Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN INDIVIDU

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN


DENGAN RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (RDS)
Disusun untuk memenuhi tugas laporan individu praktek profesi ners
departemen keperawatan anak di Ruang NICU RSUD Sidoarjo

Oleh :
Nama : Shella Ayu Wandira
NIM : 2108.14901.341

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES WIDYAGAMA HUSADA
MALANG
2022
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Definisi Respiratory Distress Syndrome
Respiratory distress syndrome (RDS) atau sindrom distress
pernapasan adalah sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi
surfaktan terutama pada bayi yang baru lahir dengan masa gestasi kurang.
Sindrom distress pernapasan adalah perkembangan yang imatur pada
system pernapasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru.
RDS dikatakan sebagai hyaline membrane diseaser (Sugiarno & Wiwin,
2020).
Sindrom distress pernapasan adalah sekumpulan temuan klinis,
radiologis dan histologis yang terjadi terutama akibat ketidakmaturan paru
dengan unit pernapasan yang kecil dan sulit mengembang dan tidak
menyisakan udara diantara usaha napas. Respiratory distress syndrome
adalah suatu bentuk gagal nafas yang ditandai dengan hipoksemia,
penutunan compliance paru, dispnea, edema pulmonal bilateral tanpa gagal
jantung dan infiltrate yang menyebar. Respiratory distres syndrome (RDS)
merupakan kumpulan gejala yang terdiri atas dispnea, frekuensi pernapasan
yang lebih dari 60 kali permenit, adanya sianosis, adanya rintihan pada saat
ekspirasi (ekspiratory grunting) serta adanya retraksi suprasternal,
intercostal dan epigastrium saat inpirasi. Penyakit ini ada penyakit
membrane hialin, dimana terjadi perubahan atau berkurangnya komponen
surfaktan pulmonal (zat aktif alveoli yang dapat mencegah kolap paru dan
mampu menahan sisa udara pada akhir ekspirasi) (Wahyuni & Asthiningsih,
2020).
Jadi berdasarkan dari beberapa sumber dapat disimpulkan bahwa
RDS adalah penyakit yang disebabkan oleh ketidakmaturan dan
ketidakmampuan sel untuk menghasilkan surfaktan yang memadai.
B. Anatomi Fisiologi Paru
Paru-paru merupakan alat pernapasan utama. Paru-paru terletak
sedemikian rupa sehingga setiap paru-paru berada disamping mediastinum.
Oleh karenanya, masing-masing paru-paru dipisahkan satu sama lain oleh
jantung dan pembuluh-pembuluh besar serta struktur-struktur lain dalam
mediastinum. Masing-masing paru-paru berbentuk konus dan diliputri oleh
pleura viseralis. Paru-paru terbenam bebas dalam rongga pleuranya sendiri
dan hanya dilekatkan ke mediastinum oleh radiks pulmonalis. Masing-
masing paru-paru mempunyai apeks yang tumpul, menjorok ke atas dan
masuk ke leher sekitar 2,5 cm diatas klavikula. Di pertengahan pemukaan
medial, terdapat hilus pulmonalis, suatu lekukan tempat masuknya bronkus,
pemubuluh darah dan saraf ke paru-paru untuk membentuk radiks
pulmonalis. Paru-paru kanan sedikit lebih besar dari paru-paru kiri dan dibagi
oleh fisura oblikua dan fisura horisontalis menjadi 3 lobus yaitu lobus
superior, medius dan inferior. Sedangkan paru-paru kiri dibagi oleh fisura
oblikua menjadi 2 lobus, yaitu lobus superior dan inferior (Gunatilaka et al.,
2020).
Paru-paru berasal dari titik tumbuh yang muncul dari faring yang
bercabang dan kemudian bercabang Kembali membentuk struktur
percabangan bronkus. Proses ini terus berlanjut setelah kelahiran hingga
sekitar usia 8 tahun sampai jumlah bronkiolus dan alveolus akan
sepenuhnya berkembang, walaupun janin memperlihatkan adanya bukti
gerakan nafas sepanjang trimester kedua dan ketiga. Ketidakmatangan
paru-paru akan mengurangi peluang kelangsungan hidup bayi baru lahir
sebelum usia 24 minggu yang disebabkan oleh keterbatasan permukaan
alveolus, ketidakmatangan system kapiler paru-paru dan tidak
mencukupinya jumlah surfaktan. Upaya pernapasan pertama seorang bayi
berfungsi untuk :
1. Mengeluarkan cairan dalam paru
2. Mengembangkan jaringan alveolus paru-paru untuk pertama kali
Agar alveolus dapat berfungsi, harus terdapat surfaktan yang cukup
dan aliran darah ke paru-paru. Produksi surfaktan dimulai pada 20 minggu
kehamilan dan jumlahnya akan meningkat sampai paru-paru matang sekitar
30-34 minggu kehamilan. Surfaktan ini mengurangi tekanan permukaan paru
dan membantu untuk menstabilkan dinding alveolus sehingga tidak kolaps
pada akhir pernapasan. Tanpa surfaktan alveoli akan kolaps setiap saat
setelah akhir setiap pernapasan yang menyebabkan sulit
bernapas.Peningkatan kebutuhan energi ini memerlukan penggunaan lebih
banyak oksigen dan glukosa. Berbagai peningkatan ini menyebabkan stress
pada bayi yang sebelumnya sudah terganggu. Pada bayi cukup bulan,
mempunyai cairan didalam paru-parunya. Pada saat bayi melalui jala lahir
selama persalinan, sekitar sepertiga cairan ini diperas keluar dari paru-paru.
Pada bayi yang dilahirkan melalui seksio caeseria kehilangan keuntungan
dari kompresi rongga dada dapat menderita paru-paru basah dalam jangka
waktu lebih lama. Dengan sisa cairan di dalam paru-paru dikeluarkan dari
paru dan diserap oleh pembuluh limfe dan darah. Selama alveolus paru-paru
akan berkembang terisi udara sesuai dengan perjalanan waktu.
C. Faktor Respiratory Distress Syndrome
1. Bayi premature
Menurut WHO, premature adalah bayi lahir hidup yang
dilahirkan sebelum 37 minggu dari hari pertama menstruasi terakhir.
Kelahiran preterm adalah satu dari situasi utama yang mengancam
Kesehatan manusia, menjadi penyebab terbesar dari mordibitas dan
mortalitas neonates.
Penyebab kehaliran preterm yang dapat di identifikasi meliputi
factor janin seperti gawat janin, kehamilan multiple, eritroblastosis,
hydrops nonimun. Faktor plasenta seperti plasenta previa dan abrupsio
plasenta. Faktor uterus seperti uterus bikornus dan serviks tidak
kompeten. Faktor ibu seperti pre eklamsia, penyakit medis kronis,
infeksi dan penyalahgunaan obat. Sedangkan factor risiko lainnya
seperti ketubah pecah premature, polihidramnion dan iatrogenic.
Bayi premature berisiko karena sistem-sistem organnya tidak
matur dan cadangannya kurang. Angka mordibitas dan mortalitas lebih
tinggi tiga sampai empat kali daripada bayi yang lebih tua dengan
berat yang dapat dibandingkan. Masalah-masalah potensial dan
kebutuhan perawatan bayi premature dengan 2000 gram berbeda dari
kebutuhan perawatan bayi aterm, pascaterm atau bayi pascamatur
dengan berat badan yang sama.
Komplikasi yang dapat timbul dari kelahiran premature meliputi
apnea pretem, patent ductus arteriosus, sindrom kegawatan
pernapasan, perdarahan intraventrikular, hipokalsemia, hipoglikemia,
anemua preterm, hyperbilirubinemia, infeksi. Terdapat hubungan
antara penyakit respiratory distress syndrome (RDS) dengan bayi
premature. Paru bayi kurang bulan secara biokimiawi masih imatur
dengan kekurangan zat surfaktan yang melapisi rongga alveoli maka
alveoli pun akan mengalami kolaps sehingga akan terjadinya gagal
napas.
2. Bayi dari ibu dengan penyakit diabetes
Ibu dengan penyakit diabetes melitus dapat disebabkan oleh
hiperglikemia kronis pada ibu (misalnya, diabetes melitus gestasional
atau diabetes melitus yang sudah berlangsung lema dengan atau
tanpa perubahan vaskuler). Hiperglikemia pada ibu tanpa perubahan
vaskuler menyebabkan sejumlah besar asam amino, asam lemak
bebas dan glukosa di transfer ke janin tetapi insulin ibu tidak
menembus plasenta. Berbagai macam komplikasi yang dapat
ditimbulkan dari IDM ini salah satunya adalah risiko sindrom gawat
napas/respiratory distress syndrome. Hal ini disebabkan karena kadar
insulin yang tinggi dapat mempengaruhi produksi surfaktan paru
sehingga paru mengalami ketegangan saat ekspirasi dan terjadi gawat
napas
3. Kehamilan kembar
Kehamilan ganda merupakan suatu keadaan kehamilan
dengan jumlah janin dua atau lebih. Kembar terjadi hamper mendekati
satu dalam 80 atau 90 persalinan. Triplet terjadi hamper mendekati
satu dalam 8.000 persalinan. Secara umum, kembar dibedakan
menjadi dua yaitu monozigotik atau identic dan dizigotik atau fraternal.
Kembar monozigotik tampak relative konstan di seluruh dunia
mendekati satu pasang dari 250 kehamilan dan tidak dipengaruhi oleh
ras, keturunan, paritas ataupun usia. Sedangkan pada kembar
dizigotik merupakan akibat dari ovulasi ganda yang bersamaan dan
dipengaruhi oleh keturunan, paritas dan usia.
Terdapat hubungan antara penyakit respiratory distress
syndrome (RDS) dengan kehamilan multijanin. Bayi-bayi yang
dilahirkan kembar biasanya premature. Hal ini yang menyebabkan
produksi surfaktan masih sedikit sehingga akan mempengaruhi alveoli
saat bernapas dan berakhir pada gagal napas.
4. Persalinan Sectio Caesarea
Sectio caesarea didefinisikan sebagai lahirnya janin melalui
insisi dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus (histerektomi).
Terdapat beberapa bahaya yang telah dikenan bagi fetus bila
persalinan dilakukan sectio caesarea, risiko meliputi :
a. Hipoksia akibat sindrom hipotensi
b. Depresi pernapasan karena anestesia
c. Sindrom gawat pernapasan, jelas lebih lazim pada bayi yang
dilahirkan dengan section caesarea
Mortalitas dan mordibitas bayi yang lahir dengan section
caesarea lebih besar dibandingkan dengan bayi yang lahir spontan.
Hal ini disebabkan oleh indikasi section caesarea pada ibu sering
merupakan keadaan yang telah menyebabkan hipoksia pada bayi
sebelum lahir, obat anestesia yang diberikan pada ibu sedikit banyak
akan mempengaruhi bayi, kemungkinan trauma yang terjadi pada
waktu operasi, section caesarea yang dikerjakan pada bayi prematur,
ketuban pecah lama, infeksi intrapartum dan lain-lain akan
mempunyai risiko terhadap bayi.
Terdapat hubungan antara penyakit respiratory distress
syndrome (RDS) dengan persalinan section caesarea. Persalinan
section caesarea akan menyebabkan atelaktasis progresif sehingga
terjadi hipoventilasi, meningkatnya pCO2, pO2 dan pH menurun dan
dapat berlanjut pada shock hipotensi, vasokontriksi paru, hipoperfusi
alveolus dan gangguan metabolisme seluler. Sedangkan seorang bayi
yang dilahirkan melalui section caesarea kehilangan keuntungan dari
kompresi rongga dada ini dapat menderita paru-paru basah dalam
jangka waktu lebih lama.
5. Asfiksia
Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dalam
bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahi. Keadaan
tersebut dapat disertasi dengan adanya hipoksia, hiperkapnea dan
sampai ke asidosis. Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi
yang baru dilahirkan tidak segera bernapas secara spontan dan teratur
setelah dilahirkan. Asfiksia dapat terjadi selama kehamilan atau
persalinan. Apabila asfiksia tidak dapat penanganan dini yang baik
makan akan menyebabkan kematian. Penyebab terjadinya asfiksia
adalah :
a. Faktor intrauteri, meliputi keadaan ibu, uterus, plasenta, tali
pusat dan fetus
b. Faktor umum kehamilan meliputi persalinan premature,
persalinan presipitatus, persalinan lewat waktu
c. Faktor persalinan meliputi persalinan memanjang atau
terlantar, persalinan dengan tindakan operatif, persalinan
dengan induksi, persalinan dengan anestesia, perdarahan
(solusio plasenta marginalis)
d. Faktor buatan (iatrogenic) meliputri sindrom hipotensi
suspansi (posisi tidur), asfiksia inteuteri pada induksi
persalinan, asfiksia intrauteri pada persalinan dengan
anestesia
Terdapat hubungan antara penyakit respiratory distress
syndrome (RDS) dengan asfiksia. Hal ini disebabkan karena bayi
dengan asfiksia mengalami penurunan tekanan O2 dalam darah,
meningginya tekanan CO2 dalam darah dan menurunnya pH darah,
sehingga akan menyebabkan terganggunya sirkulasi darah di paru-
paru yang akan menghambat terbentuknya substansi surfaktan.
Dengan terhambatnya produksi surfaktan makan akan menyebabkan
alveoli kolaps dan bayi akan mengalami kegagalan dalam bernapas.
6. Stres dingin
Stres dingin timbul Ketika bayi diletakkan dilingkungan yang
lebih dingin dari suhu lingkungan netralnya. Ketika bayi menggigil,
dapat meningkatkan pemakaian oksigen dan pengunaan glukosa
untuk proses fisiologis. Keadaa preterm, kecil untuk masa gesyasi,
hipoksia, hipoglikemia dan depresi system saraf pusat bayi baru lahir,
merupakan kelompok bayi berisiko tinggi mengalami hipotermi.
Komplikasi yang muncul karena gangguan dalam proses metabolic
yaitu kegawatan pernapasan, asidosis respiratory dan metabolic,
hipoglikemi dan ikterik.
Hal ini disebabkan bayi baru lahir belum mampu mengatur suhu
tubuh mereka, sehingga akan mengalami stress dengan adanya
perubahan-perubahan lingkungan. Pada saat meninggalkan
lingkungan Rahim ibu hangat, bayi kemudian masuk ke lingkungan
ruang bersalin yang jauh lebih dingin. Suhu dingin menyebabkan air
ketuban menguap lewat kulit, sehingga mendinginkan darah bayi.
Seorang bayi yang mengalami kedinginan akan mulai mengalami
hipoglikemi, hipoksia dan asidosis.
Terdapat hubungan antara penyakit respiratory distress
syndrome (RDS) dengan stress dingin. Hal ini disebabkan karena
hipotermia menyebabkan terjadinya perubahan metabolisme tubuh
yang akan berakhir dengan kegagalan fungsi jantung, perdarahan
terutama pada paru-paru, icterus dan kematian.
D. Etiologi Respiratory Distress Syndrome
Faktor predisposisi terjadinya sindrom gawat napas pada bayi
prematur disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga sulit berkembang.
Pengembangan kurang sempurnal karena dinding thorax masih lemah,
produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan
kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut
menyebabkan perubahan fisiologis paru sehingga daya pengembangan paru
menurun 25% dari normal, pernapasan menjadi berat, shunting
intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang
menyebabkan asidosis respiratorik. Telah diketahui bahwa surfaktan
mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein, lipoprotein ini berfungsi
menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap
mengembang (Kurniawan & Asthiningsih, 2020).
Sumbatan gawat napas biasanya terjadi jika tidak cukup terdapat
suatu substansi dalam paru-paru yang disebut surfaktan. Surfaktan adalah
suatu substansi molekus yang aktif di permukaan alveolus paru dan
diproduksi oleh sel-sel tipe II paru-paru. Surfaktan berguna untuk
menurunkan tahanan permukaan paru. Surfaktan terbentuk mulai pada usia
kehamilan 24 minggu dan dapat ditemukan pada cairan ketuban. Pada usia
kehamilan 35 minggu, Sebagian besar bayi telah memiliki jumlah surfaktan
yang cukup.
Etiologi dari RDS yaitu :
1. Ketidakmampuan paru untuk mengembang dan alveoli terbuka
2. Alveoli masih kecil sehingga mengalami kesulitan berkembang dan
pengembangan kurang sempurna. Fungsi surfaktan untuk menjaga
agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara sehingga
pada bayi premature dimana surfaktan masih belum berkembang
menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan
mengalami sesak napas
3. Membran hialin berisi debris dari sel yang nekrosis yang tertangkap
dalam proteinnaceous filtrat serum (saringan serum protein) difagosit
oleh makrofag
4. Berat badan bayi lahir kurang dari 2500 gram
5. Adanya kelainan didalam dan diluar paru. Kelainan dalam paru yang
menunjukkan sindrom ini adalah pneumothoraks/pneumomediastinum,
penyakit membrane hialin (PMH)
6. Bayi premature atau kurang bulan diakibatkan oleh kurangnya
produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan
minggu ke-22, semakin muda usia kehamilan makan semakin besar
pula kemungkinan terjadi RDS
E. Manifestasi Klinis Respiratory Distress Syndrome
Umumnya terjadi pada bayi prematur dengan berat badan 1000-2000
gram atau masa gestasi 30-36 minggu. Jarang pada bayi cukup bulan, dan
sering disertai dengan riwayat asfiksia pada waktu lahir atau tanda gawat
janin pada akhir kehamilan. Gangguan pernafasan mulai tampak dalam 6-8
jam pertama setelah lahir dan gejala karakteristik mulai terlihat dalam umur
24-72 jam (Kalsum et al., 2018).
Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat
dipengaruhi oleh tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan
usia kehamilan, semakin berat gejala klinik yang ditujukan. Manifestasi dari
RDS disebabkan adanya atelaktasis alveoli, edema dan kerusakan sel dan
selanjutnya menyababkan kebocoran serum protein ke dalam alveoli
sehingga menghambat fungsi surfaktan. Gejala klinikal yang timbul yaitu
adanya sesak nafas pada bayi premature segera setelah lahir, yang ditandai
dengan takipnea (>60×/menit), pernapasan cuping hidung, grunting, retraksi
dinding dada dan sianosis dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama
setelah lahir.
Tanda dan gejala yang timbul pada RDS yaitu :
1. Pernafasan cepat/hiperpnea atau dispnea dengan frekuensi
pernafasan lebih dari 60x/menit
2. Retraksi interkostal, epigastrium atau suprasternal pada inspirasi
3. Sianosis
4. Grunting (terdengar seperti suara rintihan) saat ekspirasi
5. Takikardia (170x/menit)
F. Klasifikasi Respiratory Distress Syndrome
Secara klinis gangguan napas dapat dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu :
No Klasifikasi Frekuensi Napas Gejala Tambahan
1 Gangguan napas >90×/menit Dengan sianosis sentral dan
berat tarikan dinding dada atau
merintih saat ekspirasi.
Dengan atau tanpa gejala
lain dari gangguan napas
2 Gangguan napas 60-90×/menit Dengan tarikan dinding dada
sedang atau merintih saat ekspirasi
tetapi tanpa sianosis sentral.
Tanpa tarikan dinding dada
atau merintih saat ekspirasi
atau sianosis sentral
3 Gangguan napas 60-90×/menit Tanpa tarika dinding dada
ringan atau merintih saat ekspirasi
atau sianosis sentral

G. Patofisiologi Respiratory Distress Syndrome


Bayi premature lahir dengan kondisi paru yang belum siap
sepenuhnya untuk berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal
ini merupakan factor utama terjadinya RDS. Ketidaksiapan paru
menjalankan fungsinya tersebut terutama disebabkan oleh kekurangan atau
tidak adanya surfaktan. Kekurangan atau ketidakmatangan fungsi surfaktan
menimbulan ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat
ekspirasi. Tanpa surfaktan, janin tidak dapat menjafa parunya tetap
mengembang. Setiap kali bernafas menjadi sukar dan memerlukan usaha
yang keras untuk mengembangkan parunya pada setiap hembusan napas
(ekspirasi). Hal ini mengakibatkan bayi lebih banyak menghabiskan oksigen
untuk menghasilkan energi daripada menerima sehingga menyebabkan bayi
kelelahan. Dengan meningkatnya kelelahan, bayi akan semakin sedikit
membuka alveolinya. Ketidakmampuan mempertahankan pengembangan
paru ini dapat menyebabkan atelectasis.
Kolaps paru (atelektasis) akan menyebabkan terganggunya ventilasi
pulmonal sehingga terjadi hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah kontraksi
vaskularisasi pulmonal yang menimbulkan penurunan oksigenasi jaringan
dan selanjutnya menyebabkan metabolisme anaerobik. Metabolisme
anaerobik menghasilkan timbunan asam laktat sehingga terjadi asidosis
metabolik pada bayi dan penurunan curah jantung yang menurunkan perfusi
ke organ vital. Asidosis dan atelektasis juga menyebabkan aliran darah paru
menurun dan mengakibatkan berkurangnya pembentukan zat surfaktan.
Atelektasis menyebabkan paru tidak mampu mengeluarkan karbon dioksida
dari sisa pernapasan sehingga terjadi asidosis respiratorik. Penurunan pH
menyebabkan vasokonstriksi yang semakin berat. Dengan penurunan
sirkulasi paru dan perfusi alveolar, PaO2 akan menurun tajam, pH juga akan
menurun tajam, serta materi yang diperlukan untuk produksi surfaktan tidak
mengalir ke dalam alveoli.
Sintesis surfaktan dipengaruhi sebagian oleh pH, suhu dan perfusi
normal, asfiksia, hipoksemia dan iskemia paru terutama dalam hubungannya
dengan hipovolemia, hipotensi dan stress dingin dapat menekan sintesis
surfaktan. Lapisan epitel paru dapat juga terkena trauma akibat kadar
oksigen yang tinggi dan pengaruh penatalaksanaan pernapasan yang
mengakibatkan penurunan surfaktan lebih lanjut (Asrining Surasmi, Siti
Handayani, 2003). Akibat lain adalah kerusakan endotel kapiler dan epitel
duktus alveolus yang menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli
dan terbentuknya fibrin, selanjutnya fibrin bersama-sama dengan jaringan
epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin.
Membran hialin ini melapisi alveoli dan menghambat pertukaran gas
sehingga timbul masalah gangguan pertukaran gas.
H. Web of Caution Respiratory Distress Syndrome

Bayi lahir prematur

Inadekuat surfaktan Lapisan lemak belum


terbentuk pada kulit

Alveoulus kolaps
Risiko hipotermia

Ventilasi berkurang Hipoksia

Peningkatan usaha
Cedera Pembentukan
napas
paru membrane hialin

Takipnea
Edema Mengendap di
alveoli
Pola napas tidak
Gangguan
efektif
pertukaran gas

Refleks hisap
menurun
Penguapan
meningkat
Intake tidak adekuat

Risiko
Defisit nutrisi hipovolemia
I. Komplikasi Respiratory Distress Syndrome
Komplikasi RDS yaitu:
1. Ketidakseimbangan asam basa
2. Kebocoran udara (Pneumothoraks, pneumomediastinum,
pneumoperikardium, pneumoperitonium, emfisema subkutan,
emfisema interstisial pulmonal)
3. Perdarahan pulmonal
4. Penyakit paru kronis pada bayi 5%-10%
5. Apnea
6. Hipotensi sistemik
7. Anemia
8. Infeksi (pneumonia, septikemia, atau nosokomial)
9. Perubahan perkembangan bayi dan perilaku orangtua
Komplikasi yang berhubungan dengan prematuritas :
1. Paten Duktus Arteriosus (PDA) yang sering dikaitkan dengan
hipertensi pulmonal
2. Perdarahan intraventrikuler
3. Retinopati akibat prematuritas
4. Kerusakan neurologis
J. Pemeriksaan Penunjang Respiratory Distress Syndrome
Pemeriksaan penunjang pada Respiratory Distress Syndrome (RDS)
antara lain :
1. Tes kematangan paru
a. Tes biokimia
Paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah
fosfolipid dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi
surfaktan sebagai tolak ukur kematangan paru
b. Tes biofisika
Tes biokimia dilakukan dengan shake tes dengan cara mengocok
cairan amnion yang dicampur ethanol akan terjadi hambatan
pembentukan gelembung oleh unsur yang lain dari cairan amnion
seperti protein, garam empedu dan asam lemak bebas. Bila
didapatkan ring yang utuh dengan pengenceran lebih dari 2 kali
(cairan amnion : ethanol) merupakan indikasi maturitas paru janin.
Pada kehamilan normal, mempunyai nilai prediksi positip yang
tepat dengan risiko yang kecil untuk terjadinya neonatal RDS.
2. Analisa gas darah
Gas darah menunjukkan asidosis metabolic dan respiratorik
bersamaan dengan hipoksia. Asidosis muncul karena atelaktasis
alveolus atau over distensi jalan napas terminal.
3. Radiografi thoraks
Pada bayi dengan RDS menunjukkan reticular granular atau gambaran
ground-glas bilateral, difus, air bronchograms dan ekspansi paru yang
jelek. Gambaran air bronchograms yang mencolok menunjukkan
bronkiolus yang terisi udara didepan alveoli yang kolap. Bayangan
jantung bisa normal atau membesar. Kardiomegali mungkin dihasilkan
oleh asfiksia prenatal, diabetes maternal, patent ductus arteriosus
(PDA), kemungkinan kelainan jantung bawaan. Temuan ini mungkin
berubah dengan terapi surfaktan dini dan ventilasi mekanik yang
adekuat.
K. Penatalaksanaan Respiratory Distress Syndrome
Tindakan untuk mengatasi masalah kegawatan pernafasan meliputi :
1. Ventilasi mekanis
Ventilasi mekanis merupakan prosedur bantuan hidup yang
invasive dengan berbagai efek pada system kardiopulmonal. Ventilasi
mekanis adalah membaiknya kondisi klinis pasien dan optimalisasi
pertukaran gas dan pada FiO2 (Fractional Concentration of Inspired
Oxygen) yang minimal, serta tekanan ventilator atau volume tidal yang
minimal.
2. Terapi surfaktan
Saat ini preparat surfaktan yang tersedia antara lain adalah
surfaktan sintetis dan surfaktan natural yang berasal dari ekstrak paru-
paru sapi atau dari bilas paru-paru domba atau babi. Surfaktan dapat
diberikan pada 6 sampai 24 jam setelah bayi lahir apabila bayi
mengalami Respiratory Distress Syndrome (RDS) yang berat.
Selanjutnya surfaktan dapat diberikan 2 jam (umumnya 4-6 jam)
setelah dosis awal apabila sesak menetap dan bayi memerlukan
tambahan oksigen 30% atau lebih. Surfaktan dapat diberikan langsung
melalui selang ETT atau dengan menggunakan nebulizer. Pemberian
langsung kedalam selang ETT memungkinkan distribusi surfaktan
yang lebih cepat sampai ke bagian perifer paru-paru, efektivitasnya
lebih baik dan efek samping yang dapat ditimbulkan lebih sedikit.
Pemberian surfaktan juga dapat dilakukan dengan menggunakan
nebulizer disertai dengan ventilasi mekanis (2-3 menit) dilanjutkan
dengan postural drainage.
3. Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)
Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) adalah
merupakan suatu alat untuk mempertahankan tekanan posited pada
saluran napas neonates selama pernapasan spontan. CPAP
merupakan suatu alat yang sederhana dan efektif untuk tatalaksana
respiratory distress pada neonates. Penggunaan CPAP yang benar
terbukti dapat menurunkan kesulitan bernafas, mengurangi
ketergantungan terhadap oksigen, membantu memperbaiki dan
mempertahankan kapasitas residual paru, mencegah obstruksi saluran
nafas bagian atas dan mencegah kollaps paru, mengurangi apnea,
bradikardia dan episode sianotik.
4. Extracorporeal Membrane Oxygenation (EMO)
Extracorporeal Membrane Oxygenation (EMO) merupakan alat
yang menghubungkan langsung darah vena pada alat paru-paru
buatan (membrane oxygenator) dimana oksigen ditambahkan dan
CO2 dikeluarkan, kemudian darah di pompa balik pada atrium kanan
pasien (Venovenosis ECMO) atau aorta (venoarterial). Prosedur ini
membuat paru-paru dapat beristirahat dan menghindari tekanan tinggi
ventilator.
Secara umum penatalaksanaan pada pasien dengan Respiratory
Distress Syndrome (RDS) adalah :
1. Mempertahankan stabilitas jantung paru yang dapat dilakukan dengan
mengadakan pantauan mulai dari kedalaman, kesimetrisan dan irama
pernapasan, kecepatan, kualitas dan suara jantung, mempertahankan
kepatenan jalan napas, memantau reaksi terhadap pemberian atau
terapi medis, serta pantau PaO2. Selanjutnya melakukan kolaborasi
dalam pemberian surfaktan eksogen sesuai indikasi
2. Memantau urine, memantau serum elektrolit, mengkaji status hidrasi
seperti turgor, membrane mukosa dan status fontanel anterior. Apabila
bayi mengalami kepanasan berikan selimut kemudian berikan cairan
melalui intravena sesuai indikasi
3. Mempertahankan intake kalori secara intravena, total parenteral
nutrition dengan memberikan 80-120 Kkal/Kg BB setiap 24 jam,
mempertahankan gula darah dengan memantau gejala komplikasi
adanya hipoglikemia, mempertahankan intake dan output, memantau
gejala komplikasi gastrointestinal seperti adanya diare, mual dan lain-
lain
4. Mengoptimalkan oksigen, oksigenasi yang optimal dilakukan dengan
mempertahankan kepatenan pemberian oksigen, melakukan
penghisapan lender sesuai kebutuhan dan mempertahankan stabilitas
suhu
5. Pemberian antibiotic, bayi dengan Respiratory Distress Syndrome
(RDS) perlu mendapat antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder.
Dapat diberikan penisilin dengan dosis 50.000-100.000 U/kgBB/Hari
atau ampisilin 100 mg/KgBB/hari dengan atau tanpa gentamisin 3-5
mg/kgBB/hari
L. Asuhan Keperawatan Respiratory Distress Syndrome
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian diawali dari fungsi pernafasan, mengobservasi
kemampuan paru-paru bayi untuk bernafas pada fase transisi dari
kehidupan intra-uteri ke kehidupan ekstra-uteri. Bayi BBLR terutama
yang premature mempunyai kesulitan pada fase transisi ini karena
jumlah alveoli yang berfungsi masih sedikit, defisiensi surfaktan, lumen
sistem pernapasan yang kecil, kolaps atau obstruksi jalan napas,
insufisiensi klasifikasi dari tulang thoraks, lemah atau tidak adanya
refleks dan pembuluh darah paru yang immature. Hal tersebut dapat
mengganggu usaha bayi untuk bernafas dan mengakibatkan distress
pernafasan. Dalam melakukan pengkajian dasar, data dapat
dikelompokan menjadi data subjektif dan data objektif yang dapat
diuraikan sebagai berikut :
a. Data subjektif
Data subjektif adalah data yang menggambarkan hasil
pengumpulan data pasien melalui anamnesa atau wawancara. Hasil
anamesa yang berhubungan dengan bayi RDS dapat dikelompokan
sebagai berikut:
1) Riwayat penyakit terdahulu (adanya riwayat penyakit seperti
hipertensi, DM, toksemia pada ibu)
2) Nutrisi ibu (malnutrisi, konsumsi kafein, penggunaan obat
obatan, merokok dan mengonsumsi alkohol)
3) Riwayat ibu :
• Umur dibawah umur 16 tahun atau umur diatas umur 35
tahun
• Latar belakang rendah
• Rendahnya gizi
• Konsultasi genetik yang pernah dilakukan
4) Riwayat persalinan :
• Kehamilan kembar
• Bedah Caesar
• Perdarahan antepartum
• Tidak adanya perawatan sebelum kelahiran
b. Data objektif
Data objektif adalah data yang menggambarkan hasil
pemeriksaan fisik, hasil laboratorium dan tes diagnostik lain yang
dirumuskan dalam data fokus. Pengkajian pada bayi RDS bertujuan
untuk mengetahui fisiologis dasar pada bayi RDS.
Pengkajian dapat dilakukan secara sistematik berawal dari
pengkajian data mengenai identitas pasien, identitas penanggung
jawab, keluhan utama, riwayat perjalanan penyakit, riwayat penyakit
sebelumnya, riwayat kehamilan dan kelahiran, riwayat penyakit
keluarga, riwayat tumbuh kembang, psikologi keluarga, pola
kebiasaan sehari hari, dan pemeriksaan fisik sesuai dengan sistem
tubuh, sebagai berikut:
1) Pengkajian Pernafasan pada bayi RDS
Pengkajian pada bayi RDS diawali dengan fungsi
pernafasan. Pengkajian pernafasan dilakukan dengan:
a) Observasi bentuk dada (barrel, cembung) kesimetrian,
adanya insisi, selang dada, atau penyimpangan lainnya
b) Observasi otot aksesori: Pernafasan cuping hidung, retraksi
dada
c) Tentukan frekuensi dan keteraturan pernafasan
d) Auskultasi bunyi pernafasan: Stridor, mengi, ronchi, area
yang tidak ada bunyinya, keseimbangan bunyi nafas
e) Observasi saturasi oksigen dengan oksimetri nadi dan
tekanan parsial oksigen dan karbon dioksida
f) Secara singkat, perhatikan: Bentuk cuping hidung, dada
simetris atau tidak, otot-otot pernafasan retraksi intercostae,
subclavicula, frekuensi pernafasan, bunyi nafas ada ronchi
atau tidak.
Hal-hal yang biasanya ditemukan pada pengkajian
pernafasan bayi RDS adalah Jumlah penafasan rata-rata 40 -
60 per menit dibagi dengan periode apneu, pernafasan tidak
teratur dengan flaring nasal (nasal melebar) dengkuran, retraksi
(interkostal, supra sternal, substernal), terdengar suara
gemerisik pada auskultasi paru-paru, takipnea sementara dapat
dilihat, khususnya setelah kelahiran cesaria atau persentasi
bokong, pola nafas diafragmatik dan abdominal dengan
gerakan sinkron dari dada dan abdomen, dan perhatikan
adanya sekret yang mengganggu pernafasan, mengorok,
pernafasan cuping hidung
2) Pengkajian kardiovaskuler pada bayi RDS
Pengkajian sistem kardiovaskuler dilakukan untuk
mengukur tekanan darah, menghitung denyut jantung, dan
menilai pengisian kembali kapiler pada bayi :
a) Tentukan frekuensi, irama jantung, dan tekanan darah
b) Auskultasi bunyi jantung, termasuk adanya mur-mur
c) Observasi warna kulit bayi seperti adanya sianosis, pucat,
dan ikterik pada bayi
d) Kaji warna kuku, membrane mukosa, dan bibir
e) Gambaran nadi perifer, pengisian kapiler (< 2-3 detik)
3) Pengkajian gastrointestinal pada bayi RDS
Pengkajian yang dapat dilakukan adalah mengecek refleks
mengisap dan menelan, menimbang berat badan bayi,
mendengarkan bising usus dan observasi pengeluaran
mekonium.
4) Pengkaian genitourinaria pada bayi RDS
Masalah pada sistem perkemihan yaitu ginjal bayi pada bayi
RDS tidak dapat mengekresikan hasil metabolisme dan obat
obatan dengan akurat, memekatkan urin, mempertahankan
keseimbangan cairan, asam basa dan elektrolit. Pengkajian
dilakukan dengan cara menghitung intake dan output.
5) Pengkajian neurologis – muskulusteletal pada bayi RDS
Pada bayi RDS sangat rentan terjadi injuri susunan saraf pusat.
Pengkajian yang dilakukan adalah observasi fleksi, ekstensi,
reflex hisap, tingkat respon, respon pupil, gerakan tubuh dan
posisi bayi.
6) Pengkajian suhu pada bayi RDS
Banyak faktor yang menyebabkan suhu tidak stabil pada bayi
RDS terutama pada bayi BBLR salah satunya yaitu kurangnya
lemak subkutan pada bayi. Pengkajian suhu yang dapat
dilakukan adalah tentukan suhu kulit melalui aksila bayi,
tentukan dengan suhu lingkungan.
7) Pengkajian kulit pada bayi RDS
Dalam pengkajian kulit bayi yang dikaji yaitu monitor adanya
perubahan warna kulit, area kulit yang kemerahan, tanda iritasi,
mengkaji tekstur atau turgor kulit bayi, ruam, lesi pada kulit
bayi.
8) Pengkajian respon orang tua pada bayi RDS
Respon orangtua yang bayinya dengan RDS umunya merasa
sedih, cemas, dan takut kehilangan. Hal hal yang dapat dikaji
perawat adalah ekspresi wajah orangtua bayi dengan RDS,
mengkaji perilaku dan mekanisme pemecahan masalah yang
dilakukan orang tua bayi
c. Pemeriksaan diagnostic
• Seri rontgen dada untuk melihat densitas atelaktasis dan
elevasi diaphragma dengan overdistensi ductus alveolar
• Bronchogram udara, untuk menentukan ventilasi jalan nafas
d. Data laboratorium
• Profil paru untuk menentukan maturitas paru dengan bahan
cairan amnion (untuk janin yang mempunyai predisposisi
RDS)
• Analisa gas darah, PaO2 kurang dari 50 mmHg, PaCO2
kurang dari 60 mmHg, saturasi oksigen 92%-94%, pH 7,31-
7,45
• Level potassium meningkat sebagai hasil dari relase
potassium dari sel alveolar yang rusak
2. Diagnosa Keperawatan
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas
dibuktikan dengan pengunaan otot bantu napas, pola napas
abnormal (kussmaul) (D.0005)
b. Risiko hipotermia dibuktikan dengan prematuritas (D.0140)
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi Keperawatan
keperawatan hasil
Pola napas tidak Setelah diberikan Asuhan PEMANTAUAN RESPIRASI (I.01014)
efektif berhubungan keperawatan selama 3 x Observasi
dengan hambatan 24 jam, diharapkan pola 1. Monitor frekuensi, irama,
upaya napas napas membaik dengan kedalaman, dan upaya napas
dibuktikan dengan kriteria hasil : 2. Monitor pola napas (seperti
pengunaan otot 1. Penggunaan otot bradipnea, takipnea,
bantu napas, pola bantu napas hiperventilasi, Kussmaul, Che
napas abnormal menurun yne-Stokes, Biot, ataksik0
(kussmaul) (D.0005) 2. Frekuensi napas 3. Monitor saturasi oksigen
membaik Terapeutik
3. Kedalaman napas 1. Atur interval waktu
membaik pemantauan respirasi sesuai
kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
2. Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
Risiko hipotermia Setelah dilakukan Manajemen Hipotermia (I.14507)
dibuktikan dengan Tindakan keperawatan Observasi :
prematuritas selama 1×24 jam 1. Monitor suhu tubuh
(D.0140) diharapkan hipotermi 2. Monitor tanda dan gejala
membaik dengan kriteria akibat hipotermia
hasil : Terapeutik :
Termoregulasi neonatus 1. Sediakan lingkungan yang
(L.14135) hangat
1. Suhu tubuh 2. Lakukan penghangatan pasif
meningkat 3. Lakukan penghangatan aktif
2. Suhu kulit internal
meningkat Edukasi : -
3. Frekuensi nadi
meningkat

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi yang harus dicapai dalam intervensi pada bayi RDS
yaitu manajemen jalan napas dan pemantauan respirasi. Manajemen
jalan napas meliputi memonitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha
napas), memonitor bunyi napas tambahan (gurgling, mengi, wheezing,
ronkhi), memberikan oksigen (jika perlu),mengkolaborasikan pemberian
bronkodilator, ekspektoran, mukolitk (jika perlu). Sedangkan,
pemantauan respirasi meliputi memonitor pola napas (seperti bradipneu,
takipneu, hiperventilasi), memonitor adanya sumbatan jalan napas,
mengauskultasi bunyi napas, memonitor saturasi oksigen, mempaplasi
kesimetrisan ekspansi paru, mengatur interval pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien, memonitor adanya pernafasan cuping hidung,
memonitor adanya kelemahan otot diagfragama.
5. Eveluasi Keperawatan
Evaluasi yang harus dicapai pada bayi RDS yaitu dipsnea
menurun, penggunaan otot napas bantu menurun, pernapasan cuping
hidung menurun, frekuensi napas membaik, kedalaman napas membaik
DAFTAR PUSTAKA
Gunatilaka, C. C., Higano, N. S., Hysinger, E. B., Gandhi, D. B., Fleck, R. J.,
Hahn, A. D., Fain, S. B., Woods, J. C., & Bates, A. J. (2020). Increased
Work of Breathing due to Tracheomalacia in Neonates. Annals of the
American Thoracic Society, 17(10), 1247–1256.
https://doi.org/10.1513/AnnalsATS.202002-162OC
Kalsum, U. . W. ode, Sabriyati, N., Utami, N., & Monalisa. (2018). Trio Dispa :
Effort To Establish Family Health Experts in Acute Respiratory Infections.
Indonesian Contemporary Nursing Journal, 4(2), 64-71, 4(2), 1–8.
Kurniawan, M. B., & Asthiningsih, N. W. W. (2020). Hubungan antara Diabetes
Melitus Gestasional dan Berat Badan Lahir dengan Kejadian Respiratory
Distress Syndrome ( RDS ) pada Neonatus di RSUD Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda. Borneo Student Research, 1(3), 1805–1812.
Sugiarno, A., & Wiwin, N. W. (2020). Hubungan Hipertensi Maternal Dan Jenis
Persalinan Dengan Kejadian Respiratory Distress Syndrome (Rds) Pada
Neonatus Di Rsud Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Borneo Student
Research (BSR), 1(Vol 1 No 3 (2020): Borneo Student Research), 1582–
1587. http://journals.umkt.ac.id/index.php/bsr/article/view/1052/514
Wahyuni, S., & Asthiningsih, N. W. W. (2020). Hubungan Usia Ibu dan Asfiksia
Neonatorum dengan Kejadian Respiratory Distress Syndrome ( RDS ) pada
Neonatus di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Borneo Student
Research, 1(3), 1824–1833.

Anda mungkin juga menyukai