis n
an
TTN Cairan Kapanp SC, Takipnoe, Infiltrat Suportif, Prenatal
paru un makrosom sering pada oksigen kortikoster
persisten ia, male tidak ada parenkim bila oid
sex, ibu hipoksia paru, wet hipoksia sebelum
diabetes, ataupun silhouette SC pada
ibu asma sianosis around usia gestasi
heart, 37-39
intralobar minggu
fluid
accumulatio
n
RDS Defisiens Preterm Male sex, Takipnoe, Homogenou Resusita
i ibu hipoksia, s infiltrate, si,
surfaktan, diabetes, sianosis air oksigen,
gangguan persalinan bronchogra ventilasi
pematang preterm ms, ,

2
10
an paru penurunan surfakta
volume n
paru
MAS Iritasi dan Cukup Meconium Takipnoe, Patchy Resusita Jangan
obstruksi bulan stain hipoksia ateletaksiss, si, menghalan
paru atau amniotic konsolidasi oksigen, gi proses
postter fluid, post ventilasi melhirkan
m term , untuk
delivery surfakta suctioning
n

a. Transient Tachypnoea of the newborn (TTN)


Transient tachipnoe of newborn merupakan penyebab tersering neonatal respiratory
distress yaitu sekitar 40% kasus. Penyakit ini terjadi ketika ada residual cairan paru yang
tertinggal di jaringan paru setelah proses melahirkan. Prostaglandin dilepaskan setelah proses
melahirkan dan berfungsi untuk dilatasi pembuluh limfa untuk menghilangkan cairan paru
seiring peningkatan sirkulasi paru pada pernapasan awal. Kegagalan proses ini menyebabkan
TTN.
TTN juga dihubungkan dengan maternal asma, jenis kelamin laki-laki, makrosomia dan
caesarean delivery. Gejala dapat muncul segera setelah lahir atau dalam 2 jam dan dapat
bertahan hingga beberapa jam sampai 2 hari. Gambaran radiografi menunjukkan adanya
diffuse parenchymal infiltrates, a “wet silhouette” around the heart atau penumpukan cairan
intralobar.6

Gambar 8. Transient tachypnoea of the newborn dengan gambaran cairan pada fisura

11
3
b. Meconium aspiration syndrome
Aspirasi mekonium jarang terjadi pada bayi kurang bulan. Sindrom aspirasi mekonium
terjadi apabila janin mengeluarkan mekonium ke dalam cairan amnion ketika masih berada
dalam kandungan, dan cairan amnion yang terkontaminasi mekonium teraspirasi oleh bayi.
Aspirasi mekonium menyebakan obstruksi mekanis pada paru sehingga menyebabkan
terperangkapnya udara dan mengakibatkan atelektasis dan ketidakseimbangan perfusi-
ventilasi. Secara klinis, bayi tampak berwarna kuning kehijauan atau lebih dikenali sebagai
meconium-stained skin.
Penegakkan diagnosis aspirasi mekoneum dapat dilakukan dengan kombinasi foto
rontgen dengan gambaran bercak-bercak konsolidasi atau atelektasis, infiltrat kasar di kedua
lapangan paru, dan hiperinflasi karena terperangkapnya udara transversalis dan hiperekspansi
paru.6

2.2 Penatalaksanaan

2.2.1 Pemberian Kortikosteroid pada Ibu


Intervensi untuk mencegah terjadinya HMD sebelum kelahiran yaitu dengan pemberian
kortikosteroid. Steroid antenatal diberikan pada ibu untuk menurunkan risiko kematian pada
neonatal. Keberhasilan pemberian steroid hanya terlihat pada bayi preterm yang ibunya menerima
dosis pertama steroid 1-7 hari sebelum persalinan. Betamethason dan dexamethason digunakan
untuk meningkatkan pematangan paru janin. Pemberian steroid antenatal direkomendasikan pada
semua kehamilan yang berisiko terjadinya persalinan preterm. Dosis tunggal pemberian
betamethason adalah 12 mg. Interval optimal untuk memulai terapi berdasarkan taksiran
persalinan adalah >24 jam dan <7 hari. Tidak ada bukti yang jelas menunjukkan pemberian dosis
ulangan dapat meningkatkan

2.2.2 Penatalaksanaan Umum


Dasar tindakan ialah mempertahankan bayi dalam suasana fisiologis agar bayi mampu
melanjutkan perkembangan paru dan organ lain sehingga dapat mengadakan adaptasi sendiri
terhadap sekitarnya.8 Tindakan yang perlu dikerjakan ialah:
1. Memberikan lingkungan yang optimal
Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,5-37˚C)
dengan meletakkan bayi di dalam inkubator. Humiditas ruangan juga harus adekuat (70- 80%).
Semua usaha meresusitasi bayi haruslah dengan langkah mencegah terjadinya hipotermia
untuk meningkatkan angka kehiudpan. Selain radiant warmer, menyelubungi bayi dengan
4
12
plastik polietilen dapat menurunkan insiden hipotermia, terutama pada bayi preterm.
keberhasilan efek kortikosteroid.4,

2. Pemberian cairan dan nutrisi


Pada fase akut, harus diberikan melalui intravena. Cairan yang diberikan harus cukup
untuk menghindarkan dehidrasi dan mempertahankan homeostasis tubuh yang adekuat. Pada
hari-hari pertama diberikan glukosa 5-10% dengan jumlah yang disesuaikan dengan umur dan
berat badan (60-125 ml/kgbb/hari). Asidosis metabolik pada penderita, harus segera diperbaiki
dengan pemberian NaHCO3 secara intravena. Pemeriksaan keseimbangan asam- basa tubuh
harus diperiksa secara teratur agar pemberian NaHCO3 dapat disesuaikan dengan
mempergunakan rumus: kebutuhan NaHCO3 (mEq) = deficit basa x 0,3 x berat badan bayi.
Pada pemberian NaHCO3 ini bertujuan untuk mempertahankan pH darah antara 7,35-7,45.
Pada asidosis yang berat, penilaian klinis yang teliti harus dikerjakan untuk menilai apakah
basa yang diberikan sudah cukup adekuat.1,2
Bila bayi sudah tidak lagi sesak, minimal enteral feeding dengan air susu dapat
diinisiasikan sesegera mungkin, dengan jumlah <20ml/kgBB/hari untuk membantu maturasi
dan meningkatkan fungsi saluran pencernaan bayi, meningkatkan berat badan bayi dan
memperpendek Analisis gas darah dilakukan berulang untuk manajemen respirasi. Tekanan
parsial O2 diharapkan antara 50-70 mmHg. PaCO2 antara 45-60 mmHg (permissive
hypercapnia). pH diharapkan tetap diatas 7,25 dengan saturasi oksigen antara 88-92%.

3. Pemberian oksigen
Oksigen mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap bayi yang baru lahir. Pemberian O2
yang terlalu tinggi dapat menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan seperti fibrosis paru
(bronchopulmonary dysplasia (BPD)), kerusakan retina (fibroplasi retrolental/retinopathy of
prematurity (ROP)) dan lain-lain. Untuk mencegah timbulnya komplikasi ini, pemberian O2
sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan saturasi oksigen, sebaiknya diantara 85-93% dan tidak
melebihi 95% untuk mengurangi terjadinya ROP dan BPD.1.2
Pada bayi yang dicurigai menderita PMH dengan PO2 dibawah 50 mmHg dengan FiO2 70%
merupakan indikasi untuk pemakaian CPAP (Countinous Positive Airway Pressure) dengan
tekanan 6-10 cm H2O atau dapat menggunakan kotak kepala atau CNCP (Countinouse Negative
Chest Pressure). Jumlah tekanan yang dibutuhkan akan turun mendadak pada usia 72 jam
kemudian bayi dapat disapih dari CPAP-nya (Behrman dkk, 1998).7
Bayi memerlukan Tjuan

513
2.2.2 Pemberian antibiotika
Setiap penderita penyakit membran hialin perlu mendapat antibiotika untuk
mencegah terjadinya infeksi sekunder. Pemberian antibiotik dimulai dengan spektrum luas,
biasanya dimulai dengan ampisilin 50mg/kgBB intravena setiap 12 jam dan gentamisin
3mg/kgBB untuk bayi dengan berat lahir kurang dari 2 kilogram. Jika tak terbukti ada infeksi,
pemberian antibiotika dihentikan.8
Selain itu, pneumonia congenital juga bisa menyerupai HMD. Oleh karena itu,
dianjurkan semua bayi dengan sindroma distres pernafasan untuk menjalani kultur darah, dan
mencari tanda-tanda sepsis lain seperti neitropenia atau meningkatnya protein C reaktif.
Regimen yang sering dipakai adalah penisilin atau ampisilin dan dikombinasikan dengan
aminoglikosida, namun setiap rumah sakit mempunyai protocol tersendirinya berdasarkan
profil pathogen yang ditemukan di daerahnya.8

2.2.3 Terapi Surfaktan


Terapi surfaktan sudah digunakan selama lebih dari dua dekade. Dapat digunakan
sebagai pencegahan dan pengobatan pada bayi dengan risiko HMD, untuk mengurangi
resiko timbulnya pneumotoraks dan timbulnya kematian.

a. Sintesis dan Metabolisme


Biosintesis surfaktan di dalam tubuh dimulai kira-kira pada minggu ke 16-24
kehamilan. Pembentukan dan proses memepertahankan lapisan permukaan dilakukan
melalui sistem metabolik yang komplek, meliputi sintesis, penyimpanan intraseluler,
sekresi, pembentukan lapisan permukaan, dan pembentukan sisa partikel untuk kemudian
di ambil dan di pecah atau di daur ulang. Sel yang melakukan sintesa ini adalah sel tipe II
alveolus.8
Sintesa surfaktan terjadi didalam retikulum endoplasmik dari sel pneumosit tipe
II dengan substrat dasar glukosa fosfat dan asam lemak. Sintesa ini melibatkan berbagai
enzim untuk membentuk fosfatidilkolin jenuh sebagai fosfolipid utama. Substrat untuk
sintesa surfaktan, seperti glukosa dan asam lemak diambil dari darah dan masuk melalui
14
endotel kapiler dengan proses difusi, setelah melalui komplek golgi, sintesis DPPC
dilanjutkan di retikulum endoplasmik didalam sel alveolus tipe II. DPPC dan protein
hidrofobik seperti SP-B dan SP-C dibungkus dalam badan lamelar, yang merupakan
granula penyimpanan dan granula sekresi, yang terdapat dalam sel tipe II. Badan lamelar

6
ini merupakan simpanan surfaktan intraseluler.8

b. Fungsi Fisiologis Surfaktan Paru


Surfaktan merupakan zat aktif pada permukaan udara-air di alveoli yang
menyebabkan penurunan tegangan permukaan paru. Surfaktan membantu mencegah
tegangan permukaan yang tinggi sehinggs membantu mencegah alveolus kollaps dan menjaga
cairan interstisial agar tidak menggenangi alveolus.9
Surfaktan juga mencegah bronchioli tergenagi oleh cairan, yang mengakibatkan
obstruksi luminal. Surfaktan dibutuhkan untuk mempertahankan keseimbangan compliance
paru dan menjaga pertukaran gas berlangsung secara adekuat. Apabila compliance paru
menurun, maka oksigen yang dapat masuk ke dalam paru untuk pertukaran gas akan
berkurang, hal tersebut menyebabkan rendahnya angka tekanan parsial oksigen dalam darah
arteri (Pa02). 9
Compliance paru berhubungan erat dengan fenomena tegangan permukaan yang
timbul pada permukaan antara (interface) udara-cairan dalam alveoli. Tegangan permukaan
timbul akibat adanya distribusi gaya tarik dan gaya tolak pada molekul-molekul cairan yang
tidak merata pada daerah interface dibandingkan dengan distribusi gaya yang merata pada
daerah bulk phase. Hal ini akan membuat kecenderungan cairan di bulk phase untuk
menyusutkan area permukaan interface. Tegangan permukaan yang tinggi dapat
mengakibatkan kolaps spontan alveoli. 9
Peranan penting surfaktan yang lain dalam hal mempertahankan fungsi normal paru
yaitu sebagai pertahanan paru oleh karena mengandung protein surfaktan-A dan protein
surfaktan-D. Beberapa penelitian telah membuktikan peran protein-protein tersebut dalam
menstimulasi fagositosis makrofag alveolar, merubah sel-sel imun dan sel-sel yang berperan
dalam proses peradangan, mempengaruhi produksi oksigen reaktif dan meregulasi sitokin
yang dilepaskan dari berbagai sel-sel inflamasi. 9

7
15
c. Jenis Surfaktan
i. Surfaktan Alami
Surfaktan alami bisa didapat dan paru sapi ataupun dari babi yang
purifikasinya meliputi proses ekstraksi menggunakan pelarut organik sehingga
protein yang hidrofilik seperti surfaktan protein-A (SP-A) dan surfaktan protein D
(SP-D ) akan terbuang, jadi yang tertinggal hanya material yang mengandung lipid
dan sejumlah kecil protein hidrofobik yaitu SP-B dan SP-C. 9
Ekstrak surfaktan alami mengandung protein spesifik yang membantu
penyerapan surfaktan dan tahan terhadap inaktifasi surfaktan. Surfaktan alami
mempunyai onset kerja yang cepat. Jika dibandingkan dengan surfaktan sintesis,
respon fisiologis setelah diberikan surfaktan alami lebih cepat timbul yang di
manifestasikan dengan kemampuan untuk menurunkan FiO2 dan menurunkan
tekanan ventilator , namun kekurangan surfaktan alami harus disimpan dalam kondisi
beku. 10

ii. Surfaktan Sintetis


Surfaktan sintetis pertamakali diproduksi tahun 1980. Surfaktan ini hanya
mengandung dipalmitoiylphosphatidylcholine (DPPC), sebagai zat permukaan aktif
yang utama, Akhir-akhir ini surfaktan sintetis mengandung campuran berbagai
fosfolipid permukaan aktif dan zat spreading. Kelebihan sintesis dibandingkan
dengan yang alami yaitu penympanannya lebih praktis, tidak perlu di bekukan, hanya
disimpan pada suhu dibawah 30°c dalam tempat yang kering. 10

168
d. Terapi Surfaktan pada Hyaline Membrane Disease
Sejak tahun 1980 banyak dilakukan penelitian yang membandingkan efek
terapi surfaktan dengan placebo atau tanpa terapi. Surfaktan dapat diberikan sebagai
terapi profilaksis maupun terapi penyelamatan.10
a. Surfaktan Sebagai Terapi Profilaksis
Surfaktan profilaksis adalah pemberian surfaktan pada bayi yang memiliki
resiko tinggi, misalnya yaitu bayi prematur dengan usia gestasi kurang dari 32
minggu. Secara garis besar indikasi pemberian surfaktan sebagai profilaksis yaitu 1)
bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang dari 32 minggu, 2) bayi yang lahir dengan
berat badan kurang dari 1300gr, 3) bayi dengan pemeriksaan laboratoris
menunjukkan defisiensi surfaktan.8
Secara operasional pemberian surfaktan dilakukan sebelum bayi melakukan
usaha nafas, sebelum dilakukan resusitasi awal, atau paling umum yaitu setelah
resusitasi awal namun dalam 10 sampai 30 menit setelah kelahiran. Penelitian pada
binatang didapatkan bukti bahwa distribusi surfaktan akan homogen jika surfaktan
diberikan pada paru yang berisi cairan dan adanya kepercayaan bahwa pemberian
surfaktan pada paru yang belum dilakukan pemasangan ventilator atau yang
mendapat ventilator minimal akan mengurangi trauma paru akut. 10
Ventilasi mekanik sebelum pemberian surfaktan dapat menyebabkan kerusakan
kapiler alveoli, rembesan cairan proteinaceuous ke rongga alveoli, dan pelepasan
mediator inflamasi serta lebih lanjut menurunkan respon terhadap pemberian
surfaktan. Namun demikian, pada sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa
pemberian surfaktan sebagai profilaksis yang diberikan sebelum dilakukan resusitasi

17
9
awal dan sebelum dilakukan stabilisasi akan menimbulkan komplikasi yang lebih
besar dibandingkan setelah dilakukan resusitasi awal. 10

b. Surfaktan Sebagai Terapi Penyelamatan


Surfaktan sebagai terapi penyelamatan diartikan sebagai pemberian surfaktan
pada bayi premature yang telah terdiagnosa mengalami HMD, dimana surfaktan
paling sering diberikan dalam 12 jam pertama kelahiran. Surfaktan sebagai terapi
dibedakan menjadi 2 yaitu terapi dini, dimana surfaktan diberikan dalam 1 sampai 2
jam setelah kelahiran, dan terapi akhir, yaitu surfaktan diberikan setelah 2 jam atau
lebih kelahiran. 10
Pada beberapa rumah sakit, berlaku pedoman indikasi pemberian surfaktan
sebagai terapi penyelamatan antara lain yaitu: 1) bayi prematur atau bayi aterm
terbukti secara klinis mengalami penyakit mambran hialin 2) bayi prematur atau bayi
aterm terbukti secara radiologis mengalami penyakit mambran hialin 3) bayi yang
mengalami peningkatan kebutuhan oksigen, yang ditandai dengan sianotik, agitasi
dan penurunan Pa02, Sp02. 10

e. Indikasi
i. Surfaktan profilaksis
 Bayi premature dengan risiko HMD yang sangat tinggi (usia gestasi <32 minggu,
BBLR < 1300 gram)
 Bayi dari hasil laboratorium didapatkan defisiensi surfaktan (lechitin/
sphingomyelin ratio < 2:1)
ii. Surfaktan sebagai terapi

 Bayi yang membutuhkan FiO2 ≥ 40% baik bayi cukup bulan maupun preterm dengan
defisiensi surfaktan (terbukti dari klinis dan radiologi)
ii. Surfaktan dapat digunakan sebagai perantara untuk obat-obatan seperti antibiotic,
anti inflamasi, bronkodilator
iii. ARDS yang terjadi postoperasi jantung.11

f. Kontraindikasi
 Kongenital anomaly
 Respiratory distress dengan hasil laboratorium menunjukkan paru matur

10
18
 Hernia diafragmatika
 Pasien dengan hemodinamik tidak stabil
 Perdarahan paru aktif. 11

g. Komplikasi
i. Komplikasi procedural
 Obstruksi pada ETT oleh karena surfaktan
 Bradikardia karena hipoksia
 Takikardi karena agitasi dengan reflux surfaktan ke ETT
 Pemasukan surfaktan hanya pada salah satu paru. 11

ii. Komplikasi fisiologis


 Apnea
 Pulmonary hemmorage karena shunting right to left
 Volutrauma dari peningkatan compliance paru setelah terapi surfaktan
 Keadaan hipeventilasi dan hipoventilasi dapat menyebabkan peningkatan aliran darah ke
otak yang menyebabkan komplikasi lebih lanjut. 11

h. Terapi INSURE (Intubation- Surfactant-Extubation)


Terapi surfaktan banyak diteliti beberapa decade ini untuk meminimalkan penggunaan
mechanical ventilasi secara invasive yang menimbukan banyak komplikasi. Beberapa teknik
terus dikembangkan salah satunya adalah INSURE (Intubation-Surfactant-Extubation).
Surfaktan dimasukan ke dalam paru-paru melalui selang endotracheal tube. Setelah proses
tersebut selesai pasien dapat di extubasi. Hingga saat ini penggunaan surfaktan dengan metode
insure masih kontroversi. Penelitian Carlo et al tahun 2009 membandingkan faktor risiko pada
bayi yang berusia gestasi < 30 minggu yang mendapatkan terapi sufaktan dengan metode
INSURE. Ia membandingkan diantara 2 grup yang mendapatkan surfaktan dengan cara INSURE
dan kemudian berhasil dan yang mendapatkan surfaktan dengan cara INSURE dan kemudian
gagal dan harus menerima mekanik ventilasi.
Pada penelitian tersebut dikatakan bahwa karakteristik kedua grup hampir mirip.
Faktor risiko yang menonjol ada pada berat badan lahir, dimana pada bayi dengan berat badan <
1000 gram didapatkan lebih banyak yang gagal dan harus mendapatkan ventilasi mekanik. Selain
itu pada penelitian tersebut juga diungkapkan bahwa bayi yang gagal INSURE dan menerima
ventilasi mekanik memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya pneumothorax, sepsis dan hari
perawatan di rumah sakit yang lebih lama dibandingkan INSURE grup. 12

1911
2.1 Prognosis
Prognosis sindrom ini tergantung dari tingkat prematuritas dan beratnya
penyakit. Pada penderita yang ringan penyembuhan dapat terjadi pada hari ke-3 atau
ke-4 dan pada hari ke-7 terjadi penyembuhan sempurna. Pada penderita yang lanjut
mortalitas diperkirakan 20-40%. Dengan perawatan yang intensif dan cara
pengobatan terbaru mortalitas ini dapat menurun. Prognosis jangka panjang sulit
diramalkan. Kelainan yang timbul di kemudian hari lebih cenderung disebabkan
komplikasi pengobatan yang diberikan dan bukan akibat penyakitnya sendiri. Pada
fungsi paru yang normal pada kebanyakan bayi yang dapat hidup dari HMD,
prognosisnya sangat baik.
Keseluruhan mortalitas bayi BBLR yang dirujuk ke pusat perawatan intensif
maupun secara mantap; sekitar 75% dari mereka yang berada di bawah 1000 gram
bertahan hidup, dan mortalitas secara progresif menurun pada berat badan yang lebih
tinggi, dengan lebih dari 95% bayi sakit yang bertahan hidup beratnya lebih dari 2500
gram. Walaupun 85-90% dari semua bayi HMD yang bertahan hidup setelah
mendapat dukungan ventilasi dengan respirator adalah normal, harapan yang ada
pada mereka yang beratnya diatas 1500 gram adalah jauh lebih baik; sekitar 80% dari
mereka yang beratnya dibawah 1500 gram tidak mengalami sekuele neurologis atau
mental. Prognosis jangka panjang untuk tercapainya fungsi paru yang normal pada
kebanyakan bayi HMD yang bertahan hidup adalah sangat baik. Namun bayi yang
berhasil bertahan hidup dari kegagalan pernapasan neonatus yang berat dapat
mengalami gangguan paru dan perkembangan saraf yang berarti.

20
12
BAB III
KESIMPULAN

Respiratory distress syndrome pada neonates atau yang biasa disebut sebagai hyaline
membrane disease merupakan sekumpulan gejala yang terjadi akibat defisiensi surfaktan.
Faktor risiko pada penyakit ini antara lain prematuritas, berat badan lahir rendah, ibu diabetes
mellittus. Gejala yang terjadi pada umumnya berupa respiratory rate yang meningkat, grunting
pada beberapa saat setelah anak lahir.
Terdapat berbagai modalitas terapi untuk menangani hal tersebut. Selain penggunaan
CPAP yang seringkali digunakan adalah surfaktan. Penggunaan surfaktan digunakan untuk
mencegah paru collaps karena memiliki peran untuk mempertahankan tegangan pada
permukaan. Beberapa decade ini penggunaan surfaktan telah digunakan secara luas,
dianataranya adalah dengan metode INSURE. Tetapi secara keseluruhan penggunaan INSURE
dapat menurunkan penggunaan ventilator mekanik secara invasive.
Umumnya apabila tidak disertai dengan komplikasi yang serius, penyakit hyaline
membrane disease memiliki prognosis yang baik.

2113
DAFTAR PUSTAKA

1. Kosim M. Gangguan Napas pada Bayi Baru Lahir. Kosim M, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI,
Usman A (editor). Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: IDAI; 2008. p.126-46
2. Greenough A, Milner AD. Acute respiratory disease. Rennie JM (editor). Rennie and
Roberton’s Textbook of Neonatology. 5 th Ed. United Kingdom: Elsevier; 2018 .p. 468-84
3. Whitsett JA, Rice WR, Warner BB, Wert SE, Pryhuber GS. Respiratory Distress
Syndrome. In: MacDonald MG, Mullet MD, Seshia MMK, editors. Avery’s
Neonatology. Patophysiology and Management of the Newborn. 6th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2005.p. 560-562
4. Rodriguez RJ,Martin R J, Fanaroff AA. Respiratory Distress Syndrome and its
Management. In: Martin R J, Fanaroff AA, editors. Neonatal-Perinatal Medicine,
Disease of the fetus and Infant. 8 th edition. Philadelphia: Elsevier Mosby; 2006. p. 1097-
1122
5. Wood J. Imaging of neonatal lung disease.J Am Osteopath Coll Radiol 2015;4(1): 12-17
6. Hermansen CL, Lorah KN. Newborn respiratory distress.American family physician
2007;76(7):987-94
7. Irawan G. Prosedur Medik Pada Bayi Baru Lahir (Continous Positive Airway Pressure).
Kosim M, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A (editor). Buku Ajar Neonatologi. Jakarta:
IDAI; 2008. p.421-8
8. Engle WA and the Committee on Fetus and Newborn. Surfactant-Replacement Therapy for
Respiratory Distress in the Preterm and term Neonate. Pediatrics 2008;12:;419-432
9. Bailey TC, Veldhuizen R. The Physiological Significance of a Dysfunctional Lung surfactant.
In: Lenfant C. Lung Surfactant Function and Disorder. Vol 201. Taylor & Francis Group , 2005.p.
263-270.
10. Fajariyah SU, Bermawi H, Tasli JM. Terapi Surfaktan pada Penyakit Membran Hyalin. Jurnal
kedokteran dan kesehatan.2016; 3(3): 194-202
11. Walsh BK, DiBlasi RM. AARC Clinical Practice Guideline. Surfactant Replacement Therapy:
2013. Respiratory care 2013;58(2): 367-372
12. Dani C, Corsini I, Bertini G, Fontanelli G, Pratesi S, Rubaltelli F. The INSURE method in
preterm infant of less than 30 weeks gestation. The Journal of Maternal-Fetal and Neonatal
Medicine. 2010;

22
14

Anda mungkin juga menyukai