Anda di halaman 1dari 24

UNIVERSITAS TRISAKTI FAKULTAS KEDOKTERAN RSAL Dr.

MINTOHARDJO

Respiratory Distress Syndrome Oleh Sri Chitra Arum Sari Supit

DEPARTEMEN ANAK - PROGRAM PROFESI DOKTER KEPANITRAAN DASAR 2013

KATA PENGHANTAR Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan pertolongan dan hidayahNya penyusun dapat menyelesaiakan referat dengan judul Respiratory Distress Syndrome sebagai rangkaian kegiatan Kepaniteraan Dasar di Bagian Kesehatan Ilmu Anak RSAL Dr. MINTOHARDJO. Dalam rangkaian penulisan referat ini penulis menyadari sepenuhnya akan keterbatasan dan kekurangan yang penyusun miliki, referat ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari pihak yang telah membantu menyelesaikan referat ini. Tidak lupa penyusun mengucapkan rasa terima kasih kepada dr. JB. Lengkong, Sp.A, selaku Koordinator dan pembimbing di Bagian Ilmu Kesehatan Anak, serta seluruh dokter yang telah membimbing penyusun selama di kepaniteraan dasar ilmu kesehatan anak RSAL dr. Mintohardjo, dan juga ucapan terima kasih kepada teman-teman kepaniteraan yang telah memberi bantuan serta dukungan kepada penyusun.

Dengan penuh kesadaran dari penyusun, meskipun telah berupaya semaksimal mungkin untuk menyelesaikan referat ini, masih terdapat adanya kelamahan dan kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan oleh penyusun. Akhir kata penyusun mengharapkan semoga referat ini dapat berguna dan memberi manfaat bagi kita semua.

Jakarta, 7 November 2013

Penulis

PENDAHULUAN

Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane Disease (HMD), merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan perkembangan yang imatur pada system pernafasan atau adanya defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. respiratory distress sndrome (RDS) merupakan penyebab morbiditas utama pada anak. Hyaline Membrane Disease merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi baru lahir. Kurang lebih 30 % dari semua kematian pada neonatus disebabkan oleh HMD atau komplikasinya. Manifestasi dari Respiratory Distress Syndrome disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan.

RDS adalah suatu sindrom kegawatan pada pernafasan yang terdiri atas gejala dispneu, pernafasan cepat lebih dari 60 kali permenit, sianosis, merintih pada saat ekspirasi; terdapat retraksi pada suprasternal, interkostal dan epigastrium. Pada penyakit ini terjadi perubahan paru yaitu berupa pembentukan jaringan hialin pada membran paru yang rusak. Kerusakan pada paru timbul akibat kekurangan komponen surfaktan pulmonal. Surfaktan adalah suatu zat aktif yang memberikan pelumasan pada ruang antar alveoli sehingga dapat mencegah pergesekan dan timbulnya kerusakan pada alveoli yang selanjutnya akan mencegah terjadinya kolaps paru.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Hyaline Membrane Disease (HMD) disebut juga respiratory distress syndrome (RDS) atau Sindroma Gawat Nafas yaitu gawat napas pada bayi kurang bulan atau premature yang terjadi segera atau beberapa saat setelah lahir, frekuensi angka kejadiannya dihubungkan dengan bayi dari ibu diabetes, persalinan sebelum umur kehamilan 37 minggu, kehamilan multijanin, persalinan seksio sesarea, persalinan cepat, asfiksia, stres dingin, dan adanya riwayat bahwa bayi sebelumnya terkena. Insiden tertinggi pada bayi preterm laki-laki atau kulit putih.

Respiratory distress sndrome ditandai adanya kesukaran bernafas, (pernafasan cuping hidung, grunting, tipe pernapasan dispnea / takipnea, retraksi dada, dan sianosis) yang menetap atau menjadi progresif dalam 48 96 jam pertama kehidupan. Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel danselanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambatfungsi surfaktan.

B. Epidemiologi Respiratory Distress syndrome merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi baru lahir. Di Amerika Serikat diperkirakan terjadi pada 20.000-30.000 bayi baru lahir tiap tahunnya dan merupakan komplikasi dari 1% kehamilan. Kurang lebih 30 % dari semua kematian pada neonatus disebabkan oleh RDS atau komplikasinya. RDS pada bayi prematur bersifat primer, insidensinya berbanding terbalik dengan umur kehamilan dan berat lahir. Insidensinya sebesar 60-80% pada bayi kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi 32-36 minggu, 5% pada bayi kurang dari 37 minggu, dan sangat jarang terjadi pada bayi matur. RDS lebih jarang ditemukan di Negara berkembang dibanding lainnya, terutama karena sebagian besar infant premature yang kecil untuk masa kehamilan mengalami stress didalam rahim karena diinduksi oleh hipertensi. Tambahan, juga dikarenakan padawilayah ini kebanyakan persalinan dilakukan didalam rumah, sehingga pencatatatannya buruk

Frekuensinya meningkat pada ibu yang diabetes, kelahiran sebelum usia kehamilan 37 minggu, kehamilan dengan lebih dari 1 fetus, kelahiran dengan operasi caesar, kelahiran yang dipercepat, asfiksia, stress dingin, dan riwayat bayi terdahulu mengalami RDS. Pada ibu diabetes, terjadi penurunan kadar protein surfaktan, yang menyebabkan terjadinya disfungsi surfaktan. Selain itu dapat juga disebabkan pecahnya ketuban untuk waktu yang lama serta hal-hal yang menimbulkan stress pada fetus seperti ibu dengan hipertensi / drug abuse, atau adanya infeksi kongenital kronik. Insiden tertinggi didapatkan pada bayi prematur laki-laki atau bayi kulit putih. Pada laki-laki, androgen menunda terjadinya maturasi paru dengan menurunkan produksi surfaktan oleh sel pneumosit tipe II. C. Faktor Resiko 1. Bayi kurang bulan. Pada bayi kurang bulan, paru bayi secara biokimiawi masih imatur dengan kekurangan surfaktan yang melapisi rongga paru. 2. Kegawatan neonatal seperti kehilangan darah dalam periode perinatal, aspirasi mekonium, pneumotoraks akibat tindakan resusitasi, dan hipertensi pulmonal dengan pirau kanan ke kiri yang membawa darah keluar dari paru. 3. Bayi dari ibu diabetes mellitus. Pada bayi dari ibu dengan diabetes terjadi keterlambatn pematangan paru sehingga terjadi distress respirasi 4. Bayi lahir dengan operasi sesar. Bayi yang lahir dengan operasi sesar,berapapun usia gestasinya dapat mengakibatkan terlambatnya absorpsi cairan paru (Transient Tachypnea of Newborn) 5. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita demam, ketuban pecah dini dapat terjadi pneumonia bakterialis atau sepsis.

D. Etiologi

Pembentukan paru dimulai pada kehamilan 3 - 4 minggu dengan terbentuknya trakea dari esofagus. Pada 24 minggu terbentuk rongga udara yang terminal termasuk epitel dan kapiler, serta diferensiasi pneumosit tipe I dan II. Sejak saat ini pertukaran gas dapat terjadi namun jarak antara kapiler dan rongga udara masih 2 -3 kali lebih lebar dibanding pada dewasa. Setelah 30 minggu terjadi pembentukan bronkiolus terminal, dengan pembentukan alveoli sejak 32 34 minggu. Surfaktan muncul pada

paru-paru janin mulai usia kehamilan 20 minggu tapi belum mencapai permukaan paru. Surfaktan tampak dalam cairan amnion antara 28 dan 32 minggu. Kadar surfaktan yang matur baru muncul setelah 35 minggu kehamilan. Surfaktan mengurangi tegangan permukaan pada rongga alveoli, memfasilitasi ekspansi paru dan mencegah kolapsnya alveoli selama ekspirasi. Selain itu dapat pula mencegah edema paru serta berperan pada sistem pertahanan terhadap infeksi. Komponen utama surfaktan adalah Dipalmitylphosphatidylcholine (lecithin) 80 %, phosphatidylglycerol 7 %, phosphatidylethanolamine 3 %, apoprotein (surfactant protein A, B, C, D) dan cholesterol. Dengan bertambahnya usia kehamilan, bertambah pula produksi fosfolipid dan penyimpanannya pada sel alveolar tipe II.(9) Protein merupakan 10 % dari surfaktan., fungsinya adalah memfasilitasi pembentukan film fosfolipid pada perbatasan udara-cairan di alveolus, dan ikut serta dalam proses perombakan surfaktan.

Kegagalan mengembangkan functional residual capacity dan kecenderungan dari paru yang terkena untuk mengalami atelektasis berhubungan dengan tingginya tegangan permukaan dan absennya phosphatydilglycerol, phosphatydilinositol, phosphatydilserin, phosphatydilethanolamine dan sphingomyelin.

Pembentukan surfaktan dipengaruhi pH normal, suhu dan perfusi. Asfiksia, hipoksemia, dan iskemia pulmonal; yang terjadi akibat hipovolemia, hipotensi dan stress dingin; menghambat pembentukan surfaktan. Epitel yang melapisi paru-paru juga dapat rusak akibat konsentrasi oksigen yang tinggi dan efek pengaturan respirasi, mengakibatkan semakin berkurangnya surfaktan.

E. Patofisiologi Imaturitas paru secara anatomis dan dinding dada yang belum berkembang dengan baik mengganggu pertukaran gas yang adekuat. Pembersihan cairan paru yang tidak efisien karena jaringan interstitial paru imatur bekerja seperti spons. Edema interstitial terjadi sebagai resultan dari meningkatnya permeabilitas membran kapiler alveoli sehingga cairan dan protein masuk ke rongga alveoli yang kemudian mengganggu fungsi paru-paru. Selain itu pada neonatus pusat respirasi belum berkembang sempurna disertai otot respirasi yang masih lemah.

Alveoli yang mengalami atelektasis, pembentukan membran hialin, dan edema interstitial mengurangi compliance paru-paru; dibutuhkan tekanan yang lebih tinggi untuk mengembangkan saluran udara dan alveoli kecil. Dinding dada bagian bawah tertarik karena diafragma turun dan tekanan intratorakal menjadi negatif, membatasi jumlah tekanan intratorakal yang dapat diproduksi. Semua hal tersebut menyebabkan kecenderungan terjadinya atelektasis. Dinding dada bayi prematur yang memiliki compliance tinggi memberikan tahanan rendah dibandingkan bayi matur, berlawanan dengan kecenderungan alami dari paru-paru untuk kolaps. Pada akhir respirasi volume toraks dan paru-paru mencapai volume residu, cencerung mengalami atelektasis. Kurangnya pembentukan atau pelepasan surfaktan, bersama dengan unit respirasi yang kecil dan berkurangnya compliance dinding dada, menimbulkan atelektasis, menyebabkan alveoli memperoleh perfusi namun tidak memperoleh ventilasi, yang menimbulkan hipoksia. Berkurangnya compliance paru, tidal volume yang kecil, bertambahnya ruang mati fisiologis, bertambahnya usaha bernafas, dan tidak cukupnya ventilasi alveoli menimbulkan hipercarbia. Kombinasi hiperkarbia, hipoksia, dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi arteri pulmonal dan

meningkatnkan pirau dari kanan ke kiri melalui foramen ovale, ductus arteriosus, dan melalui paru sendiri. Aliran darah paru berkurang, dan jejas iskemik pada sel yang memproduksi surfaktan dan bantalan vaskuler menyebabkan efusi materi protein ke rongga alveoli. Pada bayi imatur, selain defisiensi surfaktan, dinding dada compliant, otot nafas lemah dapat menyebabkan kolaps alveolar. Hal ini menurunkan keseimbangan ventilasi dan perfusi, lalu terjadi pirau di paru dengan hipoksemia arteri progresif yang dapat menimbulkan asidosis metabolik. Hipoksemia dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan penurunan aliran darah paru. Kapasitas sel pnuemosit tipe II untuk memproduksi surfaktan turun. Hipertensi paru yang menyebabkan pirau kanan ke kiri melalui foramen ovale dan duktus arteriosus memperburuk hipoksemia. Aliran darah paru yang awalnya menurun dapat meningkat karena berkurangnya resistensi vaskuler paru dan PDA. Sebagai tambahan dari peningkatan permeabilitas vaskuler, aliran darah paru meningkat karena akumulasi cairan dan protein di interstitial dan rongga alveolar. Protein pada rongga alveolar dapat menginaktivasi surfaktan.

Berkurangnya functional residual capacity (FRC) dan penurunan compliance paru merupakan karakteristik RDS. Beberapa alveoli kolaps karena defisiensi surfaktan, sementara beberapa terisi cairan, menimbulkan penurunan FRC. Sebagai respon, bayi premature mengalami grunting yang memperpanjang ekspirasi dan mencegah FRC semakin berkurang.

Gambar 1. Faktor faktor yang Mempengaruhi Patogenesis penyakit membran hialin. F. Patologi Paru nampak merah keunguan dengan konsistensi menyerupai hati. Secara mikroskopis, terdapat atelektasis luas disertai dengan pelebaran kapiler-kapiler dan saluran linfe intraalveolar. Beberapa ductus alveolaris, alveoli dan bronchiolus respiratorius dilapisi mebran kemerahan homogen atau granuler. Debris amnion, perdarahan intra-alveolar, dan emfisema interstitial dapat ditemukan bila penderita telah mendapat ventilasi dengan positive end expiratory pressure. Karakteristik HMD jarang ditemukan pada penderita yang meninggal kurang dari 6-8 hari sesudah lahir.

G. Manifestasi Klinis Tanda-tanda HMD biasanya tampak dalam beberapa menit setelah kelahiran, walaupun tanda-tanda ini tidak dapat dikenali selama beberapa jam sampai pernafasan

menjadi cepat, dangkal bertambah sampai 60/menit. Beberapa penderita membutuhkan resusitasi saat lahir akibat asfiksia intrapartum atau distres pernafasan awal yang berat (bila berat badan lahir kurang dari 1000g). Khasnya ditemukan takipnea, mendengkur jelas, retraksi interkostal dan subkostal, pelebaran dan kehitaman pada cuping hidung. Sianosis yang meningkat, yang biasanya tidak responsif terhadap oksigen. Suara nafas dapat normal atau hilang dengan kualitas tubular yang kasar, dan pada inspirasi dalam dapat terdengan ronkhi basah halus, terutama pada basis paru posterior. Perjalanannya ditandai dengan perjelekan sianosis dan dispnea yang progresif. Bila tidak mendapatkan terapi dengan baik, tekanan darah dan suhu tubuh akan turun, terjadi peningkatan sianosis, lemah dan pucat, grunting berkurang atau hilang seiring memburuknya penyakit. apnea dan pernafasan iregular mucul saat bayi lelah, dan merupakan tanda perlunya intervensi segera. Dapat juga ditemukan gabungan dengan asidosis metabolik, edema, ileus, dan oliguria. Tanda asfiksia sekunder dari apnea atau kegagalan respirasi muncul bila ada progresi yang cepat dari penyakit. Kondisi ini jarang menyebakan kematian pada bayi dengan kasus berat. Tapi pada kasus ringan, tanda dan gejala mencapai puncak dalam 3 hari. Setelah periode inisial tersebut, bila tidak timbul komplikasi, keadaan respirasi mulai membaik. Bayi yang lahir pada 32 33 minggu kehamilan, fungsi paru akan kembali normal dalam 1 minggu kehidupan. Pada bayi lebih kecil (usia kehamilan 26 28 minggu) biasanya memerlukan ventilasi mekanik. Perbaikan ditandai dengan diuresis spontan, dan kemampuan oksigenasi pada kadar oksigen lebih rendah. Kematian jarang terjadi pada 1 hari pertama, biasanya terjadi pada hari ke 2 sampai ke 7, sehubungan dengan adanya kebocoran udara alveoli (emfisema interstitial, pneumothorax) perdarahan paru atau intraventrikular. Kematian dapat terjadi setelah beberapa minggu atau bulan bila terjadi bronchopulmonary displasia (BPD) pada penderita dengan ventilasi mekanik (HMD berat). H. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Foto Thorax Berdasarkan gambaran rontgen, paru-paru dapat memberikan gambaran yang karakteristik, tapi bukan patognomonik, meliputi gambaran retikulogranular halus dari parenkim dan gambaran air bronchogram tampak lebih jelas di lobus kiri bawah karena superimposisi dengan bayangan jantung. Awalnya gambaran rontgen normal, gambaran yang tipikal muncul dalam 6-12 hari.

Gambar 2. RDS klasik. Thoraks berbentuk seperti lonceng karena aerasi tidak adekuat ke seluruh bagian paru. Volume paru berkurang, parenkim paru menunjukkan pola retikulogranular difus, serta adanya gambaran air bronchogram sampai ke perifer.

Gambar 3. RDS sedang. Gambaran retikulogranular lebih jelas dan terdistribusi secara uniform. Paru mengalami hipoaerasi disertai peningkatan air bronchogram.

Gambar 4. RDS berat. Gambaran opak retikulogranuler pada kedua paru. Air bronchogram nyata, gambaran jantung sukar dinilai. Terdapat area kistik di paru kanan, menunjukan alveoli yang berdilatasi atau awal dari pulmonary interstitial emphysema (PIE). b. Laboratorium

Berdasarkan pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan Hb, Ht dan gambaran darah tepi tidak menunjukan tanda-tanda infeksi. Kultur darah tidak terdapat Streptokokus. Analisis gas darah awalnya dapat ditemukan hipoksemia, dan pada keadaan lanjut ditemukan hipoksemia progresif, hipercarbia dan asidosis metabolik yang bervariasi. c. Echocardiografi Echocardiografi dilakukan untuk mendiagnosa PDA dan menentukan arah dan derajat pirau. Juga berguna untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal dan menyingkirkan kemungkinan adanya kelainan struktural jantung. d. Pemeriksaan darah untuk skrining sepsis : termasuk pemeriksaan darah rutin, hitung jenis, apus darah tepi, C-reactive protein, kultur darah, glukosa darah, dan elektrolit.
Pemeriksaan Kultur darah Analisis gas darah Glukosa darah Kegunaan Menunjukkan keadaan bakteriemia Menilai derajat hipoksemia dan keseimbangan asam basa Menilai keadaan hipoglikemia, karena hipoglikemia dapat

menyebabkan atau memperberat takipnea Rontgen toraks Darah rutin dan hitung jenis Mengetahui etiologi distress nafas Leukositosis menunjukkan adanya infeksi Neutropenia menunjukkan infeksi bakteri Trombositopenia menunjukkan adanya sepsis Pulse oximetry Menilai hipoksia dan kebutuhan tambahan oksigen

I. Diagnosis Gambaran klinis seperti Peningkatan respirasi, peningkatan usaha nafas, periodic breathing, apnea, sianosis yang tidak berkurang dengan pemberian oksigen, turunnya tekanan darah disertai takikardi, pucat, kegagalan sirkulasi yang diikuti bradikardi, penggunaan otot-otot pernafasan tambahan, foto thorax dan analisa gas darah serta asam basa membantu menegakkan diagnosis. Derajat beratnya distress nafas dapat dinilai dengan menggunakan skor Silverman-Anderson dan skor Downes. Skor Silverman-Anderson lebih sesuai digunakan untuk bayi prematur yang menderita

hyaline membrane disease (HMD), sedangkan skor Downes merupakan sistem skoring yang lebih komprehensif dan dapat digunakan pada semua usia kehamilan. Penilaian dengan sistem skoring ini sebaiknya dilakukan tiap setengah jam untuk menilai progresivitasnya.

Tabel 1. Skor Downe

Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe :

0 Frekuensi Nafas < 60x/menit

1 60-80 x/menit

2 >80x/menit

Retraksi

Tidak ada retraksi

Retraksi ringan

Retraksi berat

Sianosis

Tidak sianosis

Sianosis hilang dengan O2

Sianosis menetap walaupun diberi O2

Air Entry Merintih

Udara masuk Tidak merintih

Penurunan ringan udara masuk Dapat didengar dengan stetoskop Dapat didengar tanpa alat bantu

Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe Skor < 4 Skor 4 5 Skor > 6 gangguan pernafasan ringan gangguan pernafasan sedang gangguan pernafasan ringan (pemeriksaan gas darah harus dilakukan)

Selain menilai beratnya distress nafas yang terjadi, diperlukan juga penilaian untuk memperkirakan penyebab dasar gangguan nafas untuk penatalaksanaan selanjutnya. Pada bayi yang baru lahir dan mengalami distress nafas, penilaian keadaan antepartum dan peripartum penting untuk dilakukan. Beberapa pertanyaan yang dapat

membantu memperkirakan penyebab distress nafas antara lain: apakah terdapat faktor resiko antepartum atau tanda-tanda distress pada janin sebelum kelahiran, adanya riwayat ketuban pecah dini, adanya mekoneum dalam cairan ketuban, dan lain-lain.

J. Diagnosis Banding

a. Pneumonia neonatal Dalam diagnosis banding, sepsis akibat Streptococcus grup B kurang bisa dibedakan dengan HMD. Pada pneumonia yang muncul saat lahir, gambaran rontgen dada dapat identik dengan HMD, namun ditemukan coccus gram positif dari aspirat lambung atau trakhea, dan apus buffy coat. Tes urin untuk antigen streptococcus positif, serta adanya netropenia.

b. Transient Tachypnea of The Newborn Takipnea sementara dapat disingkirkan karena gejala klinisnya pendek dan ringan.

c. Proteinosis alveoli kongenital adalah kelainan familial yang jarang dan kadang muncul sebagai respiratory distress syndrome (RDS) yang berat dan mematikan.

K. Penatalaksanaan Terapi terutama ditujukan pada pertukaran O2 dan CO2 yang tidak adekuat di paru-paru, asidosis metabolik dan kegagalan sirkulasi adalah manifestasi sekunder. Beratnya HMD akan berkurang bila dilakukan penanganan dini pada bayi BBLR, terutama terapi asidosis, hipoksia, hipotensi dan hipotermia. Kebanyakan kasus HMD bersifat self-limiting. Tujuan utama dalam penatalaksanaan gagal nafas adalah menjamin kecukupan pertukaran gas dan sirkulasi darah dengan komplikasi yang seminimal mungkin. Penanganan sebaiknya dilakukan di NICU

1. Resusitasi di tempat melahirkan Resusitasi adekuat di kamar bersalin untuk semua kelahiran prematur. Mencegah perinatal asfiksia yang dapat mengganggu produksi surfaktan. Mencegah terjadinya hipotermia dengan menjaga suhu bayi sekitar 36,5-37,5 derajat Celcius di mana kebutuhan oksigen berada pada batas minimum. Monitoring saturasi oksigen

dapat dilakukan dengan menggunakan pulse oxymetri secara kontinyu untuk memutuskan kapan memulai intubasi dan ventilasi. Semua bayi yang mengalami distress nafas dengan atau tanpa sianosis harus mendapatkan tambahan oksigen. Oksigen yang diberikan sebaiknya oksigen lembab dan telah dihangatkan. Pemberian obat selama resusitasi : Adrenalin 10 microgram /kg (0,1 mls/kg larutan 1 : 10.000) bila bradikardi persisten setelah ventilasi dan kompresi yang adekuat. Dosis pertama dapat diberikan intratrachea atau intravena, 1 dosis lagi diberikan intravena bila bayi tetap bradikardi, dosis ketiga dapat diberikan sebesar 100 microgram/kg bila situasi sangat buruk. Pemberian bicarbonat 4 mmol/kg merupakan setengah koreksi untuk defisit basa 20 mmol (larutan bicarbonat 8,4% mengandung 1 mmol/ml), atau 2 mEq/kg dari konsentrasi 0,5 mEq/ml. Pemberian dilakukan secara intravena dengan hati-hati. Volume expander 10 ml/kg Bolus glukosa 10 % 1 ml/kg BB.

2. Surfaktan Eksogen Instilasi surfaktan eksogen multidosis ke endotrakhea pada bayi BBLR yang membutuhkan oksigen dan ventilasi mekanik untuk terapi penyelamatan RDS sudah memperbaiki angka bertahan hidup dan menurunkan insidensi kebocoran udara dari

paru sebesar 40 %, tapi tidak menurunkan insidensi bronchopulmonary dysplasia (BPD) secara konsisten. Efek yang segera muncul meliputi perbaikan oksigenasi dan perbedaan oksigen alveoli arteri dalam 48 72 jam pertama kehidupan, menurunkan tidal volume ventilator, meningkatkan compliance paru, dan

memperbaiki gambaran rontgen dada. Pemberian surfaktan eksogen menurunkan insidensi BPD, namun tidak berpengaruh terhadap insidensi PDA, perdarahan intrakranial, dan necrotizing enterocolitis (NEC). Terdapat penigkatan insiden perdarahan paru pada pemberian surfaktan sintetik sebesar 5 %. Surfaktan dapat diberikan segera setelah bayi lahir (terapi profilaksis) atau beberapa jam kemudian setelah diagnosa RDS ditegakkan (terapi penyelamatan). Terapi profilaksis lebih efektif dibandingkan bila diberi beberapa jam kemudian. Bayi yang mendapat surfaktan eksogen sebagai terapi profilaksis membutuhkan oksigen dan ventilasi mekanik lebih sedikit disertai angka bertahan hidup yang lebih baik. Bayi yang lahir kurang dari 32 minggu kehamilan harus diberi surfaktan saat lahir bila ia memerlukan intubasi. Terapi biasa dimulai 24 jam pertama kehidupan, melalui ETT tiap 12 jam untuk total 4 dosis. Pemberian 2 dosis atau lebih memberikan hasil lebih baik dibanding dosis tunggal. Pantau radiologi, BGA, dan pulse oxymetri. Ada 4 surfaktan yang memiliki lisensi di UK untuk terapi. Yang berasal dari binatang adalah Curosurf, diekstrak dari paru-paru babi, diberikan 1,25-2,5 ml/kg, dan Survanta, ekstrak dari paru-paru sapi dengan penambahan 3 jenis lipid (phosphatidylcholine, asam palmitat, dan trigliserid), diberikan 4 ml/kg. Kedua surfaktan ini mengandung apoprotein SP-B dan SP-C dengan proporsi yang berbeda dengan yang dimiliki manusia. Apoprotein SP-A dan SP-D tidak ditemukan. Surfaktan sintetik tidak mengandung protein. Exosurf merupakan gabungan phospholipid dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), hexadecanol dan tyloxapol, diberikan 5 ml/kg. Hexadecanol, dan tyloxapol memperbaiki penyebaran surfaktan di antara alveolus. ALEC (artificial lung expanding compound) merupakan gabungan DPPC and phosphatidylglycerol dengan perbandingan 7:3, diberikan 1,2 ml berapapun beratnya. Yang sedang diteliti adalah Infasurf (alami) Komplikasi pemberian surfaktan antara lain hipoksia transien dan hipotensi, blok ETT, dan perdarahan paru. Perdarahan paru terjadi akibat menurunnya resistensi pambuluh darah paru setelah pemberian surfaktan, yang menimbulkan pirau kiri ke kanan melalui duktus arteriosus. 3. Oksigenasi dan monitoring analisa gas darah

Oksigen lembab hangat diberikan untuk menjaga agar kadar O2 arteri antara 55 70 mmHg dengan tanda vital yang stabil untuk mempertahankan oksigenasi jaringan yang normal, sementara meminimalkan resiko intoksikasi oksigen. Bila oksigen arteri tak dapat dipertahankan di atas 50 mmHg saat inspirasi oksigen dengan konsentrasi 70%, merupakan indikasi menggunakan continuous positive airway pressure (CPAP). Monitor frekuensi jantung dan nafas, PO2, PCO2, pH arteri, bikarbonat, elektrolit, gula darah, hematokrit, tekanan darah dan suhu tubuh, kadang diperlukan kateterisasi arteri umbilikalis. Transcutaneus oxygen electrodes dan pulse oxymetry diperlukan untuk memantau oksigenasi arteri. Namun yang terbaik tetaplah analisa gas darah karena dapat memberi informasi berkelanjutan serta tidak invasif, memungkinkan deteksi dini komplikasi seperti pneumotoraks, juga merefleksikan respon bayi terhadap berbagai prosedur seperti intubasi endotrakhea, suction, dan pemberian surfaktan. PaO2 harus dijaga antara 50 80 mmHg, dan Sa O2 antara 90 94 %. Hiperoksia berkepanjangan harus dihindarkan karena merupakan faktor resiko retinopathy of prematurity (ROP). Kateter radioopak harus selalu digunakan dan posisinya diperiksa melalui foto rontgen setelah pemasangan. Ujung dari kateter arteri umbilikalis harus berada di atas bifurkasio aorta atau di atas aksis celiaca (T6 T10). Penempatan harus dilakukan oleh orang yang ahli. Kateter harus diangkat segera setelah tidak ada indikasi untuk penggunaan lebih lanjut, yaitu saat PaO2 stabil dan Fraction of Inspiratory O2 (FIO2) kurang dari 40 %. Pengawasan periodik dari tekanan oksigen dan karbondioksida arteri serta pH adalah bagian yang penting dari penanganan, bila diberikan ventilasi buatan maka hal hal tersebut harus dilakukan. Darah diabil dari arteri umbilikal atau perifer. Arteri temporalis merupakan kontra indikasi karena menimbulkan emboli cerebral retrograd. PO2 jaringan harus selalu dipantau dari elektroda yang ditempatka di kulit atau pulse oximetry (saturasi oksigen). Darah kapiler tidak berguna untuk menentukan PO2 tapi dapat digunakan untuk memantau PCO2 dan pH. 4. Fluid and Nutrition Kalori dan cairan diberikan secara intravena. Dalam 24 jam pertama berikan infus glukosa 10% dan cairan melalui vena perifer sebanyak 65-75 ml/kg/24 jam. Kemudian tambahkan elektrolit, volume cairan ditingkatkan bertahap sampai 120-150 ml/kg/24 jam. Cairan yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya Patent Ductus

Arteriosus (PDA). Pemberian nutrisi oral dapat dimulai segera setelah bayi secara klinis stabil dan distres nafas mereda. ASI adalah pilihan terbaik untuk nutrisi enteral yang minimal, serta dapt menurunkan insidensi NEC. 5. Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) CPAP memperbaiki oksigenasi dengan meningkatkan functional residual capacity (FRC) melalui perbaikan alveoli yang kolaps, menstabilkan rongga udara, mencegahnya kolaps selama ekspirasi. CPAP diindikasikan untuk bayi dengan RDS PaO2 <>> 50%. Pemakainan secara nasopharyngeal atau endotracheal saja tidak cukup untuk bayi kecil, harus diberikan ventilasi mekanik bila oksigenasi tidak dapat dipertahankan. Pada bayi dengan berat lahir di atas 2000 gr atau usia kehamilan 32 minggu, CPAP nasopharyngeal selama beberapa waktu dapat menghindari pemakaian ventilator. Meski demikian observasi harus tetap dilakukan dan CPAP hanya bisa diteruskan bila bayi menunjukan usaha bernafas yang adekuat, disertai analisa gas darah yang memuaskan. CPAP diberikan pada tekanan 6-10 cm H2O melalui nasal prongs. Hal ini menyebabkan tekanan oksigen arteri meningkat dengan cepat. Meski penyebabnya belum hilang, jumlah tekanan yang dibutuhkan biasanya berkurang sekitar usia 72 jam, dan penggunaan CPAP pada bayi dapat dikurangi secara bertahap segera sesudahnya. Bila dengan CPAP tekanan oksigen arteri tak dapat dipertahankan di atas 50 mmHg (sudah menghirup oksigen 100 %), diperlukan ventilasi buatan. 6. Ventilasi Mekanik Ventilasi mekanis merupakan prosedur bantuan hidup yang invasif dengan berbagai efek pada sistem kardiopulmonal. Tujuan ventilasi mekanis adalah membaiknya kondisi klinis pasien dan optimalisasi pertukaran gas dan pada FiO2 (fractional concentration of inspired oxygen) yang minimal, serta tekanan ventilator/volume tidal yang minimal. Derajat distress pernafasan, derajat

abnormalitas gas darah, riwayat penyakit paru-paru, dan derajat instabilitas kardiopulmonal serta keadaan fisiologis penderita harus ikut dipertimbangkan dalam memutuskan untuk memulai penggunaan ventilator mekanik. Berbagai mode ventilasi mekanik dapat ditentukan oleh parameter yang diatur oleh klinisi untuk menentukan karakteristik pernafasan mekanis yang diinginkan. Indikasi absolut penggunaan ventilasi mekanis antara lain: (1) prolonged apnea, (2) PaO2 kurang dari 50 mmHg atau FiO2 diatas 0,8 yang bukan disebabkan oleh penyakit jantung bawaan tipe sianotik, (3) PaCO2 lebih dari 60 mmHg dengan

asidemia persisten, dan (4) bayi yang menggunakan anestesi umum. Sedangkan indikasi relatif untuk penggunaan ventilasi mekanis antara lain: (1) frequent intermittent apnea, (2) bayi yang menunjukkan tanda-tanda kesulitan nafas, (3) dan pada pemberian surfaktan. 7. Keseimbangan asam basa Asidosis respiratoar mungkin membutuhkan ventilasi buatan jangka pendek atau jangka panjang. Pada asidosis respiratoar yang berat dengan disertai hipoksia, terapi dengan sodium karbonat dapat menimbulkan hiperkarbia. Asidosis metabolik harus dicegah karena dapat menggangu produksi surfaktan, meningkatkan resistensi pembuluh darah paru, dan memberi pengaruh buruk pada sistem cardiovaskular. Meski demikian infus cepat sodium bikarbonat harus dihindari karena meningkatkan insidensi perdarahan intraventrikular. Asidosis metabolik pada HMD bisa merupakan hasil asfiksia perinatal, sepsis, perdarahan intraventrikular dan hipotensi (kegagalan sirkulasi), dan biasanya muncul saat bayi telah membutuhkan resusitasi. Sodium bicarbonat 1 2 mEq/kg dapat diberikan untuk terapi selama 10 15 menit melalui vena perifer, dengan pengulangan kadar asam basa dalam 30 menit atau dapat pula diberikan selama beberapa jam. Sodium bikarbonat lebih sering diberikan pada kegawatan melalui kateter vena umbilikalis. Terapi alkali dapat menimbulkan kerusakan kulit akibat terjadinya infiltrasi, peningkatan osmolaritas serum, hipernatremia, hipokalsemia, hipokalemia, dan kerusakan hepar bila larutan berkonsentrasi tinggi diberikan secara cepat melalui vena umbilikalis. 8. Tekanan darah dan Cairan Monitor tekanan darah aorta melalui kateter vena umbilikalis atau oscillometric dapat berguna dalam menangani keadaan yang menyerupai syok yang dapat muncul selama 1 jam atau lebih setelah kelahiran prematur dari bayi yang telah mengalami asfiksia atau mengalami distres nafas. Monitor tekanan darah arteri diperlukan. Hipotensi arterial memfasilitasi pirau kanan ke kiri melalui PDA lalu menimbulkan hipoksemia. Hipotensi juga dapat menimbulkan perdarahan serebral. Hipotensi umumnya ditimbulkan oleh asfiksia perinatal, sepsis dan hipotensi. Terapi lini I adalah dengan memberikan volume expander (10 20 mls/kg larutan saline atau koloid). Terapi lini II dengan memberi obat inotropik. Dopamin lebih efektif disbanding dobutamin. Dopamin meningkatkan tahanan sistemik, sementara dobutaminmeningkatkan output ventrikel kiri. Dosis

dopamine 10 micrograms / kg / menit. Dosis > 15 micrograms / kg / menit meningkatkan tahanan paru, menimbulkan hipertensi paru. Terapi lini III diberikan pada kasus yang resisten. Mula-mula dapat dicoba menambahkan dobutamin 10-20 micrograms / kg / menit pada dopamine. Dapat pula dicoba memberikan hydrocortisone, adrenaline dan isoprenaline. Edema paru merupakan bagian dari patofisiologi HMD, bayi yang mengalaminya cenderung menghasilkan sedikit urin output selama 48 jam pertama, diikuti fase diuretik dengan penurunan berat badan. Pemberian cairan berlebih harus dihindari, masukan cairan biasa dimulai dengan 60 80 ml/kg/hari kemudian ditingkatkan secara bertahap. Asupan cairan lebih tinggi diperlukan untuk bayi dengnan berat lahir sangat rendah dengan insensible water loss tinggi. Asupan cairan harus selalu dikoreksi bila terdapat perubahan pada berat badan, output urin, dan kadar elektrolir serum. Penggunaan fototerapi, kelembaban rendah, dan penghangat radiant meningkatkan kebutuhan cairan. Pemberian cairan berlebih pada hari pertama dapat menimbulkan PDA dan BPD. Penggunaan diuretik tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan deplesi volume yang tidak diinginkan. 9. Antibiotik Karena sulit untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi streptokokus grup B atau infeksi lain dari HMD, diindikasikan untuk memberikan antibakteri sampai hasil kultur darah selesai. Penisilin atau ampisilin dengan kanamisin atau gentamisin dapat diberikan, tergantung pola sensitivitas bakteri di rumah sakit tempat perawatan. Hal hal yang diasosiasikan dengan peningkatan insidensi infeksi pada bayi prematur antara lain ketuban pecah untuk waktu yang lama, ibu demam selama persalinan, fetus mengalami takikardi, leukositosis / leukopeni, hipotensi dan asidosis. 10. Inhaled Nitric Oxide Inhaled nitric oxide (iNO) dapat memperbaiki vasodilatasi paru dan oksigenisasi pada bayi cukup bulan dengan gagal nafas yang berat. Beberapa penelitian multisenter menyebutkan bahwa iNO akan mengurangi kebutuhan akan extracorporeal membrane oxygenation (ECMO). Penggunaan iNO pada terapi gagal nafas pada bayi berdasar kepada kemampuannya sebagai vasodilator di paru-paru tanpa menurunkan tonus vaskuler paru. Penggunaan iNO dipertimbangkan karena memiliki kemampuan selektif menurunkan pulmonary vascular resistance (PVR).

Nitrat oksida disintesis pada saluran napas atas dan bawah. Nitrat oksida merupakan salah satu substansi fisiologis yang dilepaskan endotel untuk memelihara tekanan darah dalam batas normal. Nitrat oksida akan berdifusi dari lapisan endotel ke dalam otot polos pembuluh darah dimana akan mengaktifkan guanil siklase, dan mengkatalisir formasi dari cGMP, cGMP kemudian akan mengfosforilasi beberapa protein melalui protein kinase dependent cGMP, yang secara tidak langsung akan menyebabkan defosforilasi miosin dan menyebabkan relaksasi otot polos. Sirkulasi paru janin cenderung mempunyai resistensi yang tinggi. Nitrat oksida endogen secara fisiologis penting untuk mengatur tonus vaskuler paru janin. Nitrat oksida menyebabkan angiogenesis, pembentukan alveolar dan pertumbuhan paru normal. Terapi iNo pada bayi baru lahir telah diteliti pada bayi preterm dan aterm. Nitrat oksida eksogen yang dihantarkan melalui ventilator akan menyebabkan vasodilatasi paru. Terapi iNO memperbaiki oksigenisasi tanpa efek samping jangka pendek seperti perdarahan paru, perdarahan intrakranial, pnumotoraks pada bayi prematur dengan gagal napas

L. Prognosis Observasi intensif dan perhatian pada bayi baru lahir beresiko tinggi dengan segera akan mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat HMD dan penyakit neonatus akut lainnya. Hasil yang baik bergantung pada kemampuan dan pengalaman personel yang menangani, unit rumah sakit yang dibentuk khusus, peralatan yang memadai, dan kurangnya kmplikasi seperti asfiksia fetus atau bayi yang berat, perdarahan intrakranial, atau malformasi kongenital. Terapi surfaktan telah mengurangi mortalitas 40 %. Mortalitas dari bayi dengan berat lahir rendah yang dirujuk ke ICU menurun dengan pasti, 75 % dari bayi dengan berat <> 2.500 gr bertahan. Meski 85 90 % bayi yang selamat setelah medapat bantuan respirasi dengan ventilator adalah normal, penampakan luar lebih baik pada yang berta badannya > 1.500 gr, sekitar 80 % dari yang beratnya dibawah 1500g tidak mengalami sekuele neurologis atau mental. Prognosis jangka panjang untuk mencapai fungsi paru yang normal pada bayi HMD adalah sangat baik, tetapi bayi yang mengalami gagal nafas neonatus yang berat dapt mengalami gangguan pada paru dan perkembangan sarafnya.

M. Pencegahan Hal yang terpenting adalah pencegahan prematuritas, menghindari seksio seksaria yang tidak perlu atau kurang sesuai waktu. Pada seksio sesaria atau intervensi kelahiran yang tepat waktu, perkiraan lingkar kepala janin dengan ultrasonograf dsan penentuan kadar lesitin pada cairan amnion dengan rasio lesitin terhadap sfingomielin mengurangi kemnungkinan bayi premature. Pemantauan intrauterin pada masa antenatal dan pemantauan intrapartum dapat mengurangi resiko asfiksia janin yang dapat meningkatkan insiden dan keparah penyakit membran hialin. Pemberian deksametason dan betametason 48-72 jam sebelum persalinan dengan usia kehamilan 32 minggu dapat mengurangi insiden, mortalitas dan morbiditas HMD. Pada wanita hamil yang lesitin dalam cairan amnionnya menunjukkan imaturitas paru janin dapat diberikan kortikosteroid. Pemberian 1 dosis surfaktan kedalam trakea bayi premature segera setelah lahir dapat mengurangi mortalitas dari HMD.

PENUTUP

Sindrom distres pernafasan adalah perkembangan yang imatur pada sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai Hyaline Membrane Disesae. Penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada bayi premature adalah Respiratory Distress Syndrome. Melakukan kontrol rutin pada saat antenatal dan melakukan pencegahan adalah hal yang terbaik untuk mencegah insiden dan mengurani mortilitas dan morbiditas.

DAFTAR PUSTAKA

1. Respiratory Distress Syndrome. http://emedicine.medscape.com/article/976034overview#a0156, diakses 7 november 2013.

2. Hyaline Membrane Disease Imaging. http://emedicine.medscape.com/article/409409overview, diakses 7 november 2013. 3. Mathai S, Raju C, Kanitkar C. Management of respiratory distress in the newborn. MJAFI. 2007;63(269-72).
4. Kliegman R.M. Gangguan Saluran Pernapasan. Dalam: Kliegman R, Behrman R.E,

Arvin A.M , penyunting. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Vol 1. Jakarta: EGC; 2000. h. 591-9.

Anda mungkin juga menyukai