PENDAHULUAN
Penyakit membran hialin (HMD) dikenal juga sebagai respiratory distress syndrome
(RDS) yang terjadi hampir sebagian besar pada bayi kurang bulan khususnya yang lahir pada
usia kehamilan 32 minggu.
Penyakit membran hialin merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi baru
lahir. Kurang lebih 30% dari semua kematian pada neonatus disebabkan oleh HMD atau
komplikasinya. Pengenalan riwayat kehamilan, riwayat persalinan, serta intervensi dini dalam
pencegahan, diagnostik, dan penatalaksaan penderita dapat membantu menurunkan angka
kematian penyakit.
HMD ditandai dengan adanya kesukaran bernafas (pernafasan cuping hidung, tipe
pernapasan dyspnea/takipnea, retraksi dada, dan sianosis) yang menetap atau menjadi progresif
dalam 48-96 jam pertama kehidupan dan pada pemeriksaan radiologis ditemukan pola
retikulogranuler yang uniform dan air bronchogram.
Pengenalan surfaktan eksogen sebagai pencegahan dan terapi telah merubah keadaan
klinik dari penyakit dan menurunkan morbiditas dan mortalitas dari penyakit. Surfaktan
biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong
alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan
masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Penyakit membran hialin atau hyaline membrane disease (HMD) atau yang dikenali
sebagai respiratory distress syndrome (RDS) adalah merupakan penyakit gangguan
respirasi yang disebabkan oleh defisiensi surfaktan oleh karena ketidakmatangan paru.1,2
2.2 Epidemiologi
Insiden HMD tertinggi terjadi pada bayi prematur, ras caucasian, laki-laki,
riwayat saudara sebelumnya yang menderita HMD, lahir melalui sectio sesaria,
asfiksia dan ibu diabetes melitus. 60-80% terjadi pada bayi dengan gestasi kurang dari
28 minggu, 15-30% teijadi pada gestasi antara 32-36 minggu, dan 5% pada gestasi 37
minggu keatas.3
Fanaroff, dkk melaporkan bahwa 42% bayi antara 501-1500 gr mengalami PMH,
dimana 71% dialami bayi dengan berat badan antara 501-750 gr, 54% antara 751-1000
gr, 36% antara 1001-1250 gr, dan 22% antara 1251-1500 gr.4
b. Jenis kelamin
Laki-laki lebih banyak mengalami HMD dibandingkan perempuan dengan
prevalensi 1.7:1. Pada bayi laki-laki dikatakan terdapat keterlibatan dari androgen
terhadap keterlambatan pematangan dari lecithin-to-sphingomyelin (L:S) ratio dan
2
keterlambatan pembentukan phosphatidylglycerol (PG). 2
c. Ras
Bayi dari orang berkulit hitam memiliki insiden HMD yang lebih rendah sekitar
60-70% dibandingkan dari bayi orang berkulit putih dengan usia gestasi yang sama.
Diduga hal tersebut ada kaitannya dengan variasi Allelic pada gen protein A surfaktan.2
d. Caesarean section
Caesarean section yang dilakukan sebelum waktu bersalin dikatakan
meningkatkan risiko bayi mengidap HMD. Tetapi hingga saat ini data yang ditemukan
masih inkonsisten.
e. Asfiksia
Bayi dengan usia gestasi <32 minggu dengan apgar score < 4 berisiko lebih tinggi
terjadi HMD dibandingkan dnegan bayi dengan usia gestatsi yang sama dengan apgar
score >4. Pada fetal asfiksi, perfusi paru menurun dan menyebabkan kerusakan iskemik
pada kapiler paru. Ketika fetus membaik dari keadaan asfiksianya, terjadi hiperperfusi
ke parudan apabila segera dilahirkan maka cairan kaya protein akan keluar dari
pembuluh darah kapiler yang rusak tersebut. Kebocoran protein ini akan menginhibisi
aktivitas surfaktan pada permukaan alveolar. 2
f. Maternal diabetes
Pada ibu yang dibetes terjadu peningkatan insulin di dalam tubuh yang
menghambat maturase dari alveolar tipe II dan menurunkan proporsi
phospatidylcholine pada surfactant. Insulin dikatakan menginhibisi akumulasi SP-A
pada mRNA.
g. Kembar
Anak kembar kedua dikatakan lebih sering berkembang menjadi RDS.
h. Hipotermia
Fungsi surfaktan akan berkurang pada bayi yang hipotermi. Pada suhu tubuh
dibawah 340C, dipalpitoyl phosphatidycholine (DPPC) tidak dapat menyebar secara
baik membentuk monolayer.
3
2.4 Patofisiologi
Peranan surfaktan ialah untuk merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga
tidak terjadi kolaps dan mampu untuk menahan sisa udara pada akhir ekspirasi. Defisiensi
substansi surfaktan yang ditemukan pada penyakit membrane hialin menyebabkan kemampuan
paru untuk mempertahankan stabilitasnya terganggu. Alveolus akan kembali kolaps setiap
akhir ekspirasi, sehingga untuk pernafasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks
yang lebih besar yang disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Kolaps paru ini akan
menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis.
Hipoksia akan menimbulkan: (1) oksigenasi jaringan menurun sehingga akan terjadi
metabolisme anaerob dengan penimbunan asam laktat dan asam organik lainnya yang
menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada bayi, (2) kerusakan endotel kapiler dan epitel
duktus alveolaris yang akan menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan
terbentuknya fibrin dan selanjutnya fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik
membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin. Asidosis dan atelektasis juga
menyebabkan terganggunya sirkulasi darah dari dan ke jantung. Demikian pula aliran darah
paru akan menurun dan hal ini akan mengakibatkan berkurangnya pembentukan substansi
surfaktan.1,2
Penyebab utama HMD adalah defisiensi surfaktan di paru yang belum matang. Paru-
paru yang secara struktural belum matang dan defisiensi surfaktan memiliki compliance yang
rendah dan kecenderungan untuk atelektasis; faktor lain pada bayi prematur yang
meningkatkan risiko atelektasis adalah penurunan radius alveolar dan dinding dada yang
lemah. Dengan atelektasis, bagian paru dengan perfusi baik tetapi ventilasi yang buruk
mengarah ke ketidaksesuaian V/Q (dengan shunting intrapulmonal) dan hipoventilasi alveolar
dengan akibat hipoksemia dan hiperkarbia. Hipoksemia berat dan hipoperfusi sistemik
menyebabkan penurunan transportasi O2, metabolisme anaerob dan menyusulnya asidosis
laktat.1,2
Hipoksemia dan asidosis lebih lanjut dapat memperburuk oksigenasi melalui
vasokonstriksi paru sehingga menyebabkan right-to-left shunt pada foramen ovale dan duktus
arteriosus. Faktor lain seperti barotrauma atau volutrauma dan FiO2 tinggi mungkin mengawali
pelepasan sitokin dan kemokin inflamasi yang menyebabkan lebih banyak kecederaan sel
endotel dan epitel. Kecederaan ini mengurangkan sintesis dan fungsi surfaktan serta
peningkatan permeabilitas endotel yang mengarah ke edema pulmonal. Kebocoran protein ke
dalam ruang alveolar memperburuk lebih lanjut defisiensi surfaktan dengan mengakibatkan
inaktivasi surfaktan. Secara makroskopis, paru terlihat padat dan atelektasis. Secara
4
mikroskopis, dapat dilihat atelektasis alveolar difus dan edema pulmonal.1,2
2.4 Diagnosis
2.4.1 Gejala Klinis
Penyakit membran hialin sering terjadi pada bayi premature pada usia gestasi dibawah 28
minggu, mengenai 1 dari 3 bayi pada usia gestasi 28-34 minggu. Tanda gangguan pernafasan
mulai tampak 6-8 jam pertama setelah kelahiran dan gejala yang karakteristik mulai terlihat
pada umur 24-72 jam..1,2
Gangguan pernafasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelektasis dan perfusi paru
yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan gambaran klinis seperti dispnea atau
hiperpnea, sianosis karena saturasi O2 yang menurun, retraksi suprasternal, retraksi interkostal
dan expiratory grunting. Selain tanda gangguan pernafasan, ditemukan gejala lain misalnya
bradikardia (sering ditemukan pada penderita HMD berat), hipotensi, kardiomegali, pitting
edema terutama di daerah dorsal tangan atau kaki, hipotermia, tonus otot yang menurun, gejala
sentral dapat terlihat bila terjadi komplikasi. Scoring system yang sering digunakan pada bayi
preterm dengan HMD adalah skor Downes.
5
Skor : <6 = Respiratory distress
>6 = Inpending respiratory failure
b. Pulse Oximetry
Pulse oximetry adalah tindakan non-invansif yang digunakan untuk memantau
saturasi oksigen dalam darah, dimana saturasi dipertahankan pada nilai 90-95%.
6
a. Radiologi
Diagnosis yang tepat dengan pemeriksaan foto rontgen toraks. Pemeriksaan ini juga
sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain yang diobati dan
mempunyai gejala yang mirip penyakit membran hialin, misalnya pneumotoraks, hernia
diafragmatika, dan lain- lain. 1,2,5
Foto toraks posisi AP dan lateral (bila diperlukan serial). Gambaran radiologis pada
penyakit membran hialin sangat khas berupa pola retikulogranular, yang disebut dengan
ground glass appearance, disertai dengan gambaran bronkus di bagian perifer paru (air
bronchogram Terdapat 4 stadium:
Stadium 1: pola retikulogranular (ground glass appearance)
Stadium 2: stadium 1 + air bronchogram
Stadium 3: stadium 2 + batas jantung - paru kabur
Stadium 4: stadium 3 + white lung appearance
7
Gambar 4. HMD dengan granular appearance dan air broncogram
108
b. Uji Kematangan Paru
i. Tes biokimia (Rasio lecithin-sphingomyelin)
Paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid
dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur
kematangan paru, dengan cara menghitung rasio lesitin dibandingkan sfingomielin
dari cairan amnion.
Tes ini merupakan salah satu tes yang sering digunakan. Sfingomyelin
merupakan suatu membran lipid yang secara relatif merupakan komponen non
spesifik dari cairan amnion. Rasio L:S dapat diperiksa pada cairan ketuban. Pada
kehamilan 31 –32 minggu rasio L:S adalah 1:1dan pada usia kehamilan 35 minggu
rasionya adalah 2:1. Berikut ini adalah petunjuk untuk menentukan kematangan paru
dengan rasio L:S
1. L:S = 2:1 paru sudah matur, hanya 2% bayi dalam kondisi ini yang akan menderita
PMH
2. L:S = 1,5-1,9:1 50% bayi pada kondisi ini akan menderita PMH
3. L:S = <1,5:1 73% bayi akan menderita PMH
19
2.1 Gambar. Diagnosis Banding
Tabel 2. Perbedaan sindrom gawat nafas.6
2
10
an paru penurunan surfakta
volume n
paru
MAS Iritasi dan Cukup Meconium Takipnoe, Patchy Resusita Jangan
obstruksi bulan stain hipoksia ateletaksiss, si, menghalan
paru atau amniotic konsolidasi oksigen, gi proses
postter fluid, post ventilasi melhirkan
m term , untuk
delivery surfakta suctioning
n
Gambar 8. Transient tachypnoea of the newborn dengan gambaran cairan pada fisura
11
3
b. Meconium aspiration syndrome
Aspirasi mekonium jarang terjadi pada bayi kurang bulan. Sindrom aspirasi mekonium
terjadi apabila janin mengeluarkan mekonium ke dalam cairan amnion ketika masih berada
dalam kandungan, dan cairan amnion yang terkontaminasi mekonium teraspirasi oleh bayi.
Aspirasi mekonium menyebakan obstruksi mekanis pada paru sehingga menyebabkan
terperangkapnya udara dan mengakibatkan atelektasis dan ketidakseimbangan perfusi-
ventilasi. Secara klinis, bayi tampak berwarna kuning kehijauan atau lebih dikenali sebagai
meconium-stained skin.
Penegakkan diagnosis aspirasi mekoneum dapat dilakukan dengan kombinasi foto
rontgen dengan gambaran bercak-bercak konsolidasi atau atelektasis, infiltrat kasar di kedua
lapangan paru, dan hiperinflasi karena terperangkapnya udara transversalis dan hiperekspansi
paru.6
2.2 Penatalaksanaan
3. Pemberian oksigen
Oksigen mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap bayi yang baru lahir. Pemberian O2
yang terlalu tinggi dapat menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan seperti fibrosis paru
(bronchopulmonary dysplasia (BPD)), kerusakan retina (fibroplasi retrolental/retinopathy of
prematurity (ROP)) dan lain-lain. Untuk mencegah timbulnya komplikasi ini, pemberian O2
sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan saturasi oksigen, sebaiknya diantara 85-93% dan tidak
melebihi 95% untuk mengurangi terjadinya ROP dan BPD.1.2
Pada bayi yang dicurigai menderita PMH dengan PO2 dibawah 50 mmHg dengan FiO2 70%
merupakan indikasi untuk pemakaian CPAP (Countinous Positive Airway Pressure) dengan
tekanan 6-10 cm H2O atau dapat menggunakan kotak kepala atau CNCP (Countinouse Negative
Chest Pressure). Jumlah tekanan yang dibutuhkan akan turun mendadak pada usia 72 jam
kemudian bayi dapat disapih dari CPAP-nya (Behrman dkk, 1998).7
Bayi memerlukan Tjuan
513
2.2.2 Pemberian antibiotika
Setiap penderita penyakit membran hialin perlu mendapat antibiotika untuk
mencegah terjadinya infeksi sekunder. Pemberian antibiotik dimulai dengan spektrum luas,
biasanya dimulai dengan ampisilin 50mg/kgBB intravena setiap 12 jam dan gentamisin
3mg/kgBB untuk bayi dengan berat lahir kurang dari 2 kilogram. Jika tak terbukti ada infeksi,
pemberian antibiotika dihentikan.8
Selain itu, pneumonia congenital juga bisa menyerupai HMD. Oleh karena itu,
dianjurkan semua bayi dengan sindroma distres pernafasan untuk menjalani kultur darah, dan
mencari tanda-tanda sepsis lain seperti neitropenia atau meningkatnya protein C reaktif.
Regimen yang sering dipakai adalah penisilin atau ampisilin dan dikombinasikan dengan
aminoglikosida, namun setiap rumah sakit mempunyai protocol tersendirinya berdasarkan
profil pathogen yang ditemukan di daerahnya.8
6
ini merupakan simpanan surfaktan intraseluler.8
7
15
c. Jenis Surfaktan
i. Surfaktan Alami
Surfaktan alami bisa didapat dan paru sapi ataupun dari babi yang
purifikasinya meliputi proses ekstraksi menggunakan pelarut organik sehingga
protein yang hidrofilik seperti surfaktan protein-A (SP-A) dan surfaktan protein D
(SP-D ) akan terbuang, jadi yang tertinggal hanya material yang mengandung lipid
dan sejumlah kecil protein hidrofobik yaitu SP-B dan SP-C. 9
Ekstrak surfaktan alami mengandung protein spesifik yang membantu
penyerapan surfaktan dan tahan terhadap inaktifasi surfaktan. Surfaktan alami
mempunyai onset kerja yang cepat. Jika dibandingkan dengan surfaktan sintesis,
respon fisiologis setelah diberikan surfaktan alami lebih cepat timbul yang di
manifestasikan dengan kemampuan untuk menurunkan FiO2 dan menurunkan
tekanan ventilator , namun kekurangan surfaktan alami harus disimpan dalam kondisi
beku. 10
168
d. Terapi Surfaktan pada Hyaline Membrane Disease
Sejak tahun 1980 banyak dilakukan penelitian yang membandingkan efek
terapi surfaktan dengan placebo atau tanpa terapi. Surfaktan dapat diberikan sebagai
terapi profilaksis maupun terapi penyelamatan.10
a. Surfaktan Sebagai Terapi Profilaksis
Surfaktan profilaksis adalah pemberian surfaktan pada bayi yang memiliki
resiko tinggi, misalnya yaitu bayi prematur dengan usia gestasi kurang dari 32
minggu. Secara garis besar indikasi pemberian surfaktan sebagai profilaksis yaitu 1)
bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang dari 32 minggu, 2) bayi yang lahir dengan
berat badan kurang dari 1300gr, 3) bayi dengan pemeriksaan laboratoris
menunjukkan defisiensi surfaktan.8
Secara operasional pemberian surfaktan dilakukan sebelum bayi melakukan
usaha nafas, sebelum dilakukan resusitasi awal, atau paling umum yaitu setelah
resusitasi awal namun dalam 10 sampai 30 menit setelah kelahiran. Penelitian pada
binatang didapatkan bukti bahwa distribusi surfaktan akan homogen jika surfaktan
diberikan pada paru yang berisi cairan dan adanya kepercayaan bahwa pemberian
surfaktan pada paru yang belum dilakukan pemasangan ventilator atau yang
mendapat ventilator minimal akan mengurangi trauma paru akut. 10
Ventilasi mekanik sebelum pemberian surfaktan dapat menyebabkan kerusakan
kapiler alveoli, rembesan cairan proteinaceuous ke rongga alveoli, dan pelepasan
mediator inflamasi serta lebih lanjut menurunkan respon terhadap pemberian
surfaktan. Namun demikian, pada sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa
pemberian surfaktan sebagai profilaksis yang diberikan sebelum dilakukan resusitasi
17
9
awal dan sebelum dilakukan stabilisasi akan menimbulkan komplikasi yang lebih
besar dibandingkan setelah dilakukan resusitasi awal. 10
e. Indikasi
i. Surfaktan profilaksis
Bayi premature dengan risiko HMD yang sangat tinggi (usia gestasi <32 minggu,
BBLR < 1300 gram)
Bayi dari hasil laboratorium didapatkan defisiensi surfaktan (lechitin/
sphingomyelin ratio < 2:1)
ii. Surfaktan sebagai terapi
Bayi yang membutuhkan FiO2 ≥ 40% baik bayi cukup bulan maupun preterm dengan
defisiensi surfaktan (terbukti dari klinis dan radiologi)
ii. Surfaktan dapat digunakan sebagai perantara untuk obat-obatan seperti antibiotic,
anti inflamasi, bronkodilator
iii. ARDS yang terjadi postoperasi jantung.11
f. Kontraindikasi
Kongenital anomaly
Respiratory distress dengan hasil laboratorium menunjukkan paru matur
10
18
Hernia diafragmatika
Pasien dengan hemodinamik tidak stabil
Perdarahan paru aktif. 11
g. Komplikasi
i. Komplikasi procedural
Obstruksi pada ETT oleh karena surfaktan
Bradikardia karena hipoksia
Takikardi karena agitasi dengan reflux surfaktan ke ETT
Pemasukan surfaktan hanya pada salah satu paru. 11
1911
2.1 Prognosis
Prognosis sindrom ini tergantung dari tingkat prematuritas dan beratnya
penyakit. Pada penderita yang ringan penyembuhan dapat terjadi pada hari ke-3 atau
ke-4 dan pada hari ke-7 terjadi penyembuhan sempurna. Pada penderita yang lanjut
mortalitas diperkirakan 20-40%. Dengan perawatan yang intensif dan cara
pengobatan terbaru mortalitas ini dapat menurun. Prognosis jangka panjang sulit
diramalkan. Kelainan yang timbul di kemudian hari lebih cenderung disebabkan
komplikasi pengobatan yang diberikan dan bukan akibat penyakitnya sendiri. Pada
fungsi paru yang normal pada kebanyakan bayi yang dapat hidup dari HMD,
prognosisnya sangat baik.
Keseluruhan mortalitas bayi BBLR yang dirujuk ke pusat perawatan intensif
maupun secara mantap; sekitar 75% dari mereka yang berada di bawah 1000 gram
bertahan hidup, dan mortalitas secara progresif menurun pada berat badan yang lebih
tinggi, dengan lebih dari 95% bayi sakit yang bertahan hidup beratnya lebih dari 2500
gram. Walaupun 85-90% dari semua bayi HMD yang bertahan hidup setelah
mendapat dukungan ventilasi dengan respirator adalah normal, harapan yang ada
pada mereka yang beratnya diatas 1500 gram adalah jauh lebih baik; sekitar 80% dari
mereka yang beratnya dibawah 1500 gram tidak mengalami sekuele neurologis atau
mental. Prognosis jangka panjang untuk tercapainya fungsi paru yang normal pada
kebanyakan bayi HMD yang bertahan hidup adalah sangat baik. Namun bayi yang
berhasil bertahan hidup dari kegagalan pernapasan neonatus yang berat dapat
mengalami gangguan paru dan perkembangan saraf yang berarti.
20
12
BAB III
KESIMPULAN
Respiratory distress syndrome pada neonates atau yang biasa disebut sebagai hyaline
membrane disease merupakan sekumpulan gejala yang terjadi akibat defisiensi surfaktan.
Faktor risiko pada penyakit ini antara lain prematuritas, berat badan lahir rendah, ibu diabetes
mellittus. Gejala yang terjadi pada umumnya berupa respiratory rate yang meningkat, grunting
pada beberapa saat setelah anak lahir.
Terdapat berbagai modalitas terapi untuk menangani hal tersebut. Selain penggunaan
CPAP yang seringkali digunakan adalah surfaktan. Penggunaan surfaktan digunakan untuk
mencegah paru collaps karena memiliki peran untuk mempertahankan tegangan pada
permukaan. Beberapa decade ini penggunaan surfaktan telah digunakan secara luas,
dianataranya adalah dengan metode INSURE. Tetapi secara keseluruhan penggunaan INSURE
dapat menurunkan penggunaan ventilator mekanik secara invasive.
Umumnya apabila tidak disertai dengan komplikasi yang serius, penyakit hyaline
membrane disease memiliki prognosis yang baik.
2113
DAFTAR PUSTAKA
1. Kosim M. Gangguan Napas pada Bayi Baru Lahir. Kosim M, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI,
Usman A (editor). Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: IDAI; 2008. p.126-46
2. Greenough A, Milner AD. Acute respiratory disease. Rennie JM (editor). Rennie and
Roberton’s Textbook of Neonatology. 5 th Ed. United Kingdom: Elsevier; 2018 .p. 468-84
3. Whitsett JA, Rice WR, Warner BB, Wert SE, Pryhuber GS. Respiratory Distress
Syndrome. In: MacDonald MG, Mullet MD, Seshia MMK, editors. Avery’s
Neonatology. Patophysiology and Management of the Newborn. 6th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2005.p. 560-562
4. Rodriguez RJ,Martin R J, Fanaroff AA. Respiratory Distress Syndrome and its
Management. In: Martin R J, Fanaroff AA, editors. Neonatal-Perinatal Medicine,
Disease of the fetus and Infant. 8 th edition. Philadelphia: Elsevier Mosby; 2006. p. 1097-
1122
5. Wood J. Imaging of neonatal lung disease.J Am Osteopath Coll Radiol 2015;4(1): 12-17
6. Hermansen CL, Lorah KN. Newborn respiratory distress.American family physician
2007;76(7):987-94
7. Irawan G. Prosedur Medik Pada Bayi Baru Lahir (Continous Positive Airway Pressure).
Kosim M, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A (editor). Buku Ajar Neonatologi. Jakarta:
IDAI; 2008. p.421-8
8. Engle WA and the Committee on Fetus and Newborn. Surfactant-Replacement Therapy for
Respiratory Distress in the Preterm and term Neonate. Pediatrics 2008;12:;419-432
9. Bailey TC, Veldhuizen R. The Physiological Significance of a Dysfunctional Lung surfactant.
In: Lenfant C. Lung Surfactant Function and Disorder. Vol 201. Taylor & Francis Group , 2005.p.
263-270.
10. Fajariyah SU, Bermawi H, Tasli JM. Terapi Surfaktan pada Penyakit Membran Hyalin. Jurnal
kedokteran dan kesehatan.2016; 3(3): 194-202
11. Walsh BK, DiBlasi RM. AARC Clinical Practice Guideline. Surfactant Replacement Therapy:
2013. Respiratory care 2013;58(2): 367-372
12. Dani C, Corsini I, Bertini G, Fontanelli G, Pratesi S, Rubaltelli F. The INSURE method in
preterm infant of less than 30 weeks gestation. The Journal of Maternal-Fetal and Neonatal
Medicine. 2010;
22
14